Pak Enda, Terima kasih atas link ini, tulisan yang sangat menarik. Juga kutipan dari puisi Archilochus itu, yang dipopulerkan Isaiah Berlin tentang rubah dan landak. Saya tidak akan mengomentari artikel di Jakarta Post ini secara khusus, tapi mari kita diskusi soal sulitnya kita belajar dan mengubah cara pandang itu sendiri. Saya menulis sebelumnya dlm konteks 'public reason' bukan secara khusus merujuk pada pengamat/ahli. Bahwa nalar publik memiliki logika dan jalan berpikir sendiri, yg seringkali berada di luar arus utama yg didominasi elite.
Sebelum ke sana, elitisme itu gejala wajar, ada di mana-mana, baik politik maupun agama, ataupun di komunitas akademik. Yang diperlukan bukan menghapus elit (ini mustahil, bahkan di Partai Komunis yg konon egaliter saja ada elite2nya) melainkan menetapkan batas-batasnya. Ini yg - sekali lagi saya sebut - menjadi keprihatinan kita soal salah kaprah cara memandang demokrasi. Kita ini surplus demokrasi tapi defisit politik, dalam arti perbincangan dan praktik soal tata nilai dalam kehidupan bersama. Lalu saya masuk ke soal tata nilai (value). Memang subjektif, tapi tak melulu subjektif, nyatanya ada deliberasi dan konsensus. Kita berangkat dari beragam nilai partikular tapi toh masih bisa sepakat bicara soal konsensus NKRI dan mau kita bawa ke mana negara ini. Yang jadi soal adalah ketersediaan ruang publik, agar jangan sampai diambil pasar dan negara sepenuhnya. Dan saya kira kita belum lupa bahwa bangsa ini belajar meski sekaligus mudah lupa. Reformasi menghasilkan banyak lembaga2 baru yg bermanfaat, misalnya MK,Komisi Yudisial,KPK,KPPU,dan lainnya, yang menjadi kepanjangan tangan dari kontrol publik thd kekuasaan. Belum ideal, tapi jelas ada kemajuan berarti. Kebebasan pers jelas mengalami kemajuan, dan Koalisi Civil Society yg mendorong revisi UU KIP dan UU Kerahasiaan Negara saya kira cukup efektif. Nalar Publik lainnya tercermin dlm gerakan fesbuker, juga aksi koin keadilan, dll. Kita masih bisa menyepakati satu nilai bersama (yg dlm batas tertentu bisa dikatakan objektif), misal soal keadilan. Jika fokus Anda ke pengamat, kita boleh skeptis, tapi juga masih layak berharap. Pertanyaan Anda menarik, berapa yg mengubah pandangan usai ditemukan data-data baru? Di sini kita harus bedakan informasi, data, dan fakta. Fakta adalah data yg sudah diolah/diverifikasi dan bisa dipertanggungjawabkan. Hemat saya, hari2 ini kita masih disuguhi banyak informasi dan data, dan belum sampai ke fakta. Justru di sini tantangan kita, agar bisa berjarak dg informasi/data, agar tak serta merta menyebutnya fakta. Ini saya kira loncatan yg banyak dianut para pengamat, maka mereka beropini mengabaikan dua hal, value sebagai minimal consensus dari publik (cermin nalar publik), dan merancukan data dg fakta. Di sini intelektualitas diuji. Tapi terkait pembelajaran bagi publik, saya kira minimal Anda sbg pakar saja memiliki kesadaran ini, artinya masih ada optimisme itu. Tugas publik memastikan ini berjalan baik dan benar. Saya yakin yg hanya beropini berdasar informasi mentah atau data akan tergerus. Saya sepakat kita menunggu sbg penonton yg baik, tapi saya ragu sungguhkan ada itu objektivitas yg penuh? bukankah di balik pikiran kita, sudah ada asumsi, prasangka, endapan2 pra-pengetahuan, bekuan2 emosi, dll, yg diam2 juga memengaruhi cara kita berpikir dan bersikap? mungkin saja kita perlu belajar hermeneutika sbg pendamping positivisme dlm dunia ilmu2...mungkin lho... salam ________________________________ Dari: irmec <ir...@usa.com> Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Terkirim: Rab, 30 Desember, 2009 02:49:47 Judul: Re: Bls: Bls: Bls: [Keuangan] REFRESH... apa yg mereka katakan ttg CENTURY pd s Berapa persen yah opini berubah sesudah data-data baru bermunculan. Aku rada skeptis bhw terjadi proses pembelajaran. Terlebih lagi, karena para pengamatpun sulitnya untuk "belajar". Mereka stick sama opini awalnya - paradigma sulit dirubah. Sulitnya lagi, media suka dgn kondisi seperti itu, malah membesarkan (seperti kutulis di http://m.thejakarta post.com/ news/2006/ 02/27/can- expert-advice- be-trusted. html ) Akhirnya, kalau ditulis dalama kalimat matematik, maka opini = value + fakta. Ini dua tipe klaim yg berbeda (pakai modelnya filosofer Stephen Toulmin). Value sgt subjectif, yg lebih objectif ialah facta (karena bisa diverifikasi) . Susahnya, value bermain dalam tataran emosional, yg sgt berperan dalam "effectiveness" dari suatu retorika. Sebagai penonton yg baik, sebaiknya kita memfokuskan pada "fakta", sebelum value kita masuk untuk membentuk opini "milik kita pribadi". Meskipun tentu sulit. Salam, Enda --- In AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com, prastowo prastowo <sesaw...@.. .> wrote: > Lalu bisakah kita berharap pada Pansus? keyakinan saya TIDAK. Alasannya, > mayoritas adalah fraksi pendukung pemerintah yg bisa jadi hanya akan > memperbaharui deal-deal politik lagi. Tapi apakah Pansus mubazir? rasanya > tidak. Dari pemeriksaan beberapa pejabat BI saja kita tahu betapa buruknya > sistem pengawasan dan pola pertanggungjawaban yg ada. Ini penting bagi > pembelajaran ke depan. Saya kira kita juga harus jujur, bahwa ada kesalahan > mendasar di lembaga yg hampir tak pernah tersentuh ini, padahal mengurus > pengawasan uang yg luar biasa besar dan menentukan nasib bangsa. > > Politikus bisa jadi tak becus dan kita boleh skeptis akan ini, tapi lembaga > politik dan proses politik formal tetap harus dikawal dg tekun dan sabar, > agar ada pembelajaran yg baik bagi bangsa ini ke depan. > > Saya setuju kita harus jujur, dan termasuk juga misalnya, mengapa jawaban > Marsilam dan Presiden berbeda soal kehadiran Marsilam di rapat KSSK? siapa yg > benar dlm hal ini? Kenapa perlu dua pendapat, ada apa? Apakah ini juga bukan > sebuah tindakan dan strategi politik? > > Masalah ini sudah kadung masuk ke sebuah keruwetan, tapi biar waktu yg akan > menjawabnya. > > salam > Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. Dapatkan IE8 di sini! http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/ [Non-text portions of this message have been removed]