[ac-i] jurnal toddopuli: puisi dan sejarah

2009-01-27 Terurut Topik sangumang kusni

Jurnal Toddopuli:
 
PUISI DAN SEJARAH
 
[Cerita Untuk Anak-anakku}
 
 
Seperti biasa ,  sambil berangkat ke tempat bekerja, ayah singgah ke toko buku 
second hand [buku luakan] San Francisco yang tertetak hanya 500 meter dari 
Koperasi Restoran Indonesia di Paris. Ayah selalu mampir di tokobuku luak ini 
karena sering di sini ayah mendapatkan buku-buku lama dan baru yang langka 
dalam berbagai bidang, tapi bisa diambil secara cuma-cuma. Kedua karena di toko 
buku ini , ayah bisa mendapatkan buku-buku dengan harga sangat murah dengan 
harga dua erois  sedangkan di tokobuku lain bisa berharga 30 Euros. Ayah tidak 
mementingkan bentuk buku, tapi isinya. Jika buku itu rusak , ayah bisa perbaiki.
 
Kalian tentu masih ingat, betapa sejak kalian masih bocah, ayah selalu 
mengusahakan agar kalian mencintai buku, rajin membaca dan mencintai buku. Iwa, 
kakak sulung kalian, tentu kalian masih ingat, betapa senangnya jika tahu ayah 
bermaksud ke Gramedia. Mata kakak sulung kalian lalu bersinar menyala dan 
mengatakan bahwa ia harus ikut untuk membeli buku ini dan itu yang ia belum 
punya. Begitu sampai di tokobuku, ia nampak seperti ikan dalam air 
ditengah-tengah rak-rak buku. Mencari buku yang ia cari memenuhi jatah 
bulananbnya berhak memperoleh dua buku. Ayah tentu saja gembira dengan 
kecintaan kalian sejak bocah pada buku dan kesukaan kalian membaca. Buku adalah 
dunia masa silam dan hari ini, sangu bertarung dan mem bangun esok yang menjadi 
tanggungjawab kalian. Angkatan bodoh tidak bakal bisa membanun esok yang 
tanggap dan apresiatif. Buku adalah sebuah pintu dan jendela besar dari aa 
kalian bisa melangkah ke dunia lebih besar, menjadi anak
 dunia   tanpa lepas akar. Akar ini penting, anak-anakku. Dunia adalah ladang 
di mana kalian tumbuh. Aku tidak ingin besar hanya di bawah langit kecil Jawa, 
Kalimatan atau Sulawesi Selatan atapalagi hanya langit satu dua kota. Buku 
memberi syarat bagi kalian untuk mengeduk pengetahuan dari masa silam dan hari 
ini. Buku adalah jembatan penyambung antara masa silam, hari ini dan esok, 
membantu kalian untuk mengembangkan imajinasi dan mimpi yang di dunia kecil 
kita ini sekarang yang tidak pernah berkelebihan. 
 
Dengan melihat semangat kalian akan membaca dan kecintaan kalian pada buku, 
ayah merasa sangat girang. Kakak sulung kalian , pada usia 7 tahun sudah 
mempunyai lemari buku sendiri dengan jumlah judul, untuk usianya, tidak terlalu 
memalukan. Kegembiraan ini menjadi meningkat jika ayah ingat waktu ayah menjadi 
guru kecil di sebuah universitas di sebuah kota di Indonesia, alangkah sulitnya 
mendorong para pendengar kuliah ayah untuk membaca dan mencari buku-buku acuan 
di perpustakaan.Perpustakaan universitas seperti halnya juga perpustakaan 
daerah, sepi pengunjung. Buku-buku acuan pun sangat ketinggalan perkembangan. 
Untuk meniadakan alasan tak punya buku, maka ayah fotokopie buku-buku yang 
diperlukan dan ayah bagi-bagi ke pendengar ocehan yang biasa disebut  kuliah 
ayah. Tapi usaha ini pun kurang memberikan hasil menggembirakan.  Padahal ayah 
ingin agar para pendengar ayah itu memutar otak, menjadi para penanya dan 
pencari makna. yang berani tanpa
 tabu.  Ayah sebagai guru kecil gagal Kalah. Dikalahkan oleh suatu sistem yang 
terbentuk menjadi suatu nilai budaya dan dominan. Bermimpi mendekati jalan 
bunuh diri.
 
Ketika ujian, dari sekian mahasiswa/i hanya ada satu mahasiswa yang lulus 
murni.  Dekan mendesak ayah untuk memberikan lulusan yang lebih banyak. Hal 
yang bertentangan dengan hati nurani ayah, apalagi amplop yang disodorkan ke 
ayah agar diluluskan.  Amplop uang, ijazah, nilai sebenarnya, kadar pen,didikan 
serta esok bangsa berlaga tanpa segan. Ayah merasa negeri ini menyiksa ayah dan 
ayah menjadi minoritas terpinggir serta disalahkan.  Kecintaan kalian pada buku 
dan kesenangan kalian membaca merupakan hiburan tersendiri bagi ayah.  Apalagi 
kakak sulung kalian sering berkata dengan serius: Aku bisa menulis lebih baik 
dari ayah. Aku akan terbitkan bukuku sendiri seperti ayah. Ayah suka, 
bercampur geli dengan kepercayaan diri kakak sulung kalian ini. Kalian memang 
niscaya punya kepercayaan diri begini, apalagi suatu kepercayaan diri berdasar. 
Tapi bukan kepongahan. Kepongahan bukan jalan aman bagi penulis serius dan 
apalagi ilmuwan. Ah, tapi kakak
 sulung kalian adalah anak kecil masih. Baru tujuh  tahun. Tapi  boleh juga. 
Kakak sulung sudah bisa merumuskan dengan baik perbedaan  antara nakal dan 
lucu. Ayah katakan, boleh juga, karena hal ini menunjukkan adanya proses 
pemikiran. Berpikir, bertanya dan merumuskan adalah proses tunggal. Seperti 
juga kakak sulung mengatakan dengan tegas bahwa ia seorang Indonesia dan bukan 
seorang Dayak. Berpikir, bertanya dan merumuskan serta berbahasa nampak mulai 
muncul pada kaka sulung. Barangkali di sinilah peran buku dan membaca serta 
pennguasaan bahasa. Bahasa adalah cerminan dari urutan pikiran. Termasuk 
pengguasaan tanda baca sebagai bagian dari bahasa.
 
Sekarang kembali ke soal 

[ac-i] memahami keberagaman etnik dayak

2009-01-27 Terurut Topik sangumang kusni
http://202.169. 46.231/spnews/ News/2009/ 01/18/index. html
 
SUARA PEMBARUAN DAILY 


Memahami Keberagaman Etnik Dayak
 
 
Judul: Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat 
Penulis: Sujarni Aloy, Albertus dan Ch. Pancer Istiyani 
Editor: John Bamba 
Penerbit: Institut Dayakologi, Pontianak 2008-11-12 
Tebal: 351 halaman 
  
pa yang kita ketahui tentang Dayak? Banyak dari kita yang memahami keberadaan 
etnik ini sebagai indetitas tunggal: penduduk asli Kalimantan, non-Muslim, 
peladang berpindah, atau seperti suku pemenggal kepala (mengayau). Padahal, 
dalam kenyataannya, etnik ini memiliki keberagaman yang kompleks. 
 
Buku Mozaik Dayak ini mencoba memberi gambaran tentang kompleksitas eksistensi 
etnik Dayak tersebut. Buku ini merupakan hasil penelitian etnolinguistik dari 
Institut Dayakology (Pontianak). Hasil riset tentang Dayak yang mendalam selama 
tujuh tahun di seluruh wilayah Kalimantan Barat, dari Kabupaten Ketapang yang 
paling selatan, hingga Kapuas Hulu yang paling utara-timur di perbatasan 
Malaysia. 
  
Buku ini, demikian etnolog Dr Yusriadi, adalah hasil riset luar biasa, karya 
besar tentang Dayak pada abad 21. Riset yang luar biasa, karena tingkat 
kesulitannya. Setiap orang yang pernah berdiam di Kalimantan Barat, terutama di 
kampung-kampung orang Dayak, akan tahu hal ini: bahwa identitas sebagai Dayak 
adalah sesuatu yang ambivalen. Pada suatu waktu, identitas itu akan sangat 
jelas terdefinisikan dan diakui, pada waktu lain sebaliknya. Dan bahwa Orang 
Dayak satu dengan lainnya, bisa saja sangat sama, bisa saja sangat berbeda, 
tergantung persepsi dan pemahaman akan siapa dirinya. Bahwa sangat mungkin satu 
subsuku akan memiliki banyak bahasa yang berbeda satu kampung dengan kampung 
lain. 
  
Apa yang diperoleh dari buku setebal 351 halaman, dilengkapi peta dan softcopy 
berupa CD ini? Pertama, buku ini berisikan dokumentasi deskripsi singkat 
subsuku Dayak yang terdiri dari 151 subsuku utama dan 100 sub-subsuku. Kedua, 
buku ini juga menyertakan peta persebaran subsuku dan bahasanya (168 bahasa), 
serta kisah/dongeng/ mitos singkat. Yang ketiga, buku ini juga berisi 
klasifikasi baru yang berbeda dengan klasifikasi terdahulu versi Tjilik Riwut 
(1979), Roth (1968) ataupun Malinckrot (1928). 
  
Bagaimana diversifikasi itu dikenali? Mungkin bisa ditanyakan pada telinga yang 
menangkap bunyi dan aliran sungai. Bahasa dan sungai (dan kadang gunung) 
menjadi sesuatu yang vital dalam pendefinisan subsuku Dayak. Bahasa, karena 
dari beberapa kata utama lah subsuku dibedakan (ada 473 kosakata dasar yang 
diteliti dalam riset ini). 
  
Dari aspek bahasa, subsuku Dayak di Kalimantan Barat dapat dibedakan menjadi 
subsuku penutur Melayik, Bidayuhik, Ibanik, dan Uud Danumik. Sungai, karena di 
aliran sungailah umumnya permukiman/kampung Dayak didirikan. 
  
Ada puluhan sungai besar, dan ratusan anak sungai yang terbentuk oleh proses 
geomorfologi di daratan aluvial di hampir seperlima bagian pulau. Dari 
Pegunungan Iban, yang oleh Indonesia dinamai Pegunungan Kapuas Hulu, sebagai 
hulu Sungai Kapuas, sampai dataran rendah Berpaya Berlumpur di Air Hitam di 
Tanjung Keluang yang menjadi salah satu muara aliran Sungai Kendawangan. 
  
Jadi, dalam mengenal subsuku Dayak, kita dituntun pertanyaan mendasar (yang 
masih perlu dikembangkan lagi): bagaimana cara ia berucap, dan tinggal di 
sungai/gunung mana? 
Selintas, bahasa Melayik akan memiliki tingkat kemiripan tinggi dengan bahasa 
Melayu/Indonesia. Subsuku yang menggunakannya di antaranya Dayak Salako di 
Kabupaten Sambas yang mempunyai bahasa dialek Badame Jare. Dayak Salako berdiam 
di Pegunungan Poe (perbatasan Indonesia-Malaysia) , di daerah aliran Sungai 
Bantantan (anak Sungai Sambas) sehingga daerah tempat tinggal mereka disebut 
Binua Bantanan. 
  
Bahasa Bidayuhik, merupakan bahasa yang dituturkan mayoritas subsuku Dayak 
Bakati, Kanayatn yang umumnya berdomisili di Kabupaten Landak, Bengkayang, dan 
Pontianak di aliran Sungai Mempawah, Sungai Landak, beserta anakannya. Tidak 
sulit mengenali para penutur Bidayuhik ini karena saat berbicara dengan mereka 
kita akan mendengar kata-kata yang diucap dengan konsonan ganda [tn, kng, pm]. 
  
Sedangkan subsuku penutur Ibanik, misalnya Dayak Iban, Dayak Ketungau, Dayak 
Mualang, dan Dayak Desa yang persebarannya berada di wilayah-wilayah Kalimantan 
Barat bagian utara, di deretan Pegunungan Kapuas (Baik Hulu maupun Hilir) yang 
kadang juga dikenal sebagai Pegunungan Iban; mulai dari Kabupaten Sambas, 
Bengkayang, Sintang, hingga Kapuas Hulu. Ciri khas bahasa ini adalah vokal [ai] 
di belakang suatu kata. Salah satu aliran sungai yang cukup banyak 
permukimannya adalah Sungai Ketungau (yang lalu menjadi nama subsuku di situ). 
  
Sedangkan bahasa Uud Danumik, adalah bahasa untuk subsuku utama Uud Danum 
(berarti hulu sungai) yang berdiam di Pegunungan Schawner di dekat Taman 
Nasional Bukit Baka Bukit Raya di selatan Kabupaten Sintang, yang sebagian 
wilayahnya 

[ac-i] jurnal toddopuli: keindonesiaan dan etnistas [2-selesai]

2009-01-26 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Toddopuli: 
 
 
 
KEINDONESIAAN DAN ETNISITAS
 
[Cerita Untuk  Anak-anakku]
 
[2]
 
Selanjutnya saya mau berkomentar sekedar tentang tema: Keindonesiaan Dan 
Ketionghoaan: Menuju  Harmoni Identitas dan Budaya. Mengapa tema dirumuskan 
secara demikian? Apakah antara keindonesiaan dan ketionghoaan dan kedayakan, 
kebugisan, kebatakan, dan lain-lain merupakan hal yang tak harmoni? 
Mengkalutkan identitas dan budaya? 
 
Untuk memasuki perrtanyaan-pertanyaan  ini , saya mengambil  beberapa  ungkapan 
berikut.
 
Pertama-tama OrangTionghoa zaman dahoeloe mengatakan bahwa yang  menabur angin 
akan menuai badai, daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh. 
Paandangan begini saya kira mempunyai nilai jauh melampaui batas geografis  
Tiongkok, etnik dan bangsa. Hal serupa adalah apa yang diungkapkan oleh pantun, 
gurindamn seloka Melayu atau pepatah-petitih leluhur kita seperti
 
menepuk air di dulang
memercika ke muka sendiri
 
atau 
 
tangan mencencang
bahu memikul
 
atau
 
menggali  lubang
terpoerosok sendiri
 
atau:
 
atau dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
dari mana datangnya cinta
dari mata turun ke hati
 
Saya kira, ungkapan-ungkapan di atas mempunyai nilai dialektis, kesimpulan 
pengalaman suatu generasi yang disimpulkan secara artistik, dengan nilai 
melampaui lingkup gerografis. Unhkapan - ungkapan di atas , yang 
con,toh-contohnya bisa diperbanyak sehingga bisa dijadikan suatu deretan sangat 
panjang, saya pahami sebagai kesimpulan yang mempunai nilai universal dan tahan 
zaman. 
 
Jika benar demikian, lalu apa artinya? Saya hanya bisa memahaminya 
bahwa nilai-nilai etnisitas, nilai lokal pada galibnya tidak bertentangan 
dengan nilai nasional dan  universal. Etnisitas dan lokalitas hanyalah 
warna dan bahasa khusus dari ungkapan nilai nasional dari universal. Ini 
antara  lain dibuktikan dengan studi dari studi pengaruh pantun di skala dunia 
seperti yang dibahas antara lain oleh George Voisset dalam bukunya L'Histoire 
du Genre Pantoun Malaise, Francophonne Universalie [L'Hamrattan, Paris 1997,358 
],  atau Prof. Xu Yu Nian dalam karyanya  Kajian Perbandingan Mengenai Pantun 
Melayu Dengan Nyanyian Rakyat Tiongkok [Maison d'Editions Guaille, Jli 2008, 
279 hlm].  
 
Dari contoh-contoh di atas dan kajian para pakar yang hanya sebutkan beberapa 
saja,  nampak bahwa  etnistitas, lokalitas yang benar yang berorientasi pada 
usaha pemanusiawan. manusia, masyarakat dan lehidupan serta diri sendiri.sia, 
samasekali tidak mempunyai bertentangan dengan nilai nasional dan universal. 
Sehingga menjadi Batak,Bugis, Dayak, Jawa , Minang, Aceh , Papua ,Gayo atau 
Tionghoa, dan lain-lain... apalagi jika sepakat pada rangkaian nilai repullken 
dan berkindonesiaan, sama sekali tidak mrmpunyai pertentangan. Etnisitas, 
nasion pada galibnya tidak lain dari suatu perbatasan semu bagi kemunusiaan. 
Perbatasan semua yang dilahirkan oleh syarat-syarat zalan tertentu dan harus 
kita indahkan sebagai orang yang realis dan mau merenda esok manusiawi. 
 
Kebudayaan kemarin , hari ini dan esok pada galibnya adalah suatu rentangan 
pelangi harmoni segala warna yang juga kenal sebagai motto bhinneka tunggal 
ika dengan rangkaian nilai republiken dan berkeindonnesiaan sebagai nilai 
perekat pelangi kebudayaan bangsa dan negeri. Menghormati pelangi budaya ini, 
saya kira akan menciptakan harmoni itu sendiri, karena pelangi budaya itu 
memang harmoni. Pelangi menjadi pelangi karena rupa-rupa warna.Masing-masing 
warna dari pelangi itu mempunyai identitasnya sendiri. Pelangi indah karena ia 
kepaduan warna-warna aneka rupa itu. Kalau harnomi dimaknakan sebagai likwidasi 
salah satu warna, maka pelangi budaya sudah bukan bdrnama pelangi lagi. Saya 
kira , inilah inti dari pemikiran Mao Zedong ketika ia mengatakan :Biar bunga 
mekar bersama, seribu aliran bersaing suara.
 
Dengan dasar pandangan seperti di atas maka tema panel Keindonesiaan Dan 
Ketionghoaan: Menuju  Harmoni Identitas dan Budaya, perlu dipertanyakan 
ketepatan perumusannya. Perumusan tema panel demikian saya kira mengandung 
kompleks rasa peminggiran dan kontradiksi menjadi Tionghoa ,Dayak, Bugis, 
Batak, Papua dan lain-lain di negeri yang memamg berwatak pelang; Harmoni 
Indonesia yang republiken dan berkeindonesiaan adalah harmoni pelangi. Harmoni 
bhinneka tunggal ika. Republik dan Indonesia adalah sebuah program dan 
cita-cita.***
 
 
L'Hiver 2009
-
JJ. Kusni
 
 
[Selesai] 
 


  Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] sansana bulan pambelum : on potok sierra madre

2009-01-26 Terurut Topik sangumang kusni
Sansana Bulan Pambelum:
 
SIERRA MADRE
[Varian Dari Lagu Rakyat Visaya Philipina]
 
kita cintai hidup seperti orang bukit visaya mencintai gunung dan 
sungai-sungainya
mencintai hutan langit kelabu dan birunya sarang candra dan surya
cinta memacu kita berlaga dan melahirkan bayi demi bayi esok harapan
maka tak kujual sierra madre kampung halaman di mana kubangun gubuk mungil 
keluarga 
 
sierra madre adalah ibu  diancam petaka
arus penindasan dan kapital mengalir dari tanggul 
sierra madre ibunda kehidupan
diri kita dan untukku adalah kau lingka
 
sierra madre, sierra madre 
kudengar lamat berseru dalam duka
dan kau lingka memanggil kekasih 
segera pulang dari kembara
 
Onpotok na ang lupang nilikha ni Makedyapat
Binulabog na ng ingay ng lagareng demakina
Ang yaman ng kagubatan kanilang kinukuha
Panaghoy ng Sierra Madre ang aming ina
 
L'Hiver 2009
-
JJ.Kusni


  Importing contacts has never been easier..Bring your friends over to 
Yahoo! Mail today! http://www.trueswitch.com/yahoo-sg

[ac-i] jurnal toddopuli: keindonesiaan dan etnisitas [1]

2009-01-22 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Toddopuli:
 
 
 
KEINDONESIAAN DAN ETNISITAS
 
[Cerita Untuk Anak-anakku]
 
 
 
Tanggal 20 Januari 2009 pukul 13:00 WIB siang tadi , di Palmerah Selatan 17, 
Jakarta telah dilangsungkan sebuah diskusi bertajuk Keindonesiaan Dan 
Ketionghoaan: Menuju  Harmoni Identitas dan Budayabertempat di BBJ. Diskusi 
ini diselenggarakan oleh  Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan Bentara Budaya 
Jakarta. Menyertai diskusi, digelarkan juga pameran Warisan Budaya Tionghoa 
Peranakan yang berlangsung di Bentara Budaya dari  15-25 Januari 2009.
 
Yang berbicara dalam diskusi dengan tema di atas adalah Mona Lohanda, penulis 
buku Growing Pains, Prof. Dr. Gondomono, antropolog budaya Tionghoa Jakarta,  
Ester Indahyani Jusuf, penerima hadiah Yap Thiam Hien Award, 2001, Ariani 
Darmawan, sutradara filem Anak Naga Beranak Naga dan Dr. Naniek Widyati P, 
arsitek ,  penulis buku Candra Naya.
 
Dari komposisi pembicara  dan tema yang dibahas,  nampak bahwa diskusi panel 
ini diselenggarakan dengan niat sangat serius,  apalagi jika kita ingat bahwa 
tema-teman sejenis pernah juga dibahas oleh organisasi Indonesia-Tionghoa 
melalui beberapa seminarnya di Jakarta, jauh sebelum acara panel yang 
disponsori oleh Komunitas Lintas Budaya dan Bentara Budaya. Saya hanya melihat 
kegiatan-kegiatan begini merupakan usaha sadar di paparan pemikiran yang sangat 
berguna dalam usaha menegakkan rasa berkeindonesiaan secara sadar melalui 
bidang kebudayaan. Ia juga menunjukkan arti penting kebudayaan dan kesadaran 
dalam usaha berbangsa, benergeri dan bernegara di tengah kondisi bangsa yang 
sangat majemuk dan peka terhadap adudomba dan perpecahan. Hasil-hasil, entah  
ia berupa teks makalah atau pun kesimpulan dari diskusi begini,  akan sangat 
baik jika disebarluaskan, bahkan diterbitkan sebagai sebuah buku sehingga bisa 
jadi acuan anak bangsa dan negeri ini
 untuk sama-sama sadar memiliki rasa berkeindonesiaan dan ber-republik -- dua 
hal tak terpisahkan. Barangkali dengan pemahaman sadar dan hakiki sebagai buah 
renungan dan pemikiran bersama, hasil-hasilnya bisa menjadi sangu 
pikiran bersama dalam menghadapi masalah-masalah berbangsa, bernegeri dan 
ber-republik.
 
Sebelum masuk ke masalah lain, saya ingin mengomentari soal istilah Tionghoa 
dan Tionghoa Peranakan, serta etnik Tionghoa, yang kalau tak salah ingat pernah 
dilansir dalam seminar Inti beberapa tahun silam. Dalam hubungan ini, 
barangkali berguna juga dikaitkan dengan masalah atau istilah warga negara 
keturunan, bumiputera, Indonesia  Asli dan minoritas.
 
Tionghoa, barangkali sebuah istilah yang menunjukkan kepada semua mereka, dari 
warganegara mana pun, yang mempunyai darah Tionghoa. Sedangkan Tionghoa 
Peranakan, digunakan untuk melukiskan orang Tionghoa campuran, misalnya melalui 
perkawinan dengan orang setempat di mana mereka bermkim atau dengan etnik atau 
bangsa lain.  Mereka ini di Indonesia sering disebut warganegara keturunan. 
Istilah ini sering dihadapkan dengan istilah bumiputera atau Indonesia 
Asli. Sering juga warganegara keturunan ini dipandang sebagai minoritas di 
Indonesia.
 
Pertama-tama saya ingin mempertanyakan mengapa dalam suatu seminar dengan para 
pembicara beken dan keren dengan pajangan gelar akademi Prof. Dr dan perolehan 
jasa demikian, dalam iklan pengumuman tidak ada kesergaman istilah? Padahal 
pada tiap istilah, kiranya mengandung kandungan konsep dan latar 
tertentu.Selain latar belakang pemikiran , tentu menyimpan latar sejarah dan 
filosofi tertentu. 
 
Terhadap masalah ini, saya sendiri cenderung pada penggunaan istilah orang 
Indonesia asal etnik Tionghoa atau disingkat menjadi etnik Tionghoa.  Alasan 
saya: Yang namanya warganegara itu di depan hukum status mereka sama. Tak 
perduli asal etnik mereka.  Istilah-istilah di atas, barangkali mengandung 
kandungan wacana yang tak jelas, simpang-siur kalau dilihat dari berbagai 
disiplin, terutama ilmu politik .  Dari segi ilmu kenegaraan, apa dasar 
membeda-bedakan warganegaranya dengan sebutan yang tak bisa 
dipertanggungjawabkan?   Dilihat dari segi nilai republiken dan 
berkeindonesiaan, bagaimana penjelasannya, kalau kita sepakat bahwa republik 
dan Indonesia adalah suatu rangkaian nilai yang juga merupakan program dan 
cita-cita berbangsa, bernegeri dan bernegara? Entah kalau republik dan 
Indonesia merupakan dua kata yang tak mengandung makna apa pun. 
 
Penggunaan istilah etnik Tionghoa , saya kira bisa dipertanggungjawabkan karena 
memang warganegara Republik Indonesia [RI] memang terdiri dari berbagai etnik. 
Salahsatu adalah etnik Tionghoa. Dari segi kebudayaan, saya kira, warganegara 
RI dari etnik Tionghoa juga bukan lagi berkebudayaan seperti yang terdapat di 
Republik Rakyat Tiongkok [RRT] atau pun Taiwan. Mereka berkebudayaan Indonesia 
bercirikan kebudayaan etnik Tionghoa. Misalnya masakan Tionghoa Indonesia 
berbeda dari masakan  Tionghoa di RRT baik yang di utara atau pun yang di 
selatan sunga Yang Tse. Tidak sedikit dari mereka yang tidak bisa berbahasa Phu 

[ac-i] lagu duka sairara orang: samosir

2009-01-21 Terurut Topik sangumang kusni
Lagu Duka Sairara Orang Danau
 
 
SAMOSIR
 
 
pulau tengah danau
diterpa ombak mengabad
dibangkitkan badai bukit
 
pulau tengah danau
dijaga prapat 
inang setia
 
ombak badai bukit
ayunan samosir memang
o, boru hasian
maka tak runtuh langit tapian
 
duka waktu 
di senar gitar
menjelma lagu
di lisoi gelas tuak hidupku
 
kalau pun aku tak tiba
dari tengah gelombang
roslina,  sai roslina 
boru sai hasian 
tanyakan appara:
 
samosir 
masih tanda toba
semua marga 
 
Winter Seine 2009
-
JJ.Kusni


  Yahoo! Toolbar is now powered with Free Anti-Virus and Anti-Adware 
Software.
Download Yahoo! Toolbar now!
http://sg.toolbar.yahoo.com/

[ac-i] jurnal toddopuli: gerakan naturalis

2009-01-20 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Toddopuli:
 
 
GERAKAN NATURALIS:
Esok, Akankah Kiya Bakal Telanjang Semua?
 
[Cerita Untuk  Anak-anakku]
 
 
Judul di atas merupakan tema yang dibahas dalam acara sastra-seni  terusan tivi 
FR2 Perancis satu setengah minggu lalu dalam rangka membicarakan Telanjang 
Dalam Sastra-Seni Dunia dihubungkan sekaligus dengan soal seksualitas.
 
Dalam membahas masalah telanjang dalam sastra-seni dilakukan perbandingan 
pengaalaman dari negeri satu dan negeri lain.  Hadir dalam debat ini selain 
sastrawan-sastrawan, sosilog, pastur, filosof,  juga Wakil Ketua Gerakan 
Naturalis Perancis. Gerakan Naturalis disebut juga kelompok Nudis yang di 
Perancis mempunyai perkampungan sendiri lengkap dengan prasarananya seperti 
Kantor Pos, pasar, lapangan olahraga, perumahan, dan lain-lain. 
 
Menurut Gerakan Naturalis Perancis, terletak di tengah-tengah antara yang 
terdapat di negeri-negeri Eropa Utara dan Amerika Serikat. Agaknya, Gerakan ini 
berangkat dari pandangan kembali ke alam sebagai dasar filosofinya. 
 
Melihat reportase yang ditayangkan oleh tivi Perancis beberapa tahun lalu, aku 
dapatkan bahwa di kalangan komunitas Nudis ini terdapat suatu keakbraban dan 
kerukunan manusiawi yang sulit diperoleh di Paris dan kota-kota besar yang 
galau penuh dengan kekerasan. Kembali ke alam dalam bentuk Gerakan Naturalis 
ini, barangkali salah satu bentuk pemberontakan, paling tidak protes terhadap 
keadaan di kota. Tafsiran begini pun pernah diutarakan oleh PM. Chou En-lai 
alm. , PM Republik Rakyat Tiongkok, saat menerima pemain-pemain tenis meja 
Amerika Serikat di Beijing seusai pertandingan dunia tenis meja di Jepang. 
Rambut panjang anak-anak muda ini adalah suatu pemberontakan terhadap keadaan 
di masyarakat Amerika, kuranglebih demikian penafsiran PM Chou. 
 
Apakah di kalangan komunitas Nudis, keadaan bertelanjang bulat tidak 
merangsang birahi anggota-anggota komunitas?, tanya seorang peserta debat. 
 
Sama sekali tidak,  jawab Wakil Ketua Gerakan Naturalis Perancis itu yang 
tentu saja tampil dengan pakaian lengkap sebagaimana peserta yang lain. Di 
komunitas Nudis, telanjang merupakan hal yang alami. Wajar. Karena semua orang 
telanjang. Yang aneh justru jika ada yang mengenakan pakaian. Karena itu 
orang-orang yang masuk ke perkampungan Nudis diharuskan untuk juga telanjang. 
Termasuk para wartawan yang ingin meliput perkampungan yang terletak Perancis 
Selatan. Saya berada di forum ini berpakaian seperti Anda-anda semua, karena 
jika saya telanjang seperti di kampung Nudis kami, saya akan dipandang aneh 
oleh Anda-anda dan pemirsa, tambah Wakil Ketua Gerakan Naturalis itu.
 
Apakah di komunitas Nudis kalian pernah terjadi perkosaan?, peserta lain 
bertanya.
 
Sama sekali tidak pernah terjadi. Bahwa hubungan seks terjadi, tapi hubungan 
ini berlangsung sehat, alami dan manusiawi. Tidak ada pemerkosaan seperti yang 
banyak terjadi di masyarakat berpakaian atas nama peradaban dan kebudayaan. 
Nudisme  mempunyai dasar filosofi yang jelas. Karena itu mungkin ia menyebut 
diri suatu gerakan. Gerakan Naturlis, gerakan kembali ke alam yang menyerupai 
ide kembali ke akar dalam kebudayaan dan ekonomi pembangunan.
 
Dalam hubungan dengan masalah pemerkosaan dan hubungan seks dan penjajaan 
tubuh,  moderator menanyakan pandangan seorang filosof yang diundang:
 
Sang filosof mengawali komentarnya dengan mengutip pendapat Pascal, salah 
seorang filosof terkemuka Perancis yang mengatakan bahwa Tubuh itu netral, 
sedangkan pikiran itu subyektif. Artinya pikiran manusialah yang menentukan 
bagaimana perlakuan terhadap tubuh dan memperlakukan tubuh itu, tambah sangat 
filosof menafsirkan kata-kata Pascal. Artinya perkosaan, incest, pedhopil, 
penjajaan tubuh, jika merunut tafsiran filosof ini , merupakan hasil 
dari perlakuan pikiran pada tubuh. Gerakan Naturalis pun jadinya tidak lain 
merupakan buah subyekt dari pikiran.
 
Pertanyaan lebih lanjut terhadap pandangan Pascal ini antara lain adalah: 
Mengapa dan bagaimana terbentuknya subyektivisme pikiran? . Pertanyaan yang 
bisa dirinci: Apa dasar sosial, ekonomi, politik, sejarah dan kebudayaannya 
subyektivitas pikiran ini?.
 
Pembicara lain menyangkutkan perbedaan Gerakan Naturalis di Perancis, Amerika 
Serikat dan negeri-negeri Eropa Utara dengan masalah agama. Eropa Utara jauh 
lebih bebas. Sampai-sampai pernah terjadi di Hamburg, ada sepasang dari 
Komunitas Naturalis yang berjalan telanjang di jalan raya kota. Disebutkan ini 
sebagai pengaruh Portestanisme/Evangelis, sedangkan Perancis yang dipandang 
moderat atau setengah-setengah dikaitkan dengan adanya Katolisisme dan 
Protestanisme. Sementara  Amerika Serikat  yang lebih tertutup oleh kuatnya 
Puritanisme. 
 
Dari pembahasan tentang nudisme ini, debat kemudian beralih ke masalah 
telanjang dalam sastra-seni, model-model telanjang di Akademi Fine Art, Beaux 
Art. Di negeri-negeri di mana Islam dominan, nampaknya telanjang hampir tidak 
terdapat di dalam sastra-seni.  Sedangkan dalam perbandingan Tiongkok nampak 

[ac-i] Andi Makmur Makka: Kue Bugis

2009-01-20 Terurut Topik sangumang kusni
Dari Arsip Andi Makmr Makka
The Habibie Center
 
 
“BEPPA TELLO” KUE ORANG  PORTUGIS  (1)
 


 BEPPA tELLO 


  Dituturkan : A.Makmur Makka


Ketika saya belajar di Amerika Serikat, Kuntherra, wanita lajang teman sekelas 
saya dari Thailand pada suatu hari membuat kejutan kepada saya.  Ia memberikan 
kepada saya kue Thailand kiriman dari  keluarganya. Kue itu kecil berwarna  
kuning dan sangat manis karena memakai kuah dari gula yang bening.  Kata 
Khunterra, kue itu kue tradisonal Thailand .. Ketika saya cicipi dan melihat 
bentuknya, kue itu tidak lain “Beppa Tello” berbagai bentuk, kue tradisonal 
orang Bugis. Bagi orang Bugis, “Beppa Tello”  sering disajikan bilamana ada 
hajatan pengantin, atau disajikan kepada tamu-tamu khusus.
Saya katakan kepada Kuntherra, kue ini sama dengan kue tradisional Bugis, tidak 
ada bedanya. Ia mulanya heran dan  tidak percaya. Bagaimana mungkin, ada 
persama kue yang kami anggap sebagai kue tradisional daerah kami masing-masing. 
Thailand cukup jauh dari Sulawesi-Selatan. Namun kemudian, dia mengakui bahwa 
menurut orang tuanya, kue itu aslinya dari Portugis. Beberapa abad  yang lalu, 
orang Portugis di Thailand  mengajari orang Thailand membuatnya. Saya baru 
mengerti, tetapi kenapa sama dengan kami di Sulawesi -Selatan ?
 
  Thailand adalah negara Asia yang tidak pernah resmi dijajah oleh bangsa lain, 
termasuk bangsa Portugis. Tetapi Raja Thailand, dinasti Mongkut sampai 
Chulaalongkorn tahun 1800   sangat toleran dan bisa menerima bangsa apa saja 
dengan damai di kerajaan Thailand. Karena itu, Portugis walaupun tidak dalam 
kapasitas menjajah, Portugis pernah lama memengaruhi budaya  kerajaan itu. Pada 
saat itulah kemungkinan sejumlah budaya bendawi dan tradisi Portugis diadaptasi 
di Thailand , termasuk “Beppa Tello” tadi. 
 
Di Indonesia para perantau Portugis sejak abad 15 sudah menjelajah Indonesia . 
Apalagi setelah Portugis yang menaklukkan Malaka, mengadakan hubungan dagang 
dengan Indonesia . Bahkan Portugis menduduki wilayah Indonesia , bermula  dari 
Ambon . Di Suppa, Antoni de Payva malah pernah berhasil membaptis penguasa 
Suppa tahun 1543. Setelah itu, Portugis sangat dominan sebagai pedagang di 
seantero Sulawesi-Selatan. Mereka hanya terusik setelah Pelabuhan Bacukiki 
dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa . Portugis juga menguasai bandar 
Parepare selain pengusaha Melayu dan Belanda. Pada masa itu pula, saya kira ada 
adopsi kebudayaan dan tradisi Portugis oleh penduduk lokal. Buktinya, “Beppa 
Tello” tadi..
 
Sejak dulu, saya percaya kita cukup banyak menerima kebudayaan luar, termasuk 
dari Portugis, kemudian dipindahkan dan diakui sebagai budaya dan tradisi kita 
sendiri. Saya tidak terlalu percaya bahwa budaya bendawi kita selalu asli dan 
kita ciptakan sendiri. 
 
Menurut Pelras , pada masa lalu , “perahu panjang” orang Portugis bisa lalu 
lalang dari Bone ke Sidenreng dan Wajo.  ketika itu Sungai Saddang masih 
bermuara di Selat Makassar diantara Sawitto dan Suppa.  Perahu Portugis ini 
dapat melayari Teluk Bone dengan melewati Sungai Cenrana. Bahwa ekspor hasil 
bumi yang berasal dari Sulawesi Selatan  pada tahun 1511, dapat memenuhi semua 
kebutuhan orang Portugis di Malaka.. Pernyataan ini  dikutip dari Pinto 
pengelana  Portugis yang terkenal. Cukup dengan 6 cruzados atau senilai 1.800 
rial Portugis atau bahasa Bugis “rella “,  orang bisa membeli tiga ekor kerbau, 
dua puluh ekor babi, tiga puluh ekor kambing atau 360 ekor ayam. Mereka pun 
biasa mengangkut budak-budak yang mereka beli di Sulawesi Selatan  untuk dibawa 
ke kawasan lain di Asia.
 
Masih menurut Pelras,  abad ke 17 di Makassar, masih ada komunitas dagang 
Portugis dan Mestizo, peranakan campuran Portugis dan pribumi..Setelah Portugis 
dikalahkan oleh Belanda di Malaka, makin banyak pengungsi Portugis datang ke 
Makassar , jumlahnya  mencapai 3.000 jiwa. Mereka tinggal dan mendirikan gereja 
sendiri di Barobboso (sebelah selatan Somba Opu). Seorang pedagang Portugis 
ternama waktu itu Fransisco Vicera de Figueredo  di Makassar di kenal dengan 
nama “ We Hera” . Karaeng Patingaloang, intelektual kerajaan Gowa yang 
terkenal, dikabarkan sangat fasih berbahasa Portugis, Jika seseorang hanya 
mendengar suaranya  berbicara dalam bahasa  Portugis, orang itu akan menyangka 
Karaeng Patingalloang adalah orang Portugis. Hal ini, memberikan gambaran 
betapa fasihnya intelektual Kerajaan Gowa yang juga ahli perbintangan ini dalam 
bahasa asing.
 
Menurut  Alif Danya Munsy dalam buku “ 9 dari 10 kata Bahasa Indonesia adalah 
Asing”. Pengaruh bahasa Portugis dalam bahasa Indonesia antara lain kata : 
beranda dari  “veranda”, meja “meza”, peluru “pelor”, kasta “casta”, nenas 
“ananas”, garpu “ garfo”. Termasuk kata lemari, kemeja, kereta, martil, lentera 
, mentega, nyonya, dan seabrek lagi bahasa Indonesia ditiru dari bahas 
Portugis. Betapa banyak peninggalan budaya Portugis yang kita serap dan gunakan 
sampai sekarang ini. Tidak hanya di Sulawesi-Selatan, tetapi juga di beberapa 

[ac-i] lingka : sansana bulan pambelum: aku tak kan sampai ke visaya, tetap di laut

2009-01-18 Terurut Topik sangumang kusni
Lingka: Sansana Bulan Pambelum
 
 
AKU TAK KAN SAMPAI KE VISAYA, TETAP DI LAUT 
 
 
tak jauh memang visaya dan borneo
tapi seperti sorga dan komunisme 
aku tak pernah kan sampai di sana
 
harapan dan cinta sering serupa pulau fatamorgana
sang  kapitan lama dilelahkan samudera
-- kemutlakan hanyalah impian sia-sia
tidak senyata visaya dan kampunghalaman
panas dingin musim kembaraku
 
hanya kapitan tetap kapitan 
anak pinisi putera topan
dikawal ajal berpeta harapan 
jentera tak lepas dari genggaman
 
laut atau daratan 
wilayah pertarungan
dan hidup niscaya 
sejak pengungsian 
 
nah, barangkali
kau kemudian paham mengapa
aku tak segan memberontak
walau tak sampai ke visaya
 
tak kujual jiwaku seharga kopra atau lateks ekspor
karena itu aku masih saja seorang anak pinisi dan 
baris-baris begini terus kutulis bagai catatan harian sebelum malam
mengakui laut memang rumah sejati dan nyawa pencari pantai misteri
 
visaya di depan mata
harapan tak semua tergenggam
ke borneo pun aku tak tentu kembali tiba 
lambat menyaing gerak  
 
di pantai dan dermaga
ada bayang-bayang 
samar selalu samar
wajah laksaan kemungkinan
 
 
Winter 2009
-
JJ. Kusni


  Importing contacts has never been easier..Bring your friends over to 
Yahoo! Mail today! http://www.trueswitch.com/yahoo-sg

[ac-i] lagu duka sairara orang danau: horas mahu, horas magodang

2009-01-16 Terurut Topik sangumang kusni
Lagu Duka Sairara Orang Danau:
 
 
HORAS MAHU
 
seratus lebih lagu jadul kutelusuri
menjelejajahi kisah tapianauli
bisakah kau hitung jari 
berapa sekarang orang mengenalnya
 
modernisasi 
melecehkan dan
mengasingkan diri 
dari kampung
dan rumah ibu bapak
 
sedang hari ini, o  boru hasian
mungkinkah dipenggal dari semalam
kendati aku sering gelagapan disergap ketiba-tibaan
rupa-rupa kehilangan di luar duga
 
aku masih saja batak yang
mengucap horas mahu
harus magodang
pada tiba-tiba
siapa saja
horas adalah harapan anak perkasa
anak toba
 
aku masih saja batak anak toba
mengubah petaka 
dalam horas mahu
horas magodang
seperti sisingamangaraja
memilih jalannya
lalu kita memilih indonesia
dengan darah
 
negeri ini boru hasian
tak terbilang mencatat keperkasaan
dari pulau ke pulau
dari etnik ke etnik
 
o , hasian , boruku
percuma kita menyebut diri anak bangsa
etnik ini itu yang perkasa 
jika ternyata kita hanyalah pengecut tukang ratap kehilangan 
di bawah perjalanan matahari dan bulan
pergantian siang dan malam
 
horas mahu 
horas mogadang
horas hasian
joras tulang 
inang dan apang
apakah kau paham maknanya?
 
obah tangis o hasian
obah jadi keperkasaan orang danau
 
tragedi?
ya, hasian 
ya hidup adalah tragedi
itulah laut dan bukit
padang  kita kembarai
sampai tenggelam matahari
 
maka dengan darah kusalam kau 
bagai anak danau:
horas mahu
horas magodang 
horas boru ito hasian
 
gitar habis senar
kutabuh tubuhnya
senandungkan harapan
esok hidup 
lirik nyanyi 
gema gitar anak toba
orang danau
 
ito hasian anak danau
pantang cucurkan air mata
horas mahu
horas hasian
dari toba
jangan padamkan cahaya 
bulan dan matahari 
jangan padamkan 
hasian, ito o hasian
jangan padamkan 
dari hatimu
aku pun oleh kembara 
tak pernah takluk 
dukanya kuobah jadi madu
 
 
Winter 2009
-
JJ. Kusni


  New Email names for you! 
Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] dari jendela toddopuli :lampu natal hari lalu

2009-01-13 Terurut Topik sangumang kusni
Dari Jendela Toddopuli:
 
LAMPU NATAL HARI LALU 
 
lampu natal jalan
warna-warni bergantungan 
seperti harapan yang tergantung
iming-iming dibangkitkan
 
masih warna-warni jalan kotaku
warna-warni lampu natal hari lalu
lampu-lampu beku
harapan tergantung kuyu
 
hari ini tak seorang pun bisa pura-pura
tak mengakui sergapan duka
pada siang dan malam
pada bulan dan matahari
 
angkasa kian menekan
pinisi didesak badai 
aku hanya punya pilihan 
berlayar sesuai peta 
 
dan kau?
akankah balik dermaga
kita pun kian jauh saling kenal
 
lampu natal kemarin dulu
masih bergantungan aneka warna
seperti harapan kendati redup 
masih bercahya
 
bagai  dahulu
aku masih saja melangkah 
menarung cuaca 
hidup yang kupilih
 
 
Winter 2009

JJ. Kusni


  Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now!
http://sg.toolbar.yahoo.com/

[ac-i] lagu duka sairara orang danau: maafkan ayahmu, butet

2009-01-13 Terurut Topik sangumang kusni
Lagu Duka Sairara Orang Danau:
 
 
MAAFKAN AYAHMU, BUTET
 
kutinggalkan dahulu butet bayiku
sembilan hari untuk bergeriliya 
menarung mati 
dihimbau merdeka
 
maafkan aku boru
maafkan aku tulang 
maafkan aku inang 
dan apang
 
lihatlah danau
lihatlah bukit pengawal
kalian tahu diriku
masih lelaki tapianauli
tak khianati danau 
dan bukit leluhur
 
aku lelaki danau
ayahmu butet
setia janji
mencintaimu
 
akulah gelombang menggelegak 
angin pengaduk hutan
menolak perbudakan
berhitung waktu 
 
apa gerangan sisingamangaraja
paduan romantisme dan kepahlawanan
apa itu tapianauli
jika kau butet darah daging kusayang 
dewasa tanpa kemerdekaan 
 
danau adalah jiwaku
bukit adalah hati
dan cintaku
 
gitar di kiri 
senapan di kanan
cinta dan duka kupekik 
di jerit lelaki tapianauli
 
butet
si doge doge
boru 
ito hasian
orang danau 
pencipta gelombang
tak cucurkan airmata
 
danau dan bukit
pendayung 
penunggang kuda
tak kenal airmata
 
kalau aku tak pulang
butet, butetku 
o hasian 
cari jejakku 
di kedai tuak
di gemuruh lisoi
di petikan gitar-gitar tua 
di tepian dan debur
gelombang toba
 
 
Winter 2009

JJ. Kusni


  Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] lingka: sansana bulan pambelum: pantai bulan visaya

2009-01-13 Terurut Topik sangumang kusni
Lingka: Sansana Bulan Pambelum
 
 
PANTAI BULAN VISAYA
 
 
ang bulan pantai visaya
esok yang menanti kita tiba
 
bergulung ombak kencana 
bergulung mengejar pantai
 
tarung tak punya urung
nestapa tinggal busa
 
lalu, lingka,  kemana lagi kita
kalau bukan ke pantai bulan visaya
 
Winter 2009
 
 
KERTAS KLAT
 
 
sunyi  itu tak obah puntung rokok 
atau kertas klat rencana 
yang kubuang di keranjang sampah
 
sunyi itu adalah sisa abu mimpi 
ketika kita membangun esok 
tak lagi punya tempat di hati 
 
kubakar ia ketika diriku menjadi sepotong kayu api unggun harapan
menghanguskan nista penindasan mencat hitam kehidupan dengan arang hitam kayu 
ladang
berkata lingka di rapat-rapat rencana: 
 
kita niscaya menjadi kandil di bukit 
garam kampung-halaman 
jika kita mencintai diri menyayangi anak
 
sunyi hanyalah semacam keasyikan pada diri
yang tak acuh pada semesta kanan- kiri
kertas klat ini kubuang ia di keranjang sampah samping meja
 
Winter 2009
-
JJ.Kusni


  New Email names for you! 
Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] dari jendela toddopuli [16]:membayangkan koko adikku di tengah dingin russia

2009-01-12 Terurut Topik sangumang kusni
DARI JENDELA TODDOPULI [16]:
 
 
MEMBAYANGKAN KOKO ADIKKU DI TENGAH DINGIN RUSSIA
 
 
belum juga mereda  dingin kota
matahari menumpul lambat tiba
itu pun sejenak saja di angkasa yang
nampak sepenggalah dari atap rumah 
 
jurnal pagi televisi kemudian berkabar
jumlah para gelandangan semalam meninggal
 
di hadapan cangkir kopi meja kerja tergambar 
mereka yang rumahnya dihancurkan peperangan
anak-anak lapar tak lagi sekolah
bermain aman pun tidak. halaman bertabur bom tak meledak
 
terbayang nikmat hangatnya ruang-ruang mewah 
dengan pemanas korupsi dan kecurangan 
orang tak berhitung tagihan listrik dan gas berapa juta juga
rakyat sumber segala tak kering diperas 
 
gigilku bukan gigil dingin, prita 
di kembara lama kukenal musim  beku
gigilku bukan gemetar ketakutan 
ajal kuhafal lama berjaga di tikungan
 
aku cuma merenung semesta kelabu
saban pergantian malam-siang kian kelabu
entah berapa yang kian terpinggir 
bangkai bergeletakan bagai anjing tanpa daya
 
kehidupan sering bagai anjing kurap 
kurus dan kerdil dengan gonggong lapar 
di perempatan sunyi sebelum mati
padahal tidak semestinya kita kekurangan dan tersingkir
 
di toddopuli senantiasa
aku mencoba keluarga untuk yakini
tentang arti bertahan tanpa hilang asa
mempercayai bahwa kitalah  tuan bumi 
 
dari tengah dingin kelabu jalan-jalan kota
terbayang koko adikku di dingin russia
mencoba tegak sebagai lelaki pemenang
di antara dingin kekurangan menggigilkan belulang
 
dik
sanggupkah kau jadi lelaki pemenang
lebih baik karam di laut dari pinisi balik pulang 
sanggupkah kau menghargai darah leluluhur mengalir di nadi? 
 
dingin kota 
masih dingin kotaku
masih dingin hidup
ketakadilan tak meredup  
 
 
Winter Seine 2009
--
JJ. Kusni


  Start chatting with friends on the all-new Yahoo! Pingbox today! It's 
easy to create your personal chat space on your blogs. 
http://sg.messenger.yahoo.com/pingbox

[ac-i] lingka,sansana bulan pambelum [[16] ang bulan

2009-01-12 Terurut Topik sangumang kusni

LINGKA, 
SANSANA BULAN PAMBELUM
 
[16]
 
 
ANG BULAN*
 
 
ang bulan kotaku
ang bulan visaya 
memberiku bayang
teman pulang 
di antara riuh jalan
dan senyap menunggu ujung
bernaung di rindang pohon
 
seperti kau
di sini aku pun 
bergegas melomba waktu  
sebelum tiba 
detik agung 
selamat jalan
 
tapi wahai mimpi-mimpi  
sebuah peta serinci 
yang di taskomando panglima
terasa nanti patut kuserahkan 
ke tangan putera-puteri didewasakan laga
jatuh bangun sambil mengebaskan debu duka 
darah luka dari pakaian
 
malam seperti juga fajar
tak pernah tawar-menawar
maka sambil membaca kemarin
kuisi selalu catatan harian
pahitmanis, kelamterang
yang mengeraskan belulalang
 
ang bulan kotaku malam ini
ang bulan visaya
barangkali ia mendapat piket giliran
mencatat hirukpikuk kota
dari tol hingga lorong-lorong kumuh  
rataptangis gelakbahak 
kecurangan para pejabat
kejadian di gunung
hutan dan sungai yang jauh
 
mengeja namamu kudapatkan ruang lapang 
sejenak relaks dari keseriusan rapat demi rapat
karena kita dikutuk sebagai pengungsi eden tak boleh diam
apalagi lepas tangan
apatis dan narsis
-- hiv jiwa ditularkan peristiwa-peristiwa
mengajak putusasa 
jalan buntu di mulut jurang
 
ang bulan
aku menatapnya 
saat berjalan
bersama bayang
-- purnama bumi 
benua-benua 
satu saja bukan?
 
kukira 
ang bulan 
adalah mimpi 
dan harapan 
anak bumi
lima benua
 
timbul tengelam
hilang tiba 
oleh etnik-etnik
besar kecil 
disimpan dijaga
dalam sastra
sansana kampungku 
 
ang bulan visaya
malam ini 
betapa pun  amis bangkai
bau sendawa
kukira juga bercahaya 
di gaza
di semua front
 
lingka
kubaca 
di ang bulan
sejarah manusia
dan negeri-negeri
 
Winter Seine 2009
-
JJ. Kusni 
 
 
Keterangan:
* Ang Bulan, bahasa Visaya, Philipina, berarti purnama.


  Importing contacts has never been easier..Bring your friends over to 
Yahoo! Mail today! http://www.trueswitch.com/yahoo-sg

[ac-i] jurnal toddopuli: pantura

2009-01-12 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Toddopuli:
 
 
PANTURA
 
 
Pada tanggal 10 Januari 2009, kemarin malam, Koperasi Restoran Indonesia SCOP 
Fraternité, Paris kami, mendapat kehormatan dengan 
kedatangan rombongan tamu-tamu spesial. Mereka berjumlah 21 orang lebih. 
 
Siapakah mereka itu, Ayah?  tanya anak-anakku yang selalu minta didongengi 
sebelum tidur  sambil berbaring santai di pangkuan ibu mereka yang asyik 
sendiri dengan buku novel di tangan. 
 
Mereka itu sebagian besar adalah para Tenaga Kerja Wanita [TKW] yang tinggal 
dan bekerja di Paris. Ada yang tinggal secara gelap. Ada pula yang legal. Saya 
sendiri tidak tahu bagaimana TKW-TKW ini mengurus kartu izin tinggal mereka di 
sini pada saat pemerintah Sarkozy memperketat jumlah imigran, bahkan berencana 
membuat Perancis sebagai negeri imigran nol. Artinya tidak menutup pintu pada 
imigran-imigran baru. Sebagai ganti dari politik imigrasi yang terbuka,  selain 
melaksanakan politik imigran selektif yaitu hanya menerima tenaga-tenaga 
imigran yang ahli. Politik ini sudah diterapkan oleh Nicolas Sarkozy sejak ia 
menjadi Menteri Dalam Negeri. Sejak itu di bandara Charles de Gaulle terdapat 
sebuah penjara untuk para imigran gelap sebelum mereka dipulangpaksakan ke 
negeri masing-masing dengan pesawat khusus, dikawal oleh polisi hingga ke 
negeri mereka. Mereka dipulangkan dengan pesangon. 
 
Guna menangani imigran-imigran legal, yang tidak sedikit jumlahnya dalam 
masyarakat Perancis dan kemudian mengambil kewarganegaraan Perancis, sehingga 
berpengaruh terhadap komposisi demografis, politik, ekonomi dan kebudayaan, 
ketika menjadi Presiden pada tahun 2002,  Sarkozy membentuk kementerian khusus 
yang disebutnya Menteri Indentitas Nasional ditambah dengan 
kebijakan diskriminasi positif. Menyerapkan politik terakhir ini, Sarkozy 
mengangkat pejabat-pejabat tinggi lokal warga negara Perancis asal imigran. 
Barangkali dalam hubungan ini pulalah maka dalam komposisi menteri kabinetnya, 
terdapat menteri-menteri kunci asal imigran. 
 
Dalam masalah imigrasi ini, Sarkozy waktu menjabat Menteri Dalam Negeri banyak 
mendapat kritik berbagai kalangan karena pada masa Pemberontakan Banlieu 
[pinggiran kota, yang umumnya dihuni oleh para imigran dari Afrika dan negeri 
Afrika Utara], Sarkozy menamakan anak-anakmuda warganegara Perancis asal 
imigran ini sebagai sampah masyarakat [la racaille]. Sebutan ini menyulut 
kemarahan lebih besar. Polisi yang patroli dalam grup-grup kecil disergap 
secara fisik sehingga menimbulkan korban nyawa dan luka-luka. Malam pertama 
ketika terpilih sebagai presiden, Paris dan kota-kota lainnya diterpa oleh 
pembakaran dan berbagai bentuk vandalisme. Untuk meredakan keadaan ini, semua 
partai politik dan tokoh-tokoh mengeluarkan seruan dengan mengatakan bahwa 
vandalisme bukan cara beroposisi yang sehat. Sejak itulah maka popularitas seni 
rap meningkat dengan lirik-lirik yang terkadang sangat penuh kekerasan. 
Warganegara Perancis imigran inilah agaknya yang
 merupakan dasar sosial rap  Prancis dan mencerminkan keadaan sosial-ekonomi 
dasar sosial seni rap ini. 
 
Lalu  dengan demikian bisakah disimpulkan bahwa suatu sasatra-seni  itu 
mempunyai basis sosial dan mencerminkan keadaan basis sosial seni tersebut? 
Tanpa menggunakan dasar teori sastra-seni itu, jika kita memperhatikan 
lirik-lirik rap Perancis, maka dengan jelas nampak kepada siapa ia berpihak dan 
untuk apa ia diciptakan serta dipentaskan.
  
Dari segi jumlah TKW-TKW Indonesia di Paris khususnya, Perancis umumnya belum 
merupakan suatu jumlah yang perlu diperhitungkan. Bahkan tidak tertera dalam 
daftar yang KementerianTenaga Kerja yang disiarkan di koran-koran. 
 
Bagaimana TKW-TKW ini bisa sampai di Paris? 
 
Koperasi Restoran Indonesia, pada masa Orba masih berkuasa pernah didatangi 
oleh TKW-TKW dari Timur Tengah yang menyertai majikan-majikan Arab mereka  
berkunjung ke Paris. Kesempatan ini oleh TKW-TKW Indonesia ini dimanfaatkan 
untuk lari dari majikan mereka. Disamping itu, Koperasi kami juga pernah 
didatangi oleh mantan Legiun Asing [Légion Etrangère], sebuah batalion khusus 
tentara Perancis yang terdiri dari orang-orang asing. Semacam tentara bayaran. 
Anggota Legiun Asing asal Indonesia ini datang ke Koperasi atas dasar petunjuk 
KBRI Paris. Tentu saja kami tidak bisa menerima sembarang orang bekerja di 
Koperasi, sesuai dengan latar sejarah, visi dan misi koperasi nasional Perancis.
 
Sedangkan terhadap TKW-TKW yang ke Koperasi Restoran minta pertolongan,  
penanganan lebih  lanjut,  kami serahkan kepada organisasi Perancis Lembaga 
Anti Perbudakan Modern. Organisasi kemanusiaan inilah yang selanjutnya 
menangani kasus mereka. Barangkali TKW-TKW angkatan pertama ini kemudian yang 
merupakan janin hadirnya kelompok TKW Indonesia di Paris yang jumlahnya masih 
belum diketahui dengan pasti. Sekali pun terdapat  peraturan-peraturan  ketat 
Sarkozy tentang masalah imigran, tapi tetap saja peraturan-peraturan tersebut  
tidak bisa menutup semua celah bagi kehadiran imigran gelap 

[ac-i] lingka:sansana bulan pambelum [[18] la plage de l'inconnue

2009-01-12 Terurut Topik sangumang kusni
Lingka:
Sansana Bulan Pambelum [18]
 
 
 PANTAI TANPA NAMA
[ La plage de l'inconnue]
 
 
ang bulan  
bulan visaya
bidari pulau
kulit kuning
kuning tembaga
mandi laut
lembut mata
merayu  pantai
 
lingka
lingka
di laut pasang  
dan ang bulan
gemuruh gelombang
berdebur tak jeda-jeda 
kudapatkan di pantai laut
kelengkapan nisbi
diriku
 
di sini 
bersua
kenyataan 
mimpi 
romantika 
dan laga
kutuang dalam walsa 
lirik sansana
 
amis?
apak?
asin,
pekat?
perduli amat!
 
lihat saja dirimu
apakah wangi parfummu tak mengandung bau apak?
keringat tetap keringat
maka kuhormati pilihan al capone
atau kusni kasdut
 
apakah dasi lehermu bisa sembunyikan hakekat?
lipstik tetap lipstik
dasi tetap secarik kain warnawarni dimitoskan
 
kita saja yang sukarela didustai dan bersantai dengan mitos
lambang-lambang serta upacara
sanggup merangkak 
asal dikenal
sekalipun  berjiwa kroco dan kacung
 
kau
maka kugandeng kau, lingka 
tanpa skedul 
ke pantai ang bulan
ke la plage de l'inconnue
di batas nyata dan impian
 
hidup 
program
tanpa kepastian
seperti laut ang bulan
dan cintaku 
 
ang bulan
bulan visaya
bulan katingan
 
ang bulan itu, lingka
adalah diriku
anak terbuang
mimpi mengalir di nadi
di degup jantung
di debur gelombang
 
sendiri 
di laut
di gunung
sungai
danau
lembah
di mana saja
 
apa beda hidup dan cintamu
dengan la plage de l'inconnue?
 
tanpa skedul 
kemari 
kau yang penari 
kuajak dansa
 
kita adalah penari-penari
de la plage de l'incconnue
 
 
Winter Seine 2009
-
JJ. Kusni


  Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now!
http://sg.toolbar.yahoo.com/

[ac-i] lagu duka sairara orang danau: gitarku tanpa senar

2009-01-12 Terurut Topik sangumang kusni
Lagu Duka Sairara Orang Danau:
 
 
GITARKU TANPA SENAR MENGAPUNG DI DANAU DEKAT TEPIAN
 
 
anggi 
boru hasian 
ito o ito
datanglah kau ke danau
di tepian ada jejak
tak hilang:
jejakku
 
sabtu minggu 
pekan dahulu 
seusai gereja
lama di sana 
kau kutunggu
 
yang tiba 
a sing sing so 
tengah danau
ditingkah  
penunggang kuda
dari bukit 
pengawal toba
 
anggi, anggi  
ito hasian 
boru 
boruku
pekan dahulu
kau tak tiba
dengan gitar 
kala itu 
kau kutunggu
ni rondang ni bulani 
fasih kuucap  
 
dua pekan kemudian kau ke danau
dari tepian barangkali masih nampak bangkai gitar kulempar
di antara gelombang speedboat mengapung tanpa senar
penyanyi bukit dan warung tuak bertutur dengan sesal:
boru, kami  hilang seorang tenor bengal sedikit gila
boru, kau apakan penyanyi  tenor gila bengal kami
boru, kau bikin nyanyi kami kurang satu suara 
 
di depan warung tuak 
terbayang
ada seorang boru batak
diam-diam menahan hisak
kehilangan separo hati
 
mereguk hidup dan tuak batak
tersimpan di kantong pelana kembaranya mencari ufuk 
ada seseorang lelaki kakek penyenandung lagu demi lagu 
dari yang jadul hingga terbaru
 
ketika itu sudah tengah malam di danau 
lewat tengah malam dari suatu masa lama silam 
hanya aku percaya ada selalu yang tak kenal buram
tak punya silam selalu aktual
 
 
Winter 2009

JJ.Kusni


  Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] lingka,sansana bulan pambelum --dua rambu

2009-01-11 Terurut Topik sangumang kusni
LINGKA,  SANSANA BULAN PAMBELUM  [14]
 
 
DUA RAMBU 
 
 
antara  mesir dan gaza
tank-tank israel berjaga
kemerdekaan dan pencaplokan 
hadap-hadapan
 
moncong-moncong meriam
menabur nestapa
menembaki gaza 
 
gaza jazirah 
gurun 
padang kuburan
 
hidup dan
cintaku
di salib dendam
 
berseru yesus 
kesepian: 
eli, eli lama sabachtani 
 
sipongang 
menyebar penjuru
lembah-lembah hatiku
 
gaza
salib golgotha
tanah achoura
 
sejak keluar eden, lingka 
kita hanyalah pengungsi 
tapi akulah adam tak tinggalkan eva
 
eva dan kau lingka
kemerdekaan memilih
dikutuk dosa pertama 
 
gaza dan tank
kemerdekaan dan kepungan
dua rambu tolak belakang
 
gaza dan perlawanan
gaza dan kau lingka
harapan dan cinta
 
jangan pisahkan!
 
duka ini, lingka
tanda sanggup 
jadi manusia
 
duka ini , lingka
duka kita
duka cinta 
 
besok 
meriam pongah mencongak 
menabur mesiu
seperti  daun pisang 
akan tertekuk
layu 
di batangnya merunduk 
 
 
Winter Seine 2009
-
JJ. Kusni


  New Email names for you! 
Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] pasar malam paris a celebration

2009-01-11 Terurut Topik sangumang kusni
Pasar Malam Paris a celebration of RI literary
Kunang Helmi-Picard, ,  Contributor, ,  Paris   |  Sun, 01/04/2009 10:01 AM  |  
Arts  Design 
On a crisp December weekend in Paris, the French-Indonesian association, Pasar 
Malam, held its third bi-annual Indonesian-French literary exchange event. 
 
Featured writers from both countries and held at the Maison des Cultures du 
Monde and emceed by Arwad Esber, the theme of the weekend was complex: From the 
private sphere to the public place: autofiction or self-image? Autobiography in 
literary oeuvre. 
 
Pak Maruli Tua Sagala, from the Indonesian Embassy, officially opened the 
proceedings and Johanna Lederer, in her written introduction to the program, 
said that: ...writing about others often leads to unwelcome autobiographical 
elements, but writing about others without involving a self-centered approach 
has nourished works by Dickens, Proust, Salman Rushdie and Alexander 
Soljenitsyne, for example. 
 
French writer and teacher at the prestigious Lycee Louis-le-Grand, Bernard 
Chambaz, was the first to talk about his work. Chambaz reminded the audience 
that the great richness of the modern French language is due in part to words 
or expressions taken from other cultures and languages. Chambaz talked about 
his own geographical and literary journeys and an extract of his poem, Le livre 
blanc de toutes les couleurs, which touches on the them of French's enrichment 
by outside influences, was then read by French born Indonesian social scientist 
Anda Djoehana Wiradikarta. 
 
Makassar-born writer Lily Yulianti Farida, 37, and Luna Widya (trained as an 
anthropologist) were next, and explained their Makkunrai project, which 
involved feminist themes. Both had flown from Sulawesi just to attend the 
literary gathering. 
 
Luna convinced onlookers of her skills as an actress and activist when she 
later performed at the Restaurant Indonesia's 26th anniversary ten days later. 
Luna born in Jakarta in 1966 of Makassar parents read two poems and acted out 
the latter with great bravado. The latter was a long poem about the daughter of 
someone very unimportant who got caught up in the anti-communist wave in 
Indonesia and who as a consequence never had the proper papers and left to work 
as a servant-girl in Saudia Arabia. 
 
She then murdered her employer there. What was unusual was that representatives 
of the Indonesian Embassy were there as well because additionally a photo 
exhibition by Patrick Blanche of his Indonesia series was also on display at 
the restaurant. 
Luna, an actress-cum-poet who transforms ideas from short stories and excerpts 
of novels into recorded theater monologues, explored photo-essays. 
 
Welcome entertainment came in the form of vivacious Mexican dancer Ilse 
Peralta. Having studied dance with I Made Djimat and Agung Oka Partiniin Bali, 
Peralta presented a contemporary version of Keban Tanjung with such 
authenticity that she confounded some in the audience, who thought the brunette 
dancer was Indonesian. 
 
At the following round-table discussion, expertly led by anthropologist 
Jean-Marc de Grave, philosopher Etienne Naveau began by giving his 
interpretation of the day's literary theme with references to Sundanese writer 
Ajip Rosidi. Naveau explained when and why Rosidi chooses to express himself 
either in Sundanese or in modern Indonesian. He then discussed how, under the 
guise of writing about others, many writers actually express more about their 
own point of view and history. 
 
Interpretations and translations of oral traditions is usually required in 
research on Indonesia and this, Naveau said, can be a major pitfall for young 
academics, who do not always fathom the peculiarities of local languages, 
including Bahasa Indonesia. 
 
Naveau cited the difficulties involved in translating a large selection of 
Sitor Situmorang's poems, edited by Henri Chambert-Loir, in 2002. The 
compilation, Paris la Nuit, was the fruit of cooperation between French and 
Indonesian students, poets and academics alike, and was overseen by Indonesia's 
Farida Soemargono-Labrousse, the now retired former lecturer of the National 
Institute of Languages and Oriental Civilizations (INALCO). 
French writer, critic and editor, Christine Jordis, then expounded on her 
travels in Asia and the afterwards -- or the insights gained during the trip 
that enabled her to talk about the Other, thereby revealing her own intimate 
self. 
 
Jordis reminded the audience of deceased Palestinian philosopher Edward Said's 
idea of the Other or the West's exoticization of the East and its need to 
create differnces between the two. Jordis told the audience that she had 
enjoyed reading Nicolas Bouvier's account of his travels in Indonesia just as 
much as Chambaz. 
 
Despite general disappointment at Djenar Maesa Ayu's -- who famously explores 
female sexuality in her writing -- last minute cancellation, another well-known 
Indonesian writer, poet and 

[ac-i] dari jendela toddopuli [15]: ada sebuah bintang dalam kelam

2009-01-11 Terurut Topik sangumang kusni
DARI JENDELA TODDOPULI [15]
 
 
ADA SEBUAH BINTANG DALAM KELAM
 
 
cahaya setinggi atap saja
seakan tak berdaya menarung kelam
jauh hingga puncak angkasa
 
ada sebuah bintang 
jauh dan jauh seperti menyala di angkasa jiwaku 
meyakinkan diri yang kembara
 
tentang harapan
arti mimpi
dan laga
 
Winter Seine 2009
 
 
SEKALI PUN BELUM PURNAMA BENAR
 
 
pohon taman luxembourg 
buram warna malam 
pucuk-pucuknya
 
kota dan sungai pun demikian
lampu-lampu subuh dingin musim
menjaringku dengan jala kesendiran serta sunyi
 
kau pernah lihat tentu ikan menggelepar di jala
atau di pantai digusur gelombang laut? 
itulah diriku terpental lama  dari rumah dilanda rindu
 
sekali pun belum purnama benar 
bulan jeruk tembaga di langit kota bersinar
menuturkan kegelapan bukan kemutlakan
 
Winter Seine, 2009
 
 
BURSA TANAHAIR
 
tenang selat malam ini
purnama membangkitkan pasang
pinisi melaut dan pulang
 
aku masih saja menghitung 
dampak kemiskinan dan kekurangan
tak henti menjaring menjala
 
republik dan indonesia
memang pilihan negeri ini
tapi kealpaan memukat tak henti-henti
presiden dan para menteri asyik sendiri 
 
indonesia 
pasar perdagangan
jual beli bursa
pelacuran
 
tenang selat malam ini
purnama membangkitkan pasang
pinisi melaut dan pulang
aku masih saja menghitung 
gimana jadi warga republik dan indonesia
anak manusia 
di bursa tanahair
 
Winter Seine 2009
 
 
SEBELUM PETANG BENAR-BENAR TUMBNAG
 
 
aku bersyukur 
mendapatkan rumah di sini
di toddopuli
 
kapal
perlu dermaga
dan samudera
 
kapal dan pinisi
bukan lagi kapal dan pinisi 
jika tertambat, nona 
 
duka dan mimpi adalah dermaga 
samudera adalah  pelayaran
benarkah kita kapal dan pinisi?
 
lebih dari syukur
mengenal ciri langit 
bulan dan matahari 
 
aku pun 
pinisi dan kapal tanpa 
bersobat badai
 
ajal dan duka
ayo bercanda
sebelum petang benar-benar tumbang
 
kukenal kau kegarangan tanpa hati
dengan bahak kusapa 
kutanyai
 
aku mencintaimu
 
 
Winter Seine 2009
--
JJ. Kusni


  New Email names for you! 
Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] sansana bulan pambelum 12 -- cahaya langit paris musim salju

2009-01-09 Terurut Topik sangumang kusni
Sansana Bulan Pambelum [12]
 
 
PUISI DI WILLOW SEINE
 
putih dan dingin puncak montmartre 
putih dan dingin lembah hingga dermaga
willow tebing kiri sungai  masih 
menyimpan puisi spontan dulu kau baca
menggantikan dedaunan cemara 
hijau senantiasa  
 
di antara dingin 
di tengah angin
putih  hening
ada selalu yang tak pupus
bertahan dan tersisa 
dalam kekalahan
bahkan kematian
 
Winter Seine, 2009
 
 
CAHAYA LANGIT PARIS MUSIM SALJU
 
 
beku memang permukaan sungai
sebeku lereng-lereng landai
kampungku bertenda
kembara menahun
 
di ski 
lelaki- perempuan meluncur 
melaju penjuru
sesekali satu dua burung menghambur
 
atau bertengger di patung-patung salju mainan bocah  
kejar-kejaran dalam pakaian tebal
lalu? tidakkah ada yang tak beku
diterpa  dingin dan beku?
 
burung pun tak semua lari ke selatan 
atau ke timur menyertai matahari
pendek siang dipersingkat kelam
langit masih membersit cahaya 
 
Winter Seine 2009
---
JJ. Kusni


  Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] sansana bulan pambelum 13 -- jazirah gaza

2009-01-09 Terurut Topik sangumang kusni

SANSANA BULAN PAMBELUM:
 
 
JAZIRAH GAZA
 
 
kecil saja jazirah ini
di peta entah berapa senti
panjang dan lebarnya
 
tahun demi tahun
pertempuran
melanda rumah 
pohon zaitun
melebarkan kawasan kuburan
di gurun nyawa bertaburan
 
kecil saja jazirah gurun ini 
lebih besar tentu saja  
kalimantan
pulau kelahiran
-- tak bebas bencana
 
darah menyisakan harga diri
anak-anak nabi berlaga
tak henti 
seperti kisah hanacaraka
di sejarah tanah jawa
 
roket dan bom 
bahasa berdialog
dan berdalih
ketika mabuk 
dan rabun 
 
ada yang mabuk
ada yang rabun
ada yang sadar 
memang
sering yang kalah 
adalah nalar
di hadapan kekuatan komplot 
kita gemar  jadi pengecut
 
sejak bocah 
anak-anak sudah  pintar 
tahu benar menarik pelatuk 
kalasnikhov 49
m16
mitraliur 
arti detonator
dan  allhuakabar 
 
di jazirah ini 
mata di balas mata
gigi diganti gigi
hukum talion 
di telapak kaki
 
tahun demi tahun
pertempuran 
melanda gaza
di reruntuhan rumah 
dan sekolah
kebun-kebun zaitun
subur tumbuh 
dendam
riap rimbun
berpupuk bangkai 
dan darah
 
duka menguap
menggumpal di awan
deras turun dalam hujan
 

tahun demi tahun
pertempuran
melanda gaza
riuh penjara 
rumah tahanan
gemuruh tank dan bom
desing peluru
melebar tanah 
kawasan kuburan
cinta terbaring
tanpa epitaf
 
maaf 
kosakata
terhapus dari kamus
 
kecil saja jazirah ini
dua anak nabi berlaga
hidup-mati
 
amis langit 
amis gurun
amis dendam
berdarah 
amis bangkai
busuk 
tanpa epitaf
 
sia-sia 
kucari di mana 
kubur kekasihku:
lingka
palestina tanpa jilbab
 
ajal di kanan-kiri
cintaku 
tak mati 
 
lingka 
kutatap tajam
maut di kanan-kiri 
tak tergertak
terbayang kau naik ke langit
kemudian berumah di hatiku
kuli yang mau jadi penyair 
 
lingka
di jazirah gaza
kuserukan namamu
mengganti peluru
 
lingka 
cinta yang langgeng
kaulah itu
 
 
Winter Seine 2009

JJ. Kusni


  Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now!
http://sg.toolbar.yahoo.com/

[ac-i] jurnal toddopuli: berlomba memberi sumbangan dalam pembudayaan negeri dan manusia

2009-01-06 Terurut Topik sangumang kusni



Jurnal Toddopuli:
 
 
BERLOMBA MEMBERI SUMBANGAN DALAM PEMBUDAYAAN  NEGERI DAN MANUSIA
 
[Cerita kepada  Anak-anakku]
 
 

Dengan disponsori oleh Amiq Ahyad dan Mintardjo, PPI Leiden  telah 
melaksanakan sebuah dialog budaya pada tanggal 3 Januari 2009 bertempat di 
rumah Mintardjo, di Leiden. Dalam temu budaya itu selain para mahasiswa Leiden, 
juga kelihatan wakil-wakil dari berbagai organisasi seperti Yayasan Sejarah dan 
Budaya Indonbesia (YSBI), Sapulidi, Persaudaraan, Perhimpunan Dokumentasi 
Indonesia, Indonesia Media, Jaringan Kerja Indonesia, dll. Sementara itu juga 
hadir Iba Soedharosono dari Paris. 
  
Dialog budaya ini menampilkan seorang pembicara tunggal : Asahan Aidit dengan 
pokok pembicaraan « Sketsa Budaya Indonesia dan Budaya Migran ». 
  

Demikian Chalik Hamid, seorang penyair asal Medan, yang sekarang bermukim di 
Negeri Belanda antara lain menulis dalam artikel pendeknya berjudul  Dialog 
Budaya Di Leiden melaporkan kegiatan budaya yang baru-baru ini berlangsung 
menyusul acara Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia Di Paris diselenggarakan 
oleh Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia Pasar Malam. Kegiatan sastra ini 
diselenggarakan mendahului program budaya internasional tahunan Winternachten 
yang juga dilangsungkan di Negeri Belanda di mana sastrawan-sastrawan dari 
Indonesia turut diikut-sertakan. 
  
Dalam sejarah dunia, pendekatan budaya, jamak dilakukan untuk mencapai  
tujuan-tujuan lain. Sadar akan keadaan ini maka ketika Orde Baru Soeharto naik 
ke panggung kekuasaan melalui kudeta merangkak,  ia segera 
mengendalikan bidang kebudayaan, antara lain dengan segera melarang Lekra 
dan mengangkangi dunia perwayangan yang amat populer di Jawa, sebagai pulau 
berpenduduk terbanyak di negeri kita. Dunia perwayangan , termasuk ketoprak dan 
teater-teater rakyat, merupakan suatu wilayah yang ditangani oleh Lekra dengan 
baik dan sangat sistematik. 
  
Konflik politik dii Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1960an yang berlanjut 
dengan dengan Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat [Wen Hua Da Qe Min] juga 
dimulmai dengan debat sastra Hai Jui Dipecat Dari Jabatyannya.  Revolusi 
Perancis 1789 juga menunjukkan keadaan serupa. Sulit dibayangkan Penjara 
Bastille akan runtuh oleh serbuan rakyat, jika tidak ada pertarungan yang 
bermula di bidang budaya walau pun pertarungan ini tidak selalu mencapai 
kemenangan sehingga di di Perancis dikatakan Bastille masih harus direbut.  
Barangkali karya Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer ,yang terbit pada masa masih 
jayanya Orde Baru merupakan awalan dari suatu titikbalik perkembangan sastra di 
Indonesia. Karya Pulau Buru  Pram pada mumanya beredar dlam bentuk fotokopie 
dari tangan ke tangan sebagaimana halnya dengan karya-karya bawah tanah 
pengarang-pengarang pembangkang Soviet pada masa kekuasaan Uni Soviet yang 
kemudian diselnndupkan ke Barat, terutama melalui
 Italia. 
  
Hal-hal ini sekedar mengetengahkan beberapa contoh dari premis di atas. 
  
Pendekatan kebudayaan ini,  dalam melihat masalah Indonesia pada masa Orba 
sudah menjadi perhatian para cendekiawan dalam dan luarnegeri yang prihatin 
pada soal Indonesia.Antara para cendekiawan dari berbagai kalangan pada masa 
jaya-jayanya Orba terdapat kesepakatan tak tertulis bagaimana antara dalam dan 
negeri bisa dibangun sebuah jembatan pemikiran. Karena apa yang terjadi di 
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks global.  Pengucilan negeri dan 
bangsa dari dunia, agaknya merupakan salah satu cara mempertahankan penindasan, 
mencegah keluasan pandang sebagai anak  manusia, pembudayaan manusia dalam arti 
hakiki. Kecupetan  alias sektarisme, bisa berjubah sutra kiri dan kanan bahkan 
menggunakan nama dewa dengan mengantar pengikutnya ke lembah petaka dan 
kekerasan sia-sia sesia-sia penindfasan mempertahakan kelanggengan kuasanya 
karena manusia itu tidak akan terbunuh binasa seperti yang diucapkan oleh 
penyair Tiongkok Kuno bahwa musim dingin
 tidak mencegah tibanya musim bunga atau raja turun naik silih berganti, 
rakyat tetap di tempatnya ada. 
  
Peran kebudayaan dan pendekatan kebudayaan begini, kiranya akan menonjol arti 
pentingnya, jika budayawan, sastrawan-seniman bisa mengambil posisi sebagai 
pemikir bebas [free thinker] yang tidak mentabukan apa pun jika menggunakan 
kata-kata Chairil Anwar. Bisa menjadi warga republik berdaulatan sastra-seni 
yang tidak segan berhadapan dengan republik politik dengan segala resikonya 
seperti yang diteladkan oleh Julius Fuçik atau Cak Durasim sang pemain ludruk 
yang sanggup menggadaikan kepala melawan militerisme Jepang. Narsisme , 
kecemburuan egoistik dan sejenisnya, aku kira tak ada sangkutpautnya dengan 
sikap Cak Durasim atau Julius Fuçik atau penyair-penyair Albania yang sanggup 
mempertaruhkan nyawa demi bangsa dan negeri dan manusia bisa jadi manusiawi [ 
Lihat:Sejarah Sastra Albania]. 
  
Free thinker, sebagai warga republik sastra-seni berdaulat yang tak asing dari 
kenyataan, boleh jadi , merupakan syarat penting untuk bisa 

[ac-i] dari jendela toddopuli [9]: pertemuan bugis di sebuah restoran ibukota

2009-01-06 Terurut Topik sangumang kusni

DARI JENDELA TODDOPULI  [9]
 
 
PERTEMUAN BUGIS DI SEBUAH RESTORAN IBUKOTA
 
 
di sebuah restoran jakarta siang itu
bugis-bugis berdarah laut 
awak pinisi layar sembilan 
warna abu 
bertemu 
 
 
kerinduan anak rantau
berbaur tentu dengan 
tantangan negeri 
anak pulau
bagai ombak dicumbu angin
laut mengasini pantai 
 
[galesong
karaeng galesong
kucari jejakmu
sepanjang kembara
pada laut kulayari
pada gunung-gunung kudaki
di barat dan di timur
 
galesong
karaeng galesong
menarung mati
bela martabat
kutahu karaeng 
kau tak mati]
 
 
daerah dan pulau memang
masih saja masalah besar
ketika kita tak setia pada sepakat
tentang republik dan indonesia 
separatis disederhanakan sinonim suku
republik dan indonesia pun 
disederhanakan jadi nkri 
sejarah berdarah
larut di gelombang
di dasar  kapal
 
 
lalu 
kita pun luka
ditikam 
digertak 
diancam
kemerdekaan
tinggal angan 
di langit kelam
 
[jangan katakan demikian
abang-abang
laut pun punya fajar
bukan  cuma malam]
 
  
berapa yang terbunuh 
dengan kubur tanpa tanda
karena setia republik dan negeri
diituduh khianat
padahal yang dibunuh itu 
anak-anak negeri setia 
hanya menolak jadi budak
menolak indonesia jadi negeri budak
bangsa sampiran  globalisasi penindasan
 
 
negeri ini pun kemudian 
menjelma tanahair tabu
dikelola  dengan larangan 
moncong senanpan
kebudayaan
diperosotkan 
identik  kebodohan
 
 
di sebuah restoran jakarta siang itu
bugis-bugis berdarah laut 
awak pinisi layar sembilan warna abu
bertemu 
 
 
[apakah kalian mencari jejak yang juga kucari
jejak pahlawan karaeng galesong
menarung mati
demi negeri?]
 
 
atau barangkali membicarakan nasib pulau
makna republik dan indonesia
dibilang patut direformulasi kembali
apa 
di mana 
sulawesi 
dan bugis 
di peta negeri 
di bola bumi 
 
 
ken prita  puteri toddopuli 
yang islam 
sebagai jamak-otomatisnya anak puulau ini 
di kursi makan siang
memandang sloki aperitifnya 
di antara jari
 
 
jauh tatap pandang  ken prita 
menoreh hakekat  esok 
hidup bernegeri  
berepublik 
berkeindonesiaan
menanyai  dirinya siapa
selain sebagai ibu 
dan istri?
 
 
ya, ya, namaku
namaku masih nama dahulu
masih ken prita
bauran suku-suku 
tanahairku
indonesia
 
 
bugis 
dan indonesia
barangkali sedang dipetakan 
oleh bugis-bigus di restoran siang itu
 
 
kalian punyakah  peta lain
yang bisa dipajang di geladak pinisi
dan kapal di belakang jentera? 
 
 
bertemu bugis-bugis 
di sebuah restoran ibukota siang itu
aku menunggu kalian di mana pun di negeri ini 
sebagai anak bangsa dan negeri
aku menunggu kalian dengan sabar 
sesuai nasehat patunru
 
 
menunggu bukan kekonyolan ujar bugis arif satu ini
turunan pemberontak karaeng galesong barangkali 
yang tak pernah mati menjaga mengawal pulau-pulau negeri 
menyulut bulan dan matahari
demi cahaya selalu kemilau
 
 
Winter Seine 2009-
--
J. Kusni


  New Email names for you! 
Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[ac-i] dari jendela toddopuli [8]: gumam ibu anak menjelang berangkat

2009-01-04 Terurut Topik sangumang kusni
Dari Jendela Toddopuli  [8]
 
 
GUMAM IBU DAN ANAK  MENJELANG BERANGKAT 
 
 
sambil  membantu puteri sulungnya,  mengemas koper keberangkatan
perempuan tua yang melahirkan ken prita di toddopuli jalan kampung sederhana
-- istri seorang guru pemimpi, penyaksi jatuhbangunnya republik ini
tahu benar sekarang puterinya sudah lebih dari bujang segera memberikannya cucu
merasa sudah darahdaging timangannya dahulu mulai mengayun langkah
ia membayangkan sebuah planet besar
sebuah galaksi  di luar batas duga merupakan 
wilayah kembara anak gadisnya itu
 
terbayang samudra yang menggemuruh
terbayang bumi putih salju 
bumi dingin hingga sungsum
terbayang anaknya melangkah dan melangkah 
melangkah dan melangkah teluk rantau dan tanjung
dataran dan gunung 
bagai bocah girang bermain membangun patung perempuan
yaitu diri ibunya yang renta
ia kenakan topi di kepala patung salju itu
ia lukiskan bibir patung perempuan itu tersenyum kepadanya
 
mah, ko  tersenyum padaku ya
ken prita membalas senyum patung sajlu ibunya
 
dengan bayangan demikian
perempuan tua itu semacam bercakaap dengan bayangannya berkata:
jangan lupa ko beli topi dan sarungtangan nanti di sana
jangan lupa kenakan syal toraja ini 
pulau lahirmu  harus selalu kau junjung. hormati!
jelek-jelek kampung tetap kampung sendiri
 
ken prita melirik ibunya dengan haru sekelabu langit mendung berawan
syarat hujan -- menguap dari permukaan samudra kasihsayang mengisi angkasa 
jiwanya
senter, lilin,  minyak tawon, termos kecil,  jangan pula lupa masukkan koper
gumam perempuan tua itu mengucapkan kasihsayang campur kesiapan hilang
 
ya, ma, ken prita juga akan bawa  jarum, benang dan  kancing 
karena kancing baju suamiku sering copot oleh geraknya yang kasar bagai kuli
 
dua perempuan itu bergumam dengan perasaan masing-masing
berbicara pada diri menyongsong esok di mana harapan menceburi kancah rahasia
bagai pinisi melayari samudra tak bertepi  di ombak kemungkinan tanpa peta
ya, ma, aku juga akan bawa garam karena suamiku tak suka makanan hambar
 
seperti tersengat perempuan tua itu berkomentar:
ooo, ko inga anakku, lebih penting kalian berdua menjadi garam kehidupan
ko inga-inga lebih penting kalian berdua menjadi kandil di bukit tahan topan 
ujar perempuan tua itu melayangkan pandang ke langit menebak cuaca
ko lihat,ngana lia langit di luar cerah benar sebening selat
kalau langit  mendadak berang jangan kalian saling khianat
kalian dua inga-inga, kampung kita dan bumi ini perlu cahaya
aku sudah tua, tapi masih punya mimpi, bisa  membaca kemarin dan esok
masih kusimpan wasiat pengalaman keluarga toddopuli di lemari hidup rumah ini
 
kata-kata perempuan tua  istri guru sederhana itu menggema 
menggaung di hatiku di  segala ruang dan tanjung kembara 
kosa kata kujadikan lumbung kearifan kampung para tetua 
pulau demi pulau khazanah kaya belum tuntas kutimba
 
Toddopuli, 2009
-
JJ. Kusni


  Happy Holidays from Yahoo! Messenger. Spread holiday cheers to your 
friends and loved ones today! Get started at http://emoticarolers.com/

[ac-i] jurnal toddopuli: dari konsert daniel bôhren, l'ho mme de révolte

2009-01-03 Terurut Topik sangumang kusni
JURNAL TODDOPULI:
 
 
DARI  KONSET  DANIEL BÖHREN, L'HOMME DE REVOLT
 
 
 
Dalam rangka acara menyambut Tahun  Baru 2009, FR2, salah satu terus tivi 
Perancis, menyiarkan konser Philharmoni Wina, Austria yang kali ini khusus 
menggelarkan karya-karya Johan Strauss. Ruang konser yang megah dihiasi 
bunga-bunga diselenggarakan dengan penuh ritual sebagai sahabat mususi 
klasik . Ritual, sebagai suatu penghargaan Austria kepada para seniman-seniman 
yang mengangat nama bangsa dan negeri segi kebudayaan. 
 
Saya bukanlah orang  yang mengerti musik tapi menyukai musik, termasuk menyukai 
Strauss dan walsanya. Saya mengaggumi juga bagaimana penyelenggara negara dan 
suatu bangsa menghargai seniman-senimanya. Jasa dan karya-karya mereka. 
Menghargai dan mengenang seseorang sesuai tempatnya.  Jika masalah penghargaan 
ini diluaskan lingkup masalahnya, maka kitaakansamâipadamasalah ingat dan lupa 
dalam sejarah. Masalah kejujuran. Apabila kejujuran ini  ada, kita tidak akan 
lupa orang-orang yang berjasa bagi kemausiaan dan pemanusiawian manusia;, 
kehidupan dan masyarakat. Kita tidak akan membunuh pahlawan sampai 
berkali-kali, apa pun corak pemikiran mereka. Kita tidak akan  
menjungkirbalikkan sejarah bangsa kita sendiri .
 
Kesan inilah yang saya dapatkan mlihat konser dan ritualitas ketika 
menggelarkan karya-karya Strquss hari ini di bawah pimpinan Daniel  Böhren.
 
Konser Philharmoni Wina kali ini juga melayangkan kenangan saya akan peringatan 
ulta Brahms yang ke-100 di Paris bebrapa tahun silam. Dalam rangka peringatan 
seabad lahirnya kompo,is ini, Peracis mener itkan dalam jumplah besar, 
karya-karya Brahms dalam bentuk CD. Di berbagai tempat, mumai dari gedung 
kesenian tertetup memalui taman-taman sampai ke kuburan, dselenggarakan 
konser-knser yang memperagaka karya Brahms. Konser-konser ini senantiasa penuh 
sesak dengan pengunjung. CD nya pun segera terjual habis. Melihat keadaan 
begini, saya menyaksikan betapa karya-karya komponis ini dinikmati oleh 
masyarakat dan menjadi keperluan masyarakat.  Saya lalu teringat akan arahan 
Lekra tentang dua tinggi: tinggumutu ideologi dan tinggi mutu artistik serta 
meluas dan meninggi. Laris habisnya CD karya-karya Brahms dan konser-konser 
terbuka serta tertutup yang selalu dipadati pengunjungi,   bartangkali bisa 
menunjukkan bahwa masyarakat ketika sampai pada
 tingkat apresiasi sastra-seni tertentu bisa menikmati karya-karya dua 
tinggi.  Hal ini juga saya saksikan ketika untuk menyaksikan pamaera van Gogh 
dan Picasso , jauh-jauh hari diperlukan pemesanan tempat atau  karcis masuk. 
Keadaan begini pun perah saya saksikan dalam bidang saastra  ketika saya berada 
di Republik Rakyat Tiongkok -- negeri yang bisa dibilang tingkat buta aksaranya 
sudah samai pada tingkat nol. Nyanyian Remaja karya Yang Mo, atau Ouyang Hai, 
sekalipun dicetak dalam jumlah berjuta-juta eksemplar segera habis terjual. 
 
Adanya tingkat minat pada saastra-seni begini barangkali tak lepas dari tingkat 
minat baca, tingkat buta aksara dan apresiasi sastra-seni.  Ketika berbicara 
soal apresiasi barangkali tak terlepaskan peran kritikus astra-seni dan 
pendidikan apresiasi. Dalam konteks ini, saya melihat arti penting karya 
Nurhady Sirimorok Laskar Pemimpi, Andrea Hirata. Pembacanya Dan Modernisasi 
Indonesia [Insist Press, November 2008,  191 hlm.]. Lepas dari sepakat 
tidaknya kita dengan pendapat Nurhady Simorok,  saya kira karya Nurhady mengisi 
lengang dunia kritik sastra- seni yang serius. Nurhady berusaha membahas karya 
Andrea secara menyeluruh, bertanggungjawab, meggunakan pembanding dan acuan . 
Bukan dengan metode celetukan atas nama apresiasi dan kritik yang sering 
mengesankan berangkat dari penilaian diri berkelebihan yang tidak diperlukan 
oleh kritik sastra serius apalagi jika dihubungkan dengan ilmu yang memerlukan 
kerendahan hati dan kejujuran. Kritik sastra
 serius barangkali dekat dengan usaha medapatkan batu giok dengan melempar batu 
bata.
 
Konser Philharmoni dengan Daniel Böhren  yang kocak dan komunikatif  sebagai 
konduktur meningggalkan kesan lain dalam soal keberpihakan. Ia mempunyai kaitan 
keluarga dengan Israel tapi  memegang paspor Palestina --dan  negara-negara 
lain seperti Amerika Serikat. Untuk menganjurkan ide perdamaian langgeng 
antara  Palestina-Israel,  Daniel pernah menyelenggarakan konsert bersama 
antara musisi Palestina dan Israel untuk perdamaian. Perdamaian antara 
Plestina-Israel merupakan komitmen manusiawi Daniel sebagai seniman. Daniel 
bukan seorang seniman setril yang tak acuh pada politik. Seni tidak dipisahkan 
oleh Daniel dari politik. Daniel tidak ia tabukan dan menjadi alergi. Komitmen 
manusiawi ini dengan tandas ditunjukan oleh Daniel saat ia bermain sebagai 
konduktur Philharmoni Wina hari ini. Ia menyla konser dengan pidato singkat 
yang menggarisbawahi perlunya hidup berdampingan damai antara Palestina-Israel. 
Sesudah pidato singkatnya, seluruh
 manusiawi Philharmoni berdiri serentak dengan mengacungkan tangan, 

[ac-i] kronik bulan pambelum: gerakan kebudayaan

2008-12-23 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Bulan Pambelum:
 
GERAKAN KEBUDAYAN
 
[Surat Kepada Halim  HD]
 
Posting singkat Bung menyertakan banyak persoalan besar tak sederhana, 
menunjukkan bahwa Bung masih seperti dahulu dengan segala kesulitan masih 
menyetiai bidang kebudayaan yang Bung kecimbungi bertahun-tahun, dan kukira 
akan terus Bung kecimpungi sebagaimana teman-teman lain yang sudah memilih 
bidang ini sebagai wilayah kiprahnya. 
 
Soal-soal besar itua antara lain evaluasi Bung tentang partai-partai politik 
sekarang , cq. PKS, masalah Islam dan kebudayaan, peran pakar asing yang 
disebut Indonesianis dalam pembangunan budaya nasional seperti yang 
dirancangkan oleh TEPI,  kasus Afrika Selatan dan Amerika Latin, elite negeri 
ini dan life style serta orientasi mereka,  gerakan literasi, komunitas 
sastra-seni dan perannya dalam pemberdayaan masyarakat, soal pengalaman Ode 
Kampung,  konsep Paulo Freire dan Ivan Illich. Soal-soal besar dan tidak 
sederhana ini jika dimasuki satu persatu akan menjadi suatu uraian panjang 
lebar apalagi jika dipadukan dengan usaha-usaha pentrapannya di negeri kita, 
termasuk pengalaman kecil diri sendiri, ditambah dengan pengalaman-pengalaman 
negeri terkait itu sendiri sebagai bahan banding. 
 
Melihat kadar permasalahan yang demikian, saya merasa tidak tahu memilih soal 
mana untuk memulai surat ini. Di samping,  pasti akan meminta waktu, pikiran 
dan tenaga yang tidak kecil. Sedangkan jika dibicarakan secara celotehan dan 
asal-asalan, serta model haha hihi,  apakah akan ada gunanya. Celotehan dan 
hahahihi memang suatu metode menghadapi masalah,  tinggal kita memutuskan 
apakah metode begini mau ditanggap atau tidak. Hal lain, sering di depan 
publik, termasuk di dunia maya, ketika berbincang, para yang terlibat lebih 
menjurus mencari menang dan bukan membahas soal dengan jujur. Sering ngeladrah, 
orang Jawa bilang.  Karena itu saya sering lebih menyukai jalur pribadi [japri] 
untuk membicarakan soal-soal yang saya rasakan serius. 
 
Terhadap soal-soal besar yang Bung ajukan di atas, selain saya memang tidak 
punya kemampuan membahasnya, saya pasti tidak bisa menyediakan waktu ,  enerji 
dan kesanggupan yang padan walau pun kira-kira apa-apa yang Bung ketengahkan 
itu, bukan daerah  amamt-amat asing bagi kegiatan dan studi saya dulu. Ada 
rupa-rupa pengalaman pahit dan manis ketika mengejawantahkan program-pprogeam 
berdasarkan wacana tertentu. 
 
Saya tentu saja sangat berterimakasih kepada Bung atas pengetengahan soal-soal 
yang Bung angkat dari Ode Kampung III di Serang awal Desember ini. Melalui 
pengutaraan Bung, paling tidak saya sudah mendapatkan sebuah peta tambahan baru 
tentang keadaan lokal yang sangat berguna untuk mengenal keadaan mutakhir.
 
Melalaui Kronik Bulan Pambelum kali ini, barangkali akan lebih sederhana bagi 
saya jika membicarakan soal Ode Kampung dalam kaitannya dengan gerakan 
kebudayaan.
 
Seperti sering saya tulis dan katakan pada berbagai kesempatan di berbagai 
tempat di Indonesia, saya sangat menghargai prakarsa teman-teman Rumah Dunia 
mengorganisasi penyelenggaraan Ode Kamaping secara teratur sebagaimana saya 
juga menghargai Festival Lima Gunung yang diprakarsai oleh Mas Tanto dan 
kawan-kawannya di Jawa Tengah sekali pun dalam skala keluasaan dan tingkat yang 
berbeda. Tapi dari kedua kegiatan ini, saya mendapatkan ada satu jelujur 
benang yang sewarna yaitu menggalakkan kegiatan kebudayaan dari bawah secara 
mandiri. Dua-duanya diselenggarakan saban tahun. 
 
Yang menarik dari pengalaman Festival Lima Gunung bahwa kegiatan ini 
diselenggarakan sepenuhnya bersandar pada kaum tani, baik dari segi pembeyaan 
mau pun pengisian acara. Walaupn Mgawati dan Presiden SBY menyempatkan diri 
hadir tapi Festival tidak menerima sepeser pun pemda atau dari kedua tokoh 
politik nasional itu, ujar Mas Tanto dalam pembeibaraan telpon kami ketika 
saya berada di Jawa Tengah. Hasil sumbangan kaum tani yang tadinya bersifat 
natura, setelah diuangkan, malah berkelebihan, tambahnya. Model pembeyaan 
mandiri ini pun pada dasarnya juga dilakukan oleh Rumah Dunia Serang dalam 
menyelenggarakan Ode Kampung.
 
Hal menarik pada Ode Kampung bahwa kegiatan budaya ini dihadiri oleh banyak 
komunitas-komunitas sastra-seni dari berbagai daerah dan pulau. Ode Kampung 
tahun ini, menurut Halim HD yang hadir dalam jumpa budaya Ode Kampung ke-3 ini 
berjumlah 70 komunitas. Tentu saja jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan 
dengan angka 4000 komunitas di seluruh tanahair, jika menggunakan angka yang 
pernah disiarkan oleh Gola Gong dari Rumah Dunia. Tapi jumlah ini merupakan 
jumlah terbesar dari semua jumpa sastra-seni dari bawah yang pernah 
diselenggatakan. Saya sepakat bahwa keadaan ini merupakan kenyataan yang 
menggembirakan. Membesarkan hati karena saya melihat bahwa di negeri ini ada 
kemungkinan dansama sekali bukan mustahil,  menggalakkan suatu gerakan 
kebudayaan, termasuk gerakan literasi [jika kita mau membedakan antara gerakan 
kebudayaan dengan gerakan literasi] dari bawah. 

[ac-i] jurnal toddopuli: éman-éman endasé -- sayang-sayan g kepalanya

2008-12-14 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Toddopuli:
 
 
EMAN-EMAN ENDASE
[SAYANG-SAYANG KEPALANYA]
 
  
 
Aku kira waktu itu musim panas ketika beberapa surat listrik [sulis] masuk ke 
kotak surat laptopku.  Sulis-sulis itu berasal dari Rosa Prabowo, seorang 
mantan anggota DPR Pusat dari NU dan sedang menyelesaikan program S3-nya di 
salah satu universitas di Australia. Negeri dan bangsa ini memerlukan 
anak-anaknya yang terdidik baik dan berwawasan, jelas Rosa kepadaku mengapa ia 
melepaskan sementara kedudukannya sebagai anggota DPR Pusat. 
 
Aku mengenal Rosa dan juga Choirotun Chisaan,  adiknya yang penulis buku 
Testimoni H. Misbach Yusa Biran. Lesbuli. Strategi Politik Kebudayaan [LKiS, 
Yogyakarta, 2008, 247 hlm],  sudah cukup lama dan ketika tahun 2007  lalu 
aku ke Yogyakarta, kami berkesempatan jumpa di kantor Syarikat Indonesia yang 
menerbitkan bukuku Aku Telah Dikutuk Menjadi Laut [ Yogyakarta, April 2007].
 
Dalam sulis-sulisnya, Rosa mengatakan bahwa setelah dari Jerman, ia bermaksud 
untuk datang ke Paris. Apakah Babé [demikian anak-anak muda NU memanggilku 
selalu] ada di Paris musim panas ini?   
 
Setelah tukar-menukar sulis, pada hari kedatangannya aku datang ke  Stasiun 
Utara [Gare du Nord], sebuah stasiun kereta-api terbesar di Paris, dari mana 
kereta-kereta yang berangkat dan tiba ke dan dari negeri-negeri Eropa Utara 
berpangkal. Gare du Nord biasa juga disebut Paris Utara. Kedatangan kali ini 
adalah kedatangan Rosa pertama kali ke Paris. Paris tidak ia 
kenal,utara-selatan, barat--timurnya. 
 
Karena tahu ia belum makan , maka Rosa langsung kuajak ke Koperasi Restoran 
kami yang terletak di pusat kota Paris. Sambil menyeret kopernya yang penuh 
buku, kami berjalan sambil kujelaskan keadaan tempat-tempat yang kami lalui. Di 
Koperasi, Rosa berkenalan dengan awak koperasi kami. Saling tukar cerita sambil 
makan bersama masakan sederhana yang khusus dibuat menyambutnya. Sebagaimana 
biasa, ketika ada tamu-tamu khusus datang ke Paris, Koperas memanfaatkan 
kehadiran mereka untuk tukar-pikiran dan informasi. Demikian juga untuk Rosa 
sebelum ia kembali ke Jerman dalam perjalanan kembali ke tanahair, sudah 
dijadwalkan kegiatan demikian.
 
Yang ingin kucatat dalam Jurnal Toddopuli kali ini adalah beberapa pendapat 
Rosa yang tengah menyelesaikan program S3nya di bidang antropologi, yang juga 
merupakan aktivis NU semenjak muda. Sehingga mendengar kisahnya , aku sekaligus 
mendengar lika-liku perjalanan NU dan organisasi-organisai pemudanya, terutama 
pada masa dan pasca Orde Baru. Hadiah paling berharga dari Rosa adalah 
tesisnya. Sebuah kopie tesisnya ia tinggalkan untukku: Agar Babé makin kenal 
Islam dan NU, ujarnya sambil menyerahkan kopie tesis tersebut. Tentu saja di 
sini aku tidak membahas isi tesisnya tapi mencatat beberapa pendapat-pendapat 
atau pernyataan-pernyataannya di depan teman-teman Koperasi yang mengesankan.
 
Salah satu  yang paling berkesan adalah pernyataannya dalam bahasa Jawa khas 
Yogya yang kocak  bahwa cendekiawan dan pemimpin negeri kita dinilainya sangat 
éman-éman karo nadsé [sangat sayang-sayang pada kepalanya]. Dengan kata lain, 
Rosa melihat bahwa cendekiawan dan para pemimpin kita kurang suka menggunakan 
kepalanya.  Malas berpikir. Tapi lebih suka menggunakan jalan pintas. Keadaan 
yang sering aku namakan pola pikir danmentalitas mie instant. Korupsi 
material, pikiran dan data termasuk beberapa ujud dari pola pikir dan 
mentalitas mie instant atau yang éman-éman karo ndasé. Sayang-sayang dengan 
kepalanya Sehingga kepala itu dipelihara demikian rupa. Tidak digunakan sesuai 
fungsinya Sampai berlumut. Bulukan.  
 
Mendengar pernyataan kocak serius, mengena dan komunikatif  ini, para anggota 
Koperasi tidak bisa menahan gelak. Pilihan ungkapan begini, jika pengamatanku 
benar, adalah ungkapan-ungkapa yang  khas terdapat di kalangan para penggiat di 
akar rumput, baik di kalangan buruh atau tani atau pun lapisan-lapisan 
masyarakat lapisan bawah.  
 
Adanya jual-beli skripsi di dunia akademi, barangkali ujud dari gejala yang 
disebut oleh Rosa dengan sikap éman-éman ndasé juga adanya. Bentuk dari 
kultus akademi yang umum di negeri-negeri yang baru mencapai kemerdekaan 
nasional, negeri yang oleh Alfred Sauvy dinamakan negeri-negeri dunia ketiga 
sekalipun gelar akademi dan isi kepala tidak rasuk [uncompatible]. Varian dari 
pola pikir dan mentalitas éman-éman endasé atau mie instant ini boleh jadi 
yang sering kita lihat dalam sikap menindas ke bawah menjilat ke atas, 
sanuwun dawuh, minta restu bapak. Yang éman-éman endasé sering menjadi 
alat jinak [docile tool] dengan segala dampaknya dari tuan-tuan paternalistik 
Sementara kebebasan dan keberanian berpikir serta mencari kebenaran dari 
kenyataan yang memerlukan kerja keras dan ketekunan merupakan kutub lain dari 
éman-éman endasé.
 
Gejala lain yang diangkat oleh Rosa Praboowo adalah masalah latah. Rosa 
melihat bahwa masyarakat kita sekarang, masih dihinggapi oleh penyakit latah. 
Isu syariat Islam yang dipandang sebagai jalan 

[ac-i] jurnal toddopuli: sastrawan-seniman makassar di forum internasional paris

2008-12-09 Terurut Topik sangumang kusni

Jurnal Toddopuli:
 
SASTRAWAN-SENIMAN MAKASSAR DI FORUM SASTRA INTERNASIONAL PARIS 
 
 
 
Maison des Cultures du Monde [MCM, Griya Budaya Dunia], tingkat dua,  111 
Boulevard Raspail, 75006 Paris, merupakan sebuah Lembaga yang sejak 
bertahun-tahun menangani kerjasama kebudayaan antara Perancis dengan 
negeri-negeri lain di dunia. Melalui kebudayaan, MCM berharap bisa 
menanam-tumbuhkan saling pengertian, persahabatan, saling belajar  antara 
bangsa-bangsa di dunia. 
 
Di dalam sejarah usahanya mengejawantahkan visi dan misi ini, MCM telah 
mengundang beberapa kali rombongan-rombongan kesenian dari Indonesia, seperti 
dari Bali, Jawa, dan Sumatera.
 
Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia Pasar Malam yang menterapkan 
pendekatan serupa, pada tanggal 07 Desember 2008 kemarin, telah melangsungkan 
acara sastra akhir tahunnya: Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia  Griya Budaya 
Dunia ini. Untuk acara ini, dari Indonesia hadir Sitor Situmorang, Laksmi 
Pamuntjak, Lily Yulianti dan Luna Vidya. Dua seniman yang terakhir ini 
merupakan sastrawan-seniman pertama dari Makassar,  Indonesia Timur yang 
diundang oleh Pasar Malam ke acara-acara sastra internasionalnya. Kehadiran 
Lily dan Luna mengisyaratkan bahwa Pasar Malam -- sebuah lembaga dengan 
pendekatan kebudayaan -- mulai menaruh perhatian pada perkembangan sstra-seni 
di luar pusat-pusat tradisional sastra-seni Indonesia seperti di Jawa-Bali. 
Paris mulai melemparkan pandang ke pulau-pulau luar Jawa. Untuk membuktikan 
eksistensi sastra-seni di pulau-pulau luar Jawa, Lily Yulianti dan Luna Vidya 
telah menggelarkan karya-karya sastra dari Makassar dan
 Aceh bersama-sama display buku-buku dari KITLV dan penerbit-penerbit berbagai 
negeri lain tentang Indonesia. Di antara karya-karya sastra dari Makassar dan 
Aceh, digelarkan juga kaset vcd monolog Luna Vidya.
 
Pada kesempatan ini, Pasar Malam juga telah memberikan  kesempatan  khusus 
kepada dua sastrawan-seniman dari Makassar ini untuk tampil di panggung, 
memperkenalkan diri, menuturkan secara singkat tentang kehidupan sastra-seni di 
Makassar dan proyek Makkunrai [bahasa Bugis: perempuan]. Kehadiran dua seniman 
Makassar ini menarik perhatian khusus antropolog Perancis yang memang peneliti 
tentang Perancis, Christian Pelras dan para peserta.Kehadiran Lily Yulianti dan 
Luna Vidya ditambah dengan nama-nama seperti Sitor Situmorang asal Tapianuli  
dan Laksmi Pamuntjak, berdarah Minang,secara tersirat mengungkapkan keluasan 
dan kebhinnekaan sastra-seni Indonesia dan keindonesiaan.Sayangnya, tidak 
seperti  rencana, Richard Oh dan Djenar Maesa Ayu,  akhirnya berhalangan hadir. 
Djenar hanya tampil melalui filemnya Mereka Bilang, Saya Monyet!, yang 
digelarkan sebagai acara bahasan penutup. Apabila kedua seniman terakhir ini 
bisa hadir, maka kebhinnekaan
 yang hanayalah nama lain dari keterbukaan dan keluasan Inonesia secara 
geografis dan wacana, akan menjadi lebih nampak dan berwarna.  Kehadiran Lily 
Yulianti dan Luna Vidya, bagiku juga sekaligus memperlihatkan potensi dan daya 
hidup sastra-seni kepulauan. Sastra-seni kepulauan pada galibnya adalah sari 
dari sastra-seni Indonesia. Sastra-seni pulau-pulau dan daerah bukanlah 
sastra-seni periferik atau pinggiran. Ia bahkan sudah ada jauh sebelum Republik 
Indonesia sebagai negara berdiri. Sudah ada dan berkembang jauh sebelum sastra 
berbahasa Indonesia berkembang seperti sekarang. Ia hanya dipinggirkan oleh 
tafsiran dan pelaksanaan konsep NKRI yang memberi tekanan pada sentrilisasi dan 
menganggap desentralisasi sebagai padanan dari separatisme. Saya khawatir, jika 
memandang sastra-seni kepulauan sebagai wacana dan nama lain dari sastra-seni 
Indonesia yang bhinneka tunggal ika, sebagai sastra- seni pinggiran, merupakan 
sisa dari pikiran bahwa NKRI
 padanan dari sistem sentralisme dengan segala dampaknya yang buruk, seperti 
penjajahan bangsa oleh bangsa sendiri sehingga menjadi berkebalikan dengan 
rangkaian nilai republiken dan berkeindonesiaan. 
 
Kalau pada pengejawantahan sastra-seni  kepulauan terdapat kesulitan dan 
masalah, kesulitan dan masalah, saya kira  tidak terletak pada kekeliruan 
wacana tapi terdapat pada pelaksanaan. Masalah justru akan menjadi akan lebih 
serius terdapat pada wacana sastra periferik. 
 
Kesalahan wacana justru bisa berdampak lebih serius daripada kesulitan dalam 
pengejawantahan wacana. Wacana adalah suatu orientasi. Wacana budaya kita 
adalah wacana republiken dan berkeindonesiaan. Bhinneka tunggal ika, bukan 
sastra-seni pinggiran dan pusat. Budaya itu majemuk, kemanusiaan itu tunggal 
jika meminjam istilah filosof Perancis Paul Ricoeur. Saya lebih melihat lebih 
banyak bahaya pada wacana sastra periferik daripada sastra-seni kepulauan. 
 
Bahayanya?. Pusat akan bisa bertindak sesuka-hati dan daerah serta pulau-pulau 
jadi terpinggir dari jati diri serta warna dan soal-soal lokal yang 
nyata.Padahal niscayanya, pusat adalah rumusan dari sari keragaman lokal dan 
pulau. Apakah karya-karya sastra dan monolog 

[ac-i] jurnal toddopui: sastra periferik dan atau sastra kepulauan?

2008-12-05 Terurut Topik sangumang kusni
JURNAL TODDOPULI:
 
 
SASTRA PERIFERIK DAN ATAU SASTRA KEPULAUAN?
 
 
 
Istilah priferik atau pinggiran adalah kosakata yang dihadapkan dengan sentral. 
Istilah yang umum digunakan dalam teori-teori ilmu ekonomi pembangunan dengan 
tokoh-tokoh seperti Andre Gunder Frank, Cardoso, Samir Amin, Ignacy Sachs, dan 
lain-lain  dan kemudian banyak yang berhimpun di sekitar Universitas 
Leuven, Belgia.
 
Adanya istilah sastra periferik ini baru saya dengar dari Luna Vidya, yang hari 
ini, 04 Desember 2008 petang ,  telah tiba dengan selamat di Paris setelah 
berhenti sebentar di Dubai, dengan membawa dua koper buku karya-karya penulis 
Makassar dan Aceh.
 
Ketika mendengar istilah sastra periferik ini, saya tidak langsung mereaksi  
Luna Vidya tapi merenungi istilah tersebut. Istilah? Mengapa ia harus 
dipermasalahkan?  Jawabannya, sederhana karena istilah pada galibnya, seperti 
halnya setiap kosa-kata tidak lain dari lumbung bagi suatu konsep dalam bentuk 
bahasa. Jika benar demikian, maka agaknya kepada semua pemakai bahasa 
diharapkan adanya kesadaran berbahasan, termasuk kesadaran menggunakan kosakata 
atau istilah. Makna istilah dan pemilihan kosakata dan atau istilah ini akan 
makin terasa ketika kita menulis karya-karya ilmiah, skripsi  dan apalagi  saat 
menulis tesis.
 
Melihat buku-buku karya-karya para penulis Makassar dan Aceh yang akan 
dipamerkan dalam acara Lembaga Persahatan Perancis-Indonesia Pasar Malam di 
Paris pada 07 Desember 2008, Sepuluh h Jam Untuk Sastra Indonesia, yang 
mengisi koper-koper Luna Vidya sehinggga membuatnya harus membayar ongkos 
timbangan lebih penerbangan [over weight],  saya bertanya-tanya: Karya-karya 
inikah yang disebut karya-karya sastra  periferik? Sementara saya masih 
mempertanyakan apakah karya-karya yang disebut periferik ini mutunya jauh 
lebih rendah dari karya-karya yang terbit dan ditulis oleh para penulis Jakarta 
atau Jawa yang mungkin dipandang sebagai sentral?
 
Periferik dalam ilmu ekonomi pembangunan memang bermaksud menekankan 
keniscayaan negeri-negeri Selatan untuk memperjuangkan keadilan secara ekonomi, 
melawan dominasi negeri-negeri Utara dan untuk menjadi tuan atas negeri sendiri 
serta setara dengan bangsa-bangsa lalin di dunia , termasuk negeri-negeri 
Utara. Konsep periferik juga bisa dipandang sebagai dasar teori front persatuan 
negeri-negeri Selatan guna menegakkan keadilan manusiawi dalam tingkat global. 
Konsep menentang dominasi negara-negara Utara yang umumnya kapitalistik.
 
Lalu apa yang disebut sastra kepulauan?
 
Dalam pengertian saya, sastra kepulauan tidak lain dari pada niat dan usaha 
mengembang-tumbuhhkantanpa kompleks  potensi-potensi sastra di berbagai daerah 
dan pulau tanahair yang tentu saja berbeda dengan konsep Black is beautiful 
dari Leopold Senghor , Aimé Césaire dan kawan-kawan karena latar sejarahn dan 
politiknya memang berbeda..  Dasar teori konsep sastra-seni kepulauan, saya 
kira terdapat pada kosakata republik dan Indonesia yang secara ringkas 
dirumuskan dalam motto filosofis  bhinneka tunggal ika. Hal yang tidak 
terdapat pada konsep saastra periferik. Konsep sastra periferik terasa padaku 
masih berpegang pada pandangan UUD '45 yang mengatakan bahwa kebudayaan 
Indonesia itu adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, mengakui adanya 
sentra-sentra budaya, sastra-seni, penuh kompleks rendah diri pada yang disebut 
sentral, tidak menyadari arti kesetaraan dalam nilai republiken dan 
berkindonesiaan serta tidak mengkahayati makna kebhinnekaan.
 Hal yang berbeda dengan konsep sastra kepulauan. Satra periferik lebih 
menjurus ke konsep sastra proyek LSM. Tentu saja sastra proyek LSM tidak saya 
tentang, tapi yang saya inginkan adalah kejelasan konsep.Bahwa Republik dan 
Indonesia serta bhinneka tunggal ika adalah kosakata-kosakata  yang melukiskan 
sebuah cita-cita untuk negeri dan bangsa. Adalah suatu program dan politik 
kebudayaan. Sastra-sastra kepulauan, sastra-seni yang ada di berbagai pulau dan 
daerah sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 
1945. Sentral dan periferik jika itu ada, dominasi dan hjegemoni hanyalah salah 
satu akibat dari pemahaman bahwa Republik dan Indonesia sinonim dari 
sentralisasi, jika dilihat dari segi politik. Sehingga daerah-darrah dan pulau 
tidak lain suatu daerah jajahan tipe baru dan sentral.  Karena itu saya 
memandang bahwa konsep sasra kepumauan [dalam pengertian termasuk 
daerah-daerah] lebih rasuk [compatible] dibandingkan
 dengan  kosakata periferik.
 
Dalam konteks inilah maka saya memandang kehadiran Sitor Situmorang, Richard 
Oh, Laksmi Pamuntjak, Lily Yulianti,  Maesa Ayu Djenar, Luna Vidya di acara 
Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia,   merupakan ujud dari pengakuan Paris 
pada sastra kepualauan sebagai kenyataan Indonesia. 
 
Sementaran demikianlah pendapat saya yang selalu bermimpi agar konsep republik 
dan Indonesia yang sesungguhnya dan demikian  itu bisa  terujud.  Jika Martin 
Luther King Jr mengatakan I have a dream, maka 

[ac-i] jurnal toddopuli:: taman luxembourg

2008-12-03 Terurut Topik sangumang kusni

Jurnal Toddopuli
 
 
TAMAN LUXEMBOURG, PARIS
  
 
Taman Luxembourg, merupakan salah satu taman terbesar di tengah kota Paris. 
Boleh dibilang berada di kilometer nol,. Tidak jauh dari Universitas Sorbonne. 
Persis di belakang Gedung Senat yang megah. Dari Koperasi Restoran Indonesia, 
hanya berjarak 100 meter. Kurang lebih satu kilometer dari Sungai Seine yang 
membelah Paris yang dibayangi oleh Katedral Nontre Dame dan gedung-gedung 
bersejarah. Cara paling sederhana dan cepat untuk mengetahui  sejarah Paris 
adalah naik kapal menelusuri sungai dan mengitar Pulau Saint Louis yang 
terletak di tengah sungai. Kapzl kalian akan dikawal dibuntutui oleh ratusan 
camar putih.  Selama perjalanan, kalian akan mendengar tuturan sejarah Paris 
yang dituturkan secara garis besar kepada para penumpang. 
 
 
Salah satu yang tercatat di Taman Luxembourg ini  adalah perjumpaan pengarang 
Les Miserables dana Si Bongkok Dari Notre Dame, Victor Hugo , dengan istrinya 
yang setia.  Saya katakan setia, karena jetika Victor Hugo terpaaksa meninggal 
Perancis untuk mencari suaka di Belgia, karena sikap politik Victor Hugo yang 
tegas menyokong Peembrontakan Commune de aris, sang istri turut dengan tegar 
menanggung segala duka-derita dan sepi seorang suaka politik di ngeri orang.  
Sang istri tergolong seorang perempuan yang berprinsip. Bukan perempuan yang 
bersikap ada uang ada sayang, tak ada uang abang melayang.
 
 
Pada musim panas, taman ini menjadi tempat orang-orang berjemur sambil membaca. 
Ia juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan, tempat hiburan dan bermain bagi 
anak-anak. Taman yang mencakup beberapa model taman, seperti taman model 
Inggris, di segala musim dijadikan daerah olahraga: jogging,tenis dan  tai 
chichuan, Sekaligus tempat bersantai dan tentu saja juga tempat berkecan. 
Suasana kemesraan merupakan bagian dari pemandangan taman, apalagi di musim 
panas dan siapapan tidak ambil perduli. Menanggapnya hal demikian sebagai 
urusan pribadi yang bersaangkutan. 
 
Menjelang jam 19:00 petang, penjaga taman yang berseragam seperti pakaian 
polisi, membunyikan sempritannya, mengingatkan para pengunjung bahwa taman 
segera akan tutup. Terlarang untuk bermalam di sini seperti halnya terlarang 
untuk bermaam tidur di dalam stasiun metro -- kereta-api bawah tanah.
 
Adakah para pedagang kecil di dalam taman seperti yang kita saksikan di 
tanahair yang segera mengisi tempat-tempat publik dan trotoar? Di dalam taman 
tidak ada sama sekali. Bahkan rumput hijau, apalagi bunga-bunga, terlarang 
diinj ak. Jika kita melanggar ketentuan ini, polisi akan segera datang menegur. 
Kencing sembarangan pun terlarang. Saya ceritakan soal kencing ini, karena 
pernah seorang teman saya yang sakit,  tidak bisa menahan kencingnya. Daripada 
menahan sakit dan mengencingi celananya, ia berlindung di balik sebuah pohon 
besar taman dan kening. Tiba-tiba ia mendengar suara sempritan polisi penjaga 
taman yang langsung mendekati da menegurnya:Tuan, Monsieur, terlarang buang 
air kecil sembarang. Teman saya itu meminta maaf sambil  mengmenjelaskan 
keadaannya. Polisi taman itu tersenyum maklum,  kemudian berlalu.[Pamusuk 
Eneste ketika melihat ada orang buang air kecil di Saint Michel, setelah 
kembali dari Paris, menulis ketercengangan akan
 kejadian ini sama  membuat tercengangnya Dr. Masud ketika ia diminta ua,g oleh 
pengemis New York. Bulé minta uang dari seorang Ilander, ujarnya sambil 
tertawa]. 
 
Taman besar yang berpagar besir berujung lancip seperti mata tombak 
setinggi kurang lebih 10 meter, diurus dengan baik oleh petugas khusus. 
Merekalah yang menyapu dedaunan rontok di musim gugur, menggunting dan 
membentuk tanaman-tanaman, menanam bunga. Mendangirnya. Menyirmanya . Sehingga 
taman senantiasa terawat dan asri Memberikan kenyamanan bagi para pengunjung. 
 
Hal unik, satu-satunya di Paris, bahwa pagar besi taman ini sejak 
bertahun-tahun dimanfaatkan sebagai pameran foto permanen. Berlangsung 
siang-malam selama dua bulan dengan tema berbeda-beda. Pagar yang digunakan 
adalah bagian yang menghadapi jalan teramai yaitu simpang tiga Rue de Vaugirard 
yang menuju Universitas Sorbonne dan jalan Saint Michel mengarah ke Pntheon, 
tempat pemakaman atau perisirahatan putera-puteri terbaik Perancis --vbyang 
sebagian besar terdiri dari orang-orang kiri dengan segala tendensinya, 
termasuk anggota Partai Komunis, seperti Madame Curie;, saastrawan Andre 
Malraux yang pernah Trotskis, Vixtor Hugo yang penyokong konsekwen kaum 
Komunard, dan lain-lain Keadaan dan kenyataan ini menimbulkan pertanyaan 
pada diri saya: Mengapa banyak orang kiri yang mengisi Pantheon sebagai tempat 
berisitrahat terpandang bagi putera-puteri terbaik Perancis? Apa hubungan dan 
adakah hubungan antara orang kiri dan putera-puteri terbaik? Atau
 sekedar suatu kebetulan belaka?.Tapi yang jelas tidak ada orang kanan, apalagi 
kanan ekstrim.
  
Pameran foto bersarna dan artistik berukur 2 X 4 meter ini diprakarsai dan 
disponsor oleh Senat dengn tujuan 

Re: [ac-i] jurnal toddopuli: sastra nusantara adalah sastra kepulauan

2008-11-30 Terurut Topik sangumang kusni

Fahmi yang baik,
Pian orang Banjar-kah?
Sayangnya ulun kada punya yang Pian takon.
 
Salam hangat dari Paris yang dingin,
JJK
 
--- On Sun, 30/11/08, Fahmi Faqih [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: Fahmi Faqih [EMAIL PROTECTED]
Subject: Re: [ac-i] jurnal toddopuli: sastra nusantara adalah sastra kepulauan
To: artculture-indonesia@yahoogroups.com
Date: Sunday, 30 November, 2008, 1:12 PM










bang Kusni,
apakah Jurnal Toddupuli ada dalam bentuk media online?
agar kami yang di Indonesia bisa juga belajar dari esei-esei tersebut, utama
tentang sastra kepulauan.

tabik,
fahmi faqih



--- On Sat, 11/29/08, sangumang kusni [EMAIL PROTECTED] com.sg wrote:

From: sangumang kusni [EMAIL PROTECTED] com.sg
Subject: [ac-i] jurnal toddopuli: sastra nusantara adalah sastra kepulauan
To: artculture indonesia artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com
Date: Saturday, November 29, 2008, 8:29 PM










Jurnal Toddopuli:
 
 
SASTRA NUSANTARA ADALAH SASTRA KEPULAUAN 
 
 
 
Les Insolindes, Insulinde,   barangkali adalah istilah lain dari Nusantara yang 
menunjukkan kepada suatu kawasan yang terdiri dari berbagai pulau. Pengertian 
sempitnya, barangkali identik dengan wilayah yang sekarang menjadi wilayah 
negara Republik Indonesia dan budaya Melayu sehingga mencakup Malaysia  Barat  
Timur serta Brunei. Mungkin termasuk juga Filipina Selatan dan Muangthai 
Selatan serta Timor Leste.
 
 
Sedangkan dalam dunia sastra, saya kira istilah ini  menunjukkan kepada 
karya-karya seni yang menggunakan berbagai bahasa di berbagai pulau dan daerah 
di wilayah Republik Indonesia  sebagai sarana utama pengungkapan diri, 
pengungkapan rasa dan karsa. Jika pemahaman begini benar maka konsekwensi 
nalarnya, bahwa yang disebut sastra Nusantara, tidaklah sebatas karya-karyaa 
sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra berbahasa Indonesia hanyalah 
menjadi salah satu saja dari sastra Nusantara atau sastra Indonesia. 
 
 
Jika kita sepakat dengan pengertian Nusantara seperti ini maka kita akan 
memasukkan karya-karya besar seperti I La Galigo dari TanahBugis, Sansana 
Bandar Bandar,Sansana Kayau Pulang dari Tanah Dayak, pantun-pantun, gurindam 
dan seloka Melayu , karya-karya yang ditulis oleh warga dari etnik Tionghoa 
atau Indo sebagai bagian dari sastra Nusantara dan bukan hanya membatasinya 
pada karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia Modern yang secara usia 
sangat pendek usianya dibandingkan dengan karya-karya tersebut dan yang kita 
sangat kurang indahkan. Sedangkansastra Indonesia jauh lebih tua usianya 
daripada sastra berbahasa Indonesia. Membatasi cakupan sastra Nusantara pada 
yang berbahasa Indonesia modern lebih memperlihatkan kepongahan , kekenesan 
dan kecupetan atau sektarisme   pandangan. Barangkali. Terdapat masalah jika 
dilihat secara otntologi sebagai sisa  atau varian dari pandangan 
hegemonik modernitas dan yang disebut besar dan puncak
 sebagaimana yang dirumuskan dalam UUD '45 dahulu.  
 
 
Nusantara dan Indonesia adalah dua istilah berbeda makna jika dilihat dari 
periodisasi sejarah. Nusantara ada jauh sebelum Indonesia lahir. Sedangkan 
Indonesia dilihat dari segi politik menunjuk kepada wilayah Rempublik 
Indonesia. Wilayah Republik Indonesia ini, jika kita mau jujur dan realis, juga 
terdiri dari berbagai pulau dengan budaya masing-masing. Dengan sastra 
masing-masing pula. Kalau kita mengakui yang disebut Indonesia itu adalah 
wilayah Republik Indonesia maka sastra yang hidup dan terdapat di berbagai 
daerah dan  pulau, termasuk sastra Indonesia juga, tidak hanya sebatas sastra 
berbahasa Indonesia. Tidak ada dominasi suku dan budaya besar atau kecil  
-- yang bertentangan dengan prinsip bhinneka tunggal ika yang secara singkat 
disebut Indonesia dengan nilai republiken sebagai perekat. Saya khawatir bahwa 
di sekolah-sekolah dan di publik justru pandangan sempit inilah yang dominan 
dan diajarkan.Pandangan menyempitkan yang disebut sastra
 Indonesia begini sama sekali tidak representatif. Kita fasih menyebut 
Indoneisia, republik, bhinneka tunggal ika tapi apakah maknanya belum dikhayati 
benar. Pendekatan dan pemahaman salah tentang prinsip-prinsip ini , apalagi 
hanya sebatas barang hapalan,  akan menjalar dan  berdampak negatif ke berbagai 
bidang, terutama pendidikan dan pengajaran. Dari segi ini, saya melihat karya 
Prof Teeuw yang dijadikan pegangan dalam pengajaran sastra Indonesia menjadi 
sangat timpang.  Sastra lokal sama sekali diabaikan. Padahal di segi lain, 
dalam kurikulum sekolah-sekolah, terdapat  yang disebut muatan lokal. 
Barangkali pelaksanaan kurikulum ini ada tautannnya dengan penyediaan bahan 
lokal,  kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan lokal,  dan tidak kurang 
pentingnya, mungkin pada soal cara ajar-mengajar sastra di sekolah. Tidak 
kurang pentingnya adalah tulisan-tulisan apresiasi terhadap karya-karya sastra 
di suratkabar, radio dan televisi. Tapi di atas
 segalanya, barangkali yang perlu disepakati dahulu apakah yang disebut sastra 
Indonesia itu. Apakah

[ac-i] jurnal toddopuli: sans domicile fixe --sdf

2008-11-30 Terurut Topik sangumang kusni
JurnaL Toddopuli:
 
 
SANS DOMICILE FIXE
 
  
Dingin sudah merontokkan dedaunan dari dahan-dahan kotaku. Langit kelabu seakan 
hanya sepanggalah saja tingginya dari menara katedral terletak di depan taman 
Abbesses. Orang-orang jalan bergegas dibalut pakaian tebal. Syal tebal melilit 
leher mereka.Kalau pun sesekali matahari merebak di antara awan  menyinari kota 
dan atap-atap, bertaburan di jalan,  sinarnya pun terasa sangat tumpul, tak 
terasa menyegat seperti pada bulan Agustus silam. Sengat matahari diganti oleh 
irisan dingin pada  jari-jari kaki dan tangan serta pipi atau daun telinga yang 
tidak tertutup. Di tengah iklim yang terasa  sangat menekan ini, orang-orang 
berteriak girang dengan mata bercahaya saban melihat ada matahari menyala: 
O, soleil,  soleil...   [Oooo, matahari, matahari...]. Matahari jadi 
dambaan, isi kerinduan, disenandungkan dalam lagu dan puisi. Di samping 
menikmati keindahan varian tamasya negeri empat musim, saya makin merasakan 
betapa matahari tanahair tidak
 tergantikan, terdengar seperti suara rindu seorang ibu  atau orang kesayangan 
menyeru-nyeru segera pulang.
 
Matahari seperti juga bulan,  bagiku adalah lambang harapan dan kerinduan -- 
cinta yang tak pudar, dimatangkan dalam perjalanan musim dengan segala 
ketiba-tibaan tak tertakar duga. Alangkah gelapnya kehidupan tanpa harapan. 
Alangkah gelapnya siang tanpa matahari dan betapa temaramnya malam tanpa 
bulan. Tanpa harapan membuatku akan seperti orang tenggelam ketika pinisinya 
pecah dibanting topan,   yang tergapai-gapai sebelum hilang di lubuk dalam 
kesia-siaan tanpa makna. Keadaan jiwa tergapai-gapai inilah yang dilukiskan 
oleh temanku Arifin C. Noer dalam dramanya berjudul Gapai-gapai. Ataukah di 
samudera kehidupan ini kita memang sering tergapai-gapai?
 
Musim dingin di kota tempatku  sejenak bertenda  dari perjalanan panjang 
berdasawarsa meniti busur bumi, menjadi sempurna ketika  salju turun  beberapa 
kali pada hari-hari  lalu. Terselip memang bayangan betapa saya dan keluarga di 
saat salju tebal turun bagaikan sisik-sisik naga putih rontok berhamburan  dari 
langit, bermain lempar-lemparan salju sambil kejar-kejaran di antara derai 
gelak tak berkeputusan mengembarai ujung-ujung alam yang putih seluas 
cakrawala, lalu membangun sebuah patung manusia.  Mengenang dan membayang ulang 
tamasya begini, saya menyadari bahwa sebenarnya kehidupan tidaklah berwarna 
tunggal, tapi penuh warna-warni, duka yang hitam hanyalah salah satu saja yang 
tertera di kanvas  kehidupan.
 
Tapi musim dingin  di negeri pertendaan sementaraku, apalagi jika suhu sudah 
berada di bawah nol, adalah juga musim  yang memusingkan kepala penyelenggara 
negara berbagai tingkat, mulai dari tingkat walikota melalui Perdana Menteri 
hingga ke Presiden, tanpa perduli apakah mereka itu kiri atau 
kanan. Lembaga-lembaga kemanusiaan seperti Emaus [lembaga yang didirikan oleh 
pastur Abbé Pierre alm. khusus untuk menangani masalah kemiskinan di 
Perancis] , Samu Social [lembaga pemerintah untuk pertolongan darurat], dan  
Restaurant du Coeur [restoran  yang didirikan oleh bintang filem dan pelawak, 
Coluche, dengan dana dari para bankir dan orang-orang kaya] yang menyediakan 
dan membagi-bagikan makan gratis pada orang-orang miskin di seluruh Perancis, 
makin sibuk. Coluche, seniman yang berpihak dan terlibat demi pemanusiawian 
masyarakat. Kerbepihakan dan keterlibatan sosial manusiawinya yang membuat ia 
selalu hidup di hati masyarakat Perancis.
 
Musim dingin menjadi isu politik nasional. Karena saban musim dingin tiba, 
senantiasa saja membawa berita kematian demi kematian para gelandangan 
[clochard] dan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tingga,l yang di sini 
dinamakan sans domicile fixe dikenal dengan singkatan SDF. SDF disamping 
orang-orang yang tergolong dalam Dunia Keempat [Le Quatre Monde], orang-orang 
hanya punya kaki, tangan dan kepala, bahkan cacat, sejak lama  merupakan  
masalah sosial besar dalam masyarakat Perancis. Adanya clochard, SDF dan Le 
Qurtre Monde,  masalah yang tak terpecahkan sampai sekarang, baik oleh 
pemerintah kiri atau pun kanan, merupakan sisi lain dari Perancis, di samping 
segi glamour, mode, parfum,  sastra, filsafat dan lain-lain faset  
kemilaunya. Karena keadaan ini, maka saya selalu melihat Perancis memang utuh 
secara teritorial, tapi pecah dari segi sosial, beragam dari segi budaya. Waktu 
saya belajar antropoloogi-sosiologi di l'EHESS [L'Ecole des
 Hautes Etudes en Sciences Sociales], pecahan dari Universitas Sorbonne,  dulu, 
saya diperkenalkan dengan adanya tiga Amerika Serikat yang kalau tidak salah 
bermula dari pandangan kelompok sosiolog dari Chicago School. , Sebagai varian 
dari pandangan ini, saya melihat Perancis pun , paling tidak ada dua Perancis. 
Perancis kaya dan Perancis yang pas-pasan bahkan yang clochard. Clochard 
sebagai sebuah metafora realistik.  
 
Musim Dingin memang baru saja tiba. Ia belum sampai Februari di mana ia 
berpuncak. Sampai sekarang menurut 

[ac-i] jurnal toddopuli: luna vidya anak sentani tanah papua akan bermonolog di paris

2008-11-29 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Toddopuli:
 
 
LUNA VIDYA  
ANAK SENTANI  TANAH PAPUA
AKAN BERMONOLOG DI PARIS
 
 
[Cerita Untuk Andriani S. Kusni  Anak-anakku]
 
 
 
Pada tanggal 15 Desember 2008, Koperasi Restoran Indonesia Paris yang sekaligus 
sebagai pusat kebudayaan Indnesia di Paris, akan merayakan ultanya yang ke-26.  
Dalam rangka kegiatan ini maka akan diselenggarakan bedahbuku dan pameran foto 
tentang Indonesia, bekerja sama dengan Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia 
Pasar Malam. Sementara itu pada 7 Desember 2008 Pasar Malam akan 
melangsungkan acara Sepuluh Jam Untuk Sastra Indoneisa dengan menghadiirkan 
Sitor Sitomorang, Richard Oh, Laksmi Pamuntjak, Djenar Maesa Ayu, Lily Yulianti 
dan Luna Vidya di samping para pakar sastra dan indonesianis Peris dan Belanda 
serta para penerbit terkemuka Perancis seperti Gallimard dan Flammarion yang 
telah menerbitkan antara lain karya-karya Pramoedya A Toer,  Ayu Utami serta 
kemudian Laksmi Pamuntjak. Acara sastra kali ini agak lain dari acara-acara 
sastra terdahulu jika dilihat dari kompisisi mereka yang diundang yang berasal 
dari berbagai asal etnik di
 Indonesia. Tema pembicaraan pun berkisar tentang bagaimana perkembangan 
pemikiran dan perasaan para penulis bermula dari etnik berkembang melalui 
nasionalisme lalu menjurus ke universalisme. Hal paling baru adalah hadirnya 
Lily Yulianti, penulis dari Makassar dan Luna Vidya, aktris kelahiran danau 
Sentani, Papua. Memang sebelum ini ,  Pasar Malam  pernah mengadakan acara 
untuk penyair  Bali ,Tan Lioe Ie sehingga tampilnya sastrawan-seniman dari luar 
Jawabukan diawali oleh Lily dan Luna. Bali sebenarnya bukanlah nama baru dalam 
dunia kesenian. Senman-seniman Bali sering datang ke Paris. Bahkan Arthaud, 
dramarturg Perancis terkemuka terilhami ketika menyaksikan pertunjukkan pentas 
Bali. Di Perancis, terkadang, tidak sedikit orang lebih mengenal Bali dari 
Indonesia. Hadirnya Lily Yulianti dan Luna Vidya dari Makassar dan Papua, kali 
ini menjadi mempunyai arti khusus,  karena baru merekalah sastrawan-seniman 
dariIndonesia Timur yang diundang
 olehPasar Malam dalam kegiatan internasionalnya. Hal ini memperlihatkan 
perhatian Pasar Malam pada perkembangan sastra-seni di luar Jawa dan di muar 
pusat-pusat kegiatan sastra-seni tradisional yang dikenal dunia, sekaligus 
memperlihatkan bahwa. kegiatan sastra-seni di luar pusat-pusat tradisional 
mendapat perhatian dan pengakuan. Guna menopang pengakuan dan perhatian ini 
maka Lily dan Luna pada kesempatan in, sebagai tanda bukti kegiatan sastra di 
luar Jawa, ingin memamerkan karya-karya sastra dari Makassar dan Aceh.
 
 
Sedangkan   dalam rangka peringatan ulta ke-26 Koperasi Restoran Indonesia Scop 
Fraternité Pairs, sudah merencanakan untuk memberi acara khsus kepada Luna 
Vidya guna menggelarkan monolog berjudul Balada Sumarah karya 
Tentrem  Lestari. 
 
Balada Sumarah adalah kisah hidup yang dituturkan dalam sebuah sidang 
pengadilan. Sidang pengadilan  seorang TKW yang  tertuduh telah melakukan 
pembunuhan terhadap majikannya. 
 
Di depan siding pengadilan itu, Sumarah bercerita tentang hari-hari dimana ia 
belajar menerima diskriminasi dalam seluruh dimensi kehidupan sosialnya sejak 
kecil karena satu penyebab: ayahnya dituduh sebagai anggota PKI. Ayah yang 
tidak pernah sempat dikenalnya.
 
 
Karena alasan itu Sumarah meski lulus SMA dengan nilai terbaik ijazahnya tak 
berbunyi apa-apa. Untuknya tak ada kesempatan menjadi pegawai negeri, bahkan 
petugas administrasi. Ia hanya boleh menjadi buruh pabrik. Nama bapaknya, 
adalah bayangan hitam yang terus menguntitnya di semua kesempatan. Bayangan itu 
menggelapkan bahkan impian Sumarah untuk menikah.
 
 
Dikucilkan, dirampas hak-haknya di negeri sendiri, menjadi TKW di Arab Saudi 
adalah kesempatan satu-satunya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 
Kesempatan yang diperolehnya dengan memberi amplop. Sumarah menyangka, setelah 
bertahun-tahun menjadi rakyat setengah gelap di negeri sendiri, terselip dan 
tidak boleh mendongakkan kepala, ia akan bermetamorfosa dari ulat bulu menjadi 
kupu-kupu indah di negeri orang.
 
 
Balada Sumarah  yang ditulis  oleh Tentrem Lestari ini mulai ditampilkan oleh 
Luna Vidya sejak tahun 2005 pada Festival Monolog Dewan Kesenian Jakarta 2005 
di Teater Kecil-TIM. 
 
 
Luna Vidya lahir di Sentani, Papua, Luna Vidya, bermain teater sejak tahun 1984 
di Makassar bersama berbagai kelompok teater di kota itu, sejak datang ke 
Makassar setelah menamatkan SMAnya di Jayapura. Bergabung dengan Teater Kampus 
Universitas Hassanuddin, Ia makin mengokohkan dirinya sebagai salah satu pemain 
teater terbaik Sulawesi Selatan. 
 
 
Ia memfokuskan diri pada ruang-ruang teater monolog, memainkan naskah-naskah 
orang lain, LV juga menulis naskahnya sendiri (Meja Makan, Pagar, Garis) dan 
membuat adaptasi dari cerita-cerita pendek untuk keperluan itu. “Makkunrai”, 
“Dapur” adalah naskah monolog yang iia sadur  dari cerita-cerita pendek yang 
ditulis oleh  Lily Julianti dalam kumpulan cerpen 

[ac-i] Mari kita dukung gerakan literasi lokal

2008-11-27 Terurut Topik sangumang kusni
JURNAL TODDOPULI:
�
�
MARI KITA DUKUNG GERAKAN LITERASI LOKAL
�
�
�
Kalimat yang saya jadikan judul� Jurnal�  kali ini berasal dari� Komunitas 
Rumah Dunia, Serang Banteng yang pada� tanggal 5 - � 7 Desember 2008 mendatang 
akan menyelenggarakan pertemuan Ode Kampung ke-03� dengan mata acara sebagai 
berikut [saya kutuip siaran Komunistas � Rumah Dunia, 25 November 2008 di milis 
[EMAIL PROTECTED]:
�
�
Pembukaan Jum’at, 5 Desember 2008, Pukul 13.30
� �
Diskusi:
Membudayakan Minat Baca
� Kiprah Pemerintah Mendukung Gerakan Literasi
Peran Penerbit � dalam Komunits Literasi
Jejaring Komunitas Literasi
Penulis dalam Gerakan Sosial
Tanggung Jawab Pers Mendukung Gerakan Literasi
Peranan CSR di dunia Literasi
Deklarasi Komunitas Literasi
� �
Pembicara Prof. Yoyo Mulyana, Dick Doank, Eko Koswara, Asma Nadia, Halim HD, Si 
Uzi Jodhi Yudono, Myra Junor, Hernowo, Bambnag Trim, Hikmat Kurnia, DR. 
Zulkieflimansyah, Tantowi Yahya
� �
Menu spesial:
Pementasan ”Pria ½ Iblis” oleh Teater Rumah Dunia, Jum’at 5 Des 08, pukul 19.30
Pameran karikatur karya Si Uzi setiap hari
�
Cemilan:
Parade pembacaan puisi, teater sekolah, dan musikalisasi puisi� .
�
Berbeda dengan Ode Kampung 02 ynng lalu, kali ini Komuniitas Rumah Dunia tidak 
atau belum mnngumumkan daftar komunitas-komunitas yang � menyatakan diri akan 
hadir. Sedangkan tahun lalu, daftar peserta diterakan.� Walaupun jumlah yang 
hadir� cuma�  dua ratusan komunitas sastra-seni�  dari jumlah yang mencapai 
angka 4000 komunis , menurut keterangan Rumah Dunia sendiri,�  tapi jumlah dua 
ratusan dari berbagai penjuru tanahair, kiranya bukanlah jumlah yang sedikit. 
Barangkali sampai sekarang hanya Rumah Dunia sajalah yang sudah mengumpulkkan 
dua ratusan komunitas sastra-seni di Serang di Banten, ujung barat Jawa. Saya 
tetap menganggap hal begini tetap sebagai suatu prestasi. Prestasi ini lebih 
layak dihargai jika kita melihat cara pengorganisasiannya dan pembeyaannya. 
Penghargaan ini saya garisbawahi lagi karena ia bermula dari bawah, oleh 
komunitas-komunitas itu sendiri, berangkat dari pendirian dan sikap yang jelas 
mendukung usaha literasi lokal. Hal yang
 sejajar dengan wacana sastra-seni kepulauan, sastra-seni bhinneka tunggal ika 
di luar yang disebut pusat-pusat pengakuan atau pusat-pusat legitimasi kegiatan 
bersastra dan berkesenian --- wacana yang bisa dikatakan absurd. Pertemuan Ode 
Kampung yang diselenggarakan secara periodik mempunyai arti tersendiri bagi 
pengembangan sastra-seni di negeri kita, yang�  berbeda dengan Writers and 
Readers Ubud Festival yang mewah dan glamour ditopang oleh dana yang besar. 
Tapi secara kongkret, apa yang diberikan oleh Ubud Festival dalam�  
mengembangkan sastra-seni di negeri kita, kecuali membuka suatu etalase barang 
dagangan yang bernama sastra-seni? Barangkali pertanyaan ini keliru, tapi tetap 
� saya pertanyakan. Pertemuan-pertemuan dari bawah untuk kepentingan 
pengembangan sastra-seni kepulauan, dalam pikiran saya, jutru lebih layak 
mendapat perhatian penanggungjawab kebudayaan resmi di negeri kita daripada 
pertemuan seperti Uubd Festival. Pikiran begini tidak
 berari membuat penyelenggara pertemuan tipe Ode Kampung atau Fstival Tahunan 
Lima Gunung di Jawa Tengah tergantung pada uluran tangan� pihak resmi. 
Masalahnya adalah terletak pada pertanyaan apa bagaimana orientasi dan 
tanggungjawab � budaya pihak resmi. Ode Kampung dan atau Festival Lima Gunung 
sejauh ini walau pun pernah dihadiri oleh Megawati dan SBY,tapi�  
penyelenggaraannya tidak pernahmendapat bantuan sepeser pun dari pihak resmi. 
Dan tetap berlangsung bahkan jika mengambil pengalaman Lima Gunung, sumbangan 
dari masyrakat masih bersisa di akhir festival. Melalui penyelenggaraan 
Festival Lima Gunung berhasil dirawat, diangkat � dan dikembangkan 
bentuk-bentuk sastra-seni di daerah mulai dari pojok-pojok jauh perdesaan 
disekitar Lima Gunung Jawa Tengah. Sedangkan Ode � Kampung, saya kira, 
merupakan peluang untuk komunitas-komunitas dari berbagai penjuru tanahair 
menyerampakkan langkah agar perkembangan sastra-seni di berbagai daerah kian � 
� marak.
 Dari segi ini jugalah saya mengangap penting pertemuan periodik Jumpa 
Sastrawan Se-Borneo.� � Saya mencium pada usaha pengembangan sastra kepulauan� 
ini, pernah dicoba dirambah oleh H.B Jassin, anak Gorontalo itu, � melalui 
majalah Kisah dengan menampilkan penulis-penulis dari berbagai pulau. Saya 
curiga, apakah dengan merambah usaha ini , HB Jassin tidak mengidam�  juga ide 
sastra kepulauan jsebaga dasar bagi sastra Indonesia?
�
�
Pengembangan sastra-seni lokal atau daerah atau pumau-pulau saya kira, bisa 
menumbuhkan sastra nasional. Bisa menjadi dasar warna bagi sastra nasional yang 
semarak. Ia akan semakin bernas�  jika membuka diri pada daerah dan pulau-pulau 
lain serta dunia.�  Sastra-seni lokal dan pulau adalah pengembangan sastra-seni 
yang mengakar dan dekat dengan masyarakat,�  merupakan bahasa bedialog dengan 
dunia jika meminjam istilah filosof berpengaruh � � Perancis, alm. 

[ac-i] jurnal toddopuli: sisi lain kongres reims partai sosialis perancis

2008-11-26 Terurut Topik sangumang kusni

JURNAL TODDOPULI:
 
 
SISI LAIN DARI KONGRES PARTAI SOSIALIS PERANCIS [PSP]
 
 
 
 
Kongres Reims PSP baru saja berakhir Sabtu lalu.Kongres bermaksud utama memilih 
Sekretaris Jenderal [Sekjen]Partai, menggantikan François Hollande, sekretaris  
lama yang menjabat kedudukan ini selama dua periode atau 11 tahun. Kedudukan 
Sekjen menjadi sangat enting karena dialah yang akan  memimpin kehidupan Partai 
selama masa jabatannya. Memberi warna pada politik Partai. Kongres ini mendapat 
perhatian semua kalangan politisi dan rakyat Perancis, karena PSP merupakan 
partai terbesar dan berpengaruh pada kehidupan politik Perancis, selanjut 
berdampak langsung pada kehdupan seluruh rakyat negeri ini, Pada masa 
pemerintahan Nicolas Sarkozy dengan UMP sebagai partai berkuasa, PSP merupakan 
oposisi utama yang mampu mengimbangi UMP. PSP dan UMP,  kelanjutan dari RPR, 
kekuatan utama kekuatan kanan di Perancis  bersama sekutu 
masing-masing, ,berkuasa silih berganti. 
 
 
Yang menarik perhatian saya dalam Kongres Reims PSP ini  adalah pertarungan 
sengit antara dua politisi perempuan  yaitu Segolène Royal dan Martine Aubry 
yang memperebutkan posisi Sekjen.  Segolène mantan calon PSP dalam  pemilihan 
presiden pada tahun 2005 sedangkan Martine Aubry ,puteri Jacques Delor, mantan 
presiden Masyarakat Eropa,  walikota Lille, Perancis Utara,  duanya mantan 
menteri pada kabinet Lionel Jospin, kader-kader godokan François Mittterrand.  
Pertarungan antara kedua politisi perempuan ini memastikan bahwa untuk pertama 
kalinya PSP dipimpin oleh seorang perempuan. Perhitungan pemilihan babak kedua 
menyatakan bahwa Martine Aubry terpilih sebagai  Sekjen PSP dengan kemenangan 
42 suara atau 0,04% ,,terutama berasal dari Lille. Kubu Segolène Royal menuduh 
telah terjadi kecuranngan pada angka 42 suara ini, karena pada pemilihan babak 
pertama Segolène berhasil mendapat tempat jauh lebih unggul dari Martine Aubry 
dan Benoït
 Hanom, calon termuda dari tiga calon yang tersiaa. Kubu Royak meminta kepada 
pimpinan pusat PKP untuk menyelenggarakan pemilihan ulang, kalau tidak akan 
menggugat yang disebutnya kecurangan ini ke  Pengadilan Negeri .
 
 
Sebagai politisi dan kader PSP,  baik Segolène mau pun Martine sama-sama 
lulusan perguruan tingg terkemuka di Perancis dan tumbuh dari basis. Jumlah 
politisi dan menteri perempuan di negeri ini meningkat sejak masa Kabinet 
Jospin. Melalui kegiatan lapangan dan dengan latar pendidikan tinggi demikin, 
keduanya tumbuh menjadi politisi secara bertahap serta mencapai kematangan 
politik. 
 
 
Tumbuhnya barisan politisi  perempuan bukanlah suatu keadaan mendadak atau 
serta-merta, tapi melalui suatu proses panjang, buah dari perjuangan 
pahit-getir merebut hak perempuan. Setelah Perang Dunia  II [PD II] , dengan 
kekalahan Jerman Hitler, Charles de Gaulle sekembalinya dari pengasingan di 
Inggris, segera menyelenggarakan pemilu. Pada pemilu pertama setelah  PD II, 
para perempuan tidak diikut-sertakan dalam pemilu. Bahkan untuk pekerjaan yang 
sama perempuan digaji dengan imbalan yang berbeda dari lelaki.
 
 
Kemudian perkembangan bangunan bawah mendorong meletusnya Revolusi Mei 1968, 
yang mendorong perobahan dibangnan atas [super structure]. Gerakan 
femininisme yang antara lain diberi dasar teori oleh Simone de Beauvoir dengan 
The Second Sex-[Seks Kedua-nya ] berkembang marak dengan laju tak 
tertahankan. Revolusi Mei 1968 merobah wajah mental dan kebudayaan Perancis.  
Barisan politisi perempuan tumbuh membesar. Segolène Royal dan Martine Aubry 
adalah hasi wajar dari proses panjang ini , seperti halnya mereka sendiri pun 
tumbuh menjadi politisi melalui proses juga. Bukan buah dari katrolan atau 
politisi katrol. 
 
 
Kematangan  menyeluruh seorang politisi, barangkali merupakan hal penting jika 
kita sepakat dengan pandangan bahwa  masalah politik merupakan cerminan 
terpusat segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi yang keludian 
dijabarkan dalam berbagai undang-undang, ketetapan dan peraturan-peraturan. 
Misalnya, di Perancis ditetapkan oleh peraturan pemerintah bahwa pada hari 
libur dan hari-hari besar, apotik dan toko-toko roti tidak diperkenankan untuk 
tutup semua. Di tiap kartir, harus ada apotik dan toko roti yang buka. 
Harga-harga obat dan roti pun ditetapkan batas tertingginya oleh pemerintah. 
Melalui peraturan pemerintah jugalah di Paris ditetapkan batas kecepatan mobil 
dan bahkan pernah ada hari bebas mobil sehingga para menteri menggunakan metro, 
kereta ai bawah tanah, kendaraan umum yang paling banyak digunakan oleh 
penduduk atau bahkan nak sepeda menuju kantor kementeriannya. Melalui politik 
yang dijabarkan ke dangan peraturan menteri, pada masa
 Charles Fitterman  sebagai mentMenteri Transport pada masa François Mitterrand 
menjadi Presiden Perancis , pembedaan kelas-kelas di metro ditiadakan. Dan 
Martine Aubry ketika menjadi menteri, untuk menciptakan lapangan kerja bagi 
angkatan muda, membuat peraturan yang dikenal sebagai Tiga Puluh Lima Jam  
[le 

[ac-i] jurnal toddopuli: kongres reims partai sosialis perancis

2008-11-23 Terurut Topik sangumang kusni

JURNAL TODDOPULI:
 
 
KONGRES REIMS PARTAI SOSIALIS PERANCIS
- Tanda Dari Krisis Konsepsional?
 
 
 
Partai Sosialis Perancis [PSP], sebelum Perang Dunia II seperti halnya dengan 
semua partai kiri sejens, tadinya bernama Partai Sosial Demokrat Perancis, 
Waktu itu belum ada Partai Komunis Perancis [PKP] . Setelah kongres PSDP di 
Marseille yang membicarakan sikap terhadaap gerakan kemerdekaan nasional,  
Kongres terbelah dua: yang  menyokong gerakan pembebasan nasional dan yang 
tidak menyokongnya. Yang menyokong,kemudian menjadi PKP, sedangkan yang tidak 
menyokong menjadi PSP. Organ resmi PSDP pada waktu itu yang dipimpin oleh Jean 
Jaures bernaa L'Humanité dan sekaang menjadi organ PKP.
 
 
Setelah PD II, PSP dan PKP merupakan partai-partai berpengaruh di Perancis, 
terutama karena jasa jaa mereka dalam melawan pendudukan Nazi Herman. Hanya 
kemudian PKP makin melemah, terutama setelah runtuhnya Tembok Berlin. Sedangkan 
PSP tetap merupakan salah satu partai terbesar,berpengaruh dan terpenting dari 
golongan kiri, seimbang dengan partai terbesar kanan seperti RPR sekarang 
menjelma menjadi UMP dan menjadi partai berkuasa. UMP atau PSP serta 
partai-partai kiri lainnya silih berganti berkuasa. Partao-partai kiri dan 
kanan menguasai pemerintahansecara silih berganti karena memang kekuatan 
antara  kiri dan kanan boleh dikatakan 50:50 persen. Apabila partai-partai 
ini terpecah-belah, maka mereka akan mengalami kekalahan dalam pemilu,  Di 
faktor lain, berkuasa tidaknya partai kiri dan kanan, juga ditentukan oleh 
pilihan politik dan akibat pilihan politik mereka. Rakyat Perancis menghukum 
partai-partai ini melalui pemilu dan unjuk rasa. Menurut
 angka Majalah Science Sociale,Paris,  jika dipukul rata , maka di Perancis 
terjadi unjuk rasa saban hari. Kontrol masyarakat yang terorganisasi terhadap 
janji pemilu sangat ketat.  Sampai-sampai Harian Katolik yang berusia sudaha  
lebih dari 100 tahun,  La Croix,  mengatakan bahwa  di negeri ini terdapat tiga 
kekuatan utama  yaitu pemerintah, pengusaha dan rakyat yang teroganisasi yang 
disebut dengan istilah partner sosial. Organisasi para majikan,sebagai 
organisasi dari para pengusaha dan majikan,  yang sekarang,  juga sudah 
menyadari akan hal ini, sehingga dengan tujuan agar masyarakat terkelola baik, 
ketua organisasi para majikan/pengusaha yang sekarang sangat mempertimbangkan 
unsur patner sosial ini. Tanpa menyertakan patner sosial dalam masalah 
pengambilan keputusan di berbagai bidang, maka  tidak akan ada ketenangan 
dalam masyaraka. Produksi bisa mandeg dan negeri akan mengalami kerugian sangat 
besar di berbagai bidang. Bisakah
 dibayangkan bahwa pernah bahwa Paris pernah dikepung dan lumpuh karena 
kepungan para petani yang unjuk rasa, pernah macet karena mogok para sopir 
kendaraan berat yng memblokade tol-tol di sekitar Paris, sehingga tentara harus 
turun tangan untuk membuka blokade tersebut? Contoh ini kukemukakan untuk 
memperlihatkan pengaruh dan peran kontrol masyarakat yang terorganisasi 
terhadap penyelenggara negara dan partai-partai politik. Dan benarkah kontrol 
masyarakat begini merupakan suatu tingkat demokrasi yang telah dicapai dan 
dikhayati? Tingkat kesadaran  politik akan hak dan wajib, sebagai hasil dari 
suatu proses panjang semenjak anak-anak masuk sekolah? Kalau penglihatan saya 
benar, maka masalah kesadaran politik, berjalan sehat tidaknya demokrasi, 
kontrol sosial, erat kaitannya dengan masalah pendidikan. Warganegara tidak 
menjadi alat jinak [docile tool] menyelenggara negara, tetapi adalah 
warganegara yang berpikir. Karena itu hak mengungkapkanan diri
 disadari sebagai hak warga negara yang tidak bisa diusik-usik. 
 
 
Barangkali keadaan ini pula yang menyebabkan bahwa  baik pada partai kiri atau 
pun kanan, tanpa kecuali,  selalu terdapat kelompok-kelompok pendapat. Di PSP 
misalnya, sebagai satu partai terdapat tujuh kelompok pendapat dan grup atau 
aliran yang disebut sebagai tujuh gajah.  Dalam Kongres Epinay, di bawah 
François Mitterrand, tujuh gajah berhasil disatukan dan kemudian pada buan 
Mei 1981, PSP bersama-sama partai-martai kiri lainnya berhasil memenangani 
pemeilihan umum presidensial dan parlemen..Tapi dalam kongres Rennes, tujuh 
gajah ini tidak berhasil mendapatkan kesepakatan sehingga Kongres berakhir 
tanpa menghasilkan sebuah resolusi apa pun. Kemudian Lionel Jospin datang 
menyatukan mereka dan berhasil memenangi pemilihan umum untuk Parlemen sehingga 
Lionel Jospin ditunjuk oleh Presiden Jacques Chirac menjadi Perdana Meenteri. 
Pemerintah kohabitasi pun lahir. Kohabitasi antara partai-partai kiri dan 
kanan. Presiden berada di tangan
 partai-partai kanan, sedangkan pemerintahan dipegang oleh partai-artai kiri, 
dengan PSP sebagai partai intinya. Kohabitasi terjadi karena baik partai kiri 
atau pun kanan pada waktu itu berpegang kokoh pada 
ketentuan-ketentuanKonstitusi dan tidak ada yang mengusulkan perobahannya. Di 
negeri ini, agaknya apa yang disebut hukum ,disadari benar arti 

[ac-i] jurnal toddopuli: ketika eros djarot dilarang syuting

2008-11-16 Terurut Topik sangumang kusni

Jurnal Toddopuli: 
 
 
KETIKA EROS DJAROT DILARANG SYUTING
 
[Ceriita Untuk Anak-anakku]
 
Kalian tahu Eros Djarot, bukan? Pertama-tama ia dikenal sebagai seorang 
sutradara filem di negeri kita, kemudian berkembang menjadi politisi dan 
sekarang menjabat sebagai Ketum Partai Nasional Benteng Kemerdekaan Indonesai 
(PNBKI), tanpa meninggalkan profesi lamanya sebagai seorang seniman filem. 
 
Perkembangan dan perluasan wilayah profesi ini, barangkali disebabkan oleh 
pandangan seni Eros Djarot [yang selanjutnya aku singkatkan dengan Eros] yang 
di Perancis disebut sebagai seni berpihak [l'art engagée]. Seperti kalian 
ketahui, seorang seniman berpihak pada umumnya adalah seorng seniman, seorang 
pemikir yang pemimpi. Mimpi yang aku maksudkan di sini adalah mimpi tentang 
kemasyarakatan, dan tentu saja masyarakat yang manusiawi. Seniman berpihak 
berharap melalui karya-karyanya, ingin memberikan sumbangan sebisanya untuk 
pengejawantahan mimpinya agar mimpi tidak tinggal mimpi. Dan mimpi ini tak obah 
pedoman bagi kapitan pini di laut. Bagaikan mercu suara bagi kapal yang sedang 
dermaga. Umumnya seniniman berpihak ini, seperti halnya pinisi, sanggup dengan 
segala resikonya menarung badai pelayaran. Termasuk mempertaruhkan nyawa dan 
kepala. Berkembangnya Eros menjadi politisi dan bahkan ketua umum PBBKI, 
barangkali bisa dibaca sebagai penegasan
 keberpihakan mimpinya. Ia ingin mencari topangan dan sarana baru guna 
mewujudkan mimpi-mimpi manusiawinya. 
 
Hanya saja, dengan menjadi partisan dari sebuah partai politik, apalagi menjadi 
orang pertamanya, bolehjadi yang berbuat demikian akan menghadapi resiko baru. 
Resiko itu kita bisa lihat apabila kita membandingkan watak profesi 
sebagai seniman dan profesi sebagai politisi, apalagi sebagai orang pertama 
sebuah partai politik.   
 
Dalam pemahamanku, watak pekerjaan seniman sekalipun memang memerlukan 
disipilin. Disiplin berkaarya. Tapi barangkali sifatnya lain dengan disiplin 
suatu organisasi, apalagi partai politik. Partai politik mempunyai disiplin 
--terkadang disiplin mati --, minoritas tunduk ppada mayoritas, sementara di 
dunia keseniman, barangkali disiplin demikian rasanya kurang berfungsi dalam 
pekerjaan kreatif. Seniman patuh pada mimpi manusiawinya, bukan pada suatu 
partai politik, bukan pada orang-perorang seperti ketua, sekjen atau pengurus 
partai politik. Seniman bekerja tanpa hirarki. Ia seorang pencari dan menjaga 
kebebasannya mencari serta bertanya sebebas ia mencari jawab dan mengungkapkan 
pendapatnya sebagai buah pencariannya. Dalam posisi inilah ia menjadi seorang 
republik merdeka sastra-seni, yang sering hadap-hadapan dengan republik politik 
formal.  Tapi justru dengan posisi ini ini pulalah seniman bisa dipandang 
sebagai pengawas sosial, melakukan
 pengawasan masyarakat, apalagi jika ia bisa menjadi jiwa bangsa dan jiwa 
rakyatnya seperti halnya dengan Aimé Cesaire darn Martinique yang sanggup 
menolak kedatangan Nicolas Sarkozzy yang waktu itu menjadi Menteri Dalam Negeri 
Perancis. Penolakan penyair ini disokong penuh oleh rakyat Martinik dan 
Guadaloupe. Kemerdekaan seniman merupakan suatu keniscayaan dalam berkarya. 
Disiplinnya berbeda dengan disiplin partai politik atau suatu organisasi. 
Disiplinnya adalah disiplin kreator. Disiplin seorang  pemimpi. Tapi ia pun 
bukan seseorang yang tidak paham politik. Ada keniscayaan baginya untuk paham 
politik tapi tanpa menjadi partisan. Buah pencariannya ia tuangkan dengan 
menggunakan bahasa atau sarana artistik yang berbicara dengan hati dan kepala. 
Seniman partisan, kukira seniman yang berjudi dengan profesi kesenimanannya. 
Tidak sederhana mengelola disiplin seniman dengan disiplin partai politik. 
Salah-salah kelola, bisa terjadi seniman merasa
 dirinya terkungkung di rumah tanahan yang terpaksa membungkamkan renungan dan 
hasil pencariannya demi disiplin organisasi. Apalagi tidak jarang kita 
menyaksikaan bahwa partai politik terasing dari kehidupan, tidak aspiratif, 
sibuk dengan masalah kekuasaa yang bukan urusan seniman..
 
Gejala Eros, yang selain sebagai seniman [filem], di segi lain kubaca bahwa ada 
kemungkinan di negeri kita tumbuh angkatan politisi yang mengerti budaya dan 
budayawan yang mengerti politik. Jika pembacaanku benar melalui gejala Eros ini 
maka gejala ini akan menggirangkan. Di Tiongkok Kuno  disebutkan bahwa seorang 
pemimpin itu niscayanya mengerti   masalah militer, budaya dan politik.  Contoh 
agak mutakhir terdapat pada tokoh Mao Zedong yang selain seorang politisi, juga 
seorang strateg  jendral dari semua jendral, dan seorang penyair, budayawan 
serta pemikir. Aapakah Eros sampai dan mengarah ke jurusan ini? Adakah politisi 
dan seniman tipe begini di negeri kita? Suara  hingar-bingar  deras kudengar 
adalah gaung-gema narsisme hampa sehingga sampai ada yang berkata:Aku malu 
menjadi Indonesia, sumpah-serapah tanpa mendorong kreativitas, dan mauke mana 
sertai mau apa, ungkapan yang berkata banyak untuk melukiskan keadaan negeri 
dan 

[ac-i] jurnal toddopuli: bénang dinding

2008-11-14 Terurut Topik sangumang kusni

JURNAL TODDOPULI: 
 
 
BENANG DINDING 
  
 
Katingan, salah sebuah sungai di Kalimantan Tengah,  propinsi yang didirikan 
paa tahun 1957 dan disebut juga sebagai propinsi ribuan sungai, adalah sungai 
di mana aku dilahirkan dan kemudian diasuh oleh hutan yang tak tertembus cahaya 
matahari, arus dan sungai gelombang, bukit dan busut-busut jantan serta 
betinanya, dibuai oleh suara burung dan pekik siamang siang-malam 
sahut-menyahut dengan denting dawai kecapi, irama sansana para penakik karet 
dan pemotong rotan atau nelayan pulang subuh. Hanya sebelas tahun secara 
efektif aku hidup di sungai berbentuk lipat siku ini. Karena begitu selesai 
Sekolah Rakjat  (SR) --sekarang disebut Sekolah Dasar -- aku harus keluar rumah 
orangtua untuk mencari sekolah di kota lain. Di Kasongan, sekarang ibukota 
Kabupaten Katingan, yang terletak di bibir sungai Katingan, sekolah tertinggi 
hanyalah sampai tingkat SR. SMP apalagi SMA sama sekali tak ada. Daerah sangat 
kaya raya, tapi tidak mempunyai sekolah yang padan
 untuk mengembangkan sumber daya manusia setempat. Kekayaannya mengalir semua 
ke Banjarmasin sebagai ibukota Kalimantan Selatan. (Waktu itu Pulau Kalimantan 
sebagai pulau ketiga terbesar di dunia sesudah Pulau Hijau, Australia) dibagi 
dalam tiga propinsi: Barat, Timur dan Selatan. Kalteng merupakan bagian dari 
Kalsel. Sebagai bagian dari Kalsel maka semua kekayaan yang dihasilkan Katingan 
terhenti dan ditumpuk serta digunakan oleh Banjarmasin, tanpa ada yang kembali 
ke Katingan. Oleh keadaan inilah, pada usia 11 tahun,  maka orangtua mengirimku 
ke Sampit untuk melanjutkan sekolah di SMP Kristen -- satu-satunya SMP di 
daerah yang sekarang disebut Kalteng bersangukan pesan-pesan berat yang tak 
bisa kujawab: obah cawat dengan dasi, jangan kembali jika tak bisa mengobah 
nasib Katingan, jangan menangis saat kapal meninggalkan tepian.
 
Sebagai anak diasuh alam yang merasa tak tenggelam di tengah gelombang yang 
selalu memabokkan dan menggoda ingin menerjuni menantangnya, sebelum masuk 
kapal, bersembunyi di perut kapal, agar tak nampak bahwa aku sedih berangkat 
dari tepian, sejenak aku menatap langit. Kepada langit, kuacungkan kepalan 
kecilku mau berkata: Awas kau akan kutonjok, dan kau akan kalah!, kebiasaan 
yang kulakukan saban melihat gelombang sungai Katingan. Aku pun masuk ke perut 
kapal mengintip para pengantar dari balik kaca dengan mengelola perasaan yang 
campur-aduk.
 
Jika diukur dari masa hidup seseorang, masa 11 tahun bukanlah waktu yang 
panjang. Tapi ia meninggalkan kesan mendalam padaku dan menancap tak pernah 
pupus di kenangan bocahku.
 
Salah satu dari kenangan dalam itu adalah kegiatan ibu. Tokoh ibuku yang 
mengesankan karena kepribadian, tanggungjawabnya, sikap kemandiriannya serta 
tangannya yang tak pernah dari melakukan sesuatu.  Salah satu kegiatannya yang 
meninggalkan kesan sampai sekarang adalah keteunannya dalam melakukan sesuatu, 
menganyam dan melakukan sesuatu sampai tuntas. Tak pernah ia melakukan sesuatu 
secara kepalangtanggung.
 
Kalau ia membuat pakaian untuk ayah dan anak-anaknya, sisa kain dari segala 
warna dan ukuran  yang dipotongnya, ia simpan. Kemudian pada waktu senggang, ia 
jahit. Tak ada yang terbuang di tangan ibu. Hasil jahitannya kemudian menjelma 
menjadi sebuah lembaran kain warna-warni yang bisa digunakan sebagai selimut 
atau korden pintu kamar kami.  Benang warna-warni yang dijahit rapi dan 
kemudian menjadi selembar kain, dalam bahasa Dayak disebut bénang dinding. 
Tambalan, tembelan dalam bahasa Jawa atau mungkin patch work dalam bahasa 
Inggris. 
 
Kalau kurenung ulang soal bénang dinding ini, maka aku melihat kreatifian, 
ketekunan dan sikap berhemat dari para perempuan di rumah tangga. Perempuan 
Dayak, yang tentu juga terdapat pada perempuan etnik dan bangsa-bangsa lain. 
Terbukti adanya istilah-istilah untuk bentuk kreativitas ini dalam berbagai 
bahasa. Barangkali, bénang dinding juga bisa dilihat sebagai pembagian kerja 
antara lelaki dan perempuan secara alami. Karena tak pernah kulihat tangan ayah 
yang kasar menjahit sisa-sisa kain yang dikumpulkan ibu. Sementara ibu, bisa 
dan mampu  melakukan apa saja yang ayah kerjakan, termasuk membuka ladang.   
 
Dalam masyarakat Dayak Kalteng, paling tidak sampai dengan masa bocah 
Katingan-ku, masalah kesetaraan lelaki dan perempuan bukan masalah yng harus 
diperjuangkan, tapi sudah menjadi kenyataan hidup sehari-hari. Penanggungjawab 
keluarga adalah suami-istri. Secara ekonomi, istri tidak tergantung pada suami. 
Salah satu tiang penyangga keluarga adalah istri. Sang ibu, keadaan yang dalam 
ungkapan Tiongkok Kuno disebut perempuan adalah penyangga separo 
langit. Dalam masyarakat Dayak pada masa bocah Katingan-ku perempuan bukanlah 
bunga rumahtangga, tidak pula menjadi konco wingking [teman di belakang 
atau dapur], atau orang yang ke sorga ikut, ke neraka terbawa [nyang sorga 
nunut, nyang neraka katut].
 
Inilah yang kulihat, yang tersirat dari adanya masalah bénang dinding, Nampak 

[ac-i] jurnal toddopuli: poubelle

2008-11-09 Terurut Topik sangumang kusni

Jurnal Toddopuli:
 
 
POUBELLE
 
[Cerita Untuk  Anak-anakku]
 
 
Kalau George Eugène Haussmann [1809-1891 selaku walikota Paris berjasa menata 
Paris secara artistik, maka Eugène Réné Poubelle, bupati daerah Seine pada abad 
ke-19, pinggiran kota Paris,  mempunyai jasa lain yang unik, dihargai  yang 
membuat ia dikenang sampai sekarang oleh penduduk seluruh Perancis. 
 
 
Apakah jasa Eugène Réné Poubelle?  Jasa Poubelle, demikian ia kemudian 
diucapkan  sampai sekarang oleh hampir semua bibir dari segala lapisan 
masyarakat, terletak pada prakarsanya menciptakn sistem pembuang sampah yang 
berton-ton saban hari. 
 
 
Masalah sampah yang keluar dari setiap rumah, perusahaan-perusahaan, toko-toko, 
hotel-hotel dan pabrik memerlukan perhatian dan penanganan khusus terutama oleh 
pemegang kekuasaan di berbagai tingkat. Untuk melukiskan keseriusan masalah 
sampah ini ,  di sini aku ingin menceritakan beberapa contoh. 
 
 
Pada suatu hari, dan tentu kejadian begini bukan terjadi sekali dua kali,  
ketika aku datang ke Koperasi sepanjang jalan menuju Koperasi Restoran 
Indonesia Paris, aku menyaksikan tong-tong sampah masih berada di beranda 
gedung-gedung, termasuk di beranda Restoran kami. Keesokan dan lusanya, 
tong-tong sampah yang jumlahnya terus-menerus bertambah, masih saja berada di  
semua beranda dan pinggiran jalan. Sehari saja sampah-sampah itu tidak 
diangkut maka ia akan membusuk oleh suatu proses peragian. Bau busuk yang tidak 
menyenangkan ini pasti akan sangat mengganggu kenyamanan serta kesehatan. 
Apalagi jika sampaai tiga hari sampah-sampah itu tidak diangkut oleh barisan 
kebersihan kota, maka seluruh kota atau kartir menjadi kartir atau kota berbau 
busuk. Selain itu pemandangan kota pun akan berobah menjadi kot tumpukan 
sampah. Karena itu seluruh penduduk akan segera memprotes penyelenggara 
administrasi kota jika masalah sampah ini tidak diselesaikan
 sesegera mungkin dan berdampak pada posisi penyelenggara administrasi itu pada 
periode pemilu berikutnya. Jika terus dibiarkan maka pasti jalan-jalan akan 
gemuruh oleh teriakan dan duyunan perkasa para pengunjuk rasa dari segala 
lapisan masyarakat yang menyerukan A bas  [Turun dari panggung administrasi]. 
 
 
 
Kali lain aku juga pernah berkali--kali menyaksikan peomogokan tukang sapu 
keteta-api bawah tanah yang disebut metro,  kota Paris. Di kade-kade metro 
sampah bertumpuk dan berhamburan. Sebagai taktik pemogokan dan alat menekan 
penyelenggara administrasi kota, para tukang sapu pemogok, memungut sampah dari 
luar dan menaburnya di kade-kade metro sehingga jumlah sampah kian 
bertambah.Dalam situasi begini,tidak jarang kita melihat sambil 
tersenyam-senyum para wisatawan dan penumpang metro, mencari sapu untuk 
menyisihkan sampah-sampah tersebut ke pinggir. Tentu saja, cara ini hanyalah 
cara penyelesaian tambal-sulam karena segera jumlah akan kembali meningkat dan 
bertaburan di kade-kade.
 
 
Tukang sapu metro bukanlah kalangan masyarakat dari tingkat elite. Umumnya 
berasal dari para imigran yang kulit mereka berwarna-warni, tapi tidak pernah 
kulihat ada orang asal Asia di antara mereka, seperti juga sangat sangat langka 
ada gelandangan asal Asia. Mereka menggunakan seragam kuning hijau daun karena 
itu disebut Pasukan atau Barisan Hijau. Mereka  merupakan pegawai resmi dari 
kotapraja. Pada hari-hari  biasa, ketika mereka tidak melancarkan pemogokan, 
umumnya dengan tuntutan kenaikan gaji dan perbaikan syarat kerja, orang-orang 
tidak memandang mereka dengan sepicing mata. Mereka baru dipandang ketika 
mereka melancarkan pemogokan. Pemerintah kotapraja pun akhirnya mereka paksa 
untuk berunding dan biasanya perundingan selalu berakhir dengan kemenangan para 
tukang sapau pemogok. Keadaan ini mengingatkan aku akan premis Mao Zedong dan 
pemikir-pemikir Marxis lainnya bahwa masaa dan hanya massalah sesungguhnya 
yang pahlawan sejati. Massa adalah
 motor perkembangan maju sejarah. Pemerintah kotapraja tunduk pada tuntutan 
para tukang sapu yang bersatu dan terorganisasi, apakah ini bukannya 
memperlihat kemampuan kebersamaan rakyat kecil yang membela kepentingan diri 
mereka dan mencintai kehidupan? Permogokan adil mereka termasuk pemogokan yang 
tidak pernah kalah, tapi dilancarkan dengan prinsip adil dan tahu batas. Untuk 
menghadapi tekanan para pekerja dengan senjata pemogokannya maka pemerintah  
NicolasSarkozy, presiden Perancis sekarang, membuat undang-undang yang mencoba 
mengatasi pemogokan dan tentu saja mengundang badai pengunjuk rasa. Pemogokan 
adalah senjata perjuangan kaum pekerja di masyarakat demokratis. Ternyata, 
penyelenggara negara pun ada yang berkualitas sampah dan yang menyampahkan diri 
dengan pilihan politiknya.
 
 
Selain sampah, pembuangan air besar dari kota-kota, juga sebenarnya bukanlah 
merupakan soal kecil. Jacques Chirac ketika menjadi walikota Paris, sebelum 
menjadi presiden untuk dua periode, pernah diprotes oleh Komune pinggiran Paris 
karena menjadikan Komune mereka sebagai akhiran 

[ac-i] Jurnal Toddopuli: Dix heures pour la littérature in donésienne di paris 7 desember 2008

2008-10-28 Terurut Topik sangumang kusni
JURNAL TODDOPULI: 
 
 
SEPULUH JAM UNTUK SASTRA INDONESIA DI PARIS
 
 
 
Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia, Pasar Malam pada tanggal 07 Desember 
2008 mendatang kembali akan menyelenggarakan kegiatan budayanya. Kali 
ini dengan menggelarkan acara yang dijuduli Dix Heures Pour La Littérature 
Indonésienne [Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia]. Kegiatan tentang sastra 
Indonesia ini akan berlangsung di ruangan La Maison des Cultures du Monde,101 
Boulevard Raspail, 75006 Paris. 
 
 
Dalam acara Dix Heures Pour La Littérature Indonésienne ini akan berbicara 
Sitor Situmorang, Laksmi Pamuncak dan Richard Oh, dengan tema Dari Lingkup 
Pribadi Ke Ruang Publik . Otofiksi atau Meninjau Ulang Citra Diri .Otobiografi 
Dalam Karya Sastra[ De la sphère privée à l'espace public : . autofiction ou 
image de soi revisitée ? La part autobiographique dans l’œuvre littéraire]. 
Tema lain yang akan dibicarakan adalah Aku dan Orang Lain [Je et L'Autre]. 
 
 
Melihat komposisi para pembicara utama dalam jumpa sastra tersebut yang berasal 
dari berbagai latar etnik dan sosial, maka ketika  berjumpa dengan Johanna 
Lederer, Ketua Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia Pasar Malam di 
Koperasi Restoran Indonesia, aku jajagi pendapatnya tanyakan: Apakah tidak 
sebaiknya juga para pembicara disarankan atau diarahkan untuk menyinggung 
masalah sastra lokal dan pengaruhnya terhadap diri mereka sebagai penulis. 
Bagaimana hubungan sastra lokal dan nilai-nilai universal? Secara prinsip 
Johanna yang sarjana sastra Amerika  lulusan Universitas Sorbonne 
itu, menyatakan setuju. Ia pun melihat arti penting pengangkatan sastra lokal 
di Indonesia dalam konteks sastra Indonesia sebagai suatu bangsa dan negeri. 
Pengangkatan sastra lokal, tidak berarti mempertentangkannya  dengan sastra 
nasional yang berbahasa Indonesia.
 
 
Patut pula  dicatat bahwa di dunia akademi, masalah-masalah sastra lokal banyak 
ditangani oleh para Indonesianis Perancis dan dilihat dari berbagai metode 
pendekatan.  Waktu berjumpa di Paris dalam tahun ini,  ketika soal ini aku 
singgung, sebagaimana juga kubicarakan dengan Sitor Situmorang, Goenawan 
Mohamad memperlihatkan ketertarikannya dan mengesankan bahwa ia sangat 
mendukung. Kesan ini nampak ketika aku  berbicara tentang  Luna Vidya sebagai 
penyair yang lahir di Sentani dan sekarang bermukim di Makassar. Kesan serupa 
juga kudapatkan dari Sitor Situmorang ketika ia mengakui bahwa ia sering 
dikonsultasi oleh penggiat-penggiat sastra-seni  Tapianauli. Mengembangkan 
sastra-seni  lokal, aku lihat hanya menguntungkan bangsa dan negeri, suatu 
usaha sadar mendorong pengejawantahan potensi yang kaya-raya dan  potensial di 
negeri kita. Barangkali melalui cara ini, melalui proses, kita bisa mendapatkan 
wajah sastra-seni yang berkindonesiaan yang
 sekaligus bernilai universal. Sebab aku tidak pernah mempertentangkan nilai 
lokal dengan universal. Pada karya-karya lokal terdapat nilai universal. Dengan 
pengembangan sadar sastra-seni lokal, barangkali kita sekaligus 
mengejawantahkan konsep bhinneka tunggal  ika yang oleh Paul Ricoeur disebut 
bahwa lokalitas adalah bahasa dalam bergaul dengan budaya dunia. Kebudayaan 
itu majemk,kemanusiaan itu tunggal sebagaimana yang tertuang pada konsep 
rengan tingang nyanak jata [anak enggang putera-puteri naga] dan Utus 
Kalunen [Anak Manusia] pada budaya Dayak dahoeloe. Pengembangan sastra-seni 
lokal yang pada suatu ketika oleh budayawan Halim HD dirumuskan sebagai 
sastra-seni kepulauan, aku melihat bahwa keragaman itu adalah suatu rakhmat 
dan indah, sedangkan ketunggalan itu mengandung bahaya. Dengan pandangan ini, 
aku mempertanyakan pendapat Ignas Kleden yang mengesankan bahwa keindonesiaan 
itu bermula dari atas. Sementara, aku melihat, bahwa
 dalam pengembangan kebudayaan di negeri ini, kita perlu berpijak di dua kaki: 
Dari atas dan dari bawah, tapi dengan titik berat dari bawah. Sebab seperti 
dikatakan oleh salah seorang penyair Tiongkok Kuno, penguasa bisa silih 
berganti, rakyat itu akan tetap ada.Dalam istilah kelompok pemikir Samir Amin, 
pandangan begini disebut : rakyat sebagai poros. 
 
 
Dalam acara Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia-s kali ini seperti biasa akan 
turut berbicara para Indonesianis dan sejumlah pakar-pakar sastra dari Perancis 
sendiri seperti Gilbert Hamonic, antropolog dengan spesialisasi Asia Tenggarah, 
Christine Jordis, penulis dan redaktur pada penerbit besar Gallimard, Etienne 
Naveau, dosen pada  INALCO [Institut Nasional Untuk Bahasa-bahasa Timur] 
tentang sastra Indonesia, Vincent Bardet dari penerbit Le Seuil, penulis 
Bernard Chambaz dan lain-lain... 
 
 
Kegiatan sastra Indonesia kali ini untuk pertama kali mendapat sokongan dari 
KBRI Paris, bahkan pejabat Dubes sendiri akan hadir.   Bantuan dari Perancis 
diperoleh dari  Centre National du Livre Conseil régional d’Ile de France 
Direction régionale des Affaires Culturelles d’Ile de France, LES ÉDITIONS DU 
PACIFIQUE et Willem, seorang pelukis Sedangkan bantuan 

[ac-i] membangun kedaulatan kebudayaan rakyat

2008-08-06 Terurut Topik sangumang kusni
hersri setiawan


  
Membangun Kedaulatan Kebudayaan Rakyat*
 
  
1.  Kebudayaan bukan Anak-Bawang Kehidupan 
  
Walaupun kata benda “kebudayaan” atau “budaya” selalu disebut paling akhir 
dalam urutan pasangannya, politik-ekonomi- kebudayaan (di jaman penataran 
Suharto dulu dikenal istilah “ipeloksesbud” ), tapi tidak bisa dipungkiri bahwa 
peranan kebudayaan tidak lebih kecil atau lebih rendah dari kata-kata 
pasangannya itu. 
  
Contoh: (a) menyadari kekalahannya di Indonesia, Belanda (1950) segera berusaha 
merebut kembali jajahannya yang hilang dengan jalan ‘penetration pacifique’ 
dalam bentuk Sticusa dan MMB (Misi Militer Belanda); (b) Gang-4 Ziang Chin 
mencoba mempertahankan RRT melalui “Revolusi Kebudayaan”. Tapi kedua-duanya 
gagal. Yang pertama karena perlawanan rakyat, yang kedua  karena terlambat 
diintrodusir. 
  
Rejim militer Orba Indonesia dbp Jendral Suharto lebih cerdik dan pandai 
menangkap dan memanfaatkan momentum. Segera sesudah jenasah lima jendral dan 
satu perwira pertama dimakamkan, ketika tanah kubur masih merah dan emosi masih 
teraduk-aduk, segera dilakukan berbagai manuver kebudayaan yang jitu, antara 
lain (a) Uril (Urusan Moril) di departemen AD diperluas bidangnya dengan 
mengambil model dan peranan Lekra; (b) Pepadi, organisasi pedalangan, dikuasai 
dan diserahkan kepemimpinannya bukan pada Ki Dalang Nartosabdo atau dalang 
lainnya, tapi pada seorang Jendral Sudjono Humardani; (c) menghancurkan 
simbol-simbol budaya lama dan membangun yang baru – paling mencolok dalam 
contoh ini dihitamkannya nama Jameela Aljazair , simbol kebangkitan dan 
perlawanan rakyat Asia-Afrika (lagu komposisi Mochtar Embut), dihancurkan dan 
diganti dengan Jamilah pekerja seks Ps Senin yang konon “penari harumbunga”. 
  
2.  Sikon Kebudayaan Indonesia Pasca-G30S-65 
  
Sesudah '65, kebudayaan menjadi milik penguasa, kaum modal dan para elite. 
Situasi dan kondisi semacam itu sebenarnya masih terus berlangsung sampai 
sekarang. Timbul alienasi antara kebudayaan di satu pihak dengan rakyat di lain 
pihak, karena rakyat sudah tidak lagi “the owner”, juga bukan “the partner”, 
melainkan sudah menjadi samasekali “the other” – “liyan” (Jawa) “yang lain” 
(Indonesia).  Pemikiran ini barangkali juga melanda sementara para cendekiawan, 
budayawan, dan aktivis LSM, mereka tampil seakan-akan punya mandat untuk 
mewakili rakyat merumuskan kebudayaan. Tanpa pernah merumuskan terlebih dahulu 
apa itu “kebudayaan” dan apa itu “rakyat”. 
  
Kebudayaan rakyat atau kebudayaan yang berasal dari rakyat pun lalu dianggap 
sebagai liyan”, atau “lain atau the other. Sadar atau tidak sadar pemikiran 
kebudayaan yang ekslusif ini dan kadang dengan mengatasnamakan “kebudayaan 
kiri” itu (apa itu “kiri” dan “kanan”?), justru mendukung penguasa dan modal 
untuk tidak memperhatikan kebudayaan rakyat. Padahal dahulu, tepatnya tahun 
1960 di depan Kongres Nasional Lekra di Taman Sri Wedari Solo, Presiden 
Soekarno menegaskan, bahwa kebudayaan harus untuk rakyat dan dari rakyat. Lebih 
tegas ia dari Lekra yang berkredo “kebudayaan (untuk) rakyat”.  Bung Karno 
sangat benar. Karena jika hanya “untuk”, maka berarti menempatkan rakyat 
sekedar sebagai obyek. Tapi jika “dari” dan “untuk”, maka rakyat ialah subjek 
dan sekaligus objek. Ia samasekali bukan “liyan” (other) atau “rekan” 
(partner), tapi dialah si Empunya (the Owner). 
  
Dengan demikian, jika mengamati sikon kebudayaan dewasa ini, sejatinya ternyata 
telah terjadi perubahan isi dan/atau pergantian nilai-nilai budaya. Isi dan 
nilai budaya “the leisure class” lalu menjadi isi dan nilai budaya bangsa. 
Tidak salah sebenarnya pendapat kaum marxis ketika mengatakan, bahwa 
“kebudayaan suatu bangsa ialah kebudayaan klas yang berkuasa”. Sedemikian rupa 
pergantian nilai atau perubahan isi budaya itu, sampai berdampak pada 
pemiskinan sekaligus pendangkalan jatidiri kosakata. Misalnya, kata “aktor” dan 
“aktris” sekarang nyaris hilang karena terdesak oleh kata “artis” yang rancu 
arti dengan “selebritis”.  Padahal “artis”, yaitu ahli seni atau 
seniman/seniwati, yang semestinya sebagai kata cakupan untuk “aktor” dan 
“aktris”, sekarang tinggal menjadi sesempit dan sedangkal kata “selebritis” 
alias “bintang”, yang lebih menunjuk pada penampilan (outer appearance) 
ketimbang isi atau bobot (inner
 value). Seniman atau seniwati susut nilai dan isinya tinggal menjadi sekedar 
“pelipur lara” atau, pinjam istilah Jacques Leclerc,  “kaum suka hibur” belaka. 
  
Tirani otoritarian bukan hanya terdedahkan dalam tindak kekerasan di dunia 
kasatmata, tapi bahkan juga berimbas pada dunia yang nirkasatmata, seperti 
dunia linguistik misalnya. Perhatikan saja dunia kosakata sport yang justru 
penuh dengan kata-kata yang samasekali tidak sportif! Misalnya: Rafael Nadal 
gebuk Federer, Jatim sabet tuan rumah, Rusia lumatkan Belanda ... dsb dst. 
  
3.  Kebudayaan Kuda Troya Tirani Modal 
  
Rezim militer Orde Baru Suharto bukan hanya kekejamannya saja yang menarik 
diamati. Tapi juga 

[ac-i] Fw: [HKSIS] Xi Jinping tentang Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok (2).

2008-07-16 Terurut Topik sangumang kusni


--- On Wed, 16/7/08, [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED]
Subject: [HKSIS] Xi Jinping tentang Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian 
Tiongkok (2).
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Wednesday, 16 July, 2008, 11:35 AM







Tentang Beberapa Kesan dan Pengertian Belajar Sistim Teori Sosialisme 
Berkepribadian Tiongkok.

    (2)  Xi 
Jinping.


II. Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok yang berusaha keras untuk 
menggali dan menjawab sekitar tiga masalah dasar, yang telah memperdalam dan 
memperkaya pengertian tentang tiga hukum besar, adalah sistim teori yang ilmiah.


Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok berangsur-angsur terbentuk dan 
berkembang di bawah syarat-syarat historis di mana perdamaian dan perkembangan 
menjadi tema jaman, di atas dasar praktek besar Reformasi dan Keterbukaan dan 
pembangunan modernisasi sosialis di Negeri kita, di atas dasar penyimpulan 
pengalaman historis pembangunan sosialis di Negeri kita dari dua segi positif 
dan negatif, dan pengalaman yang masih segar sejak dilancarkannya Reformasi dan 
Keterbukaan, di atas dasar menarik pelajaran dari pengalaman keberhasilan dan 
kegagalan Negeri-Negeri sosialis yang lain. Sistim teori ini, dalam masalah 
garis ideologi pembangunan Sosialisme Berkepribadian Tiongkok, jalan 
perkembangan, tingkat perkembangan, strategi perkembangan, tugas-tugas pokok, 
tenaga penggerak perkembangan, kekuatan-kekuatan yang harus disandari, strategi 
Internasional, kekuatan-kekuatan yang memimpin, tujuan pokok dll., telah secara 
kreatif membentuk serentetan pandangan
 teoritis penting, secara sistimatis telah menjawab serentetan masalah penting 
bagaimana melepaskan diri dari kemiskinan, mempercepat pelaksanaan modernisasi, 
mengkonsolidasi dan mengembangkan Sosialisme di Tiongkok, di suatu Negeri besar 
yang sedang berkembang yang berpenduduk satu milyar lebih ini. Sistim teori 
ini, yang isinya meliputi bidang Filsafat, Ilmu Ekonomi-Politik, Sosialisme 
Ilmu, dll., mencakup berbagai bidang Pembangunan Ekonomi sosialis, Pembangunan 
Politik, Pembangunan Kebudayaan, Pembangunan Sosial dan Pembangunan Partai 
serta Pembangunan Modernisasi Pertahanan dan Tentara, Penyatuan Tanahair, 
Strategi Internasional dan Pekerjaan Diplomatik, menyangkut berbagai bidang 
kestabilan perkembangan Reformasi, Dalam Negeri, Luar Negeri, Pertahanan, 
Pengurusan Partai, Pengurusan Negara, Pengurusan Tentara dll., adalah sistim 
teori yang kaya secara arti, mendalam secara ideologi, ilmiah dan sistimatis.

 
Dalam membangun dan mengembangkan Sosialisme Berkepribadian Tiongkok, yang 
terpokok yalah harus secara jernih mengerti dan secara ilmiah menjawab tiga 
masalah dasar yaitu apa itu Sosialisme, bagaimana membangun Sosialisme, 
membangun Partai yang bagaimana, bagaimana membangun Partai, melaksanakan 
Perkembangan yang bagaimana, bagaimana berkembang. Tingkat pengertian dan 
penguasaan terhadap tiga masalah dasar ini akan menentukan tingkat inovasi, 
tingkat pengayaan dan tingkat pendalaman praktek dan teori Sosialisme 
Berkepribadian Tingkok. Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tingkok yang 
berusaha keras menggali dan menjawab sekitar tiga masalah dasar ini, dari 
praktek sampai teori telah melakukan ciptaan yang mempunyai efek luar biasa, 
dengan menggunakan serentetan pikiran baru, pandangan baru, tesis baru yang 
bertalian erat dan saling berhubungan, telah memperdalam dan memperkaya 
pengertian terhadap hukum-hukum bagaimana Partai memerintah, hukum-hukum
 pembangunan sosialis, hukum-hukum perkembangan sosial umat manusia.
 
(1). Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok telah menggali dan 
menjawab masalah dasar apa itu Sosialisme, bagaimana membangun Sosialisme.

Sejak diumumkannya Manifes Komunis 160 tahun yang lalu, Sosialisme, baik di 
bidang teori maupun praktek telah memperoleh hasil-hasil besar historis, tetapi 
juga telah mengalami lika-liku yang serius. Dalam proses kemajuan pembangunan 
sosialis di Negeri kita selama beberapa dasa warsa, orang-orang komunis 
Tiongkok dalam praktek mandiri telah menciptakan hasil-hasil gemilang 
perkembangan sosialis, telah mengumpulkan pengalaman-pengalam an kaya, tetapi 
bersamaan dengan itu juga telah memperoleh pelajaran yang mendalam dari 
kesalahan dan kegagalan. Di bawah syarat terjadinya perubahan besar situasi 
Dalam dan Luar Negeri, bagaimana secara ilmiah menyimpulkan pengalaman positif 
maupun negatif pembangunan sosialis di Dalam dan Luar Negeri, dengan baik 
menjawab masalah dasar apa itu Sosialisme, bagaimana membangun Sosialisme, 
merupakan satu tema besar yang dihadapi oleh orang-orang komunis Tiongkok pada 
dewasa ini. Teori Deng Xiaoping dengan erat mencengkam
 masalah dasar ini, menerangkan secara mendalam hakekat Sosialisme, menunjukkan 
bahwa kemiskinan bukanlah Sosialisme, perkembangan terlalu lambat juga bukan 
Sosialisme; égalitarisme bukan Sosialisme, 

[ac-i] kronik sairara: le déclin de l'homme blanc -ke merosotan orang putih [3 --selesai]

2008-07-11 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Sairara:
 
 
LE DECLIN DE L'HOMME BLANC 
 
 
3.
 
Ketika : Pas si vite! Eric Le Boucher lalu mengacu pada Daniel Kaufmann yang 
menekuni  masalah-masalah Bank Dunia mengenai masalah-masalah demokrasi dan 
pembangunan, masalah demokrasi dan penyelenggaraan negara [gouvernance -- saya 
ragu apakah gouvernance bisa diterjemahkan dengan penyelenggaraan negara, 
seperti halnya terjemahan empowerment bisakah padan dengan istilah pemedayaan. 
Untuk sementara saya menggunakan istilah penyelenggaraan negara untuk 
gouvernance] .
 
Dalam kajiann tentang masalah-masalah di atas, Kaufmann menggunakan 
kriteria-kriteria yang membedakan antara demokrasi politik, demokrasi ekonomi,  
pengawasan terhadap korupsi [hal yang oleh Eric  dikatakan baik di Selatan atau 
pun Utara sering dilupakan], lalu jangkauan jangka panjang ketiga hal tersebut. 
 
Yang Kaufmann masukkan dalam kategori demokrasi politik adalah masalah-masalah: 
pemilihan bebas,  Negara Hukum [Etat de droit], kebebasan pers...].  Sedangkan 
dalam kategori demokrasi ekonomi Kaufmann memasukkan unsur-unsur: efektivitas 
pemerintah, regularisasi, kebebasan melakukan kontrak- kontrak...[dan entah di 
mana Kaufmann menaruh pembagian dan pemerataan relatif penghasilan -- keadilan 
relatif jika menggunakan standar keadilan John Rawl, yang nampaknya dilupakan  
oleh Kaufmann ketika berbicara masalah demokrasi ekonomi.Bandingkan juga dengan 
konsep keadilan sosial pada Pancasila Soekarno atau Sun Yat Sen. Sedangkan 
mengenai demokrasi politik, entah di mana dan bagaimana Kaufmann melihat 
pemilihan bebas sebagai suatu standar tunggal dan jaminan demokrasi 
politik, sementara di Perancis sendiri pemilihan bebas dipandang sebagai 
pembuka jalan bagi diktatur bahkan kerajaan mayoritas -- ujud perkembangan baru 
secara teoritis dibidang demokrasi
 politik]. 
  
Acuan kepada Kaufmann dilakukan oleh Eric Le Boucher  berdasarkan pertimbangan 
laju kecepatan pembangunan [development], terutama dari segi pertumbuhan 
ekonomi [la croissance économique], sekarang yang berlangsung di negeri-negeri 
sedang tumbuh [les pays émergants, yang oleh Alfred Sauvy, geograf Perancis,  
disebut sebagai dunia ketiga yang kemudian dipakai ulang oleh wakil Republik 
Rakyat Tiongkok dalam pidatonya di depan forum PBB pada zaman Mao Zedong].
 
Menurut Kaufmann, laju pertumbuhan ekonomi di negeri-negeri sedang tumbuh ini 
disebabkan karena negeri-negeri terkait, memanfaatkan tekhnologi Barat, 
terutama tekhnologi Eropa Barat dan Amerika Serikat  [terhadap hal ini terdapat 
macam-macam teori yang kurang disorot oleh Kaufmann atau Eric Le Boucher]. 
Dengan menggunakan tekhnologi Eropa atau Amerika ini maka produktivitas di 
negeri sedang tumbuh menjadi sangat meningkat [hal yang penggunaannya juga 
sudah sejak lama dicanangkan oleh Lenin danMao Zedong. Dalam hal ini layak 
dijadikan acuan pandangan Mohamad Arkoun tentang mengapa Barat maju dalam 
tekhnologi]. Hanya saja menurut Kaufmann setelah negeri-negeri sedang tumbuh 
ini mencapai pertumbuhan ekonomi yang cemerlang dengan menggunakan tekhnologi 
Barat, mereka kemudian sampai pada tahap gembos [s'aplatit].   Menurut 
Kaufmann,  pertumbuhan ekonomi RRT pun akan mengalami penggembosan  dalam 
5, atau 15 atau 20 tahun lagi. Dan dari sini , kita bisa
 melihat, ujar Kaufmann, bahwa pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan 
keniscayaan perlunya demokrasi -- berbeda dengan pandangan Amartya Sen ketika 
berbicara tentang bencana kelaparan di Ethiopia dan negeri-negeri lain. Tetapi 
, ujar Kaufmann selanjutnya bahwa jika dilihat dari jangka panjang, kriteria 
Bank Dunia mengenai hubungan demokrasi dan pembangunan,  hubungan demokrasi dan 
penyelenggaraan negara [gouvernance] menjadi berarti. Signifikatif.  Dilihat 
dari segi jangka panjang ini pula maka demokrasi sangat berarti jika 
dihubungkan dengan masalah keresahan sosial dan kerjasama bebas, kemerdekaan 
sipil , distribusi sosial [mungkin yang Kaufmann maksudkan di sini adalah 
redistribusi sosial]. Sehingga dilihat dari segi jangka panjang, simpul 
Kaufmann, demokrasi tetap yang terbaik untuk kehidupan bermasyarakat.  Walau 
pun tidak ada yang bersifat  mekanistis.  Sebab masalah hubungan antara 
penyelenggaraan negara dan  pembangunan [development],
  merupakan suatu proses berlika-liku , pelik, berat dan peka, ujar Kaufmann 
membela tesisnya. Penuh kasus-kasus khusus, kejatuhan dan kebangunan, ujar 
Kaufmann berhati-hati mencadangkan ruang bertahan. Hanya saja, ujarnya, bahwa  
demokrasi, menghormati hukum, kemerdekaan pers, keterbukaan, singkatnya 
humanisme secara umum dan dilihat dari jangka panjang, bisa membuat kita 
menyelenggarakan negara segara lebih baik,  pertumbuhan ekonomi yang stabil dan 
terciptanya kemakmuran yang berbagi. Dilihat dari segi ini maka Barat Putih 
yang tadinya tidak lain dari   perampok, masih mempunyai suatu harapan. 
Demikian Daniel Kaufmann yang dirujuk oleh Eric Le Boucher  dalam artikelnya.
 
Untuk melengkapi artikelnya, Boucher menyertakan 

[ac-i] kronik sairara: perlunya forum kebudayaan indonesia [3]

2008-07-04 Terurut Topik sangumang kusni

Kronik Sairara: 
 
 
PERLUNYA FORUM KEBUDAYAAN INDONESIA
  
 
 3. TRADISI DAN MODERNITAS 
 
 
Kemudian Luluk Sumiarso dari  Paguyuban  Puspo  Budoyo dan Ketua  Yayasan 
Peduli  Majapahit juga menulis: Beberapa  kalangan bahkan ada yang mengartikan 
dan meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur 
budaya lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan 
teknologi. Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa. 
 
 
Dari kalimat-kalimat  di atas  saya ingin mengangkat dua soal, yaitu masalah 
tradisi dan modernitas. 
 
Tanpa kecuali, siapa pun  tidak bisa memilih di mana kita lahir. Tidak bisa 
menetapkan di lingkungan etnik dan bangsa atau keluarga mana ia dilahirkan. 
Orangtua tidak pernah meminta izin kita yang kemudian disebut anak, untuk 
dilahirkan. Lingkungan, keluarga, etnik dan bangsa ini mempunya kebudayaan 
masing-masing yang unik. Kebudayaan , yang saya pahami  sebagai bentuk jawaban 
nyata terhadap masalah-masalah kehidupan zaman mereka. Jawaban suatu angkatan 
anak manusia dalam menanggulangi segala rupa tantangan dikurun hidup mereka. 
Tanggap tidaknya jawaban barangkali menentukan kadar mereka sekaligus sebagai 
anak manusia dan zaman mereka. Kebudayaan ini merupakan rangkaian nilai dominan 
pada  suatu zaman sangat beragam. 
 
 
Anak yang dilahirkan tanpa izin itu, tanpa terelakkan juga,  diasuh di bawah 
dan dengan rangkaian nilai dominan di lingkungan, keluarga, etnik dan bangsa 
tertentu pada suatu kurun waktu, sehingga membentuk diri sang anak. 
Mempengaruhi perkembangan diri si anak selanjutnya.  Meninggalkan tanda nilai 
pada si anak. Sebagai modal nilai pada sangat anak dalam  menarungi dan 
mengharung kehidupan mereka sendiri selanjutnya. 
 
 
Anak ini merupakan angkatan tersendiri dan baru lagi. Hidup pada era lain lagi 
dari angkatan orangtuanya. Era sang anak mempunyai tantangan-tantangan 
tersendiri berbeda pula  yang mau tak mau, suka tidak suka harus mereka jawab. 
Jawaban-jawaban angkatan sang anak tentu akan berbeda dari jawaban angkatan 
orangtuanya karena keadaan dan permasalahan pun berbeda. Angkatan sang anak 
melahirkan kebudayaan dan rangkaian nilai mereka sendiri. Pada saat lahirnya 
kebudayaan sang anak, maka kebudayaan orangtua akan menjadi kebudayaan angkatan 
silam yang bisa disebut kebudayaan tradisional, jika dilihat dari segi kurun 
waktu dan ujud jawaban. Sedangkan kebudayaan angkatan si anak disebut 
kebudayaan kekinian atau kebudayaan  modern. Karena si anak diasuh dengan 
kebudayaan orangtua, kebudayaan tradisional, tentu saja nilai-nilai lama yang 
merupakan sangu mereka menarung dan mengharung zaman mereka, masih mempunyai 
pengaruh. Pengaruh inilah yang oleh Kelompok
 Sejarawan Annales Paris dijabarkan sebagai saling hubungan antara masa silam, 
hari ini dan esok. Tiga kurun waktu yang bertautan dan bukan sebagai 
pulau-pulau terpencil tanpa jembatan penghubung. Jembatan penghubung ini adalah 
kebudayaan. Adalah rangkaian nilai yang tertuang dalam berbagai bentuk berbagai 
bidang.  Dari sudut pandang inilah, barangkali bisa dibaca arti pentingnya 
kesadaran sejarah, perlunya mengenal sejarah lokal, nasional dan dunia, 
sekaligus memperlihat bahayanya angkatan yang lupa sejarah dan yang oleh orang 
Perancis disebut angkatan tanpa sejarah[la génération sans l'histoire]. 
 
 
Tapi tradisi bukan sebatas pengertian kebudayaan dan rangkaian nilai masa 
silam. Tradisi bisa bermakna buah kebudayaan kekinian yang ditradisikan. Yang 
dilakukan secara berulang dan periodik. Misalnya La Fête de la Musique, yang 
diprakarsai oleh Jack Lang, Menteri Kebudayaan F.Mitterrand dari Partai 
Sosialis, pada bulan Juni 1981, guna menggalakkan kreativitas rakyat Perancis 
di bidang musik dalam menghadapi ofensif musik-musik Amerika Serikat,  saban 
Juni sampai sekarang diselenggarakan di seluruh negeri. Tiap pojok jalan 
seluruh negeri pada pesta musik yang kemudian bersifat internasional, menjadi 
panggung pesta rakyat, berlangsung hingga subuh. Fête de la Musique adalah 
karya kebudayaan kekinian yang ditradisikan oleh Perancis.
 
 
Tradisi , dalam pengertian hasil budaya angkatan pendahulu,  sebagai rangkaian 
nilai yahg tertuang dalam berbagai bentuk, tentu saja   tidak selalu tanggap 
dengan perkembangan dan tantangan. Karena sikon dan tantangan juga berbeda 
antara masa silam dan hari ini.  Tetapi kiranya, juga akan keliru mengatakan 
bahwa semua nilai-nilai masa silam itu sebagai kadaluwarsa. Misalnya nilai dari 
pepatah berikut: 
 
 
menepuk air di dulang 
memercik ke muka sendiri 
 
 
Saya kira, nilai dialektis sebab-akibat yang diungkapkan oleh pepatah ini masih 
mempunyai nilai tahan waktu hingga sekarang. Masih banyak contoh-contoh lain 
lagi yang memperlihatkan tahan waktunya rangkaian nilai angkatan silam yang 
disebut tradisi.
 
 
Tapi ada juga yang tidak tahan waktu dan sudah kadaluwarsa. Misalnya kebiasaan 
mangayau [potong kepala] pada masyarakat Dayak. Untuk zaman sekarang, saya 
kira 

[ac-i] kronik sairara: perlunya froum kebudayaan indonesia [4 --selesai]

2008-07-04 Terurut Topik sangumang kusni

Kronik Sairara: 
 
 
4. 
 
 
 KONGRES KEBUDAYAAN NASIONAL DARI BAWAH 
  
 
Selanjutnya di bagian lain Luluk Sumiarso menulis:   Tahun lalu, tepatnya 
tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya 
Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka 
memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 
Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun 
pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas 
menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung 
juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean 
dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi 
Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah 
perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia' untuk menggalang semua potensi 
budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing.

Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan 
Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami 
bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan 
membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 
10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat 
Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi 
semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, 
juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia 
ke depan. Harapannya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam 
KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. [Lihat : Lampiran].
 
 
Ide sentral dari dua alinea ini adalah dibentuknya Forum Kebudayaan yang 
bertujuan : untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus 
menghilangkan identitas masing-masing. 
 
Ide  menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan 
identitas masing-masing adalah sebuah pikiran yang baik dan niscayanya 
disokong serta dilaksanakan. Ide yang sesuai dengan rangkaian nilai republiken 
dan berkeindonesiaa. Rasuk dengan prinsip bhinneka tunggal ika. 
 
Pertanyaan saya: Apakah untuk mewujudkannya perlu pembentukan sebuah 
organisasi baru bernama Forum Kebudayaan Indonesia yang Harapannya, ke depan 
'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional 
Indonesia. Apakah pengejawantahan pikiran dan harapan ini akan efektif dengan 
mendirikan Forum Kebudayaan Indonesia 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional 
Indonesia? Saya mengkhawatirkan, adanya 'semacam KONI' untuk Kebudayaan 
Nasional Indonesia  akan menjelma sebagai sarana pengawas, pengendali 
kebudayaan dan forum demikian akan terjangkit KKN dan alat birokrasi serta 
sangat birokratis.  Apalagi jika di dalamnya terdapat birokrat- birokrat dan 
yang disebut tokoh-tokoh kebudayaan tapi jauh dari masyarakat budaya yang aktif 
dan benar-benar menjadi aktor kreatif di bidang kebudayaan.  Jika bayangan ini 
terjadi, maka ide dan harapan dengan pembentukan Forum Kebudayaan akan menjadi 
jauh panggang dari api. 
 
Jika demikian, lalu apakah alternatif lain untuk mengejawantahkan ide dan 
harapan di atas? 
 
Terhadap pertanyaan ini, saya ingin menjawabnya dengan pertanyaan: Mengapa 
tidak, kita bersandar pada dan mempercayai masyarakat kesenian, pada 
aktor-aktor budaya di lapangan yang tergabung dalam berbagai komunitas 
sastra-seni dan lembaga-lembaga kebudayaan yang tersebar di berbagai daerah dan 
pulau tanahair?.  Komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga ini sudah jauh lebih 
dahulu ada  dan lebih lama dari 10 tahun, dan sampai sekarang terus berkegiatan 
dan bekerjasama secara leluasa dan tanpa dikendalikan oleh partai politik mana 
pun. Juga tidak disopiri oleh penyelenggara negara. Mereka membeayai diri 
mereka sendiri. Lahir, tumbuh dan berkembang secara mandiri. Saya melihat 
adanya komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga kebudayaan bebas, mandiri ini 
adalah tenaga penting bagi pembangunan kebudayaan di negeri kita. Bersandar dan 
percaya pada mereka, saya kira akan merupakan orientasi yang lebih rasuk untuk 
negeri kita yang bhinneka. Melalui mereka, bisa
 diharapkan konsep kebudayaan, sastra-seni kepulauan akan marak. Desentralisasi 
nilai, bukan sentralisasi nilai dan bentuk mempunyai syarat berkembang tanpa 
ada yang merasa diri sebagai pusat pengesahan.  Saya  mengkhawatirkan dengan 
ide pembentukan Forum Kebudayaan Indonesia, hanya akan memperkuat kembali  
sentralisasi nilai dan penciptaan pusat  pengesahan [legacy center] baru 
dalam dunia kebudayaan,  varian lain dari pandangan bahwa kebudayaan Indonesia 
hanyalah puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai yang dianut oleh UUD 1945. 
Adanya pusat pengesahan dan sentralisasi nilai dan bentuk menjurus ke 
penyeragaman, mendorong pembentukan bangsawan-bangsawan setipe dengan 
nomenklatura budaya baru di negeri kita , 

[ac-i] kronik sairara: le déclin de l'homme blanc -ke merosotan orang putih [1]

2008-07-04 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Sairara:
 
 
LE DECLIN DE L'HOMME BLANC
 
 
1.
 
 
Minggu lalu, ketika sedang bekerja di dapur Koperasi Restoran Indonesia, Andri, 
seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar masalah komputer di Paris, 
sambil bekerja di Koperasi masuk ke dapur sambil menggerutu: Jangan mau 
dikibulin bulé!. Mendengar gerutu itu, aku menoleh bertanya: Ada apa Andri, 
khoq ngomel sendiri? Lalu ia menjelaskan keadaan yang sedang dihadapinya di 
ruang pelayanan tamu yang kami sebut la salle de service. 
 
Seorang tamu berkulit putih setelah mendapat l'entrée [makanan pembuka] berupa 
sup ayam, minta lumpia dengan alasan ia belum mendapatkan l'entrée. 
 
Padahal saya memberikannya kepada Tuan, dan sudah Tuan minum habis, jawab 
Andri.
Saya mau memberikan Tuan lumpia itu, tapi harus jelas bahwa Tuan harus 
membayar harga tambahan, tambah Andri dengan tegas tapi sopan. Si kulit putih 
itu menjawab dengan tegas pula:
 
Tidak mau.
 
Kalau tidak mau ya tidak saya berikan, ujar Andri lagi. Si kulit putih itu 
diam.  
 
Dengan latar kejadian inilah, Andri yang merasa jengkel lalu menggerundel di 
dapur:  
 
Jangan mau ditipu bulé. Cukup sudah kita ditipu.  
 
Dalam hati, aku berkata sendiri: Wah, agaknya Andri mengalami perkembangan 
baru dalam pemikirannya. Apakah perkembangan ini merupakan hasil diskusi kami 
awak Koperasi tentang soal politik, bahasa, sejarah dan lain-lain sambil kami 
bekerja? Aku tidak tahu persis, tapi yang jelas, dibandingkan dengan hari-hari 
pertama ia bergabung,  dari segi pemikiran dan sikap, Andri mengalami 
perkembangan pesat. Secara nyata sejak 26 tahun berdirinya,  Koperasi ini, 
selain menjadi sarana ekonomi yang menghidupkan kami, ia juga merupakan tempat 
kami saling belajar dan saling bantu , sarana kami untuk turut memperkenalkan 
Indonesia dengan pendekatan kebudayaan. Semua pekerja Koperasi sadar akan hal 
ini dan melakukannya dengan cara serta gaya masing-masing. 
 
Ketika ia masuk lagi ke dapur, teman lain menegurnya dengan ringan: Awas lho, 
Andri, jangan sampai pikiran dan sikapmu menjurus ke rasialisme anti bulé. 
Kritis itu baik, tapi ekstrimitas itu berbahaya. Dari gerundelan Andri tadi, 
aku melihatnya bahwa pada mahasiswa muda ini, mulai tumbuh rasa harga diri dan 
martabat diri sebagai orang Indonesia. Ia sering mengatakan bahwa Niscayanya 
menjadi Indonesia itu tidak boleh bodoh.Tidak boleh memalu-malukan bangsa dan 
negeri. 
 
Selain itu gerutu  Andri sebenarnya bukan omelan tak berdasar. Melalui 
pengalaman menghadapi orang Perancis di Koperasi ini, hampir tanpa kecuali 
semua pekerja berkesimpulan bahwa orang Perancis itu punya sikap yang mau 
memanfaatkan [profiter] dan agak sok hebat semata karena kulit mereka putih. 
 
***
 
Hari Minggu, 29 Juni 2008, seperti kebiasaan saban hari,  aku membeli Harian Le 
Monde dan bulanan Le Monde Diplomatique,  menambah info dan analisa bandingan 
dari  Harian La Croix yang kulanggani sejak bertahun-tahun. Sebuah artikel 
berjudul: Le Déclin de l'homme blanc [Kemerosotan Orang Putih] tulisan ekonom 
Perancis, Eric Le Boucher,  segera menambat perhatianku dan berkali-kali kubaca 
ulang. Jarang-jarang sekali istilah l'homme blanc seperti halnya Orang Arab, 
Orang Hitam, yang dipandang berbau rasis  dan gampang menyinggung perasaan, 
digunakan dalam percakapan, apalagi dalam  artikel di sebuah harian serius 
seperti Le Monde. Harian kanan seperti Le Figaro pun cermat dalam menggunakan 
istilah. 
 
Judul artikel Eric Le Boucher ini juga segera mengingatkan aku akan artikel 
Lenin yang profetik, berjudul Eropa Yang Terbelakang, Asia Yang Maju. Tentu 
saja mengingatkan aku akan gerutu Andri di Koperasi.
 
Eric memulai artikelnya dengan pertanyaan:  Apakah sekarang kita hidup di awal 
kemerosotan Eropa yang tak terelakkan? Kemerotan nilai-nilai dan humanismenya? 
Akhir dari Dunia Yunani [la fin du monde grec]? Eric selanjutnya menjelaskan 
bahwa pertanyaan-pertanyaannya ini berangkat dari latarbelakang krisis 
kapitalisme Barat dewasa ini,krisis finansial, krisis Negara Kesejahteraan. Dan 
tentu saja ditambah dengan latar  keadaan kebangkitan Asia yang tinggal landas 
berpolakan model lain,  serta munculnya masalah agama di Dunia Arab Musliman 
[le monde arabo-musulman]. 
 
Latarbelakang lain dari pertanyaan Eric di atas adalah keadaan Perancis 
sekarang. Di sini gencar dilakukan pembahasan kritis tentang masalah identitas 
Eropa, yang menyangkut  masalah humanisme yang dipandang sebagai selubung saja 
dari jenis seksual dari kehendak kolonialistis ras putih. Para pengkritik 
identitas Eropa berupa humanisme terselubung ini  berpendapat bahwa sekarang 
sudah saatnya kita menyokong  relativisme kebudayaan [le relativisme 
culturel] -- bsebuah tesis yang bermaksud menjawab Jean-François Mattéi dalam 
karyanya Le Regard Vide. Essai sur l'épuissement de la culture européenne, 
Pandangan Hampa. Esai tentang Ketidakerdayaan Budaya Eropa [ Flammarion, Paris, 
2007].  Barangkali relativisme kebudayaan ini juga diarahkan kepada teori 
hak 

[ac-i] kronik sairara: perlunya 'Forum Kebudayaan Indonesia' [2]

2008-06-30 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Sairara: 
 
 
2.
 
 
VISI KEBUDAYAAN:
 
 
Soal lain adalah masalah perlunya kita mempunyai Visi Kebudayaan  yang jelas 
yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama 
ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  mungkin baik, tetapi 
kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, Ibarat 
Serpihan  Mutiara Retak. Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan 
meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya 
lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. 
Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa, demikian 
tulis Saudara Luluk Sumiarso.
 
Pertanyaan saya: Apakah selama ini, kita tidak mempunyai visi kebudayaan 
nasional yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan [budaya] bangsa kita? 
 
Jawaban pertanyaan ini barangkali bisa didapat jika kita melihat sejarah 
perkemangan Republik Indonesia dari periode ke periode berdasarkan siapa yang 
menjadi pemegang kekuasaan politik di negeri ini. 
 
Periode Soekarno agaknya bisa dipilah dalam dua tahap, yaitu periode demokrasi 
parlementer, di mana presiden tidak menjadi penyelenggara negara, tapi lebih 
menjadi simbol. Periode ini berlangsung sampai 1959 menyusul kegagalan Sidang 
Konstituante di Bandung, sehingga Soekarno mengunakan kedudukannya sebagai 
Kepala Negara mengumumkan kembali ke UUD 1945 dan mengawali Demokrasi 
Terpimpin-nya serta presiden langsung bertanggungjawab atas penyelenggaraan 
negara sampai pada 1966, ketika ia dijatuhkan.  
 
Seperti sudah menjadi pengetahuan umum, setelah Soekarno dijatuhkan maka 
Soeharto dengan Orbanya naik ke panggung kekuasaan hingga 1998, lalu 
dilanjutkan oleh Habibie, Gus Dur, Megawati dan sekarang oleh Susilo Bambang 
Yudhoyono [SBY]. 
 
Kalau masalah pendidikan yang menggambarkan corak manusia Indonesia yang 
diinginkan oleh  RI , serta menelaah ulang konsep Pancasila [bukan Pancasila 
Orba Soeharto!] dan pasal khususnya tentang masalah kebudayaan Indonesia, saya 
kira  pada periode demokrasi parlementer, RI mempunyai visi kebudayaannya. Visi 
ini [lepas dari kita setuju atau tidak] lebih jelas lagi pada periode Demokrasi 
Terpimpin yang mula-mula dituangkan dalam Manipol,  kemudian dijadikan arahan 
bagi kegiatan nasional di bidang kebudayaan. Orientasi itu  menginginkan agar 
kebudayaan kita mempunyai kepribadian nasional.  
 
Visi ini menjadi tidak jelas begitu Orba Soeharto mengendalikan negeri. Yang 
nampak di daerah-daerah adalah adanya gejala Jawanisasi feodal [yang di sini 
rinciannya tidak saya masuki]. Rasa dan semangat republiken dan 
berkeindonesiaan kemudian merosot dan makin merosot yang ujudnya sampai 
sekarang masih nampak. 
 
Dari paparan sangat singkat di atas, kiranya bisa nampak bahwa sesungguhnya 
secara visi, kita sudah mempunyai visi kebudayaan yaitu yang bersifat 
republiken dan berkeindonesiaan. Visi tersebut, kiranya, tidak lain dari 
republik dan berkeindonesiaan karena saya memandang republik dan 
berkeindonesiaan adalah suatu visi dan program kebudayaan sekaligus. 
 
 
Ketika Saudara   Luluk Sumiarso mengatakan  bahwa kita perlu mempunyai Visi 
Budaya yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. 
Kelihatannya selama ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  
mungkin baik, tetapi kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron 
terkenal, Ibarat Serpihah Mutiara Retak, terkesan pada saya seakan-akan kita 
tidak mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan 
[budaya] bangsa kita. Lain halnya jika Saudara Luluk Sumiarso dari Pembina 
Paguyuban Puspo Budoyo/ Ketua Yayasan Peduli Majapahit, memandang bahwa 
Republik dan Indonesia bukan sebuah visi budaya dan bukan politik kebudayaan 
sekaligus. 
 
Konstatasi Saudara Luluk Sumiarso barangkali bisa dipahami sebagai lukisan 
keadaan sekarang, tapi tidak berarti bahwa kita yang mengakui dan menerima 
Republik dan Indonesia sebagai sebuah cita-cita, tidak mempunyai visi budaya. 
Konstatasi Saudara Luluk Sumiarso jika demikian, bisa dipandang sebagai 
pernyataan bahwa sekarang kita tidak mengindahkan republik dan Indonesia 
sebagai visi dan politik kebudayaan. Jika benar demikian, maka masalahnya, 
apabila kita sepakat dengan republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai, 
visi dan politik kebudayaan, mengapa tidak kita kembali melaksanakannya? Jadi 
bukan mencari visi dan politik kebudayaan baru karena kita sudah mempunyainya 
tapi kita tidak indahkan saja seperti halnya OrbaSoeharto memerosokan RI 
menjadi sebuah imperium feodal keluarga. Konstatasi Saudara Luluk  Sumiarso 
bisa dipahami juga sebagai bias dari pemerotan Republik dan Indonesia menjadi 
imperium feodal keluarga itu yang dampaknya nampak sampai
 sekarang.  Apakah tidak demikian? Secara formal negara ini masih berbentuk 
Republik dan negeri ini masih menggunakan nama Indonesia, tapi pada 
kenyataannya Republik dan Indonesia sebagai cita-cita masih 

[ac-i] kronik sairara: perlunya 'Forum Kebudayaan Indonesia' [1]

2008-06-29 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Sairara: 
 
 
PERLUNYA 'FORUM KEBUDAYAAN INDONESIA' 
 
1.
  
Pada tanggal 23 Juni 2008, melalui milis artculturindonesia @yahoogroups.com ,  
Luluk Sumiarso menyiarkan tulisan  berikut:
 
Teman2 yang Peduli Budaya,

Tentu kita tergelitik dgn berbagai tulisan yang dimuat Kompas Minggu tgl 22 
Juni 2008 yang menyangkut kebudayaan Indonesia, utamanya yang berjudul Secara 
Kultural   Kita Sedang Kalah,   tulisan Frans Sartono yang mengulas pendapat 
Saini KM, yang budayawan, penyair, penulis drama, penulis esai yang 
memprihatinkan budaya bangsanya yang tengah jatuh dan kehilangan arah. ' 
Karena dalam gelombang globalisasi, bangsa yang tidak punya karakter akan 
lenyap', kata Saini.

Saya berpendapat bahwa kita perlu mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai 
sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama ini kita 
sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  mungkin baik, tetapi kita 
kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, Ibarat Serpihah 
Mutiara Retak. Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir 
seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari 
itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses 
budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa.

Terus terang, saya bukan budayawan dan juga bukan pelaku industri budaya. Saya 
hanyalah satu diantara mereka-mereka yang peduli budaya bangsanya dan 
menggiatkan kegiatan budaya, khususnya budaya tradisional. Tahun lalu, tepatnya 
tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya 
Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka 
memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 
Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun 
pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas 
menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung 
juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean 
dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi 
Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah 
perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia'
 untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus mengilangkan 
identitas masing-masing.

Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan 
Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami 
bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan 
membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 
10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat 
Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi 
semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, 
juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia 
ke depan. Harapanya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam 
KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. 
 
Mohon email ini disebarkan ke teman-teman yang perduli budaya. Karena tempat 
terbatas, teman-teman yang berminat mohon mendaftar ke pedulimajapahit@ 
gmail.com

Mudah-mudahan forum ini bermanfaat.

Jakarta, 24 Juni 2008

Salam Budaya
Luluk Sumiarso
Pembina Paguyuban Puspo Budoyo/
Ketua Yayasan Peduli Majapahit 
 
Beberapa soal yang ingin saya angkat dari tulisan ini adalah masalah yang 
diangkat oleh Frans Sartono [Kompas Minggu, 22 Juni 2008]  yang mengatakan 
bahwa Secara Kultural Kita Sedang Kalah yang oleh  Saini KM, yang budayawan, 
penyair, penulis drama, penulis esai yang memprihatinkan budaya bangsanya yang 
tengah jatuh dan kehilangan arah. ' Karena dalam gelombang globalisasi, 
bangsa yang tidak punya karakter akan lenyap'. 
 
Soal lain adalah masalah perlunya kita mempunyai Visi Kebudayaan  yang jelas 
yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama 
ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  mungkin baik, tetapi 
kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, Ibarat 
Serpihah Mutiara Retak. Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan 
meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya 
lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. 
Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa.
 
Lalu atas dasar tersebut, Luluk Sumiarso mengusulkan pembentukan  Forum 
Kebudayaan Indonesia berangkat dari hasil Sarasehan Budaya 5 Juli 2007 di 
Balai Kartini Jakarta yang diselenggarakan oleh Grup Luluk Sumiarso bersama  
Lintas Budaya Nusantara dan Media Grup  dalam rangka memperingati Kongres 
Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 Juli 1918, sepuluh 
tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo.  Direncanakan Forum Kebudayaan Indonesia 
ini akan dibentuk pada 5 Juli 2008 

[ac-i] kronik sairara: catatan kecil tentang pameran kedua sanggar bumi tarung

2008-06-29 Terurut Topik sangumang kusni
 










Kronik  Sairara:  
 
 
CATATAN KECIL TENTANG PAMERAN KEDUA SANGGAR BUMI TARUNG 
 
 
Bumi Tarung, salah sebuah sanggar para seniman Lembaga Seni Rupa [Lesrupa] 
Lekra didirikan pada akhir tahun 1961 di Yogyakarta sesuai berlangsungnya 
Konfrensi  Nasional Lesrupa di kota yang sama. Di dalam Konferensi Nasional 
yang dihadiri oleh pelukis-pelukis Lesrupa dari seluruh tanahair,  selain 
dibicarakan masalah-masalah yang bersifat keorganisasian, juga didiskusikan 
masalah-masalah terdapat di dunia seni rupa tanahair. Berbarengan dengan itu 
dilangsungkan juga sebuah pameran lukisan dan patung dalam skala besar diikuti 
oleh perupa-perupa Lesrupa dari berbagai generasi. 
 
 
Pada waktu yang sama di Jefferson Library di Jalan Diponegoro, tiga pelukis 
muda Yogya, yaitu Misbach Thamrin, Sabri Djamal dan Isa Hasanda 
menyelenggarakan pameran besar mereka sendiri juga. Sebagai pelukis, ketiga 
anak muda ini tentu saja menyempatkan diri mereka untuk mendatangi pameran dan 
Konerensi Nasional Lesrupa yang dihadiri oleh pelukis-pelukis seperti Affandi, 
Sapto Hudoyo, Suromo, Surono, Johni Trisno, Gambir Anom, Ngajar Bana Sembiring, 
Trubus, Batara Lubis, Hendra, Eddy Sunarso, Amrus Natalsya, Kuslan Budiman,    
dan lain-lain... untuk sekedar menyebut beberapa nama saja.  
 
 
Di sinilah Misbach Thamrin, Isa Hasanda dan Sabri Djamal bertemu dengan Amrus 
Natalsya,  Kuslan Budiman dan lain-lain...  Diskusi sengit pun terjadi dan 
berlanjut terus di kedai-kedai seusai Konferensi Nasional. Hasil dari diskusi 
panjang dan sengit ini kemudian melahirkan sebuah sanggar yang dinamai Bumi 
Tarung, terletak di Gamping, berhadapan dengan rumah pelukis Amri Yahya, hanya 
beberapa ratus meter dari ASRI [Akademi Seni Rupa Indonesia]. 
 
 
Masih terbayang padaku semangat dan kegairahan anggota sanggar yang berusia 
sangat muda dan membawa suatu corak tersendiri dibandingkan dengan 
sanggar-sanggar Lekra lainnya yang ada di Yogya.  Kalau ingatanku benar,  
pelukis-pelukis Bumi Tarung pada waktu itu  banyak menggunakan tidak banyak 
warna.  Lebih mengarah ke hitam-putih. Secara teratur, di sanggar dilangsungkan 
diskusi-diskui politik dengan mengundang tokoh-tokoh politik lokal, kebudayaan, 
dan tentu saja tentang seni rupa sendiri. Dapur sanggar adalah warung-warung 
yang bertebaran di sekitar ASRI. Karena itu saya selalu mengatakan bahwa 
warung-warng Yogya, terutama yang di sekitar ASRI langsung atau tidak langsung 
mempunyai andil dalam pengembangan seni rupa di kota ini.  Dengan penuh 
semangat pula anggota-anggota Bumi Tarung melakukan gerakan turun ke bawah, ke 
pantai-pantai, ke desa-desa sesuai dengan metode kerja Lesrupa sebagai bagian 
dari Lekra. Aku masih berhutang lukisan  pada
 petani dan seorang ibu tua Lampung yang kutemukan waktu turba, ujar 
Amrus Natalsya di depan pertemuan kami di Serua Indah Ciputat pada tahun 
September 2005. [Lebih lanjut mengenai Bumi Tarung bisa dilihat dalam: JJ. 
Kusni: Di Tengah Pergolakan, Penerbit Syarikat Indonesia, Yogyakarta, April 
2007; Misbach Thamrin tentang Amrus Natalsya. Buku Misbach ini kudengar 
diterbitkan tahun ini].
 
 
Menyusul terjadinya Tragedi Nasional September 1965 keadaan sanggar dan 
anggota-anggotanya dituturkan oleh Ferry Kodrat di Harian Suara Pembaruan 
,Jakarta [25 Juni 2008] sebagai berikut: 
 
Para seniman yang dinilai revolusioner diciduk dan dijebloskan ke dalam 
tahanan. Karya-karya mereka pun dimusnahkan (dibakar). 
  
  
Sengsarakah mereka? Itu sudah pasti. Bukan hanya sengsara badan, melainkan 
juga psikis karena dalam tahanan, para seniman itu tidak bisa melakukan 
apa-apa, apalagi menarikan kuasnya di atas kanvas. 
  
 
Itulah yang dialami sekitar 30 lebih pelukis yang menjadi anggota Sanggar Bumi 
Tarung. Dari 30 lebih pelukis tersebut, tinggal 11 pelukis (yang lainnya 
meninggal dunia) yang masih hidup dan eksis di dunia seni rupa Indonesia, Djoko 
Pekik dan Amrus Natalsya. 
 
 
Berdasarkan keterangan Amrus Natalsya di Pertemuan Serua Indah Ciputat yang 
saya katakan di atas, kepada teman-temannya sepenjara Amrus mengatakan bahwa 
nanti kalau kita sudah lepas penjara dan kita tidak mampu melukis, tidak bisa 
melukis, maka kita akan menjadi orang yang lebih bodoh dari kerbau. Pelukis 
harus tetap melukis. Hidup dari melukis, ujar Amrus dengan gaya cueknya yang 
dingin. 
 
 
Yang tersisa dari tapisan ajal teror putih menyusul Tragedi September 1965,  
setelah keluar dari penjara, saling mencari untuk mengatasi berbagai soal 
kongkret , terutama bagaimana bisa hidup  sebagai pelukis ditengah 
penyingkiran, diskriminasi,  pelarangan dan posisi sebagai  warga negara kelas 
dua  dengan KTP bertandakan ET [eks tapol]. Sejarah selalu rumit dan tidak 
pernah sederhana , ujar tajuk rencana Harian Katolik La  Croix, Paris [25 
Juni 2008] Demikian juga sejarah Indonesia dan kehidupan para anggota Sanggar 
Bumi Tarung. Tapi kemudian kenyataan menunjukkan bahwa anggota Sanggar yang 
tersisa tidak lebih dungu dari kerbau, jika meminjam istilah Amrus 

[ac-i] Fw: [nasional-list] Fwd: suarapembaruan.com --- Kembalinya Para Seniman Terlarang

2008-06-26 Terurut Topik sangumang kusni


--- On Thu, 26/6/08, awind [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: awind [EMAIL PROTECTED]
Subject: [nasional-list] Fwd: suarapembaruan.com --- Kembalinya Para Seniman 
Terlarang
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Thursday, 26 June, 2008, 4:22 AM







http://www.suarapem baruan.com/ News/2008/ 06/25/Hiburan/ hib01.htm
 
SUARA PEMBARUAN DAILY 


Kembalinya Para Seniman Terlarang
 
SP/Ferry Kodrat 
Patung dua tentara zaman kemerdekaan bangsa Indonesia yang terbuat dari bahan 
semen dengan judul Trip, karya Sudjatmoko, dengan latar belakangnya lukisan 
karya Djoko Pekik yang berjudul Tak Seorang pun Berniat Pulang Walau Mati 
Menanti, menjadi salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran seni rupa 
Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 19-29 Juni. 
ezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan presiden kedua RI, Soeharto, bukan 
saja telah memasung ke- bebasan para seniman (pelukis) untuk berekspresi, 
me-lainkan juga sudah mencabik-cabik hak asasi dan hati nurani untuk hidup 
bebas, apalagi dalam berkarya di atas kanvas. 
Selain penyiksaan di dalam tahanan, penghancuran terhadap jati diri seniman pun 
pernah dilakukan oleh rezim Orba. Setelah bergeloranya Gerakan 30 September 
oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), pemimpin negara ini mengalami salah kaprah 
dalam menilai arti kebebasan berekspresi dari para seniman. 
Para seniman yang dinilai revolusioner diciduk dan dijebloskan ke dalam 
tahanan. Karya-karya mereka pun dimusnahkan (dibakar). 
Sengsarakah mereka? Itu sudah pasti. Bukan hanya sengsara badan, melainkan juga 
psikis karena dalam tahanan, para seniman itu tidak bisa melakukan apa-apa, 
apalagi menarikan kuasnya di atas kanvas. 
Itulah yang dialami sekitar 30 lebih pelukis yang menjadi anggota Sanggar Bumi 
Tarung. Dari 30 lebih pelukis tersebut, tinggal 11 pelukis (yang lainnya 
meninggal dunia) yang masih hidup dan eksis di dunia seni rupa Indonesia, Djoko 
Pekik dan Amrus Natalsya. 
Apa yang dialami Djoko Pekik dan kawan-kawan jelas menyisakan traumatik yang 
berkepanjangan. Bahkan, sampai dalam era reformasi saat ini, para seniman itu 
masih trauma sekalipun seniman lain sudah bebas mengekspresikan perasaannya di 
atas kanvas. 
Pengalaman-pengalam an getir serta gejolak perasaan yang pernah dan masih 
dialami anggota Sanggar Bumi Tarung itulah yang menjadi titik balik kembalinya 
orang- orang terlarang. Kali ini mereka menggelar pameran seni rupa yang 
menampilkan sejumlah karya-karya seni Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional 
Indonesia, Jakarta, hingga 29 Juni 2008. 
Pameran Sanggar Bumi Tarung memiliki arti sangat penting dalam sejarah seni 
rupa Indonesia. Tidak bisa juga dimungkiri bahwa para seniman yang menjadi 
anggota Sanggar Bumi Tarung yang berdiri tahun 1961 ini, merupakan pelaku 
sejarah seni rupa Indonesia, meskipun nama-nama dan keberadaan mereka tidak ada 
sama sekali dalam buku sejarah mengenai seni rupa Indonesia karena dianggap 
sebagai pemberontak. 
Bagi para seniman Sanggar Bumi Tarung, pameran di Galeri Nasional Indonesia ini 
adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya, mereka menggelar pameran pertama 
berlangsung pada tahun 1962 di Galeri Budaya, Jakarta. 

Kebebasan 
Sekalipun masih tersisa trauma, Djoko Pekik mengaku tidak sakit hati. Demikian 
juga rekan-rekannya di Sanggar Bumi Tarung tidak dianggap sebagai pelaku 
sejarah seni rupa Indonesia. Bagi saya selaku seniman, yang terpenting adalah 
memiliki kebebasan dalam berkarya. Sebab, kebebasan para seniman dalam berkarya 
itu tidak bisa dihalang-halangi oleh kekuasaan. Hanya Tuhan yang bisa 
menghalangi kebebasan kami dalam berkarya, ujar Djoko kepada SP di Jakarta, 
baru-baru ini. 
Mengomentari era reformasi saat ini, Djoko Pekik masih menilai belum adanya 
kebebasan yang dimiliki para seniman. Menurut dia, reformasi yang dijalankan 
hanya kulitnya saja. Maksudnya, reformasi yang dibangun hanya untuk mengalahkan 
dan memenangkan seseorang. Akibatnya, orang yang sudah menang, kemudian 
dikalahkan, tetapi orang itu tidak terima. Reformasi apa itu? ujar dia. 
Sementara itu, rekannya, Misbach Tamrin menjelaskan, meskipun dia dan 
rekan-rekannya pernah dimarginalkan bahkan ditahan tanpa melalui proses hukum 
(persidangan) . Hingga kini, para anggota Sanggar Bumi Tarung tidak pernah 
lepas dari perhatian kami dalam ber- karya, yaitu mencintai rakyat kecil dan 
orang-orang yang dianiaya. 
Dalam memberikan sajian kepada masyarakat dalam pameran tersebut, ruang pameran 
utama Galeri Nasional Indonesia dibagi menjadi tiga bagian ruang pameran. 
Dinding dan lantai ruangan utama menyajikan lukisan-lukisan, patung, dan 
pahatan mengenai pengalaman para seniman yang teraniaya. Satu ruangan lagi 
berisi karya-karya para seniman yang memiliki kesan sebagai karya kontemporer 
revolusioner. Sementara itu, satu ruang lagi berisi mengenai lukisan-lukisan 
dan foto-foto karya seniman pada era 60-an, seperti lukisan Drinking Water 
karya Amrus Natalsya. 
Dari beberapa lukisan yang terpajang, terdapat satu lukisan yang dibuat Djoko 

[ac-i] jurnal sairara: kepada saudara taufiq ismail [16]

2008-06-19 Terurut Topik sangumang kusni

Jurnal Sairara
 
 
Kepada Saudara Taufiq Ismail
 
 

 
16 .   REPUBLIK DAN INDONESIA SEBAGAI CITA-CITA. 
 
 
6.  Selepas  dua perang saudara, akibatnya sebagai bangsa kita masih saling 
mendendam. Penyebabnya dua orang. Kedua orang ini masih mengulurkan rantai 
dendam yang panjang dari kuburan mereka melintasi Perang Dingin, satu dari 
London (Marx), satu lagi dari Moskow (Lenin). Rantai dendam sepanjang itu masih 
membelit tubuh bangsa kita. 
 
 
7. Bagaimana akan akan maju dalam  peradaban   bila sebagai bangsa kita masih 
saling mendendam? Saya serukan pada mahasiswa yang hadir, yang terpengaruh 
ideologi usang-lapuk ini agar membuangnya, karena wacana ideologi abad 19 ini 
sudah kuno ke mana-mana, terbukti gagal total di seluruh dunia, dan berbau 
amis-hanyir 120 juta mayat korbannya. Ideologi ini sudah terbukti keropos. Yang 
mau mengusungnya pasti cuma karena  memikul beban dendam.  
 
Taufiq Ismail. 
 
 
Aku masih ingin berbicara tentang ideologi usang lapuk dan kropos yang 
dibicarakan oleh Saudara Taufiq Ismail dalam alinea  ke-7 respons bagian 
pertamanya.  Cara yang terbaik, sebenarnya adalah menuturkan masalah secara 
historik. Tapi tentu saja jika dilakukan secara rinci akan akan menjadi sangat 
panjang, walau pun dalam hatiku aku sangat ingin melakukannya. 
 
 
Istilah usang-lapuk dan kropos mengesankan padaku bahwa ideologi dan dunia 
pemikiran itu tidak berkembang. Statis! Secara umum, apakah dunia 
pemikiran berada dalam keadaan statis? Pemikiran-pemikiran di kalangan orang 
beragama pun, agama apa saja, umumnya berkembang dari masa ke masa sehingga 
melahirkan adanya   agama-agama baru. Protestan Luhter adalah pecahan dari 
Katolik, misalnya.  Apakah di agama Islam tidak terdapat cabang-bang begini? 
Aku hanya bisa memahami adanya cabang-sabang begini tidak lain dari pertanda 
bahwa segalanya berkembang. Perkembangan atau gerak yang tak terelakkan karena 
zaman pun berobah menantang manusia. Demikian juga di kalangan orang-orang 
Marxis dan Sosialis. Leninisme, Fikiran Mao Zedong, sebagai misal, kukira 
adalah perkembangan dan cabang dari Marxisme. Sosial-demokrat, Trotkisme, 
Bakuninisme, Althuserisme, focusisme  dan lain-lain  kukira hanyalah ujud 
dari perkembangan yang terjadi  di dunia
 pemikiran. Yang usang-lapuk dan kropos hanyalah ide-ide yang tidak 
berkembang dan menjadikan ide-ide itu dogma mati  serta langeng sehingga tidak 
mampu tanggap zaman dan apresiatif. Barangkali ini pulalah sebabnya maka Partai 
Komunis Perancis yang tadinya merupakan kekuatan politik kedua terbesar sesudah 
RPR-nya Charles de Gaulle lalu sekarang menjadi merosot dan terus merosot dalam 
pemilu. Teori pra-sosialisme yang dicanangkan di RRT berikut teori 
pasar-sosialisme-nya menunjukkan perkembangan di dunia pemikiran setelah 
menyimpulkan pengalaman periode Mao Zedong hingga reformasi Deng Xiao-ping.  
Belum lagi jika kita memperhatikan praktek Partai Komunis Nepal di tahun 2008 
yang sudah melepaskan perjuangan bersenjata dan menempuh jalan parlementer,   
pengalaman di negeri-negeri Amerika Latin , mulai dari Hugo Chavez  melalui 
Luka hingga Morales dan Paraguay  di mana Lopez Perito , komandan gerilya 
Marxis melawan diktator Alfredo  Stroesner
 ditunjuk  oleh presiden Fernando Lugo sebagai Perdana Menteri [lihat : Harian 
La Croix, Paris, 16 Juni 2008] --- dengan kekecualian FARC sampai hari ini  
[sekalipun sudah dinasehati oleh Hugo Chavez untuk menempuh jalan perjuangan 
lain dari perjuangan bersenjata --Lihat: bagian terdahulu].  Sejalan dengan 
pikiran dan anjuran Hugo Chavez ini, Partai Sosialis Perancis dalam Pernyataan 
Prinsip yang dikeluarkan setelah pertemuan Convention Nationalemereka bulan 
ini menegaskan juga bahwa perobahan masyarakat tidak lagi dilakukan dengan 
revolusi tapi melalui  reformasi dan Apakah pandangan dan sikap-sikap ini 
bukannnya menunjukkan bahwa di di kalangan kaum Marxis dan kiri terdapat adanya 
perkembangan perobahan ekonomi sosial dan pasar ekoplogi. Lebih jauh Bertrand 
Delanoë yang mencalonkan diri sebagai sekjen Partao Sosialis Perancis pengganti 
François Holland, mengetengahkan konsep liberal-sosial sebagai konsep yang 
dianggapnya tanggap zaman
 dan apresiatif. [Lihat: Harian Le Monde Direct Matin, Paris, 16 Juni 2008].  
 
 
Perkembangan di Italia, lebih jauh lagi. Partai Komunis Italia malah bergabung 
dengan partai-partai yang  semasa Togliati dipandang sebagai partai borjuasi. 
Di Jerman pun agaknya demikian yang terjadi antara Sosial Demokrat dan Kristen 
Demokrat untuk menangani masalah masyarakat Jerman sekarang. Artinya di Eropa 
Barat, agaknya patokan dan teori lama sudah ditinggalkan. 
 
 
Pada   pihak golongan kanan, masalah perkembangan ini pun terjadi. Dalam 
kampanye presidensial tahun 2002, Jacques Chirac, yang tergolong kanan,  
mengetengahkan program yang relatif sama mendekati program kiri hingga para 
pemilih akhirnya memilih lebih dengan emosi karena dari segi program sulit 
dibedakan. Hal ini terjadi karena kalangan kanan 

[ac-i] jurnal sairara: kepada saudara taufiq ismail [14]

2008-06-18 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara: 
 
 
Kepada Saudara  Taufiq Ismail
 
 
14. HETZE 
  
 

 Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua 
perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, 
gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, 
ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun 
(1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan 
membantai 120 juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000).  
 
 
 Ini kalimat-kalimat Saudara Taufiq Ismail pada alinea kelima dalam respons 
bagian pertamanya  dengan data yang beliau pinjam dari Courtois sebagai senjata 
pemungkas, yang di Perancis sudah dijawab dengan  buku tidak kalah tebalnya, 
seperti yang berulang kali pula kusitat. 
 
 
Baik! Sekarang aku ingin memasuki masalah ideologi yang mampu dan tidak lancung 
keujian yang sudah diketengahkah oleh Saudara Taufiq Ismail sebagai argumen.   
 
 
Karena Saudara Taufiq sudah memasuki masalah ini, maka aku tanyakan kepada 
Saudara Taufiq Ismail, ideologi apakah yang beliau anggap sebagai yang  mampu 
dan tidak lancung keujian? Akan sangat baik dan menggembirakan jika Saudara 
Taufiq Ismail bisa menyebutkan satu negara saja, di mana ideologi yang mampu 
dan tidak lancung keujian itu telah diterapkan? 
 
 
Jika Saudara Taufiq Ismail tidak menunjukkan satu contoh saja maka kukira 
Saudara Taufiq Ismail dengan argumen ini hanya memperlihatkan hetze anti 
Marxisme yang di negeri-negeri Barat dipelajari tanpa emosi  sebagai salah satu 
aliran pemikiran berpengaruh.  Dengan kalimat   ini aku ingin mengatakan agar 
kita tidak perlu terlalu apriori terhadap apa saja, sesuai  dengan hasrat 
mencari dan mencari, bertanya dan bertanya tentang pantai keempat seperti 
yang dikatakan oleh Chairil Anwar,sesuai dengan perangai Ahasveros yang 
dikutuk-sumpahi Eros. 
 
 
Mungkinkah hetze, yang hakekatnya tidak sesuai dengan pluralisme, tidak sesuai 
dengan prinsip bhinneka tunggal ika,  bertolak belakang dengan pandangan 
toleran dan dialektis biar bunga mekar bersama,  seribu aliran bersaing 
suara,  bisa dijadikan dasar untuk menggalang rekonsiliasi apalagi untuk 
mewujudkan perdamaian total?   Dilihat dari segi pandangan cogito ergo sum, 
jika mau dijadikan acuan, maka hetze akan menyangkal eksistensi diri siapa pun 
sebagai manusia.  Di analisa terakhir agaknya hetze adalah sikap, yang entah 
sadar atau tidak sadar, menempatkan dirinya sebagai pengganti Tuhan.  Hetze 
tentu saja bertentangan dengan rangkaian nilai republiken dan keindonesiaan, 
serta sulit mendapatkan dasar pembenarannya dari segi epistemologi.   Ataukah 
pandangan dan pemahamanku keliru? Tolong Saudara Taufiq Ismail koreksi , jika 
aku keliru. 
 
 
Saudara Taufiq Ismail mengatakan bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa 
dalam dua perang saudara.  Katakanlah bahwa perang saudara itu memang ada di 
negeri kita. Tapi apakah perang,  termasuk  perang saudara  penyebabnya 
adalah pertama-tama karena  alasan ideologi? Tidak adakah alasan kepentingan 
ekonomi dan  politik  yang melatarbelakangi  tercetusnya suatu perang? Aku 
masih bisa lebih rinci lagi mengenai hal ini dengan mengambil banyak contoh  
dan yang paling dekat padaku adalah kasus kota kecil Kasongan yang sekarang 
menjadi ibukota kabupaten Katingan pada zaman agresi Belanda. 
 
 
Waktu aku berada di kancah Perang Viêt Nam melawan agresi Amerika Serikat, 
jenderal-jenderal Viêt Nam Utara atau pun dari Front Pembebasan Viêt Nam 
Selatan mengatakan kepadaku bahwa kemenangan perang tidak ditentukan oleh 
kecanggihan senjata, tapi lebih banyak dipastikan oleh kebenaran dan keadilan, 
politik dan situasi politik. 
 
 
Bahwa ideologi bukan penyebab perang, aku pun bisa mengambil apa yang 
berlangsung di Tanah Dayak saat kolonialisme Belanda menyiapkan agresi 
penaklukannya terhadap Tanah Dayak.  Untuk menyiapkan agresi kolonialnya , 
pihak Belanda menyebut budaya Dayak sebagai ragi usang dan Dajakers adalah 
lambang dari segala keburukan serta kejahatan. Menghadapi agresi kebudayaan 
ini,  orang Dayak berhimpun dan melawannya dari bastion budaya Kaharingan. 
Masakre terhadap orang Amerindien dan pendudukan daerah-daerah orang Amerindien 
pada tahun 1492 , menyusul kedatangan Colombus pun, agaknya tidak bermula dari 
perbedaan ideologi. Di Katingan, daerah kelahiranku, orang Dayak Kaharingan, 
Islam atau Kristen, bisa hidup berdampingan secara sangat rukun. Makam mereka 
pun ada di satu tempat yang sama. Keadaan yang bagiku memperlihatkan bahwa 
perbedaan pandangan, ideologi dan agama tidak seniscayanya membuat orang 
bermusuhan. Kapan dan di mana sih, orang berpandangan
 seragam? Orba yang disokong mati-matian oleh Saudara Taufiq Ismail pun tidak 
bisa dan tidak berhasil  memusnahkan keragaman Indonesia melalui konsep 
Pancasilanya. 
 
 
Dalam hal ini, aku sungguh-sungguh dan lagi-lagi memerlukan penjelasan dari 
Saudara Taufiq Ismail tentang jalan pikirannya. Argumen Saudara Taufiq Ismail 
yang 

[ac-i] jurnal sairara: kepada saudara taufiq ismail [13]

2008-06-15 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara
 
 
 
Kepada Saudara Taufiq Ismail
 
 
13.
 
 
BIAR BUNGA MEKAR BERSAMA, SERIBU ALIRAN BERSAING SUARA
 
 
Aku masih ingin mengomentari alinea Saudara Taufiq Ismail ini: Saya ingatkan 
hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua perang saudara 
yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di 
seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial 
dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun (1917-1991) 
Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120 
juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000).
 
 
Kalau pemahamanku benar, dengan kalimat ini Saudara Taufiq Ismail mengingatkan 
hadirin agar paling tidak berhati-hati pada ide Marxisme. Tentu saja 
berpendapat dan memberi peringatan begini adalah hak penuh tanpa tergugatkan 
dari Saudara Taufiq Ismail, baik sebagai pribadi, lebih-lebih lagi sebagai 
cendekiawan dan sastrawan, untuk mengingatkan hadirinnya tentang bahaya 
Marxisme dengan segala kata sifat yang disertai oleh Saudara Taufiq Ismail.  
Tapi jika Saudara Taufiq Ismail berhak mengingatkan orang lain dengan segala 
kemauan baik beliau,  kukira orang lain pun berhak menetapkan pilihan dan siapa 
pun tak mempunyai hak mengutuk  pilihan dan pencarian mereka.  Apakah bukan 
demikian? Apalagi jika kita masih berpatokan bahwa motto bangsa, negeri dan 
negara ini adalah bhinneka tunggal ika sari dari berkeindonesiaan dan sebagai 
bentuk negara para pendiri negara ini memilih bentuk republik dan nilai-nilai 
republiken. Bahwa  bangsa kita merupakan
 suatu kebhinekaan, aku memandangnya sebagai suatu rakhmat dan keindahan yang 
patut disyukuri, sedangkan uniformitas ,  ketunggalan,   termasuk la pensée 
unique dekat dengan jurang petaka. Rekonsiliasi, kukira, adalah kemampuan hidup 
dalam keragaman, dengan kebhinnekaan ini, tersimpul dalam rangkaian nilai 
republik dan Indonesia. 
 
 
Pada tahun 1960an, Menteri Kebudayaan RRT, Lin Mo-han menguraikan kebhinnekaan 
ini dalam sebuaha orasi budayanya berjudul Biar Bunga Mekar Bersama, Seribu 
Aliran Bersaing Suara, dan Paul Ricoeur, dalam artikelnya di Harian Le Monde, 
Paris, sekitar tahun 2003 mengatakan  bahwa kebudayaan itu majemuk , 
kemanusiaan itu tunggal.  Sedangkan lokalitas oleh Paul Ricoeur dipandang 
sebagai bahasa untuk berdialog dengan budaya dunia. Dari segi filsafat, atau 
epistemologi, kukira bisa dipertanggungjawabkan, sementara la pensée unique, 
apakah dasar pembenarannya? Apakah dasar pembenaran filosofi dan ilmiahnya 
untuk mencegah orang memilih pandangan hidup masing-masing? Apakah karena kita 
sepakat menjadi satu  bangsa, satu negeri dan negara bernama  Indonesia, lalu 
yang minoritas harus menerima pandangan mayoritas secara budaya dan 
mengeliminasikan dirinya dan dieliminasi dengan satu dan cara lain. 
 
 
Tentu saja peringatan, sebagai sebuah kritik adalah syah, tapi melarang, nanti 
dulu, jika kita masih menerima Republik dan Indonesia sebagai suatu rangkaian 
nilai bersama dan perekat kita berbangsa, bernegeri dan bernegara.  Orang Badui 
mengatakan bahwa terlarang untuk melarang. Mao Zedong dalam artikelnya Dari 
Mana Datangnya Pikiran Yang Tepat , demikian juga Mohamad Arkoun, islamolog 
asal Aljazair dan pengajar di Sorbonne, Paris, dalam  ceramahnya di depan 
mahasiswa-mahasiswa IAIN di Paris sepuluhan tahun silam [laporan ceramah ini 
pernah dimuat sehalaman penuh oleh Harian Media Indonesia, Jakarta] , ketika 
berbicara tentang divine truth dan kebenaran yang lain, telah menunjukkan 
makna kebhinnekaan ini serta arti  kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir akan 
terganggu jika dihadang oleh larangan dan apriorisme.  Aku mengkhawatirkan 
peringatan Saudara Taufiq Ismail mengarah kepembentukan busut-busut halangan 
bagi kebebasan orang memilih dan
 mencari  secara leluasa.  Sementara aku memandang sastrawan-seniman termasuk 
jenis manusia pencari dan pencari tak kenal tabu, seperti yang diungkapkan oleh 
Chairil Anwar dalam esai dan puisi-puisinya. Jenis manusia yang jika 
menggunakan istilah  Pelukis Salim sebagai orang yang berjalan tapi tak pernah 
punya sampai [lihat: Ajip Rosidi: Biografi Salim].
 
 
Alinea Saudara Taufiq Ismail di atas, tidak lain  dari sebuah  alinea yang 
membuka palang pintu bagi perdebatan besar  dan bukan  suatu keniscayaan. 
Apalagi sebagai suatu kebenaran yang tak bisa dipertanyakan. Alinea ini pun 
sesungguhnya rada bertentangan dengan saran  beliau untuk tergalangnya 
perdamaian total. Perdamaian totalkah jika tidak mengakui kebhinnekaan dan 
menyisihkan pihak lain?  Apakah pola pikir begini bukannya merupakan suatu pola 
pikir yang ankronik? Paling tidak menyangkal pendapat diri sendiri?
 
 
Kalau aku mengomentari respons Saudara Taufiq Ismail yang memang sejak lama 
ingin kujumpai dan berdialog langsung, kukira ini merupakan bentuk kongkret 
dari Biar BungaMekar Bersama, Seribu Aliran Bersaing Suara. 
 
 
Selama Orba berkuasa, kami dari Lekra hanya boleh dicerca, tak mempunyai 

[ac-i] jurnal sairara: kepada saudara taufik ismail [12]

2008-06-14 Terurut Topik sangumang kusni

 













Jurnal Sairara:
 
 
Kepada Saudara Taufiq Ismail  
 
 
12. BEBERAPA PERTANYAAN 
 
 
 Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua 
perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, 
gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, 
ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya.  Selama 74 tahun 
(1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan 
membantai 120 juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000), tulis Saudara Taufiq 
Ismail pada alinea  kelima respon bagian pertamanya. 
 
 
Dan aku masih mau melanjutkan komentarku atas alinea ini terutama dan pertama- 
tama dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
 
 
Perang saudara [tentu saja perang selalu berdarah-darah. Kiranya tak ada 
perang yang tak berdarah!] . Dalam konteks Indonesia, perang saudara mana 
gerangan yang Saudara Taufiq mau tunjukkan?  Apakah Tragedi September 1965 yang 
menurut Jenderal  Sarwo Eddie menelan korban kurang lebih 3 juta nyawa orang 
PKI dan non PKI , 500.000 angka resmi,  merupakan suatu perang saudara atau 
pembantaian? 
 
 
Masalah Tragedi September 1965 yang berdampak sampai sekarang,  dengan banyak 
terbitnya buku-buku alternatif, dalam pengertian buku-buku yang isinya berbeda 
dengan versi Orde Baru, serperti tulisan Prof. Dr. W.F.Wertheim,  Ben Anderson, 
Ruth McVey ,  atau tulisan John Roosa, serta yang dipandang sebagai terlibat 
atau menjadi korban ,   seperti Letkol Penerbang Heru Atmodjo, Kol. A. Latief,  
Omat Dhani, Soebandrio, Oei Tjoe-tat,  Hersri Setiawan, untuk sekedar menyebut 
beberapa nama saja, masalah Tragedi September 1965 masih jauh dari selesai.  
Paling tidak masih penuh tanda tanya?  Bahkan Ali Sadikin alm. dalam sebuah 
seminar di kalangan militer, mengatakan yang menjadi penyulut Tragedi September 
1965 bukanlah PKI.   
 
 
Dalam hal ini aku kira selayaknya kita   tidak menggunakan pendekatan 
simplistis , karena itu apakah tidak akan lebih baik jika Saudara Taufiq Ismail 
  dalam soal ini  berbicara agak persis, dan tentu saja akan lebih baik lagi 
apa yang telah diucapkan atau ditulis itu  disertai dengan sekedar keterangan 
serta data dalam usaha bersama merekonstruksi sejarah negeri dan bangsa kita 
yang oleh sejarawan  Asvi Warman Adam dari LIPI perlu diluruskan.  
Berkelebihankah harapan ini? 
 
 
Saudara  Taufiq Ismail menulis:  Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal 
total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, 
sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya.  Ideologi ini ternyata lancung 
keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah 
politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. 
 
 
Pertanyaanku:  Untuk berbicara kongkret, mari kita ambil kasus Republik Rakyat 
Tiongkok  [RRT] yang sampai sekarang masih dikendalikan oleh Partai Komunis 
Tiongkok.  RRT dari segi politik , militer , apalagi ekonomi , suka atau tidak 
suka , sudah  merupakan  kekuatan mendunia.  Aku ingin tahu bagaimana Saudara 
Taufiq Ismail  memandang masalah perkembangan RRT dilihat dari sudut pandangnya 
bahwa :  Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia 
tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga 
perempat abad lamanya.  Dalam konteks RRT yang berpenduduk satu miliard lebih, 
apakah    apakah Saudara Taufiq Ismail bisa menawarkan alternatif terbaik lain 
dari yang  sedang dilakukan sekarang bagi RRT dan kemudian alternatif apa 
untuk   Indonesia? Untuk sampai ke jalan yang ditempuh sekarang, RRT dan PKT 
pun harus melalui jalan yang sangat berliku. Mao Zedong dan Chou En-lain memang 
sejak awal
 mengajukan ide keniscayaan melakukan Empat Modernisasi untuk agar sosialisme 
bisa nyata memperlihatkan keunggulan nyatanyaa dibandingkan dengan kapitalisme. 
Tapi ide ini tertunda pelaksanaannya karena  pertarungan intern sengit di 
kalangan PKT, terutama, dan memuncak dengan meletusnya Revolusi Besar 
Kebudayaan Proletar pada tahaun 1965an.  Capaian RRT sekarang, dengan segala 
kekurangannya barangkali baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah Tiongkok 
hingga sekarang. Apakah  anjuran Menjadilah kaya! , salah satu anjuran Partai 
Komunis Tiongkok [PKT] kepada rakyat Tiongkok bertentangan dengan Marxisme. 
Marxisme tidak ada gunanya tidak bisa menyejahterakan dan memberi ketenteraman 
bagi rakyatnya. Kucing hitam atau putih  tidak menjadi penting asal bisa 
menangkap tikus, ujar Deng Xiaoping. 
 
 
Apakah capaian RRT yang demikian, dan tentu saja tidak dipisahkan dari peran 
PKT, merupakan petunjuk bahwa   Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal 
total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, 
sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya.  
 
 
Ah, masalah ini akan menjadi pembicaraan panjang jika dimasuki lebih jauh dan 
akan menyimpang dari tema rekonsiliasi.  
 
 
Kalimat-kalimat 

[ac-i] jurnal sairara: pertanyaan dari makassar

2008-05-27 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  PERTANYAAN DARI MAKASSAR
   
   
  Setelah tersiar rencana pemerintah untuk menaikkan lagi harga BBM, berbagai 
kalangan masyarakat yang gelisah akan dampak negatif dari kenaikan itu dalam 
berbagai sektor kehidupan, mulai menyatakan penolakan mereka dengan melancarkan 
aksi-aksi turun-jalan.  Unjuk rasa ini kian menjadi setelah kenaikan tersebut 
resmi diumumkan. Di mana-mana terjadi demo, termasuk para  di Samarinda, 
Kalimantan   Timur. Penangkapan-penangkapan terjadi, bahkan  Universitas 
Nasional di Jakarta diserbu oleh polisi. Yang mungkin luput dari pengetahuanku, 
demo-demo demikian tidak terjadi di Kalimantan Tengah dan Barat, juga  di 
Selatan. Daerah-daerah ini terkesan tenang tenteram, tanpa kegelisahan akan 
dampak negatif kenaikkan harga BBM.
   
   
  Suatu siang, telponku berdering.  Di ujung jauh kudengar suara seorang ibu, 
yang segera kukenal, mantan aktivis pada masa menentang rezim Orde Baru [Orba], 
dan mantan penanggungjawab Front Persatuan Nasional Lombok pada masa 
pemerintahan Soekarno, sedangkan  anak sulungnya adalah aktivis terdepan  dalam 
melawan Orba sampai rezim ini tumbang.  Mereka tinggal di Makassar, Sulawesi 
Selatan. Ibu yang sudah berkepala lima ini dengan asyik penuh semangat 
mengemukakan pandangan-pandangan-pandangannya tentang situasi tanahair yang 
kurasa cukup tajam dan menukik, termasuk kegiatan Amerika Serikat sekarang  di 
Manado, Sulawesi Utara. Gairah dan semangat yang memperlihatkan keprihatinan 
serta kecintaannya pada tanahair yang tak usai-usai dirundung kemelut 
susul-menyusul. Apalagi cinta ini sudah menempuh jalan panjang berliku,, bahkan 
banjir darah, tapi tetap saja tegak gagah di hadapan peristiwa demi peristiwa 
silih berganti. Cintanya pada tanahair dan kehidupan mengingatkan aku
 akan peribahasa Tiongkok Kuno bahwa daya tahan seekor kuda diuji dalam 
perjalanan jauh.
   
   
  Tahu benar bahwa aku berasal dari Sungai Katingan, Kalimantan Tengah, ibu 
berkepala lima ini, menanyaiku terbuka, kebiasaan kami jika sedang berbicara: 
Mengapa, Nak, Kalimantan khoq adem-adem dan diem-diem saja, padahal 
daerah-daerah dan pulau-pulau lain bergejolak. Tak pernah ibu baca unjuk rasa 
di Kalimantan mendapat sorotan media massa nasional , kecuali berlangsungnya 
konflik-konflik etnik?.
   
   
  Tersentak juga hatiku mendengar pertanyaan terus-terang dari sang ibu ini? 
Terasa padaku bahwa pertanyaannya menyentuh soal hakiki yang jika dibicarakan 
dan direnungkan akan menyangkut banyak bidang. Yang bisa dilihat dari segi 
sejarah, sosiologi, antropologi, psikhologi, ekonomi dan tentu saja dari segi 
politik. Karena tidak mau gegabah mengetengahkan pendapat, maka aku hanya balik 
bertanya: Sebagai orang dari luar Kalimantan, bagaimana ibu melihatnya?.  
Karena merasa sudah dekat, maka sang ibu lalu dengan bebas berkomentar, kurang 
lebih sebagai berikut: 
   
   
  Kalimantan adalah pulau kaya raya. Punya minyak, punya emas, punya hutan, 
punya batubara, punya karet, punya jelutung, punya damar, punya batu-batuan 
berharga,   dan entah apa lagi. Kekayaan ini memanjakan mereka dan berdampak 
pada pola pikir dan mentalitas mereka. Kemelut yang membuntuti kenaikan  BBM 
seperti tidak menggoyahkan kehidupan mereka. Karena itu maka mereka menjadi 
adem-adem dan diem-diem seperti tidak ada angin tidak ada hujan saja apalagi 
badai. Ini dugaan ibu lho, nak. Bagaimana menurut anakku sendiri?. Sang ibu 
tidak membiarkan aku hanya mendengarnya. Karena sadar bahwa jawaban pertanyaan 
mendasar ini akan menjadi panjang-lebar, dilihat tahap demi tahapnya, bisa 
disorot dari berbagai segi, maka aku hanya menjawab bahwa ibu telah 
mengetengahkan soal mendasar bahkan sangat mendasar yaitu apa-siapa dan 
bagaimana manusia Kalimantan, cq, Dayak, hari ini? Pertanyaan yang jika 
menggunakan istilah strateg Tiongkok zaman dahoeloe: mengenal diri sendiri 
sebelum
 mengenal lawan. Lawan yang bisa dipahami sebagai situasi nyata. 
  Sedangkan diri sendiri, bisa dipahami sebagai faktor intern, faktor 
kesadaran dan wawasan subyektif manusia sebagai aktor pemberdayaan dan 
pembangunan memanusiawikan diri sendiri, manusia, kehidupan dan masyarakat.   
Faktor ini, adalah faktor the singer sedangkan the song adalah karya dari 
the singer, jika meminjam dan memberi varian pada judul sebuah filem Holywod 
zaman dahulu.
   
   
  Pandangan sang ibu ini menyeret kenanganku akan keadaan Kalimantan, terutama 
Kalimantan Tengah di mana aku pernah bekerja di lapangan sampai tahun 2001, 
memulai kegiatan di sini sejak 1991,  dan propinsi-propinsi  lain Kalimantan 
yang kusempatkan mengunjunginya hingga jauh ke hulu. Secara singkat bisa 
kukatakan bahwa Kalimantan sekarang bukan Kalimantan yang dahulu. Dayak 
sekarang bukan Dayak dahoeloe yang Utus Panarung, turunan Panimba Tasik 
[Penimba Samudera], Panetek Gunung [Pemungkas Gunung].  Kalimantan memang kaya, 
tetapi mayoritas penduduknya miskin, masih belum bisa melepaskan diri dari 
budaya betang lama dalam menanggapi 

[ac-i] Tanggapan Putu Oka Sukanta untuk Taufiq Ismail - Re: bertemu sitor situmorang

2008-05-25 Terurut Topik sangumang kusni

putu oka sukanta [EMAIL PROTECTED] wrote:  To: [EMAIL PROTECTED]
From: putu oka sukanta [EMAIL PROTECTED]
Date: Mon, 26 May 2008 07:55:08 +0700
Subject: Re: [wahana-news] RE: [ac-i] jurnal sairara: bertemu sitor situmorang 
[5 - selesai]

Saudara Taufiq, saya tidak pernah menerima Undangan seperti yang 
Saudara informasikan. Sebenarnya pertemuan seperti yang dimaksud sangat saya 
nantikan. Lain kali tolong pastikan apakah Undangan sudah sampai ke tangan saya 
atau belum, siapa yang mengirim dan ke alamat mana dikirim.

Mengenai ide dan usaha rekonsiliasi adalah usaha yang perlu direalisasi bersama 
dalam kesetaraan derajat dan martabat. Sudah saya lakukan itu walaupun 
kecil-kecilan di wilayah yang bisa saya jangkau.. Secara politis saya masih 
dikerangkeng dengan beberapa peraturan yang diskriminatif. Bisakah rekonsiliasi 
dilakukan antar dua orang/kelompok yang masih dipisahkan oleh peraturan yang 
memposisikan mereka berbeda di hadapan hukum? Secara kulutural/ persahabatan 
antar sesama, sudah banyak yang bisa dilakukan. Tetapi secara politis, harus 
ada pengguguran peraturan yang diskriminatif itu. Pemerintah R.I. tidak 
melakukan itu, sementara persahabatan antar sesama ( yang bebeda di masa lalu, 
mungkin sampai sekarang) sudah terjadi secara individual. Dengan demikian, 
siapapun yang menginginkan rekonsiliasi secara total harus bersama juga 
memdesak pemerintah untuk mencabut aturan-aturan yang diskriminatif tersebut.

Hati lapang menciptakan jembatan cahaya.

Salam 
Putu Oka
- Original Message - 
From: sangumang kusni 
To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; kotajakarta ; 
wahana news ; [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Sunday, May 25, 2008 9:08 AM
Subject: [wahana-news] RE: [ac-i] jurnal sairara: bertemu sitor situmorang [5 - 
selesai]

Taufiq Ism [EMAIL PROTECTED] wrote: To: artculture-indonesia@yahoogroups.com
From: Taufiq Ism [EMAIL PROTECTED]
Date: Sat, 24 May 2008 15:38:24 +
Subject: RE: [ac-i] jurnal sairara: bertemu sitor situmorang [5 - selesai]

Sdr Kusni,

Saya membaca jurnal anda bertemu Sitor Siitumorang. Saya lampirkan respons saya 
terhadap surat tersebut 
bagian kelima, alinea 5 dan 6. 

Semoga kiriman saya sampai dengan baik.

Salam,

Taufiq Ismail

DISKUSI MARXISME-LENINISME DALAM PERSPEKTIF BUDAYA, FAKULTAS SASTRA U.I., 9 
JUNI 2000

Taufiq Ismail

Pada hari bulan 9 Juni 2000, di aula Fakultas Sastra Universitas Indonesia 
diadakan diskusi bertajuk Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Budaya. Untuk 
kedua kalinya sesudah 38 tahun (pertama kali ialah dalam Musyawarah Federasi 
Teater se-Indonesia, Desember 1962 di Yogyakarta) wakil dari dua kelompok 
seniman-budayawan yang berseteru di masa Demokrasi Terpimpin bertemu di dalam 
sebuah forum terbuka. 

Untuk pertama kalinya Asrul Sani dan saya akan berhadapan dengan Pramoedya 
Ananta Toer dan (penyair Lekra) Putu Oka Sukanta. Dua hari sebelumnya tiba-tiba 
Asrul Sani sakit dan Putu Oka berhalangan. Asrul digantikan (dosen sosiologi) 
Imam Prasodjo dan Putu Oka digantikan (sastrawan) Martin Aleida. Rocky Gerung, 
mahasiswa kekiri-kirian yang jadi moderator sejak awal sudah terasa selalu 
berusaha memojokkan saya. Dia tidak berhasil.

Saya menyiapkan diri dengan literatur baru untuk diskusi itu. Percuma. Tak ada 
gunanya. Pram berbicara dengan istilah-istilah kuno tahun 1960-an tujuh setan 
desa, tiga setan kota, tuan tanah, sama rata sama rasa, kapitalis birokrat dan 
seterusnya. Diskusi ideologi timpang dan tak bermakna. Saya tercengang. 
Pengarang besar ini tak punya pengetahuan tentang Marxisme-Leninisme yang 
berarti dan dapat diukur dengan jengkal tangan kanan. Saya tak merasakan 
getaran, sengatan setrum ideologi Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme dari 
diskusi itu, seperti yang saya rasakan bila berdiskusi dengan orang-orang Palu 
Arit tulen yang pernah saya alami. Pram bukan komunis.

Saya makin mual pada partai yang berhasil memperalatnya, yang dirangkul, 
difasilitasi ini-itu, diangkut ke seberang garis menyertai apel barisan PKI, 
terpaksa ikut menderita dalam pembuangan, dan ternyata tetap saja tidak in 
dalam ideologi ini sama sekali. Ternyata Lekra tak berhasil menjadikannya 
komunis. Dia Pramis, seperti pengakuannya sendiri, dan dia betul. Pram 
terlampau individualistik, egosentrik dan keras hati untuk jadi pion partai 
mana pun. Palu Arit cuma memerlukan nama besar Pram untuk baliho Lekra/PKI, 
mengeksploitirnya sebagai tokoh pengisi billboard iklan produk ideologi kiri di 
tepi jalan raya tol kesusasteraan Indonesia. Untuk itu PKI berhasil, juga KGB 
(Komunis Gaya Baru) Indonesia abad 21 ini.

Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua 
perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, 
gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, 
ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun 
(1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan 
membantai

[ac-i] jurnal sairara:defends ton identité

2008-05-17 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
   
  DEFENDS TON IDENTITE 
   
   
   
  Sebuah segiempat 30 X 30 cm, ditengah-tengahnya terdapat gambar sebuah tinju 
diacungkan. Di atas tinju ini tertera kata Defends [ Bela] sedangkan di 
bagian bawah, tercantum kata Ton Identité [Identitasmu].  Gambar sablon hitam 
putih ini disemprotkan di mana-mana di permukaan jalan-jalan  kilometer nol 
kota Paris. Jalan-jalan yang paling banyak dilalui orang, terutama jalan-jalan 
yang terletak di Rive Droite [Tebing Kanan] Sungai Seine, sungai yang membelah 
ibukota Perancis.  
   
   
  Sambil berjalan menuju ke tempat pekerjaan, aku merenungkan sablon tinju dan 
kata-kata yang tertera di atasnya: Defends Ton Identité. Mengapa seruan 
membela identitas ini muncul sekarang. Apa latarbelakangnya? 
   
   
  Sebelum sampai ke tempat pekerjaan, di beberapa jalan di Kartir Latin [Le 
Quartier Latin],  sebuah kartir bersejarah dimana janin eksistensialisme 
dilahirkan. Kartir  yang secara tradisional menjadi pusat unjuk rasa para 
mahasiswa-pelajar. Di kartir ini pulalah Revolusi Mei 1968 yang menggoyahkan 
pemerintahan Jendral Charles de Gaulle dan memberi wajah baru bagi Perancis. 
Tapi Nicolas Sarkozy, Presiden Perancis yang dipilih dengan suara relatif 
mutlak pada pemilu Mei 2007 lalu dalam kampanye presidensialnya, memandang 
Revolusi Mei 1968 sebagai rendah dan bahkan tidak berguna bagi Perancis. Untuk 
menjawab Sarkozy maka pemikir-pemikir Perancis yang langsung terlibat dalam 
Revolusi Mei 1968 telah menulis beberapa buku, baik secara perorangan mau pun 
secara kolektif.  Mengenang Revolusi Mei 1968, di Place de Sorbonne yang 
terletak di pusat Paris, diselenggarakan pameran foto tentang peristiwa 
bersejarah. Orangtua-orangtua datang membawa anak-anak mereka dan menjelaskan
 kepada mereka tentang peristiwa besar yang mengobah wajah Perancis. Salah 
satu cara orang Perancis untuk mengasuh anak-anak mereka agar  tidak melupakan 
sejarah,tahu sejarah dan sadar sejarah agar tidak menjadi generasi tanpa 
sejarah, lepas sejarah dan  atau hilang sejarah.
   
   
  Dalam kampanye presidensialnya Sarkozy menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat 
Perancis dengan meningkatkan daya belinya. Menjanjikan modernisasi Perancis di 
berbagai bidang seperti pendidikan jaminan kesehatan, hari tua, dan lain-lain, 
dan lain-lain Pendeknya Sarkozy menjanjikan bersama dia maka akan lahir 
Perancis Baru yang sejahtera dan cemerlang di antara bangsa-bangsa di dunia. 
   
   
  Setelah setahun berlalu, rakyat Perancis mendapatkan janji-janji manis itu 
berhadapan dengan kenyataan yang menghasilkan sesuatu yang sebaliknya. Daya 
beli [le puvoir d'achat] rakyat Perancis makin merosot. 
   
   
  Di pinggiran Paris, di mana terdapat banyak tokotoko besar bahan makanan, 
penduduk sekitarnya menunggu toko-toko tersebut tutup dan membuang 
makanan-makanan, sayur-sayuran, dan lain-lain yang tidak lagi layak jual. 
Mereka berlomba-lomba memungut barang-barang ini.  Inflasi meningkat, gaji 
terasa makin mepet. Apakah keadaan begini ini memperlihatkan meningkatnya daya 
beli? Ataukah sebaliknya?
   
   
  Dari segi pekerjaan, atas nama reformasi, ribuan guru-guru akan dipecat. Dari 
segi politik dan kebudayaan rakyat,  melihat bahwa  Perancis oleh Sarkozy 
diamerikanisasikan.  Apalagi Sarkozy menyatakan akan lebih aktif di NATO --  
NATO yang oleh Charles de Gaulle ditolak untuk bermarkas di Perancis.
   
   
  Unjuk rasa demi unjuk rasa, pemogokan demi pemogokan , apalagi kritik tajam 
terbuka di media massa , makin menjadi-jadi  setelah setahun Sarkozy menduduki 
kursi  Presiden Perancis. Jarak antara janji pemilu dan kenyataan, barangkali 
bisa  dilihat dari popularitas Sarkozy seperti ditunjukkan oleh pengumpulan 
pendapat umum [sondage]. Menurut sondage terakhir, popularitas Sarkozy merosot 
dari 60% lebih menjadi hanya 30%. Sarkozy secara sinis disebut oleh semua media 
massa negeri ini  sebagai Presiden daya beli [le president du pouvoir 
d'achat]. Kekecewaan pada Sarkozy ini lebih nyata lagi pada hasil pemilihan 
kotapraja [municipal] seluruh Perancis, di mana partai-partai kiri menang 
telak. Hasil pemilihan munisipal nasional ini oleh media massa disebut sebagai 
pemilihan hukuman pada Sarkozy dan UMP , partai yang sekarang berkuasa.
   
   
  Unjuk rasa yang yang kulihat memenuhi beberapa jalan di Kartir Latin hari ini 
sambil merenungkan arti sablon Defends Ton dentité,  hanyalah bagian kecil 
saja dari ujuk rasa anti kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang yang 
dirasakan sangat merugikan rakyat Perancis. Tanggal 20an Mei yang akan datang 
diumumkan melalui media massa akan terjadi pemogokan transpor publik yang 
besar. 
   
   
  Adanya sablon yang menganjurkan agar Perancis membela identitas nasionalnya, 
kuduga tidak lain dari reaksi perlawanan dari masyarakat bawah terhadap politik 
Amerikanisasi Perancis oleh Sarkozy. Masyarakat lapisan bawah yang tak punya 
akses ke media massa akhirnya menggunakan permukaan jalan,  tembok-tembok kota, 
 

[ac-i] ulos

2008-05-06 Terurut Topik sangumang kusni
ULOS
   
   
  tenun ini, hasian
  tenun ini
  tenunan tangan
  tenunan hati 
  tenun samosir
  laksaan harapan 
  kebolehan batak 
  kebolehan rakyat
  juga cintaku 
  padanya tersimpan 
   
   
  tak kutolak jean hari ini 
  tentu saja
  tak kutolak tentu saja
  ulos masih saja tanggap
  tak kalah modern dari top tank
  baju-celana pamer pusat kota-kota
  maka di jumpa keluarga
  ibu berikan ulos kepadamu
   
   
  ulos adalah diriku 
  diri samosir 
  anak angin bukit
  berdarah panarung, oue hasian, oue
  anak danau tahu bangkit dari kejatuhan
   
   
  bolehkah ulos ini kupersembahkan kepadamu?
  bolehkah ulos ini kuminta kau jaga?
   
   
  2008
  ---
  JJ. Kusni

   
-

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[ac-i] catatan bantimurung: menegaskan kepulauan dan daerah sebagai gagasan budaya [1]

2008-05-03 Terurut Topik sangumang kusni
Catatan Bantimurung:
   
   
   
  MENEGASKAN   KEPULAUAN DAN DAERAH  SEBAGAI GAGASAN BUDAYA 
   
   
  Mulai hari ini, tanggal 02 Mei sampai dengan 04 Mei di Barru, Sulawesi 
Selatan, dilangsungkan Temu Sastra Kepulauan. Temu Sastra Kepulauan ini 
bukanlah hanya kali ini  diselenggarakan. 
   
   
Temu Sastra Kepulauan yang pertama telah dilangsungkan pada tahun  1999 di 
kota Makassar. Dan pada tahun 2000 Temu Sastra Kepulauan II masih 
diselenggarakan di kota serupa dengan meninggalkan serangkaian masalah masih 
patut dijawab diseputar pertanyaan: Mau kemana arah program ini? yang 
sesungguhnya bersarikan Apa gerangan sastra-seni kepulauan itu, bagaimana 
mengujudkannya dan mengembangkannya secara nyata? Temu Sastra Kepulauan yang 
berlangsung di Baru mulai hari ini merupakan Temu Sastra Kepulauan [TSK] yang 
ke-III.
   
   
  Dilihat dari segi jangka waktu, maka Temu Sastra Kepulauan [TSK] ini 
penyelenggaraannya tidak periodik.  TSK III baru bisa dilangsungkan kembali 
selang 8 tahun kemudian. Selang panjang ini tidak bisa lain hanya 
memperlihatkan adanya kesulitan-kesulitan, barangkali terutama kesulitan 
finansial dalam menyelenggarakannya.  Sedangkan dari apa yang dikatakan oleh 
penyelenggaranya  bahwa sampai pada TSK II,  yang baru dirumuskan hanyalah 
persoalan-persolanan di seputur Mau ke mana arah program ini?. TSK I dan II 
belum memberikan jawaban-jawaban jelas mengenai apa-bagaimana TSK itu.  Hal ini 
lebih ditegaskan lagi oleh yang dikatakan oleh think tank TSK III bahwa Temu 
Sastra Kepulauan adalah semacam forum gagasan yang berorientasi ke 
masalah-masalah geo-cultural di Indonesia, berarti adalah pembebasan sastra 
dari gen yang mendominasinya, berarti adalah perluasan praktek sastra ke dalam 
berbagai bentuk pengucapan yang masih berlangsung.  
   
   
  Dari keterangan ini nampak,  bahwa sebagai gagasan pun yang dimaksudkan 
dengan sastra kepulauan ini agaknya masih belum samppai ke tingkat yang matang 
dan rampung.  Jika pemahaman demikian benar, maka jika secara gagasan saja 
belum rampung tuntas lalu bisakah diharapkan apa-bagaimana pengejawantahannya. 
Apa-bagaimana ujud nyatanya. Masalah konsepsional belum selesai tuntas 
dirumluskan,  belum terjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan oleh TSK I 
dan II, tiba-tiba  TSK III mengangkat masalah baru yang aktual yaitu masalah 
lingkungan, cq. pemanasan global planet kita. Sehingga nampak bahwa TSK III 
sebagai forum gagasan menjadi  menjadi fokus alias menjurus ke nggladrah.  
Dengan mengatakan hal ini, saya tidak bermaksud mengabaikan arti masalah 
penting membicarakan soal lingkungan, khususnya masalah memanasnya bumi kita 
secara global. 
   
   
  Hanya saja yang jelas dari cuplikan  Term of Reference [TOR] di atas, bahwa 
dalam konsep sastra, masalah komitmen, keberpihakan merupakan salah satu ciri 
utamanya.  Sastra Kepulauan bukanlah sastra yang mandul atau banci. . Sastra 
kepulauan adalah sebuah komitment terhadap keberagaman, geokultural Indonesia 
yang khas. Orientasi keberpihakan ini, merupakan hal yang sangat positif.
   
   
  Titik penting kedua dari TOR di atas adalah tekananya pada kenyataan 
Indonesia yang majemuk yang dikandung pada kata Indonesia itu sendiri sebagai 
suatu rangkaian nilai. Sayangnya penggagas TOR tidak menggarisbawahi bahwa kata 
Indonesia itu sendiri sebenarnya adalah suatu rangkaian nilai. Suatu konsepsi 
yang selama ini diabaikan. Kurang diindahkan bahkan selama  beberapa dasawarsa 
konsep agung dan mulia serta sangat tanggap dan apsiratif ini dilanggar bahkan 
diinjak-injak oleh sepatu boot militerisme, termasuk rumusan UUD 1945 tentang 
apa  kebudayaan Indonesia itu.   Padakah bhinneka  Tunggal Ika itu  pada 
dasarnya tidak lain dari sari Indonesia sebagai gagasan.  
   
   
  Secara gagasan pula, belum selesai dijawab apakah gagasan kepulauan itu 
sebatas sastra saja? Mengapa hanya dibatasi pada sastra dan tidak diluaskan 
pada seni atau budaya?  
   
  TOR berbicara tentang pembebasan sastra dari gen yang mendominasinya, 
berarti adalah perluasan praktek sastra ke dalam berbagai bentuk pengucapan 
yang masih berlangsung.  
   
   
  Sangat tidak jelas, atau mungkin karena keterbatasan saya, maka saya menjadi 
tidak jelas tentang apa yang dimaksudkan dengan gens yang mendominasinya. 
Apakah kalimat atau istilah ini sebuah cara berkelit dari penggunaan  kata 
politik? Cara untuk mengelak dari praktek Jawanisasi sebagai politik budaya 
terapan selama berdasawarsa dalam sejarah Republik Indonesia [RI]? Padalah 
ketika berbicara tentang sastra-seni kepulauan sebenarnya kita sedang berbicara 
tentang politik kebudayaan. Politik sastra-seni yang ingin diterapkan dan 
dikembangkan sebagai suatu perspektif yang tanggap dan aspiratif untuk bangsa 
dan negeri ini.  Apa lalu yang disebut sebagai dominasi bagi budaya 
pulau-pulau dan daerah di pandangan penggagas TSK III? 
   
   
  Ketika TOR berbicara tentang  perluasan praktek sastra ke dalam berbagai 
bentuk pengucapan yang masih 

[ac-i] alamat tanpa nomor

2008-05-03 Terurut Topik sangumang kusni
PARIS MENJELANG SUBUH
   
   
  walau ini adalah  paris tapi tak terdengar ada suara di luar jendela subuh 
  seine tadi kulintasi jembatannya dari montmartre kampungku tak kalah sunyi
  -- kapal-kapal berlabuh di dermaga 
  ratusan camar tidur di tembok pagar kota
  riak pun diam 
  bulan dan cahya lampu saja di airnya mencumbu sunyi dan rindu
  yang menyeru-nyeru namamu kudian memantul bagai sipongang dari lembah jarak.
   
   
  2008
   
   
  JALAN KE PUNCAK
   
   
  menanjak selalu jalan ke puncak
  likunya tak terhitung jari 
  lembah menganga di kanan kiri
  cinta apakah punya puncak 
   
  di semak belantara 
  senantiasa saja kulihat kelebat
  bayang bencana 
  menanti alpa
   
  2008
   
   
  BUIH AIR DI TUNGKU
   
   
  matahari musim bunga ini memang seperti dahulu
  melepaskan kota dari tekanan langit kelabu 
  musim lalu cuma sepenggalah dari menara katedral
  -- hingga tak semua bisa tersenyum dalam dera
  orang-orang melarikan sepi dan gundah 
  pada cangkir-cangkir kopi café demi café
   
   
  tapi aku tetap saja mencintai kehidupan 
  tetap saja di jalan mimpiku yang sepi
  di panas atau dingin bersalju
  duka, luka dan keresahan 
  jangan tanya mengapa jika mereka duduk semeja denganku
  asyik bercengkarama
   
   
  seperti kapan saja matahari musim bunga ini memang memberi kehangatan
  musim salju yang sering bagai kucing nakal menggigit kakiku di bawah meja 
kerja
  entah ke mana dia. barangkali ke kutub selatan yang jauh
  karena kelanggengan itu hanya ada pada perobahan
  musim bunga ini pun bukan jaminan dingin tak datang tiba-tiba
   
   
  apakah kau percaya cintamu 
  bisa bertahan hingga musim panas nanti 
  kata sering tak obah bagai  buih air panci mendidih di tungku.
   
  2008
   
   
  ALAMAT TANPA NOMOR
   
  ada delapan belas simpang di avenue champs élysées
  siapa pun  patut tahu jalan dipilih mencapai tujuan
  apa kau tahu berapa jumlah simpang di jalan cinta 
  -- yang kupasti dialah jalan bertikungan tajam lipat siku
  dadagan tak terkira janin kandungan misteri
   
   
  kepadamu yang hari ini masih berada di sisiku di kendaraan melaju
  mata kukerdipkan sambil mencari esok 
  -- alamat tanpa nomor.
   
   
  2008
  ---
  JJ. Kusni

   
-

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[ac-i] jurnal sairara: hari itu kami berjumpa kembali [6]

2008-05-01 Terurut Topik sangumang kusni
 
  JURNAL SAIRARA:
   
   
   
  HARI ITU KAMI BERJUMPA KEMBALI
   
  -Kisah-kisah kecil berjumpa dengan Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuntjak di 
Koperasi Restoran Indonesia Paris, 10 April 2008.
   
   
  6
   
   
Mengapa kita mesti secara sukarela membuang waktu seribu tahun mengayuh 
ke hulu sedangkan muara dan laut menunggu kejantanan awak pinisi? 

   
   
  Malam Musim Bunga makin larut, terasa hingga ke ruang percakapan santai. 
Tamu-tamu yang makan malam satu demi satu pulang meninggalkan restoran. Di luar 
matahari sudah lama tenggelam meninggalkan kelam pada dedaunan hijau yang makin 
merimbun. Pembicaraan saja yang nampaknya seperti tak berujung bagaikan 
kehidupan yang terus berlanjut tanpa perduli suka dan duka kita pribadi. La 
vie continue, orang Perancis bilang.
   
   
   Di atas helai-helai waktu de la vie continue ini tak terbilang darah dan 
airmata mengucur di atasnya. Tak tertakar jumlah nama dan peristiwa tetera.  
Juga kekalahan dan kemenangan, kegagalan dan keberhasilan. Kejatuhan dan 
kebangkitan. Kemudian menjelma jadi parit-parit dahi dan atau warna rambut yang 
memutih atau merontok. Sejenak memandang ke belakang, dengan sisa daya yang 
ada, barangkali kita bisa tersenyum dengan segala nostalgia sonder dendam atau 
menertawakan diri mengingat kebodohan-kebodohan yang telah dilakukan sementara 
kaki mengajak kita menyusur jalande la vie continue.
   
   
  Perasaan beginilah yang kudapatkan saban kali berjumpa kembali dengan 
teman-teman seperti GM, Arief Budiman, Sorri Siregar, Rendra dan lain-lain, 
terutama mereka dari kelompok yang kusebut Kelompok Republik Bringharjo 
Yogyakarta -- kota di mana aku melewatkan masa remajaku di tengah rupa-rupa 
pergolakan. 
   
   
  Kelompok Republik Bringharjo adalah sebuah kelompok tak berbentuk dari para 
sastrawan-seniman dengan berbagai pandangan. Di sini berdiskusi leluasa dengan 
pandangan masing-masing secara leluasa tentang sastra-seni. Diskusi yang 
kemudian tidak jarang menelorkan artikel-artikel, dan rupa-rupa karya bahkan 
sanggar. Ketika munculnya Manifes Kebudayaan warga Republik Bringharjo 
terbelah oleh sikap berbeda-beda menanggapi Manifes ini. Hanya saja hubungan 
pertemanan di antara mereka saja sangat kuat. Mereka masih saja saling 
menghormati dan menyayangi. 
   
   
  Pada suatu tahun, di TIM Jakarta diselenggarakan peringatan lahirnya Manifes 
Kebudayaan. Aku baru saja mendarat di Jakarta dari perjalanan ke Papua. 
Mendengar adanya berita ini, dari bandara Soekarno-Hatta, aku langsung ke TIM, 
di mana aku berjumpa dengan teman-teman lama. Mereka mengeremuniku hangat 
dengan pertanyaan bertubi, antara lain: Kau masih hidup. Ini penting dan kau 
pasti terus menulis.  Aku merasa terharu oleh sikap dan pertanyaan-pertanyaan 
mereka. Perkawanan kami tidak diluluhkan oleh Tragedi, rupa-rupa peristiwa dan 
waktu. Tidak berprinsipkah sikapku ini? Aku tetap berpendapat mengapa  
perkawanan dihancurkan oleh perbedaaan pandangan? Sementara waktu sering 
mengajak orang untuk belajar dan berobah? Siapa pun berobah. Tidak berobah pun 
adalah hak masing-masing dan mengapa tidak bisa hidup dan berkawan dengan 
perbedaan? Perbedaan sering jadi kaca diri dan guru yang baik. Melengkapi diri 
sendiri. Engagement [keberpihakan] adalah pilihan masing-masing, sesuai
 dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman masing-masing. 
   
   
  Dengan sikap begini pula, maka Arifin C. Noor pernah datang ke Paris dan 
secara khusus mencariku di Koperasi Restoran Indonesia, sampai buka puasa di 
Restoran. Tentu saja aku dan Arifin yang sama-sama pernah berada di satu grup 
teater di Yogya, selain berbicara tentang masa silam , juga tentang filemnya 
G30S/PKI.  Seperti sering kuungkapkan, ternyata Arifin menyesal dengan filem 
ini yang dipandangnya bukan lagi dirinya. Dan ia sama sekali tak pernah menduga 
bahwa filem ini akan menjadi filem tontotan wajib selama sekian dasawarsa. Ia 
memintaku agar jangan melakukan kritik terbuka, karena teman-teman dekatnya 
sudah banyak mengkritiknya secara tertulis dan langsung yang membuatnya stres. 
Aku hanya mengatakan kepadanya:Kau sudah naik punggung harimau lalu tidak bisa 
turun lagi. 
   
   
  Kunjungan Arifin yang khusus mencariku, kupahami sebagai tanda persahabatan 
antara kami masih terjaga. Waktu ia meninggal, aku berada di tengah-tengah 
Kalimantan. Tak kusembunyikan bahwa aku merasa sedih dengan kepergiannya. Sama 
sedihnya dengan kepergian Mbak Soenarti Soewandi, penyanyi terkemuka dari Yoyga 
yang meninggal hampir berbarengan dengan Arifin.
   
   
  Perasaan ini kuketengahkan pada GM semacam curhat dan mau menunjukkan bahwa 
mendukung Manifes Kebudayaan dan prinsip berkesenian Lekra sebenarnya bukan 
garis pemisah kekal di antara para sastrawan-seniman. Akan sungguh menarik, 
jika mereka bisa duduk di hadapan satu meja, dengan santai memandang ulang 
dengan kejujuran baru dan perkembangan diri mereka yang sekarang, ketika usia 
makin senja. Barangkali ada gunanya. Dan aku membayangkan jika 

[ac-i] jurnal sairara: seandainya

2008-05-01 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  SEANDAINYA 
   
   
  Hari itu  25 April 2008 malam. Sepulang kerja menguli di Koperasi Restoran 
Indonesia Paris,  yang juga merupakan sejenis pusat kegiatan kebudayaan 
Indonesia di ibukota Perancis ini, seperti biasa aku segera membuka laptop 
sederhanaku. Melalui alat inilah aku mengikuti perkembangan tanahair dan dunia 
serta berhubungan dengan teman-teman di 16 penjuru. Dibandingkan dengan 
beberapa dasawarsa silam, adanya komputer sangat membantuku dalam mengurangi 
beaya korespondensi yang tadinya kulakukan menggunakan jasa telkom. Di samping 
itu, komunikasi pun menjadi sangat cepat. Oleh kemajuan tekhnologi begini, aku 
rasakan benar seperti sering dikatakan bahwa dunia menjadi sebuah desa kecil, 
keadaan yang memperlihatkan potensi positif manusia yang seakan berbataskan 
pantai keempat jika menggunakan ungkapan Chairil Anwar.
   
   
  Di antara sekian surat yang masuk  ke kotak suratku, kudapatkan surat pendek 
dari Lily Yulianti, penulis kucerpen Makkunrai [bahasa Bugis yang berarti 
Perempuan], yang sekarang bekerja di Jepang. Ly, demikian biasa ia dipanggil 
oleh teman-temannya,  dalam surat pendeknya antara lain berkabar:
   
   
  Saya ada kabar baik nih. Salzburg Global Seminar mengundang saya menjadi 
pembicara dalam seminar tahunannya bulan Juni mendatang. Saya berpikir, 
barangkali ada baiknya saya mampir di Paris (bila jadwalnya memungkinkan), 
untuk memperkenalkan Sastra dari Makassar di Restoran Indonesia dan sekaligus 
berkenalan dengan Bu Johanna*].
   
   
  Sungguh-sungguh, ini adalah sebuah berita baik dan menggembirakan. Apabila 
pada Maret-April 2008, penyair M.Aan Mansyur melakukan Tour de Java Sastra 
Makassar, maka seandainya Lily Yulianty bisa ke Paris dan membicarakan  
Sastra Makassar dalam konteks konsep sastra-seni kepulauan, kukira acara 
demikian akan mengkonsolidasi dan memperluas jaringan yang dicapai melalui 
Tour de Java Sastra Makassar.  Perluasan kerjasama jaringan dalam dan luar 
negeri, kukira akan sangat mendorong pengembangan sastra-seni kepulauan. 
Jaringan internasional, semacam bentuk diplomasi kebudayaan,  akan sangat 
terbantu jika berangkat dari basis kekuatan di dalam negeri. Dan basis 
sastra-seni  dalam negeri ini sekarang kukira sudah ada. Sudah terdapat di 
berbagai daerah dan pulau. Seandainya Lily Yulianti [selanjutnya kusingkat 
Lily] bisa hadir di Paris untuk berbicara di suatu acara sastra, maka 
kesempatan ini bisa digunakan bukan hanya memperkenalkan sastra-seni di 
Makassar, tapi juga
 perkembangan sastra-seni di berbagai daerah dan pulau di luar sentra-sentra 
kegiatan tradisional. Hal ini akan merupakan pemberitahuan ke dunia 
internasional bahwa kehidupan sastra-seni Indonesia baik yang berbahasa lokal 
atau pun berbahasa Indonesia, tidak hanya terdapat di Jakarta, Yogyakarta dan  
Bandung atau sentra-sentra tradisional yang dikenal. Indonesia tidak sebatas 
sentra-sentra tersebut. Esok Indonesia yang republiken dan berkeindonesiaan,  
justru terdapat dengan terujudnya sastra-seni kepulauan. Sastra-seni kepulauan 
merupakan dasar perekat budaya ber-repulik dan berkeindonesiaan yang dibina 
dari bawah. Sastra-seni kepulauan adalah sastra-seni dengan pusat yang majemuk. 
Majemuk juga dalam bentuk dan standar nilai.  
   
   
  Jaringan internasional berbasiskan kekuatan basis lokal sangat mungkin. 
Pertanyaannya: Seberapa jauh usaha ke arah ini telah dilakukan secara 
berprakarsa. Basis sastra-seni pulau dan daerah akan mempunyai daya paksa pada 
kata. Suatu kehadiran yang tak terabaikan oleh siapa pun. Penggalangan jaringan 
internasional akan sangat menopang pengembangannya. Penggalangan jaringan 
internasional secara aktif berprakarsa akan jauh lebih kongkret makna dan 
dampaknya daripada cemburu yang lebih memperlihatkan ketidakberdayaan  dan 
merengek pengakuan. Kerja, karya, kekuatan nyata, merupakan bahasa paling 
efektif. Merupakan proklamasi eksistensi dan mempunyai daya paksa untuk 
didengar, diindahkan serta merupakan jalan perkembangan tak terbendung. 
Sastra-seni kepulauan adalah suatu politik sastra-seni yang republiken dan 
berkeindonesia. Nama tak usah diminta dan diproklamasikan. Kerja, karya adalah 
ujud proklamasi sastrawan dan seniman. Pengakuan siapa pun adalah salah satu 
dampak
 langsung dari kerja dan karya. 
   
   
  Mungkinkah pulau-pulau dan daerah dengan basis sastra-seni seperti sekarang 
mengembangkan jaringan internasionalnya?
   
   
  Mengapa tidak? Sangat mungkin. Sekali pertanyaannya: Seberapa jauh sudah hal 
ini dilakukan?   Dari mana patner di mancanegara tahu adanya sastra-seni 
kepulauan dan daerah, jika tidak ada keaktifan memperkenalkan keadaan 
sastra-seni Indonesia yang baru. Keadaan saastra-seni Indonesia hari ini? 
   
   
  Berorganisasi, mempunyai program berkesenian, kontrol rencana, kukira akan 
sangat membantu sastrawan-seniman pulau dan daerah menggalang jaringan 
internasional. Dengan adanya komunitas, organisasi, mereka akan lebih berdaya 
dan akan lebih 

[ac-i] oasis

2008-04-28 Terurut Topik sangumang kusni
 OASIS  
   
  tandus padang 
  di sini berhenti  
  di oasis 
  kasihsayang
   
   
  airmata
  darah luka
  keringat laga
  bening di air telaga
   
   
  tandus gurun 
  hijau di dedaunan oasis 
  sehijau harap
  di cahya matahari
   
   
  hidup 
  adakah hidup  tanpa harapan
  adakah hidup bebas kenangan 
  adakah hidup tanpa mimpi
  adakah hidup tanpa tarungan?
   
   
  kasih sayang 
  oasis gurun duka
  -- di bekas jejak
  tertera 
  epitaf luka
   
   
  hijau oasis
  sehijau harap
  sepasti matahari di atasnya
  ajal membayang 
  ditanggap makna
   
   
  2008
   
   
   
  SEBELUM MELAMBAIKAN SAPUTANGAN
   
   
  seperti menghitung jumlah jari
  kuhitung siang dan malam
  kuhitung bulan dan matahari 
  silih berganti bersarang di atap katedral 
  taman abbesses* amat kukenal
   
   
  orang-orang bilang 
  perjalananku berliku 
  mencengangkan 
  sangat panjang 
  di parit-parit dahi
  kisahnya tertera 
   
   
  kukatakan bahwa sesungguhnya
   aku baru beberapa depa dari dermaga 
  belum benar sampai ke laut 
  asin anginnya pun belum terbau
   
   
  karenanya seperti menghitung jumlah jari
  aku selalu menghitung kapan senja ditelan hulu
  lalu menelaah kembali peta perjalanan 
  sebelum lambaikan saputangan dari pelabuhan
   
   
  ajal dan cintaku 
  sama pastinya
  sama kerasnya 
  memberi degup 
  pada jantungku
   
   
  2008
  ---
  JJ. Kusni
   
   
  Keterangan:
  *Taman Abbesses, sebuah taman di kampung seniman di ketinggian Montmartre, 
Paris. Di sini saya tinggal sejak puluhan tahun.


   
-
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[ac-i] makkunrai

2008-04-26 Terurut Topik sangumang kusni
MONOLOG
   
   
  1.
   
  aku sedang di kamar rias, sayang 
  siap pentaskan monolog  makkunrai 
  membangkitkan perempuan yang jatuh 
  kembang-kembang terkulai
   
   
  dari panggung monolog kutabur mantra
  membangun fondamen baru dari kata 
  di  jiwa-jiwa yang remuk 
  demi utuhnya langit 
  perempuan bisa jadi pemenang
   
   
  2.
   
  dari panggung monolog
  kurentangkan dialog
  jembatan pelangi
  menyatukan tebing-tebing
  hati yang bisu  
  hilang harapan
  pada surya
   
   
  3.
   
  tentu saja
  cinta 
  tentu saja
  bukan pentas 
  bukan permainan 
  petunjukan tunggal
  aktris-aktor monolog
   
  cinta itu semacam kesanggupan 
  musim semi meraih matahari
   
   
  4.
   
  aku sedang di kamar rias, sayang
  siap melaga merebut menang
  perempuan sanggup jadi pemenang
   
   
  5.
   
  perempuan
  nona 
  nionya 
  dan puan-puan
  kaliankah kijang buruan
   
   
  makkunrai- kah itu yang 
  menggelepar dijaring pemburu?
  meraung menjerit 
  dicekik nestapa
  meratap candra?
   
   
  makkunrai
  makkunrai pun
  anak bumi
   
  anak bumi!
   
   
  6.
   
  makkunrai bukan nasib 
  makkunrai bukan takdir
  makkunrai ibuku kekasih
  gantungan esok
   
  aku mencintaimu
   
   
  7.
   
  monolog 
  awal sadar bertarung
  di galaksi mimpi
  memburu arti
  dan diri
   
   
  2008.
   
   
   
  MAKKUNRAI PENYANGGA LANGIT
   
   
  makkunrai*
  akulah makkunrai
  perempuan yang bangkit
  bersama lelaki enambelas penjuru 
  menyangga separo langit
   
   
  tajam mataku kau tatap 
  matamu kutatap tajam 
  mukkunrai! aku
  makkunrai zaman ini 
  perempuan bukan buruan lelaki
  sasaran kejantanan jalang
   
   
  makkunrai
  jangan tunduk
  makkunrai
  sambut tantangan badai
   
   
  makkunrai 
  adalah seruan berlaga dari langit 
  dari laut dan gunung 
  dari rimba-belantara
  dari hati perempuan
   
   
  kembalikan manusia ke bumi.
   
   
  2008
  ---
  JJ. Kusni
   
  Keterangan:
  * Makkunrai , istilah yang saya pinjam dari judul kucerpen Lily Yulianti, 
terbitan Nala Cipta Litera, Makassar, 2008. 

   
-

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[ac-i] jurnal sairara: hari itu kami berjumpa kembali [1]

2008-04-20 Terurut Topik sangumang kusni
JURNAL SAIRARA:
   
   
   
  HARI ITU KAMI BERJUMPA KEMBALI
   
  -Kisah-kisah kecil berjumpa dengan Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuncak di 
Koperasi Restoran Indonesia Paris, 10 April 2008.
   
   
  1.
   
   
  Siang. Tanggal  09 April 2008,  telpon tetap di meja tulisku  berdering. Dari 
ujung yang jauh, Soejoso, penanggungjawab pertama Koperasi Restoran Indonesia 
di Paris memberitahukan bahwa Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuntjak, yang 
sedang berada di Paris atas undangan Lembaga Persahabatan Perancis Indonesia 
Pasar Malam  pada 10 April, berharap untuk bisa mempunyai kesempatan bertemu 
dengan teman-teman klayaban serta teman-teman lain di sekitar Koperasi 
Restoran Indonesia. Merasa permintaan bertemu dari dua penulis terkemuka 
Indonesia begini sebagai suatu penghormatan, dan kecuali  itu Goenawan Mohamad, 
memang syohib lama,  tapi sangat jarang berjumpa,  maka  kepada Soejoso 
langsung kujawab: 
   
   
  Baiklah, Bung, saya pasti datang.  
   
   
  Agar bisa berjumpa lebih awal,  maka aku pun menyempatkan diri untuk datang 
pada tanggal 09 April di acara yang diselenggarakan oleh Pasar Malam khusus 
untuk Goenawan dan Laksmi. Acara sastra Indonesia begini akan digalakkan lagi 
oleh Pasar Malam tahun ini. Pada November 2008, Lembaga Persahabatan 
Perancis-Indonesia ini akan mengundang Sitor Situmorang, Richard O dan Laksmi 
Pamuncak untuk berbicara. Kepada Johanna Lederer selaku Ketua Lembaga 
Persahabatan kukatakan bagaimana agar ia mulai memperhatikan sastrawan-seniman 
dari pulau-pulau lain dan dari daerah. Johanna agaknya memperhatikan saran ini.
   
   
  Yang aku tuturkan di sini terutama pertemuan dengan kedua sastrawan Indonesia 
itu di Koperasi Restoran Indonesia di Paris. Karena, agaknya perbincangan 
santai , bebas antar teman sambil menikmati hidangan makan malam di sini, jauh 
lebih intens dibandingkan dengan pembicaraan di depan publik. Tema pembicaraan 
bisa meloncat dari soal ke soal lain sebebas tupai di pepohonan hutan. Kadang 
disertai dengan lelucon yang melahirkan tawa. Goenawan memang suka bercanda. 
Sense of humor-nya cukup tinggi. 
   
   
  Yang menarik, ia tahu benar fungsi  humor dan menggunakan humor itu untuk 
tujuan-tujuan politik. Apakah, humor begini yang disebut humor bermutu? Orang 
tertawa mendengarnya tapi sambil tertawa orang diajak berpikir dan merenung 
pesan humor itu. Humor bermutu dan berkomitmen beginilah yang pernah Goenawan 
dan teman-temannya gunakan dalam melawan Orde Baru dan militerisme. Jika 
dilihat dari segi ilmu militer, barangkali humor berkomitmen ini semacam perang 
 gerilya yang menggunakan taktik hit and run dalam dunia pemikiran dan 
politik. Ia bisa menyerang lawannya, kapan dan di mana saja ia mau, sedangkan 
yang diserang tak gampang menyerang balik. Dengan cara ini, citra dan kekuatan 
lawan digerogoti.   
   
   
  Analogi humor berpihak dan perang gerilya ini muncul di benakku karena pada 
salah satu tema yang diangkat  oleh Goenawan adalah bagaimana melawan dan 
menghancurkan militerisme dalam keadaan seperti pertarungan antara David dan 
Goliath. Militerisme dan rezim militer, dengan pendekatan keamanan dan 
stabilitas nasional selama tiga dasawarsa lebih telah menabur epidemi 
ketakutan di negeri kita. Pada saat imbangan kekuatan tidak padan, maka 
konfrontrasi frontal hanya akan membawa korban yang tidak perlu pada saat 
korban demikian bisa dihindarkan. Cara inilah yang oleh Mao Zedong dikatakan 
sebagai berani dan pandai berjuang, berani dan pandai menang. Menjadi 
pemenang bukanlah ghal gampang. Seusai perang melawan agresi Amerika Serikat, 
seorang Jendral Viêt Nam pernah mengatakan padaku: Bagiku bertempur di medan 
perang, jauh lebih gampang daripada mengkonsolidasi kemenangan. Dalam 
kemenangan kita gampang tergelincir dan jatuh.  
   
   
  Humor berpihak selain ditujukan menggerogoti dan  menjatuhkan citra lawan 
[baca: militerisme dan otoritarisme] juga berusaha mendorong orang tertawa, 
merenung lalu bertanya: Mengapa saya harus takut. Ketakutan menjadikan kita 
sebagai ikan yang digiring ke bubu kesalahan demi kesalahan. Membuat kita 
hilang prakarsa.  Tidak banyak tokoh berbagai bidang di negeri kita yang 
menggunakan humor berpihak begini sebagai sarana pencerahan dan sarana  
politik.  Dari jumlah yang tidak banyak ini, Gus Dur dan Goenawan termasuk di 
antaranya.
   
   
  Bincang-bincang santai berlanjut di bawah suhu musim bunga Paris yang makin 
terasa sehingga yang hadir tidak merasa terganggu oleh dingin atau panasnya tak 
wajar alat penghangat ruangan. Semua nampak gembira dan antusias, sementara 
pelayanan tamu yang makan malam berlangsung terus di ruangan lain. Pelanggan 
Koperasi Restoran ini sudah biasa melihat suasana begini berlangsung sehingga 
mereka merasa seperti sedang bertandang ke rumah teman.
   
   
  Kedatangan Goenawan ke Koperasi kami kali ini,  bukanlah kedatangan yang 
pertama kali. Ia sudah mengunjungi kami  beberapa kali seperti halnya dengan 
Rendra , Sitor Situmorang, Arifin 

[ac-i] catatan bantimurung: puisi-puisi anak sentani [4]

2008-04-17 Terurut Topik sangumang kusni
Catatan Bantimurung:   
  PUISI-PUISI ANAK SENTANI
   


   
  4.
   
   
  Ciri lain yang menonjol pada puisi-puisi Luna yang juga pemain teater handal, 
pemonolog terbaik yang kukenal jika meminjam penilaian Lily Yulianti penulis 
kucerpen Makkunrai, serta pernah tampil di TIM Jakarta,  terletak pada 
kesederhanaan pengucapannya. Kesederhanaan , umumnya, memang merupakan ciri 
dari warga masyarakat pedalaman dan agraris. Bahkan di Perancis ini, pun 
orang-orang di propinsi lebih sederhana sikap dan pengucapan mereka 
dibandingkan dengan orang-orang di Paris. Paris bukan Perancis, sering 
kudengar ucapan begini ketika saya berbicara dengan orang-orang di propinsi. 
Dengan kesederhaan pengucapan dan perbandingan ini, puisi-puisi Luna , yang 
pada akhir bulan April 2008  ini akan turut tampil mementaskan salah sebuah 
karya Riantiarno di Makassar bersama grup teater Tambora, tidak menjadi puisi 
gelap. Tidak menjadi puisi yang sulit dipahami. Kesederhaan, biasanya 
berhubungan dengan kejujuran pada diri sehingga yang diucapkan, yang ditulis 
terasa
 langsung mengalir dari lubuk hati. Seperti air bening mengalir  dari sumbernya 
di gunung lalu mengarus di sungai mencari muara dan laut. 
   
   
  Sebagai misal saya ambil puisi berikut yang saya ambil dari kumpulan : 
Jalan-jalan Kecil Ke Rumah
   
   
 rumahku di jayapura, papua, terletak di atas bukit. hanya seratus meter 
dari jalan umum di bawahnya.

jalan kecil yang menghubungkan rumah kami dengan jalan umum, Jl. Gunung Agung, 
bukan jenis jalan beraspal yang dihaluskan. Jalan itu berbatu-batu.

  di rumah itu, separuh hidupku dikubur. kusimpan ini disini, karena akhirnya 
aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang. 


 
   
  [Sumber:http://lunavidya.blogspot.com/2007/08/jalan-kecil-ke-rumah.html] 

   
   
  Ciri-ciri kesederhanaan yang kukatakan di atas, terdapat pada puisi Luna ini. 
Dari puisi ini, bayangan kampungnya di Jayapura, Papua terbayang jelas hanya 
melalui beberapa kata. Dan Luna pun mengungkapkan rindunya secara unik: karena 
akhirnya aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu 
petang.
   
   
  Bagi orang yang pernah tinggal di pedalaman, di pinggir sungai atau berada di 
puncak-puncak pegunungan Papua, orang akan segera tahu betapa indahnya 
pemandangan saat matahari akan tenggelam di hulu atau di balik gunung atau 
ketika fajar tiba. 
   
   
  Sedangkan tekhnik pengucapan rindu dilakukan oleh Luna secara unik dan berada 
di luar kejamakan mayoritas puisi dewasa ini yang banyak lahir di daerah urban. 
Tidak heran jika syohib lamaku, budayawan Solo asal Banten, Halim HD mengatakan 
dengan pasti dan berulang-ulang saban jumpa bahwa Sesungguhnya Bung, etnik dan 
daerah merupakan sumber budaya dan kreativitas luar biasa. Sayangnya apa yang 
dikatakan oleh Halim HD ini kurang dilirik oleh sastrawan-seniman kita yang 
asyik dengan Barat saja. Bahkan terkadang budaya etnik dan daerah dipandang 
sebagai hal tradisional dan kadaluwarsa. Padahal apakah nilai yang tertera pada 
pepatah:
   
   
  menepuk air di dulang
  memercik ke muka sendiri
   
  atau:
   
  tangan mencencang bahu memikul
   
   
  itu kadaluwarsa dan sudah tidak tanggap zaman? Apakah konsep hidup-mati 
manusia Dayak dahoeloe: rengan tingang nyanak jata [anak enggang 
putera-puteri naga] itu kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman? Keadaan begini 
selalu mengingatkan saya akan kritik Mao Zedong pada cendekiawan Tiongkok pada 
tahun 1930an: Lebih kenal Yunani Kuno daripada mengenal Tiongkok. Atau yang 
sering kudengar di kalangan keluargaku bahwa kita lebih kenal kanal-kanal di 
Negeri Belanda daripada sungai-sungai di  Kalimantan. Keadaan beginilah yang 
sering kukatakan sebagai keterasingan diri dari kampunghalaman sendiri. 
Kerberadaan di kampunghalaman bukan jaminan kita kenal kampung halaman. Inti 
keadaan begini, barangkali terletak pada pertanyaan: kita berada di mana, apa 
masalah nyata kita, kemudian bagaimana lalu mau ke mana serta jalan apa yang 
ditempuh untuk sampai ke tempat mau ke mana.
   
   
  Sederhana berbeda dengan jual koyok yang hampa isi. Berbeda dengan balagu 
atau balagak hingga menjadi tong kosong nyaring bunyinya. Sederhana itu 
indah tapi tidak sederhana untuk menjadi sederhana, ujar Agam Wispi alm., 
penyair asal Aceh yang hidup-mati dari puisi. Sederhana, kukira menjadi indah 
karena ia menangkap sari masalah yang sering disebut hakekat. Sederhana erat 
dengan kejujujuran. Sederhana memberi sayap pada kata-kata hingga ia memancing 
selaksa tafsir mendekati luasnya ruang galaksi.  Terbukanya ruang bagi selaksa 
tafsir mendekati luas ruang  galaksi barangkali merupakan ciri kekuatan  puisi 
. Cara puisi yang berbicara dengan hati dan otak memberikan kemerdekaan dan 
kebebasan pada pembacanya. Tidakkah ciri-ciri ini yang terdapat pada 
larik-larik Agam Wispi:
   
  pita merah dan matahari
  cinta berdarah sampai mati
   
  atau baris Chairil Anwar:
   
  sekali berarti sudah 

[ac-i] catatan bantimurung: puisi-puisi anak sentani [5--selesai]

2008-04-15 Terurut Topik sangumang kusni
Catatan Bantimurung:   
  PUISI-PUISI ANAK SENTANI
   
   
  5.
   
   
  Maka munculnya Luna Vidya sebagai seniman Papua sungguh menggembirakan dan 
memperkuat tendensi serta gejala ini. Gejala  berkembangnya sasatra-seni 
kepulauan dan daerah, ujud dari bhinneka tunggal ika dalam bidang kebudayaan 
dan kita harapkan berorientasi pada nilai-nilai republiken serta 
berkeindonesiaan.
   
   
  Selain dua ciri di atas, puisi-puisi Luna lebih bersifat liris, mengungkapkan 
pikiran dan perasaannya terhadap kejadian-kejadian yang mengitiarinya dan ia 
alami. Tuturan lukisan ini, rata-rata  memang tidak disertai dengan perenungan 
hakiki. Belum sampai kepada tingkat merenungi apa gerangan hakekat di balik 
kejadian-kejadian itu.  Sampai sekarang, puisi-puisi Luna masih berada di taraf 
permukaan dari segi pemikiran, ketika ia berhadapan dengan peristiwa sebagai 
gejala.  Dan ini tidak menjadi suatu keberatan besar, walau pun ada yang 
berpendapat bahwa penyair yang bekerja menggunakan bahasa  sebagai alat 
sesungguhnya ia pun adalah seorang pemikir.  Sehingga selain ia bisa memberikan 
sumbangan kepada kebudayaan melalui penyempurnaan bahasa,  sang penyair banyak 
diharapkan sumbangannya dari segi gagasan. Sumbangan gagasan tidak mungkin 
diharapkan dari seorang penyair jika sang penyair hanya berkutat dengan dirinya 
tanpa meluaskan lingkup cakrawala penglihatannya serta tanpa
 bertanya apa  gerangan yang terdapat di balik gejala. Penyair tidak pernah 
berkelebihan dalam masyarakat, tapi penyair yang dinantikan oleh masyarakat 
adalah penyair yang merupakan anak zamannya, penyair yang mampu menjadi jiwa 
bangsa dan zamannya. Hal begini tidak mungkin diharapkan dari penyair-penyair 
narsistik dan tipe anak pangeran atau anak raja jika meminjam istilah Paul 
Elouard, penyair Perancis yang juga pejuang anti fasis.  Saya tidak mentabukan 
penyair bicara tentang dirinya, tidak juga mentabukan sastrawan bicara tentang 
seks. Hanya jika kita membaca Sade misalnya Sade yang juga anti fasis 
menggunakan tema seks dalam  konteks menenang nilai dominan pada zamannya 
dengan cara yang paling ekstrim sehigga lahir istilah sadisme yang bermula dari 
nama Sade juga adanya. Hal begini tidak mungkin dilakukan oleh Sade dan siapa 
pun jika tidak mempunyai lingkup horison  pandangan yang luas dan sibuk dengan 
diri sendiri. Pramoedya dan Goenawan Mohamad , misalnya juga
 bicara soal seks. Tapi seks tidak menjadi tema pokok mereka dan ketika 
berbicara tentang seks dua sastrawan ini mengolahnya dengan lingkup cakrawala 
yang luas. Pram intens belajar tentang sejarah Indonesia. Intens memperkaya 
bahasa Indonesia. Sedangkan Goenawan juga melihat kehidupan dengan segala 
seginya. Dengan lingkup pandang yang luas ini, Goenawan memprakarsai berdirinya 
Komite Indonesia Untuk Pengawasan Pemilu yang membuatnya dikejar-kejar serta 
mendirikan AJI. Caping Goenawan di Majalah TEMPO  adalah rangkaian tulisan yang 
memperlihatkan cakupan perhatian Goenawan sebagai penulis.  Pram dan Goenawan 
adalah sastrawan yang sudah sampai pada tingkat sastrawan sadar -- tingkat 
sastrawan yang sumbangan pemikirannya diharapkan oleh masyarakat dan 
kemanusiaan. Sumbangan apakah yang terpenting yang  diharapkan masyarakat dari 
sastrawan selain sumbangan gagasan , pemikiran dan penyempurnaan bahasa yang 
menjadi alat kerjanya dan alat komunikasi dalam hidup bermasyarakat?
 Menjadi penulis, kukira, pertama-tama, bukanlah untuk mengejar nama tapi 
adalah suatu misi manusiawi. Nama adalah hasil kerja dan pengakuan masyarakat 
atas sumbangan. Sedangkan penguasaan tekhnik menulis yang niscaya terus-menerus 
ditingkatkan seiring dengan usaha terus-menerus meningkatkan taraf diri, 
hanyalah sarana bekerja dalam usaha pemanusiawian diri, kehidupan dan 
masyarakat. Makin tinggi taraf tekhnis dan nilai diri, sumbangan manusiawi 
seorang sastrawan akan makin besar.
  Keketersohoran paling tidak  mempunyai dua segi : ketersohoran kosong dan 
ketersohoran bermutu. Ketersohoran hampa agaknya lebih dekat dengan sifat 
gelembung sabun dan busa sungai tak obah seorang manekin memperagakan 
kecantikan dan ketampan wajah serta fisik di depan publik tapi sonder mimpi.   
   
   
  Penyair-penyair sastra lisan yang kudapatkan di daerah-daerah pedalaman 
Kalimantan, sangat menarik perhatianku karena dari karya-karya spontan mereka 
kudapatkan nilai-nilai yang menyimpulkan secara puitis dan sangat komunikatif 
pengalaman kolektif orang sekampung. Mereka tidak berpuisi tidak dari dermaga 
keinginan mengejar nama. Sehingga saya bisa mengerti mengapa Luna, sebagai 
orang pedalaman Papua, enggan menyiarkan puisi-puisinya. Luna berpuisi secara 
instingtif. Tapi apakah Luna sadar bahwa dengan modal instingtif ini ia bisa 
mengembangkan diri sebagai penyair lebih jauh lagi? Luna mempunyai kemampuan 
tekhnis dan kepekaan tajam sehalus permukaan danau  terhadap hembusan angin 
peristiwa demi  peristia selembut apa pun dan tak pernah jeda. Luna mempunyai 
syarat untuk 

[ac-i] catatan bantimurung: puisi-puisi anak setani [3]

2008-04-14 Terurut Topik sangumang kusni
  Catatan Bantimurung:   
  PUISI-PUISI ANAK SENTANI
   
   
  3.
   
   
  Dari puisi-puisi Luna Vidya yang berhasil kukumpulkan, nampak padaku Luna  
hadir dengan memperlihatkan metafora-metafora khas dari seorang penyair yang 
lahir dan besar di tengah alam atau  dalam masyarakat pedesaan yang belum 
tersentuh industiralisasi dan masih hidup dengan alat-alat produksi sederhana.  
 Laut , sungai, gunung, hutan- belantara, sawah dan ladang menjadi teman 
bermain serta menjadi bagian dari kehidupan penyair yang suka menyelam [diving] 
ini.

   
   
  Misalnya pada dua sanjak di bawah ini:
   
Bulir Padi, Bumi Sepi   
  Seperti orang menimba bulir padi ke dalam wadah
Demikian tangan waktu menimbaku

  Seperti orang menimba bulir padi ke dalam wadah hingga menyesak ke sudut
Demikian waktu menyesakkan hadirmu
ke sepi paling murni jiwaku

  Seperti orang menimba padi ke dalam wadah hingga menyesak ke sudut pada waktu 
petang
Demikian bayangmu datang padaku di rembang petang
silau langit tertoreh lalu jatuh hujan ke ladangku
hujan akhir musim , di sepetak ragu berbatas langit
yang terus kutanami meski berbuah pahit

  seperti bulir padi dijauhkan orang dari waktu yang kelam
demikian kuikat mulut malam
tempat kita kusimpan
lalu menunggu
diriku ditanak waktu
musim demi musim
bersendiri
seperti bulir padi
pecah jadi nasi.

   
  2008

  
  
  lunes 17 de marzo de 2008




jala koyak   pada jala yang koyak
mataku
berurai benang waktu
menjahit masa depan jadi kenangan

March 2008
   
   
  Atau puisi-puisi berikut:
   
   
Dua Sajak untuk Dua Kawan   
  : ami
  
di pematang, di antara batang kelapa dan pinang burung terbang ,

  kepiting bermain dengan bayang-bayang,

  biren dan remis yang di gali untuk kesenangan akhir pekan

  dalam kanal-kanal surut di sepanjang purnama terbentang
Di antara kepak sayap, anyir tambak
kubuka telapak tangan diam-diam

  di bawah terik matahari, lalu menutup cengkram kuat sekali di setiap magrib,

  berharap tanganmu ada di sana, menikmati segala ngilu dari kisah tentang masa 
lalu
kisah pinang patah yang perih

  kisah inong aceh.

  bersama. Ah!

  

   
  :matsui-san
  
 
  kukirim puisi ke negeri musim dingin,
angin hembus, di atas hijau sawah, di antara batang kelapa dan pinang
Begini:
aku menitip matahari aceh,

  yang mengeringkan punggung perempuan di sawah,

  punggung yang tak patah oleh rasa takut

  pada bayang hitam yang menyelinap di antara pepohonan kelapa dan pinang.

  
 
  apa kabar yang di bawa musim dingin?

  mungkin seperti kerja keras telah mendidihkan periuk,

  puisi ini cukup untuk mendidihkan sup

  sebelum terhidang di meja makan.
kupikir, di musim seperti ini

  di luar salju terus jatuh,
seperti buah pinang dan kelapa jatuh
di pangkuan perempuan aceh

  yang menimangnya jadi hidup

  sehari, sudah cukup. 


  miércoles 12 de marzo de 2008!penjelasan panjang untuk hi yang pendek   
 
  meski tak pernah saling mengucapkan selamat jalan
seperti laut dan pantai,
kita akan selalu berdampingan
kita akan saling melupakan
  

 
   
   3/12/2008  
  


  martes 11 de marzo de 2008
Kapan telah memanggil belalang pelahap
ke dalam kebun harap
Kenapa mengundang angin panas dari tenggara
Mengobarkan sengsara
di antara tunas dan kelopak. Juga buah muda.

Mereka pasti tak bisa membaca tanda penawaran
yang kuletakkan di jalan depan:

saya mencintaimu. hanya itu.

March 2008
  

 


Mencapai Bulan   
  
Seperti melihat musim tumbuh di ujung pohonan
Putih, hijau terang, merah, di wajah hutan
Kulihat cinta tumbuh di bawah langit telanjang
sulur tanpa penopang
telah mencapai bulan
tanpa warna. Atau hitam?

March 2008 


  viernes 7 de marzo de 2008   
  Manggigil*) 
   
   

Batu di ombak itu,
berdiri di pantai tanpa angin,
memaku mata pada laut yang tak mengalun
sambil mengunyah waktu
dan pada lembah-lembah hari
Duka memanggilnya dari pucuk kering pohonan
jadi helai angin


  Batu ombak itu,
mata bermuara tanya,
Kenapa pilu riang bermain gelombang
Kenapa cinta tak hendak pulang
Ketika laut tak mengantar apa-apa,
Juga angin tak memuat berita?

Batu di ombak itu
adalah bongkah duka
lupa pada namanya,
yang tanya di mata :  Kenapa kelu?
Lalu terbahak-bahak tertawa melihat kepiting bunting
Berendam tenang di sekujur lukanya

pantai berangin, laut mengalun
batu ombak itu
telah menjelma aku
Cadas. Diam. Penuh binatang karang.
Di kedalaman,
adalah ketenangan yang ganjil.
Sedih yang menggigil

*Manggigil = menggigil (Maluku)

March, 2008
  

 


  miércoles 5 de marzo de 2008Yang Tumbuh, Aneh Sungguh   
  Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu
Di bawah palem baru melepas pelepahnya
Semak berdaun semanggi menyisir embun di gerimis pagi.
Selalu menyapa hari seperti ini,
gerimis yang menusukan sepi

Asa lepas seperti hangat tubuh pergi
dalam dingin. Lalu bersendiri
seperti pelepah
kusambut dengan kepala tengadah, ampas perih
Membuka mulut lebar-lebar menelan kecewa yang di tikamkan musim.
Seperti sarapan 

[ac-i] catatan bantimurung: inisiatif sastra dari makassar [1]

2008-03-29 Terurut Topik sangumang kusni
Catatan Bantimurung:
   
   
  INISIATIF SASTRA DARI MAKASSAR
   
   
  1.
   
   
  Kegiatan bersastra di Makassar sering sering kudengar dari syohibku Halim HD, 
budayawan asal Banten yang bolak-balik berada dan tinggal untuk sementara waktu 
di ibukota propinsi Sulawesi Selatan [Sulsel] ini.  Saban ketemu, Halim selalu 
dengan gairah berkisah tentang potensi sastra daerah dan isi kandungannya yang 
belum tergarap penuh. Hal ini bukan hanya terdapat Sulsel tapi juga di 
daerah-daerah seperti Kalimantan Timur misalnya. Tutur Halim sambil memberiku 
contoh-contoh kongkretnya.
   
   
  Apa yang dikatakan oleh Halim HD ini kusaksikan ujudnya dalam sebuah Festival 
sastra-seni internasional  yang berlangsung di Balai Budaya Solo beberapa tahun 
silam. Festival ini turut dimeriahkan oleh pentas oleh grup-grup sastra-seni 
dari berbagai kota seperti Tegal, Pekalongan. Masih tercatat baik di ingatanku, 
bahwa karya-karya orisinal yang dipanggungkan secara isi, berbicara tentang 
kerusakan lingkungan, tentang kehidupan daerah, politik dan ekonomi.  Isi ini 
dituangkan dalam bentuk yang artistik. Menyaksikan pergelaran oleh grup-grup 
dari kota-kota kecil yang pada masa remajaku bisa dikatakan tandus dari 
kegiatan kesenian, ingatanku segera melayang ke tuntutan Lembaga Kebudayaan 
Rakyat [Lekra] kepada para anggotanya. Dalam berkesenian, Lekra menuntut kepada 
para anggotanya agar senantiasa berpatokan pada dua tinggi: tinggi mutu 
ideologi dan tinggi taraf artistiknya. Meluas dan meninggi, memadukan unsur 
baik tradisi dengan kekinian yang revolusioner.   
   
   
  Melalui pertunjukan di Balai Budaya Solo malam Frestival Internasional 
beberapa tahun silam itu, aku melihat bahwa apa yang dituntut oleh Lekra kepada 
para anggotanya di atas telah diterapkan oleh para seniman dari 
komunitas-komunitas sastra-seni daerah. Sekalipun mereka bekerja dan berkaya 
tanpa slogan.Ketika pulang, pikiranku masih terpancang pada apa yang kusaksikan 
di pertunjukkan tersebut. Pikirku, tidak salah-salah juga mengatakan bahwa 
sastrawan-seniman adalah anak zamannya, jurubicara zamannya, nurani bangsa dan 
negerinya. Di bawah tindasan yang betapa pun sengitnya, kadang harus 
mempertaruhkan nyawa, mereka adalah suara nurani yang tak terbungkamkan tak 
obah arus mengalir mencari muara dan laut. Sedangkan suara nurani bangsa dan 
negeri ini, sering berhadapan dengan kebijakan dan sikap penyelenggara negara. 
Suara nurani adalah suara keadilan, mimpi manusiawi anak manusia. Sementara 
kepentingan penyelenggara negara sering bertentangan dengan mimpi manusiawi 
sekali
 pun dengan pun mengatasnamai bangsa dan kemanusiaan. Karena itu sering 
kukatakan bahwa sastra-seni adalah republik berdaulat dan sering berhadapan 
dengan republik politik. Lebih lanjut, aku melihat bahwa sastrawan-seniman pada 
galibnya adalah manusia sadar, manusia yang berwawasan, manusia yang banyak 
tahu, manusua yang berpendiriandan jelas berpihak. Manusia begini oleh 
Pramoedya A. Toer dikatakan seniscayanya berdiri setapak lebih dahulu dari 
orang kebanyakan. Ia bisa berdiri setapak di depan bukan karena zenialitasnya 
tapi karena ia banyak tahu dan tahu lebih dahulu zamannya, demikian ujar 
seorang penulis dari Amerika Serikat.
  Dalam hal ini jadinya ada dua unsur yaitu unsur tingkat kualitas pengetahuan, 
wawawan , pendirian sastrawan-seniman dan kadar pengungkapan diri dlam bentuk 
karya. Yang terakhir ini adalah masalah keterampilan atau skill know how. 
Kerasukan dua kualitas inilah yang disebut oleh Lekra sebagai dua tinggi. 
   
   
  Berangkat dari pandangan ini  dan bahwa sastrawan-seniman adalah warga 
republik berdaulat saastra-seni maka aku sepakat bahwa proses kreatif dalam 
penulisan sastra memang tidak bisa dibingkai oleh batasan-batasan di luar 
sastra.  Yang disentuh oleh inisiatif ini adalah pengorganisasian kerja kreatif 
tersebut, bukan karya  kreatifnya sendiri. 
   
   
  Hanya kesepakatanku ini dibatasi oleh hanya.  Hanya ini bahwa sekali pun 
penulisan sastra memang tidak bisa dibingkai oleh batasan-batasan di luar 
sastra , tapi penulis tidak menutup mata  pada dunia dan kehidupan dan asyik 
dengan diri sendiri, memandang diri sendiri dan keasyikannya sebagai gantang 
penakar kebenaran.  Sikap yang oleh penyair Perancis Paul Eluard disebut 
sebagai sikap anak raja atau pangeran.Tapi benar juga bahwa sikap menutup 
mata ini pun hak sang penulis yang tidak bisa diganggugugat. Sementara pembaca 
yang berdaulat pun berhak menentukan sikap dan memberi angka pada karya-karya 
yang disuguhkan kepada mereka. Kalau penglihatanku benar, sejarah kelahiran 
sastra-seni selain memerlukan kemerdekaan dan kebebasan berpikir dan berkarya, 
sebagai syarat utama, para seniman karya lisan dan tertulis, juga tidak 
terpisah dari masyarakatnya. Karena itu mereka bisa jadi anak zaman dan nurani  
masyarakat zamannya. Membuang bingkai, termasuk bingkai nurani
 manusiawi dalam berkesenian barangkali akan menjadikan karya-karya itu mata 
damak beripuh yang 

[ac-i] jurnal sairara: sekali pun tanpa gubernur

2008-03-24 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  SEKALI PUN TANPA SANG GUBERNUR 
   
   
  Alkisah pada suatu hari, seorang gubernur dari sebuah provinsi Indonesia 
berkunjung ke Paris setelah berada di Negeri Belanda selama beberapa hari. 
Entah dalam rangka apa kedatangan sang gubernur, aku pun sudah lupa. Ketika 
berada di Paris, ia diterima oleh pejabat-pejabat Perancis. Sejak dari Negeri 
Belanda dan selama berada di Paris, sang gubernur disopiri oleh Tambun,  teman 
baikku, yang selain gemar menyopir, juga memang mendapatkan penghasilan dari 
menyopiri tamu-tamu dari Indonesia ketika mereka berkunjung ke Eropa. Sebagai 
sopir dan pemandu berpengalaman, Tambun selalu menyesuaikan penampilan diri 
dengan tamu-tamu yang dia antar. 
   
   
  Kali ini, karena tahu bahwa tamu yang diantarnya adalah seorang pejabat 
bertingkat gubernur, maka Tambun mengenakan kostum lengkap dan formal. 
Berjas-berdasi. Sebelum meninggalkan rumah, ia sudah menyemir sepatu hitamnya 
hingga mengkilat. Menyisir rambut hingga klimis. Tidak lupa memercikkan ke 
tubuhnya sepercik dua minyak wangi buatan Paris. 
   
   
  Sesuai jam yang ditentukan, Tambun membawa mobilnya ke hotel mewah di mana 
sang gubernur dan rombongannya menginap. Tidak berapa lama kemudian, sang 
gubernur bersama rombongannya keluar dari ruang makan. Menemui Tambun.
   
   
  Sudah siapkah?, tanya sang gubernur berbasa-basi kepada Tambun yang sama 
sekali mempunyai kompleks di hadapan siapa pun. Tidak ada rasa rendah diri 
padanya karena ia hidup sebagai seorang sopir. Pekerjaan yang ia sukai. 
   
   
  Waktu berada di Republik Rakyat Tiongkok [RRT], sikap tanpa kompleks ini pun 
sangat menonjol kulihat di kalangan buruh, petani Brigade Produksi atau pun 
Komune Rakyat [sekarang organisasi produksi ini ditiadakan], pembersih toilet 
di hotel-hotel, pekerja restoran, dan lain-lain... Mereka memandang hal ini 
sebagai salah satu bentuk pembagian pekerjaan dalam masyarakat Tiongkok. 
Pejabat-pejabat negara, perusahaan, Komune,  berbagai tingkat pun, tidak 
memandang mereka dengan sebelah mata. Di RRT pada masa aku berada di negeri ini 
lebih dari 7 tahun, aku baru dapatkan adanya seorang pembersih toilet hotel, 
tapi sekaligus menjadi anggota parlemen [Kongres Rakyat Nasional]. Ini adalah 
pandangan terhadap arti kerja -- salah satu nilai dominan di RRT pada waktu aku 
di sana sebagai pekerja yang disebut ahli pada Hsinhua News Agency dengan 
gaji mengalahkan gaji PM Chou Enlai.
   
   
  Sekali pun Tambun besar di Negeri Belanda yang kapitalis dengan dominasi 
nilai sistem masyarakat kapitalis, dan bukan di RRT pada zamanku di sana, 
Tambun sama sekali tidak mempunyai kompleks. Ia menghargai dirinya sendiri dan 
menghargai orang lain secara patut. Sikap begini, di Perancis negeri  yang 
gandrung filsafat,  disebut dengan istilah respecte les autres [menghargai 
orang lain atau menghargai sesama].  Nilai dan sikap yang ditanamkan kepada 
anak sejak dari Play Group. Pandangan dan sikap ini berlanjut pada pandangan 
bahwa  Kemerdekaan individual berhenti pada saat ia menyentuh kepentingan dan 
kemerdekaan orang lain.
   
   
  Apa kita berangkat sekarang, Pak?, tanya Tambun pada sang gubernur yang 
heran melihat bahwa sang gubernur ke acara resmi di musim panas hanya 
menggunakan sandal jepit. Tanpa kostum resmi atau pun formal.  Padahal ia tahu 
benar mata acaranya hari itu. Penampilan sesuai sikon, kukira, termasuk bentuk 
kongkrit respecte les autres, hal yang jika menggunakan perbandingan dalam 
sastra Tiongkok Kuno, sangat ketat dijaga oleh bandit-bandit Liangsan [San, 
berarti gunung. Liangsan berarti  Bukit atau Gunung Liang]. 
   
   
  Tambun yang tak habis keheranan melihat penampilan sang gubernur hanya bisa 
diam dan melakukan pekerjaannya sebagai sopir secara bertanggungjawab dan 
sebaik mungkin. 
   
   
  Mobil Tambun yang membawa sang gubernur meluncur di jalan-jalan Paris yang 
mulus dengan kecepatan tak lebih dari 40 Km/ jam, sesuai dengan ketentuan 
berkendaraan di dalam kota yang mempunyai hari tanpa mobil dan daerah-hijau 
terus-menerus dikembang-luaskan sejak Kelompok berkembang menjadi kekuatan 
politik yang diperhitungkan. Kejiakan ini diundangkan agar jalan raya tidak 
menjadi kuburan penduduk.
   
   
  Sampailah mobil ke kantor pejabat yang dituju. Tambun keluar lebih dahulu 
membuka mobil. Sang gubernur keluar dengan sandal jepitnya dengan rambut 
digerai angin musim panas Paris rata-rata 25°, maksimal yang jarang 30°.
   
   
  Apa yang terjadi pada saat itu?
   
   
  Pejabat Perancis yang menjadi tuan rumah sang gubernur mempersilahkan Tambun 
berjalan di depan. Tambun dengan kostum formalnya dikira oleh tuan rumah adalah 
sang gubernur.
   
   
  Tentu saja, Tambun menolak sambil tertawa geli tak tertahan. Berkata dalam 
bahasa Perancis beraksen Belanda:
   
   
  Bukan saya.Bukan saya, Tuan [Ce n'est pas moi. Ce n'est pas moi, Monsieur].
   
   
  Sadar akan kekeliruannya, tuan rumah langsung minta maaf dan mempersilahkan 
sang gubernur dan sandal 

[ac-i] jurnal sairara: menju sarawak [11--selesai]

2008-03-06 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
   
  MENUJU SARAWAK [11]
   
   
  Secara keinginan, aku memang ingin menyusup juah  dan lebih jauh lagi, jauh 
hingga sampai ke pedalaman Sarawak,  yang seperti sudah kukatakan di atas,  
telah kukenal namanya dalam lagu-lagi yang dilarang Belanda seperti Borneo 
Tanahairku. Aku ingin mengenal dengan baik dan rinci keadaan serta budaya 
semua bagian Borneo dan pulau-pulau tanah kelahiranku sehingga aku mengerti apa 
arti kebhinnekaan tanahair. Tidak asing di negeri sendiri , sekali pun fisik 
berada di tengah-tengahnya. Untuk mengenal pulau, maka Tjilik Riwut, yang 
kebetulan adalah pamanku, ketika melancarkan perang gerilya melawan Belanda 
untuk mengibarkan sang saka di Kalimantan, telah berjalan kaki ke Kalimantan 
Utara [Sarawak dan Sabah] guna mengenal Kalimantan secara langsung. Barangkali 
melalui kunjungan berkali-kali ke Utara inilah kemudian yang menjadi sangkan 
paran adanya orang-orang Iban, Dayak dari Sarawak, dalam Angkatan Udara 
Republik Indonesia  [AURI].
   
   
  Selama ini aku lebih banyak ke muara daripada ke hulu sungai. Lebih banyak ke 
laut daripada ke gunung. Sebab aku masih ingat nasehat:Melihat sekali jauh 
lebih baik dari pengetahuan buku. Walau pun nasehat ini kukira masih berat 
sebelah. Melihat adalah membandingkan. Membandingkan bacaan dengan kenyataan 
dan perkembangannya. Sebab bisa saja apa yang terdapat di buku, selain banyak 
celah-celahnya, bahkan kesalahan,  juga sangat rentan akan keadaan yang tak 
henti berkembang. Membaca buku, laporan, dokumen, sejarah,  dan sebagainya 
mengenai suatu daerah yang akan didatangi, kemudian kurasakan sebagai suatu hal 
yang sangat  perlu. Apalagi jika perjalanan dianggap sebagai kesempatan 
belajar, membanding bersangukan soal-soal dari negeri sendiri. Sangu dialog 
dengan budaya lain, jika meminjam pendapat filosof Perancis Paul Ricoeur.
   
   
  Bacaan sebelum datang memberi kepada pengunjung sebuah peta garis besar 
tentang berbagai keadaan sehingga ketika tiba, kita tidak seperti rusa masuk 
kampung. Bacaaan sebelum tiba ke suatu tempat agaknya tak obah sejenis  
mercusuar bagi kapal menuju dermaga. 
   
   
  Keinginan memperpanjang kunjungan ke Sarawak, tidak bisa kuujudkan. Acara 
besar tentang Dayak oleh orang Dayak di Palangka Raya segera berlangsung dan 
sangat ingin kuhadiri walau pun sebagai pendengar yang duduk di deretan kursi 
paling belakang. Aku pun segera mencari tiket  bus untuk kembali  ke Pontianak. 
   
  Sudah penuh, Pak , ujar pejual tiket.
   
  Besok, lusa, esoknya dan esoknya lagi sudah penuh semua, lanjutnya. Aku 
hanya bisa terdiam. Berpikir mencari jalan keluar yang lain. Aku tidak mau 
menunggu dan tidak pula mau tergantung pada jalan tunggal.
   
   
  Akhirnya aku mendapat tiket pesawat Malaysia Air Service [MAS] ke Pontianak. 
Sopir taksi yang mengantarku ke bandara adalah Kuching asal etnik Tionghoa. 
Agaknya ia baru menjemput anak lelakinya lepas sekolah. Kami berbicara bahasa 
Tionghoa dan Inggris. Anaknya memanggil aku dengan panggilan uncle. Kami 
berbicara hulu-hilir termasuk keadaan keluarga sopir itu sendiri seakan kami 
sudah lama berkenalan. Sopir dan anaknya mengantarku hingga ke pintu check-in 
bandara. Sebelum melanjutkan langkah, kucium pipi anak sopir itu yang 
menjawabku dengan suara bocahnya: Cai cien Xuxu. Goodbye Uncle.
   
   
  Sebelum masuk pesawat MAS, aku mondar-mandir dari toko ke toko. Yang sangat 
menarik perhatianku bahwa toko-toko di bandara ini dimeriahi oleh barang-barang 
suvenir Dayak dan dijaga oleh orang-orang Dayak. Aku tidak tahu, apakah 
modalnya juga modal orang Dayak. Tapi  mengingat posisi orang Dayak di Sarawak 
yang cukup berpengaruh, termasuk di dunia politik,  hal demikian kukira 
bukanlah tidak mungkin dan bukan mustahil. Jika benar dugaanku, maka kenyataan 
ini membantah anggapan bahwa orang Dayak itu tidak mampu berwiraswasta. Yang 
menjadi pertanyaan dalam hatiku: Apakah benar manusia Dayak Sarawak sudah bisa 
keluar dari kungkungan anak alam yang manja pada periode betang [long house] 
dan hutan tropis pulau belum ganas dibabat? Eksploatasi hutan tropis secara 
ganas dan buas telah menggoncangkan jiwa putera-puteri alam yang tadinya ramah 
memanjakan. Olehnya kehidupan menjadi garang dan ganas pula dan tidak sedikit 
anak alam yang kehilangan dirinya.
   
   
  Bandara sebagai pintu gerbang memasuki Sarawak. Adanya dominasi Dayak di 
bandara seakan-akan mau mengatakan bahwa Dayak merupakan salah satu identitas 
Sarawak. Sebagai kenang-kenangan, aku membeli patung enggang [hornbill] dari 
kayu.  Hal ini tidak kudapatkan di Sepinggan, Balikpapan. Tidak juga di 
Supadio, Pontianak, bahkan juga tidak di bandara Tjilik Riwut,  Palangka Raya, 
Kalimantan Tengah. 
   
   
  Kuching seperti halnya Yogyakarta, melalui bandara sudah menyambut para tamu 
dengan berkata: Inilah aku. Inilah identitasku.
   
   
  Baru selesai secangkir kecil kopi yang dihidangkan oleh pramugari-pramugari 
Melayu pesawat MAS yang penuh penumpang, 

[ac-i] jurnal sairara: sekali lagi kasus bersihar lubis

2008-03-06 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  SEKALI LAGI TENTANG KASUS BERSIHAR LUBIS
   
   
  Kasus Bersihar Lubis, menarik perhatianku dan kucoba ikuti  dengan sesaksama 
bisa. Hal ini bukan saja didorong oleh rasa solidaritas dari seorang yang 
mencintai jurnalisme dan sastra-seni kepada seorang jurnalis dan penulis, tapi 
juga tulisan yang dipermasalahkan oleh Pengadilan Negeri, sejarahnya berkaitan 
dengan laporanku ke Majalah Medium, Jakarta yang waktu itu dipimpin oleh 
Bersihar. Waktu bekerja di Indonesia, aku merasakan langsung bagaimana rasanya 
dilarang bicara di depan publik, dilarang memberikan makalah, dilarang menulis. 
Aku merasakan sakitnya hak berbicara mengungkapkan pendapat diberangus, walau 
pun aku tidak sempat diseret ke depan Pengadilan seperti syohibku Bersihar.
   
   
Bulan lalu, Besihar Lubis divonis satu bulan penjara di Pengadilan Negeri 
Depok, Jawa Barat, dan dipersalahkan karena dianggap menghina instansi 
kejaksaan. Bersihar dijerat dengan pasal penghinaan itu akibat tulisannya di 
kolom “Pendapat” di Koran Tempo.  Hal seperti Kasus Bersihar ini pun pernah 
terjadi pada zaman Abdurahman Saleh memimpin kejaksaan.  Ketika itu kejaksaan 
tersinggung  ketika disebut kampung maling.
   
   
  Kasus Bersihar akhirnya sampai ke forum Rapat Komisi Hukum DPR.  Di depan 
forum ini Jaksa Agung Hendarman Supandji mengakui perlunya evaluasi dalam kasus 
Bersihar Lubis. Saya kira perlu (evaluasi), apakah pers bisa dipersalahkan 
dalam setiap tulisannya, katanya di depan rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR, 
Rabu malam (5/3).



   
  Pernyataan Hendarman itu keluar menanggapi ungkapan keprihatinan seorang 
anggota Komisi Hukum, Benny K Harman, terhadap kasus yang menimpa seorang 
jurnalis yang dihukum karena mengekspresikan pendapatnya.  
   

   
  Aku sendiri memandang pernyata Hendarman di atas sangat tidak seksama dalam 
menggunakan kata-kata dan merangkaikannya jadi kalimat. Pertanyaan Hendarman 
[] apakah pers bisa dipersalahkan dalam setiap tulisannya adalah sebuah 
pertanyaan yang sama sekali tidak mengena. Jika memang demikian yang 
dimaksudkan oleh Hendarman, maka dalam benak Hendarman, paling tidak tadinya 
pers harus diberangus. Mengapa? Alasanku: jika semua tulisan maka pers cetak 
akan keluar sebagai lembaran kertas kosong saja. Paling-paling yang tersisa 
adalah nama koran atau majalah. Sangat mengheran bahwa seorang pejabat tinggi 
yudikatif bisa menggunakan kata-kata dan kalimat yang tidak cermat padahal di 
dunia hukum setiap kata mempunyai makna dan dampak. Di Perancis, untuk menjadi 
ahli hukum, hal yang dituntut benar dari para kandidat adalah penguasaan bahasa 
Perancis. Oleh ketidakcermatan menggunakan kata ini pula maka Parlemen Perancis 
di masa Presiden Chirac, sempat geger dan para anggota
 Parlemdomnien dari Partai Sosialis [PS] dan golongan kiri lainnya meninggalkan 
sidang karena PM Dominique Villepine mengatakan kritik sekretaris jendral PS, 
François Holland sebagai indigne [tidak bermartabat]. Villepine akhirnya 
secara terbuka menyampaikan maaf dan menarik kata-katanya. Yang menarik juga 
adalah kejadian bahwa Parlemen Perancis pernah meminta keterangan seorang hakim 
mengenai keputusannnya yang dianggap keliru.Sehingga nampak pada waktu hakim 
diadili oleh Parlemen. Acara ini disiarkan melalui seluruh terusan tivi dan 
radio. Tentu saja hal begini belum mungkin terjadi di Indonesia. Bahwa hakim 
dan kejaksaaan pun dikontrol ketat oleh lembaga eksektif dan pers. Hal ini 
nampak dari Kasus Bersihar. Dalam tulisan di kolom opini  Bersihar tidak 
mengajukan pendapatnya, tapi melaporkan pendapat orang. Kongkretnya pendapat 
Joesoef Isak dari Hasta Mitra di Hari Sastra Indonesia November 2004 di Paris. 
Sungguh membahayakan kehidupan pers di negeri ini jika membuat
 laporan seadanya saja dilarang. 
   
   
   
  Kataevaluasi yang digunakan Jaksa Agung Hendarman Supanji, jauh lebih 
persis daripada  apakah spers bisa dipersalahkan  dalam setiap tulisannya. 
Aku membedakan kata evaluasi dengan re-evaluasi. Andaikan aku seorang 
anggota DPR, aku akan kejar pernyataan Hendarman ini. Tentu saja penggunaan 
kata evaluasi dan bukan re-evaluasi ini digunakan oleh Hendarman dengan 
menghitung keadaan intern Kejagung.  Sebab jika menggunakan kata re-evaluasi 
maka ia secara tegas menyatakan keputusan Pengadilan Negeri Depok sebagai 
salah. Semangat korps agaknya ia perhitungkan sekali pun mempertaruhkan citra 
Pengadilan Negeri. Mempertaruhkan rasa keadilan dan nilai-nilai republiken. 
Bayangkan saja bagaimana wajah dan citra Pengadilan Negeri jika keadilan dan 
kebenaran diadili sebagai bersalah.
   
   
  Menurut Benny, tindakan yang dilakukan kejaksaan terhadap Bersihar Lubis 
adalah sebuah kemunduran di era kebebasan aspirasi. Kejaksaan tidak toleran 
dengan kritik sosial, katanya. Lagi pula itu hanya opini.”
   
   
  Toleran adalah sikap berlapang dada, membuka telinga dan mata terhadap 
kritik. Memberi tempat pada kebenaran orang lain. Dari praktek selama ini 

[ac-i] catatan bantimurung: di balik air terjun bantimurung

2008-03-05 Terurut Topik sangumang kusni
Catatan Bantimurung :
   
   
   
  DI BALIK AIR TERJUN BANTIMURUNG
   
   
   
  Memandang air terjun Bantimurung aku jadi teringat akan Kahar Muzakar. Ia 
adalah sahabat seperjuangan Tjilik Riwut,  pamanku sama-sama di Lasykar Anak 
Seberang waktu perjuangan melawan kolonialisme Belanda, selama di Yogyakarta. 
Sebagai anggota Lasykar Anak Seberang ini jugalah Tjilik Riwut atas perintah 
Presiden Soekarno, Jendral Soedirman dan Suryadarma, memimpin pasukan payung 
pertama AURI untuk didrop di Kalimantan dengan tugas mengibarkan merah putih di 
pulau raya ini. Anggota-anggotanya terdiri dari berbagai etnik [Dituturkan 
ulang oleh puteri Tjilik Riwut, Nila Suseno Riwut,  berdasarkan dokumen-dokumen 
ayahnya yang tersimpan]. 
   
   
  Mengapa kenanganku mencapai Kahar Muzakar ketika melihat air terjun 
Bantimurung? Yang sampai ke telingaku ketika masih kanak di Katingan, dan 
Tjilik Riwut masih menjadi Bupati Kotawaringin Timur berkedudukan di Sampit, 
diceritakan bahwa Kahar membangun tempat persembunyiannya dalam memimpin 
pemberontakan terhadap Jakarta, di balik airterjun begini. Entah benar atau 
tidak, sulit kudapatkan bukti-buktinya. Tapi sebagai seorang militer yang 
menggadaikan nyawa dalam perjuangan memerdekakan Indonesia dan mendirikan 
Republik,  walau pun tidak berpendidikan Akademi Militer seperti Breda atau 
West Point,  pengalaman, kukira, membuat Kahar sangat mengerti bagaimana 
melindungi diri,  dan tidak gampang dideteksi dan disasar lawan. Tahu memilih 
medan membangun bastion dan daerah operasi. Kahar kecewa terhadap kebijakan 
pemerintah Republik Indonesia[RI], terutama kebijakan Hatta yang memasukkan 
orang-orang KNIL ke dalam TNI.KNIL yang justru merupakan alat kolonial menindas 
perjuangan
 memerdekaan Indonesia dan mendirikan RI dengan dalih profesionalisme. Kahar 
hanyalah anggota lasykar tapi dengan mempertaruhkan nyawa menegakkan dan 
membela RI. 
   
   
  Kekewaan besar inilah yang membuatnya masuk hutan melakukan perlawanan 
terhadap RI dan memproklamirkan Negara Islam Indonesia [NII]. Aku masih ragu, 
apakah pencantuman Islam pada NII, memang merupakan suatu kesadaran pada 
Kahar ataukah suatu taktik? Yang jelas dengan peneraan kata Indonesia, aku 
melihat kecintaan dan kesadaran Kahar pada dan terhadap Indonesia masih sangat 
kental. Pemberontakan Kahar, hanya memperlihatkan padaku bahwa sumber masalah 
dan konflik di daerah sesungguhnya terdapat di Jakarta, bukan di daerah. Apa 
yang terjadi di daerah hanyalah jawaban daerah terhadap politik dan 
kebijakanJakarta yang menabur ketidakadilan di daerah. Yang menabur angin akan 
menuai badai, ujar ungkapan Tiongkok Kuno.Menepuk air di dulang, tepercik ke 
muka sendiri, ujar tetua kita.
   
   
  Dari sumber yang dekat, kudengar bahwa Kahar pernah mengirim utusan untuk 
menemui Tjilik Riwut di Kalteng melancarkan pemberontakan juga, sekaligus 
bersolider pada perlawanannya. Tjilik Riwut menolak dan Kahar marah serta 
kecewa, lalu mengirim pasukan menyerang Pagatan, sebuah kota  kecil terletak di 
muara Sungai Katingan. Dalam serangan dari laut ini, dua orang polisi Pagatan 
meninggal.
   
   
  Penolakan Tjilik Riwut, dan juga pemberontakan Kahar, jika kurenungi, 
kedua-duanya bertolak dari kecintaan pada Republik dan Indonesia. Penolakan dan 
pemberontakan adalah cara berbeda mencapai tujuan: terujudnya nilai-nilai 
republiken dan keindonesiaan di wilayah negra RI -- pilihan nama yang bukan 
kebetulan, tanpa arti. 
   
   
  Soekarno yang nampaknya memahami kemarahan Kahar mencoba mencari jalan 
keluar. Untuk itu dikirimkanlah seorang perempuan pejuang yang juga pernah 
aktif dalam perang gerilya menghalau Belanda, asal Sulawesi Selatan, kebetulan 
anggota PKI, untuk menjumpai Kahar di hutan.Keduanya saling kenal baik sejak 
masa perlawanan. Berhasil. 
   
   
  Aku mengetahui cerita ini dari Clara , puteri perempuan ini, waktu kami 
berjumpa di Beijing, Republik Rakyat Tiongkok. Selanjutnya, aku tidak atau 
belum tahu tenang hasil pertemuan dua sahabat lama ini. Hanya tak lama setelah 
itu, media massa menyiarkan bahwa Kahar tertembak mati dalam suatu operasi 
militer. Hanya saja,  ketika aku bekerja di Palangka Raya, kudengar bahwa 
sebenarnya Kahar tidak meninggal. Ia masih hidup. Kematian adalah cara kompromi 
dan saling menyelamatkan muka untuk menyelesaikan sengketa. Kukira, anak Kahar 
yang masih hidup sampai sekarang, mungkin di Jawa, seperti yang kudengar di 
Jakarta, akan bisa bercerita tentang keadaan sesungguhnya. Hanya aku memahami  
bahwa berita sebenarnya Kahar tidak terbunuh dan bahkan pada waktu itu masih 
hidup, membuat Kahar menjadi legendaris. Kalau benar, Kahar waktu itu tidak 
terbunuh, maka ia menjadi martir imajiner, dan martir menjadi martir karena 
nilai yang dibelanya dan dipegangnya sebagai panji saat melakukan
 pemberontakan. Nilai keadilan inilah yang tidak mati dan martir menjadi suatu 
kekuatan tak terbunuh. Sebagaimana halnya dengan Soekarno setelah jadi martir 
menyusul naik panggungnya Orba. 

[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [10]

2008-03-05 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
   
  MENUJU SARAWAK [10]
   
   
   
   
   
  Dari kedai-kedai  Kuching yang kumasuki, dan dari  jalan-jalan kota yang 
kutelusuri jalan kaki,  aku melihat, entah sadar atau tidak,  adanya keunikan 
yang dikembangkan oleh Sarawak. 
   
   
  Di kedai di mana aku duduk sambil menghirup secangkir kopi seusai makan 
sambil meluruskan kaki yang lelah, aku melihat orang-orang asal etnik Melayu, 
Tionghoa , Dayak dan Tamil sedang duduk sambil merokok dan bercakap-cakap 
santai.  Terkadang kudengar gelak-bahak yang lepas. Mereka kelihatan akrab 
bersahabat.  Kurasakan ada suatu keindahan. Keindahan perdamaian dan kerukunan. 
Keindahan  keragaman. Ia menarik perhatianku saat teringat akan konflik etnik 
yang sering meletus di Indonesia. Konflik yang pernah kualami langsung di tahun 
2000 sehingga rumah kontrakku di Palangka Raya menjadi tempat mengungsi 
mahasiswa-mahasiswa yang asramanya dihancurkan.
   
   
  Tadi dalam perjalanan pulang-pergi dari Museum, aku membaca spanduk-spanduk 
menyambut Pesta Naik Dangau orang Dayak. Menurut orang-orang Dayak yang bekerja 
di hotel, Pesta ini juga dirayakan  juga dirayakan juga oleh mereka yang non 
Dayak seperti warga Sarawak as Melayu, Tionghoa dan Tamil. Paling tidak mereka 
turut menikmati hari Pesta panen padi  ini, jelas pegawai-pegawai hotel sudah 
merasa akrab dengan diriku. Sedangkan dari pihak pemerintah Sarawak, Pesta Naik 
Dangau dijadikan sebagai salah satu hari raya nasional setara dengan  Idulfitri 
dan Tahun Batu Imlek. Tiga etnik ini memang tiga etnik utama di Sarawak 
sedangkan etnik Tamil merupakan etnik minoritas. Luput dari pertaanyaanku, 
apakah hari rayat utama orang Tamil diperlakukan serupa dengan hari raya utama 
ketiga etnik besar di atas. Tapi paling tidak, pemerintah Sarawak nampaknya 
menterapkan politik etnik kesetaraan terhadap etnik-etnik yang ada di Sarawak.
   
   
  Politik etnik kesetaraan ini kembali kusaksikan ketika mengunjung tugu 
pahlawan yang tertelak di sebuah bidang tanah cukup luas. Rapi dan terawat 
baik. 
  Tugu ini terdiri dari beberapa permukaan dan pada masing-masing permukaan 
ditatah wajah, nama dan riwayat singkat pada pahlawan. Yang sangat menarik 
perhatianku bahwa pahlawan-pahlawan Sarawak berasal dari berbagai etnik, 
terutama tiga etnik utama di negara bagian Malaysia Timur ini: Dayak, Melayu 
dan Tionghoa. Kepada anak Dayak yang mengantar, kutanyakan mengapa tidak semua 
permukaan di isi dan dibiarkan kosong?  
   
   
  Bidang-bidang kosong itu dicadangkan untuk pahlawan-pahlawan baru kelak, 
ujar anak Dayak Kuching yang dengan sukarela menemaniku. Membaca keterangan 
singkat di Tugu Pahlawan ini, kuketahui bahwa mereka yang ditatah nama dan 
wajahnya di Tugu terutama mereka gigih melawan penjajahan Inggris. Rincian 
kisahnya, terutama yang asal etnik Dayak bisa dilihat di Museum. Termasuk 
perahu yang mereka gunakan dalam perlawanan. Terkesan padaku, bahwa peneraan 
nama dan wajah di Tugu dilakukan dengan sangat ketat. Tidak asal-asalan, 
seperti halnya dengan Pantheon, makam putera-puteri terbaik Perancis yang 
terletak di pusat kota, tak jauh dari Universitas Sorbonne.  Di Pantheon 
sebagai makam putera-puteri terbaik, tidak terdapat orangorang yang tangannya 
berlumuran darah rakyatnya sendiri.ada putera-puteri terbaik Perancis. Ironi 
dan nilai pahlawan dan bukan pahlawan jika pembunuh rakyat negerinya sendiri 
disebut sebagai pahlawan dan putera-puteri terbaik. Ketegasan Perancis pada
 nilai republiken ini juga nampak pada masih dikejar dan dibawa ke depan 
pengadilan, tokoh-tokoh yang kapitalusasi dan berdarah tangannya semasa 
penduduk fasis Jerman. Papon adalah salah satu contoh. Dan Jacques Chirac 
ketika menjadi presiden Prancis pada mandat pertama, secara terbuka mengatakan  
PemerintahVichy yang berkolaborasi dengan Nazi  Jerman pada masa Perang Dunia, 
bukanlah Republik Perancis. Semangat mempertahankan nilai kepahlawanan ini 
jugalah yang terkesan padaku dipertahankan oleh penyelenggara kekuasaan politik 
di Sarawak pada Tugu Pahlawan. Kalau pengkhinat, pembunuh dan pahlawan 
dicampuradukkan, maka warga negara negeri itu akan rancu tentang mana pahlawan 
dan bukan pahlawan, mana yang agung dan tidak agung, mana benar dan tidak 
benar. Tugu Pahlawan Sarawak memperlihatkan juga padaku bahwa kepahlawan dan 
pahlawan tidak bersentuhan dengan asal etnik. Sarawak adalah negara bagian yang 
majemuk. Kemajemukan yang tunggal dan semua warga negara, sama di depan
 hukum Sarawak. 
   
   
  Kemajemukan ini kembali nampak ke hadapanku, ketika aku duduk di sebuah 
rumah angin di tengah-tengah sebuah lapangan rindang oleh dedaunan.  Beberapa 
ratus meter dari rumah angin tempatku beristirahat , berdiri sebuah bangunan 
seperti sebuah kuil khas Tiongkok. Di tempat rindang ini juga terdapat 
sisa-sisa bangunan berornamen Dayak. Terkesan padaku, bahwa Kuching seakan 
sebuah kota bertandakan budaya Dayak dan Tionghoa. Tak ada yang mengganggu 
dengan keragaman begini. Justru kurasakan  

[ac-i] catatan bantimurung: masihkah besok ada kupu-kupu?

2008-03-04 Terurut Topik sangumang kusni
Catatan Bantimurung :
   
   
   
  MASIHKAH BESOK ADA KUPU-KUPU? 
   
   
   
  Puas dengan kegiatan hobbinya potret-memotret, Ken Prita segera mencari dan 
mencium pipi puterinya.
   
   
  Maaf ya Rara. Mama tinggalkan lama .
   
   
  Aku kan sama Papahku, Mah. Kami juga asyik deh. Melihat aku membungkuk, 
Rara seperti biasa tiba-tiba menerkam punggungku sambil ngekek. Dengan kedua 
tangannya yang kecil memeluk leherku. Dan tak mau turun-turun lagi dari 
punggungku. Rara tidak bisa melihat ayahnya jongkok. Ia pasti menggunakan 
kesempatan itu untuk digendong.
   
   
  Ayo, Pah berdiri!. Ken Prita melihat ulah puterinya yang manja dengan 
geleng-geleng.
   
   
  Papahmu kan capek, nak.
   
  Biarin. Ini kan Papahku sendiri. Hanya Papahku seorang, sambil berkata 
demikian, Rara mencium pipiku gemas. Terkadang bahkan mencubitku. Jawaban ini 
adalah jawaban standar Rara pada siapa saja yang berkomentar melihat 
kemanjaannya pada sang ayah.
   
  Sambil berjalan menuju jurusan air terjun untuk mendapatkan kesegaran air di 
tengah terik, Ken Prita bercerita apa yang baru terjadi ketika ia sedang 
motret-motret.
   
   
  Aku didekati oleh seorang  lelaki penangkap kupu-kupu. Ia menanyai Mama, 
apakah Mama mau kupu-kupu langka?
   
   
  Rara yang berada di punggungku menoleh ke ibunya dengan rasa ingin tahu lebih 
jauh. 
   
  Terus gimana,Mah tanya Rara.
   
  Aku tanya kupu-kupu langka itu?
   
  Kupu-kupu yang sangat sangat jarang, Bu, jawab penangkap kupu-kupu itu.
   
  Berapa lama untuk mendapatkan kupu-kupu langka?
   
  Paling tidak seminggu lah.
   
  Lama sekali.
   
  Tentu saja. Namanya saja barang langka.
   
  Berapa harganya kira-kira?
   
  Barang langka mana ada yang murah, Bu. Apalagi aku kan juga hidup dari 
kupu-kupu. Kupu-kupu menghidupi aku dan keluargaku.
   
  Berapa kupu-kupu langka yang akan Bapak tawarkan?
   
  Lha, ibu mau berapa? Tentu waktunya pun jadi bukan seminggu. 
   
  Bapak tawarkan berapa seekor kupu-kupu langka?
   
  Barang langka ya harganya langka juga.
   
  Berapa?
   
  Ibu benar mau?
   
  Kan tanya dulu?
   
  Dua juta seekor.
   
  Mahal amat ya Pak.
   
  Begitu memang barang langka itu, Bu
   
  Lalu Mamah bilang apa pada penangkap kupu-kupu itu? tanya Rara dari 
punggungku.
   
  Pah, aku turun Pah. Papah capek kan?lanjut Rara. Aku jongkok membiarkan 
Rara turun dari punggungku.
   
  Pegel ya nak
   
  Tapi aku kan gak capek.
   
  Papah yang capek.
   
  Biarin, kan Papahku sendiri.
   
  Rara berjalan sambil memegang tanganku. 
   
  Terus,apakah Mamah jadi pesan kupu-kupu langka itu?, tanya Rara pada ibunya.
   
  Darimana Mamah punya uang sebanyak itu? Dan pula untuk apa buang duit untuk 
seekor kupu-kupu, betapa pun langkanya? Kita kan bukan orang kaya , Nak. Mamah 
kan hanya ingin tahu saja. Ada apa yang lain di bawah  ada di bawah sayap 
ribuan kupu-kupu Bantimurung. Ingin tahu berapa lama keindahan Bantimurung ini 
bertahan?.
   
   
  Bayangkan aku pernah dapat info bahwa untuk siaran iklannya, sebuah tivi 
swasta memerlukan seribu kupu-kupu Bantimurung. Satu iklan seribu kupu-kupu. 
Ditambah dengan adanya barisan penangkap kupu-kupu yang berpatokan pada uang 
dan karena memang hidup dari kupu-kupu, lanjut Ken Prita bercerita kepada 
anaknya. 
   
   
  Kalau begitu, kupu-kupu Bantimurung ini akan habis dong, Mah? Sayang sekali. 
Padahal aku suka sekali kupu-kupu dan Bantimurung yang sekarang, ujar Rara 
polos.
   
   
  Pah, kira-kira besok, masihkah akan ada kupu-kupu di Bantimurung, tanya 
menanyaiku sambil minta digendong lagi dengan alasan lelah berjalan kaki.
   
   
  Entahlah, Nak. Hutan Kalimantan dekat kampung Papah saja sudah gundul jadi 
padang pasir. Papah kan pernah ajak Anak melihatnya, jawabku sambil 
membayangkan nasib hutan Hampalit -- sebuah tambang emas terbuka di Katingan.
   
   
  Ya, ya , aku masih ingat, Pah. Aku masih kecil sekali waktu itu. Sekarang 
aku kan sudah besar. Aku ingat , Pah, ujar Rara dari punggungku sambil mencium 
pipiku yang basah keringat.
   
   
  Ihhh, pipi Papah asin ihh, katanya lagi sambil mengusap bibirnya. Ngekek . 
Geli sendiri. Aku hanya diam membiarkan anakku girang di punggungku menikmati 
masa kanaknya yang hanya sekali sepanjang hidup. Masa yang tak akan pernah bisa 
terulang kecuali melekat di kenang. Hijau tandusnya, riap rimbunnya masa kanak 
anak adalah tanggungjawab orangtua. Jika kurang disadari, maka masa kanak itu 
akan seperti hutan Hampalit yang menjelma padang pasir putih hingga cakrawala 
di mana kepahitan berkeliaran garang dan liar. Di padang pasir putih ini tak 
lagi kudengar suara enggang dan suara kijang berlari seperti dahulu. 
   
  Bantimurung! Besok masihkah kau punya kupu-kupu?***
   
   
   
  Paris, Akhir Musim Dingin 2008
  --
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.
   

   
-

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [7]

2008-03-04 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  MENUJU SARAWAK [7]
   
   
   
  Menjadi diri sendiri, tidak mungkin terujud tanpa sejarah dan akar budaya. 
Dayak, Indonesia adalah salah satu akar dari pohon raksasa budaya dunia, walau 
pun bukan akar tunggang tapi sekadar akar serabut. Tapi sekali pun sebatas akar 
serabut, mempertahankan akar ini akan membuat kita bisa berdialog dengan budaya 
dunia sebagai diri kita sebagaimana adanya diri kita sebagaimana dikatakan oleh 
Paul Ricoeur. Melalui dialog budaya beginilah dramaturg Perancis A.Arthaud 
mendapat rangsangan ilham dari teater Bali,  dan Picasso mendapat inspirasi 
dari lukisan dan patung-patung primitifPapua yang dipamerkan di Paris. Dari 
sini kemudian Picasso mengembangkan lukisan-lukisan abstraksionisnya. 
   
   
  Yang menyedihkan, justru kemarin [27 Februari 2008] aku membaca berita Tempo 
Interaktif bahwa di sungai kelahiranku demi mengembangkan perkebunan kelapa 
sawit, enam rumah betang [long house] dan dua sandong [kuburan kolektif para 
leluhur] telah dirusak oleh para pengusaha kelapa sawit dengan alasan bahwa 
lahan perkebunan i tu adalah lahan miliknya. Kukira kejadian ini merupakan 
tragedi budaya, penghinaan terhadap masyarakat Dayak Katingan [Oloh Katingan] 
--sampai-sampai kuburan leluhur  pun dirusak . Sebagai orang Dayak, aku hanya 
merasa kurang paham, mengapa kesewenang-wenangan begini bisa luput dari 
penglihatan Agustin Teras Narang sebagai Gubernur yang berslogan pembangunan 
Kalteng. Apakah pembangunan Kalteng bisa membenarkan penghancuran betang -- 
khazanah budaya Dayak dan kuburan  leluhur sesama Dayak karena uang sebagai 
raja membenarkan segala tindak dan kebijakan? Mau diapakan dan dibawa kemana 
Kalteng dan khususnya masyarakat Dayak dengan pembangunan model
 Teras Narang ini? Aku menagih tanggungjawab dan keterangan Teras secara 
terbuka terutama sebagai gubernur dan juga sebagai pemuka dari Musyawarah 
Masyarakat Dayak. Agustin Teras Narang layak ditagih keterangan dan 
tanggungjawabnya sebagai orang pertama propinsi yang mengulangi praktek Orba 
antara lain melalui yang disebut Proyek Sejuta Hektar atas nama kemandirian  
di bidang pangan tapi berakhir dengan perusakan lingkungan dan budaya Dayak.
   
   
  Bandingkan,  dalam konteks melestarikan dan merawat budaya lokal, khususnya 
budaya Dayak, Museum Dayak Sarawak, jauh lebih aktif dibandingkan dengan 
istansi yang bertanggungjawab dalam soal  kebudayaan di propinsi mana pun di 
Kalimantan Indonesia. Agustin Teras Narang justru membiarkan perusakan khazanah 
budaya  dan merusak kuburan leluhur sesama orang Dayak demi program perkebunan 
kelapa sawitnya. BisakahTeras membayangkan jika kuburan nenekmoyangnya sendiri 
dihancurkan? Inikah yang disebutnya sebagai kehebatan , istilah yang ia 
gunakan ketika menerimaku, yang khusus datang ke Kalteng dari Kaltim atas 
panggilannya, pada September 2005 di Kantor Gubernur Palangka Raya untuk 
membanggakan bahwa ia pemilik S1 Hukum? Teras dan para penasehatnya masih punya 
waktu untuk mengkoreksi kebijakan yang melecehkan masyarakat dan merusak budaya 
lokal jika perusakan enam betang dan dua sandong ini dianggap salah.  
   
   
  Waktu aku di Kalteng dan di Kalbar, aku melihat benar, bagaimana Museum Dayak 
Kuching, Sarawak--barangkali Museum Dayak terbesar dan terbaik di dunia -- 
aktif memburu khazanah budaya Dayak di berbagai tempat , termasuk kawasan Dayak 
Indonesia. Jika mereka mendengar di suatu tempat terdapat penemuan arkeologis, 
mereka segera mengirim orang ke tempat tersebut untuk melindungi temuan 
tersebut.  Sayangnya, sikap begini belum terdapat di daerah lain, terutama 
kawan Dayak Indonesia. Yang terjadi, demi kepentingan sehari-hari, orang tak 
segan menjual apa pun yang merupakan khazanah penting budaya lokal. Museum 
Dayak di Kuching agaknya mendapat dukungan dari kalangan akademisi dan 
universitas. Sehingga adanya pertemuan antar universitas se Borneo dan 
Kalimantan di Kuching beberapa tahu lalu, kukira merupakan satu kegiatan 
bermakna dalam konteks ini. Prakarsa begini, paling tidak selama aku bekerja di 
Kalimantan Tengah, prakarsa-prakarsa inovatif dan strategis begini, belum pernah
 kudapatkan pada universitas-universitas di Kalteng, Kaltim,Kalbar dan Kalsel. 
Boleh jadi sumber informasiku yang kurang hingga aku tidak mengetahuinya. 
Padahal informasi, yang bukan untuk informasi,  adalah kekuatan bagi orang yang 
bertindak.
   
   
  Busku melaju menuju Kuching. Matahari ada di tengah langit. Dalam perjalanan 
menuju perhentian bus kota, berbagai bayangan dan berita kembali mengusik 
benakku. Antara lain trafik penjualan perempuan Indonesia, penggeseran tonggak 
perbatasan yang dilakukan oleh Malaysia, soal TKI/TKW, sampai kepada penyaluran 
hasil illegal logging hutan Kalimantan Indonesia. Masih ingat bukan hilangnya 
dua pulau Indonesia dan sekarang jadi wilayah Malaysia? Berita-berita 
menyakitkan ini menyertaiku dalam perjalanan bus ke Kuching. Seakan-akan 
memperlihatkan Indonesia dewasa ini tidak lain 

[ac-i] jurnal sairara: vonis terhadap bersihar lubis

2008-02-21 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  VONIS TERHADAP BERSIHAR LUBIS 
   
   
   
  Pasa  20 Pebruari 2008 14:22 Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok 
menjatuhkan vonis hukuman satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan 
bagi Bersihar Lubis, mantan wartawan TEMPO, Jakarta.
   
  Bersihar dijatuhi vonis demikian  lantaran tulisannya dianggap menghina 
Kejaksaan Agung. Menurut laporan Media [20 Februari 2008], Teriakan cemoohan 
langsung terlontar dari puluhan wartawan dalam ruang sidang. Bahkan tim 
pengacara Bersihar langsung interupsi usai dakwaan. Mereka menilai vonis satu 
bulan penjara yang dijatuhkan terhadap Bersihar adalah bentuk otoriter penguasa 
terhadap kebebasan berpendapat.
   
   
  Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa delapan bulan penjara, 
tulis wartawan Media. Sementara wakil dari Koran Tempo, Bambang Harimurti 
menandaskan vonis ini akan makin mendorong para jurnalis untuk menuntut 
penghapusan pasal 207 KUHP tentang Penghinaan Terhadap Institusi.
   
   
  Bersihar dihukum karena menghina Kejagung melalui tulisan opininya di Koran 
Tempo edisi 17 Maret 2007 berjudul Kisah Interogator yang Dungu. Tulisan ini 
adalah tanggapan Bersihar terkait pelarangan beredarnya novel Pramoedya Ananta 
Toer serta buku sejarah sekolah menengah pertama dan atas.
   
   
  Bersihar, yang merasa kecewa dengan putusan tersebut berniat untuk melakukan 
banding.


   
  Saya merasa kecewa dengan putusan hakim. Bersama kuasa hukum secepatnya 
setelah menerima salinan putusan maka akan mengajukan banding, kata Bersihar, 
usai sidang di PN Depok, Rabu (20/2).
   
   
  Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa delapan bulan 
penjara karena melanggar pasal 207 KUHP.
  
 
  Bersihar menjelaskan, kata `dungu` itu bukan sepenuhnya berasal dari dirinya 
langsung melainkan kutipan dari Joesoef Isak. Tujuan tulisan itu adalah sebagai 
kritik atas masalah sejarah terkait pelarangan beredarnya novel Pramoedya 
Ananta Toer serta buku sejarah SMP dan SMU. Tidak ada saksi dan alat bukti 
yang telah membuktikan kata dungu itu ditujukan kepada Kejaksaan Agung, 
jelasnya.
  

Ketua Majelis Hakim PN Depok, Suwidya mengatakan, Bersihar secara sah dan 
meyakinkan telah menghina institusi Kejaksaan Agung melalui tulisan opininya di 
Koran Tempo Edisi 17 Maret 2007 berjudul Kisah Interogator yang Dungu.

Suwidya berharap, dengan putusan tersebut pada masa yang akan datang pendapat 
dari masyarakat dapat disalurkan secara bermartabat dan elegan, sehingga tidak 
menyalahi aturan hukum.


  Kuasa hukum Bersihar dari LBH Pers, Hendrayana, mengatakan bahwa putusan 
tersebut sangat ambigu dan merobek-robek rasa keadilan, serta membawa dampak 
terhadap kebebasan pers. Seharusnya tulisan opini dibalas dengan opini tidak 
dengan hukuman bagi seorang penulisnya, jelasnya.

Putusan tersebut, menurut Hendrayana, merupakan kriminalisasi pers. Tulisan 
opini Bersihar pada dasarnya merupakan kritikan bukan menghina institusi negara.

Hendrayana mengatakan, pihaknya bakal melakukan judicial review terhadap pasal 
207 KUHP yang sudah tidak tepat lagi diterapkan bagi kasus-kasus serupa yang 
akan datang. Demikian laporan Majalah Gatra, Jakarta yang terbit minggu ini.
   
   
  Dari laporan di atas ada beberapa   masalah yang menarik perhatianku yaitu 
keteguhan Bersihar, solidaritas orang seprofesi, sikap pemegang kekuasaan 
[Dalam hal ini kekuasaan yudikatif], sikap terhadap kritik, kemampuan berbahasa.
   
   
  1. Bersihar Terus Bertarung:
   
  Sekali pun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok telah menjatuhkan hukuman 
penjara 1 bulan dengan masa percobaan tiga bulan, Bersihar dengan kepala tegak 
memprotes hal yang dikatakan oleh kuasa hukum Bersihar dari LBH Pers, 
Hendrayana, sebagai putusan tersebut sangat ambigu dan merobek-robek rasa 
keadilan, serta membawa dampak terhadap kebebasan pers karena  Seharusnya 
tulisan opini dibalas dengan opini tidak dengan hukuman bagi seorang 
penulisnya, 
   
   
  Bersihar bukan hanya tidak menyerah tapi akan meneruskan pertarungan dengan 
naik banding . Kasus Bersihar, kiranya berintikan masalah keadilan dan 
kebebasan berpendapat. Kebebasan melaporkan peristiwa, jika kita sepakat bahwa 
masalah mendapatkan informasi merupakan hak bagi semua orang. Untuk melanjutkan 
pertarungan membela keadilan, hak berpendapat dan memberi informasi serta 
menolak kriminalisasi pers,  Bersihar segera ingin melakukan naik banding. 
Semangat bertarung menggunakan jalur hukum ini, kukira, punya arti sendiri 
untuk sebuah negara yang menyebut diri sebagai Republik dan Indonesia.  Apalgi 
di tengah kekerasan masih dijadikan jalan pintas menyelesaikan konflik. Orang 
Baduy  sebelum Republik Indonesia berdiri saja sudah  punya tradisi sederhana 
tapi mendasar: Dilarang untuk melarang.  Semangat bertarung yang ditunjukkan 
oleh Bersihar adalah sejajar dengan tradisi leluhur berbagai etnik di tanahair, 
sesuai pula dengan hukum primer bahwa di mana ada penindasan
 maka di situ akan ada 

[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [2]

2008-02-20 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  MENUJU SARAWAK [2]
   
 
   
  Smoothly and lightly the golden seed by the furrow is cover'd; 
  Yet will a deeper one, friend, cover thy bones at the last.
Joyously plough'd and sow'd! Here food all living is budding, 
  E'en from the side of the tomb Hope will not vanish away. 
 
  [Goethe. To The Husbandman, 1789].
   
   
  Dengan latar belakang keadaan seperti di atas, apalagi setelah berjumpa dan 
berbincang dengan teman-teman sesama Dayak dari Sabah dan Sarawak mengenai 
persoalan-persoalan masing-masing,  maka aku menetapkan, sesudah berkeliling 
Kalteng ,  harus menuju Sarawak. Lebih-lebih di Kuching terdapat Museum Dayak 
terbesar dan perpustakaan tentang Dayak yang cukup penting. Sementara Museum 
Dayak di Palangkaraya sama sekali tidak bisa dibilang membanggakan selain 
megahnya gedung dan luasnya halaman, untuk tidak mengatakannya terlalu miskin 
dan tidak padan untuk mengenal Kalteng, khususnya Dayak Kalteng. Pengunjungnya 
pun lebih sepi daripada yang datang ke Perpustakaan Daerah dan perpustakaan 
beberapa universitas. Museum dan perpustakaan belum nampak dirasakan sebagai 
suatu keperluan yang niscaya. Apakah keadaan begini bukannya mencerminkan 
sekaligus tingkat taraf pendidikan di suatu daerah atau nasion? Jika Martin 
Luther King Jr. berkata: I have a dream, aku pun sebenarnya
 mempunyai mimpi tentang Dayak dan Indonesia. Mimpi yang bertolak dari hutang 
moral  dan cinta pada kampung-halaman karena ia telah mengasuhku dengan cinta 
pula, cinta yang seperti dikatakan oleh Goethe: 
   
   
  E'en from the side of the tomb 
  Hope will not vanish away. 
   
   
  Dari rahim cinta begini pulalah maka lahir mimpiku yang bernama keinginan 
melihat Manusia Dayak Dan Manusia Indonesia  Bermutu Dan Tanggap Zaman. 
Manusia yang berdiri di kampung halaman memandang tanahair merangkul bumi.  
Museum dan perpustakaan yang  sepi, pendidikan yang sebenarnya hak warganegara 
diperdagangkan, diam-diam kurasakan bagai sebilah badek tajam beripuh menohok 
ulu hati seorang pemimpi yang dikutuk menempuh jalan selalu sepi.  
   
   
  Cinta seperti yang dilukiskan oleh Goethe di atas, membuatku  juga selalu 
menating tanya di tiap jengkal benua yang kusinggahi: Apa yang bisa kudapatkan 
dari sini untukmu kampung-halaman. Bukan untuk menyontek tapi sebagai acuan, 
karena menyontek lebih menunjukkan ketiadaan kreativitas dan dayapikir. 
Ketiadamampuan membaca keadaan dan menjawabnya secara tanggap. Ketiadamampuan 
yang serupa jalan lurus menuju lembah terjal kejatuhan.  Dari perjalanan ini, 
sekarang kusadari benar bahwa sesungguhnya  perjalananku, perjalanan tanya,  
tidak punya ujung, hanya punya awal. Aku melihat bahwa perjalanan ini yang oleh 
orang Dayak Katingan disebut sebagai tamuei, tamuei si Kayau Pulang, salah 
seorang tokoh dalam legenda Dayak,  sebenarnya tidak lain dari sebuah ruang 
sekolah besar untuk memahami pengalaman putera-puteri bumi demi memanusiawikan 
diri sesuai misi hidup-mati rengan tingang nyanak jata[anak enggang 
putera-puteri naga].  Aku tidak menyesali langit dan bumi ketika
 ternyata kemudian aku dikutuk sejarah Indonesia, menjadi seseorang yang tidak 
lebih dari hanyalah seorang pengembara, bila menggunakan renungan Ramadhan KH 
alm. Pengembaraan, kemudian kusadari sebagai bagian saja dari guratan  telapak 
tangan Utus Panarung sebagaimana hidup tak terpisahkan dari suka dan duka, 
dari tangis dan tawa yang jika pandai menanganinya, akan mengeraskan tulang 
serta merarakan darah.  Kukira inilah makna Sairara. Selalu berwarna rara 
bernama harapan yang tak obah bagai matahari . Ada. Nyata. Tapi tak teraih 
tangan di kurun waktu nafas tersedia. Wahai, absurditas! Absurditas pun 
merupakan bagian tak terpisahkan, kadang nampak sangat akrab dengan kenyataan 
yang kita hidupi. Mimpi. Berapakah jarak mimpi dari abusditas, tapi absurditas  
yang tidak bisa tidak dimiliki untuk menjadi  kandil di bukit ketika melangkah 
di kegelapan. 
   
   
  Aku melihat keadaan di dunia pendidikan, kebudayaan dan  bidang-bidang lain, 
termasuk kebingungan manusia Dayak kekinian, hanyalah merupakan hasil dari 
pilihan politik penyelenggara Republik Indonesia. Karena itu, waktu berada di 
tengah konflik etnik tahun 2000 di Kalteng, yang memakan korban nyawa dan 
hartabenda tidak kecil,  aku mengusulkan sebagai solusi  transisi , perlu 
adanya kekuasaan paralel, yaitu kesejajaran antara kekuasaan Masyarakat Adat 
dan kekuasaan republik yang sering ngaco dan tak berdaya. Sebelum RI berdiri, 
masayrakat lokal, cq. Kalteng, mampu mengurus diri mereka dengan baik, 
menggunakan sistem dan nilai-nilai yang mereka punya .  Sementara pilihan 
politik dan penerapannya oleh penyelenggara negara yang mengelola RI sejak 1966 
telah mencoba menghancurkan secara total nilai-nilai dan sistem ini. Cukup 
berhasil tetapi tidak total. Secara kebudayaan berbarengan dengan eksploatasi 
liar [savage exploitation, l'exploitation sauvage] sumber daya alam
 

[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [1]

2008-02-19 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  MENUJU SARAWAK [1]
   
   
  Tahun 1999, aku berkeliling ke berbagai tempat, hingga jauh ke pedalaman, 
Propinsi  Kalimantan Tengah [Kalteng]. Perjalanan sederhana. Jalan darat yang 
dilalui, selain banyak lobang-lobang besar, juga berlumpur hingga lutut. Mobil 
kijang baru yang kutumpangi oleh keganasan jalan darat begini, jadi remuk dan 
tak berdaya.  Oleh keadaan ini, sering perjalanan dilanjutkan dengan speed 
boat. Jalan darat dan speed boat merupakan hal baru di Kalteng.  Aku menghibur 
diri seperti orang  Jawa dengan mengatakan masih untung. Hahaha.  Kuharap 
Jawa-Jawa tak akan marah dengan meminjam filsafat untung mereka.
   
   
  Pada masa kecilku di Katingan dahoeloe, penduduk bepergian dari satu tempat 
ke tempat lain dengan menggunakan perahu kecil bikinan sendiri yang disebut 
oleh orang Dayak Katingan disebut jukung . Atau jalan kaki. 
   
   
  Penduduk sungai yang tergantung pada sungai, mempunyai ketrampilan membuat 
jukung dari batang-batang pohon besar. Bukan hanya itu, mereka pun mampu 
membuat kapal ukuran sampai 100 ton. Untuk menggerakkan kapal bikinan sendiri 
ini mereka hanya perlu membeli mesin. Bertolak dari keadaan ini maka Tjilik 
Riwut, ketika menjadi Gubernur Kalteng pertama, mempunyai ide untuk mendirikan 
sekolah perkapalan di Sampit. Mimpi yang tak kesampaian sampai sekarang. 
Bersama makin melenyapnya burung enggang dari hutan-hutan Kalteng, ketrampilan 
membuat perahu dan kapal ini makin melenyap juga. Dalam legenda, memang manusia 
Dayak datang ke pulau raya Kalimantan ini dengan menggunakan perahu yang 
disebut Banama Tingang [Perahu Enggang]. Miniaturnya sampai sekarang  banyak 
dijual di toko-toko kerajinan tangan  di kota dan bandara. Hanya pemilik 
tokonya bukanlah orang Dayak tapi Banjar. Pedagang-pedagang Banjar ini membeli 
barang-barang kerajinan tangan Dayak dengan harga murah dari para
 pengrajin, umumnya perempuan, yang terdapat di kampung-kampung.  Orang 
Dayak,yang biasa dimanjakan alam, sementara alam mereka sekarang sudah rusak 
tak kepalang,  agaknya masih  tertinggal dalam menghargai kemampuan mereka 
sendiri. Bisanya hanya mengeluh. 
   
   
  Usai memasuki beberapa hulu sungai,  aku memutuskan untuk kemudian pergi ke 
Pontianak, Kalimantan Barat [Kalbar] untuk selanjutnya ke Kuching ,  Sarawak. 
Sarawak juga Sabah menarik perhatianku sejak lama. Bahkan sejak bocah, ketika 
aku dengan telanjang badan menerjuni ombak sungai Katingan saat berkabut atau 
pun terang sambil mengacungkan kepala kecilku ke langit mengatakan bahwa aku 
anak sungai, aku anak alam diasuh ombak dan langit segala warna. Aku adalah 
anak enggang dan putera naga -- penguasa dunia atas dan dunia bawah.
   
   
  Pada masa bocah ini seperti anak-anak Dayak lainnya, aku belajar dan hapal 
benar lagu Bonero Tanahairku, Tanah Nusa Pusakaku. Di lagu ini tanpa kecuali, 
kota -kota besar dan kecil hingga kampung-kampung bersejarah disebutkan dengan 
teliti. Melalui lagu inilah aku mengenal nama kota Kuching, Sandakan dan Kota 
Kinabalu, yang mengembangkan mimpi kanakku bahwa suatu hari aku harus melihat 
dengan mata kepala sendiri tempat-tempat tersebut. Sampai sekarang aku tidak 
tahu siapa pencipta lagu yang amat populer  di masa bocahku itu. Sama 
populernya dengan lagu Kalimantan Tanahairku, lagu-lagu yang kemudian 
dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Aku hanya bisa menduga-duga, mungkin 
yang menciptakan lagu-lagu itu adalah salah seorang dari organisasi perjuangan 
masyarakat Dayak bernama Pakat Dayak [Kesepakatan Dayak], organisasi yang 
kemudian ditindas oleh Belanda, tapi kemudian bangun kembali. Ditumapas, bangun 
kembali.  Dilarang dibangun kembali dan sekarang mengambil
 bentuk Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah 
[LMMD-DKT]. Pakat Dayak sejak lama, sejak zaman kolonial Belanda, Pakat Dayak 
atas nama  masyarakat Dayak menuntut adanya propinsi sendiri, dan Belanda 
terpaksa mengakui tuntutan ini, dan memberikan wilayah tersebut sebagai Dayak 
Besar, termasuk Kalimantan Selatan. Pemberontakan bersenjata untuk mendirikan 
propinsi Kalteng pada 1956 di bawah Gerakan Mandau Talawang Panca Sila, kukira 
merupakan kelanjutan saja dari ide Pakat Dayak.  Dengan berkata begini sebagai 
ilustrasi, barangkali di sini bisa dilihat arti pentingnya penulisan sejarah 
lokal dan sejarah etnik-etnik untuk menyempurnakan penulisan sejarah Indonesia 
yang lebih representatif, tidak hanya terpusat pada sejarah raja-raja feodal 
Jawa . Jawa yang hanya merupakan salah satu bagian saja dari Indonesia. Kalau 
berbicara tentang Republik Indonesia, kiranya, niscaya penulisan sejarah 
mempertimbangkan jasa-jasa dan sumbangan berbalut darah semua etnik
 dalam menegakkan dan membela Republik Indonesia.
   
   
  Apakah arti pemberontakan bersenjata masyarakat Dayak terhadap Republik 
Indonesia Soekarno pada 1956 ini? Jika kucamkan ulang, aku sampai pada hipotesa 
bahwa masyarakat Dayak menolak penindasan NKRI sentralistik. Intinya:mereka 
ingin 

[ac-i] jurnal sairara: langkah pertama

2008-02-17 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
  LANGKAH PERTAMA 
   
   
   
  Dalam pepatah-petitih tetua kita di berbagai pulau, sering kudapatkan adanya 
pikiran-pikiran yang sangat nalar, logis dan dialektis. Misalnya menepuk air 
di dulang memercik ke muka sendiri, tangan mencencang bahu memikul. 
Sedangkan pada kata-kata wolak-waliké zaman , selain adanya ciri seperti di 
atas, bahkan kulihat adanya suatu konsep sejarah yang selalu mengalir pantha 
rei seperti pernah diungkapkan oleh Heraclitus, pemikir Yunani Kuno,  atau 
l'histoire est toujours contemporaine  [sejarah senantiasa aktual], jika 
menggunakan istilah Benedetto Groce, sehingga  mémoiré pun bercorak demikian 
, ujar Marek Halter, budayawan dan romansier Israel.  Pada kata-kata Marek 
Halter ini, aku malah mendapatkan pandangan  Grup sejarawan Annales, Paris yang 
menunjukkan adanya hubungan antara masa silam, hari ini dan esok. Masa silam 
mempengaruhi hari ini dan selanjutnya hari ini berdampak pada bangunan esok. 
Generasi yang menyepelekan masa silam bisa dikatakan sebagai
 angkatan kehilangan sejarah. Pemutihan masa silam juga, sesuai dengan nalar 
ini bisa disebut pelenyapan kesadaran suatu angkatan. Kalau keliru maka 
Benedetto Groce melakukan kekeliruan dengan mengatakan bahwa l'histoire est 
toujours contemporaine.
   
   
  Menyimak pikiran-pikiran yang terdapat di pepatah-petitih, pada pantun, 
gurindam, seloka dan lain-lain genre sastra lokal termasuk sansana dan 
legenda-legenda rakyat dalam masyarakat Dayak, sebagai contoh, terkesan padaku, 
selain merupakan bentuk penyimpulan pengalaman hidup generasi terdahulu, juga 
merupakan salah satu sarana penyampaian nilai kepada generasi berikut. Dengan 
demikian, agaknya sastra-seni, termasuk legenda, sastra lisan, merupakan 
lumbung nilai suatu angkatan di suatu kurun waktu. Dan nilai-nilai ini 
dituangkan dalam bentuk artistik. Oleh adanya nilai-nilai dalam sastra-seni, 
maka apakah terlalu salah penglihatanku bahwa  sastra-seni sebagai salah-satu 
lumbung nilai kolektif , juga merupakan benteng bertahan dan pangkalan 
pengembangan diri baik sebagai individu mau pun sebagai suatu kolektif 
komunitas, terutama dalam soal identitas, makna hidup-mati, ukuran baik-buruk, 
adil dan tidak adil. Aku mau kembali mengambil contoh yang terdapat dalam 
sejarah Dayak
 Kalteng. Khususnya Katingan. 
   
   
  Untuk menaklukkan daerah ini, mula-mula kolonialis Belanda mengirimkan 7 
pendeta ke pedalaman untuk meng Kristen-kan  orang Dayak. Entah bagaimana 
ceritanya, beberapa orang dari pendeta yang dikirim ini mati dipancung 
kepalanya. Kemudian Belanda menyebarkan opini bahwa orang Dayak itu adalah 
lambang segala keburukan dan kejahatan. Disebut dayakers. Kebudayaannya, 
termasuk sastra-seninya, dinamakan sebagai ragi usang tanpa guna dan harus 
dibuang.  Agresi kebudayaan ini dihadapi oleh orang Dayak dengan berhimpun di 
sekitar nilai-nilai budaya Kaharingan sehingga agresi ini , sekali pun 
berdampak, tapi secara kebudayaan,  tidak memusnahkan manusia Dayak pada waktu 
itu.  Melihat kurang mempannya agresi kebudayaan ini, maka agresi dikembangkan 
di bidang politik dan militer. Berdasarkan cerita lisan yang dituturkan 
almarhum kakekku saban subuh, perlawanan Dayak terhadap agresi militer Belanda 
ini menyulut Perang Kasitu dengan korban tidak kecil.  Dilukiskan oleh kakek
 alm. bahwa untuk memetik buah kelapa, kita tak perlu memanjat pohonnya,  tapi 
cukup dengan berdiri di atas timbunan bangkai korban perang yang terdiri dari 
orang-orang berambut jagung, bermata biru, berkulit macam-macam.  Cerita ini 
tentu saja tidak akurat sebagai sumber sejarah ilmiah. Tapi seperti dikatakan 
oleh seorang sejarawan Afrika Selatan, legenda bisa mengantar kita ke masalah 
yang lebih dalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika demikian, barangkali di 
sinilah arti penting registrasi dan riset sejarah lokal yang dilakukan dengan 
tekun oleh Institut Dayakologi Pontianak, Kalimantan Barat. Kemudian dijadikan 
muatan lokal pendidikan di propinsi tersebut. Mengenal sejarah lokal akan 
menyempurnakan penulisan sejarah Indonesia, mendesentralisasi penulisan 
sejarah, membantu kita mengenal akar guna berdialog dengan pulau-pulau lain dan 
dunia.
   
   
  Dari sejarah Dayak, aku melihat bahwa agresi kebudayaan, melikwidasi 
nilai-nilai lokal yang hidup, menanamkan nilai-nilai baru hingga menjadi nilai 
dominan dalam kebudayaan, termasuk sastra-seni,  agaknya merupakan langkah 
pertama guna  mendominasi dan menguasai jiwa suatu bangsa atau etnik. Ketika 
jiwa bangsa itu sudah ditaklukkan, maka  pada saat itu bangsa tersebut  sudah 
dikuasai secara halus dan seperti kerbau dicocok hidungnya menjadi tenaga murah 
bagi si penakluk.  Ketika itu juga, kemerdekaan tidak lebih dari kain sutera 
halus kemilau, pembungkus pencaplokan dan penindasan serta penggadaian negeri. 
Dibalik sutra pembungkus ini terdapat darah dan airmata serta jiwa-jiwa mati, 
jika menggunakan istilah Nikolai Gogol.  Pencaplokan budaya dan pendominasian 
nilai, 

[ac-i] kronik dokumentasi wida: renungan bachtiar siagian [5-selesai]

2008-02-06 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  Renungan Bachtiar Siagian [5] *
   
   
   
   
  VII
   
   
  Yang dianggap  baik oleh yang buruk adalah keburukan itu sendiri. Jika yang 
buruk menilaimu buruk, itu pertanda kau baik. Tetapi ingatlah: jika yang buruk 
itu menilaimu baik,  itu pertanda kau buruk.
   
   
  Nusa Kambangan 1973.
   
   
  VIII
   
   
   
  Penjara adalah ruang tersempit untuk pertanyaan-pertanyaan tentang orang 
lain.Namun ia ruang terluas bagi segala pertanyaan tentang dirimu sendiri.
   
   
  Nusa Kambangan 1973.
   
   
   
  IX
   
   
  Setiap orang tentu pernah menyangkal orang lain atau pun dirinya sendiri. 
Menyangkal orang lain untuk suatu maksud yang baik adalah sukar. Tetapi 
penyangkal diri sendiri untuk maksud yang sama adalah lebih sukar.
   
   
  Nusa Kambangan , 1974.
   
   
   
  X
   
   
  Jika kau pada suatu ketika bersengketa dengan dirilmu sendiri atau pun  
berdamai dengan Aku-mu yang selalu menuntut banyak, itulah  pertanda kau hidup. 
 Tanpa itu sebenarnya kau tak ada.
   
   
  Nusa Kambangan, 1974.
   
   
   
  XI
   
   
  Besok itu selalu besok. Apa yang datang kepadamu dalam arus waktu dan ruang 
tertentu sesungguhnya bukanlah lagi sesuatu seperti yang kau bayangkan dan 
harapkan pada apa yang kau sebut besok itu.
   
   
  Yang datang adalah ke-kinian yang pasti telah berobah dari  apa yang kemaren 
kau sebut besok. Besok itu adalah ke-akanan dan keakanan adalah 
pertanyaan-pertanyaan,  ke-tak-pastian. Ke-kinian adalah pergumulan antara 
gerak hidup yang digerakkan dan menggerakkan.  Kelampauan adalah 
jawaban-jawaban, kesimpulan-kesimpulan. 
   
   
  Pada ketiganya jay selalu terlibat dan melibatkan dirimu.
   
   
   
  XII
   
   
  Oleh karena hidup dilandasi kenisbian, pastilah terdapat keganjilan pada 
suatu kegenapan. Terimalah keduanya dengan hati lapang, karena kau sendiripun 
adalah pernyataan kegenapan dan keganjilan itu.
   
   
  Nusa Kambangan,  1974.
   
   
   
  Catatan:
   
  * .  Bachtiar Siagian adalah sineas terkemuka pada zamannya. Karena menjadi 
anggota Lekra,  pemimpi manusiawi, tanpa diadili, ia bertahun-tahun dibuang 
oleh Orde Baru Soeharto di pulau pembuangan :Nusa Kambangan di mana ia menulis 
puisi-puisi  dan renungan ini. Renungan dari penjara seorang sineas.
   
   
  Dengan ini, aku pulangkan tulisan Bachtiar Siagian ini kepada keluarganya. 
Terutama kepada Bunga Siagian. Aku merasa lega sudah mencoba memelihara tulisan 
Bachtiar Siagian ini, tulisan yang dikirimkan kepadaku pada masa puncak 
jayanya Orba Soeharto,  kemudian  dengan ini memulangkannya kepada 
keluarganya.  Aku tahu, masih banyak lagi tulisan Bachtiar Siagian yang 
tersimpan dan belum diketahui umum. Nasib tulisan yang paralel dengan nasib 
penulisnya yang dipinggirkan di negerinya sendiri atas nama Republik dan 
Indonesia.  
   
   
  Tapi kupastikan kepada Bunga, puteri gagah Bachtiar , bahwa ayahnya bukan 
penjahat, ia seniman filem pencinta negeri dan kemanusiaan dengan mentari dan 
bulan mimpi yang tak redup.  Tak ada yang memalukan punya ayah seperti Bachtiar 
Siagian. Sebaliknya: boleh bangga karena ia setia mimpi! 
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008
  ---
  JJ.Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris. 

   
-
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[ac-i] kronik dokumentasi wida: renungan bachtiar siagian [4]

2008-02-05 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  RENUNGAN BACHTIAR SIAGIAN  [4] *
   
   
   
  V
   
   
  Apa yang kita alami sekarang, yang manis mau pun yang getir, pada suatu  saat 
akan menjelma sesuatu yang kita sebut kenangan. Pada saat kenangan itu muncul, 
kita telah terlibat pada gerak pengalaman yang lain. Hal-hal baru yang sedang 
kita alami banyak mempengaruhi sikap dan perasaan kita terhadap kenangan itu.
   
   
  Ada orang yang pernah makan kelabang, gendon, ular, cecak, tikus, karena 
sangat kelaparan di penjara. Ketika beberapa tahun kemudian ia dibebaskan dan 
bisa hidup seperti orang biasa, ia tersenyum bangga bila terkenang pada 
pengalamannya yang getir itu. Ia senang menceritakan pengalamannya itu kepada 
siapa saja.
   
   
  Sebaliknya, ada orang lain yang pernah mengalami hidup mewah dan punya 
kekuasaan, tetapi dengan kekuasaannya itu ia berbuat sewenang-wenang; merampas 
hak orang, menghukum prang tanpa diadili, memfitnah, membunuh orang. Ketika 
pada suatu saat keadaan berobah dan dia tak punya kekuasaan serta hidup seperti 
orang biasa, kenangan tentang perbuatannya yang lampau itu menjadi siksaan 
baginya.
   
   
  Mereka yang ingin kekangannya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bisa 
dibanggakan adalah meeeka yang dalam gerak ke-kiniannya kapan dan di mana pun, 
selalu sadar akan hukum gerak perobahan dan perkembangan yang tak kunjung 
henti, selalu bersikap rendah hati dan besar hati. Rendah hati dalam mengalami 
hal-hal yang menyenangkan da  besar hati dalam mengalami kesulitan dan 
penderitaan.
   
   
   
  Nusa Kambangan, 1973 
   
   
  VI.
   
   
  Jika pada suatu saat kita melihat sesuatu dan menanggapnya sebagai kenyataan, 
ingatlah bahwa pada sesuatu yang kita anggap sebagai kenyataan itu, ada 
kenyataan lain yang belum atau tak dapat kita lihat. Karena hidup ini nisbi, 
pasti tak  akan pernah ada kenyataan yang mutlak. Jika kita terlalu terpengaruh 
pada apa yang kita lihat dan kita anggap sebagai kenyataan, mungkin kita tidak 
akan pernah melihat kenyataan yang lain yang ada dalam sesuatu yang kita anggap 
kenyataan itu.
   
   
  Orang yang arif dan sadar akan kenisbian hidup ini tidak pernah melihat suatu 
kenyataan sebagai satu-satunya kenyataan. Hakim yang adil juga tidak akan 
pernah hanya mendengar tuduhan jaksa, tetapi juga mendengar keterangan si 
tertuduh, mendengar  saksi-saksi dan meneliti bukti-bukti.  Hanya melalui cara 
itu ia dapat melihat kenyataan yang diperlukannya untuk bisa bertindak adil.
   
   
  Seorang Sineas atau pelukis yang  kreatif juga tidak akan pernah menganggap 
suatu kenyataan yang dilihatnya sebagai kenyataan mutlak. Ia berusaha melihat 
kenyataan itu dari berbagai sudut, dari berbagai jarak untuk menemukan 
kenyataan lain yang lebih hakiki, lebih indah.
   
   
  Nusa Kambangan 1973.  
   
   
   
  Catatan:
   
  Bachtiar Siagian seorang sineas terkemuka pada zamannya, karena ia anggota 
Lekra maka ditangkap dan dibuang ke Nusa Kambangan oleh Orde Baru Soeharto.

   
-

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[ac-i] berani dan pandai melawan serta memberontak

2008-01-23 Terurut Topik sangumang kusni
Surat Dari Montmartre:
   
   
  BERANI DAN PANDAI MELAWAN SERTA MEMBERONTAK
   
  [Tanggapan sederhana atas artikel A.Kohar Ibrahim: Berontak Dapat 
Dibenarkan].
   
   
   
   
  Aku masih ingat betapa alm. Pramoedya A Toer dalam pembicaraannya dengan 
anggota-anggota Partai Rakyat Demokratis  [PRD]  sangat menekankan masalah 
keberanian melawan dan memberontak. Sedangkan Wiji Thukul terkenal dengan 
ucapannya: hanya ada satu kata: lawan!
   
   
  Semangat dan pandangan ini barangkali merupakan cerminan semangat zaman pada 
saat budaya takut hasil pendekatan keamanan dan stabilitas nasional yang 
diterapkan oleh Orde Baru menjadi pola pikir dan mentalitas serta sikap dominan 
dalam masyarakat Indonesia. Orang-orang tiarap dan mencari selamat sendiri, 
tak enggan menjual teman.  Orang-orang hanya bisa mengatakan iya sedangkan 
kata tidak dipandang sebagai subversif yang dibayangi oleh hukuman berat 
bernilai nyawa dan kepala. Dalam keadaan begini chou fan you li, memberontak 
itu beralasan dan benar. Demikian Mao Zedong mengatakan kepada rakyat Tiongkok 
di bawah kuasa Chiang Kaishek Kuo Min Tang, yang menciptakan suasana di mana 
anjing berpesta ria dengan bangkai manusia bertaburan pada musim dingin yang 
garang. Apa yang dikatakan oleh Mao, Pram dan Wiji Thukul , boleh jadi  
merupakan rumusan keadaan pada suatu periode sejarah belaka. 
   
   
  Dengan anjuran dan kalimat puisinya, Pram dan Thukul oleh kedekatannya pada 
kehidupan nyata, bahkan merasakan sendiri secara langsung beratnya tekanan dan 
dampak budaya takut yang menghantui bangsa, melihat melawan, memberontak 
merupakan jalan keluar alternatif untuk hidup bermartabat dan bukan menjadi 
bangkai santapan anjing musim dingin seperti di Tiongkok  zaman Chiang 
Kaishek yang kemudian terdesak oleh perlawanan, lalu lari ke Taiwan. Oleh 
semangat ide ini,  Pram terbakar sendiri dengan frustasinya yang berujung 
dengan ajal, sedangkan Thukul membayar kata-katanya dengan nyawa.
   
   
  Dari anjuran dan bait Thukul di atas, aku juga melihat bahwa  mereka bisa 
membaca keadaan,  dan merumuskannya sehingga mereka boleh dikatakan bisa 
menjurubicarai zamannya. Sebagai sastrawan, kukira sudah memadai. Mereka bisa 
berbuat demikian bukan karena luar biasa zenial, tapi karena kenal kehidupan.  
Dekat dengan kehidupan dan tidak melihat kehidupan dari menara gading, tapi 
langsung menghayati kehidupan itu sendiri. Kedekatan dan penghayatan atas 
kehidupan inilah yang membuat mereka mampu merumuskan semangat zamannya dan 
tahu keadaan. Kedekatan pada kehidupan, membuat mereka lebih dahulu tahu dari 
orang lain sehingga mereka bisa menawarkan sesuatu kepada masyarakatnya dan 
melihat melawan, berani merupakan jalan keluar keluar. Hanya saja tawaran 
berwawasan akan ditentukan lagi oleh kadar pengusul. Bisa terjadi pengusul 
hanya bisa menyampaikan lukisan keadaan tapi tak bisa menawarkan hal yang lebih 
jauh lagi dan bagaimana mewujudkannya.
   
   
  Apabila kita berbicara dengan banyak aktivis pada saat itu, semangat hanya 
ada satu kata: lawan!memang merupakan sikap umum di hadapan tindasan  sebagai 
hasil logis  pendekatan keamanan dan stabilitas nasional, desa mengambang, 
tidak bersih lingkungan, terpengaruh, dan sebagainya  yang diterapkan oleh 
Orba sebagai pilihan politik guna mengendalikan masyarakat dan terus berkuasa. 
Pokoknya Orba harus tumbang dan dilawan.  Demikian aku memahami anjuran 
berani dari Pram, dan hanya ada satu kata: lawan! dari Wiji Thukul. 
Bagaimana melawan dan apa bagaimana  sesudahnya, tidak menjadi urgen.
   
   
  Pada saat itu, dalam keadaan represif demikian, melawan dan memberontak 
merupakan keniscayaan alami. Ia dibangkitkan oleh politik pemerintah Orba itu 
sendiri. Ia adalah hasil dan dihasilkan oleh keadaan obyektif itu sendiri. Jadi 
bukan masalah dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan. Siapa yang 
mengesahkan dan layak membenarkan dan tidak membenarkan suatu pemberontakan? 
Apa haknya membenarkan dan tidak membenarkan? Siapa yang memberi hak 
padanya?   Namanya saja pemberontakan dan perlawanan seperti asap bermuasal 
dari api. Dalam sejarah kita melihat adanya pemberontakan Komune Paris abad 
ke-18. Karl Marx sendiri  melihat bahwa pemberontakan akan berakhir dengan 
kekalahan. Kukira perlawanan dan pemberontakan adalah akibat alami dari suatu 
keadaan obyektif. Chou fan yu li, tidak berarti dapat dibenarkan tapi 
menceriminkan konflik kepentingan sudah tak terdamaikan. Yang ingin kukatakan 
dengan ini terutama agar menterjemahkan kata-kata chou fan yu li
 barangkali perlu cermat dan dihitung dari berbagai segi. Aku sendiri sering 
melihat bahwa sastra-seni itu pada dasarnya merupakan republik berdaulat di 
mana  para pemberontak dan panarung bernama sastrawan-seniman. membangun 
benteng mereka. 
   
   
   
  Bagaimana melawan, dan apa alternatif sesudah yang dilawan tumbang tidak 
masuk hitungan rinci. 
   
   
  Jika penglihatanku ini benar, maka tingkat perlawanan pada waktu itu tidak 
lebih dari 

[ac-i] puisi-puisi bachtiar siagian [9]

2008-01-22 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [9] 
   
   
   
  PUASA
   
   
  Sekali musim hujan tiba
  Merah senja mengantar puasa
  aku terlentang di gubuk telanjang
  pasrah kekurangan darah
   
   
  Mungkinkah ini puncak derita
  pada pergumulan menjelang tua
  Apakah ia wajah bahagia
  Yang diselimuti kabut duka?
   
   
  Permisan, awal puasa 1975
   
   
   
  LEBARAN
   
   
  Lebaran datang lagi
  Sekali ini di hujan pagi
  di tanah berlumpur
  diucapkan sukur
   
   
  Segala yang dicinta
  jauh semua
  tetapi sahabat 
  bertambah dekat
   
   
   
  Teringat sahabat
  di lebaran ini
  Itulah nikmat
  yang semakin pekat
   
   
  P. Lensran 1975.
   
   
   
   
  Dengan ini maka puisi-puisi yang ditulis oleh Bachtiar Siagian di Pulau 
Pembuangan Nusa Kambangan, pekerja filem terkemuka pada zamannya, anggota 
Lekra,  yang ada padaku dan dikirimkan pada puncak kuasa Orba sudah kusiarkan 
seluruhnya. 
   
   
  Dalam serie berikutnya, akan kusiarkan renungan Bachtiar Siakunya  yang 
direkamnya di bawah judul Mencari Dalam Sepi.
   
   
  Bersama ini pula aku mengharapkan bantuan para pembaca dengan rasa 
terimakasih sebesar-besarnya , sekiranya mengetahui, di mana bisa melihat ulang 
karya-karya filem Bachtiar Siagian seperti Turang, Piso Surit, dan 
lain-lain.   Yang jelas karya-karya Bachtiar Siagian tidak terdapat di Pusat 
Dokumentasi Usmar Ismail.  Barangkali IKJ memilikinya.  
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008.
  ---
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris.

   


[ac-i] Puisi-puisi Bachtiar Siagian [7]

2008-01-21 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
   
  PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [7]
   
   
  YANG TERSISA
   
   
  Sekali aku tiba di persimpangan
  yang ada hanya diri sendiri
  Matahari membekas di kering rumput
  dan daun membusuk dibelaian embun
   
   
  Di kejauhan  tak berjarak ini
  yang terasa hanya kehampaan
  desah hati yang luluh
  pada segala yang runtuh
   
   
  Yang kini masih tersisa
  Adalah tawa  berbalut tanya
  tentang makna segala cita
  di hati manusia
   
   
  Permisan, Mei 1974.
   
   
   
  BIARLAH
   
   
  Mungkinkah hidup ini
  sejumlah pertanyaan
  yang tercecer di perjalanan
  dan pada suatu persimpangan
  kita menunggu jawaban
   
   
  Ah, persetan
  biarlah berlalu
  pertanyaan  yang dulu
   
   
  Permisan, Mei 1974. 



[ac-i] renungan sairara: tentang puisi

2008-01-20 Terurut Topik sangumang kusni
Renungan Sairara:
   
   
  TENTANG PUISI
   
   
  Suatu hari seorang teman menanyaiku: Mengapa sejak akhir tahun lalu kau lama 
tak menulis puisi?. Seperti biasa, ia segera kuingatkan bahwa pada dasarnya 
aku hanyalah pencinta sastra-seni. Dan terkadang aku menggunakan puisi untuk 
mengungkapkan diri. Sebagaimana dikatakan Rendra kepadaku saat aku berkunjung 
menggunakan sepeda bututku, dan waktu itu ia tinggal dalam keadaan sangat 
kekurangan di Gampingan, Yogyakarta, bersama Mbak Soenarti Soewandi: 
Mengungkapkan diri merupakan keperluan dasar bagi anak manusia. Pembungkaman 
hak dasar ini sangat kurasakan sakitnya ketika berada di Palangka Raya yang 
notabene adalah kampung kelahiranku. Waktu itu aku dilarang berbicara di depan 
publik, dilarang menulis, dilarang memberi makalah. Hanya boleh bicara di depan 
mahasiswa di universitas di mana aku mengajar. 
   
   
  Mendengar keadaanku demikian, ketika berkunjung ke Palangka Raya,  Mas Willy, 
Mbak Ken Zuraida , istrinya, dan Dorothea Rosa Herliany, dan aku sudah harus 
hingkang meninggalkan kampung, menjadi sangat marah. Tapi penyair hanya 
mempunyai punya kata. Dengan kata ia menghadapi dan menarungi kehidupan. Kata 
ini pun pernah kurasakan telah dibungkam. Kata sering membuat penyair dibunuh. 
Bahkan pada suatu ketika aku membaca puisiku berjudul Bukit Batu di mana 
kulukiskan kuasa uang menaklukkan dewa-dewi dan melecehkan pahlawan,  
perwira-perwira polisi dan tentara  yang hadir melayangkan ke arahku sorot mata 
tajam bagai mengancam. Mereka  tak bisa berbuat apa-apa karena Kepala Dinas 
Pariwisata Propinsi yang kebetulan seorang perempuan, berkata : Aku yang 
memintanya tampil membaca puisi di malam puisi ini.   Ia sesepuh para penulis 
propinsi ini. Dalam hati aku tertawa geli, dan bangga betapa seorang perempuan 
Jawa berani tampil gagah. Aku berikan embel-embel kata perempuan
 Jawa karena di Jawa feodal, seorang perempuan tidak lebih dari konco 
wingking, bunga hiasan rumah tangga, ke sorga nunut ke neraka katut. 
Perempuan di masyafrakat Jawa feodal tidak lebih dari  perempuan pada tingkat 
seks pertama. Beda dengan posisi perempuan Dayak zaman dahoeloe. Oleh 
pernyataan perempuan Jawa yang kebetulan berkuasa ini, di ruangan aku melihat 
berlangsungnya suatu tragedi komik. Dan aku ngakak dalam hati tapi keluar hanya 
berujud senyum terkendali. Pada pernyataan perempuan Jawa ini, aku juga 
menyaksikan kata dan kekuasaan berpadu, aku melihat kata mempunyai daya paksa. 
Senyum pun bisa jadi suatu bahasa, terkadang lebih tajam dari mata damak, anak 
sumpitan. Senyum bisa jadi bahasa puitis. Sedangkan maki-maki, kekasaran dan 
kebrutalan sering menjadi selemah kemarahan tak terkendali. Maki-maki bukan 
tanda kekuatan, tapi kelemahan , ujar Lu Sin, pengarang Tiongkok tahun 1930an. 
 Karena itu membuat orang marah dan maki-maki sering dijadikan suatu
 taktik dalam debat dan polemik. Dengan marah dan maki-maki, si pembicara jadi 
kehilangan kendali diri sehingga menelanjangi diri sendiri bulat-bulat.
   
   
  Kemarahan dan dendam sering membuat orang hilang nalar walau pun dendam dan 
kemarahan itu punya dasar alasan kuat apalagi jika dendam dan kemarahan itu 
punya latar belakang berdarah. Tapi pernahkah kemarahan dan dendam 
menyelesaikan masalah? Dalam konteks ini aku melihat Yesus sebagai tokoh 
pejuang dan pemikir besar berprinsip abadi walau pun mati di salib, filsafat 
kasih/cintanya kekal dan menggugah. Pandangan dan konsekwensinya membela 
filsafat cinta tidak terbunuh di salib. Aku sendiri masih tak usai-usai 
mempelajari filsafat cinta pejuang dan pemikir besar manusiawi anak manusia 
yang di Tuhankan ini. Tapi yang jelas padaku dunia dan kehidupan kita tidak 
berkelebihan dengan cinta. Aku sering merenung, apakah puisi tidak seniscayanya 
menempuh jalan cinta agung Yesus ini jika kita ingin memfungsikan puisi dan 
sastra bagi kehidupan dan mencintai kehidupan? Cinta/kasih adalah inti suatu 
filsafat atau ide, sedangkan bentuk adalah cara penuangan ide. Berkutat pada 
bentuk
 berindah-indah, barangkali memandang puisi secara pincang. Puisi, barangkali 
adalah paduan rasuk antara isi ide dan cara pengungkapan ide. Rasuk artinya, 
jika kita menggunakan bentuk sastra, maka unsur-unsur dasar sastra perlu 
diperhitungkan. Tanpa menghitung unsur-unsur dasar sastra, cq. puisi maka ada 
bahaya yang ditulis berada di tingkat sastra-sastraan, puisi-puisian. Tidak 
semua yang dikira puisi adalah puisi.  Untuk lepas dari keadaan begini, 
barangkali keselesaian pikiran dan penguasaan tekhnis penulisan menjadi suatu 
tuntutan. 
   
   
  Pertanyaan lain: Apakah semua perkara bisa rasuk dituangkan dalam bentuk 
puisi? Terhadap pertanyaan ini, aku cenderung mengatakan: Tidak! Ada yang cocok 
ditulis dalam bentuk novel, roman dan  esai atau studi. Puisi memerlukan cara 
pengungkapan tersendiri yang berbeda dengan cara penuangan genre sastra yang 
lain. Tanpa mengindahkan faktor ini kita akan berhadapan dengan puisi 
puisi-puisian yang sangat 

[ac-i] renungan sairara: seratus novel selaksa cerita

2008-01-20 Terurut Topik sangumang kusni
Renungan Sairara:
   
   
  SERATUS NOVEL SELAKSA CERITA
   
   
  Penulis akan mati sebagai penulis ketika ia tak mampu dan berhenti menulis. 
Tulisan akan tentu saja bukan asal tulisan yang bercerita tentang tetekbengek. 
Mungkinkah hal ini dilakukan? Mengapa tidak? Sebab kehidupan merupakan mataair 
ilham yang tak pernah kering. Bahkan aku melihat bahwa penulis selalu 
ketinggalan zaman dan dikejar oleh sejarah. Penulis selamanya  berhutang pada 
sejarah. Misalnya, apakah Revolusi Agustus 45, sebagai suatu peristiwa besar 
bagi kehidupan warga Republik Indonesia kita sudah cukup padan dicerminkan alam 
karya sastra dan seni? Apakah Tragedi September 1965 yang berdampak pahit dan 
mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sudah  mendapat tempat 
padan dalam dunia sastra-seni kita?  Belum lagi kita menghitung pencerminan  
peristiwa-peristiwa penting lain dalam sejarah kita dalam sastra-seni kita. 
   
   
  Ketertinggalan beginilah yang kunamakan hutang sastrawan-seniman pada sejarah 
dan kehiidupan dan sejarah selalu memburu sastrawan-seniman. Sadar akan 
ketertinggalan dan hutang begini, maka pada tahun 1965 Lekra mengorganisasi 
gerakan penulisan revolusi dalam berbagai genre sastra. Sayangnya naskah-naskah 
yang ditulis dan dihimpun serta siap diterbitkan, oleh terjadinya Tragedi 
September 1965 menjadi hilang tak tentu rimbanya, tenggelam tak menentu laut, 
danau  dan   sungainya. Yang penting di sini bukan Lekra-nya, tapi ide dan 
semangat yang ditumbuhkannya yaitu mengejar ketertinggalan dan menjawab tagihan 
hutang sejarah sebisa mungkin. Aku tidak tahu, apakah angkatan sekarang 
mempunyai rasa berhutang demikian atau tidak?
   
   
  Oleh adanya hutang seniman dan tagihan hutang sejarah itu serta peran seniman 
dalam memanusiawikan manusia, maka Sai Dongoran, kukira kau ditantang untuk 
minimal menulis 100 novel selaksa cerita.  Iya, seratus novel selaksa cerita. 
Tak membanggakan dan tak padan jika hanya menulis delapan sepuluh novel atau 
seratus cerita. Kehidupan dan sejarah menyediakan sumber berlimpah untuk 
menulis. Entah kalau kau tak perduli pada kehidupan dan sejarah. Dengan 
mencermati kehidupan dan sejarah, kau akan sampai pada apa yang dikatakan oleh 
Chairil Anwar: aku mau hidup seribu tahun lagi untuk membawakan kalung 
ole-ole buat si pacar bernama kemanusiaan. 
   
   
  Seratus novel selaksa cerita hanya mungkin ditulis jika si penulis belajar , 
meneliti dan mempunyai kemampuan tekhnis yang semuanya pun bukan keajaiban. 
Tanpa belajar, meniliti dan membaca kehidupan ditambah dengan peningkatan 
tekhnis terus-menerus, seratus novel dan selaksa cerita tak bakal ditulis. 
Kalau pun ia bisa ditulis, hasilnya tidak akan bisa membayar hutang pada 
sejarah yang gigih menagih dan usaha pemanusiawian manusia.Narsisme mempunyai 
batas dan perbatasan yang tak jauh. Narsisme tak pernah jauh jangkauannya. 
   
   
  Belajar, meneliti, mengakrabi kehidupan dan kemampuan tekhnis bukanlah hal 
yang ajaib .***
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008.
  
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris.

   
-
Tired of visiting multiple sites for showtimes? 
  Yahoo! Movies is all you need


[ac-i] Ke suatu malam puisi di Kedai Kebun

2008-01-17 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  KE SUATU MALAM  PUISI DI KEDAI KEBUN
   
   
  Sinyal sms telpon genggamku yang sederhana berbunyi. Hari itu awal November 
2007.  Kubuka, ternyata pesan dari Saut Sitomurang: Aku harap Bung bisa datang 
jam 20:00 malam ini di Kedai Kebun, Yogya. Ada acara baca puisi.  
   
   
  Sebelumnya, kami, aku dan Saut,  memang sudah pernah bertemu berdua. 
Pulang-pulang ke tempat masing-masing, malam  sudah cukup larut setelah omong 
hulu-hilir tentang macam-macam soal sastra , tentu saja. Saut mengantarku 
dengan sepeda motornya.  Sambil menuju ke tempat penginapanku di Jalan Dagen,  
menengahi gemuruh lalulintas dan derum sepeda motornya,  aku cerita masa remaja 
Yogyakartaku. 
   
   
  Kau kangen iya?tanyanya.
   
  Tidak juga. Hanya terlalu manis untuk bisa lepas dari   dari ingatan, 
ujarku. Yogya, mempunyai tempat sendiri dalam hidupku. Betapa pun waktu dan 
segala peristiwa telah mengubah dan sempat mengasingkan aku dari padanya, Yogya 
tetap merupakan salah satu arah yang kutuju saban ada kesempatan. Aku masih 
hapal lorong-lorongnya yang dulu sering kulalui dengan jalan kaki saban pergi 
kuliah. Yogya seperti Rara yang melekat di hatiku, tambahku.
   
   
  Dengan latar Yogya begini maka sms Saut segera kubalas: Aku pasti datang 
Bung. Jawabannya pun segera: Kutunggu!. Dalam kontak dengan Saut, aku 
berterimakasih kepada Sai yang telah menyiapkan pertemuan kami.  
   
   
  Berjumpa langsung dan bicara kurasakan memberi peluang untuk saling mengenal 
pribadi, pandangan dan sosok seseorang. Jika ada persoalan, cara ini pun akan 
membuka peluang besar untuk memecahkan persoalan, jika memang ada masalah.  
Melalui pertemuan berkali-kali, aku mulai mengenal Saut lebih jauh.  Mengenal 
alur pikirannya dan lebih-lebih lagi perasaannya.   
   
   
  Aku memang lebih tua usia dari Saut, tapi aku tidak merasakan kelebihan usia 
sebagai kelebihan dalam sastra dan bidang-bidang lain. Kami berbicara dalam 
posisi setara, bahkan mendekati curhat. Memecahkan soal jika berangkat dari 
perasaan lebih unggul dan tidak bertolak dari keinginan menyelesaikan soal, 
perjumpaan hanya akan berujung dengan ketegangan kian meruncing. Dalam hal ini, 
aku jadi teringat akan kepekaan remaja Yogyaku dulu. Aku sering tidak puas dan 
memprotes. Dalam menghadapi sikapku ini, aku bertemu dengan macam-macam sikap 
pula. Ada yang mengatakan secara terbuka bahwa aku anak kemarin sore, tak 
perlu diindahkan. Bahkan ada yang mengejek: Apa sih perlunya sastra dalam 
hidup!?. Tapi ada  pula yang memperlakukan kebengalanku dengan sabar, 
mendengarku dengan sabar, mencoba memahami pikiran dan perasaanku, bahkan 
menempatkan aku setara dengan dirinya, betapa pun jenjang pengetahuan, 
pengalaman dan usia sesuai dengan prinsip tut wuri handayani, saling asih,
 saling asuh dan saling asah. 

Sikap terakhir ini membuatku kemudian malu sendiri, dan aku dijawab: Aku 
adalah matahari yang sudah condong ke barat dan kau adalah matahari jam 8-9 
pagi. Dalam analisa terakhir, kaulah, angkatanmulah pemilik bumi dan esok, 
bukan aku yang berbau tanah. Ketika mengenal istilah ilmu komunikasi win-win  
solution, sempat juga terlintas di kepalaku, apakah ini bukan istilah baru 
yang dimenterengkan agar lebih kelihatan canggih secara psikhologis atas nama  
sesuai zaman,  untuk suatu kearifan lama? Dari apa yang kualami dan bagaimana 
aku diperlakukan , membekas benar betapa penting arti kemampuan mendengar dan 
saling menghargai serta menghormati harga diri orang lain. Untuk sampai ke 
tingkat ini, tingkat yang kusebut sebagai tingkat lebih dewasa secara psikhis, 
pemikiran dan perasaan, aku menempuh jaman berliku dan jatuh bangun. Ketika 
tiba di tempat begini, aku menertawai diri sendiri, menertawai kepongahan yang 
sesungguhnya tidak lain dari
 sifat kekanakan, berbeda dengan mimpi, cinta dan cita-cita. Mimpi atau cinta 
yang ranum pun agaknya merupakan buah yang dimatangkan waktu. Tidak dirontokkan 
angin ketika masih puitik. Mengatakan kamilah, akulah, ukuran, standar sastra 
, kukira tidak lain dari kepongahan bocah sedang tumbuh yang tidak indahkan 
kiri-kanannya. Pede sih pede, tapi kepedean yang awur-awuran.
   
   
  Agar bisa mengikuti acara dari awal , dan agar keterlambatan tiba tidak 
menarik perhatian orang, aku pun datang lebih awal ke Kedai Kebun. Sambil 
menunggu acara dimulai, aku melihat-lihat keadaan Kedai Kebun yang sudah banyak 
berobah dari beberapa tahun sebelumnya ketika kukunjungi.  Orang-orang kulit 
putih dan Indonesia, ada yang asyik di komputer tanpa kabel, ada yang makan dan 
minum di ruang restoran, ada juga yang seperti aku melihat-lihat buku yang 
dipajangkan di tembok. Tak terlalu kaya memang jumlah dan judul buku-buku yang 
dipajangkan sehingga bisa kupastikan dari buku-buku ini Kedai Kebun yang 
kudengar disponsori dan dimiliki oleh seorang pelukis [perempuan?!] tidak 
mungkin ia menjalankan kelangsungan Kedai Kebun. Aku menduga bahwa sumber 
finansial utama akan bersandar pada usaha 

[ac-i] Puisi-puisi Bachtiar Siagian [5]

2008-01-17 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [5]
   
   
  Puisi-puisi berikut adalah puisi-puisi yang dihimpun oleh Bachtiar Siagian di 
bawah judul ELEGI CELAH BUKIT 
   
   
   
  MAWAS DIRI
   
   
  Sekali hatiku meronta-ronta
  Pedih, merasa terhina
  Ketika memikul peti berisi kotoran
  tinja manusia se-sel tahanan
   
   
  Aku berteriak lantang
  Melontarkan kebencian
  Ingis menghanguskan hutan
  dan membekukan lautan
   
   
  Tetapi ketika teringat petuah guru
  bahwa pengalaman adalah permata
  Kucoba membujuk hati yang nyeri
  di panas terik matahari
   
   
  Kiranya di hatiku ada benalu
  kecongkakan berbalut beledru
  Yang ingin menayingi matahari 
  dan menggenggam poros bumi
   
   
  Akhirnya aku tersenyum sendiri
  Telanjang dijepit rasa nyeri
  dan peti putih berisi kotoran
  merobek mahkota kesombongan
   
   
  Ketika esok, lusa dan seterusnya
  kupikul lagi peti berisi kotoran
  kurasakan sentuhan jari Tuhan
  pada hati yang dibajakan.
   
   
  Permisan 1972


[ac-i] Puisi-puisi Bachtiar Siagian [4]

2008-01-16 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN
   
   
  RENUNGAN
   
   
  I.
   
   
  Bayangan tak pernah tetap
  Namun dia selalu ada
  Kenanganpun beralih makna
  Yang manis berganti rasa
   
   
  Ah, mana ada musim tanpa kisah
  Di latar bumi berbayang ini 
  Berjuta kisah telah berlalu
  Yang putihpun disebut kelabu
   
   
  II.
   
   
  Di ketandusan semacam apapun juga 
  tanamlah apa yang bisa
  Barangkali tak ada yang tumbuh 
  Tetapi di hatimu
  Bersemi sesuatu
   
   
  III.
   
  Duka
  Apakah dia siksaan
  Ataukah kenikmatan?
  Ah,  apa lezat hidup ini
  Tanpa duka menyelingi?
   
   
  IV.
   
   
  Matahari
  Kau memberi arti
  Tentang kedatangan dan kepergian
   
   
  Matahari
  Kau memberi makna
  Tentang kesetiaan dan keteguhan
   
   
  Matahari
  Di terikmu aku berdiri
  Mengamati diri
   
   
  V.
   
  Karang
  Di dadamu ombak terhempas
  Di tenangmu aku terbebas
   
   
  Karang
  Di bisumu laut berdesah
  Di sabarmu aku terasah
   
   
  VI.
   
   
  Hari ini kubakar alang-alang
  Ketika lapar dan terik membakar
  Kiranya derita bukan penghalang
  Untuk mencicipi nikmat tawa
   
   
  Mentertawakan diri sendiri
  Yang tersungkur di perjalanan
  Barangkali lebih berarti
  Dari keluhan di kehilangan
   
   
  Hari ini kubakar alang-alang
  Hari ini kutantang kesombongan
   
   
   
  NUSAKAMBANGAN
   
   
  Di batas Selatan tanah tercinta
  membentang nusa Wijayakesuma
  Pulau buangan tanah karang
  Bumi pijakan dikehilangan
   
   
  Di sini derita dijalin mesra
  Bersama kasih bertarung baja
  Rindu membeku ditelan debu
  Duka rekah di bukit batu
   
   
  Namamu selalu menyulam haru
  Di lembah-lembah rintih berpadu
  Tapi, bila hati menjamah hati
  Cemerlang segala di bumi ini
   
   
  Wijayakesuma Nusakembangan
  Engkaulah kasih dalam tantangan
   
   
  ***


[ac-i] kronik dokumentasi wida: puisi-puisi bachtiar siagian [3]

2008-01-14 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida 
   
   
  PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN
   
   
  Riuh Di Keheningan 
   
   
  I.
   
   
  Aku ini anak perbatasan
  Dari dua dunia berpapawan
  Antara kasih dan kebencian 
  Antara kekosongan dan kberadaan
   
   
  Kupikul segenap beban pertanyaan
  Yang menyerpih dari balik pengalaman
  Apabila nanti terhempas ke tepi 
  Aku menari-cari di hati sendiri
   
   
  II.
   
   
  Di hamparan kelam
  Sepi  bergumam 
  Hati dipagut
  Rindu yang kalut
  Lalu terasa nyeri
  Berhari-hari
   
   
  Gemerlap di kelam ini 
  membekas sekilas lintas
  Dan hanguslah mimpi
  Di beku kawat berduri
   
   
  III.
   
   
  Baju yang terus koyak
  Kutampali lagi
  Tak henti-henti
  Betapa gerangan menampali
  Hati yang robek 
  Dan pikiran yang koyak?
   
   
  IV.
   
  Ketika harapan berpapasan
  Dengan segala yang tak terpegang
  Terasalah semua
  Yang disebut hampa
   
   
  Tetapi hidup bukan kehampaan
  Yang terasa di kejatuhan 
  Ia madu 
  Bagi yang mampu
  Dan bencana 
  Bagi yang buta
   
   
  V.
   
   
  Jika kedunguan dan keserakahan
  Membebani hari nurani 
  Pasir pun dianggap permata
  Dan kejujuran tak berharga
   
   
  VI.
   
   
  Di larut sendja ini 
  Berebutan segala tanya
  Satu yang paling terasa
  Kedunguan sendiri
   
   
  VII.
   
   
  Segala yang menjulang ke puncak
  Sekali kan jatuh ke bumi 
  Dan pulanglah segalanya 
  Ke batas semula
   
   
  ***

   
-
Tired of visiting multiple sites for showtimes? 
  Yahoo! Movies is all you need


[ac-i] puisi-puisi bachtiar siagian [1]

2008-01-11 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [1]
   
   
   
  Menjelang pergi ke Indonesia akhir tahun 2007  lalu,  saat membongkar 
berkas-berkas lama, tiba-tiba aku mendapatkan sebundel berkas diketik di atas 
kertas warna merang. Kertas-kertasnya pun sudah sangat gampang sobek jika kita 
membukanya tidak dengan hati-hati. Aku sendiri sudah lupa,  dari mana aku 
mendapatkan kumpulan puisi dan renungan ini. Satu-satunya yang masih kuingat 
bahwa pada masa kuat-kuatnya Orde Baru Soeharto, aku memang banyak sekali 
mendapat kiriman naskah-naskah yang ditulis dari pulau pembuangan dan penjara 
di Indonesia . Termasuk naskah ini. Sebagian kecil dari naskah-naskah itu sudah 
kusiarkan bersama teman-teman dalam bentuk sangat sederhana. Sebagian terbesar 
, aku jadi sangat menyesal sendiri, tidak terawat dan entah di mana sekarang. 
Sebagian kecil yang sudah kami siarkan adalah  tulisan Hersri Setiawan ,Di 
Sela-sela Intaian dan  Pledoi Kolonel Latief [sekarang sudah diterbitkan di 
Indonesia]. 
   
   
  Karya-karya yang ditulis langsung dari pulau pembuangan dan penjara, selain 
merupakan saksi sejarah yang hidup, kukira karya-karya demikian   
memperlihatkan pergulatan seorang anak manusia menarung maut dan menolak kalah. 
Setia pada martabat kemanusiaan dan mimpinya. Bahwa menjadi manusia bermartabat 
dan berharga diri bukanlah sesuatu yang sederhana. Mimpi dan cinta itu pun 
seharga kepala. Menagih kesanggupan memilih.
   
   
  Dengan penilaian begini, maka aku merasa sangat gembira  telah mendapatkan 
kembali kumpulan tulisan berjudul Catatan Kemarau [CK] dan Mencari Dalam 
Sepi [MDS], karya Bachtiar Siagian, salah seorang pekerja filem terkemuka dari 
Lembaga Filem Indonesia Lekra. Dari tangannya  antara lain telah lahir filem 
Turang, drama Batu Merah Lembah Merapi... 
   
   
  CK dan MDS menghimpun karya-karya Bachtiar Siagian antara tahun 1967 hingga 
tahun 1975 bertandakan  Salemba dan Nusakambangan [NK].
   
   
  Melalui Kronik dan Dokumentasi Wida ini, aku akan siarkan karya-karya 
Bachtiar Siagian tersebut, sebagai penghormatanku kepada beliau, sekaligus 
sebagai bentuk usahaku mencari keluarganya dan menyerahkan karya-karya Bachtiar 
Siagian ini kepada mereka yang berhak memilikinya. Sampai aku menggoreskan 
kalimat-kalimat ini, aku masih kehilangan jejak Bachtiar. Aku sama sekali tidak 
tahu, beliau di mana. Apakah masih hidup atau sudah tiada. Kalau meninggal di 
mana makamnya? Aku tidak ingin karya-karya ini hilang seperti halnya dengan 
banyak karya  orang lain,  ketika berada di tanganku -- seorang penghuni 
kemah perjalanan. Mencegah hal buruk begini, maka paling tidak memasukkannya 
ke dalam dokumentasi, maka tulisan-tulisan Bachtiar Siagian yang ia gores di 
saat menarung ajal memenangi hidup, sedikit demi sedikit akan kusiarkan 
selengkapnya.
   
   
  Bisakah penyiaran karya-karya ini dipandang sebagai salah satu bentuk 
tanggungjawab, saling hormat dan solidaritas bersastra? Entahlah. Yang 
kukehendaki agar kita bisa bebas  dari subyektivisme,  seperti yang dikatakan 
oleh Chairil Anwar dalam puisinya Catetan TH. 46 : keduanya harus dicatet, 
keduanya dapat  tempat.
   
   
  Adanya karya-karya seperti karya Bachtiar ini, karya yang tidak mendapat 
peluang terbit pada masa Orde Baru, barangkali menunjukkan bahwa pada periode 
itu selain ada sastra yang muncul, ada pula sastra yang tidak muncul. 
Underground literary jika boleh meminjam istilah Supriadi Tomodihardjo dari 
Köln, Jerman. 
   
   
  Berikut adalah karya-karya Bachtiar Siagian yang kumaksudkan itu:
   
   
  [Tanpa judul]
   
   
  Sekelumitpun Kasih
  menyala di dada
  Ia mampu 
  menantang derita
   
  Salemba 1967
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008
  ---
  JJ. Kusni, pekerja biasa di Koperasi Restoran Indonesia Paris.
   
   
  [Berlanjut]

   
-

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel



[ac-i] surat dari montmartre: membaca ulang selasar kenangan [4]

2008-01-06 Terurut Topik sangumang kusni
Surat dari Monmartre: 
   
   
  MEMBACA ULANG SELASAR KENANGAN 
   
  Kumpulan Cerpen Srikandi Apsas
  Tebal:95 hlm + xx.
  Penerbit:Akoer, Jakarta, Juni 2006
   
  [Dengan ucapan Selamat Ulang Tahun  Ke-3 Kepada Milis Apresiasi Sastra]
   
   
   
  PERAN EDUKATIF KARYA SASTRA
   
   
  Tokoh-tokoh yang diciptakan oleh penulis, melalui berbagai tekhnik 
pengungkapan ide dan perasaannya,  kupahami sebagai  bagian dari wacana sertai 
mimpi penulis tentang dunia yang ia impikan.  Tokoh adalah personifikasi wacana 
dan mimpi penulis.Tokoh dilahirkan oleh penulis melalui pernikahan imajinasi 
dengan kenyataan kehidupan dan pengalaman disaring oleh tingkat kemampuan 
ketrampilan tekhnis dan tingkat pengetahuan dan jenis komitmennya. Tergantung 
pada rabun dan tidak mata hati memandang dunia yang tak ramah guna menangkap 
sari, warna rara dan hitamnya. Tokoh-tokoh inilah yang kemudian secara 
berdaulat sebagai anak penulis berhadapan dengan para pembaca dengan para 
pembaca yang sama berdaulatnya. Mereka berdialog langsung. Peran penulis dalam 
bermasyarakat, barangkali terletak dalam menetapkan mengirimkan tokoh yang 
dilahirkannya sekaligus sebagai delegasi pribadi menjumpai pembaca, untuk tidak 
menggunakan istilah masyarakat. Delegasi ini,  walau pun tidak bicara
 banyak, tapi dengan penampilannya ia sudah banyak berbicara dan menawarkan 
suatu esok. Boleh jadi di sinilah terletak makna kepujanggaan, kata yang 
mengandung arti sangat dalam dan luas.Karena ia mengandung pesan, harapan dan 
mimpi yang utuh tentang wajah hari ini dan esok . Penulis tidak serta-merta 
menjadi pujangga dengan otodeklarasi sekedar mendapat sebutan sastrawan dan 
seniman.  Otodeklarasi, iklan diri  tanpa jemu dan berburu sebutan, agaknya 
lebih dekat kepada tingkat berkesenian instingtif yang darinya tidak bisa  
diharapkan terlalu jauh dan terlalu banyak. Tidak lebih dari suatu gejala 
permukaan sesaat. Berkesenian, kukira, memerlukan seniman yang selalu mencari 
dan selalu kucari jalan terbaik agar tidak ada penyesalan dan airmata, agar 
tercipta keadaan damai bersenandung,  betapa pun jadul [jaman dulu]nya,  jika 
menggunakan lirik lagu Rinto Harahap, agar bisa menyelam lubuk hakekat dan 
menampilkan tokoh yang menarik berguna bagi pemanusiawian manusia.
 Sayangnya, zaman sekarang , anak negeri dan bangsa kita , lebih suka pada yang 
serba instant alias mencoba menempuh jalan pintas -- pola pikir dan 
mentalitas yang dikandung oleh globalisasi kapitalis, serta produk dari suatu 
pilihan politik penyelenggara negara pada suatu periode. 
   
   
  Ketika membaca ulang Selasar Kenangan pinjaman Sairara  pada November 2007 
lalu di Indonesia, sebagai seorang ayah, aku sempat tertegun dan merenung. 
Selasar Kenangan, menampilkan dengan jujur kenangan masa kecil sembilan 
penulis yang tampil di antologi ini sebagai hasil seleksi dari 21 cerpen lomba 
apsas. Selasar Kenangan, mengingatkan aku akan teori tabula rasa, atau 
kertas kosong dari Mao Zedong.  Anak-anak adalah kertas kosong. Isi kertas 
kosong itu banyak ditentukan oleh orangtua. Perangai, watak, pikiran dan 
perasaan anak selanjutnya sangat ditentukan oleh ortu.  Karena itu , usai 
membaca ulang Selasar Kenangan, sebagai seorang ayah, aku merasa ditegur agar 
cermat menghitung  kata, tindakan, gerak-gerik, menghitung jumlah perhatian 
kepada anak di tengah-tengah kejaran dan himpitan pemenuhan kebutuhan hidup, 
mencermati pembagian ruang di rumah agar tidak berdampak negatif bagi 
perkembangan anak. Setelah berhadapan dengan tokoh-tokoh dalam Selasar
 Kenangan,  suara yang mengetuk hatiku adalah Jangan bikin anak jika tidak 
bisa bertanggungjawab pada anak dan esok anak. Jangan melahirkan anak jika 
menyiksanya dengan derita karena kesalahan ortu.  Melalui tokoh-tokoh Selasar 
Kenangan,  aku seperti mendengar suara balita berseru kepada ayahnya dalam 
lagu Batak Ahawa Natau Sidohununku,  yang menjewer telingaku sebagai ayah 
bahwa betapa anak memerlukan cinta total. Anak lahir tanpa diminta 
persetujuannya. Semestinya, anak dilahirkan oleh mimpi terindah dan 
tanggungjawab akan esok yang membatasi eksistensi kita. Anak adalah 
kesinambungan perjalanan menjelang esok yang tak berbatas.  Tanggungjawab 
adalah totalitas dalam menghadapi segala bentuk kegarangan kuda liar [wild 
horse] kehidupan. Anak  adalah tanda cinta agung kita pada kehidupan dan 
kepercayaan akan kekuatan manusia sebagai anak enggang putera-puteri naga 
[rengan tingang nyanak jata]. Desakan keperluan biologis seniscayanya 
memperhitungkan soal-soal
 ini, agar tidak meninggalkan tragedi karena kurang hitung.  Berdialog dengan 
tokoh-tokoh Selasar Kenangan, sebagai ayah, aku merasa kembali seorang anak 
kecil yang diam mendengar kemarahan sang ibu atau ayah. Tokoh-tokoh kanak dalam 
Selasar Kenangan, tampil di hadapanku sebagai ortu. Tokoh-tokoh Selasar 
Kenangan kurasakan tampil ke hadapanku dan bertutur dengan semacam gugatan 
halus tajam. Halus, karena mereka sudah dewasa dan malah menjadi penulis. Halus 

[ac-i] kronik dokumentasi wida: alam lembang

2007-12-30 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  ALAM LEMBANG
   
   
  Sebagai pekerja biasa Koperasi Restoran Indonesia Paris, buruh rendahan, 
smiker, jika menggunakan ungkapan orang Paris, aku paling sering mendapat 
giliran kerja malam yang sering mendapat kesulitan pulang jika sudah terlalu 
larut. Lebih-lebih di akhir pekan. Mencari taksi pun tidak gampang dan kadang 
terpaksa pulang jalan kaki menembus dingin musim. Dari para sopir taksi, aku 
paham kemudian bahwa jumlah taksi ibukota Perancis ini sesungguhnya tidak 
memadai untuk menjawab permintaan. Cerita-cerita sopir taksi dari berbagai 
negeri asal, kemudian kurasakan sebagai salah satu sumber informasi berharga 
untuk mengenal kehidupan Paris senyatanya.  Sumber yang tidak didapat melalui 
buku-buku akademi. 
   
   
  Demikian pula hari itu. Sebuah petang bulan Desember 2007. Aku bekerja malam 
yang secara umum imbalannya lebih besar dari yang bekerja siang. Tapi tidak di 
Koperasi kami. Imbalan yang bekerja siang dan malam sama saja. Bahkan pernah 
kami mengambil kebijakan ekstrim, menggunakan gaji samarata dan menimbulkan 
dampak buruk. Agaknya ekstrimitas, senantiasa merupakan pandangan dan sikap 
yang tak tanggap keadaan dan tidak apresiatif. Ekstrimitas, entah kiri atau 
kanan, dan entah berlindung di balik nama apa pun: setan atau dewa,   hanyalah 
ujud lain dari subkyetivisme dan keterbatasan daya pandang yang bisa 
memerosotkan diri dan kehidupan bermasyarakat. Musuh ekstrimitas barangkali 
adalah pertanyaan dan kejujuran.
   
   
  Saban datang, sebagai kerja pertama yang kulakukan adalah memeriksa buku 
reservasi di mana tercatat nama-nama pelanggan yang akan datang, jam datang, 
dan berapa jumlah mereka yang akan makan malam. Makan malam, di negeri ini 
bukan sekedar makan , tapi berwayuh  arti, jika menggunakan istilah alm. 
Prof.Djojodigoeno S.H. dari Universitas Gadjah Mada dulu zaman aku masih jadi 
mahasiswa universitas beken di ibukota Republik zaman revolusi ini. Atas dasar 
informasi buku reservasi itu, aku bisa menduga keadaan yang akan dihadapi 
malam itu dan mengatur cara menghadapinya. Dengan kata lain: menetapkan rencana 
kerja dan mensistematikkan  pekerjaan sehingga yang bekerja bisa lancar dan 
para tamu merasa nyaman. Kenyamanan tamu merupakan sesuatu hal yang patut 
dihitung oleh usaha seperti restoran. Para pelangganlah yang menghidupi 
restoran dan usaha produktif. Karena itu, di sini,  pelanggan disebut raja. 
Padahal di masa kecilku di Katingan, Kalimantan Tengah, kata raja
 mengandung konotasi sangat buruk. Berarti pemalas, main perintah, dan 
menghisap tenaga orang lain.   Apakah pengertian Oloh Katingan ini merupakan 
penelenjangan watak masyarakat kapitalistik di mana sekarang aku berada di 
tengah-tengahnya? Entahlah, tapi benar, di masyarakat Katingan pada waktu itu, 
kehidupan komunal masih sangat kuat. Hasil perburuan dibagi-bagi pada tetangga. 
Semangat kebersamaan dari budaya rumah betang [rumah panjang, long house] di 
masa kecilku masih sangat terasa. 
   
   
  Dari buku reservasi  di suatu petang bulan Desember ini, aku dapatkan 
sebuah catatan aneh. Pemesan tempat bernama seorang Jerman, tapi di bawahnya 
tertulis: Orang Indonesia. Mengapa harus ditambah kata-kata Orang 
Indonesia? Padahal, jika mau terus-terang, kami tidak terlalu gairah melayani  
tamu Orang Indonesia. Rewel dan minta diutamakan, minta segalanyasegera, 
tanpa memperdulikan urut-urutan pelayanan bak seorang raja atau ratu, pangeran. 
Dan adakah budaya antri, sebagai tanda kita menghormati orang lain di 
Indonesia? Ucapan maaf dan terimakasih pun menjadi langka kudengar di tanah 
kelahiranku. Yang sering kuhadapi adalah peragaan kehebatan diri dan kekuasaan. 
Aku hebat. aku berkuasa!. Kau tak ada apa-apanya. Sikap yang kuanggap tidak 
terlalu jauh dari hukum rimba. O, barangkali ini adalah pola pikir yang 
ditelorkan oleh globalisasi kapitalis dan uang adalah raja. Katingan, Oloh 
Katinganku! Budaya Rumah Betang-mu secara fisik dan wacana sudah jadi
 kadaluwarsa. Matahari dan langitmu pun berobah warna di musim hutan terbakar, 
para dandau durang [bahasa Dayak Katingan, berarti: orang-orang tersayang]. 
Mencintai dan menjadi Indonesia adalah suatu tekad dan pilihan terhitung. 
Membuatnya menjadi  Republik Indonesia adalah suatu program dan memerlukan 
orang-orang yang bertekad dan berkesadaran. Demikian pula untuk kehidupan 
budayanya. Sebab aku sering melihat kita meragi usangkan budaya kita sendiri 
atas nama modernisasi atau melestarikan budaya sendiri.
   
   
  Melihat catatan di bawah nama  Jermanik, rasa ingin tahuku lalu menjadi-jadi. 
Aku sangat menanti-nanti kedatangan Orang Indonesia itu.  
   
   
  Tepat waktu, seorang perempuan muda bulé datang dan mengatakan bahwa ia sudah 
pesan tepat. Aku menatap wajahnya lurus ke mata. Sama sekali tak ada 
tanda-tanda Indonesia.
   
  Benar ini nama Madame atau Mademoiselle? , tanyaku dalam bahasa Perancis 
sambil memegang kertas nama yang disebutkannya.
   
  Maaf, saya tidak bisa 

[ac-i] surat dari montmartre: mencoba membaca masa silam

2007-12-27 Terurut Topik sangumang kusni
Surat Dari Montmartre:
   
   
  MENCOBA MEMBACA MASA SILAM
  [Kepada A. Kohar Ibrahim, Putera Indonesia Asal Betawi  Yang Bersemangat].
   
   
   
  Kohar  putera Betawi, syohibku yang bertahun tak berjumpa,
   
  Sangat menarik apa yang kau katakan bahwa: Maka gamblang sekali, dalam hal 
adanya manifestasi aksi berupa Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang dikonsepsi 
dan dideklarasikan oleh sementara kalangan budayawan, sastrawan dan penyair 
Indonesia itu tak lain tak bukan merupakan peristiwa politik – bukan 
semata-mata kebudayaan. 
   
  Pendapat ini menunjukkan bahwa Manifes Kebudayaan selain merupakan peristiwa 
kebudayaan juga sekaligus merupakan peristiwa politik, peristiwa dan tindakan 
yang menunjukkan dengan gamblang hubungan politik dengan kehidupan kebudayaan, 
sebagaimana juga yang kita saksikan bersama di Tiongkok semasa Revolusi Besar 
Kebudayaan Proletar [RBKP] di tahun 65an ke atas, dengan segala kesalahan, 
kelemahan dan segi positifnya.  Seperti Bung ketahui dengan baik bahwa RBKP 
berawal dari polemik tentang novel Hai Rui Dipecat Dari Jabatannya. Peristiwa 
ini dan juga berdasarkan peristiwa-peristiwa sebelumnya termasuk Gerakan 4 Mei, 
disimpulkan oleh Mao Zedong sebagai peristiwa kebudayaan mendahului peristiwa 
politik. Kukira kesimpulan  ini pun berlaku untuk  Indonesia antara lain 
dengan penerbitan Tetra Pulau Buru karya Pramoedya A. Toer, penulis  yang 
banyak Bung bicarakan dalam tulisan serial Bung. Kukira , Hasyim Rachman dan 
Joesoef Isak, tidak kebetulan menerbitkan Tetra Pulau
 Buru itu. Joesoef Isak pada berbagai kesemopatan mengatakan bahwa kebebasan 
merupakan HAM, hak alami anak manusia, dan ia bukan pemberian penyelenggara 
negara tingkat mana pun. Hak yang harus dibela. Jika dirampas, ia harus direbut 
kembali. Penjara, pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan? Hanyalah resiko 
dalam membela dan merebut kembali hak alami itu. Joesoef Isak dan lain-lain 
sudah membuktikan kata-katanya ini dengan perbuatan, antara lain dengan 
menerbitkan tetra Pulau Buru Pram pada masa masih berkuasanya Soeharto. 
Penerbitan tetra ini, kukira, selain merupakan peristiwa budaya, juga adalah 
peristiwa politik. 
   
   
  Dilihat dari analisa Mao Zedong di atas, dibandingkan dengan pendapat dan 
sikap Joesoef Isak ini, plus sejarah negeri ini sendiri,  aku melihat di 
Indonesia pun  agaknya dunia kebudayaan memang merupakan ruang pergulatan awal 
yang kemudian menjalar ke bidang-bidang lain, termasuk politik. Konsep 
Indonesia Merdeka, Sumpah Pemuda 1928, misalnya, kukira, awalnya, adalah konsep 
di dunia budaya. Dunia pemikiran.  Kemudian menjalar ke lingkup lain. Sumpah 
Pemuda, Indonesia Merdeka kemudian berkembang menjadi tekad Merdeka Atau 
Mati. Tidakkah Merdeka Atau Mati pun adalah suatu ide dan sikap budaya juga? 
Ide yang menjelma menjadi kekuatan material ketika ia jadi milik masyarakat.  
Dengan ini, aku mau mengatakan peran budaya sebagai dasar membangun hari ini 
dan esok.
   
   
  Sampai sekarang, aku tidak menganggap bahwa  RBKP merupakan  sesuatu yang 
serba hitam semata. Betapa pun mungkin seperti pernilaian CC Partai Komunis 
Tiongkok, RBKP dipandang 60% keliru. Enam puluh persen keliru artinya persen 
yang tersisa mempunyai arti positif. Sedangkan peristiwa politik dan budaya 
berbentuk Manifes Kebudayaan dan kelahiran Lekra itu sendiri, barangkali, bisa 
diangkat sebagai salah satu bukti bahwa pertarungan budaya mengawali pergulatan 
lebih lanjut di bidang-bidang lain, seperti halnya politik budaya kolonialis 
Belanda ragi usang terhadap etnik Dayak.
   
   
  Politik dan kebudayaan,  termasuk sastra-seni, jika kita menyimak data-data 
sejarah negeri mana pun, agaknya saling bertautan dan pengaruh-mempengaruhi. 
Sekali pun mereka, bidang-bidang itu berada dan mempunyai tempat masing-masing 
yang mandiri sebagaimana kedudukan sebuah sekrup dalam mesin keseluruhan suatu 
masyarakat manusia.  Mandiri, tapi saling bertautan. Pengaruh-mempengaruhi 
sebagaimana hubungan suatu negara dan bangsa berdaulat satu dengan yang lain di 
lingkup dunia. Dalam kontek sebagai utus kalunen [keluarga  manusia] , jika 
menggunakan alur pikiran manusia Dayak dahoeloe. Saling hubungan antara sektor 
satu dan sektor lain ini akan menjadi kian gamblang jika kita , termasuk 
sastrawan-seniman, tidak berkurung dalam ruang sempit kejuruannya, tapi paling 
tidak, membuka jendela dan pintu pandangannya lebar-lebar untuk melihat dan 
memahami dunia serta kehidupan seutuhnya, mencemplungkan diri ke 
tengah-tengahnya agar pemahaman itu menjadi lebih mendalam dan
 menyentuh hakiki. Yang kumaksudkan dengan membuka jendela dan pintu pandangan 
lebar-lebar, bisa juga dikatakan secara lain yaitu mempelajari segala segi 
kehidupan bermasyarakat, mencoba melihatnya dari berbagai sudut pandang seperti 
psikhologi, filsafat, sejarah, sosiologi, ekonomi, ilmu bahasa,  termasuk dan 
terutama politik [yang oleh sementara teoritisi politik dipandang sebagai 
pencerminan terpusat dari segala kepentingan,