Justru dengan pelacakan Mitokondria DNA (MtDNA) manusia pertama yg menetap
di semenanjung Malaysia adalah migrasi pertama manusia ke kawasan ini,
berdasarkan
pelacakan MtDNA nya Suku Semang didaerah sekitar Danau Peninsula- Malaysia
oleh Prof. Stephen Oppenheimer  diperkirakan merupakan nenek moyang yg tiba
74000-80000 thn silam (Out of Africa). Ditambah Bukti ditemukannya peralatan
arkeologi berupa palu dan sebagainya yg tertutup debu vulkanik 74000 tahun
lalu, menunjukkan mereka telah tiba dan menetap disemenanjung malaysia
sebelum Gn. Toba meletus. Akibat perluasan garis pantai karena penurunan
permukaan laut 120m pada 25000-15000 tahun lalu menyebabkan meluasnya
daratan terjadi migrasi lanjutan sampai ke australia. (Ir.Agus Haryo
Sudarmojo, Perjalanan Akbar Ras Adam, Mizania 2009).

Apakah akar bahasa melayu dari migrasi manusia tersebut?..masih jadi asumsi,
karena migrasi berikutnya mencirikan perbedaan yg menyolok antara ciri
manusia semang dengan pendatang berikutnya. Ahli sejarah malah
mengelompokkan Melayu dalam dua kelompok besar migrasi I - Proto melayu dan
Migrasi berikutnya Deutro-Melayu yg mendesak Proto Melayu kepedalaman. Tetap
saja penjelasan sejarah menekankan bahwa migrasi tersebut dari Semenanjung
Melayu (Malaysia sekarang) ke Pulau Sumatra. yang tak berdasar sebenarnya
adalah perkembangan terbaru (Out of Taiwan) dengan tujuan kalimantan barat
dan menuju sumatra dan semenanjung Melayu.
Saya setuju bahwa kontak Cina dengan Moloyu (Melayu)sdh ada pada abd 7,
namun publikasi yg mengatakan Mlayu (Melayu) adalah diskripsi dari bahasa
jawa sangat tak masuk akal, karena keberadaan Melayu lebih awal dari
kerajaan/budaya bahasa di Jawa.
Kedatangan Islam dengan jajaring kesultanan malah memperluas pemakaian
bahasa Melayu ke seluruh Nusantara.

Jadi bisa disederhanakan:
Out of Africa===Suku Semang (semenanjung Malaya-terisolir)===Migrasi I
(Proto Melayu) ke Nusantara (Melayu)===Migrasi II (Deutro
Melayu)===Semenajung Malaysia ke Pesisir Riau-jambi (Kerajaan Pra Melayu: Abad
3 Tchu Po, Ko Ying, dan Sanfoshih, Kant`oli pada abad ke-5 dan ke-6 M dan
Moloyu (Melayu) pada abad ke-7 M. )===Sri Vijaya (Bahasa Melayu beraksara
Pallawa, terbatas di sumatra bgn selatan, asumsi sejarawan malah ke seluruh
nusantara???)===kesultanan Islam (Menyebar luas dikawasan Nusantara Bahasa
Melayu Beraksara Jawi)===Penjajahan (Bahasa Melayu beraksara Latin)

Silahkan baca di link berikut:
http://melayuonline.com/ind/article/read/947/jejak-jejak-budaya-di-kepulauan-riau-selayang-pandang-tentang-keemasan-melayu-di-nusantara
dan
http://melayuonline.com/ind/article/read/852/bahasa-melayu-penyebar-budayapengaruh


Gelombang migrasi pertama konon menunjukkan ciri ras Weddoid yang datang
sesudah zaman es terakhir. Ras ini disebut-sebut sebagai ras pertama yang
menghuni Nusantara. Sisa-sisa nenek moyang ras gelombang pertama ini masih
ada sampai sekarang, yang merupakan golongan tersendiri di Riau dan disebut
sebagai Orang Sakai, Orang Hutan, dan Orang Kubu. Orang-orang asli ini
memiliki populasi yang tidak banyak. Orang Sakai mendiami Kecamatan
Kuno-Darussalam, Kabupaten
Kampar<http://wisatamelayu.com/id/dest.php?a=a04vbUhhUkVOSTQy=>,
dan Kecamatan Mandau, Kabupaten
Bengkalis<http://wisatamelayu.com/id/dest.php?a=Tk4vbUhhUkVOSTQy=>.
Jumlahnya terbatas, kira-kira 2160 jiwa. Orang Hutan mendiami Pulau Penyalai
di Kecamatan Kuala Kampar di Kabupaten Kampar, dengan jumlah sekitar 1494
jiwa.

Gelombang migrasi pertama terjadi pada periode 2500-1500 SM dengan berciri
ras Proto Melayu yang merupakan pendukung
kebudayaan<http://melayuonline.com/ind/article/read/culture>zaman batu
baru. Mereka menyebar ke Pulau Sumatra melalui
*Semenanjung Melayu* (Malaysia sekarang). Sisa mereka terdapat di Riau, yang
dikenal sebagai Orang Talang Mamak dan Orang
Laut.<http://melayuonline.com/ind/article/read/ind/libraries/book/2884>Orang
Talang Mamak menetap di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat,
Kabupaten Indragiri Hulu, dengan populasi sebanyak 3276 jiwa (1980). Orang
Laut menghuni Kecamatan Reteh dan Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri
Hilir, serta di Kecamatan Tambelan, Kepulauan Riau, sebanyak 2849 jiwa.
Selain itu, ada golongan orang-orang asli lainnya yaitu Orang Akit yang
mendiami Kecamatan Rupat, Bengkalis, Mandau, Tebing Tinggi di Kabupaten
Bengkalis, sebanyak 11625 jiwa.

Gelombang migrasi ras Melayu kedua datang sesudah tahun 1500 SM yang disebut
Deutro Melayu. Golongan ini menyebabkan Proto Melayu menyingkir ke
pedalaman, sisanya bercampur dengan pendatang baru. Proses selanjutnya,
orang-orang Deutro Melayu bercampur lagi dengan pendatang-pendatang dan
berbagai golongan berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Percampuran itu
menghadirkan suku-suku bangsa Melayu. Mereka inilah penduduk mayoritas yang
mendiami kawasan Riau. Suku-suku bangsa Melayu Riau menghadirkan sub-sub
suku bangsa Melayu Siak, Melayu Bintan, Melayu Rokan, Melayu Kampar, Melayu
Kuantan, dan Melayu Indragiri, dengan alat komunikasi utama (*lingua franca*)
bahasa Melayu tersebar ke seluruh pelosok Nusantara. Bahasa Melayu Riau
dibedakan sebagai dialek bahasa Melayu Riau kepulauan dan pesisir serta
dialek Melayu Riau daratan. Dialek pertama adalah sub-dialek Tambelan,
Tarempa, Bunguran, Singkep, Penyengat, dan lain-lain. Sementara dialek kedua
adalah sub-dialek Kampar, Rokan, Kuantan, Batu Rijai, Peranap, dan
lain-lain. Di samping itu masih terdapat bahasa-bahasa orang asli seperti
bahasa Sakai, bahasa Orang Laut, bahasa Akit, dan bahasa Talang Mamak.

Melayu mencakup dasar pengertian Melayu sebagai ras serta Melayu sebagai
etnis (suku bangsa) dengan adat-istiadatnya. Perubahan politik
menyebabkannya terberai menjadi negara-negara dengan bentuk pemerintahan dan
kebudayaan yang berbeda, termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei,
dan Filipina. Melayu sebagai suku atau bagian dari suku itu sendiri. Dalam
kekinian, Melayu berkehidupan dengan adat-istiadat dan bahasa Melayu,
terutama di sepanjang Pantai Timur Pulau Sumatra hingga Kalimantan Barat,
dengan berpusat di Riau (kepulauan dan daratan) hingga ke Semenanjung
Malaka. Melayu dapat dipilah berdasarkan kategori sebagai berikut:

   1. Melayu yang tidak totok (tidak murni), merupakan kelompok orang–orang
   Laut/orang Sampan yang semula hidup di laut kemudian menetap di daratan di
   pulau-pulau kecil sekitar Riau sebagai komunitas-komunitas kecil dengan
   adat-istiadat Melayu dan berbicara dengan dialek khas, seperti orang Galang
   di Pulau Karas dan Pulau Galang, orang Barok di Pulau Penuba, orang Kuala di
   Pulau Kundur dan Pulau Rempang, orang Tambus. Mantang dan Posek adalah
   komunitas tetap di laut terdiri dari 7-8 sampan yang berukuran 3-4 meter
   hidup berkeluarga dan beranak cucu sambil ber-kelana dari satu tempat ke
   tempat lain sesuai keadaan musim.
   2. Melayu murni atau Melayu totok, merupakan orang-orang Melayu yang
   lahir berasal dari Melayu itu sendiri berbahasa dan adat-istiadat Melayu.
   Artinya, semula Melayu tidak totok tetapi memiliki jabatan dan kedudukan,
   tinggal di lingkungan Riau yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan
   Melayu Riau-Lingga di Daik, dan Pulau Penyengat.


*Bahasa Melayu dalam Aksara Pallawa*

*silahkan baca pada link di bawah:
*
http://melayuonline.com/ind/article/read/852/bahasa-melayu-penyebar-budayapengaruh


Bahasa Melayu termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia atau Melayu
Polynesia, suatu rumpun yang mencakup kawasan yang amat luas, terutama
menyebar di wilayah kepulauan yang dihubungkan oleh samudra dengan alur-alur
arinya yang telah dikenal dan dijalani selama ribuan tahun. Konon, penutur
bahasa proto Austronesia berawal dari Taiwan dan meninggalkan tanah
pertanian dalam migrasi ke selatan. Sebagian menyebar ke timur menduduki
pula-pulau di Samudra Pasifik. Sebagian lagi ke selatan dan barat menuju
Asia Tenggara dengan sepuluh ribu pulaunya (Collins, 1997: 1). Menurut teori
mutakhir, penutur bahasa Melayu menetap di Kalimantan Barat dan dari situ
mereka menyebar ke Sumatra dan Jawa Barat. Dalam perjalanannya dari Taiwan
ke selatan, khususnya kawasan Asia Tenggara, penuturnya bertemu dan
berintraksi dengan
budaya-budaya<http://melayuonline.com/culture/?a=bW11L29QTS9VenVwRnRCb20%3D=&l=bahasa-melayu>prasejarah
dan menghasilkan budaya yang khas. Pendukung budaya inilah yang
kemudian mencapai kamatangan budaya yang dapat menerima dan memanfaatkan
unsur budaya yang terwujud dalam kiat menulis.

Pada awal abad kedelapan, bahasa Melayu sudah memiliki kedudukan yang mantap
di Kepulauan Nusantara. Hal ini dapat dipastikan dari
peninggalan-peninggalan tertulis yang ditemukan di beberapa kawasan di
Indonesia. Tak dapat diketahui dengan tepat kapan dan di mana bahasa Melayu
lisan pertama-tama dituangkan dalam tulisan, tetapi dapat dipastikan bahwa
itu terjadi di Nusantara. Tulisan yang pertama digunakan untuk menuliskan
bahasa Melayu adalah huruf Pallawa (Casparis 1975) yang pada awalnya
merupakan wahana bahasa Sanskerta, namun kemudian diterapkan untuk
memvisualkan bahasa Melayu.

Seperti halnya bahasa Portugis, Prancis, Inggris, dan Spanyol, bahasa Melayu
digunakan oleh suku-suku dan etnik-etnik yang bahasa ibunya bukan Melayu.
Mungkin sebagian disebabkan oleh kekuasaan politik seperti pengaruh
Sriwijaya yang pada suatu masa merambah kawasan yang luas sebagai kekuasaan
maritim (de Casparis 1975: 13); yang jelas ia sudah digunakan sebagai media
pengajaran sedini abad ketujuh (Kumar, 1996: XVI), dan mungkin juga sudah
menjadi media komunikasi di sebagian besar Nusantara. Fungsinya sebagai
bahasa sastra tidak menyisakan bukti-bukti materi. Dengan mengambil analogi
sastra Jawa Kuno, dapat diperkirakan bahwa kekosongan tersebut disebabkan
rentannya bahan terhadap waktu dan tiadanya penyalinan lagi. Bagi sastra
Jawa Kuno, penyalinan terjadi di Bali, yang dengan demikian telah
melestarikan sastra tersebut.

Dalam 
prasasti-prasasti<http://melayuonline.com/melayuonline.com/history/?a=TC9nSFUveVRteDdaM2dl=&t=prasasti>yang
terdini di Indonesia, yaitu dari abad kelima Masehi di Kutai
(Kalimantan Timur), bahasa yang digunakan masih bahasa Sanskerta dengan
aksara yang berasal dari India. Tulisan-tulisan semacam itu juga ditemukan
di daratan Asia yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Pallawa, suatu dinasti
India Selatan. Dari dinasti inilah nama tulisan tersebut diturunkan.
Sementara itu keberaksaraan makin meluas dan menembus batas bahasa, sehingga
pada abad ketujuh Masehi semua prasasti yang ditemukan sudah berbahasa
Melayu dengan tulisan Pallawa yang tentunya sudah diadaptasikan dengan
sistem bunyi bahasa tersebut. Penyesuaian semacam itu merupakan hasil kerja
intelektual yang menunjukkan tingkat kecanggihan pelakunya. Dengan demikian
prasasti yang ditemukan paling awal menggunakan bahasa pribumi adalah
prasasti berbahasa Melayu. Bahasa-bahasa daerah lain mengikuti tidak lama
sesudah itu. Dari penelitian arkeologi dan epigrafi kita mengetahui bahasa
prasasti kerajaan Sriwijaya yang berbahasa Melayu ini tersebar di daerah
yang cukup luas, menandakan bahwa bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
administrasi negara dan dipahami dalam wilayah yang luas pula. Di samping
itu penggunaannya sebagai bahasa agama juga terbukti dari sejumlah besar
prasasti yang isinya bernapaskan agama Buddha. Sementara itu, tidak
diketahui bahasa atau dialek lokal tempat penemuan prasasti yang
bersangkutan.

Salah satu prasasti yang cukup panjang memberi peluang kepada para ahli
bahasa untuk mempelajari bahasa yang digunakan dalam teks prasasti itu,
yaitu prasasti Telaga Batu (de Casparis, 1947: 4). Mengingat bahwa teks
tersebut maknanya cukup canggih, dapat diperkirakan bahwa ia
dilatarbelakangi oleh pekembangan kesusastraan yang berarti. Meningkatnya
bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kesusastraan serta
administrasi tidak terlepas dari pengaruh bahasa-bahasa lain yan didukung
oleh latar kebudayaan yang lebih tinggi. Maka, berkat keterbukaannya, bahasa
Melayu berkembang dengan sempurna sehingga mampu menjadi pendukung
masyarakat yang semakin maju.

*Bahasa Melayu Klasik dalam Aksara Jawi*

Kedatangan Islam membawa serta suatu sitem tulisan baru, yang merupakan
unsur amat penting dari sumbangan budaya yang diberikan kepada masyarakat
Melayu. Islam telah membentuk kembali budaya Melayu dan memberinya suatu
dasar yang kokoh tanpa merusak tingkatan peradaban yang sudah ada. Dipandang
dari sudut kebudayaan, masuknya Islam di Nusantara telah membawa dampak yang
teramat dalam dan luas bagi kehidupan penduduknya yang sukar ditandingi
pengaruh budaya lain. Tidak terkecuali pengaruh terhadap muncul dan
berkembangnya kesusastraan khas dalam kawasan itu. Dapat dikatakan bahwa
sejak saat itu sistem tulisan yang digunakan dalam kawasan Melayu hanyalah
suatu bentuk tulisan Arab yang kini juga disebut “Jawi”. Sistem tulisan yang
lama tidak digunakan lagi. Hal ini berbeda dengan beberapa daerah di
Indonesia seperti Sulawesi, Lombok, Madura dan Jawa, yang di samping aksara
Arab tetap mempertahankan sistem aksara yang beberapa abad sebelumnya
diturunkan dari aksara India.

Menurut penelitian para sarjana sastra Islam di Indonesia, penerjemahan dan
saduran ke dalam bahasa Melayu terjadi di Pasai (Iskandar, 1995), Naskah
terjemahan dari Arab ke Melayu yang tertua tersimpan di Perpustakaan
Universitas Cambridge, yaitu Kasida Burda karangan Al-Busiri yang berasal
dari daerah Aceh abad ke-16, yang merupakan masa keemasan kerajaan itu,
setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (Drewes, 1955: 9-10). Terjemahan
Melayunya dilakukan antar-baris dan berisi banyak kata Arab, selain juga
kata-kata arkais yang dalam tulisan-tulisan yang lebih mutakhir tidak muncul
lagi. Sebagian kata Arab yang pada masa itu mungkin mengungkapkan
konsep-konsep yang masih baru untuk alam Melayu, kini telah mendapat tempat
tetap dalam bahasa Melayu, bahkan tidak lagi dirasakan sebagai kata
`pinjaman`. Dalam teks-teks Melayu bernuansa agama, bahasanya mendapat
dampak bahasa Arab yang lebih luas dan kental dikarenakan oleh subyeknya
yang baru dengan konsep-konsepnya yang baru pula, sehingga dapat disifatkan
sebagai suatu ragam bahasa yang khas `kitab`.

Bahasa ragam tulisan yang berkembang di lingkungan kaum terpelajar, baik di
seputar pesantren maupun istana disebut juga Melayu Tinggi untuk
membedakannya dari bahasa yang digunakan sehari-hari dalam percakapan.
Kesusastraan yang didukung oleh ragam bahasa ini dan berkembang di
pusat-pusat budaya tumbuh dengan pesat. Pasai, Melaka, Aceh, Riau adalah
tempat-tempat yang telah menghasilkan khazanah persuratan yang amat kaya dan
beragam. Jelas pula dari bukti-bukti yang ada bahwa pada abad ke-16 bahasa
Melayu telah memiliki kedudukan sebagai bahasa sastra/tulis yang digunakan
dalam kawasan yang penduduknya berbahasa ibu lain, meluas dalam wilayah yang
luas dan tersimpan dalam tulisan-tulisan di berbagai daerah berpenutur
non-Melayu. Sastra Aceh misalnya, di samping mempunyai sastra dalam bahasa
Aceh seperti *Hikayat Meukeuta Alam* dan *Hikayat Pocut Muhamat*,
menghasilkan juga teks Melayu seperti *Hikayat Aceh* yang menggambarkan
sejarah Aceh semasa Sultan Iskandar Muda. Orang Bima yang merupakan penutur
bahasa Mbojo, dalam tulisan menggunakan bahasa Melayu ragam tulis seperti
dalam catatan kerajaan, *Bo` Sangaji Kai*. Dari Ambon pun yang memiliki
banyak bahasa daerah, kita kenal *Hikayat Tanah Hitu* yang ditulis dalam
bahasa Melayu. Dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa bahasa Melayu ragam
tulis atau Melayu Tinggi merupakan media pilihan bagi berbagai daerah di
Nusantara bila menulis sesuatu yang dirasakan penting, seperti
sejarah<http://melayuonline.com/history/>,
catatan 
kerajaan<http://melayuonline.com/history.melayuonline.com/?a=by9nSFUveVRteDdaM2dl=>,
agama dan sebangsanya. Ini terutama berlaku bagi kerajaan atau daerah yang
telah beragama Islam. Sementara ada daerah yang mempertahankan dua bahasa
dengan menggunakan satu sistem aksara, yaitu Arab, namun dua bahasa tulis
seperti halnya di Aceh.

Di Pulau Jawa, baik di daerah yang berpenutur Jawa maupun Sunda, bahasa
Melayu tetap penting sebagai bahasa yang berhubungan dengan keagamaan dan
kesusastraannya. Cerita kepahlawanan Islam seperti *Hikayat Amir Hamzah*, *
Samaun* dan sejenisnya masuk ke
sastra<http://melayuonline.com/literature/?a=TFZzL29QTS9VenVwRnRCb20%3D=>Nusantara
melalui bahasa Melayu yang dengan demikian menjadi jembatan yang
dilalui kesusastraan berona Islam, baik dari sastra Persia maupun Arab untuk
masuk ke dalam sastra daerah, seperti Jawa, Sunda, Madura, dan
Bugis-Makasar.

Ragam bahasa Melayu tulis yang digunakan semua kerajaan Islam di Nusantara,
karena pengaruh setempat, bervariasi dalam kosakata dan struktur kalimatnya
sehingga ciri-cirinya sering jelas kelihatan. Kadar pengaruh lokal itu pun
masih banyak variasinya. Maka, bahasa Melayu yang kita jumpai dalam *Bo`
Sangaji Kai *(Bima) berbeda dengan bahasa dalam *Istiadat Tanah Negeri Butun
* (Butun) dan lain pula bahasa *Hikayat Banjar* (Banjarmasin).

Di dawah ini dapat kita lihat dalam perbandingan.

...Hari Sabtu dualapan hari bulan maka Daeng Tamimang dan lakinya yang
bernama Sasu, dan Karaeng Balak pun datang membawa dirinya dengan tiada
memakai keris. Maka membawanya Bumi Punti La Tole dan Lebe Sekuru akan ganti
diri Turelu Donggo, Jeneli Woha, dan membawa persembahan bernama sabuk emas
merah satu talam daripada Karaeng Balak, tanda orang sudah menyembah, dan
budak tiga orang yang dibawa sendirinya Daeng Tamimang dan lakinya Daeng
Pana...

(*Bo` Sangaji Kai*, hlm 277, diterjemahkan oleh H. Chambert-Loir)

Maka Raden Suryanata sudah dihulasi dengan kimka kuning, kaki Putri Junjung
Buih itu berhulas kimka kuning jua itu. Maka kepala karbau ampat ekor itu
sudah ditaruh orang di kanan-kiri padudusan itu. Sudah itu maka pangapit
Raden Suryanata itu yang mambawa udutan, mambawa kakucuran, mambawa lancang,
mambawa lampit, itu anak mantri-mantri itu...

(*Hikajat Banj*ar, hlm. 318, diterjemahkan oleh J.J. Ras, penyesuaian ejaan
oleh penulis)

... Alkisah maka tersebutlah perkataan kepada raja di Luak Simamora negeri
Dolok Sanggul kampung bernama Lumban Si Tupang sukunya Simamora. Adapun itu
raja bernama Mirhim, dia anak beranak tujuh orang laki-laki yang kecil
bernama Si Namora ini tidak beranak itu yang lain saudara-saudaranya suda
beranak masing-masing. Dengan takdir Allah pada suatu hari maka berkelahi
perempuannya dangan perempuan saudaranya sebab dari lulu` di atas rumah
kenai kaki perempuan saudaranya...

(*Sejarah Raja-Raja Barus*, hlm. 131, diterjemahkan oleh Jane Drakard).

... Adapun istiadat yang telah menilik dan memandang melainkan hendak
mendirikan dua paying, yakni satu paying berkekalan dan satu berubah2. Maka
yang berubah2 itu daripada nama sultan. Maka yang berkekalan itu adas jalan
istiadat yang sangat teguh lagi tetap selamanya2. Adapun istiadat akan Sri
Maharaja Sapati maka diibaratkan pada martabat wahidiyah dan a`ayn thabitah
pun namanya ya`ni martabat pertengahan...

(*Istiadat Tanah Negeri Butun*, hlm. 45, transliterasi oleh Achadiati Ikram)

Dari kutipan yang diambil dari kepustakaan milik empat suku bangsa yang
menyebar itu dapat diamati masing-masing kekhasannya, namun yang lebih
menonjol adalah sama-sama bahasa Melayunya. Dalam kesusastraan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, bahasa Melayu telah mendapat tempat
yang terhormat dan berkembang sesuai dengan naluri pemakainya.

Sebagai alat komunikasi dalam pendidikan agama bahasa Melayu telah
mendahului bahasa Indonesia, yaitu dalam era kolonial dan sebelum itu, di
Lombok dan di daerah-daerah tertentu di pulau Jawa. Menurut informasi
seorang ustadz tua, pada masa itu bahasa komunikasi dalam kelas adalah
bahasa Melayu alih-alih bahasa daerah.

*Bahasa Melayu `Rendah` sebagai Bahasa Tulis*

Sukar dipastikan sejak kapan bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi
di Nusantara dan sekitarnya. Di atas telah dikemukakan suatu perkiraan.
Collins (1998) menyebut masa keemasan Kerajaan Melaka sebagai perkiraan masa
penyebaran karena negara ini pada saat itu merupakan pelabuhan antara yang
sangat ramai dikunjungi pedagang dari pelbagai penjuru. Sementara itu,
beberapa peneliti bahasa mengamati bahwa di Indonesia bagian timur
berkembang suatu ragam bahasa yang memiliki ciri-cirinya sendiri, baik dalam
hal kosakata maupun strukturnya. Bahasa tersebut amat penting karena dengan
ragam bahasa itulah orang yang berbeda bahasa ibu berkomunikasi dengan
bebas. Bangsa Chia, Arab, Maluku, Jawa, Melayu, Portugis dan Eropa lainnya
memanfaatkan alat pergaulan ini, melintasi Batas-batas budaya. Ternyata
ragam ini sangat sesuai untuk tujuan mereka. Ada kecenderungan beberapa
linguis untuk menyebut bahasa ini Melayu `rendah` atau Melayu `pasar`
(Ricklefs, 1976); walaupun lebih tepat dinamakan suatu ragam bahasa Melayu
dengan kekhasan tertentu; menurut Muhadjir kekhasan Indonesia Timur
(komunikasi pribadi). C.O. Blagden (dalam Ricklefs, 1976) sudah menunjukkan
pada tahun 1930 adanya dua surat resmi bertanggal sedini tahun 1521 dan 1522
yang menggunakan ragam bahasa Melayu `pasar` ini. Kedua surat tersebut
merupakan surat Melayu tertua yang masih tersimpan.

Ricklefs dalam tulisan yang dirujuk di atas menunjukkan suatu hal yang
sangat menarik, yaitu penggunaan aksara Jawa dalam penulisan surat-surat
berbahasa Melayu. Ia mencatat bahwa bahasa Melayu `pasar` digunakan dalam
surat menyurat dan administrasi di sepanjang pesisir Jawa sampai ke Banten
tetapi bukan dengan tulisan Jawi. Dalam penelitian Sukatno dikemukakan
sejumlah besar surat serupa, baik yang bersifat pribadi maupun yang resmi,
dalam arti kata yang berkaitan dengan tata usaha perdagangan maupun
pemerintahan (Sukatno, akan terbit). Para penulis menggunakan aksara karena
umum dikenal dan akrab di daerah itu. Sangat boleh jadi ini satu-satunya
sistem tulisan yang mereka kenal. Tidak hanya orang pribumi yang memakai
cara komunikasi ini, peneliti bahkan menemukan beberapa surat yang bertanda
tangan orang Belanda ditujukan kepada orang pribumi (Jawa).

Di bawah ini kami petik dua surat yang tertulis dengan aksara Jawa. Yang
pertama berasal dari abad ke-17, ditulis oleh seorang pembesar Kerajaan
Banten kepada pegawai VOC.

... Surat Pangeran Arya Ranamanggala datang akan Kapitan, adapon kapitan
suruhan sarta dengan surat mangataken mahu berdame, saperti awal zaman
dahulu, adapon Kapitan jika ati betul saperti zaman Kapitan Witer dan
Kapitan Jam Bul, bahik. apa salahnya. Pangeran Rat upon suka, sakarang aru
biru pon, orang Walanda juga yang dahulu, bukan Pangeran Ratu yang salah.

(*Algemeen Rijksarchief*, Fol. 326, transliterasi oleh Ricklefs)

Banyumas tanggal 13 Juli 1831

Raden Ayu terhormat

Saya misti mulai inni surat dengan mintakan hampun pada raden ayu sebab baru
duwa hari liwat dan saya salah saya suda kira mahayu lupa pada saya, tetapi
sekarang saya misti puji betul-betul tidak satu orang meleken Raden Ayu yang
kasih oleh-oleh kermis punya. Apa lagi begitu pantas saya punya rupa kalu
paki itu cenela tida sala betul penganten baru

 (LOr2178-I-51, transliterasi oleh Sukatno, penyesuaian ejaan oleh penulis).

Bahwa bahasa Melayu digunakan secara luas sebagai lingua franca umum sudah
diketahui, tetapi dokumen-okumen di atas menunjukkan bahwa lingua franca itu
juga digunakan dalam tulisan. Bukti pula bahwa bahasa Melayu ditulis tidak
hanya dengan wahana tulisan Arab, melainkan juga aksara Jawa, bahkan Bali.

*Penutup*

Dari masa purba bahasa Melayu telah menunjukkan kemampuannya berkembang
sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang dihadapinya, baik untuk keperluan
praktis maupun bagi penggunaan yang canggih sekalipun. Ketika diperlukan
kemampuan yang lebih tinggi dan lebih rumit dan halus maka ia sudah memiliki
struktur yang lebih mantap untuk dapat mengintegrasikan bentuk-bentuk dan
konsep-konsep baru dari budaya yang lebih canggih sehingga peningkatan ke
taraf yang lebih tinggi terjadi tanpa kesulitan. Unsur-unsur dari berbagai
bahasa asing dicernakan dan bila perlu ditransformasikan dengan mulus
menjadi kekayaan yang luar biasa. Ini semua dapat terwujud berkat
keterbukaan sistemnya dan tentu juga keterbukaan penutur aslinya yang dari
awal telah membuka dirinya untuk tidak bersikap kikir dan picik mengenai apa
yang disebut kemurnian bahasa.

Bahasa Melayu masih akan berkembang lebih jauh dan lebih luas dan mungkin
menjadi bahasa ibu bagi suku-suku bangsa yang sebenarnya berbahasa asli
lain. Kita tentu menyayangkan memudarnya bahasa-bahasa asli tersebut, yang
akan mengalami kematian yang tidak disengaja. Di Indonesia ada kecenderungan
bahwa bahasa Indonesia yang berasal darai bahasa Melayu di banyak tempat
mengambil alih tugas bahasa daerah, dalam hal ini ada hubungannya dengan
kekuasaan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Melayu memiliki kekuatan hidup dan
tumbuh dalam berbagai bentuk dan ragam. Kecenderungan untuk mempertahankan
bentuk bahasa yang murni dan asli dalam semua situasi dan kondisi ternyata
tidak menguntungkan kelangsungan hidup bahasa itu.

Kirim email ke