Da Epy dan Dunsanak Sadonyo nan Ambo hormati.
Mungkin karena pemahaman saya terbatas, saya belum menemukan adanya pengoperasian kereta wisata yang menguntungkan secara bisnis. Jangankan untung, untuk menutupi biaya operasinya pun lebih dari sulit. Ambil contoh Jaladara, rangkaian 2 gerbong kayu yang ditarik oleh lokomotif uap tertua yang beroperasi di Indonesia, C1218. Sejak Juli lalu saya "berburu" untuk bisa menikmati perjalanan pendek dari Stasiun Purwosari melalui Jalan Slamet Riyadi di Solo belum kesampaian. Rangkaian itu diistirahatkan "sementara", kecuali jika ada pesanan rombongan dengan tariff 20-30 juta per trip. Kereta wisata di Ambarawa pun tidak menguntungkan. Gerbong Wisata Nusantara dan 2 lainnya sepertinya menguntungkan, atau setidaknya menutupi biaya operasinya. Tetapi jangan lupa, Gerbong2 tersebut tidak beroperasi sendiri, tetapi "ditumpangkan" ke rangkaian kereta reguler. Di luar negeri juga begitu. Di Australia, hampir setiap states di pantai Barat dan Selatan memiliki preservasi keretaapi, entah itu hanya railway museum ataupun dengan keretanya yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Mereka juga merugi. DI Amerika Serikat dan Eropa pun begitu. Preservasi Kereta itu umumnya didanai oleh Railway Preservation Societies, Negara Bagian, ataupun pabrik yang bersangkutan (di Eropa). Kalaupun mereka menerima sponsorship, tetapi setahu saya tidak sampai "mengaburkan wajah asli" kereta apinya. Peran railway societies ini juga tampak di Indonesia. C1218 itu "diselamatkan" oleh pencinta kereta api, Anggota IRPS secra rutin membersihkan dan memperbaiki kereta2 uap di museum2. Sedangkan peran Pemda bisa dilihat di Sawahlunto, termasuk untuk "Mak Itam" E1060. Jalan keluar untuk mengkombinasikannya dengan peningkatan ekonomi masyarakat sepanjang jalan kereta, atau dengan menggunakan nama keren "multiplier effect"? Maaf, saya bukan ekonom dan juga merasa tidak berbakat belajar ekonomi (walaupun selama kuliah saya telah mengambil setidaknya 8 mata kuliah yang berjudul "ekonomi"). Tapi saya tidak menemukan "itung2an" nya kalau perkeretaapian Sumbar bisa dikekbangkan dengan mudah dan berdampak ke peningkatan ekonomi. Kalau misalnya perkeretaapian Sumbar bisa dikembangkan kembali untuk pengangkutan barang? Ya mungkin-mungkin saja, tapi itu tidak ada hubungannya dengan kereta wisata. (Terus terang, sampai sekarang saya masih bingung kenapa kereta Padang - Pariaman itu disebut kereta wisata) Jadi, menurut saya, tidak ada salahnya kalau kita juga realistis untuk tidak berharap atau teriming-iming bahwa pada saatnya nanti pengoperasian keretaapi di Sumbar akan menguntungkan, atau setidaknya dapat menanggung sendiri biaya operasinya. Lalu bagaimana jalan keluar pembiayaannya? Waktu awal2 diskusi perkerataapian di milis "Mak Itam" saya berpendapat, bahwa kita harus realistis mengatakan "ini adalah masalah kenangan". Dan jika isu itu yang diangkat, mungkin railway societies (mungkin MPKAS) bisa menyediakan/ mencarikan dana; dan kemudian yang paling diharapkan tentunya Pemda. Untuk ke Pemda tentu harus realistis juga dikatakan bahwa ini tidak akan menguntungkan secara financial, dan sulit mencari kaitannya dengan peningkatan ekonomi, tapi ini sejarah kita. Sumbar itu jaman Belanda keretaapinya Berjaya, Padangpanjang itu menjadi ramai -salah satunya- karena persimpangan jalan kereta. Berharap tunjangan finansial terus menerus dari PT KAI? Rasanya sulit, PT KAI itu - namanya PT - profit motive. Kalaupun dia juga mendapat penugasan dari Pemerintah untuk melaksanakan PSO, maka PSO nya adalah untuk transportasi, bukan pariwisata. Riri 48/L/bekasi -----Original Message----- From: rantaunet@googlegroups.com [mailto:rantau...@googlegroups.com] On Behalf Of bandarost Sent: Thursday, October 14, 2010 8:51 PM To: RantauNet Subject: Re: MOHON PENCERAHAN dari MPKAS/MAPPAS dan DUNSANAK SADONYO-Re: [...@ntau-net] Kaba seputar KA Wisata Singkarak Sanak sapalanta yang ambo hormati, Assalamu'alaikumWW, Pembahasan dengan topik kereta wisata Sumbar bagi saya merupakan wacana yang menarik, karena 'Kereta Wisata Sumbar' merupakan 'perkawinan' dari semangat dan tekad membangkitkan dunia wisata Sumbar dari keterpurukannya, tersedianya sarana & prasarana kereta api peninggalan Belanda dan Republik yang 'idle', serta organisasi PT KAI Divre II yang agak 'gemuk' (overstaffed) dibandingkan dengan operasional rieel mereka sehari-hari. Dari awal semua pihak menyadari sepenuhnya bahwa pengoperasiaan kereta wisata ini dari segi bisnis akan merugi, dengan tidak sebandingnya pemasukan dari penjualan karcis dengan biaya langsung operasional. Tingkat pengisian tempat duduk (occupancy rate) masih sangat rendah. Kondisi awal ini kemudian diatasi dengan asumsi bahwa dengan peningkatan pariwisata dari kabupaten yang diliwati kereta wisata ini, akan timbul 'intangible benefit' berupa kemaslahatan bagi masyarakat setempat, serta adanya peningkatan jumlah penumpang secara bertahap. Musyawarah diadakan dan keputusan diambil : kabupaten yang dilalui kereta wisata akan mensubsidi biaya operasi sampai tercapainya BEP. Disinilah saya kira penyakit pertama khas Indonesia terjadi, yaitu bahwa kalau keputusan penting sudah diambil, maka dia pasti akan berjalan dengan sendirinya. Tidak perlu pemantauan (monitoring), tidak perlu pengendalian (kontrol). Malahan mungkin tidak pula ada 'rencana kerja' yang memadai yang akan dijadikan tolok ukur dalam memantau dan mengendalikan. Apa yang terjadi ? Tampaknya Kabupaten yang diliwati kereta wisata tidak merasakan adanya 'intangible benefit' tadi. PAD mereka tetap 'ngap2an'. PT KAI Divre II tetap pusing 7 keliling dengan biaya rutin mereka yang tidak sebanding dengan pemasukan pengoperasian dan pendapatan lain2 (penyewaan gedung, dll) dan wisatawan berkantung padat yang jadi sasaran tampaknya juga sangat terbatas. PT KAI adalah suatu badan usaha yang tentunya salah satu tujuannya mencari keuntungan. Adakah upaya untuk melangsingkan organisasi guna menyesuaikannya dengan lingkup operasi yang ada (yang sangat terbatas itu) ? Adakah upaya maksimal untuk memanfaatkan secara bisnis yang baik semua asset yang mereka miliki (asset mereka sangat luar biasa nilainya) ? Contohnya kerja sama dengan swasta untuk angkutan barang seperti kata sanak Anzori diatas umpamanya. Sudahkah azas2 bisnis & management yang baik diterapkan di badan usaha milik negara ini (yang biasanya beda dengan swasta murni, ada nggak ada pendapatan toch gaji dibayar terus). Secara teknis, yang paling jelas biaya pemeliharaan rutin dan periodik serta biaya perbaikan dan rekonstruksi konstruksi jalan kereta api tergolong tidak murah. Lapisan ballast (kerikil) secara periodik harus 'dilonggar'kan, inspeksi sarana & prasaran dijalankan secara ketat, baut rel dan jembatan harus dikencangkan secara berkala, dan kelurusan atau kelengkungan rel harus selalu diperiksa dan dikoreksi. Keamanan pada perlintasan dengan jalan raya atau di daerah pemukiman harus diawasi ketat. Bagaimana kalau dalam kondisi minim biaya segalanya ini, kereta api tetap harus dijalankan karena adanya keputusan politis dari gubernur, bupati, atau presiden RI sekalipun, dengan dalih apapun ? Dari waktu ke waktu media mewartakan kecelakaan kereta api diberbagai penjuru dunia dan terutama di negara kita sendiri. Kecelakaan biasanya bersifat fatal. Banyak yang disebabkan 'human error' yang sepele : pintu kereta yang lupa ditutup, sinyal yang tidak kelihatan, 2 kereta bergerak dalam satu jalur lintasan, dll, dll. Banyak aspek teknis dan non teknis harus dikaji ulang, tidak cukup hanya dikomunikasikan. Kesalahan menurut saya bukan hanya sekadar pada laporan keuangan dari pihak PT KAI yang tidak diajukan ke pihak Kabupaten. Menyangkut subsidi, sebagai orang yang bergelimang di dunia bisnis, saya sulit menangkap skenario bahwa kabupaten mensubsidi operasional kereta wisata yang membawa wisatawan, dengan dalih wisatawan juga memberi keuntungan pada kabupaten yang bersangkutan. Wisatawan disubsidi pemda ? Saya dapat memahami kewajiban sosial PT KAI dalam mensubsisi angkutan umum masyarakat golongan bawah. Wisatawan ? Apalagi yang berkantong tebal ? Kesimpulannya bagi saya : kita sebaiknya tidak perlu meradang kalau kereta wisata ini ternyata harus dihentikan dulu karena alasan finansial, yang berpotensi pada pengabaian pemeliharaan dan perbaikan sarana& prasarana, serta bangunan pelengkapnya. Lebih baik memang dilakukan evaluasi secara profesional dan 'business like'. Kestabilan lereng perbukitan Anai (dan lereng2 lainnya di Sumbar) belum meyakinkan keamanannya, kepala jembatan (abutment) perlu diteliti ulang menyangkut kestabilan dan ancaman erosi sungai, ballast di bawah rel rasanya sudah perlu dilonggarkan untuk kelancaran drainase dan peredaman getaran, kelurusan dan radius lengkung rel perlu diperiksa. Semuanya sesuai dengan tradisi kerja di lingkungan kereta api di seluruh dunia yang amat mementingkan faktor keselamatan. Permasalahan dengan komplikasi tinggi seperti ini tampaknya tidak dapat diselesaikan secara sederhana. PT KAI dimana-mana punya masalah finansial. Kereta Parahyangan yang terkenal itu saja harus dihentikan operasionalnya. PT KAI Divre II Sumbar rasa saya posisinya lebih dilematis lagi. Nggak percaya....? hayoo sama2 kita amati nanti....... Maaf & wassalam, Epy Buchari L-67, Ciputat Timur -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.