At 08:03 PM 6/10/2008, you wrote: >Meskipun demikian dengan menggabungkan kemajuan teknologi maupun >kreativitas disertai iklim usaha yang kondusif , bukan tidak mungkin >masalah tersebut bisa diatasi. Contohnya adalah Air Asia. Meskipun >harga BBM naik dengan harga sangat tinggi beberapa tahun lalu, >perusahaan ini justru menjual tiket dengan harga yang sangat murah. >Bisa dibayangkan tahun 97 saya naik Sempati Air Bali Jakarta dengan >harga 750 ribuan, 10 tahun kemudian saya bisa naik Air Asia dengan >jurusan sama dengan harga hanya 70 ribuan rupiah.
AirAsia sudah melakukan hedging jangka panjang atas kontrak pengadaan bahan bakarnya. Itu sebabnya maskapai tersebut bisa tetap menerapkan tarif kompetitif atas harga tiketnya (walaupun sebenarnya dibundel dengan tarif-tarif lain dari route berbeda yang harganya mahal). Fakta ini saya peroleh dari perbincangan dengan salah satu mantan pejabat tinggi RI yang berprofesi sebagai konsultan bagi Air Asia. (Saya tidak tahu bagaimana Mas Heri bisa dapat tiket Jakarta-Denpasar pp naik Air Asia dengan harga Rp. 70 ribu. Kurang dari dua bulan yang lalu saya dan istri naik Air Asia Jakarta-Denpasar pp. dengan tiket yang sudah dipesan 3 bulan sebelumnya -- ongkos tiket pp kami hampir Rp. 1 Juta per orang. Boleh di-sharing ceritanya nih bagaimana bisa dapat harga 70 ribu...? (entah itu one way atau pp.) Balik lagi ke ongkos. Hedging BBM ini penting karena ongkos terbesar dari bisnis penerbangan komersial adalah... biaya bahan bakar. Besarnya kira-kira 30% (diikuti oleh beban leasing, gaji awak pesawat, biaya suku cadang, dll.). Dengan komponen sebesar itu - maka jelas bahwa sekalipun efisiensi via teknologi dan kreativitas cukup penting TETAPI inovasi di bidang keuangan (semisal melakukan hedging dan leasing) memegang peranan yang jauh lebih penting lagi di bisnis penerbangan. Nah bila bicara tentang hedging BBM - tentunya kita akan kembali lagi pada pertanyaan: siapa sih yang menyediakan sarana hedging BBM? Ternyata kebanyakan adalah orang yang juga jadi spekulan di pasar komoditi. Spekulan tidak selalu untung. Untuk setiap spekulan yang untung - ada sekian banyak yang mengalami kerugian -- tapi tidak terdengar berita atau kisahnya. Ini adalah fenomena "survival bias" -- kebanyakan dari kita hanya menilai berdasarkan apa yang tersisa.