Assalamu'alaikum wr.wb.,

Lembang Alam


4. KETINGGALAN SHALAT MAGHRIB

Pulang dari shalat ashar hari Jumat itu sudah lebih
jam empat sore. Kami berlima berbincang-bincang di
kamar di pemondokan. Sekalian mensihati anak-anak.
Bahwa pada saat melaksanakan ibadah haji ini anjuran
utamanya adalah menghindarkan ‘rafats’ , ‘jidal’  dan
‘fusuq’ serta mengikhlaskan waktu untuk beribadah
semata-mata karena Allah. Jangan terlalu banyak omong
yang tidak perlu karena salah-salah bisa terbelok ke
hal-hal yang tidak sopan, yang porno (rafats) atau
terbelok kepada pertengkaran (jidal) atau bahkan
terbawa menjadi pendurhaka baik kepada orang tua
maupun kepada Allah   (fusuq). Waktu ngobrol-ngobrol
itu saya menanyakan adakah yang ingat jam berapa waktu
maghrib sore itu, yang dijawab anak saya jam setengah
tujuh. Perasaan saya menerima jadwal itu mengingat
tadi ashar jam empat kurang dua puluh menit. Dan
kebetulan dari kamar kami di tingkat sembilan tidak
terdengar suara azan. 

Kami berangkat ke mesjid jam enam lebih sepuluh. Di
lobby hotel saya bertemu ketua rombongan dari
pelaksana haji dan kami melangkah sama-sama ke mesjid.
 Di jalan dia katakan bahwa kayaknya kita terlambat,
deh. Dan ternyata....masya Allah.... waktu kami baru
sampai di batas lapangan/pekarangan mesjid imam sudah
mengucapkan salam tanda shalat sudah selesai.  Saya
merasa sedih, tapi apa yang mau dikatakan? Akhirnya
kami shalat berjamaah di pekarangan mesjid itu yang
diikuti juga oleh beberapa jamaah lain. Ternyata waktu
maghrib itu jam enam kurang.

Sehabis shalat maghrib di pekarangan itu saya
meneruskan masuk ke mesjid menunggu waktu shalat isya
sambil membaca Quran. Saya mengambil tempat di
belakang pembatas saja. Waktu isya jam setengah
delapan. Pada saat mata saya sudah agak lelah membaca
saya coba memperhatikan jamaah yang banyak ini. Benar,
yang dominan adalah orang-orang Afrika. Berbagai macam
cara mereka berpakaian, cara memakai penutup kepala.
Berbeda-beda pula cara mereka melakukan
gerakan-gerakan shalat. Namun saya melihat suatu
keseragaman. Semua menghadap kiblat, semua takbir,
semua shalat. Wajah-wajah mereka semua adalah
wajah-wajah tunduk dan patuh. Saya tidak melihat yang
berwajah sombong. Tidak saya lihat yang bersikap
petantang-petenteng. Tidak ada yang misalnya mencoba
cari gara-gara.  Pada waktu seseorang minta tempat
untuk duduk, meskipun sebenarnya tempat itu sudah
cukup sempit tidak pernah saya lihat ada yang protes,
yang menyuruh cari tempat lain saja. Semua tunduk,
semua patuh, semua berusaha menahan diri. Benarkah
semua? Wallahu a’lam, tapi itu yang saya lihat.

Sesudah azan isya dikumandangkan, semua bersiap-siap
berdiri untuk shalat sunat sambil menyusun barisan. 
Waktu shalat isya dimulai, semua berbaris rapi dalam 
shaf yang berdesak-desak, yang bahu dengan bahu saling
berhimpitan. Semua mengikuti imam. Meski tetap ada
tentu saja yang sedikit berbeda, antara yang
bersedekap dengan yang tidak bersedekap tapi tidak
satupun yang menyangkal atau melawan komando imam.
Atau yang menandingi suara dan bacaan imam. Kita tidak
melihat lagi perbedaan antara Sunny  dan Syiah. Bahkan
kita jadi tidak tahu siapa yang Sunny siapa yang
Syiah. Meski kita bisa mengenali jemaah dari Iran
dengan jubah dan sorban hitamnya yang khas. Semua
adalah sebuah jemaah yang satu belaka. Subhanallah.
Masya Allah, seandainya umat yang banyak ini bisa
berada dibawah satu komando seperti ini dalam
kehidupan sehari-hari. Betapa akan luar biasa kuatnya
umat ini.

Shalat isya itu saya mengenali suara imam Huzaifi
dengan suara beratnya yang khas yang saya memiliki
kaset tilawahnya. Bacaan dengan iramanya yang saya
coba meniru tapi tidak pernah bisa pas. Ya Allah,
betapa syahdunya shalat dibelakang imam yang bacaannya
sangat tartil itu. 

Selalu ada shalat jenazah setiap selesai shalat
fardhu.  Begitu bilal memberi tahukan ‘ashshalaatu
‘alal amwaatu yarhamukumullaah’ semua kembali berdiri.
Bershaf-shaf, tertib, menunggu komando imam. Dan
kamipun shalat jenazah. Saya selalu ingat ketika saya
dulu di tahun sembilan puluh diingatkan oleh seorang
jamaah bahwa shalat jenazah hanya satu salam. Begitu
imam membaca satu kali salam maka muazin yang
menyambung bacaan imam ikut mengucapkan salam. Satu
kali. 

Sesudah shalat isya saya bergegas pulang ke pondokan.
Masih belum berusaha untuk masuk ke Raudhah. Biarlah
nanti-nanti saja. Saya rasa mungkin akan lebih mudah
pada waktu dhuha dan saya merencanakan untuk
melakukannya besok pagi saja.

Di luar mesjid terlihat pemandangan yang sama dengan
tadi siang sesudah shalat Jumat. Ribuan jemaah, bahkan
mungkin puluh ribuan jamaah atau bahkan lebih banyak
lagi, keluar dari mesjid berombongan-rombongan kecil.
Dari segala bangsa. Dengan segala macam atribut. Dulu,
ditahun sembilan puluh, saya pernah merasa aneh dan
kurang suka melihat jemaah dari Kabupaten Langkat
misalnya memakai kaus dengan logo kabupaten di
punggungnya. Saya merasa itu mengganggu saja, memaksa
orang harus membacanya. Tapi agaknya pendapat itu
perlu dikoreksi. Sekarang yang memakai kaos bertulisan
di punggung, atau di mukena tidak hanya jamaah dari
Indonesia tapi dari bermacam-macam negeri seperti
Kosovo, Bosnia, India bahkan Turki dan lain-lainnya.
Tujuannya agar mudah dikenali pada saat terpisah dari
jamaah lain dan tidak tahu jalan pulang ke pondokan.

Malam itu ada taklim di pondokan. Ustad-ustad
pembimbing termasuk yang dari rombongan besar, yang
baru datang tadi pagi (padahal mereka berangkat duluan
dari kami) menyampaikan ceramah yang berkaitan dengan
ibadah haji. Sesudah itu kami  masuk kamar untuk
beristirahat. Saya menambah tadarusan al Quran sebelum
tidur.
                        *****



=====

St. Lembang Alam



__________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Search - Find what you’re looking for faster
http://search.yahoo.com
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke