Salam. Saudara Erik..saya`ada menemukan dan membaca`artikel yg cukup menarik, di majalah "Sin Po". edisi 871., tertanggal 9 desember 1939. Akan saya kutib sesuai apa adanya dengan ejaan bahasa yang dipakai pada waktu itu.. Tjap "Tjina". Perkatahan "Tjina" sendiri sabenernja tida menggenggem maksoed menghina atawa koerang baek. Tetapi lantaran didalem tempo blakangan di Indonesia ,orang sering hoeboengkan itoe perkatahan pada perboetan-perboetan koerang baek, atawa digoenaken oentoek menjindir dan mengolok olok, maka ditelinga orang Tionghoa djadi tida sedep kedengerannja. Sadjek di permoelahan ini abad kita- orang goenakan sebutan Tionghoa boeat kita poenya kabangsahan. Boekan sadja ini ada lebih lemas, hanja poen seboetan ini memang ada lebih bener. Sadjek ahala Tjioe ,kira kira 3000 taon doeloe, bangsa kita soeda goenakan seboetan Tionghoa. Pada ampat taon jang laloe ,Mr Chiang Yu Pin menoelis didalem madjalah Hsin Tsing Nien jang terbit di Shanghai, dimana antara laen laen ia bilang ,itoe seboetan Tjina jang orang asing goenakan terhadep kita adalah berhoeboeng dengen "KEANGKERANnja Tiongkok di djeman dynastie Tjien ( 2000 taon sabelon ada itoengan Mesehi ) . Tiap orang Tionghoa doeloe poen merasa BANGGA boeat seboet dirinja satoe Tjina. Orang orang Tionghoa banjak djoega jang mengoembara ke loear negri. Marika biasa njataken kadatengannja dari negri Tjien dan ia orang ada rahajat Tjien atawa Tjina. Ternjata ini seboetan dari djeman riboean taon doeloe tatkala negri kita sedeng djaja, teroes`idoep sampe sekarang. Malah di Java perkatahan itoe saolah olah meroepaken satoe tjap jang terdapet dimana mana. Didalem sedjarah ,di kota kota , nama nama barang , dedaonan ,logam dan laen laen poela orang senantiasa katemoeken perkatahan .....Tjina. Soeda sadjek doeloe kala kampoeng kampoeng Tionghoa ada terkenal dengen seboetan kampoeng Tjina atawa Patjinan. Tetapi dengen sasoenggoenja perkatahan "Tjina" itoe ada "berakar" lebih dalem dan mempoenjai hoeboengan lebih rapet, jang tida terdapet pada bangsa laennja. Marilah setjara sapintas laloe kita bikin penjelidikan. Untuk kalimat2 selanjutnya akan saya singkat dan saya pergunakan ejaan yang berlaku sekarang ( biar ngak pusing lagi dech..) Dalam buku sejarah Tanah Jawa ", atau " Babad Pajajaran "akan kita temukan kata " Putri Tjina " , juga ada tari yang dinamakan " Serimpi Putri Tjina ".Di Cirebon ada kuburan " Putri Tjina ( Gunung Jati ). Di Parakan ada kampung yang disebut " Pondok Tjino " ( Pondok Tjina ). Di Depok juga ada tempat yang disebut sebagai Pondok Tjina. Di Meester Cornelis ( Jatinegara ) ada tempat yang dikasih nama Bidara Tjina. dan menurut legenda , berasal dari kata Berdarah Tjina "Dimana pada waktu itu orang2 Belanda membunuh ribuan orang2 Tionghoa sehingga warna sungai menjadi merah, dan akhirnya kali itu dinamakan " Ang-kee = kali merah . Banyak yang melarikan diri dan darah berceceran dimana mana. maka tempat itu dinamakan "Berdara Tjina, dan lambat laun menjadi Bidara Tjina. Di Semarang, ada satu jalan yang dipanggil Kebon Tjina, Dulu jalan itu milik Mayor TanHong Yan, dan orang kampung dulu menyebutnya " Kebon Majoor Tjina ", dan lama kelamaan disingkat menjadi " Kebun Tjina ". Dalam hal nama daun atau tanaman , kita ada kenal nama "Daun Patikan Tjina ", ada juga daun " Pacar Tjina ", ada lagi " Daun Ketepeng Tjina. Petai Tjina, Kacang Tjina. Di Betawi , adat istiadat nya , sampai sekarang, ada Kueh Tjina dan Pacar Tjina. Dan Kueh Tjina itu sangat berperan cukup penting dalam hal adat istiadat pernikahan, ( untuk barang antaran , melamar ). Untuk urusan perabot rumah tangga, ada tempat tidur yang dinamakan "Ranjang Tjina "., ranjang yang penuh ukiran2 halus dan gambar2 yang menggambarkan simbol2 keberuntungan, dan harganya sangat mahal sekali. Kalau orang menyebut "Ranjang Tjina " , itu adalah suatu barang, tempat tidur yang sangat istimewa sekali. ( khusus ). Sebagai penutup, akan saya kutip kembali artikel ini , dalam ejaan bahasa aslinya ( 1939 ). ....." Begitoelah saja seboetken sadja brapa barang,daon, dan sebaginja jang namanja goenakan perkatahan Tjina . Seperti pembatja mahloem ,nama nama diatas boekan dibikin setjara paksa ,tegesnja maen hoeboengken sadja dengen seboetan Tjina , hanja nama nama itoe memang soeda oemoem , jang satoe bisa ditjaboet dari jang laen zonder datengken kakliroean. Oepama seboetan "Poetri Tjina , tentoe sadja tida bisa ditoekar dengen nama laen......." kaloe kita madjoe lebih djaoe dengen liat nama nama djalanan di kota kota besar sebagi Batavia, Semarang dan Soerabaja, kita bisa katemoeken nama nama jang mengoendjoek bagaimana kota kota itu telah dibangoenken dengen bantoean tida sedikit dari tenaga Tionghoa. Seperti nama nama djalanan di Batavia : Toa -sai -bio, Pat - te -koan, Kongsi Besar, Tjap-go-keng, Dji -lak -keng dan laen laen lagi. Semarang ada Tjap -kau -king, Lengkong See-ong ( dari perkataan Tan Sing Ong ), Kali Ko -ping ( dari perkatahan Khouw Ping,namanja satoe soedagar Tionghoa jang besar pada 120 taon jang laloe )..dan masi ada lagi jang laen laen . Di mana mana ada tjap , "Tjina"........ salam hangat, beng mazmuri
From: Erik <rsn...@yahoo.com> Subject: [budaya_tionghua] Re: Mengapa Kata 'Cina' Tidak Pantas Digunakan? To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Friday, October 16, 2009, 3:50 PM Pendapat Bung Paulus ini pernah menjadi polemik antara blok Asimilasi vs blok Integrasi tempo doeloe. Apa yang dihayati bung Paulus itu persis sama dengan pandangan para penganut paham asimilasi, yakni etnisitas seorang anak manusia ditentukan semata-mata oleh tempat kelahiran (dan daerah menetap) belaka, tanpa harus memperdulikan latar belakang biologis, kultural serta asal-usul nenek moyang. Berhadap-hadapan dengan paham asimilasi adalah paham integrasi (yang diusung oleh Siaow Giok Tjan Cs), paham ini beranggapan selain tanah kelahiran, etnisitas seseorang masih ditentukan lagi oleh faktor lain, yakni latar belakang biologis, kultural, self-identification serta acceptability dari kelompok masyarakat seseorang mengidentifikasikan dirinya. Khusus untuk etnis Tionghoa yang merupakan bagian integral dari keseluruhan bangsa Indonesia, paham integrasi sangat menghargai hak mereka atas warisan budaya dan adat-istiadat, serta self identifikasi diri mereka sebagai etnis Tionghoa di Indonesia. Sama halnya dengan etnis atau suku-suku Jawa, Sunda dll yang lahir dan dibesarkan di Jakarta, mereka adalah orang Jakarta, namun sekaligus tetap berhak atas warisan budaya Jawa, Sunda dll, dan berhak pula mengidentifikasikan diri sebagai orang Jawa, Sunda dll. Demikian dari saya. Mudah-mudahan bisa diterima dan dimengerti. Terima kasih. Salam, Erik ------------ --------- --------- --------- --------- --------- - --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Paulus Tanuri wrote: Permisi..Gak pernah ikutan ribut disini. Sekali-sekali ikutan boleh yah. Saya gak suka dipanggil CINA, CHINA, ataupun TIONGHOA. Bukan karena merasa dihina, tapi saya merasa tidak diterima sebagai sesama Warga Negara Indonesia. Mengapa begitu? bukankah orang padang juga dipanggila PADANG, orang bugis dipanggil BUGIS, dan orang medan, sunda atau jawa juga banyak dipanggil dengan MEDAN, SUNDA dan atau JAWA. Secara sederhana saja, Padang, Bugis, Medan, Sunda dan Jawa adalah wilayah di dalam negara Indonesia. Saya lebih suka dipanggil Bangka, atau Medan atau kadang ada yang salah dikira dari Menado. Sedangkan CINA, CHINA, atau TIONGHOA bukanlah wilayah di dalam negara Indonesia. Jadi secara tidak langsung saya merasa tidak dianggap sebagai WNI. Tapi seakan masih dianggap orang luar, orang asing, bukan saudara sebangsa. Dan saya sangat amat tidak nyaman dengan itu. Itu saja. Lanjutkan.. > > > Regards, > Paulus T.