lagi mikir.
kalau yg muslimah bergulat dengan jilbabnya.
kalau yg ikhwan, bergulat dengan celana pendek ala bob sadino ?



2009/7/12 Ary Setijadi Prihatmanto <ary.setij...@gmail.com>:
>
>
> Saya ingin komentar tentang istilah mbak Mia "berdamai dengan diri sendiri"
> yang saya pahami sebagai proses jujur dan ikhlas dalam mengenal, memahami
> dan conformity dengan keadaan diri sendiri yang membawa pada keyakinan peran
> dalam hidup. Salah satu yang menarik dari WM malah bagian ini. Mbak Mia
> sendiri juga pernah cerita pengalaman ttg pergulatan dalam pekerjaan, etika,
> dll.
>
> Perjalanan mencari Tuhan dari sekian banyak tuhan yang muncul dalam
> kehidupan kita memang akan jadi perjalanan pribadi, individual yang unik
> (unique). Sharing antar kita sebetulnya dibatasi oleh banyak keterbatasan
> komunikasi sehingga kadang-kadang yang terlihat penting hanyalah tampak
> luar/lahiriyahnya saja padahal yang esensial sebetulnya pergulatan batin
> yang mendasarinya.
>
> Seperti contoh, kisah mbakYanti, bagi sebagian orang seakan-akan sekedar
> berujung pada fiqh jilbab tidak wajib. Padahal IMHO bukan itu esensinya.
> Esensinya adalah bagaimana mbak Yanti menjadi manusia yang lebih baik yang
> berpegang pada ketauhidan sejati, dengan segala kelebihan dan kekurangan
> dirinya. Salah satu esensi yang penting IMHO malah bagaimana mengalahkan
> berhala yang muncul, bahkan ketika berhala itu bentuknya kewajiban
> berjilbab. Berjilbab menjadi berhala ketika mengenakan jilbab menjadi
> prasyarat hubungan dengan Allah swt. dan seakan-akan memberikan label "lebih
> mulia" dibanding yang lain. Kebetulan saja, nash memungkinkan untuk membuat
> garis yang tegas dengan berhala tersebut bagi mbak Yanti dengan membuka
> jilbabnya. Solusi bagi yang lain, dengan esensi yang sama bisa saja berbeda
> tampak lahirnya, misalkan malah mengenakan jilbab.
>
> Ketika perjalanan individual agung itu direduksi hanya pada kesimpulannnya
> fiqh-nya,
> kemudian kesimpulan tadi itu pun ternyata dievaluasi hanya dengan standar
> "fiqh baku" dengan tujuan MENILAI baik dan buruknya seseorang, hilanglah
> nilai-nilai utamanya, dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang lurus.
> Biar pun katakanlah cara berfikir di atas dianggap tetap Islam, Islam model
> begini malah jadi kehilangan relevansi dan universalitasnya.
>
> Pertanyaan yang penting bagi diri kita semua secara pribadi, lebih penting
> dari menilai perjalanan orang lain: "Apakah kita telah melakukan perjalanan
> yang penting itu?"
>
> ----- Original Message -----
> From: Mia
> To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Sent: Sunday, July 12, 2009 1:56 PM
> Subject: [wanita-muslimah] Re: Jilbab dan pengalaman pribadi
>
> Terimakasih mba Yanti sharingnya sangat berkesan. Mba Yanti memakai jilbab
> pada waktu itu, dari penjelasan di bawah, karena mencari ketenteraman,
> artinya dengan suka rela dari hati sendiri. Walaupun rasa ketenteraman yang
> dicari nggak didapatkan waktu memakai jilbab, tapi nyatalah perjalanan batin
> mba Yanti nggak berhenti di situ. Akhirnya berdamai dengan diri sendiri
> justru dengan mencopot jilbab, dengan suka rela juga. Umpama sekolah mba
> Yanti lulus cum laude, kira2 gitu.
>
> Membuat saya jadi iri. Karena dulu waktu sekolah dari madrasah ke Aliyah,
> saya pake jilbab, dan itu terpaksa. Nggak ada enak2nya pake jilbab dan rok
> panjang buat saya, puuanas gitu loh, ditambah lagi diledek2 orang di
> jalanan. Betapa masa kecil/remaja yang menggelisahkan, dari masalah
> berpakaian.
>
> Kemudian saya pake jilbab sekali2, dan itu bukan mencari ketenteraman hati,
> tapi pingin nunjukin solidaritas untuk para perempuan yang pake jilbab tapi
> diresehin. Personal is political, kira2 gitu. Pernah demen sesekali pake
> jilbab waktu musim dingin Des-Feb di New York, karena hangat gitu loh, dan
> dikomentarin orang kamu cakep deh (kurasa karena jilbabnya fashionable
> berkesan dress-up, sedangkan orang NY tampil apa adanya, maksudnya nggak
> fashionable).
>
> Tahun2 belakangan terakhir ini, nggak berjilbab diresehin orang juga. Jadi
> saya nggak pernah berjilbab lagi, karena lagi-lagi personal is political,
> bukan lantaran mencari ketenteraman hati. Makin diresehin untuk berjilbab
> makin nggak mau saya pake lagi.
>
> Jadi rupanya selama hidup, saya ini termasuk jenis yang nggak mencari
> ketenteraman hati melalui jilbab/nggak berjilbab, makanya saya jadi iri
> dengan pengalaman mba Yanti. Jilbab dari pengalaman hidup saya ini lekat
> dengan pernyataan politik.
>
> Tapi yang namanya perempuan, pastilah mencari 'ketenteraman hati' dengan
> pakaian/penampilan, antara apa yang diiinginkannya pribadi dan kondisi
> sekelilingnya, termasuk kebiasaan, perubahan2, fashion dsb.
>
> Jadi 'ketenteraman hati' saya akhirnya tercapai dengan mengadopsi pakaian
> dan asesoris bernuansa etnis dan (buatan) lokal kalau mau tampil di depan
> umum, misalnya di kantor, acara resmi, kondangan, bergaul gitu deh.
> Kerudung/selendang biasanya di selendangin saja dan dipake di kepala kalo
> merasa perlu. Saya suka penampilan ini, dan saya anggap sebagai bentuk
> 'conformity' maksudnya penyesuaian, dengan kondisi kekinian. Pakaian2 lain
> sesuai kegiatan - karena saya hobi olah raga jadi seringnya tampil pake
> outfit ini. Keluarga besar saya perempuannya rata2 pake jilbab - kadang ada
> kerabat cowok yang komentar, dengan outfit saya yang sehari2 ini, keliatan
> seksi, maksudnya memuji tapi kuatir dengan pikirannya sendiri...:-) Saya
> senyum2 saja, saya anggap mereka juga mesti terbiasa dengan yang dianggap
> beda.
>
> salam
> Mia
>
> (deleted)
>
> Recent Activity
> a.. 17New Members
> Visit Your Group
> Give Back
> Yahoo! for Good
>
> Get inspired
>
> by a good cause.
>
> Y! Toolbar
> Get it Free!
>
> easy 1-click access
>
> to your groups.
>
> Yahoo! Groups
> Start a group
>
> in 3 easy steps.
>
> Connect with others.
> .
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> 



-- 
salam,
Ari

Kirim email ke