Justru dengan pelacakan Mitokondria DNA (MtDNA) manusia pertama yg menetap di semenanjung Malaysia adalah migrasi pertama manusia ke kawasan ini, berdasarkan pelacakan MtDNA nya Suku Semang didaerah sekitar Danau Peninsula- Malaysia oleh Prof. Stephen Oppenheimer diperkirakan merupakan nenek moyang yg tiba 74000-80000 thn silam (Out of Africa). Ditambah Bukti ditemukannya peralatan arkeologi berupa palu dan sebagainya yg tertutup debu vulkanik 74000 tahun lalu, menunjukkan mereka telah tiba dan menetap disemenanjung malaysia sebelum Gn. Toba meletus. Akibat perluasan garis pantai karena penurunan permukaan laut 120m pada 25000-15000 tahun lalu menyebabkan meluasnya daratan terjadi migrasi lanjutan sampai ke australia. (Ir.Agus Haryo Sudarmojo, Perjalanan Akbar Ras Adam, Mizania 2009).
Apakah akar bahasa melayu dari migrasi manusia tersebut?..masih jadi asumsi, karena migrasi berikutnya mencirikan perbedaan yg menyolok antara ciri manusia semang dengan pendatang berikutnya. Ahli sejarah malah mengelompokkan Melayu dalam dua kelompok besar migrasi I - Proto melayu dan Migrasi berikutnya Deutro-Melayu yg mendesak Proto Melayu kepedalaman. Tetap saja penjelasan sejarah menekankan bahwa migrasi tersebut dari Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang) ke Pulau Sumatra. yang tak berdasar sebenarnya adalah perkembangan terbaru (Out of Taiwan) dengan tujuan kalimantan barat dan menuju sumatra dan semenanjung Melayu. Saya setuju bahwa kontak Cina dengan Moloyu (Melayu)sdh ada pada abd 7, namun publikasi yg mengatakan Mlayu (Melayu) adalah diskripsi dari bahasa jawa sangat tak masuk akal, karena keberadaan Melayu lebih awal dari kerajaan/budaya bahasa di Jawa. Kedatangan Islam dengan jajaring kesultanan malah memperluas pemakaian bahasa Melayu ke seluruh Nusantara. Jadi bisa disederhanakan: Out of Africa===Suku Semang (semenanjung Malaya-terisolir)===Migrasi I (Proto Melayu) ke Nusantara (Melayu)===Migrasi II (Deutro Melayu)===Semenajung Malaysia ke Pesisir Riau-jambi (Kerajaan Pra Melayu: Abad 3 Tchu Po, Ko Ying, dan Sanfoshih, Kant`oli pada abad ke-5 dan ke-6 M dan Moloyu (Melayu) pada abad ke-7 M. )===Sri Vijaya (Bahasa Melayu beraksara Pallawa, terbatas di sumatra bgn selatan, asumsi sejarawan malah ke seluruh nusantara???)===kesultanan Islam (Menyebar luas dikawasan Nusantara Bahasa Melayu Beraksara Jawi)===Penjajahan (Bahasa Melayu beraksara Latin) Silahkan baca di link berikut: http://melayuonline.com/ind/article/read/947/jejak-jejak-budaya-di-kepulauan-riau-selayang-pandang-tentang-keemasan-melayu-di-nusantara dan http://melayuonline.com/ind/article/read/852/bahasa-melayu-penyebar-budayapengaruh Gelombang migrasi pertama konon menunjukkan ciri ras Weddoid yang datang sesudah zaman es terakhir. Ras ini disebut-sebut sebagai ras pertama yang menghuni Nusantara. Sisa-sisa nenek moyang ras gelombang pertama ini masih ada sampai sekarang, yang merupakan golongan tersendiri di Riau dan disebut sebagai Orang Sakai, Orang Hutan, dan Orang Kubu. Orang-orang asli ini memiliki populasi yang tidak banyak. Orang Sakai mendiami Kecamatan Kuno-Darussalam, Kabupaten Kampar<http://wisatamelayu.com/id/dest.php?a=a04vbUhhUkVOSTQy=>, dan Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis<http://wisatamelayu.com/id/dest.php?a=Tk4vbUhhUkVOSTQy=>. Jumlahnya terbatas, kira-kira 2160 jiwa. Orang Hutan mendiami Pulau Penyalai di Kecamatan Kuala Kampar di Kabupaten Kampar, dengan jumlah sekitar 1494 jiwa. Gelombang migrasi pertama terjadi pada periode 2500-1500 SM dengan berciri ras Proto Melayu yang merupakan pendukung kebudayaan<http://melayuonline.com/ind/article/read/culture>zaman batu baru. Mereka menyebar ke Pulau Sumatra melalui *Semenanjung Melayu* (Malaysia sekarang). Sisa mereka terdapat di Riau, yang dikenal sebagai Orang Talang Mamak dan Orang Laut.<http://melayuonline.com/ind/article/read/ind/libraries/book/2884>Orang Talang Mamak menetap di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, dengan populasi sebanyak 3276 jiwa (1980). Orang Laut menghuni Kecamatan Reteh dan Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, serta di Kecamatan Tambelan, Kepulauan Riau, sebanyak 2849 jiwa. Selain itu, ada golongan orang-orang asli lainnya yaitu Orang Akit yang mendiami Kecamatan Rupat, Bengkalis, Mandau, Tebing Tinggi di Kabupaten Bengkalis, sebanyak 11625 jiwa. Gelombang migrasi ras Melayu kedua datang sesudah tahun 1500 SM yang disebut Deutro Melayu. Golongan ini menyebabkan Proto Melayu menyingkir ke pedalaman, sisanya bercampur dengan pendatang baru. Proses selanjutnya, orang-orang Deutro Melayu bercampur lagi dengan pendatang-pendatang dan berbagai golongan berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Percampuran itu menghadirkan suku-suku bangsa Melayu. Mereka inilah penduduk mayoritas yang mendiami kawasan Riau. Suku-suku bangsa Melayu Riau menghadirkan sub-sub suku bangsa Melayu Siak, Melayu Bintan, Melayu Rokan, Melayu Kampar, Melayu Kuantan, dan Melayu Indragiri, dengan alat komunikasi utama (*lingua franca*) bahasa Melayu tersebar ke seluruh pelosok Nusantara. Bahasa Melayu Riau dibedakan sebagai dialek bahasa Melayu Riau kepulauan dan pesisir serta dialek Melayu Riau daratan. Dialek pertama adalah sub-dialek Tambelan, Tarempa, Bunguran, Singkep, Penyengat, dan lain-lain. Sementara dialek kedua adalah sub-dialek Kampar, Rokan, Kuantan, Batu Rijai, Peranap, dan lain-lain. Di samping itu masih terdapat bahasa-bahasa orang asli seperti bahasa Sakai, bahasa Orang Laut, bahasa Akit, dan bahasa Talang Mamak. Melayu mencakup dasar pengertian Melayu sebagai ras serta Melayu sebagai etnis (suku bangsa) dengan adat-istiadatnya. Perubahan politik menyebabkannya terberai menjadi negara-negara dengan bentuk pemerintahan dan kebudayaan yang berbeda, termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina. Melayu sebagai suku atau bagian dari suku itu sendiri. Dalam kekinian, Melayu berkehidupan dengan adat-istiadat dan bahasa Melayu, terutama di sepanjang Pantai Timur Pulau Sumatra hingga Kalimantan Barat, dengan berpusat di Riau (kepulauan dan daratan) hingga ke Semenanjung Malaka. Melayu dapat dipilah berdasarkan kategori sebagai berikut: 1. Melayu yang tidak totok (tidak murni), merupakan kelompok orang–orang Laut/orang Sampan yang semula hidup di laut kemudian menetap di daratan di pulau-pulau kecil sekitar Riau sebagai komunitas-komunitas kecil dengan adat-istiadat Melayu dan berbicara dengan dialek khas, seperti orang Galang di Pulau Karas dan Pulau Galang, orang Barok di Pulau Penuba, orang Kuala di Pulau Kundur dan Pulau Rempang, orang Tambus. Mantang dan Posek adalah komunitas tetap di laut terdiri dari 7-8 sampan yang berukuran 3-4 meter hidup berkeluarga dan beranak cucu sambil ber-kelana dari satu tempat ke tempat lain sesuai keadaan musim. 2. Melayu murni atau Melayu totok, merupakan orang-orang Melayu yang lahir berasal dari Melayu itu sendiri berbahasa dan adat-istiadat Melayu. Artinya, semula Melayu tidak totok tetapi memiliki jabatan dan kedudukan, tinggal di lingkungan Riau yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Riau-Lingga di Daik, dan Pulau Penyengat. *Bahasa Melayu dalam Aksara Pallawa* *silahkan baca pada link di bawah: * http://melayuonline.com/ind/article/read/852/bahasa-melayu-penyebar-budayapengaruh Bahasa Melayu termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia atau Melayu Polynesia, suatu rumpun yang mencakup kawasan yang amat luas, terutama menyebar di wilayah kepulauan yang dihubungkan oleh samudra dengan alur-alur arinya yang telah dikenal dan dijalani selama ribuan tahun. Konon, penutur bahasa proto Austronesia berawal dari Taiwan dan meninggalkan tanah pertanian dalam migrasi ke selatan. Sebagian menyebar ke timur menduduki pula-pulau di Samudra Pasifik. Sebagian lagi ke selatan dan barat menuju Asia Tenggara dengan sepuluh ribu pulaunya (Collins, 1997: 1). Menurut teori mutakhir, penutur bahasa Melayu menetap di Kalimantan Barat dan dari situ mereka menyebar ke Sumatra dan Jawa Barat. Dalam perjalanannya dari Taiwan ke selatan, khususnya kawasan Asia Tenggara, penuturnya bertemu dan berintraksi dengan budaya-budaya<http://melayuonline.com/culture/?a=bW11L29QTS9VenVwRnRCb20%3D=&l=bahasa-melayu>prasejarah dan menghasilkan budaya yang khas. Pendukung budaya inilah yang kemudian mencapai kamatangan budaya yang dapat menerima dan memanfaatkan unsur budaya yang terwujud dalam kiat menulis. Pada awal abad kedelapan, bahasa Melayu sudah memiliki kedudukan yang mantap di Kepulauan Nusantara. Hal ini dapat dipastikan dari peninggalan-peninggalan tertulis yang ditemukan di beberapa kawasan di Indonesia. Tak dapat diketahui dengan tepat kapan dan di mana bahasa Melayu lisan pertama-tama dituangkan dalam tulisan, tetapi dapat dipastikan bahwa itu terjadi di Nusantara. Tulisan yang pertama digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu adalah huruf Pallawa (Casparis 1975) yang pada awalnya merupakan wahana bahasa Sanskerta, namun kemudian diterapkan untuk memvisualkan bahasa Melayu. Seperti halnya bahasa Portugis, Prancis, Inggris, dan Spanyol, bahasa Melayu digunakan oleh suku-suku dan etnik-etnik yang bahasa ibunya bukan Melayu. Mungkin sebagian disebabkan oleh kekuasaan politik seperti pengaruh Sriwijaya yang pada suatu masa merambah kawasan yang luas sebagai kekuasaan maritim (de Casparis 1975: 13); yang jelas ia sudah digunakan sebagai media pengajaran sedini abad ketujuh (Kumar, 1996: XVI), dan mungkin juga sudah menjadi media komunikasi di sebagian besar Nusantara. Fungsinya sebagai bahasa sastra tidak menyisakan bukti-bukti materi. Dengan mengambil analogi sastra Jawa Kuno, dapat diperkirakan bahwa kekosongan tersebut disebabkan rentannya bahan terhadap waktu dan tiadanya penyalinan lagi. Bagi sastra Jawa Kuno, penyalinan terjadi di Bali, yang dengan demikian telah melestarikan sastra tersebut. Dalam prasasti-prasasti<http://melayuonline.com/melayuonline.com/history/?a=TC9nSFUveVRteDdaM2dl=&t=prasasti>yang terdini di Indonesia, yaitu dari abad kelima Masehi di Kutai (Kalimantan Timur), bahasa yang digunakan masih bahasa Sanskerta dengan aksara yang berasal dari India. Tulisan-tulisan semacam itu juga ditemukan di daratan Asia yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Pallawa, suatu dinasti India Selatan. Dari dinasti inilah nama tulisan tersebut diturunkan. Sementara itu keberaksaraan makin meluas dan menembus batas bahasa, sehingga pada abad ketujuh Masehi semua prasasti yang ditemukan sudah berbahasa Melayu dengan tulisan Pallawa yang tentunya sudah diadaptasikan dengan sistem bunyi bahasa tersebut. Penyesuaian semacam itu merupakan hasil kerja intelektual yang menunjukkan tingkat kecanggihan pelakunya. Dengan demikian prasasti yang ditemukan paling awal menggunakan bahasa pribumi adalah prasasti berbahasa Melayu. Bahasa-bahasa daerah lain mengikuti tidak lama sesudah itu. Dari penelitian arkeologi dan epigrafi kita mengetahui bahasa prasasti kerajaan Sriwijaya yang berbahasa Melayu ini tersebar di daerah yang cukup luas, menandakan bahwa bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa administrasi negara dan dipahami dalam wilayah yang luas pula. Di samping itu penggunaannya sebagai bahasa agama juga terbukti dari sejumlah besar prasasti yang isinya bernapaskan agama Buddha. Sementara itu, tidak diketahui bahasa atau dialek lokal tempat penemuan prasasti yang bersangkutan. Salah satu prasasti yang cukup panjang memberi peluang kepada para ahli bahasa untuk mempelajari bahasa yang digunakan dalam teks prasasti itu, yaitu prasasti Telaga Batu (de Casparis, 1947: 4). Mengingat bahwa teks tersebut maknanya cukup canggih, dapat diperkirakan bahwa ia dilatarbelakangi oleh pekembangan kesusastraan yang berarti. Meningkatnya bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kesusastraan serta administrasi tidak terlepas dari pengaruh bahasa-bahasa lain yan didukung oleh latar kebudayaan yang lebih tinggi. Maka, berkat keterbukaannya, bahasa Melayu berkembang dengan sempurna sehingga mampu menjadi pendukung masyarakat yang semakin maju. *Bahasa Melayu Klasik dalam Aksara Jawi* Kedatangan Islam membawa serta suatu sitem tulisan baru, yang merupakan unsur amat penting dari sumbangan budaya yang diberikan kepada masyarakat Melayu. Islam telah membentuk kembali budaya Melayu dan memberinya suatu dasar yang kokoh tanpa merusak tingkatan peradaban yang sudah ada. Dipandang dari sudut kebudayaan, masuknya Islam di Nusantara telah membawa dampak yang teramat dalam dan luas bagi kehidupan penduduknya yang sukar ditandingi pengaruh budaya lain. Tidak terkecuali pengaruh terhadap muncul dan berkembangnya kesusastraan khas dalam kawasan itu. Dapat dikatakan bahwa sejak saat itu sistem tulisan yang digunakan dalam kawasan Melayu hanyalah suatu bentuk tulisan Arab yang kini juga disebut “Jawi”. Sistem tulisan yang lama tidak digunakan lagi. Hal ini berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia seperti Sulawesi, Lombok, Madura dan Jawa, yang di samping aksara Arab tetap mempertahankan sistem aksara yang beberapa abad sebelumnya diturunkan dari aksara India. Menurut penelitian para sarjana sastra Islam di Indonesia, penerjemahan dan saduran ke dalam bahasa Melayu terjadi di Pasai (Iskandar, 1995), Naskah terjemahan dari Arab ke Melayu yang tertua tersimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge, yaitu Kasida Burda karangan Al-Busiri yang berasal dari daerah Aceh abad ke-16, yang merupakan masa keemasan kerajaan itu, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (Drewes, 1955: 9-10). Terjemahan Melayunya dilakukan antar-baris dan berisi banyak kata Arab, selain juga kata-kata arkais yang dalam tulisan-tulisan yang lebih mutakhir tidak muncul lagi. Sebagian kata Arab yang pada masa itu mungkin mengungkapkan konsep-konsep yang masih baru untuk alam Melayu, kini telah mendapat tempat tetap dalam bahasa Melayu, bahkan tidak lagi dirasakan sebagai kata `pinjaman`. Dalam teks-teks Melayu bernuansa agama, bahasanya mendapat dampak bahasa Arab yang lebih luas dan kental dikarenakan oleh subyeknya yang baru dengan konsep-konsepnya yang baru pula, sehingga dapat disifatkan sebagai suatu ragam bahasa yang khas `kitab`. Bahasa ragam tulisan yang berkembang di lingkungan kaum terpelajar, baik di seputar pesantren maupun istana disebut juga Melayu Tinggi untuk membedakannya dari bahasa yang digunakan sehari-hari dalam percakapan. Kesusastraan yang didukung oleh ragam bahasa ini dan berkembang di pusat-pusat budaya tumbuh dengan pesat. Pasai, Melaka, Aceh, Riau adalah tempat-tempat yang telah menghasilkan khazanah persuratan yang amat kaya dan beragam. Jelas pula dari bukti-bukti yang ada bahwa pada abad ke-16 bahasa Melayu telah memiliki kedudukan sebagai bahasa sastra/tulis yang digunakan dalam kawasan yang penduduknya berbahasa ibu lain, meluas dalam wilayah yang luas dan tersimpan dalam tulisan-tulisan di berbagai daerah berpenutur non-Melayu. Sastra Aceh misalnya, di samping mempunyai sastra dalam bahasa Aceh seperti *Hikayat Meukeuta Alam* dan *Hikayat Pocut Muhamat*, menghasilkan juga teks Melayu seperti *Hikayat Aceh* yang menggambarkan sejarah Aceh semasa Sultan Iskandar Muda. Orang Bima yang merupakan penutur bahasa Mbojo, dalam tulisan menggunakan bahasa Melayu ragam tulis seperti dalam catatan kerajaan, *Bo` Sangaji Kai*. Dari Ambon pun yang memiliki banyak bahasa daerah, kita kenal *Hikayat Tanah Hitu* yang ditulis dalam bahasa Melayu. Dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa bahasa Melayu ragam tulis atau Melayu Tinggi merupakan media pilihan bagi berbagai daerah di Nusantara bila menulis sesuatu yang dirasakan penting, seperti sejarah<http://melayuonline.com/history/>, catatan kerajaan<http://melayuonline.com/history.melayuonline.com/?a=by9nSFUveVRteDdaM2dl=>, agama dan sebangsanya. Ini terutama berlaku bagi kerajaan atau daerah yang telah beragama Islam. Sementara ada daerah yang mempertahankan dua bahasa dengan menggunakan satu sistem aksara, yaitu Arab, namun dua bahasa tulis seperti halnya di Aceh. Di Pulau Jawa, baik di daerah yang berpenutur Jawa maupun Sunda, bahasa Melayu tetap penting sebagai bahasa yang berhubungan dengan keagamaan dan kesusastraannya. Cerita kepahlawanan Islam seperti *Hikayat Amir Hamzah*, * Samaun* dan sejenisnya masuk ke sastra<http://melayuonline.com/literature/?a=TFZzL29QTS9VenVwRnRCb20%3D=>Nusantara melalui bahasa Melayu yang dengan demikian menjadi jembatan yang dilalui kesusastraan berona Islam, baik dari sastra Persia maupun Arab untuk masuk ke dalam sastra daerah, seperti Jawa, Sunda, Madura, dan Bugis-Makasar. Ragam bahasa Melayu tulis yang digunakan semua kerajaan Islam di Nusantara, karena pengaruh setempat, bervariasi dalam kosakata dan struktur kalimatnya sehingga ciri-cirinya sering jelas kelihatan. Kadar pengaruh lokal itu pun masih banyak variasinya. Maka, bahasa Melayu yang kita jumpai dalam *Bo` Sangaji Kai *(Bima) berbeda dengan bahasa dalam *Istiadat Tanah Negeri Butun * (Butun) dan lain pula bahasa *Hikayat Banjar* (Banjarmasin). Di dawah ini dapat kita lihat dalam perbandingan. ...Hari Sabtu dualapan hari bulan maka Daeng Tamimang dan lakinya yang bernama Sasu, dan Karaeng Balak pun datang membawa dirinya dengan tiada memakai keris. Maka membawanya Bumi Punti La Tole dan Lebe Sekuru akan ganti diri Turelu Donggo, Jeneli Woha, dan membawa persembahan bernama sabuk emas merah satu talam daripada Karaeng Balak, tanda orang sudah menyembah, dan budak tiga orang yang dibawa sendirinya Daeng Tamimang dan lakinya Daeng Pana... (*Bo` Sangaji Kai*, hlm 277, diterjemahkan oleh H. Chambert-Loir) Maka Raden Suryanata sudah dihulasi dengan kimka kuning, kaki Putri Junjung Buih itu berhulas kimka kuning jua itu. Maka kepala karbau ampat ekor itu sudah ditaruh orang di kanan-kiri padudusan itu. Sudah itu maka pangapit Raden Suryanata itu yang mambawa udutan, mambawa kakucuran, mambawa lancang, mambawa lampit, itu anak mantri-mantri itu... (*Hikajat Banj*ar, hlm. 318, diterjemahkan oleh J.J. Ras, penyesuaian ejaan oleh penulis) ... Alkisah maka tersebutlah perkataan kepada raja di Luak Simamora negeri Dolok Sanggul kampung bernama Lumban Si Tupang sukunya Simamora. Adapun itu raja bernama Mirhim, dia anak beranak tujuh orang laki-laki yang kecil bernama Si Namora ini tidak beranak itu yang lain saudara-saudaranya suda beranak masing-masing. Dengan takdir Allah pada suatu hari maka berkelahi perempuannya dangan perempuan saudaranya sebab dari lulu` di atas rumah kenai kaki perempuan saudaranya... (*Sejarah Raja-Raja Barus*, hlm. 131, diterjemahkan oleh Jane Drakard). ... Adapun istiadat yang telah menilik dan memandang melainkan hendak mendirikan dua paying, yakni satu paying berkekalan dan satu berubah2. Maka yang berubah2 itu daripada nama sultan. Maka yang berkekalan itu adas jalan istiadat yang sangat teguh lagi tetap selamanya2. Adapun istiadat akan Sri Maharaja Sapati maka diibaratkan pada martabat wahidiyah dan a`ayn thabitah pun namanya ya`ni martabat pertengahan... (*Istiadat Tanah Negeri Butun*, hlm. 45, transliterasi oleh Achadiati Ikram) Dari kutipan yang diambil dari kepustakaan milik empat suku bangsa yang menyebar itu dapat diamati masing-masing kekhasannya, namun yang lebih menonjol adalah sama-sama bahasa Melayunya. Dalam kesusastraan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, bahasa Melayu telah mendapat tempat yang terhormat dan berkembang sesuai dengan naluri pemakainya. Sebagai alat komunikasi dalam pendidikan agama bahasa Melayu telah mendahului bahasa Indonesia, yaitu dalam era kolonial dan sebelum itu, di Lombok dan di daerah-daerah tertentu di pulau Jawa. Menurut informasi seorang ustadz tua, pada masa itu bahasa komunikasi dalam kelas adalah bahasa Melayu alih-alih bahasa daerah. *Bahasa Melayu `Rendah` sebagai Bahasa Tulis* Sukar dipastikan sejak kapan bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi di Nusantara dan sekitarnya. Di atas telah dikemukakan suatu perkiraan. Collins (1998) menyebut masa keemasan Kerajaan Melaka sebagai perkiraan masa penyebaran karena negara ini pada saat itu merupakan pelabuhan antara yang sangat ramai dikunjungi pedagang dari pelbagai penjuru. Sementara itu, beberapa peneliti bahasa mengamati bahwa di Indonesia bagian timur berkembang suatu ragam bahasa yang memiliki ciri-cirinya sendiri, baik dalam hal kosakata maupun strukturnya. Bahasa tersebut amat penting karena dengan ragam bahasa itulah orang yang berbeda bahasa ibu berkomunikasi dengan bebas. Bangsa Chia, Arab, Maluku, Jawa, Melayu, Portugis dan Eropa lainnya memanfaatkan alat pergaulan ini, melintasi Batas-batas budaya. Ternyata ragam ini sangat sesuai untuk tujuan mereka. Ada kecenderungan beberapa linguis untuk menyebut bahasa ini Melayu `rendah` atau Melayu `pasar` (Ricklefs, 1976); walaupun lebih tepat dinamakan suatu ragam bahasa Melayu dengan kekhasan tertentu; menurut Muhadjir kekhasan Indonesia Timur (komunikasi pribadi). C.O. Blagden (dalam Ricklefs, 1976) sudah menunjukkan pada tahun 1930 adanya dua surat resmi bertanggal sedini tahun 1521 dan 1522 yang menggunakan ragam bahasa Melayu `pasar` ini. Kedua surat tersebut merupakan surat Melayu tertua yang masih tersimpan. Ricklefs dalam tulisan yang dirujuk di atas menunjukkan suatu hal yang sangat menarik, yaitu penggunaan aksara Jawa dalam penulisan surat-surat berbahasa Melayu. Ia mencatat bahwa bahasa Melayu `pasar` digunakan dalam surat menyurat dan administrasi di sepanjang pesisir Jawa sampai ke Banten tetapi bukan dengan tulisan Jawi. Dalam penelitian Sukatno dikemukakan sejumlah besar surat serupa, baik yang bersifat pribadi maupun yang resmi, dalam arti kata yang berkaitan dengan tata usaha perdagangan maupun pemerintahan (Sukatno, akan terbit). Para penulis menggunakan aksara karena umum dikenal dan akrab di daerah itu. Sangat boleh jadi ini satu-satunya sistem tulisan yang mereka kenal. Tidak hanya orang pribumi yang memakai cara komunikasi ini, peneliti bahkan menemukan beberapa surat yang bertanda tangan orang Belanda ditujukan kepada orang pribumi (Jawa). Di bawah ini kami petik dua surat yang tertulis dengan aksara Jawa. Yang pertama berasal dari abad ke-17, ditulis oleh seorang pembesar Kerajaan Banten kepada pegawai VOC. ... Surat Pangeran Arya Ranamanggala datang akan Kapitan, adapon kapitan suruhan sarta dengan surat mangataken mahu berdame, saperti awal zaman dahulu, adapon Kapitan jika ati betul saperti zaman Kapitan Witer dan Kapitan Jam Bul, bahik. apa salahnya. Pangeran Rat upon suka, sakarang aru biru pon, orang Walanda juga yang dahulu, bukan Pangeran Ratu yang salah. (*Algemeen Rijksarchief*, Fol. 326, transliterasi oleh Ricklefs) Banyumas tanggal 13 Juli 1831 Raden Ayu terhormat Saya misti mulai inni surat dengan mintakan hampun pada raden ayu sebab baru duwa hari liwat dan saya salah saya suda kira mahayu lupa pada saya, tetapi sekarang saya misti puji betul-betul tidak satu orang meleken Raden Ayu yang kasih oleh-oleh kermis punya. Apa lagi begitu pantas saya punya rupa kalu paki itu cenela tida sala betul penganten baru (LOr2178-I-51, transliterasi oleh Sukatno, penyesuaian ejaan oleh penulis). Bahwa bahasa Melayu digunakan secara luas sebagai lingua franca umum sudah diketahui, tetapi dokumen-okumen di atas menunjukkan bahwa lingua franca itu juga digunakan dalam tulisan. Bukti pula bahwa bahasa Melayu ditulis tidak hanya dengan wahana tulisan Arab, melainkan juga aksara Jawa, bahkan Bali. *Penutup* Dari masa purba bahasa Melayu telah menunjukkan kemampuannya berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang dihadapinya, baik untuk keperluan praktis maupun bagi penggunaan yang canggih sekalipun. Ketika diperlukan kemampuan yang lebih tinggi dan lebih rumit dan halus maka ia sudah memiliki struktur yang lebih mantap untuk dapat mengintegrasikan bentuk-bentuk dan konsep-konsep baru dari budaya yang lebih canggih sehingga peningkatan ke taraf yang lebih tinggi terjadi tanpa kesulitan. Unsur-unsur dari berbagai bahasa asing dicernakan dan bila perlu ditransformasikan dengan mulus menjadi kekayaan yang luar biasa. Ini semua dapat terwujud berkat keterbukaan sistemnya dan tentu juga keterbukaan penutur aslinya yang dari awal telah membuka dirinya untuk tidak bersikap kikir dan picik mengenai apa yang disebut kemurnian bahasa. Bahasa Melayu masih akan berkembang lebih jauh dan lebih luas dan mungkin menjadi bahasa ibu bagi suku-suku bangsa yang sebenarnya berbahasa asli lain. Kita tentu menyayangkan memudarnya bahasa-bahasa asli tersebut, yang akan mengalami kematian yang tidak disengaja. Di Indonesia ada kecenderungan bahwa bahasa Indonesia yang berasal darai bahasa Melayu di banyak tempat mengambil alih tugas bahasa daerah, dalam hal ini ada hubungannya dengan kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Melayu memiliki kekuatan hidup dan tumbuh dalam berbagai bentuk dan ragam. Kecenderungan untuk mempertahankan bentuk bahasa yang murni dan asli dalam semua situasi dan kondisi ternyata tidak menguntungkan kelangsungan hidup bahasa itu.