CiKEAS HAM Melindungi Umat Islam Untuk Menyembah Bukan Cuma Allah !!!
HAM Melindungi Umat Islam Untuk Menyembah Bukan Cuma Allah !!! Kalo anda beragama Islam tentunya tahu kewajiban berbohong dalam mengucapkan kalimat Syahadat yang bersaksi untuk hal2 yang tidak pernah disaksikannya. Salah satu inti dalam kalimat Syahadat adalah kewajiban menyembah hanya Allah dan melarang menyembah apapun lainnya. Artinya tidak boleh mempersekutukan Allah. Siapapun yang mempersekutukan Allah, halal dibunuh. Berlawanan dengan HAM yang melindungi setiap umat termasuk umat Islam yang ingin menyembah Allah beserta patung dewa2 lainnya juga dilindungi dan tidak boleh dihukum. Setiap orang atau umat dilindungi haknya untuk memilih patung maupun Allah yang dipercayanya. HAM menghargai dan melindungi secara mutlak keyakinan setiap umat yang mau mempersekutukan Allahnya dengan patung berhala apapun. Hal2 yang menyangkut HAM inilah yang patut dipelajari, dipahami, maupun dipraktekan umat Islam dalam mensosialisasikan agamanya. Pelanggaran2 HAM yang dilakukan umat Islam akibat ajaran2 sesat dan biadab yang tertulis dalam AlQuran harus dihentikan. Sosialisasi HAM dikalangan umat Islam adalah keharusan untuk menghilangkan sikap dan tindakan2 umatnya yang secara biadab membunuhi umat lainnya dan juga sesama umatnya sendiri. dandy koswaraputra [EMAIL PROTECTED] wrote: Setahu saya, pelanggaran HAM adalah kekerasan struktural yang dilakukan oleh aparat negara yang dilakukan atas dasar kebijakan negara. Sesuai dengan istilahnya, HAM = Hak Azasi Manusia. Hak Azasi Manusia perdefinisi adalah hak setiap manusia untuk memiliki, menikmati, dan melakukan tindakan2 secara bebas menurut kemauannya sepanjang tidak menyentuh maupun mengganggu kebebasan orang lain atau pihak lainnya. Dalam hal ini bisa menyangkut pemerintah maupun masing2 pribadi. Secara pribadi, seseorang bisa mengganggu HAM pribadi lainnya dalam hal ini tidak perlu harus jadi pejabat, penguasa, polisi atau militer lebih dulu untuk melakukan pelanggaran HAM. Jadi: 1. DOM di Aceh adalah pelanggaran HAM Salah, DOM-nya itu sendiri merupakan operasi militer yang bukan bersifat pribadi. Dalam hal operasi militer tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM karena operasi militer adalah response dari kekerasan yang dilakukan para perusuh diwilayah tsb. Namun kalo operasi militer ini berekses kepada penduduk yang tidak terkait dengan kerusuhan itu juga menjadi korban2 yang disengaja, maka operasi militer ini bisa dituduh juga melakukan pelanggaran HAM. 2. Fatwa pemerintah Iran atas Salman Rusdie juga pelanggaran HAM Betul, karena fatwa sepeti ini memberangus pendapat seorang pengarang yang tidak menyentuh pribadi siapapun juga. Kalo ada pendapat yang anda tidak setuju, maka lawanlah dengan pendapat yang bisa menyanggahnya bukan malah membunuhnya. 3. Ekses korban pembunuhan di Irak oleh tentara Amerika adalah pelanggaran HAM Salah, perang selalu mengakibatkan korban2 yang terbunuh. Namun perang itu sendiri bukanlah pelanggaran HAM karena tugas tentara memang membunuh. Itulah sebabnya ada aturan perang bahwa sebelum perang harus dilakukan pernyataan perang. Amerika sudah melakukan pernyataan perang terhadap Sadam Hussein. Kalo tentara Amerika tidak membunuh tentunya mereka yang dibunuh, hal ini bukan merupakan pelanggaran HAM karena kedua belah pihak melakukan hal yang sama. Yang bukan pelanggaran HAM adalah: 1. Tentara meninju seorang lelaki karena pacarnya digoda lelaki itu Masih memungkinkan, tetapi kalo memang pacarnya yang memang naksir kepada penggodanya, maka tentara yang meninju itu bisa dianggap melanggar HAM. Setiap wanita punya hak untuk berpacaran dengan siapapun dan yang merasa jadi pacarnya tidak punya hak untuk melarangnya. Kalo anda tidak suka pacar anda berpacaran dengan yang lainnya, sebaiknya anda jangan berpacaran dengan wanita ini. 2. Polisi tembak istrinya yang selingkuh Salah. Selingkuh juga merupakan hak azasi, dan polisi yang jadi suaminya tidak berhak menembaknya, sang suami hanya berhak menceraikan tapi tidak berhak menembaknya. 3. Saya menampar anda dan memaki anda Salah, menampar siapapun merupakan pelanggaran HAM, karena anda tidak berhak menampar siapapun dengan alasan apapun. Jadi perbuatan terror Abu Dujana juga bukan pelanggaran HAM tetapi KRIMINAL BERAT murni. Karena Abu Dujana bukan representasi dari institusi negara. Semua bentuk teror adalah pelanggaran HAM, apalagi Abu Dujana melakukannya untuk mempropagandakan agama Islam untuk dipaksakan kepada yang bukan Islam. Syariah Islam adalah satu contoh yang paling jelas sebagai ajaran yang melanggar HAM, karena dalam HAM ada kewajiban melindungi setiap manusia tanpa membedakan agamanya. Syariah Islam justru hanya melindungi umat Islam dan mewajibkan memusnahkan semua yang menolak menyembah Allah dan beriman kepada Islam. Juga Syariah Islam mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan kewajiban2 agamanya sesuai yang mereka tentukan yang dalah hal ini kewajiban2 agama diseragamkan sesuai dengan mereka
CiKEAS Re: Terima Kasih Atas Dukungan Moril Sdr.....
--- In CIKEAS@yahoogroups.com, Hafsah Salim [EMAIL PROTECTED] wrote: Secara mayoritas, masyarakat Islam di Indonesia akan berkata: ISLAM YES, SYARIAH ISLAM NO !!! Ny. Muslim binti Muskitawati. - Yes, yah, Ys!! Btw, does it make any real difference somehow? Where? How? Why? dll! Or , is it simply another way of putting a contradictio in termini?
CiKEAS Pelacur Ngaku Dosen
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=177556 SENGGANG Dina Olivia Pelacur Ngaku Dosen Sabtu, 14 Juli 2007 Dalam acara temu penggemar yang berlangsung di Jakarta kemarin, gadis ini mengaku setiap main film atau sinetron selalu memberikan pengalaman mengharukan bagi dirinya. Bahkan ada satu pengalaman yang tak mungkin terlupakan, yakni saat membintangi film Mengejar Mas-Mas yang syutingnya di Yogyakarta. Dalam film terbaruku itu aku memerankan sosok Ningsih, wanita Jawa yang tiap berbicara dialeg Jawanya medok banget. Dan yang bikin heboh, Ningsih itu pelacur kelas murahan, tapi ngaku dosen ha ha ha.., ujar Dina, terkekeh-kekeh. Dalam film itu diceritakan, suatu hari ibu-ibu di lingkungan kosku di daerah Pasar Kembang, Yogya, marah begitu mengetahui aku pelacur. Apalagi malam itu aku nginep dengan suami orang. Mereka kemudian menghajar aku, menendang, rambutku dijambak. Aku bahkan diseret rame-rame di jalan berbatu. Wuih, sulit banget melupakan kenangan itu. Meski hanya dalam syuting film, badanku benar-benar terasa bonyok, kata artis kelahiran Jakarta, 8 Februari 1983 ini. Mesti begitu, dia tak menyesal kerja ekstra, karena di setiap film yang dibintanginya dia memang ingin meraih sukses. Karena itu, dia tak pernah tampil setengah-setengah dalam berakting. Wajar pula bila dia ingin film terbarunya itu memberinya Piala Citra jika diikutkan dalam FFI 2007. Pada tahun 2005, saat membintangi sinetron Bunda, permainan total Dina mampu mengantar dirinya meraih gelar sebagai artis terbaik dan berhak meraih Piala Vidya. (Ami Herman [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Penyederhanaan Partai, Agenda Reformasi
SUARA KARYA Dosen FISIP Universitas Airlangga Dr Daniel Sparingga: Penyederhanaan Partai, Agenda Reformasi Sabtu, 14 Juli 2007 Indonesia memerlukan suatu sistem demokrasi yang kuat dan kokoh. Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah melakukan penyederhanaan partai-partai agar bisa lebih artikulatif dalam menjalankan fungsi-fungsi demokrasinya. Saat ini, partai-partai besar yang ada saja terus menuai kritik menyangkut tidak artikulatifnya mereka terhadap aspirasi konstituen. Sejak reformasi, politik Indonesia relatif tak stabil. Bahkan pemerintahan SBY-JK pun tak mampu menjalankan amanat dengan tenang. Walau tak dijatuhkan seperti BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid, toh ia tak mudah memerintah. Ini karena suara mereka di parlemen (gabungan kursi Golkar dan Demokrat) tak mencukupi. Hal serupa pernah menimpa Megawati-Hamzah (PDIP-PPP). Mereka harus mengakomodasi partai-partai lain. Gambaran serupa juga dihadapi para gubernur, bupati, dan wali kota. Ini semua karena distribusi suara relatif tersebar. Karena itu, penyederhanaan partai merupakan salah satu agenda reformasi untuk membangun sistem politik yang kokoh. Jika polarisasi distribusi suara yang menyebar ini tak kunjung mendapat jalan untuk disederhanakan, maka demokrasi di Indonesia menjadi jalan di tempat. Bagi sebagian pihak yang tak sabar dan tak mampu berpikir rumit, maka jalan paling mudah adalah melakukan pembatasan yang pada batas tertentu bisa menjadi pengekangan. Padahal, salah satu nikmat demokrasi adalah kebebasan. Sehingga, sejumlah syarat dalam demokrasi tak ditujukan untuk menghalangi kebebasan, tapi lebih diarahkan pada membangun ketertiban. Patut dipahami bahwa UU Pemilu yang menetapkan persayaratan 3 persen selain sesuai dengan prinsip-prinsip efisiensi dan rasionalisme, juga didasarkan pada aspirasi yang hidup di dalam masyarakat. Karena itu, proses penyederhanaan tersebut dapat dikategorikan sebagai seleksi alamiah. Namun sangat disayangkan, struktur berpikir sejumlah elite bangsa ini masih cenderung politics oriented ketimbang membangun ekonomi. Struktur berpikir seperti ini tidak akan dapat membawa bangsa ke dalam pemulihan ekonomi, ujar Daniel Sparingga kepada Suara Karya, Kamis (12/7), di Jakarta. Berikut petikan wawancara wartawan Suara Karya Muhamad Kardeni dan fotografer Hedi Suryono dengan dosen FISIP Universitas Airlangga Dr Daniel Sparingga: Bagaimana Anda melihat perkembangan partai politik di Indonesia saat ini? Begini, waktu kita mendorong agar terjadinya perubahan di negeri ini pada tahun 1998, pikiran atau gagasan yang memenuhi pikiran kita adalah terwujudnya pemilihan umum (pemilu) yang demokratis. Pikiran itu sekaligus menunjukkan bahwa yang kita asumsikan sebagai yang terpenting dalam transisi demokrasi adalah hadirnya pemilu yang jujur, adil, dan bebas. Orang mengira pemilu yang jujur, adil, dan bebas itu dengan sendirinya akan membuka jalan bagi transisi demokrasi yang stabil. Namun, yang tidak terlampau banyak dikembangkan sebagai gagasan pada saat itu adalah bahwa transisi demokrasi tidak hanya membutuhkan pemilu yang bebas, tapi juga partai-partai politik yang ditandai dengan adanya partai-partai politik yang mengakar dan memiliki basis massa yang kuat, dan itu yang sampai saat ini kita tidak punya. Selain pemilu yang demokratis dan parpol yang mengakar, apalagi yang dibutuhkan dalam transisi demokrasi? Selain itu, yang dibutuhkan dalam transisi demokrasi adalah parlemen yang efektif. Jadi, partai politik yang fungsional dan parlemen yang efektif. Dua-duanya saat ini itu tidak terjadi. Bahkan dalam urusan parlemen, yang menarik justru ketika ada pemilu yang jujur dan adil malah terjadi representasi (keterwakilan-Red) yang menurun. Maksudnya? Ada wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat secara bebas, tapi rakyat pada saat itu tidak terwakili aspirasinya. Yang mau saya katakan adalah, memang kita berhasil membangun suatu tradisi baru yang hebat, yakni pemilu yang jujur, adil, dan terbuka. Tetapi kita tidak terlalu siap menghadapi situasi baru itu. Bagaimana tanggapan Anda dengan banyaknya partai politik saat ini? Kita masih melihat begitu banyak orang berkehendak untuk mendirikan partai politik baru, supaya bisa ikut ke pemilu. Yang kita pikirkan sekarang, di satu pihak ada ruang untuk munculnya partai-partai politik alternatif, tapi di sisi lain kita juga harus menciptakan mekanisme yang sehat, yang memungkinkan parpol-parpol yang ikut pemilu sungguh memiliki akar yang kuat di masyarakat. Artinya, undang-undang partai politik yang saat ini sedang dibahas di DPR sebaiknya memberikan keleluasaan yang cukup untuk setiap warga negara untuk mendirikan partai politik. Namun,
CiKEAS Gelar Ajaib Borobudur Dicabut Karena Patung2 Dihancurkan Umat Islam !
Gelar Ajaib Borobudur Dicabut Karena Patung2 Dihancurkan Umat Islam ! Dampak daripada ditariknya pengakuan Internasional terhadap pengakuan Candi Borobudur yang sebelumnya dianggap sebagai keajaiban dunia, bukanlah cuma semata masalah kebanggaan nasional tetapi juga merupakan pemangkasan bantuan dunia terhadap candi Borobudur itu sendiri yang dulunya mendapatkan sumbangan biaya maintenance sebesar $6 juta setahun. Disamping pemerintah RI dan PemDa Jateng kehilangan pemasukan dana, juga ditambah lagi dengan berkurangnya jumlah kunjungan turis2 asing yang sebelumnya membanjiri Candi Borobudur untuk menyaksikan satu dari keajaiban dunia ini. Mana mungkin sebuah peninggalan sejarah yang semula dianggap sebagai keajaiban dunia mendadak bisa berubah se-olah2 bukan lagi sebagai keajaiban Tetapi ini adalah kenyataan, kenyataan bahwa memang candi Borobudur sebelumnya merupakan keajaiban, namun karena dihancurkannya patung2 Buddha sehingga berulangkali dipugar sehingga tidak aseli lagi, namun yang tidak aseli inipun kemudian dihancurkan lagi oleh penduduk yang beragama Islam yang tinggal disekitarnya. Wajar kalo Candi Borobudur akhirnya kehilangan keajaibannya bersama hilangnya patung2 maupun bagian2 candi yang sesungguhnya aneh dan ajaib. Ajaran Islam melarang pembuatan, penyimpanan, maupun memelihara patung2 apapun juga, apalagi sampai menyembahnya. Bahkan dalam ayat2 AlQuran setiap umat Islam diwajibkan menghancurkan patung2 berhala. Jadi bisa anda bayangkan sendiri bagaimana nasib patung2 Buddha di Candi Borobudur dan sekitarnya dimana penduduknya 90% beragama Islam. Dunia Internasional merasa dikecewakan, merasa ditipu oleh pemerintah RI yang berjanji akan menggunakan dana yang disumbangkan itu untuk pemeliharaan Candi Borobudur sedangkan realitasnya justru Candi ajaib ini malah dihancurkan melalui perintah fatwa organisasi MUI yang juga merupakan lembaga negara. Satu2nya cara untuk menghentikan bantuan dana ini adalah dengan mencabut status Candi Borobudur sebagai satu dari keajaiban dunia. Pencabutan status ini seharusnya menyadarkan pemerintah RI tentang pentingnya menghukum setiap umat Islam yang melakukan perusakan atau penghancuran terhadap semua patung2 berhala. Adalah tugas pemerintah untuk mensosialisasikan bahwa ajaran AlQuran yang mewajibkan penghancuran patung2 berhala adalah salah, dan dilarang melalui hukum dan UU RI yang berlaku. Namun kenyataannya, pemerintah RI bukan menyadarinya, melainkan secara ter-buru2 melakukan penanda tanganan MoU untuk membentuk Sister Temple dengan pihak Kamboja dengan harapan status Candi Borobudur bisa dikembalikan menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia seperti sebelumnya. Tentu saja harapan itu merupakan harapan konyol yang tidak mungkin bisa terwujud dan kalo saja ketua komisi B DPRD Jateng Agna Susila mau menyadarinya, seharusnya meminta bantuan pemerintah pusat untuk menindak semua umat Islam maupun organisasi2 Islam yang mendalangi perusakan itu untuk ditangkap, diadili, dan dihukum dengan tegas untuk perbuatan perusakan komponent2 milik Candi ajaib ini. Memorandum of Understanding apa yang bisa dipahami oleh umat Buddha di Kamboja yang mensucikan candi2 mereka dibandingkan umat Islam di Indonesia yang justru mengharamkan candi2 mereka sendiri idiot bukan Tujuan MoU sister Temple Borobudur dengan Candi Siem Reap di Kamboja hanyalah akal2an untuk menipu dunia Internasional untuk kembali mengalirkan dana mereka kepada Candi Borobudur yang ditanah airnya sendiri diharamkan. Kebiasaan menipu pemerintah RI ini tidak bisa dipraktekan kepada dunia diluar Indonesia. Islam dan ajaran2nya maupun para ulamanya hanya bisa berhasil menipu dan membohongi sesama umatnya sendiri atau sesama bangsanya sendiri dan jangan harap kebohongan2 dan penipuan2 seperti ini bisa sukses dilakukan kepada umat agama diluar Islam. Umat Islam memang sudah biasa hidup dalam kebohongan2 agamanya, berbeda tentunya dengan umat diluar Islam. Berita dari Suara Merdeka dibawah ini melaporkan: http://www.suaramerdeka.com/ Semarang, CyberNews. Direncanakan pada bulan Agustus dilaksanakan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pembentukan Sister Temple Province antara Pemprov Jateng dengan Provinsi Siem Reap, Kamboja. Ketua Komisi B DPRD Jateng Agna Susila berharap realisasi itu akan kembali mengorbitkan Candi Borobudur setelah tidak tercatat sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru. ''Tidak tercatatnya candi tersebut sangat memprihatinkan. Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah untuk mengorbitkan kembali warisan budaya itu. Salah satu caranya dengan segera menindaklanjuti letter of intens (LoI) yang sudah dilakukan Pemprov Jateng dengan pemerintah provinsi Siem Reap beberapa waktu lalu,'' katanya, Sabtu. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS Ibu Bermata Satu Dipaksa Mati Seperti Matinya Penyembah Berhala !
Ibu Bermata Satu Dipaksa Mati Seperti Matinya Penyembah Berhala ! ainal qalby [EMAIL PROTECTED] wrote: KISAH SEORANG IBU BERMATA SATU Jadi kemudian aku katakan pada ibuku, Ma¡¦ kenapa engkau hanya memiliki satu mata?! Kalau engkau hanya ingin aku menjadi bahan ejekan orang-orang , kenapa engkau tidak segera mati saja?!!! ? Inilah salah satu kebiadaban ajaran Islam, bukan cuma ibunya saja yang disuruh mati hanya karena memilik mata satu, tetapi juga para penyembah berhala dipaksa mati hanya karena mereka menyembah berhala dan menolak menyembah Allah. Sang ibu yang cuma bermata satu nangis bersedih, tapi mana yang lebih sedih dibandingkan anak2 penyembah berhala yang orang tuanya dibantai oleh umat penyembah Allah ??? Anak2 penyembah berhala diejek, di-olok2, bahkan disiksa sampai mati se-mata2 untuk memaksa para penyembah berhala lainnya mau menghancurkan patung2 berhalanya dan menyembah Allah umat Islam. Untung, peradaban dunia sekarang justru mengutuk ajaran Islam yang mem-beda2kan manusia atas dasar kepercayaan agamanya. Dunia sekarang memiliki HAM dan Demokrasi yang menjamin perlindungan yang sama antara para penyembah berhala dan para penyembah Allah. Kalo ajaran Islam mengukur derajad dan martabat manusia dari agama yang dianutnya dimana umat Islam adalah umat yang berderajat dan bermartabat yang paling tinggi dalam alam semesta ini, maka para penyembah berhala merupakan mahluk yang lebih rendah derajat dan martabatnya daripada binatang dan halal darahnya ditumpahkan. Sebaliknya HAM dalam Demokrasi menetapkan derajad dan martabat yang sama antara penyembah berhala dan penyembah Allah. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS Who killed Ashraf Marwan?
http://www.iht.com/articles/2007/07/13/opinion/edblum.php Who killed Ashraf Marwan? By Howard Blum Friday, July 13, 2007 LONDON: The billionaire's body tumbled over the railing of his apartment's fourth-floor balcony and landed hard on the London sidewalk. And like so much in the complicated life of Ashraf Marwan - a 62-year-old Egyptian who had been the most effective spy in the history of the Middle East - the mysterious circumstances of his death two weeks ago provoked further speculation. As Scotland Yard investigates the suspicious fall, and as newspapers and bloggers throughout the world wonder whether any of several intelligence services played a role in his death, a debate continues over whether Marwan was a well-connected and resourceful Israeli spy or a brilliantly manipulative Egyptian double agent. Marwan's death has also brought a new and chilling significance to a long-running legal battle in Israel involving the unauthorized leaking of his name to journalists. And in the aftermath of the discovery of his broken body on a sidewalk in the St. James neighborhood on June 27, I cannot help but wonder if I had a small part in the events that led to Ashraf Marwan's death. Marwan's story - a tale overflowing with the suspense and ruthless duplicity of a spy novel - began to take shape in the spring of 1969. He had come to London, ostensibly to consult a Harley Street doctor about a stomach ailment. He chose to be examined by a doctor whose offices had been used previously for a covert meeting between King Hussein of Jordan and the general director of the Israeli prime minister's office. Along with his X-rays, Marwan handed the doctor a file crammed with official Egyptian state documents. He wanted them delivered to the Israeli Embassy in London. The Mossad, the Israeli intelligence service, determined the documents to be genuine. Still, a rapidly formed working group of Mossad wise men debated the risk in dealing with a walk-in, a volunteer who shows up bearing gifts. If he's not a double - an agent spreading disinformation - then he's uncontrollable. It was decided, however, that this walk-in's credentials were worth the gamble. Marwan, the excited vetters discovered, was married to a daughter of Egypt's president, Gamal Abdel Nasser. He was also Nasser's liaison to the intelligence services. Not even 30, he was an intimate of the leaders who determined Egypt's future. Three days after meeting with the doctor, Marwan was contacted by the Mossad as he walked through Harrods, the London department store. His operational life as a spy began. From the start, Marwan delivered. He yielded so many top secret Egyptian documents it was as if, as one Mossad agent put it, we had someone sleeping in Nasser's bed. Based on this trove of secrets, Israel developed what became an article of faith for the nation's political and military leaders: the Concept. With biblical certainty, the Concept held that until 1) Egypt possessed missiles and long-range bombers and 2) the Arab states united in a genuine coalition, a new war with Israel would not take place. Running the agent, who was given code names including Angel, Babylon and most frequently the In-Law, grew into a small industry. For face-to-face meetings with his handler and often the head of the Mossad, a safe house was purchased in London not far from the Dorchester Hotel. It was wired to record every conversation, every aside. A special team of clerks turned the tapes into transcripts for the prime minister, the army chief of staff and a handful of other top Israeli officials. Marwan received £50,000 at each meeting, but this was only a minor expense compared to the estimated $20 million spent over the first four years of Marwan's operational life. Israel's leaders felt this was money well spent: They knew what their enemies were thinking. Then in April 1973, the In-Law sent a flash message to his case agent using the word radish. This was the code for an imminent war. Zvi Zamir, the head of the Mossad, rushed from Tel Aviv to the London safe house. The In-Law revealed that on May 15, Egypt and Syria would launch a surprise attack. Israel called up tens of thousands of reservists and deployed additional brigades and support equipment in the Sinai and the north. The alert dragged on for three months and cost $35 million. But it was a false alarm. The In-Law had been wrong. Six months later, on Oct. 5, 1973, the In-Law sent another flash message with the code word radish. Zamir was awoken at 2:30 a.m. with the news. The next morning, he took the first El Al flight to London. Syria was massing tanks and missiles in the north. Egypt was conducting military maneuvers near the Suez Canal. Russia had begun evacuating families from the region. Yet that afternoon General Eli Zeira, the head of Israeli military intelligence, announced at a staff meeting that a coordinated attack by Egypt
CiKEAS Tentara Amerika Di Irak Untuk Kepentingan Arab Sunni ???
Tentara Amerika Di Irak Untuk Kepentingan Arab Sunni ??? Bersamaan dengan penilaian Kongres mengenai kegagalan pemerintah Irak untuk menegakkan negara Demokrasi yang melindungi HAM, wajar bahwa tentara Amerika seharusnya ditarik pulang, karena tugasnya sudah selesai. Target utama penyerangan ke Irak adalah menjatuhkan rezim Sadam Hussein yang telah secara systematik melakukan genocide terhadap umat Shia yang mayoritas maupun umat Islam Kurdi yang beraliran Sunni. Target kedua penyerangan ke Irak adalah untuk memusnahkan senjata2 pemusnah massal yang dimiliki Sadam Hussein, namun target ini gagal dicapai, karena hanya sebagian kecil saja senjata2 tsb ditemukan yang tidak merupakan target yang diharapkan sehingga target kedua ini juga dinyatakan sebagai gagal. Meskipun Rezim Sadam Hussein menyatakan pemerintahannya sebagai sekuler yang tidak berpihak kepada agama manapun juga, namun pada kenyataannya sama seperti Indonesia yang secara diam2 menegakkan Syariah Islam dari aliran Islam yang berkuasa. Kalo di Indonesia aliran Islam yang berkuasa itu adalah mayoritas, berbeda dengan di Irak, aliran Islam Sadam Hussein yang berkuasa adalah ISLAM BAATH yang juga berasal dari aliran Sunni yang secara systematik melakukan pemusnahan terhadap Kurdi dan Shia. Dilain pihak Islam Baath juga memusuhi Islam Wahabi dari Arab Saudia. Setelah kedua target utama selesai dilaksanakan seharusnya tentara Amerika ditarik mundur. Namun Bush merasa tanggung jawab moral terhadap rakyat Irak menganggap pentingnya mendirikan negara yang benar2 Demokratis yang melindungi HAM setiap rakyatnya. Pemerintahannya sudah berdiri, dan semua aliran yang saling bertentangan bisa dipaksa duduk bersama dengan kekuatan militer, namun kita sama2 tahu, BAHWA AJARAN ISLAM HANYA MENGAKUI SATU ISLAM TIDAK ADA ISLAM LAINNYA YANG BISA DIAKUI DIBAWAH SATU ATAP KEKUASAAN. Demikianlah, diluar kelihatannya semua bisa duduk dalam satu kabinet, namun kenyataannya mereka saling sikut, terutama umat Shia yang merasa harus atau wajib membalas dendam yang secara diam2 melakukan serangan massal menjagal ribuan orang2 Sunni yang kemudian dibalas oleh orang2 Sunni sehingga akhirnya pecah perang terbuka dan wakil Sunni di senat dan kabinet Irak menarik diri dan menyatakan perang jihad. Kegagalan pemerintah Irak untuk menegakkan Demokrasi dan melindungi HAM di Irak bukanlah tanggung jawab tentara Amerika, dan tidak perlu dicegah apabila kaum Shia ingin membalas dendam karena apa yang dilakukan Sadam Hussein kepada umat Shia sudah sepantasnya dibayar lunas sekarang oleh bekas korban2nya dulu. Dan hal inilah merupakan hukum Islam yang meskipun biadab dalam pandangan peradaban kita sekarang ini tapi hal yang begitulah yang merupakan pilihan umat yang beriman karena mereka merasa akan masuk kesorga dengan penyuh pahala dalam mengemban tugasnya dalam membunuh dan dibunuh. Kongres Amerika baru beberapa jam yang lalu melalui CNN sangat berang kepada Presiden Bush sewaktu laporan CIA masuk ke kongres yang menyatakan bahwa kepolisian dan militer pemerintah Irak sudah disusupi oleh komando jihad dari Iran. Laporan yang terperinci melaporkan bahwa pemerintah Iran sudah siap masuk ke Irak untuk mengambil alih kekuasaan di Irak keseluruhannya, semua institusi2 di Irak sudah lebih dari 80% katanya sudah disusupi oleh Iran. Bahkan baru2 ini ada bomb bunuh diri yang telah mengambil beberapa korban tentara Amerika, ternyata pelaku pembomban bunuh diri ini berasal dari markas kepolisian. Hubungan pribadi antara Bush dan keluarga Raja Arab Saudia begitu rapatnya yang dalam hal ini bisa meracuni kebijaksanaan Amerika dalam melindungi kepentingan Sunni untuk bertahan dan tetap eksist di Irak. Pertanyaan muncul dalam masyarakat Amerika, apakah tentara Amerika dipertahankan di Irak se-mata2 untuk melindungi minoritas Syiah atas pesanan Raja Arab Saudia Kongres Amerika sendiri sudah menyatakan bahwa kepentingan Amerika di Irak sudah selesai, andaikatapun Iran nantinya mengambil alih Irak tentunya tugas pemerintah Irak sekarang ini yang harus menanganinya, dan andaikata pemerintah Irak yang keseluruhannya juga berasal dari Islam Shia bersedia untuk bergabung dengan Iran, maka hal itu cukup kita amati agar peralihan itu tidak terlalu memakan banyak korban, apalagi umat Sunni hanyalah minoritas sehingga mereka hanya cukup diberi pilihan untuk pindah menjadi penganut Shia atau memilih dijagal sebagai umat Sunni, karena Islam tidak bisa mengenal dua aliran Islam. Apapun yang terjadi di Irak nantinya pasti juga berpengaruh ke Indonesia, revolusi kaum Syiah sudah siap untuk memulainya di Indonesia. Hanya Arab Saudia saja yang menyaksikannya dengan penuh kekuatiran, namun apalah urusannya dengan kita Sekali Irak jatuh ketangan Iran, maka bisa dipastikan Islam syiah akan menjadi Islam mayoritas yang menggantikan posisi Islam Sunni dipermukaan bumi ini. Dunia yang bukan Islam tak perlu menguatirkannya karena semua terorist Jihad Islam yang merajalela dimuka bumi ini 100%
CiKEAS NKRI HARGA MATI, ADA JAMINANNYAH ENGGAK?
NAKRI HARGA MATI, MANA JAMINANNYAH? DAKU NIMBRUNGIN MISTER AMBON, 14 july 2007,sebtu kelabu, Daku nimbrungin tunglisan mister Ambon, dengen masupan, kisah nyata. Kutika daku bertemu Papuan suku Dani, Yang namanyah Peter Wanma, orangnyah gagah bengsar. Diah belajar di Jawa, dan tamtu hajah, BISAK MENGLIAT HASIL JARAHAN PARA JAWA DI PAPUAN BEGITUH KENTARA. Paling enggak menungrut TUDINGANNYAH. Sakhingga diah bilang..KAMI DULU PERNAH BERONTAK, dan mungkin bakalan berontak lagih, KERANA SI JAWA PENJAJAH INIH, CUMAN MENGHISEP KEKAYAAN NAGARI PAPUAN HAJAH. Tatapi kidupan bangsa papuan kami.. TETEP AJAH KOTEKA-AN, nkri harga mati, ada jaminannyah enggak? MANGKA KAMI BENER BENER MERANGSA SANGKIT ATIH, MERANGSA DIJAHATIN SAMA PARA JAWA ITUH??? heheheh..bukankah Sundel Sunda Gigin Ginan kurang ajar ituh, YANG PERNAH MENGGADAEKEN GUNUNG EMAS PAPUAN ATAS TITAH TIRAN JAWAH JUGAK nah..jadi pantes pantes hajah..jingkalao PERLAKUAN ENGGAK ADIL, TERUS DIJALANKEN, MANGKA KURIDHOIN kehendak bangsa papuan, manadoh buat HENGKANG DARI KUMPULAN PARA JAWARAH TAEK KUCING INDON INIH --- In [EMAIL PROTECTED], Sunny [EMAIL PROTECTED] wrote: Refleksi: Barangkali untuk dipahami masalahnya perlu ditekankan bahwa dalam dunia ini tidak ada orang waras yang mau memisahkan dirinya dari sesuatu yang baik dan berguna bagi dirinya, tetapi karena hal-hal buruk yang ditimpakan atau yang menimpa pada dirinya. Sebagai contoh dapat diberitakan bahwa penduduk Papua Barat kurang lebih 2 juta orang. Pajak perusahaan untuk tahun 2004 yang diterima pemerintah Indonesia dari PT Freeport adalah US$ 297 [Sinar Harapan 16/2/2005]. Sesuai Jakarta Post 3/3/2005 diberitakan bahwa pihak keamanan [TNI] menerima untuk tahun 2001 US 4,7 juta dan untuk 2002 US$ 5,7 juta. Ini hanya sebagian kecil angka-angka yang bocor untuk umum. Bagaimana kehidupan rakyat Papua? 80% dari rakyat Papua hidup dalam kemiskinan [Kompas 22/3/2005]. Mayoritas anak-anak dibawah umur 10 di Papua menderita Hipatit A [Sinar Harapan, 02/3/2005. Belum lagi dibicarakan kerusakan alam dengan dicemarkan Sungai Ajkwa, Aghawagon dan Otomona. Apakah rakyat Papua yang tanahnya kaya raya dengan berbagai kekayaan alam hanya mempunyai harga mati untuk hidup dalam kemiskinan dan tidak mempunyai hak dan inspirasi untuk mencari dan menentukan jalannya sendiri? KOMPAS Jumat, 13 Juli 2007 NKRI, Harga Mati Aloys Budi Purnomo Pemerintah harus tegas, jangan sampai Partai GAM menjadi embrio gerakan separatis. Itulah pernyataan Gubernur Lemhannas Muladi tentang munculnya Partai GAM di Nanggroe Aceh Darussalam (Suara Pembaruan, 10 Juli 2007). Pernyataan itu lahir sebagai kekhawatiran atas wacana referendum di Aceh untuk memerdekakan diri dari NKRI yang bakal diajukan Partai GAM dalam parlemen lokal. Wacana itu masih bersifat spekulatif, lahir dari kajian Lemhannas terkait dengan keinginan GAM untuk memerdekakan diri lewat referendum setelah menguasai parlemen. Menurut Muladi, pendirian Partai GAM menyalahi Undang-Undang Nmoro 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait partai lokal dan Nota Kesepahaman Helsinki. Karena itu, Partai GAM harus dihentikan secara yuridis sehingga tidak bisa ikut pemilu (Kompas, 11/7). Bahaya laten Harus tetap disadari, bahaya laten separatisme dan disintegrasi selalu menghantui keutuhan republik ini. Baru-baru ini kita dikejutkan bangkitnya roh kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon, Maluku. Puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV di Lapangan Merdeka, Ambon, beberapa waktu lalu, tiba-tiba diwarnai insiden oleh sekelompok pendukung RMS. Insiden itu membuat panik panitia penyelenggara dan aparat keamanan. GAM di Aceh, RMS di Maluku, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua ialah percik-percik api separatisme dan disintegrasi yang de facto menjadi bahaya laten, yang rupanya akan terus muncul dan menjadi tantangan bagi keutuhan NKRI. Kecuali berbagai kelompok separatis disintegratif yang bersifat teritorial, republik ini juga masih harus berhadapan dengan kelompok- kelompok serupa yang lebih bersifat ideologis. Yang terakhir justru kerap lebih sulit dikendalikan sebab bergerak dalam tataran regulatif yuridis yang kerap dengan mudah menyusup ke sistem perundangan kita. Akibatnya, produk hukum dan undang-undang yang harus berlaku guna mengatur kehidupan bersama yang menyejahterakan bangsa terjebak ke dalam kepentingan politik dan ideologis sektarian sesaat. Ujung- ujungnya, gerakan itu memasung kemerdekaan kelompok minoritas dalam level apa pun, sosial, keagamaan, dan kebudayaan. Dalam arti tertentu, gerakan separatis disintegratif yang kedua ini lebih berbahaya dibandingkan dengan yang pertama. Gerakan pertama bisa dengan mudah- meski tidak pernah menyelesaikan masalah- dihentikan dengan aksi penumpasan dan pendekatan militeristik, dengan bermacam bentuk korban dan ketidakadilan yang menyertainya.
CiKEAS Re: Tentara Amerika Di Irak Untuk Kepentingan Arab Sunni ???
GODAM SAKCARA SADERHANA MENYAKTUJUIN, pandangan tanteh tentang USA DI IRAQ. bahuwa penjelasan tanteh Moslim, tentang dogol goblognyah bangsa Iraq, kulantaran keculasan dua pihak golongan Sunni dan Syah..begituh nyatah. WALAOPUN DARI SEMENJAK AWAL, DAKU MEMBILANG, USA BAKALAN SIA SIA, menulungin bangsa barbar, YANG TAK MENGENAL BUDIH, TAK MENGENAL AKUUR, DAN EMANG JUGAK,UDAH ADA BIBIT PERTINGKAEAN. mangka bener jugak PENYESALAN BANGSA DOGOL ITUH, merekah LEBIH BERES, WAKTU DI TANGANIN SAMA SI GELO SADDAM, YANG BENGIS NAN BUAS ITUH. macem bangsa sontoloyoh Indon kita bukan? JUSTRU DI JAMAN TANGAN BESIH TIRAN JAWAH, MANGKA 32 TAON AMANLAH BANGSA TAEK KUCING INDON ITUH. jadi bangsa Iraq yang barbar, serta bangsa Indon yang munapik, licik nan culas ituh. KUDUNYAH DIKUASAIN DENGEN PAHAM2 KOMUNIS, DIKTAKTOR TIRAN JAWAH..BAHARULAH TERCAPAE KESTABILAN BANGSA!! jadi banggiku..PAHAM KOMUNISLAH YANG COCOK BUAT BANGSA MUNAPIK YANG CULAS MACEM INDON. Sedengken..KEGAGALAN USA DI IRAQ, SEJAK DULU KUKATAKEN BAKALAN KAJADIAN.. Kerna yang dibelanyah ituh, adalah BANGSA LICIK YANG UDAH DASARNYAH SALING BANTAE SESAMA SENDIRIH. Cuman di jaman si diktaktor Saddam, dengen tangan mautnyah..MANGKA IRAQ YANG LIAR ITUH BISAK DIJINAKKEN.. gud tanteh!!! --- In CIKEAS@yahoogroups.com, Hafsah Salim [EMAIL PROTECTED] wrote: Tentara Amerika Di Irak Untuk Kepentingan Arab Sunni ??? Bersamaan dengan penilaian Kongres mengenai kegagalan pemerintah Irak untuk menegakkan negara Demokrasi yang melindungi HAM, wajar bahwa tentara Amerika seharusnya ditarik pulang, karena tugasnya sudah selesai. Target utama penyerangan ke Irak adalah menjatuhkan rezim Sadam Hussein yang telah secara systematik melakukan genocide terhadap umat Shia yang mayoritas maupun umat Islam Kurdi yang beraliran Sunni. Target kedua penyerangan ke Irak adalah untuk memusnahkan senjata2 pemusnah massal yang dimiliki Sadam Hussein, namun target ini gagal dicapai, karena hanya sebagian kecil saja senjata2 tsb ditemukan yang tidak merupakan target yang diharapkan sehingga target kedua ini juga dinyatakan sebagai gagal. Meskipun Rezim Sadam Hussein menyatakan pemerintahannya sebagai sekuler yang tidak berpihak kepada agama manapun juga, namun pada kenyataannya sama seperti Indonesia yang secara diam2 menegakkan Syariah Islam dari aliran Islam yang berkuasa. Kalo di Indonesia aliran Islam yang berkuasa itu adalah mayoritas, berbeda dengan di Irak, aliran Islam Sadam Hussein yang berkuasa adalah ISLAM BAATH yang juga berasal dari aliran Sunni yang secara systematik melakukan pemusnahan terhadap Kurdi dan Shia. Dilain pihak Islam Baath juga memusuhi Islam Wahabi dari Arab Saudia. Setelah kedua target utama selesai dilaksanakan seharusnya tentara Amerika ditarik mundur. Namun Bush merasa tanggung jawab moral terhadap rakyat Irak menganggap pentingnya mendirikan negara yang benar2 Demokratis yang melindungi HAM setiap rakyatnya. Pemerintahannya sudah berdiri, dan semua aliran yang saling bertentangan bisa dipaksa duduk bersama dengan kekuatan militer, namun kita sama2 tahu, BAHWA AJARAN ISLAM HANYA MENGAKUI SATU ISLAM TIDAK ADA ISLAM LAINNYA YANG BISA DIAKUI DIBAWAH SATU ATAP KEKUASAAN. Demikianlah, diluar kelihatannya semua bisa duduk dalam satu kabinet, namun kenyataannya mereka saling sikut, terutama umat Shia yang merasa harus atau wajib membalas dendam yang secara diam2 melakukan serangan massal menjagal ribuan orang2 Sunni yang kemudian dibalas oleh orang2 Sunni sehingga akhirnya pecah perang terbuka dan wakil Sunni di senat dan kabinet Irak menarik diri dan menyatakan perang jihad. Kegagalan pemerintah Irak untuk menegakkan Demokrasi dan melindungi HAM di Irak bukanlah tanggung jawab tentara Amerika, dan tidak perlu dicegah apabila kaum Shia ingin membalas dendam karena apa yang dilakukan Sadam Hussein kepada umat Shia sudah sepantasnya dibayar lunas sekarang oleh bekas korban2nya dulu. Dan hal inilah merupakan hukum Islam yang meskipun biadab dalam pandangan peradaban kita sekarang ini tapi hal yang begitulah yang merupakan pilihan umat yang beriman karena mereka merasa akan masuk kesorga dengan penyuh pahala dalam mengemban tugasnya dalam membunuh dan dibunuh. Kongres Amerika baru beberapa jam yang lalu melalui CNN sangat berang kepada Presiden Bush sewaktu laporan CIA masuk ke kongres yang menyatakan bahwa kepolisian dan militer pemerintah Irak sudah disusupi oleh komando jihad dari Iran. Laporan yang terperinci melaporkan bahwa pemerintah Iran sudah siap masuk ke Irak untuk mengambil alih kekuasaan di Irak keseluruhannya, semua institusi2 di Irak sudah lebih dari 80% katanya sudah disusupi oleh Iran. Bahkan baru2 ini ada bomb bunuh diri yang telah mengambil beberapa korban tentara Amerika, ternyata pelaku pembomban bunuh diri ini berasal dari markas kepolisian. Hubungan pribadi antara Bush dan keluarga Raja Arab Saudia begitu rapatnya yang dalam
CiKEAS Re: Tentara Amerika Di Irak Untuk Kepentingan Arab Sunni ???
godamlima [EMAIL PROTECTED] wrote: Cuman di jaman si diktaktor Saddam, dengen tangan mautnyah..MANGKA IRAQ YANG LIAR ITUH BISAK DIJINAKKEN.. Betul, tapi kita juga harus ingat, bahwa keseimbangan kekuatan Islam jadi berubah apabila Sadam Hussein dibiarkan memusnahkan mayoritas Shia di Irak. Kalo kita meninjau mayoritas Islam dunia didominasi oleh Islam Sunni, maka usaha Sadam untuk memusnahkan Shia dan menjadikan Sunni mendominasi Irak adalah sangat berbahaya, karena dalam waktu singkat Iran bisa dipaksa juga menjadi Sunni yang tentunya hal ini merugikan kepentingan Amerika yang menganut Power Balance disemua sudut dunia ini. Tidak boleh ada kekuatan yang mendominasi. Dengan munculnya kekuatan Shiah di Iran, Libanon, maka kekerasan2 yang dilakukan pihak Sunni paling tidak bisa diredam. Itulah sebabnya, kalo dari sudut kepentingan Amerika sendiri seharusnya lebih menguntungkan kalo Irak jatuh dibawah pengaruh Shiah sehingga dijazirah Timur Tengah umat Sunni akan secara otomatis bisa dimusnahkan. Kemudian kompetisi Islam Shia dari Timur Tengah bisa dihadapkan atau bise menetralisir Islam Sunni didunia yang dipimpin oleh Arab Saudia atau negara2 Arab. Usaha Presiden Bush yang ingin tetap mempertahankan Irak sebagai negara sekuler seperti yang dilakukan oleh Sadam Hussein terlalu mahal biayanya dan yang beruntung dengan keadaan tsb hanyalah Arab Saudia dan Islam Sunni. Islam Sunni diseluruh Timur Tengah hanyalah minoritas tidaklah seharusnya dilindungi, apalagi dibantu untuk berkuasa disana. Kepentingan Arab Saudia janganlah biayanya dibebankan kepada Amerika atau rakyat Amerika, cukup sudah target yang telah dicapai di iraq karena semuanya sudah diselesaikan sesuai dengan rencana semula. Ny. Muslim binti Muskitawati. gud tanteh!!! --- In CIKEAS@yahoogroups.com, Hafsah Salim muskitawati@ wrote: Tentara Amerika Di Irak Untuk Kepentingan Arab Sunni ??? Bersamaan dengan penilaian Kongres mengenai kegagalan pemerintah Irak untuk menegakkan negara Demokrasi yang melindungi HAM, wajar bahwa tentara Amerika seharusnya ditarik pulang, karena tugasnya sudah selesai. Target utama penyerangan ke Irak adalah menjatuhkan rezim Sadam Hussein yang telah secara systematik melakukan genocide terhadap umat Shia yang mayoritas maupun umat Islam Kurdi yang beraliran Sunni. Target kedua penyerangan ke Irak adalah untuk memusnahkan senjata2 pemusnah massal yang dimiliki Sadam Hussein, namun target ini gagal dicapai, karena hanya sebagian kecil saja senjata2 tsb ditemukan yang tidak merupakan target yang diharapkan sehingga target kedua ini juga dinyatakan sebagai gagal. Meskipun Rezim Sadam Hussein menyatakan pemerintahannya sebagai sekuler yang tidak berpihak kepada agama manapun juga, namun pada kenyataannya sama seperti Indonesia yang secara diam2 menegakkan Syariah Islam dari aliran Islam yang berkuasa. Kalo di Indonesia aliran Islam yang berkuasa itu adalah mayoritas, berbeda dengan di Irak, aliran Islam Sadam Hussein yang berkuasa adalah ISLAM BAATH yang juga berasal dari aliran Sunni yang secara systematik melakukan pemusnahan terhadap Kurdi dan Shia. Dilain pihak Islam Baath juga memusuhi Islam Wahabi dari Arab Saudia. Setelah kedua target utama selesai dilaksanakan seharusnya tentara Amerika ditarik mundur. Namun Bush merasa tanggung jawab moral terhadap rakyat Irak menganggap pentingnya mendirikan negara yang benar2 Demokratis yang melindungi HAM setiap rakyatnya. Pemerintahannya sudah berdiri, dan semua aliran yang saling bertentangan bisa dipaksa duduk bersama dengan kekuatan militer, namun kita sama2 tahu, BAHWA AJARAN ISLAM HANYA MENGAKUI SATU ISLAM TIDAK ADA ISLAM LAINNYA YANG BISA DIAKUI DIBAWAH SATU ATAP KEKUASAAN. Demikianlah, diluar kelihatannya semua bisa duduk dalam satu kabinet, namun kenyataannya mereka saling sikut, terutama umat Shia yang merasa harus atau wajib membalas dendam yang secara diam2 melakukan serangan massal menjagal ribuan orang2 Sunni yang kemudian dibalas oleh orang2 Sunni sehingga akhirnya pecah perang terbuka dan wakil Sunni di senat dan kabinet Irak menarik diri dan menyatakan perang jihad. Kegagalan pemerintah Irak untuk menegakkan Demokrasi dan melindungi HAM di Irak bukanlah tanggung jawab tentara Amerika, dan tidak perlu dicegah apabila kaum Shia ingin membalas dendam karena apa yang dilakukan Sadam Hussein kepada umat Shia sudah sepantasnya dibayar lunas sekarang oleh bekas korban2nya dulu. Dan hal inilah merupakan hukum Islam yang meskipun biadab dalam pandangan peradaban kita sekarang ini tapi hal yang begitulah yang merupakan pilihan umat yang beriman karena mereka merasa akan masuk kesorga dengan penyuh pahala dalam mengemban tugasnya dalam membunuh dan dibunuh. Kongres Amerika baru beberapa jam yang lalu melalui CNN sangat berang kepada Presiden Bush sewaktu laporan CIA masuk ke kongres
CiKEAS It's High Time We Put an End to This Practice
http://www.arabnews.com/?page=7section=0article=98481d=14m=7y=2007pix=opinion.jpgcategory=Opinion Saturday, 14, July, 2007 (28, Jumada al-Thani, 1428) It's High Time We Put an End to This Practice Iman Kurdi, [EMAIL PROTECTED] Perhaps like me you think of female genital mutilation as something rather rare, which only happens, in remote villages in Africa. Perhaps also like me you think it a barbaric practice, which only uneducated misguided people indulge in because they simply don't know better. And finally, perhaps you also think that decrying it and banning it is all it would take to remove this form of child abuse from the planet. I am sorry to say that I was wrong on all three counts. First, sadly, it is not rare. The world Health Organization estimates that between 100 and 140 million women have undergone some form of genital mutilation and that around two million procedures are performed every year. Second, it is a pervasive practice, which cuts across religions and cultures (only Jewish women seem to be untouched by this practice). Even if it is primarily focused in Africa, it also takes place in some countries in the Arabian Peninsula and the rest of the Arab world. And as for thinking it only exists in remote villages, just consider Egypt, where a UNICEF survey found that a whopping 97 percent of married women had undergone some form of genital mutilation. It has taken the death this month of 12-year-old Badour Shaker for Egypt to introduce an outright ban. The girl died after being circumcised in an illegal clinic in Maghagh. Though laws already existed banning female genital mutilation, these left a loophole whereby the procedure could still be carried out under medical supervision. Even this latest action, whose language is unequivocal, is a ban rather than a law. How it will punish those who continue to mutilate young girls is unclear. But laws alone make little difference. In Britain, the Metropolitan Police has just introduced a £20,000 reward for any information leading to a prosecution for anyone involved in female genital mutilation. A law has existed since 2003 making not only female genital mutilation a crime (that law existed already) but also making it a crime to take a child outside the country for the procedure to be performed. There has not been a single prosecution. Yet the police estimate that up to 7.000 girls in the UK are currently at risk. It is around this time of year, with the start of the summer school holidays, that the risk is at its highest. The British police do not want to have to resort to running mandatory checks on girls thought at risk, be it at the airport on returning from their summer holidays, or elsewhere, as Norway for instance is currently considering. So they are going for a softer approach. The hope is that a financial reward will be enough to encourage cooperation from within the communities where female genital mutilation is practiced. My first reaction was that this is a case for the nanny state. These girls are innocent and powerless and it is up to us to do the maximum to protect them, even if this means checking the integrity of the genitalia of every girl arriving from a holiday in Africa. And maybe whilst we're at it, we should introduce programs on the ground in the countries most affected which force people to abandon this barbaric practice. It's high time for a zero-tolerance approach. Some people ask whether it is right to describe it as mutilation. Should we not use the term cutting as has been suggested by some? At first, I rebel against this notion. I need terms that accurately reflect my anger and leave no room for ambiguity. But how useful is my anger in convincing women whose mothers and grandmothers have all gone under the knife (or the scissors or the shard of glass) that they should not do to their daughters what has been done onto them? Outsiders coming in on a whirl of indignation can only push communities into a defensive position. So what can be done? Education as always is the key word, as is cooperation and working with communities to bring change from within. Otherwise all you do by outlawing a practice is push it underground. The first message should concern any misguided belief that there is a religious basis for this practice. Religious authorities should be unequivocal in showing that there is no call for any cutting or removal of female genitalia. The grand mufti of Egypt, Ali Gomaa, has done just that when he stated this week that it is prohibited, prohibited, prohibited. Once the religious aspect is taken out of the equation, communities can work together through an understanding of the risks and health consequences and through financial, economic and social encouragement, to give up cutting women. This involves convincing whole
CiKEAS Why Iran Needs Osanloo
http://www.arabnews.com/?page=7section=0article=98479d=14m=7y=2007pix=opinion.jpgcategory=Opinion Saturday, 14, July, 2007 (28, Jumada al-Thani, 1428) Why Iran Needs Osanloo Amir Taheri, Arab News One of Iran's most popular civil society leaders was abducted in Tehran on Tuesday after chairing a meeting of trade unionists. The scene was reminiscent of spy stories about the Soviet Union during the Cold War. Mansour Osanloo, the 48-year-old president of the Union of Bus Drivers (SKSV), had just stepped off a bus when a group of bearded men emerged from a gray metallic Peugeot car and attacked him with clubs and knuckle-dusters. Shouting, You are an enemy of Islam, the attackers pushed Osanloo into the Peugeot and drove away. Passengers on the bus, which had stopped as the scene started, tried to restrain the attackers but were held back at gunpoint. According to Osanloo's friends and relatives, secret service agents had followed him round the clock since his return from a visit to Europe last month. During that visit, Osanloo addressed a number of international labor meetings in London, Brussels and Geneva. According to witnesses, Osanloo was severely beaten, and his attackers continued to beat him even after they had forced him into their car. Osanloo revealed his leadership capacities in 2004 when he helped create one of the first independent trade unions in Iran since the seizure of power by the mullahs in 1979. Later, he led two successful strikes by transport workers and forced the management of the state-owned bus company to offer concessions. The example he set has been followed by other workers who have created over 400 independent trade unions with an estimated membership of 1.5 million. Earlier this year, the independent unions set up a new mechanism known as Workers' Organizations and Activists Coordinating Council (WOACC) to foster unity of action. On May 1, International Labor Day, WOACC succeeded in holding the first independent workers' march in Tehran and 11 other major cities since 1979. This is not the first time that Osanloo, regarded by some as Iran's Lech Walesa, after the Polish trade union leader who helped end Communist rule in his country, is abducted by paramilitaries working for the government. Osanloo has also been imprisoned on two occasions, including a spell at the notorious Evin prison. While Osanloo has been careful not to give Iran's emerging labor movement a political coloring, President Mahmoud Ahmadinejad regards the union leader as a potential threat. Workers organized in independent trade unions still represent no more than five percent of wage earners in Iran. The majority of Iranian workers are either not unionized or drafted as members of unions controlled by government through so-called Islamic Committees. Nevertheless, the authorities are concerned that more workers might join independent unions or set up new free unions, shaking off government control. One key demand of workers is that the Islamic Committees set up in workshops and offices be abolished and the mullahs that head them returned to the mosques. The authorities are especially angry with Osanloo because of his success in mobilizing international support for the Iranian labor movement. Earlier this year the authorities released Osanloo from prison and allowed him to travel to Europe to attend the annual conference of the International Transport Workers Federation. According to Osanloo's friends, the authorities had hoped that he would seize the opportunity to stay in Europe and join former internal dissidents who have become exiles. However, Osanloo had no intention of disappearing in exile. In London, he made a passionate appeal to workers throughout the world to support their Iranian counterparts in their quest for decent wages, human working conditions and freedom of association. In Brussels he met the leaders of the General Council of the International Trades Union Conference and managed to open their eyes to the realities of the workers' conditions in the Islamic Republic, according to one of his friends in Tehran. Since the mullahs seized power in Tehran, Western trade unions have been reluctant to support Iranian workers. For almost a quarter of a century appeals to Western labor leaders, including those in the United States, to support their Iranian working class brethren had fallen on deaf ears, because the Tehran regime was regarded as a revolutionary setup backed by the toiling masses. Osanloo's success was to alter that perception and persuade at least some Western trade unionists not to support the Khomeinist regime in its repression of Iranian workers. (David Cockroft, general secretary of the International Transport Workers Federation to which the SKSV is affiliated, has called on the Islamic
CiKEAS Russia suspends arms pact, citing U.S. missile plan
http://www.iht.com/articles/2007/07/14/europe/15russia.php Russia suspends arms pact, citing U.S. missile plan By Andrew E. Kramer and Thom Shanker Saturday, July 14, 2007 MOSCOW: President Vladimir Putin formally notified NATO governments on Saturday that Russia will suspend its obligations under the Conventional Forces in Europe Treaty, a key Cold War-era arms limitation agreement, in response to American plans to deploy a missile shield in Eastern Europe. The decision ratcheted up tensions over United States plans for a missile shield, which Russia opposes, but also reflected a trend of rising anti-Americanism and deep suspicion toward the West here as Russia's March presidential elections approach. Russia's suspension will take effect in 150 days, according to a copy of the president's decree posted on a Kremlin Web site. That delay leaves open the possibility of further negotiation on the 1990 treaty, which resulted in a huge wave of disarmament along the former East-West divide in Europe. Despite a Foreign Ministry statement that Russia would reject any limitations on redeploying heavy weaponry on its Western border, the Kremlin's move is not expected to radically transform the security situation. But the decision is a strong indicator that the smiles and warm embraces between Presidents Bush and Putin just a few weekends ago at the so-called lobster summit in Maine did little to soften the Kremlin's pique over proposals to build two American missile defense bases in former Soviet satellite states, Poland and the Czech Republic. So on Saturday, Putin reached for a powerful diplomatic tool to fend off what he has described as American bullying and NATO and European encirclement, both economic and military, that the Kremlin believes encroaches into a Russian sphere of influence. White House officials expressed immediate disappointment after the announcement from Moscow, but pledged to continue to meet with their Russian counterparts to resolve the dispute. We're disappointed Russia has suspended its participation for now, but we'll continue to have discussions with them in the coming months on the best way to proceed in this area, that is in the interest of all parties involved and provides for security in Europe, said Gordon Johndroe, the National Security Council spokesman. Critics of the United States' handling of relations with Russia have warned that the Bush administration was creating an environment in which the Putin government, emboldened by a flood of oil dollars and seeking to re-establish its status in the world, could pick and choose among its treaty obligations. After all, the Bush administration has put less stock in official treaty relations than many predecessors. Under Bush, the United States pulled out of the Antiballistic Missile Treaty so it could pursue the goal of a global antimissile shield, the exact effort that has so angered Putin and his inner circle. Indeed, the Saturday announcement from Moscow was not much of a surprise, given Putin's earlier warnings. Bush administration officials routinely point to other significant areas of cooperation - on halting nuclear proliferation, on battling terrorism and combating drug traffic - so White House officials reject assessments that relations with Russia are on the point of rupturing. But while the Saturday announcement was, at least, unsettling to officials in Washington and in NATO capitals, senior policy analysts said it is likely only to strengthen the position of Putin's leadership clique among Russian voters in the spring elections. Anti-American posturing has played well with the public, and it is encouraged in the state media and through such means as leaflets distributed by Kremlin-sponsored youth groups. One depicts American warplanes loading body bags at a Moscow airport, for example. Putin's decree explained the decision to indefinitely suspend Russia's treaty obligations as caused by extraordinary circumstances that affect the security of the Russian Federation and require immediate measures. A separate statement by the Foreign Ministry identified these circumstances as unrelated to the missile shield plans - though Putin has linked the issues in previous speeches. In the most notable case, during a state of the nation speech to Parliament on April 26, Putin threatened to suspend observance of the treaty in response to the United States' abrogation of the Antiballistic Missile Treaty and plans to deploy missile-shield elements in the Czech Republic and Poland. Still, Putin's threat in April, and his execution of it on Saturday, left some arms-control experts scratching their heads because the conventional forces treaty has no formal provision for a signatory nation to suspend observance. A nation can withdraw from the treaty without violating its terms, but only after notifying the other signatory countries 150 days in advance. The decree
CiKEAS Radicalism among Muslim professionals worries many
http://www.iht.com/articles/2007/07/14/africa/14doctors-web.php Radicalism among Muslim professionals worries many By Hassan M. Fattah Friday, July 13, 2007 DUBAI, United Arab Emirates: They were some of the best and brightest in the Muslim world who toiled for years to master their knowledge. Now they stand accused of seeking mass murder. For weeks, commentators and analysts in the Muslim world have been grappling with the implications that a Muslim doctor and engineer, at the pinnacle of their society, may have been behind the failed car bombings in London and Glasgow last month. The question being asked in many educated and official circles is this: how could such acts be committed by people who have supposedly dedicated their lives to scientific rationalism and to helping others? The answer, some scientists and analysts say, may lie in the way that a growing movement of fervent Muslims use science as reinforcement of religious belief, rather than as a means for questioning and exploring the foundations of the natural world. It's not that surprising for doctors and engineers to be involved in political Islamist movements - both of the violent and the more moderate sort, said Taner Edis, associate professor of physics at Truman State University in Missouri and author of An Illusion of Harmony: Science and Religion in Islam. He and other researchers who study Islamist movements say that the involvement of doctors and engineers in terrorism is not shocking. Muslim scientists are among the most politicized groups in the region, and the Muslim approach to the scientific method, in the most extreme cases, can squelch the freewheeling curiosity at the heart of scientific discovery. Fundamentalist-type attitudes are relatively common among people in applied science in the Muslim world, Edis said. The conception has been that modern science is developed outside, and we need to bring it into our societies without it corrupting our culture. In other words, science is a tool for furthering an ideology rather than a means of examining core beliefs. For Islamists like Zaghloul el-Naggar in Cairo, who hosts a popular television show about the Koran's scientific teachings, all science can be discovered within the Koran - from the cause of earthquakes to genetics. Such direct links between science and religion ultimately hamper the scientific method by making some questions taboo, analysts say. You have the emergence of a new kind of religious figure who is not a cleric, and all of his authority is as a scientist, said Todd Pitock, who profiles Naggar in an article about Islam and science in the July issue of the magazine Discover. The whole purpose of science for some Islamists is using it to reinforce faith; it really has nothing to do with science itself. Medicine and engineering have long been the most prestigious professions in the Arab world, and many of its most illustrious writers, thinkers and politicians have risen through engineering and medical schools. Many notable militant leaders, too, have graduated from those schools. They include George Habash, a doctor and founder of the leftist Popular Front for the Liberation of Palestine; the late Fathi Shikaki, a doctor and founder of Palestinian Islamic Jihad; Mahmoud Zahar and several other leaders of Hamas who trained as doctors; and Osama bin Laden, an engineer, and Ayman al-Zawahri, his No. 2 in Al Qaeda, once a practicing doctor. Nor are such militants limited to the Arab world; they are among a list of radical doctors and scientists who have risen in leftist, and extremist movements and groups in recent decades in the West, Asia and the Arab world, including Che Guevara. Extremists are of course a tiny minority of the thousands of graduates that come out of the region's science programs every year. But increasingly, analysts and researchers say, the region's engineering and medical schools have become hotbeds of nonviolent political Islamist activity. Many Arab doctors, in turn, have led the charge against American, Israeli and Western interference in the region, building on their time-honored roles as community leaders. The doctor at one time or another presented a figure who could really decide life and death, said Sari Nasser, professor of sociology at the University of Jordan. Now doctors have this tradition that they have to lead people and not to let them down. This is one reason why doctors as such are leading the fight against the West. At the University of Jordan medical school, for example, where Mohammed Asha, a suspect in the Glasgow bombing, was a star student, politics features prominently in student life, Medical students lead demonstrations, fund-raising drives and boycotts against Israel, the United States and other causes. For some professors at the school, the surprise was that Asha, who seemed largely apolitical during his time at school, could be connected to
CiKEAS Gara2 Kalah Main Bola Orang2 Arab Dianggap Curang !!!
Gara2 Kalah Main Bola Orang2 Arab Dianggap Curang !!! Kenapa orang2 Indonesia harus marah2 hanya karena kalah main bola dari Arab Saudia ??? Wah, kalo saja kita mau cari kaitan2 dari sentiment agama Islam, seharusnya kita mengakui kalo orang2 Arab memang lebih dekat hubungannya dengan nabi Muhammad maupun dengan Allah. Kenapa kalo kebanyakan orang2 Islam di Indonesia rela mengorbankan saudara2nya sendiri yang sebangsa dan setanah air ini untuk menjunjung tinggi orang2 Arab itu??? Orang2 Indonesia membakar mesjid Ahmadiah milik bangsanya sendiri untuk menghargai orang2 Arab, juga membakar Gereja bangsanya sendiri untuk menyenangkan orang2 Arab Islamnya. Kalo bangsa sendiri boleh dikorbankan demi agama dan kepercayaannya orang2 Arab, kenapa hanya cuma 2 gol saja enggak rela direbut oleh orang2 Arab Saudia Kenapa enggak pasrah ??? Naaah semua nya diatas yang saya tulis itu se-mata2 dari sudut sentimental agama Islamnya. Sekarang kalo kita menilainya dari sudut keterampilan dilapangan bola, sudah lebih jelas lagi, taraf kehidupan maupun taraf ekonomi, maupun gizi makanan orang2 Arab Saudia itu selalu menggunakan standard Amerika, artinya, gizinya, cara latihannya, bahkan badannya semuanya jauh diatas orang2 Indonesia. Wajar dari sudut keterampilan dilapanganpun bisa dipastikan bahwa mereka lebih terampil dari bangsa kripik ini. Saya tahu, team Arab Saudia ini sebetulnya mampu mengalahkan Indonesia hingga 6-1. Namun bangsa ini enggak sadar, bahwa team Arab Saudia ini sebenarnya menghemat tenaga yang dipersiapkan nantinya untuk menghadapi team2 yang benar2 kuat. Team Indonesia diatas kertas tidaklah diperhitungkan sebagai team yang harus dihadapinya secara serius. Kalo kita menilainya dari track record masa lalunya, maka makin jelas bahwa team Arab Saudia ini memang merupakan team yang punya reputasi dunia yang tidak mungkin bisa dibandingkan dengan track record team Indonesia. YANG SANGAT MEMALUKAN, adalah caci maki dan protes yang sekarang sedang disampaikan kepada panitia pertandingan karena team kripik ini merasa dicurangi. Team kripik ini menganggap pengangkatan wasit pertandingan dari UAE merupakan kecurangan karena ternyata wasit ini dituduhnya sebagai tidak adil karena berpihak kepada Arab Saudia. Padahal, kalo memang tidak setuju dengan penunjukkan wasit dari UAE ini seharusnya penolakan wasit ini dilakukan sebelum pertandingan bukan setelah pertandingan usai dengan hasil yang mengecewakan. Menurut pemimpin team kripik ini, kalo saja wasitnya ditunjuk dari Asia, tentunya Indonesia akan mendapat kesempatan menang yang lebih besar. Mungkin maksudnya kalo wasitnya dari Asia, maka wasit ini akan berpihak kepada team Indonesia untuk mencurangi team Arab Saudia. Cara berpikir begini biadab bukan ??? Team Indonesia yang Islam ini tidak pernah percaya kepada tetangga2nya Asia yang bukan Islam, wajar waktu wasit dari UAE diangkat maka orang2 Indonesia percaya bahwa sama2 Islam tentunya akan jujur. Mereka lupa kalo lawannya beragama Islamnya lebih tua dari dirinya. Orang2 Arab itu ibaratnya adalah kakek kita yang lebih tua yang wajib kita hormati. Sialnya, setelah kalah goal barulah team kripik yang Islamiyah ini berusaha cari2 kambing hitam persis seperti orang2 Kristen yang dijadikan kambing hitam sebagai pelaku pemerkosaan massal amoy2 yang kemudian mengakibatkan berbagai kesulitan ekonomi bagi negara ini. Akhirnya ketemu kambing hitam yang gemuk, wasit dari UAE dilabrak dan panitia pertandingan diminta membatalkan hasil pertandingan atau wasit Indonesia juga akan ditarik dari panitia sebagai tanda protest. Namun apalah artinya team yang kelas kambing ini??? Siapa dan negara mana yang masih mau memperhatikannya??? Memang kelihatannya pengaruh agama tidak ada, tetapi kalo saja anda bisa mengamatinya dari sudut psiko-analisis, maka jelas sangat kental pengaruh dogma agama menjadi penyebab tindakan2 yang tidak rasional dari team kripik ini sehingga kehilangan sikap sportifitas katimbang mengakui keunggulan lawan. Mengakui kelebihan lawan adalah haram dalam ajaran Islam, kenapa tidak boleh diapplikasi dalam kasus persepak bolaan ini??? Biarlah kita ditertawakan dunia diluar, yang penting kita harus bisa bikin takut panitianya agar jangan menganggap enteng lagi. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS The robbery of the century
http://www.atimes.com/atimes/Global_Economy/IG14Dj01.html The robbery of the century By Chan Akya I have previously written [1] about the impending failure of US mortgage borrowers, whose failure to pay would affect not only the US economy as many of them declare bankruptcy, but also worldwide markets, as the risk has been widely sold to investors in other countries, with the bulk of the losses coming in Asia. Ratings, securitization in brief Banks lend money to a number of companies but, more importantly, to millions of individuals. As banks themselves borrow money from other investors in the form of deposits and bonds, they would like to sell down some assets. However, anyone buying such assets from banks would be naturally worried about the quality of assets, and hence look to the banks to do two things: first, hold enough of the risk (what is called skin in the game) and, second, hire an independent evaluator of these securities. When a number of similar receivables are packaged into a bond, what happens is that anyone buying the bond is dependent on the credit quality of people he or she has never met. For that reason, the markets depend on rating agencies such as Standard and Poor's or Moody's, two of the largest companies that perform such services and, coincidentally, both of which are American. The third major rating agency, Fitch, is European. To a large extent, investors depend on these ratings for determining their investment appetite. Thus if you walked into an Asian central bank and asked what its criteria are for buying an asset, it might reply that it holds securities rated above a certain level, say double-A (the highest is triple-A, the lowest is D - as in Default). [2] However, there are two immediate problems with this. First, ratings are paid for by the people issuing the bonds mentioned above, not the people buying them. Thus there is a logical business reason for maintaining the rating at a higher level than is strictly warranted by fundamentals. This is called a conflict of interest. The second problem is that ratings are merely opinions. It is a bit like a film reviewer saying that the latest Bruce Willis movie is fantastic, while it may well turn out to be a stinker for most people. The difference, of course, is that a bad film recommendation only costs you US$10 (less if you buy a pirated disc in Shenzhen), but a bad ratings opinion can cost you millions. The agencies, while sophisticated, do not know the future any more than the typical astrologer. They therefore use masses of data to justify their opinions, all the while employing analysis of historical information. This is not the first time the rating agencies have gotten it wrong in the markets. Whether it was their wrong ratings of emerging-market countries in the 1990s, or telecom companies earlier this decade, and now securitization, the agencies have been disastrously wrong on every new market. Still, investors and regulators trust them to provide judgment, as there are no alternatives. The markets, though, always look ahead. In other words, if an investor expects to receive less interest on a particular bond, its price will fall well before the interest actually falls. Thus it is that markets are prone to overreact to information, while ratings slowly catch up. There are, however, a number of investors - for example, central banks and pension funds - that rely only on the rating agencies for their information. Thus they fail to act when the markets start moving, and are forced to act when the rating agencies admit that the quality of the bond is actually lower than was previously thought. These investors are called hogs in the market - they are fattened up and then slaughtered. Pay differential Of course, it is also important to note a perverse incentive structure that exists in all this. Employees of investment banks are among the best paid in the world, with specialists in fast-growing areas such as derivatives commanding seven- and eight-figure (US dollar) annual salaries. In contrast, the people buying the risk from them, such as Asian central bank workers, are paid hardly more than $20,000-$50,000, with some of the best ones paid more than $100,000. Only Singaporean government employees are paid more than their counterparts on Wall Street; this is a subject I shall return to in a later article. When such an incentive structure exists, it is natural for many kinds of corruption to take effect, including soft practices such as banks paying for lavish dinners and ranging to more contemptible practices such as bank-employed agencies helping to pay for the tuition of children of senior government officials in the name of marketing. Meanwhile, it is also important to note that there is no crime being committed by those buying such securities from investment banks, as they are required to invest their countries' reserves in securities as
CiKEAS Russia builds new nuclear sub equipped with Bulava-M quasi-ballistic missiles
http://english.pravda.ru/russia/economics/19-04-2007/90091-russian_navy-0 Russia builds new nuclear sub equipped with Bulava-M quasi-ballistic missiles Russian Navy got a new leader. On April, 15 the head project 955 submarine Yuri Dolgoruky left the slipway of the Sevmash shipyard in the White Sea. The ceremony was attended by the First Vice-Premier Sergey Ivanov, the Commander of the Navy Vladimir Masorin, Deputy Minister of Defense and Chief of Arms of the MoD General Alexey Msokovksy, the Mayor Moscow Yuri Luzhkov, General Director of Sevmash Vladimir Pastuhov, the Governor of Arkhangelsk region Nikolay Kiselyov as well as by the heads of other shipbuilding enterprises. Boreis (955 project) are to remain the core of the naval nuclear deterrence till the middle of this century. The new subs will replace the subs of the project 667BDR and BDRM now on duty. According to the specialists the new sub will have no matches in the foreseeable future. Yuri Dolgoruky with 14,7/24 thousand tons (surface/underwater) displacement carries strategic rocket complex Bulava-M consisting of 12 so called quasi-ballistic missiles with ten nuclear warheads of individual aiming. The range of the missile that for the first time in the world’s history has changeable trajectory and can reach hypersonic speed is 8000km. However, sailing tests will start this year without the missile, which is being finalized by the designer. The crew of the sub will be formed only with officers and NCOs. Before 2015 State Arms Program provides for building 7 project 955 subs. In the next two years the eighth will be constructed under a new Arms Program. Alexander Nevsky (the second sub) will be ready by 2009 and Vladimir Monomah – by 2011. The best Russian nuclear subs will be deployed in the Far East. The Commander of the Pacific Fleet of the Russian Navy Admiral Victor Fedorov publicly confirmed that the two newest strategic submarines (Alexander Nevsky and Vladimir Monomah) will be commissioned with the Pacific Fleet. Yuri Dolgoruki” is to stay with the Northern Fleet. Earlier during his visit to the Far East First Vice-Premier Sergey Ivanov said that the Pacific Fleet is the priority of the Navy. According to him all nuclear arsenal, such as new sub Yuri Dolgoruky, will be in Kamchatka, although the main base of the surface fleet will remain in Vladivostok. However, the development of the Russian submarine Navy does not stop with the new project. Sevmash continues construction of the multi-role nuclear project 855 submarine Yasen, which will surpass its foreign matches in most characteristics. Severodvinsk, the head sub of the 855 project, is far more complicated than even project 955. It has both more diverse arms and more diverse tactics. (Project 855, NATO reporting name GRANAY: displacement - 8600/13800 tons, dimensions - 119х13,5х9,4m, max depth - 600м, speed of - 16/31 knots. Crew – 90 persons (32 officers). It won’t take long to hear about this sub. At the same time t he c ommand of the Russian Navy considers it necessary to begin the development of the principally new project of a multi-purpose nuclear submarine of smaller displacement, according to the Commander of the Navy Masorin. Once he said that s o far it is only in our plans , but we precisely know , that such submarines are needed. It should be the submarine of smaller displacement in comparison with the existing today. It will be an underwater hunter. This should take some more time, about 10 years according to the assessments of the Admiral. Meanwhile the designers of Bulava left less hopes for skeptics. The next launch is planned for this June, according to the Commander of the Russian Navy Admiral Vladimir Masorin. Dmitry Donskoi, the test sub, will launch the missile from underwater position. Once again it has been officially confirmed that the previous unsuccessful tests of 2006 had no influence on the program in general. The Commander said that the Moscow based Institute of Teplotechnika, the designer of the missile, found out the bottle necks which were in the technological sphere, and “cured the disease”. Yuri Seleznyov Pravda.ru © 1999-2006. «PRAVDA.Ru». When reproducing our materials in whole or in part, hyperlink to PRAVDA.Ru should be made. The opinions and views of the authors do not always coincide with the point of view of PRAVDA.Ru's editors. [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Putin pulls out of Europe arms pact
http://english.aljazeera.net/NR/exeres/7AE53DD2-1C5C-4F38-9A51-A0897EB86C80.htm UPDATED ON: SATURDAY, JULY 14, 2007 13:02 MECCA TIME, 10:02 GMT Putin pulls out of Europe arms pact Russian and US relations have strained over US missle shield plans in eastern Europe [AFP] Russia's president has suspended the country's participation in a pact limiting military forces in Europe, amid deteriorating relations with the West on a range of fronts. The Kremlin on Saturday said Vladimir Putin had signed a decree suspending Russia's role in the Conventional Forces in Europe (CFE) treaty, due to national security issues. The pact was adopted in 1990 to limit the number of tanks, heavy artillery and combat aircraft deployed and stored between the Atlantic and the Ural mountains. Russia accuses the West of failing to ratify an amended version signed in 1999 to take into account the new post-Cold War situation. Dmitry Peskov, a Kremlin spokesman, said Russia could no longer tolerate a situation where it was complying with the treaty but its partners were not, and he expressed hope Russia's move would induce Western nations to commit to the updated treaty. Talks last month with Nato states ended without progress. He said: Such a situation contradicts Russia's interests. Russia continues to expect that other nations that have signed the CFE will fulfill their obligations. 'Regret' A Nato spokesman said on Saturday of the Russian suspension: If this is confirmed the Secretary General very much regrets this decision. The allies consider this treaty to be an important cornerstone of European security. The differences over the pact are part of broader tensions between Russia and the West. Relations are strained by disagreements over US plans for a missile shield in eastern Europe, proposed independence for Serbia's Kosovo province and Moscow's energy policies. A source of friction over the CFE treaty is Nato's insistence on preserving flanking arrangements which ban large concentrations of forces and materiel near some borders. Russia objects to that provision because it limits Russian troop movements within Russian territory, even though Moscow says its border areas have become more unstable since the Soviet Union broke up in 1991. Russia also wants cuts in Nato troop levels in outlying regions to reflect the accession to the alliance of eastern European states bordering Russia since 1990. Nato states have said treaty changes depend on Russia withdrawing troops from the former Soviet republics of Moldova and Georgia, but Russia rejects any link between the two issues. [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS The Taliban's Dirty Poppies
The Taliban's Dirty Poppies 16:14 From: journeymanpictures Views: 484 Silahkan click untuk melihat http://www.youtube.com/watch?v=xXX9Y0bfirYmode=usersearch= [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Cuban leaders meet with Latin American bishops in Havana
http://www.granma.cu/ingles/2007/julio/sab14/Cuban-leaders-meet-with-Latin-American-bishops-in-Havana.html Cuban leaders meet with Latin American bishops in Havana By Francisco Forteza HAVANA, July 13 (World Data Service).- High-ranking leaders of the Cuban government met cordially with Catholic bishops who were visiting Havana for the 31st General Assembly of the Latin American Episcopal Council, it was announced today. An official news source today said Carlos Lage and Esteban Lazo Hernández, both vice presidents of the Council of State, and Foreign Minister Felipe Pérez were among those attending. On July 11, comrades Carlos Lage Dávila and Esteban Lazo Hernández, vice presidents of the Council of State and members of the Political Bureau, together with other leaders of the Cuban Party and government, held a meeting at the San Juan María Vianney Rectory with several of the participants in the 31st General Assembly of the Latin American Episcopal Council, led by Monsignor Raymundo Damasceno Assis, archbishop of Aparecida, Brazil, president of the Council, and Cardinal Jaime Ortega Alamino, archbishop of Havana, Granma daily newspaper reported. Their meeting, which took place in a cordial and constructive atmosphere, served to exchange viewpoints with their visitors on the national reality, challenges facing our country, the negative effects of the blockade (imposed by the United States) on the population and the economy, and cooperation programs with Latin American countries, which we carry out in Cuba and abroad, the article said. Those present agreed on the need for the training of Latin American professionals in Cuba to continue strengthening human values and the preservation of their beliefs, traditions and customs, so that they can return to their home communities to serve the neediest, the article continued. It also added that the Council's representatives and Episcopal conferences expressed thanks for the facilities provided for their general assembly in Cuba, which concludes today with a mass at Havana Cathedral and during which its new leadership was elected. This leadership is comprised of its president, Monsignor Raymundo Damasceno Assis, archbishop of Aparecida, Brazil; Monsignor Baltazar Porras Cardozo, archbishop of Mérida, Venezuela, first vice president; Monsignor Andrés Stanovnik, bishop of Reconquista, Argentina, second vice president; Monsignor Emilio Aranguren Echeverría, bishop of Holguín, Cuba, president of the economic committee, and as general secretary, Monsignor Víctor Sánchez Espinosa, auxiliary bishop of México, the article noted. This is the first time the Council has held a meeting in Cuba. The Assembly was attended by 71 delegates from Latin America, including four cardinals. It was reported that the closed-door meeting discussed the way in which to carry out the pastoral letters issued by the Fifth General Conference held in the Brazilian city of Aparecida in mid-May, and that each country's situation was reviewed. Translated by Granma International [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS The tribal streak
http://weekly.ahram.org.eg/2007/853/feature.htm 12 - 18 July 2007 Issue No. 853 The tribal streak At the Mena House, Pyramids, Youssef Rakha encounters a world apart Click to view caption BELLY DANCERS FROM ALL OVER THE WORLD: Clockwise from top left: Awatef; feeling the beat; working on the hand moves; stretching their bodies -- Awatef is a belly-dancer. Unlike the American icon and teacher Morocco who insists on the term raqs sharqi (Oriental dance), she doesn't object to the designation. Her name would sound sufficiently grassroots in an Egyptian context: old-fashioned it certainly is, but, by itself, it has no particular associations of class or profession. No less than her clothes, on this occasion, her second name, Eshta, casts her rather more clearly in the role of performer and teacher: the word, meaning cream, is a largely common reference to fair-skinned corpulence of the female order -- common in both senses of the word. The story fits together, all things considered, except for one small detail: Awatef Eshta is not Egyptian at all, not even Middle Eastern; like Morocco, her interest in Oriental dance has less to do with perpetuating than transcending the gendered norms of this all but risqué performance tradition; and there are quite a few other things she does besides. Awatef Eshta is actually a biologist, currently a PhD candidate in the subject, having completed postgraduate courses in both biology and Egyptology. So I sometimes collaborate with the Spanish Egyptian Museum in Barcelona... Not, she points out, that they are in any way related. Her interest in biology was rather the result of her love of animals. And I am actually better with animals than with people, so... she giggles. But it's very hard to earn your life as a scientist. It's easier to do it as a dancer, which is not easy anyway. Archery, on the other hand -- what? Because I do archery as well, which I started long before dancing. And most of my life I've made my money by archery, and by dancing. And I love to do scientific work, she sighs, but I hardly get any pay. German-Italian in origin, Awatef has been in Barcelona throughout her life; and for a long time she was subject to a strictly Catholic father, now deceased, who being a mathematician-physicist himself, did not find it in him to give credence even to biology, let alone any form of art. Art was okay, she explains, so long as one practised it as a hobby; as far as he was concerned, the humanities and most sciences were a waste of time. I wanted to train dolphins, when I was little, she declares matter-of-factly. That was my goal in life, and my father said that wasn't a serious job. He barred her from the opportunity to study at the Royal Academy of Dramatic Arts in London -- as a minor she needed his approval -- so I know he would have died, he would've killed me, had he found out I was involved in Oriental dance. Well, he must be turning in his grave as we speak. Awatef went ahead and did biology anyway, later discovering a connection between it and the dance. They're very similar actually, she giggles again. If you think of the technique when you dance you have to end up applying biology everywhere. Because you're working with a living organism, and it's very helpful to have a little bit at least of biology or anatomy in order to explain especially when you're giving class how you do the movements and... It's much easier for the students if they can assimilate what they're going to do. Still, while dancing she doesn't think of herself as a living organism, she says: I try not to think of myself at all, because then I would go hide. Then again, she does think a lot, a little too much maybe, and the conjunction of the two callings has given her plenty of opportunity for that. I try to think of the movements that I am doing but specifically I like to feel it. Both in my mind and in my body. Once I have integrated the feeling very well, I usually try to explain it, through biology. Because I know that even if I am not able to do the movement perfectly yet -- because you need a lot of practice to do it perfectly, years -- it still helps me take it to another level... She looks down, fumbling with her sword -- a dancing gadget that she has brought along. Awatef is one of over 1,200 dancers in the vicinity; and her story, while perhaps not typical, seems representative enough of the story of participants in the event going on -- beautiful women of every conceivable shape, size and hue -- Oriental or belly -- dancers, all. It is Tuesday afternoon at the lobby of the Mena House Hotel, off the elevation leading directly to the Great Pyramid, and, outside that part of the hotel set aside for daytime classes and evening performances and
CiKEAS On the discourse of Islamist failure
http://weekly.ahram.org.eg/2007/853/op5.htm 12 - 18 July 2007 Issue No. 853 Published in Cairo by AL-AHRAM established in 1875 On the discourse of Islamist failure Critics continue to dismiss Islamists for their shortcomings, as though being religious means one cannot make mistakes, writes Khalil El-Anani* The logic of those who oppose Islamists reaching power, let alone keeping it, relies on the primary argument that they are not capable of offering a model of governance that is a beneficial alternative to the status quo. This logic becomes more entrenched as Islamists who have taken up rule have repeatedly failed, as has been the case in Sudan, Afghanistan and Algeria (late 1980s and early 1990s), in addition, more recently, to the experience of Hamas in the occupied Palestinian territories. This discourse reproduces the same dismissive viewpoints that have circled the sphere of Arab elites over the last two decades, becoming politicised and mobilised against one of the effective currents in the Arab arena. Yet it offers no solutions that might wrest our societies from the political and intellectual absurdity to which they have been subject since the 1920s, when political Islam developed. Without being pulled into the same hellish debate on the benefit, or lack thereof, of Islamists reaching power, not to mention the sensitivity of this topic and its influence on political development in the Arab world, it can be stated that an evaluation of the Islamist experience does not need to turn into a seasonal opportunity to haul this intellectual and political current to the gallows. Rather, it should be opportunity to unlock the essence of historical failure of Arab elites of all orientations to pursue the nation- state endeavour and meet its demands. A reading of the discourse currently dominant on the experience of Hamas reveals the confusion present in the Arab mind on the evaluation of Arab political experiences. There are two levels. The first stems from preconceived ideas of Islamists in power. In its evaluation, this current uses derisive language with a taint of vengefulness, aiming to place a future veto on the participation of Islamists in politics. The second level is more open, its evaluation of Hamas stemming from its understanding of the defeatism of mixing the movement's particularities with its intellectual and ideological orientation that is congruent with other movements of wide popular influence. In both its levels, this discourse has fallen into three errors. The first is reproducing the same old arguments on the futility of Islamists participating in politics. Some had thought this had been settled, particularly after confusion regarding the difference between Hamas's extremist and moderate wings had been removed. The second is dealing with the Hamas experience as evidence not only for the failure of Islamists in power, but as decisive proof that the movement to which it belongs -- the Muslim Brotherhood -- is barren. The third mistake is aborting the process of intellectual and political maturation in the Arab region where the historic estrangement between various ideological currents and the Islamic current has softened in the last decade. In its evaluation of the experience of Islamists, the general characteristic of this discourse is found in its focus on the outcomes of the political process in which they are influential. It overlooks, however, the local, regional and international factors that play a decisive role in the success or failure of these experiences. Moreover, the experience of Islamists in power, with all their shortcomings, has not prevented the spread of Islamism's reach. Nor has it prevented Islamist representatives from gaining a majority of popular representation in elections, such as those that took place in Jordan, Yemen, Morocco, Egypt, Kuwait and Iraq. Discussion of the failure of Islamists is not new. The French researcher Olivie Rawa talked about it 14 years ago in his well-known book The Failure of Political Islam. What is new is the supposed source of failure, for while Rawa spoke of the failure of the ultimate function of Islamist movements with regard to establishing an Islamic state, failure today is connected to the ability of Islamists to transform resistance movements into those that hold power, which requires an ability to run people's affairs and handle their economic and social concerns. There is no dispute over the importance of evaluating the experience of Islamists. Yet it would be more beneficial to study the roots of the experience and not just its manifestations, and to focus on the reasons for the hold of this current over social capital in most Arab countries, as well as its success in maintaining its characterisation of being an alternative. This success has reached the point of becoming an
CiKEAS COCOK AMA TUNGLISANNYAH TANTEH MOSLIM
COCOK AMA TUNGLISAN TANTEH MOSLIM 14 july 2007,sebtu benderang Hhehehe,silahken pereksa buat ditelitih. Lalu jadilah pinter,bukannyah bloon tengrus tengrusan. Sambil tambah berguru kepada tanteh Moslim kita. Saktelah membacak kemiripan inih. Shalom omitohud allahu Shabar. Dari yang namanyah Tjan Swie Yong Luar biasa kemajuan Malaysia dibandingkan Indonesia yang makin terpuruk , makin tak berketentuan kayak diskusi di Apakabar yang sering aja malah tak menimbulkan persatuan, mungkin malah menimbulkan kebencian, menimbulkan keinginan sewenang-wenang dan pongah, masak agama yang sebenarnya KEPERCAYAAN , sudah dianggap hal paling benar ? Agama adalah kepercayaan, dan namanya kepercayaan yah seringkali diluar LOGIKA dan diluar SCIENCE yang lebih membutuhkan dalil-dalil, lebih membutuhkan pemikiran ANALISA dan otaklah yang bekerja. Kalau yang namanya kepercayaan , yah nggak butuh logika - analisa - pemikiran kritis dan sebagainya. Lho namanya kepercayaan, yah setiap orang berbeda . Dalam 1 agama saja namanya kepercayaan berbeda misalnya Kresten Katolik berbeda dengan Kresten sempalannya , namanya Bethany berbeda dengan Advent 7 Masehi : yah kayak kepercayaan angka sial : orang Barat masih ada yang percaya bahwa angka 13 merupakan Bad Number, orang Cina percaya bahwa angka 4 dalam pengucapannya SHI sama dengan ucapan mati atau mampus, sedangkan angka 8 dalam pengucapannya FAT atau sama dengan mengucapkan LUCK atau keberuntungan. sedangkan 14 ialah angka FAVORIT-ku seringkali dihindarkan karena artinya DEAD , seringkali dalam perjalanan keluar negeri dengan SQ aku mendapat tempat duduk deretan 14, kali banyak orang Cina Singapura nggak mau duduk dideretan tersebut. Nyatanya selamat terus dan malam hari dalam penerbangan jarak jauh, bisa tidur nyenyak. Dulu aku nggak pernah memperhatikan : Kok sering dapat tempat duduk nomor 14 ? Suatu hari aku berangkat dengan Direktur yang berkebangsaan Inggris dan lama tinggal di Hongkong, dia heran kok aku mau aja dikasih tempat duduk deretan 14, orang Inggris yang lama tinggal di Hongkong banyak terpengaruh Fengshui dan beberapa perusahaan raksasa asal Inggris juga menempatkan direktur Fengshui diperusahaan yang tugasnya mengatur lokasi cabang, lokasi kantor, arah pintu masuk, tanggal berunding dan sebagainya: aneh tapi nyata. Yah, namanya kepercayaan kepada angka, bisa aja fanatik - bisa aja cuek ! Jadi soal Bad Number baiknya tak dijadikan ajang rasisme dengan tuduh menuduh dan menjelekkan, apa ruginya sih bagi kamu kalau ada orang percaya tahayul macam begituan ? Kalau sudah mulai mengumpat, menghina, bisa aja agama juga dihina karena kepercayaan kan nggak mungkin dibuktikan dengan analisa SCIENCE ? Cuma bilang : Itu wahyu Allah ! Orang lain belum tentu mau terima, diperdebatkan ? Yah , sia-sia dan nggak ada gunanya , mau dihina bagaimana kalau sudah FANATIK yah nggak guna. Malah ada orang mau membunuh dan bunuh diri pakai BOM dengan membinasakan banyak orang tak berdosa dan tak tahu menahu, buktinya Bom Bali dilakukan dengan sasaran pengunjung restauran atau orang yang sedang makan malam dan tak ada sangkut pautnya : BUM dan matilah 88 orang Australia dan sekian orang Bali dan sekian orang bangsa lain , ada juga yang seagama dengan pengebom. Dan efeknya ialah ekonomi bangsa Indonesia yang macet , terutama ekonomi Bali yang sedang bagus-bagusnya. Dan bom mengebom sesama agama masih saja terjadi di Irak dan negara lain di Timur Tengah , apa sebabnya ? Antara Sunny dan Shiah juga permusuhannya luar biasa, hanya karena aliran yang berbeda , padahal sebenarnya ajaranya kan Islam Nabi Muhammad S.A.W. Jaringan Islam Liberal juga pernah di fatwa oleh ulama fanatik, padahal Ulil Absar Abdalla kan penganut agama Islam juga dan mempelajari agamanya dengan tekun dan banyak kalangan yang sangat menghormati . Kefanatikan juga yang digunakan untuk main politik, untuk melancarkan kerusuhan-kerusuhan dengan alasan agama , dan ini sungguh mengkhawatirkan dan merupakan kali pembodohan ! Fanatik dan kalau sudah begini kan repot ! Yah, sekian dulu supaya ada pause dan mohon jangan dianggap mencampuri urusan agama , cuma sekedar pendapat dari seorang awam yang belon beragama , terus terang saja mengaku belon beragama sebab memang nggak terlalu yakin akan agama . Apa salah ? Kami cuma menginginkan agar Indonesia maju dalam bidang ekonomi sehingga selanjutnya memajukan pendidikan dan moral, agar rakyat melarat berkurang dan rakyat kecil yang mati karena nggak sanggup berobat berkurang, rakyat yang bodoh yang gampang dihasut berkurang serta keluarga Indonesia yang sejahtera meningkat dengan pesat. Mudah-mudahan banyak orang mau memikirkan bagaimana agar kemakmuran di Indonesia menjadi tema-tema ulasan, paling sedikit menjadikan pemikiran yang berkesinambungan. Salam Indonesia Merdeka !
CiKEAS The myth of an Islamist peril
Print this page The myth of an Islamist peril http://archive.gulfnews.com/opinion/columns/world/10139251.html 07/14/2007 11:31 PM | By Neena Gopal Is Pakistan's Lal Masjid a modern day throwback to India's Golden Temple? As the clamour from Al Qaida's Ayman Al Zawahiri to avenge the killing of the Islamabad mosque's cleric Abdul Rashid Gazi finds resonance through Pakistan at some level, will the attack on the Islamabad seminary complex prove as costly to its President General Pervez Musharraf as the bloody siege of Sikhism's holiest shrine was to India's powerful prime minister Indira Gandhi? Gunned down by her Sikh bodyguards unable to forgive the assault on the place of worship, it was in reality, much like Lal Masjid, an attack on armed militants holed up inside led by a charismatic but flawed Gazi-like figure of Jarnail Singh Bhindranwale. Al Zawahiri's call on Pakistan's seminaries to rise up against Musharraf's government, raises the spectre of Islamist terrorism and paints the Pakistan army as the only bulwark against extremist adventurism. Sceptics are asking the counter question too. Is the myth of an Islamist peril just that, an elaborate story spun by intelligence operatives solely for the gullible West's consumption, a trade off for its largesse; Apres moi, le deluge. That aside, the challenge for India as Pakistan's nearest neighbour and as the booming economy against whom a renewed jihad has the potential to do the most harm, will be to take the lessons from Lal Masjid to heart. The primary one being that the jihadi element that India thought no longer had state blessing and is currently turned towards Afghanistan, is alive and well. The second, demonstrated by the involvement of bombers from India in the failed Glasgow attack is that all roads on this well trodden terror path lead to Londonistan, a euphemism for the ghettoised cities in the United Kingdom where disgruntled young Muslims from the sub-continent and the Arab world, feeding off the pan-Islamic hate cauldron against the West, have exhibited little remorse at waging war against the land they have chosen to live in. That India must contend with the fact that the tentacles of terror stretch back to southern India, to Bangalore, the country's pride, just as 7/7 did to Pakistan is troubling. If Delhi is to prevent a Lal Masjid from erupting within its own borders at the hands of radicalised young Indian Muslims, what must it do? If it does not want to see its imperfect but lively democracy, the only truly representative government in the region, joining a sea of failing states in South Asia, is it time to turn pro-active, reach out to the very people who seek to impair it at every level, be it economic, social or political? Indian Prime Minister Manmohan Singh's relationship with the UK's new leader Gordon Brown may not set the Thames on fire but he must urgently seek an end to the incendiary idiom that draws the Muslims of the sub-continent into the debilitating sub-culture of Middle East politics. India must ask the UK to emulate Gulf countries and enforce stricter controls on sermons by clerics, many of whom have linkages to Al Qaida and make Indian Muslims feel as if they do not measure up to the puritanical standards set by them. As for Pakistan, India and Pakistan have held innumerable meetings with the latest round of the new anti-terror mechanism going nowhere. Delhi must use Lal Masjid as the starting point to change the conversation. They could begin with what has clearly rattled the Indian prime minister - the sight of the chief of a banned jihadi group being driven with former prime minister Chaudhry Shujaat into the Red Mosque to play intermediary. Negotiations broke down. The head of the newly renamed Jamaat ud Dawa is in protective custody, as is another prominent Kashmir jihadi. All the more reason that India should publicly ask its neighbour to live up to the rhetoric of cleansing every nook and cranny of Pakistan of terrorists and actually hand over the wanted men. How it deals with the trickier question of dealing with a double- dealing military consumes the corridors of power here. India has little leverage beyond persuading the US of the perils of letting democracy bolt the stables once again in the belief that the Islamist peril can only be contained by the military; when in reality, it is simultaneously its biggest benefactor. India must also publicly refrain from making the simplistic argument that because two deluded young men out of 150 million Indian Muslims participated in a failed bombing - that too, a flawed syringe bomb - that it is no longer a target but a purveyor of terror. And while India needs a strategy to win the hearts and minds of its young Muslims, whom unlike the impoverished stereotype are a huge
CiKEAS Risman Cacat Seumur Hidup Dianiaya Polisi
http://www.gatra.com/artikel.php?id=106077 Peradilan Sesat Risman Cacat Seumur Hidup Dianiaya Polisi Gorontalo, 14 Juli 2007 12:46 Risman Lakoro, warga Boalemo, Gorontalo, yang menjalani pidana tanpa bersalah dalam kasus pembunuhan anaknya, pernah dianiaya polisi di Polsek Tilamuta. Jari tangannya remuk dijepit pintu hingga cacat seumur hidup. Seorang korban peradilan, Risman Lakoro, warga Boalemo, Gorontalo, mengaku dianiaya para penyidik hingga mengalami cacat seumur hidup. Risman, yang pada 2002 diperiksa aparat Polsek Tilamuta, mengaku disiksa dengan berbagai cara, seperti tangan kirinya dijepit dengan daun pintu hingga patah tulang. Penyiksaan itu membuat tangan saya cacat hingga saat ini, ungkap Risman kepada Antara. Tak hanya itu, ia juga dipaksa mengakui telah melakukan pembunuhan terhadap anaknya, Alta Lakoro, dengan menindih ibu jari kakinya dengan meja, dan para penyidik menaiki meja tersebut beramai-ramai. Sementara itu, Rostin Mahadji, istri Risman yang juga menjadi korban salah vonis tersebut, mengungkapkan bahwa penyiksaan terhadap suaminya itu terjadi berulang kali di depan matanya. Kami memang beda ruang tahanan, tapi suami saya disiksa didepan mata saya karena ruangnya ada di depan ruang tahanan saya, ujarnya sedih. Ia mengaku tak mengalami penyiksaan seberat yang dialami suaminya, namun ibu tiri Alta Lakoro tersebut juga tak luput dari siksaan rotan dan penggaris. Mereka memukuli saya dengan rotan dan penggaris ke bagian punggung, jelasnya. Menurut pengakuan keduanya, penyiksaan serupa tak hanya sekali terjadi, namun sering dilakukan oleh para penyidik selama tiga bulan di ruang tahanan hingga penyidikan selesai. Karena tak tahan disiksa, akhirnya kedua suami istri tersebut terpaksa mengaku telah membunuh anaknya, hingga akhirnya Pengadilan Negeri Limboto menjatuhkan vonis tiga tahun penjara. Kami tak tahan disiksa dan akhirnya mengaku saat persidangan ke lima, kata Rostin. Dari informasi yang dihimpun Antara, penyidikan tersebut salah satunya dilakukan oleh M. Ahmad, yang saat ini menjabat sebagai KBO Reskrim Polres Boalemo. Sementara menurut Rostin, oknum lainnya yang juga turut menyiksanya bernama Mukhsin dan Laduma. Atas dasar itulah, kasus Sengkon-Karta versi Gorontalo ini, akan diadukan oleh Tim Kuasa Hukum ke Komisi Hak Asasi Manusia (HAM). Ini pelanggaran HAM berat dan kami meminta para oknum penyidik tersebut diproses secara hukum, kata kuasa hukum Risman-Rostin, Ismail Pelu. Risman-Rostin merupakan korban peradilan sesat yang terjadi di Kabupaten Boalemo, Gorontalo, yang divonis penjara tiga tahun oleh Pengadilan Limboto pada tahun 2002. Kedua suami istri tersebut dituduh telah membunuh anak mereka, Alta Lakoro, yang sebelumnya telah menghilang sejak 2001, dengan alat bukti berupa penemuan kerangka dan baju Alta Lakoro oleh pihak kepolisian. Namun, pada Juni 2007, Alta yang selama ini telah dianggap meninggal, ternyata masih hidup dan muncul lagi ke kampung halamannya dan membuka tabir buruknya proses peradilan yang dialami Risman-Rostin. Tiga lembaga peradilan yang menangani kasus ini pun terancam diproses hukum, karena ternyata banyak terdapat kesalahan dalam penyidikan hingga pemberian vonis kepada kedua korban. [TMA, Ant] [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS BELUM BERAKHIR
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_cid=294562 Minggu, 15 Juli 2007, BELUM BERAKHIR 1 Indonesia v Arab Saudi 2 JAKARTA - Impian Timnas Indonesia untuk melakukan lompatan sejarah di Piala Asia 2007 tertunda. Harapan mereka untuk menembus babak perempat final di pentas sepak bola antarbangsa-bangsa Asia itu masih belum tercapai. Jalan tim Merah Putih ke babak kedua terganjal oleh kekalahan 1-2 (1-1) dari Arab Saudi pada laga kedua Grup D di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, tadi malam. Sebuah kekalahan yang menyakitkan. Sebab, kegagalan merengkuh angka itu didapatkan Indonesia saat pertandingan memasuki masa injury time. Tepatnya menit ke-92 saat pemain pengganti Saad Al Harthi membobol gawang Indonesia yang dikawal Jendri Pitoy. Sebelum gol itu tercipta Indonesia sudah yakin kalau bakal mengakhiri pertandingan dengan torehan sebiji angka. Karena itu, seluruh punggawa Indonesia yang berada di bangku cadangan dan para suporter yang berdiri di tribun terus menyumandangkan lagu kemenangan. Melihat reputasi Arab Saudi, hasil seri memang ibarat sebuah kemenangan bagi Indonesia. Apalagi, sejarah mencatat bahwa dalam setiap pertemuannya dengan Singa Gurun sepanjang 25 tahun terakhir, Indonesia selalu gagal meraup kemenangan. Tapi apa daya, gol Saad di masa injury time langsung membuat gol Indonesia yang dicetak Elie Aiboy menit ke-19 tak lagi berarti. Sebab sebelum gol Elie, Arab Saudi sudah leading terlebih dulu lewat tandukan Yasser Al Qahtani menit ke-14. Karena itu, bukan sesuatu yang salah, jika semua punggawa Indonesia langsung terkulai dan tertunduk lesu begitu wasit Ali Al Badwawi meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. Terus terang saya kecewa. Kami harusnya dapat satu poin dalam pertandingan kali ini. Saya menyesal dengan hasil ini dan saya minta maaf kepada semua pemain, suporter, dan orang-orang yang telah mendukung tim Indonesia, ungkap Ivan Venkov Kolev, pelatih Indonesia seusai pertandingan. Meski gagal merengkuh kemenangan dari Arab Saudi, bukan berarti jalan Indonesia ke babak kedua menjadi tertutup. Peluang skuad Garuda ke babak delapan besar masih terbentang lebar dengan koleksi tiga poin yang masih dikantongi. Memang peluang itu tak lagi sebesar sebelum Indonesia kandas di tangan Arab Saudi, namun kans itu tetap ada. Meski lawan terakhir yang bakal dihadapi Indonesia adalah raksasa sepak bola Asia Korea Selatan. Tapi, harapan itu tetap belum tertutup. Secerca peluang itulah yang membuat suporter Indonesia tak begitu larut dalam kekecewaan saat harus pulang dengan membawa kenyataan tim pujaannya mengalami kekalahan. Karena itu, sebelum meninggalkan stadion, para suporter masih menyempatkan memberi apresiasi dan semangat kepada Bambang Pamungkas dkk dengan yel-yel Indonesia. Indonesia. Indonesia. Semua jelas kecewa. Tapi, perjuangan belum berakhir dan peluang kami belum tertutup. Peluang itu masih ada seperti apa yang tergambar dari nyanyian para suporter di akhir pertandingan, tegas Bambang Pamungkas. (fim/ady/dio) HASIL TADI MALAM Grup C Uzbekistan 5 Pencetak gol: Maksim Shatskikh 10, 89, Timur Kapadze 29, Ulugbek Bakaev 45-pen, Aziz Ibragimov 85 Malaysia 0 Grup D Indonesia 1 Pencetak gol: Elie Aiboy 16 Arab Saudi 2 Pencetak gol: Yasser Al Qahtani 12, Saad Al Harthi 90 KLASEMEN SEMENTARA Grup A 1. Iraq 2 1 1 0 4-2 4 2. Thailand 2 1 1 0 3-1 4 3. Australia 2 0 1 1 2-4 1 4. Oman 2 0 1 1 1-3 1 Grup B 1. Jepang 2 1 1 0 4-2 4 2. Vietnam 2 1 1 0 3-1 4 3. Qatar 2 0 2 0 2-2 2 4. UEA 2 0 0 2 1-5 0 Grup C 1. Tiongkok 1 1 0 0 5-1 3 2. Uzbekistan 2 1 0 1 6-2 3 3. Iran 1 1 0 0 2-1 3 4. Malaysia 2 0 0 2 1-10 0 Grup D 1. Arab Saudi 2 1 1 0 3-2 4 2. Indonesia 2 1 0 1 3-3 3 3. Korsel 1 0 1 0 1-1 1 4. Bahrain 1 0 0 1 1-2 0 FACTS AND FIGURES 1. Kekalahan Indonesia memperpanjang daftar tak pernah pernah menang atas Arab Saudi selama 24 tahun. 2. Indonesia kehilangan Eka Ramdani pada laga menghadapi Korsel (18/7) karena akumulasi kartu kuning. 3. Pemain Merah Putih gagal memberikan kado ulang tahun kepada Ivan Kolev yang kemarin tepat berusia 50 tahun. 4. Selain Kolev, dalam laga kemarin yang ulang tahun adalah Khaled Al Thaker yang ke-26. :: Kembali [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Parpol Besar Bermental Penjajah
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_cid=294196 Jumat, 13 Juli 2007, Parpol Besar Bermental Penjajah Paket RUU Politik yang segera dibahas Pansus DPR ibarat bola liar bagi parpol. Mereka ingin merebut dan menendang bola itu ke daerahnya sendiri yang paling aman. Bagaimana strategi PKS? Berikut wawancara Jawa Pos dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring. Apa pandangan PKS terhadap ide penyederhanaan partai? Menurut saya, penyederhanaan tersebut menggunakan cara-cara yang natural saja. Jangan dibatasi terlalu ketat karena membuat partai itu tidak gampang. Syarat pada 2004 saja itu sudah cukup berat. Jika ditingkatkan, partai-partai yang ada saat ini bisa rontok. Jika dibiarkan berjalan natural, Pemilu 2009 bisa menghasilkan 10-12 partai. Itu cukup logis. Tetapi, partai besar minta ada pengetatan syarat ikut pemilu? Itu namanya mereka (parpol besar, Red) bermental penjajah. Kolonial. Mereka ingin mengecilkan partai baru dan partai menengah. Seharusnya, partai baru diberi kesempatan. Dulu membentuk partai dengan syarat mendirikan 50 persen kepengurusan provinsi, 25 kabupaten/kota, dengan seribu orang di setiap kepengurusan saja sudah sulit. Padahal, aturan partai sekarang tidak boleh menerima dana dari sejumlah sumber. Tidak boleh punya badan usaha. Jadi, seperti dibiarkan mati kurus kering. Menurut Anda berapa electoral threshold yang layak? PKS sedang membahas. Secara pribadi, saya sepakat tiga persen. Itu saja sudah berat. Belum saatnya ditambah lagi. Parliemantary threshold itu dinilai lebih sadis ketimbang electoral threshold. Sasaran ide itu adalah memperbesar kekuasaan yang sudah besar. Padahal, sistem parlemen kita lebih mengedepankan kebersamaan. Partai-partai itu ingin menunjukkan jati dirinya. Jika diganjal, mereka tidak akan memperoleh pengalaman. Setujukah Anda proporsional terbuka dengan suara terbanyak? Bukan soal setuju atau tidak setuju. Saya melihat sistem proporsional terbuka itu tidak jauh berbeda dengan sistem distrik. Konon, ide tersebut pernah dibahas Partai Golkar dan PDIP dalam pertemuan di Medan. PKS sendiri mendukung tetap digunakannya sistem proporsional terbuka tertutup. Artinya, jika caleg tidak mampu memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP), keputusan diserahkan ke partai dengan mekanisme nomor urut. Dengan itu, semua partai bisa berpeluang. Jangan sampai pengetatan aturan tersebut menjadi sumbu keributan politik nasional. Berapa president threshold yang logis? Kalau sekadar untuk pencalonan, saya kira 15 persen itu logis. Tapi, angka threshold itu perlu dikaji lagi jika ingin dinaikkan, mungkin 20 persen. Memang Partai Golkar berpeluang. Tapi, mereka tidak akan maju sendiri karena 20 persen itu belum angka mutlak yang mendekati mayoritas. Meski bisa, presiden yang diusulkan dengan hanya 20 persen tersebut tidak cukup kuat untuk memimpin bangsa ini. Bisa-bisa pemerintahannya nanti ditimpuk terus oleh parlemennya. Contohnya? Saat mencalonkan SBY-Kalla, angka threshold dari koalisi Partai Demokrat, PBB, PKS, dan PKPI hanya 17,5 persen. Akibatnya, saat terjadi serangan koalisi kebangsaan dalam penentuan formasi pimpinan parlemen, posisi ketua komisi diborong semua. Kita hanya kebagian satu. Jadi, DPR masih tetap berpeluang untuk menggoyang, ke depan jangan sampai kita terus berkutat dalam ketidakstabilan itu. Tapi, jangan pula dukungan parlemen atas pemerintah sangat dominan. Nanti bisa jadi otoriter. (ahmad khoirul umam) [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Ubah Peta Politik Daerah
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_cid=294183 Jumat, 13 Juli 2007, Ubah Peta Politik Daerah Gagasan pemerintah membagi daerah pemilihan (dapil) DPRD berdasar wilayah administrasi tanpa penggabungan-penggabungan dinilai akan membawa sejumlah implikasi serius, baik dalam konteks keterwakilan maupun politis. Dari hasil simulasi yang dilakukan Centre for Electoral Reform (CETRO) dengan menjadikan DPRD Provinsi Jawa Tengah sebagai contoh kasus, ditemukan sejumlah hasil mengejutkan. Direktur CETRO Hadar N. Gumay menyampaikan, bila usul pemerintah membagi dapil DPRD provinsi menjadi kabupaten/kota tanpa penggabungan dikabulkan, Jateng akan memiliki 35 dapil untuk Pemilu DPRD 2009. Dengan menghitung kembali data perolehan suara masing-masing partai untuk pemilu DPRD di Jateng pada 2009, CETRO menangkap adanya gejala peningkatan suara yang hilang dan penurunan suara yang terwakili. Hadar menggambarkan, pada Pemilu 2004, dengan 10 dapil di Jateng, hanya ada 2,4 juta (13,8%) suara yang hilang, yang tingkat keterwakilannya 15,2 juta (86,2 persen). Dengan menyimulasikan usul dapil ala pemerintah kepada hasil Pemilu DPRD Jateng 2004 itu, kondisinya semakin buruk. Jumlah suara hilang meningkat menjadi 6,9 juta (39,3 persen) dan suara yang terwakili justru turun ke angka 10,6 juta (60,7 persen). Gejala ini juga terjadi pada daerah-daerah lain di Indonesia, tegasnya. Secara politis, lanjut dia, hasilnya juga tak kalah mengejutkan. Bila Provinsi Jateng dibagi 35 dapil menurut masing-masing kabupaten/kota, akan terlihat adanya perubahan komposisi kursi di parlemen. Saat ini, dengan mengacu kepada UU No.12/2003 tentang Pemilu Legislatif, di DPRD Jateng terdapat 100 kursi. Namun, dengan merujuk kepada draf RUU yang diajukan pemerintah, jumlah kursi DPRD Jatim hanya 90. Itu merupakan jumlah alokasi kursi tertinggi untuk provinsi dengan jumlah penduduk di atas 11 juta. Penduduk Jateng mencapai 17,6 juta. Simulasi CETRO, jelas Hadar, dengan mengombinasikan semua usul pemerintah itu. Sekarang, dengan 100 kursi yang terbagi ke 10 dapil, komposisi kursi DPRD Jateng terdiri atas Golkar, PDIP, PAN, PPP, PKS, PKB, dan Partai Demokrat. Bila usul pemerintah digunakan dengan asumsi DPRD Jateng hanya memiliki 90 kursi, akan ada partai yang terdepak dari DPRD Jateng, yaitu PKS. PKS yang sebelumnya memperoleh 7 kursi justru malah bisa tidak mendapatkan apa-apa, ujarnya. Menurut Hadar, bila usul pemerintah tersebut diterapkan secara nasional, untuk level DPRD Provinsi akan ada 61 dapil yang besaran DP-nya hanya satu kursi. Berturut-turut, 2-3 kursi di 192 dapil, 4-12 kursi di 176 dapil, dan lebih dari 12 kursi di 11 dapil. Simulasi itu, jelas Hadar, dilakukan dengan menggunakan data jumlah penduduk dan kabupaten/kota (440, Red) pada pemilu presiden putaran kedua. Kalau hanya 3 atau 2 kursi per masing-masing dapil, apalagi sampai ada yang benar-benar cuma satu, yang terlihat bukan lagi proporsional, tapi distrik, katanya. Bila menggunakan sistem distrik, potensi suara hilang juga semakin besar. Secara umum, ini kurang baik buat demokrasi kita, ujarnya. Terkait usulan pemerintah untuk tetap mempertahankan dapil bagi anggota DPR pusat sesuai pemilu 2004, menurut Hadar, sejumlah partai justru memiliki kecenderungan untuk mengupayakan penambahan jumlah dapil itu. Perdebatan hangat akan terjadi di sana. Ada partai yang ingin memperbanyak dapil dan memperkecil jumlah kuota kursi di masing-masing dapil itu, ujarnya. Paling tidak, usul tersebut telah terlontar dari PKB yang menghendaki batasan di setiap dapil 3-10 kursi dan Partai Golkar 3- kursi. Kalau sekarang, UU 12/2003 menetapkan alokasi kursi per Dapil antara 3-12 kursi. Pemerintah juga menghendaki batasan 3-12 kursi itu tidak direvisi. Munculnya usul untuk mempersempit besaran daerah pemilihan tentu bukan tanpa alasan. Secara teoretis, semakin sedikit jumlah kursi yang diperebutkan dalam satu dapil semakin kecil pula peluang bagi partai politik gurem untuk mendapatkan kursi. Penambahan dapil hanya akan menguntungkan partai-partai besar, kata Ketua DPP PBB Djamaluddin Karim. Sebab, konsentrasi perolehan suara partai-partai kecil menjadi semakin terpecah dan tak mampu mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP) di masing-masing provinsi. PBB yang hanya memperoleh 11 kursi (2 persen) termasuk salah satu partai yang terancam batasan electoral threshold 3 persen dan penambahan dapil pada pemilu 2009 nanti. (pri [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Iklan Hidup Bebas Telah Merasuki TV Indonesia
Iklan Hidup Bebas Telah Merasuki TV Indonesia http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=10dn=20070706192507 Oleh : Merza Gamal KabarIndonesia - Sebelum masa reformasi, kondom dikenal sebagai salah satu alat kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana yang dicanangkan pemerintah. Iklan kondom di media televisi dialkukan dengan bahasa isyarat yang masih malu-malu. Namun di era ekonomi baru saat itu telah terjadi perubahan signifikan dalam penampilan iklan kondom. Jika dahulu digambarkan dengan seorang suami yang malu- malu menangih sesuatu pada sang istri sebagai pasangan resminya, maka pada saat ini iklan kondom digambarkan tanpa malu-malu lagi. Sebuah iklan kondom di televisi menceritakan sekelompok laki-laki muda mengendarai beberapa motor. Kelihatannya mereka akan bersenang- senang. Salah satu dari mereka mengajak untuk membeli antibiotik di sebuah toko obat. Pelayan di toko obat bertanya, antibiotik itu untuk apa? Para lelaki muda itu mejawab bersamaan : Supaya terhindari dari HIV. Lalu si pelayan di toko obat mengatakan yang bisa mencegah HIV bukan antibiotik tapi kondom. Dengan demikian fungsi kondom bukan lagi sebagai alat kontrasepsi untuk sebuah program Keluarga Berencana, namun sebagai sebuah alat penjaga kesehatan. Arti yang lain, iklan tersebut tidak mempersoalkan hubungan seks yang kemungkinan besar akan dilakukan para lelaki itu, dengan pasangan resminya atau bukan. Iklan itu lebih mementingkan kesehatan pelaku. Mencegah HIV yah dengan kondom bukan dengan antibiotik. Memang itu iklan tersebut adalah sosialisasi dari pemakaian kondom sebagai salah satu pencegah penularan HIV. Kalau kita menilik lebih jauh, iklan tersebutkan memberi contoh kehidupan seks bebas. Tidak berbeda dengan iklan kondom komersil, dimana diperlihatkan seorang lelaki dan perempuan membeli kondom lebih dulu disebuah swalayan berbeda sebelum masuk di tempat semacam café/bar/diskotik. Kemudian ketika bertemu, duduk berangkulan lalu berdiri meninggalkan tempat tersebut sambil tetap berangkulan. Dan yang lebih mencengangkan lagi sebuah iklan kondom yang menggambarkan remaja ABG yang akan hang out dengan memakai helm sebagai simbol keamanan dan dibumbui dengan kata-kata cewek-cewek sukanya yang aman kemudian diikuti dengan penampilan kondom merk terkenal. Saya hanya bisa mengurut dada menyaksikan iklan-iklan tersebut yang mengartikan bahwa media televisi sudah mensosialisaikan kehidupan seks bebas di Indonesia. Dan yang lebih menyedihkan iklan-iklan tersebut bisa muncul kapan saja, bukan pada jam tayang tengah malam. Saya punya anak-anak yang masih kecil-kecil dan sangat mudah meniru hal-hal yang belum konsumsi mereka. Saya atau istri saya mungkin bisa mematikan televisi jika sedang berada di rumah atau pada acara- acara jam dewasa. Tapi sehari itu ada 24 jam dan tidak setiap saat kami bisa mengontrolnya. Dan jika anak dilarang sama sekali tidak menonton TV, apakah itu sebuah tindakan yang bijak, sementara semua teman sebayanya juga sedang senang-senangnya menonton TV??? Apakah memang pada era ekonomi baru saat ini, kegiatan ekonomi harus bebas nilai??? Apakah nilai kesehatan lebih tinggi dari nilai moral (yang diajarkan oleh agama manapun) dalam menjual sebuah produk ekonomi?? Mungkinkah saya harus seperti Ebiet G Ade untuk menanyakan pada rumput yang bergoyang??? Sedangkan rumput pun sudah sulit ditemukan saat ini. Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami) Blog:http://www.kuis-bola.blogspot.com/ Email: [EMAIL PROTECTED] Big News Today..!!! Let's see here: www.kabarindonesia.com
CiKEAS APAH YANG KALIAN LAKUKEN BUAT INDON?
APA YANG KALIAN LAKUKEN? 14 july 2007,sebtu tantangan Kedua pejabat itu menyerukan agar warga Tangerang wilayah utara segera mengubah perilaku hidup tak sehat mereka. Sejak 25 tahun lalu, kata Kandun, warga Sepatan dan sekitarnya lebih suka buang air besar di belakang rumah atau di sawah. Hidup sehat, di antaranya dengan memiliki kamar kecil dilengkapi kloset, belum menjadi prioritas sebagian warga di kawasan itu. Hasil survei dinas kesehatan menunjukkan Hmm,daku menunglisnyah,boleh dibilang sadis, Tatapi kalianpun kutantang buat melakuken APAH YANG BENER BUAT ORANG LAEN. Mangka kubilang jugak bukan? Lebak, Banten ituh tempatnyah bajingan ugamak, Yang pinternyah NUNGGING HAJAH, Atawa tungging tunggingan dalem pelacuran, Baek legal illegal hehehehe. Sementarah di deket sepatan ituh, Kubuatken tempat beraknyah para moslimah Yang jorok kerna conto dididikan. Dan kutambahin jugak dengen SUMUR GALIAN. Kerna sumur pompanyah DIMALINGIN TENGRUS TENGRUSAN. Sembari kubilang, Apah yang kalian lakuken buat BANGSA HARAM JADDAH INIH? SUNGPAYA ANAK2 JANGAN MUNTABERAK HAJAH? Dan kuharepken. Lurah camatnyah MENTERTIBKEN KALI CISADANEH YANG DIJARAH PARA CUKONG SIPIT DAN CUKONG ITEM BUSEK!! Minggu, 15 Juli 2007 Korban Muntaber Sumur Warga Ditaburi Kaporit tangerang, kompas - Penderita muntaber di Kabupaten Tangerang, Banten bagian utara, terus bertambah. Sampai dengan Sabtu (14/7) malam, jumlah penderita sudah sekitar 350 orang, dengan korban meninggal tetap tiga orang, seperti sehari sebelumnya. Sekitar 30 pasien sudah pulang dari perawatan di puskesmas. Jumlah penderita ini naik tajam dibandingkan dengan angka penderita pada Jumat lalu yang hanya mencapai lebih dari 100 orang. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang Hani Hariyanto, penderita bertambah begitu cepat kemungkinan karena kuman sudah menyebar, terutama di keluarga penderita yang menyentuh bekas muntahan atau kotoran korban. Upaya menghentikan penyebaran kuman penyebab penyakit muntaber dilakukan dengan penaburan kaporit ke sumber-sumber air, tetapi belum menampakkan hasil. Pembagian bubuk kaporit dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Kami baru melakukan kaporisasi di beberapa desa. Program itu akan kami perluas untuk meminimalkan penyebaran kuman, ucap Hani. Kepolisian Resor Tangerang pada Jumat malam juga menghentikan produksi minuman orson di industri rumahan di Kecamatan Sepatan. Orson adalah minuman kegemaran warga Sepatan yang diduga berandil pada penyebaran muntaber. Muntaber kembali menyerang wilayah utara Kabupaten Tangerang sejak Kamis petang. Sampai dengan Jumat lalu, tiga penderita meninggal sebelum tiba di puskesmas dan lebih dari 100 warga dirawat di puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang (Kompas, 14/7). Terus menyebar Sepanjang Sabtu tak hanya penderita yang bertambah, tetapi sebaran kuman juga lebih luas. Dari semula di 20 desa, meluas menjadi 32 desa di Kecamatan Sepatan, Sepatan Timur, Pakuhaji, Sukadiri dan Rajeg. Akibatnya, penderita terus berdatangan ke Puskesmas Kedaung, Sepatan, dan Pakuhaji. Di Pakuhaji kemarin masuk 17 pasien baru. Di Sepatan, dari Sabtu dini hari hingga malam terdapat lebih dari 150 pasien baru. Untuk menampung pasien, di halaman Puskesmas Sepatan dibangun dua tenda untuk menampung sekitar 80 pasien di atas velbed. Puskesmas Pakuhaji, rumah dinas, ruangan lain, dan teras kantor juga menjadi tempat perawatan. Tenda milik Departemen Sosial didirikan untuk menampung pasien baru. Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang kini menyiapkan Puskesmas Mauk untuk menjadi tempat rawat inap 50 pasien muntaber. Adapun RSUD Tangerang hanya menjadi tempat rujukan bagi pasien yang tak mampu lagi ditangani puskesmas. Ubah perilaku Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan I Nyoman Kandun dan Wakil Gubernur Banten M Masduki menengok penderita muntaber di Pakuhaji, Kedaung, dan Sepatan. Kedua pejabat itu menyerukan agar warga Tangerang wilayah utara segera mengubah perilaku hidup tak sehat mereka. Sejak 25 tahun lalu, kata Kandun, warga Sepatan dan sekitarnya lebih suka buang air besar di belakang rumah atau di sawah. Hidup sehat, di antaranya dengan memiliki kamar kecil dilengkapi kloset, belum menjadi prioritas sebagian warga di kawasan itu. Hasil survei dinas kesehatan menunjukkan