[ac-i] jurnal toddopuli: puisi dan sejarah
Jurnal Toddopuli: PUISI DAN SEJARAH [Cerita Untuk Anak-anakku} Seperti biasa , sambil berangkat ke tempat bekerja, ayah singgah ke toko buku second hand [buku luakan] San Francisco yang tertetak hanya 500 meter dari Koperasi Restoran Indonesia di Paris. Ayah selalu mampir di tokobuku luak ini karena sering di sini ayah mendapatkan buku-buku lama dan baru yang langka dalam berbagai bidang, tapi bisa diambil secara cuma-cuma. Kedua karena di toko buku ini , ayah bisa mendapatkan buku-buku dengan harga sangat murah dengan harga dua erois sedangkan di tokobuku lain bisa berharga 30 Euros. Ayah tidak mementingkan bentuk buku, tapi isinya. Jika buku itu rusak , ayah bisa perbaiki. Kalian tentu masih ingat, betapa sejak kalian masih bocah, ayah selalu mengusahakan agar kalian mencintai buku, rajin membaca dan mencintai buku. Iwa, kakak sulung kalian, tentu kalian masih ingat, betapa senangnya jika tahu ayah bermaksud ke Gramedia. Mata kakak sulung kalian lalu bersinar menyala dan mengatakan bahwa ia harus ikut untuk membeli buku ini dan itu yang ia belum punya. Begitu sampai di tokobuku, ia nampak seperti ikan dalam air ditengah-tengah rak-rak buku. Mencari buku yang ia cari memenuhi jatah bulananbnya berhak memperoleh dua buku. Ayah tentu saja gembira dengan kecintaan kalian sejak bocah pada buku dan kesukaan kalian membaca. Buku adalah dunia masa silam dan hari ini, sangu bertarung dan mem bangun esok yang menjadi tanggungjawab kalian. Angkatan bodoh tidak bakal bisa membanun esok yang tanggap dan apresiatif. Buku adalah sebuah pintu dan jendela besar dari aa kalian bisa melangkah ke dunia lebih besar, menjadi anak dunia tanpa lepas akar. Akar ini penting, anak-anakku. Dunia adalah ladang di mana kalian tumbuh. Aku tidak ingin besar hanya di bawah langit kecil Jawa, Kalimatan atau Sulawesi Selatan atapalagi hanya langit satu dua kota. Buku memberi syarat bagi kalian untuk mengeduk pengetahuan dari masa silam dan hari ini. Buku adalah jembatan penyambung antara masa silam, hari ini dan esok, membantu kalian untuk mengembangkan imajinasi dan mimpi yang di dunia kecil kita ini sekarang yang tidak pernah berkelebihan. Dengan melihat semangat kalian akan membaca dan kecintaan kalian pada buku, ayah merasa sangat girang. Kakak sulung kalian , pada usia 7 tahun sudah mempunyai lemari buku sendiri dengan jumlah judul, untuk usianya, tidak terlalu memalukan. Kegembiraan ini menjadi meningkat jika ayah ingat waktu ayah menjadi guru kecil di sebuah universitas di sebuah kota di Indonesia, alangkah sulitnya mendorong para pendengar kuliah ayah untuk membaca dan mencari buku-buku acuan di perpustakaan.Perpustakaan universitas seperti halnya juga perpustakaan daerah, sepi pengunjung. Buku-buku acuan pun sangat ketinggalan perkembangan. Untuk meniadakan alasan tak punya buku, maka ayah fotokopie buku-buku yang diperlukan dan ayah bagi-bagi ke pendengar ocehan yang biasa disebut kuliah ayah. Tapi usaha ini pun kurang memberikan hasil menggembirakan. Padahal ayah ingin agar para pendengar ayah itu memutar otak, menjadi para penanya dan pencari makna. yang berani tanpa tabu. Ayah sebagai guru kecil gagal Kalah. Dikalahkan oleh suatu sistem yang terbentuk menjadi suatu nilai budaya dan dominan. Bermimpi mendekati jalan bunuh diri. Ketika ujian, dari sekian mahasiswa/i hanya ada satu mahasiswa yang lulus murni. Dekan mendesak ayah untuk memberikan lulusan yang lebih banyak. Hal yang bertentangan dengan hati nurani ayah, apalagi amplop yang disodorkan ke ayah agar diluluskan. Amplop uang, ijazah, nilai sebenarnya, kadar pen,didikan serta esok bangsa berlaga tanpa segan. Ayah merasa negeri ini menyiksa ayah dan ayah menjadi minoritas terpinggir serta disalahkan. Kecintaan kalian pada buku dan kesenangan kalian membaca merupakan hiburan tersendiri bagi ayah. Apalagi kakak sulung kalian sering berkata dengan serius: Aku bisa menulis lebih baik dari ayah. Aku akan terbitkan bukuku sendiri seperti ayah. Ayah suka, bercampur geli dengan kepercayaan diri kakak sulung kalian ini. Kalian memang niscaya punya kepercayaan diri begini, apalagi suatu kepercayaan diri berdasar. Tapi bukan kepongahan. Kepongahan bukan jalan aman bagi penulis serius dan apalagi ilmuwan. Ah, tapi kakak sulung kalian adalah anak kecil masih. Baru tujuh tahun. Tapi boleh juga. Kakak sulung sudah bisa merumuskan dengan baik perbedaan antara nakal dan lucu. Ayah katakan, boleh juga, karena hal ini menunjukkan adanya proses pemikiran. Berpikir, bertanya dan merumuskan adalah proses tunggal. Seperti juga kakak sulung mengatakan dengan tegas bahwa ia seorang Indonesia dan bukan seorang Dayak. Berpikir, bertanya dan merumuskan serta berbahasa nampak mulai muncul pada kaka sulung. Barangkali di sinilah peran buku dan membaca serta pennguasaan bahasa. Bahasa adalah cerminan dari urutan pikiran. Termasuk pengguasaan tanda baca sebagai bagian dari bahasa. Sekarang kembali ke soal
[ac-i] memahami keberagaman etnik dayak
http://202.169. 46.231/spnews/ News/2009/ 01/18/index. html SUARA PEMBARUAN DAILY Memahami Keberagaman Etnik Dayak Judul: Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat Penulis: Sujarni Aloy, Albertus dan Ch. Pancer Istiyani Editor: John Bamba Penerbit: Institut Dayakologi, Pontianak 2008-11-12 Tebal: 351 halaman pa yang kita ketahui tentang Dayak? Banyak dari kita yang memahami keberadaan etnik ini sebagai indetitas tunggal: penduduk asli Kalimantan, non-Muslim, peladang berpindah, atau seperti suku pemenggal kepala (mengayau). Padahal, dalam kenyataannya, etnik ini memiliki keberagaman yang kompleks. Buku Mozaik Dayak ini mencoba memberi gambaran tentang kompleksitas eksistensi etnik Dayak tersebut. Buku ini merupakan hasil penelitian etnolinguistik dari Institut Dayakology (Pontianak). Hasil riset tentang Dayak yang mendalam selama tujuh tahun di seluruh wilayah Kalimantan Barat, dari Kabupaten Ketapang yang paling selatan, hingga Kapuas Hulu yang paling utara-timur di perbatasan Malaysia. Buku ini, demikian etnolog Dr Yusriadi, adalah hasil riset luar biasa, karya besar tentang Dayak pada abad 21. Riset yang luar biasa, karena tingkat kesulitannya. Setiap orang yang pernah berdiam di Kalimantan Barat, terutama di kampung-kampung orang Dayak, akan tahu hal ini: bahwa identitas sebagai Dayak adalah sesuatu yang ambivalen. Pada suatu waktu, identitas itu akan sangat jelas terdefinisikan dan diakui, pada waktu lain sebaliknya. Dan bahwa Orang Dayak satu dengan lainnya, bisa saja sangat sama, bisa saja sangat berbeda, tergantung persepsi dan pemahaman akan siapa dirinya. Bahwa sangat mungkin satu subsuku akan memiliki banyak bahasa yang berbeda satu kampung dengan kampung lain. Apa yang diperoleh dari buku setebal 351 halaman, dilengkapi peta dan softcopy berupa CD ini? Pertama, buku ini berisikan dokumentasi deskripsi singkat subsuku Dayak yang terdiri dari 151 subsuku utama dan 100 sub-subsuku. Kedua, buku ini juga menyertakan peta persebaran subsuku dan bahasanya (168 bahasa), serta kisah/dongeng/ mitos singkat. Yang ketiga, buku ini juga berisi klasifikasi baru yang berbeda dengan klasifikasi terdahulu versi Tjilik Riwut (1979), Roth (1968) ataupun Malinckrot (1928). Bagaimana diversifikasi itu dikenali? Mungkin bisa ditanyakan pada telinga yang menangkap bunyi dan aliran sungai. Bahasa dan sungai (dan kadang gunung) menjadi sesuatu yang vital dalam pendefinisan subsuku Dayak. Bahasa, karena dari beberapa kata utama lah subsuku dibedakan (ada 473 kosakata dasar yang diteliti dalam riset ini). Dari aspek bahasa, subsuku Dayak di Kalimantan Barat dapat dibedakan menjadi subsuku penutur Melayik, Bidayuhik, Ibanik, dan Uud Danumik. Sungai, karena di aliran sungailah umumnya permukiman/kampung Dayak didirikan. Ada puluhan sungai besar, dan ratusan anak sungai yang terbentuk oleh proses geomorfologi di daratan aluvial di hampir seperlima bagian pulau. Dari Pegunungan Iban, yang oleh Indonesia dinamai Pegunungan Kapuas Hulu, sebagai hulu Sungai Kapuas, sampai dataran rendah Berpaya Berlumpur di Air Hitam di Tanjung Keluang yang menjadi salah satu muara aliran Sungai Kendawangan. Jadi, dalam mengenal subsuku Dayak, kita dituntun pertanyaan mendasar (yang masih perlu dikembangkan lagi): bagaimana cara ia berucap, dan tinggal di sungai/gunung mana? Selintas, bahasa Melayik akan memiliki tingkat kemiripan tinggi dengan bahasa Melayu/Indonesia. Subsuku yang menggunakannya di antaranya Dayak Salako di Kabupaten Sambas yang mempunyai bahasa dialek Badame Jare. Dayak Salako berdiam di Pegunungan Poe (perbatasan Indonesia-Malaysia) , di daerah aliran Sungai Bantantan (anak Sungai Sambas) sehingga daerah tempat tinggal mereka disebut Binua Bantanan. Bahasa Bidayuhik, merupakan bahasa yang dituturkan mayoritas subsuku Dayak Bakati, Kanayatn yang umumnya berdomisili di Kabupaten Landak, Bengkayang, dan Pontianak di aliran Sungai Mempawah, Sungai Landak, beserta anakannya. Tidak sulit mengenali para penutur Bidayuhik ini karena saat berbicara dengan mereka kita akan mendengar kata-kata yang diucap dengan konsonan ganda [tn, kng, pm]. Sedangkan subsuku penutur Ibanik, misalnya Dayak Iban, Dayak Ketungau, Dayak Mualang, dan Dayak Desa yang persebarannya berada di wilayah-wilayah Kalimantan Barat bagian utara, di deretan Pegunungan Kapuas (Baik Hulu maupun Hilir) yang kadang juga dikenal sebagai Pegunungan Iban; mulai dari Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sintang, hingga Kapuas Hulu. Ciri khas bahasa ini adalah vokal [ai] di belakang suatu kata. Salah satu aliran sungai yang cukup banyak permukimannya adalah Sungai Ketungau (yang lalu menjadi nama subsuku di situ). Sedangkan bahasa Uud Danumik, adalah bahasa untuk subsuku utama Uud Danum (berarti hulu sungai) yang berdiam di Pegunungan Schawner di dekat Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya di selatan Kabupaten Sintang, yang sebagian wilayahnya
[ac-i] jurnal toddopuli: keindonesiaan dan etnistas [2-selesai]
Jurnal Toddopuli: KEINDONESIAAN DAN ETNISITAS [Cerita Untuk Anak-anakku] [2] Selanjutnya saya mau berkomentar sekedar tentang tema: Keindonesiaan Dan Ketionghoaan: Menuju Harmoni Identitas dan Budaya. Mengapa tema dirumuskan secara demikian? Apakah antara keindonesiaan dan ketionghoaan dan kedayakan, kebugisan, kebatakan, dan lain-lain merupakan hal yang tak harmoni? Mengkalutkan identitas dan budaya? Untuk memasuki perrtanyaan-pertanyaan ini , saya mengambil beberapa ungkapan berikut. Pertama-tama OrangTionghoa zaman dahoeloe mengatakan bahwa yang menabur angin akan menuai badai, daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh. Paandangan begini saya kira mempunyai nilai jauh melampaui batas geografis Tiongkok, etnik dan bangsa. Hal serupa adalah apa yang diungkapkan oleh pantun, gurindamn seloka Melayu atau pepatah-petitih leluhur kita seperti menepuk air di dulang memercika ke muka sendiri atau tangan mencencang bahu memikul atau menggali lubang terpoerosok sendiri atau: atau dari mana datangnya lintah dari sawah turun ke kali dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati Saya kira, ungkapan-ungkapan di atas mempunyai nilai dialektis, kesimpulan pengalaman suatu generasi yang disimpulkan secara artistik, dengan nilai melampaui lingkup gerografis. Unhkapan - ungkapan di atas , yang con,toh-contohnya bisa diperbanyak sehingga bisa dijadikan suatu deretan sangat panjang, saya pahami sebagai kesimpulan yang mempunai nilai universal dan tahan zaman. Jika benar demikian, lalu apa artinya? Saya hanya bisa memahaminya bahwa nilai-nilai etnisitas, nilai lokal pada galibnya tidak bertentangan dengan nilai nasional dan universal. Etnisitas dan lokalitas hanyalah warna dan bahasa khusus dari ungkapan nilai nasional dari universal. Ini antara lain dibuktikan dengan studi dari studi pengaruh pantun di skala dunia seperti yang dibahas antara lain oleh George Voisset dalam bukunya L'Histoire du Genre Pantoun Malaise, Francophonne Universalie [L'Hamrattan, Paris 1997,358 ], atau Prof. Xu Yu Nian dalam karyanya Kajian Perbandingan Mengenai Pantun Melayu Dengan Nyanyian Rakyat Tiongkok [Maison d'Editions Guaille, Jli 2008, 279 hlm]. Dari contoh-contoh di atas dan kajian para pakar yang hanya sebutkan beberapa saja, nampak bahwa etnistitas, lokalitas yang benar yang berorientasi pada usaha pemanusiawan. manusia, masyarakat dan lehidupan serta diri sendiri.sia, samasekali tidak mempunyai bertentangan dengan nilai nasional dan universal. Sehingga menjadi Batak,Bugis, Dayak, Jawa , Minang, Aceh , Papua ,Gayo atau Tionghoa, dan lain-lain... apalagi jika sepakat pada rangkaian nilai repullken dan berkindonesiaan, sama sekali tidak mrmpunyai pertentangan. Etnisitas, nasion pada galibnya tidak lain dari suatu perbatasan semu bagi kemunusiaan. Perbatasan semua yang dilahirkan oleh syarat-syarat zalan tertentu dan harus kita indahkan sebagai orang yang realis dan mau merenda esok manusiawi. Kebudayaan kemarin , hari ini dan esok pada galibnya adalah suatu rentangan pelangi harmoni segala warna yang juga kenal sebagai motto bhinneka tunggal ika dengan rangkaian nilai republiken dan berkeindonnesiaan sebagai nilai perekat pelangi kebudayaan bangsa dan negeri. Menghormati pelangi budaya ini, saya kira akan menciptakan harmoni itu sendiri, karena pelangi budaya itu memang harmoni. Pelangi menjadi pelangi karena rupa-rupa warna.Masing-masing warna dari pelangi itu mempunyai identitasnya sendiri. Pelangi indah karena ia kepaduan warna-warna aneka rupa itu. Kalau harnomi dimaknakan sebagai likwidasi salah satu warna, maka pelangi budaya sudah bukan bdrnama pelangi lagi. Saya kira , inilah inti dari pemikiran Mao Zedong ketika ia mengatakan :Biar bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara. Dengan dasar pandangan seperti di atas maka tema panel Keindonesiaan Dan Ketionghoaan: Menuju Harmoni Identitas dan Budaya, perlu dipertanyakan ketepatan perumusannya. Perumusan tema panel demikian saya kira mengandung kompleks rasa peminggiran dan kontradiksi menjadi Tionghoa ,Dayak, Bugis, Batak, Papua dan lain-lain di negeri yang memamg berwatak pelang; Harmoni Indonesia yang republiken dan berkeindonesiaan adalah harmoni pelangi. Harmoni bhinneka tunggal ika. Republik dan Indonesia adalah sebuah program dan cita-cita.*** L'Hiver 2009 - JJ. Kusni [Selesai] Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] sansana bulan pambelum : on potok sierra madre
Sansana Bulan Pambelum: SIERRA MADRE [Varian Dari Lagu Rakyat Visaya Philipina] kita cintai hidup seperti orang bukit visaya mencintai gunung dan sungai-sungainya mencintai hutan langit kelabu dan birunya sarang candra dan surya cinta memacu kita berlaga dan melahirkan bayi demi bayi esok harapan maka tak kujual sierra madre kampung halaman di mana kubangun gubuk mungil keluarga sierra madre adalah ibu diancam petaka arus penindasan dan kapital mengalir dari tanggul sierra madre ibunda kehidupan diri kita dan untukku adalah kau lingka sierra madre, sierra madre kudengar lamat berseru dalam duka dan kau lingka memanggil kekasih segera pulang dari kembara Onpotok na ang lupang nilikha ni Makedyapat Binulabog na ng ingay ng lagareng demakina Ang yaman ng kagubatan kanilang kinukuha Panaghoy ng Sierra Madre ang aming ina L'Hiver 2009 - JJ.Kusni Importing contacts has never been easier..Bring your friends over to Yahoo! Mail today! http://www.trueswitch.com/yahoo-sg
[ac-i] jurnal toddopuli: keindonesiaan dan etnisitas [1]
Jurnal Toddopuli: KEINDONESIAAN DAN ETNISITAS [Cerita Untuk Anak-anakku] Tanggal 20 Januari 2009 pukul 13:00 WIB siang tadi , di Palmerah Selatan 17, Jakarta telah dilangsungkan sebuah diskusi bertajuk Keindonesiaan Dan Ketionghoaan: Menuju Harmoni Identitas dan Budayabertempat di BBJ. Diskusi ini diselenggarakan oleh Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan Bentara Budaya Jakarta. Menyertai diskusi, digelarkan juga pameran Warisan Budaya Tionghoa Peranakan yang berlangsung di Bentara Budaya dari 15-25 Januari 2009. Yang berbicara dalam diskusi dengan tema di atas adalah Mona Lohanda, penulis buku Growing Pains, Prof. Dr. Gondomono, antropolog budaya Tionghoa Jakarta, Ester Indahyani Jusuf, penerima hadiah Yap Thiam Hien Award, 2001, Ariani Darmawan, sutradara filem Anak Naga Beranak Naga dan Dr. Naniek Widyati P, arsitek , penulis buku Candra Naya. Dari komposisi pembicara dan tema yang dibahas, nampak bahwa diskusi panel ini diselenggarakan dengan niat sangat serius, apalagi jika kita ingat bahwa tema-teman sejenis pernah juga dibahas oleh organisasi Indonesia-Tionghoa melalui beberapa seminarnya di Jakarta, jauh sebelum acara panel yang disponsori oleh Komunitas Lintas Budaya dan Bentara Budaya. Saya hanya melihat kegiatan-kegiatan begini merupakan usaha sadar di paparan pemikiran yang sangat berguna dalam usaha menegakkan rasa berkeindonesiaan secara sadar melalui bidang kebudayaan. Ia juga menunjukkan arti penting kebudayaan dan kesadaran dalam usaha berbangsa, benergeri dan bernegara di tengah kondisi bangsa yang sangat majemuk dan peka terhadap adudomba dan perpecahan. Hasil-hasil, entah ia berupa teks makalah atau pun kesimpulan dari diskusi begini, akan sangat baik jika disebarluaskan, bahkan diterbitkan sebagai sebuah buku sehingga bisa jadi acuan anak bangsa dan negeri ini untuk sama-sama sadar memiliki rasa berkeindonesiaan dan ber-republik -- dua hal tak terpisahkan. Barangkali dengan pemahaman sadar dan hakiki sebagai buah renungan dan pemikiran bersama, hasil-hasilnya bisa menjadi sangu pikiran bersama dalam menghadapi masalah-masalah berbangsa, bernegeri dan ber-republik. Sebelum masuk ke masalah lain, saya ingin mengomentari soal istilah Tionghoa dan Tionghoa Peranakan, serta etnik Tionghoa, yang kalau tak salah ingat pernah dilansir dalam seminar Inti beberapa tahun silam. Dalam hubungan ini, barangkali berguna juga dikaitkan dengan masalah atau istilah warga negara keturunan, bumiputera, Indonesia Asli dan minoritas. Tionghoa, barangkali sebuah istilah yang menunjukkan kepada semua mereka, dari warganegara mana pun, yang mempunyai darah Tionghoa. Sedangkan Tionghoa Peranakan, digunakan untuk melukiskan orang Tionghoa campuran, misalnya melalui perkawinan dengan orang setempat di mana mereka bermkim atau dengan etnik atau bangsa lain. Mereka ini di Indonesia sering disebut warganegara keturunan. Istilah ini sering dihadapkan dengan istilah bumiputera atau Indonesia Asli. Sering juga warganegara keturunan ini dipandang sebagai minoritas di Indonesia. Pertama-tama saya ingin mempertanyakan mengapa dalam suatu seminar dengan para pembicara beken dan keren dengan pajangan gelar akademi Prof. Dr dan perolehan jasa demikian, dalam iklan pengumuman tidak ada kesergaman istilah? Padahal pada tiap istilah, kiranya mengandung kandungan konsep dan latar tertentu.Selain latar belakang pemikiran , tentu menyimpan latar sejarah dan filosofi tertentu. Terhadap masalah ini, saya sendiri cenderung pada penggunaan istilah orang Indonesia asal etnik Tionghoa atau disingkat menjadi etnik Tionghoa. Alasan saya: Yang namanya warganegara itu di depan hukum status mereka sama. Tak perduli asal etnik mereka. Istilah-istilah di atas, barangkali mengandung kandungan wacana yang tak jelas, simpang-siur kalau dilihat dari berbagai disiplin, terutama ilmu politik . Dari segi ilmu kenegaraan, apa dasar membeda-bedakan warganegaranya dengan sebutan yang tak bisa dipertanggungjawabkan? Dilihat dari segi nilai republiken dan berkeindonesiaan, bagaimana penjelasannya, kalau kita sepakat bahwa republik dan Indonesia adalah suatu rangkaian nilai yang juga merupakan program dan cita-cita berbangsa, bernegeri dan bernegara? Entah kalau republik dan Indonesia merupakan dua kata yang tak mengandung makna apa pun. Penggunaan istilah etnik Tionghoa , saya kira bisa dipertanggungjawabkan karena memang warganegara Republik Indonesia [RI] memang terdiri dari berbagai etnik. Salahsatu adalah etnik Tionghoa. Dari segi kebudayaan, saya kira, warganegara RI dari etnik Tionghoa juga bukan lagi berkebudayaan seperti yang terdapat di Republik Rakyat Tiongkok [RRT] atau pun Taiwan. Mereka berkebudayaan Indonesia bercirikan kebudayaan etnik Tionghoa. Misalnya masakan Tionghoa Indonesia berbeda dari masakan Tionghoa di RRT baik yang di utara atau pun yang di selatan sunga Yang Tse. Tidak sedikit dari mereka yang tidak bisa berbahasa Phu
[ac-i] lagu duka sairara orang: samosir
Lagu Duka Sairara Orang Danau SAMOSIR pulau tengah danau diterpa ombak mengabad dibangkitkan badai bukit pulau tengah danau dijaga prapat inang setia ombak badai bukit ayunan samosir memang o, boru hasian maka tak runtuh langit tapian duka waktu di senar gitar menjelma lagu di lisoi gelas tuak hidupku kalau pun aku tak tiba dari tengah gelombang roslina, sai roslina boru sai hasian tanyakan appara: samosir masih tanda toba semua marga Winter Seine 2009 - JJ.Kusni Yahoo! Toolbar is now powered with Free Anti-Virus and Anti-Adware Software. Download Yahoo! Toolbar now! http://sg.toolbar.yahoo.com/
[ac-i] jurnal toddopuli: gerakan naturalis
Jurnal Toddopuli: GERAKAN NATURALIS: Esok, Akankah Kiya Bakal Telanjang Semua? [Cerita Untuk Anak-anakku] Judul di atas merupakan tema yang dibahas dalam acara sastra-seni terusan tivi FR2 Perancis satu setengah minggu lalu dalam rangka membicarakan Telanjang Dalam Sastra-Seni Dunia dihubungkan sekaligus dengan soal seksualitas. Dalam membahas masalah telanjang dalam sastra-seni dilakukan perbandingan pengaalaman dari negeri satu dan negeri lain. Hadir dalam debat ini selain sastrawan-sastrawan, sosilog, pastur, filosof, juga Wakil Ketua Gerakan Naturalis Perancis. Gerakan Naturalis disebut juga kelompok Nudis yang di Perancis mempunyai perkampungan sendiri lengkap dengan prasarananya seperti Kantor Pos, pasar, lapangan olahraga, perumahan, dan lain-lain. Menurut Gerakan Naturalis Perancis, terletak di tengah-tengah antara yang terdapat di negeri-negeri Eropa Utara dan Amerika Serikat. Agaknya, Gerakan ini berangkat dari pandangan kembali ke alam sebagai dasar filosofinya. Melihat reportase yang ditayangkan oleh tivi Perancis beberapa tahun lalu, aku dapatkan bahwa di kalangan komunitas Nudis ini terdapat suatu keakbraban dan kerukunan manusiawi yang sulit diperoleh di Paris dan kota-kota besar yang galau penuh dengan kekerasan. Kembali ke alam dalam bentuk Gerakan Naturalis ini, barangkali salah satu bentuk pemberontakan, paling tidak protes terhadap keadaan di kota. Tafsiran begini pun pernah diutarakan oleh PM. Chou En-lai alm. , PM Republik Rakyat Tiongkok, saat menerima pemain-pemain tenis meja Amerika Serikat di Beijing seusai pertandingan dunia tenis meja di Jepang. Rambut panjang anak-anak muda ini adalah suatu pemberontakan terhadap keadaan di masyarakat Amerika, kuranglebih demikian penafsiran PM Chou. Apakah di kalangan komunitas Nudis, keadaan bertelanjang bulat tidak merangsang birahi anggota-anggota komunitas?, tanya seorang peserta debat. Sama sekali tidak, jawab Wakil Ketua Gerakan Naturalis Perancis itu yang tentu saja tampil dengan pakaian lengkap sebagaimana peserta yang lain. Di komunitas Nudis, telanjang merupakan hal yang alami. Wajar. Karena semua orang telanjang. Yang aneh justru jika ada yang mengenakan pakaian. Karena itu orang-orang yang masuk ke perkampungan Nudis diharuskan untuk juga telanjang. Termasuk para wartawan yang ingin meliput perkampungan yang terletak Perancis Selatan. Saya berada di forum ini berpakaian seperti Anda-anda semua, karena jika saya telanjang seperti di kampung Nudis kami, saya akan dipandang aneh oleh Anda-anda dan pemirsa, tambah Wakil Ketua Gerakan Naturalis itu. Apakah di komunitas Nudis kalian pernah terjadi perkosaan?, peserta lain bertanya. Sama sekali tidak pernah terjadi. Bahwa hubungan seks terjadi, tapi hubungan ini berlangsung sehat, alami dan manusiawi. Tidak ada pemerkosaan seperti yang banyak terjadi di masyarakat berpakaian atas nama peradaban dan kebudayaan. Nudisme mempunyai dasar filosofi yang jelas. Karena itu mungkin ia menyebut diri suatu gerakan. Gerakan Naturlis, gerakan kembali ke alam yang menyerupai ide kembali ke akar dalam kebudayaan dan ekonomi pembangunan. Dalam hubungan dengan masalah pemerkosaan dan hubungan seks dan penjajaan tubuh, moderator menanyakan pandangan seorang filosof yang diundang: Sang filosof mengawali komentarnya dengan mengutip pendapat Pascal, salah seorang filosof terkemuka Perancis yang mengatakan bahwa Tubuh itu netral, sedangkan pikiran itu subyektif. Artinya pikiran manusialah yang menentukan bagaimana perlakuan terhadap tubuh dan memperlakukan tubuh itu, tambah sangat filosof menafsirkan kata-kata Pascal. Artinya perkosaan, incest, pedhopil, penjajaan tubuh, jika merunut tafsiran filosof ini , merupakan hasil dari perlakuan pikiran pada tubuh. Gerakan Naturalis pun jadinya tidak lain merupakan buah subyekt dari pikiran. Pertanyaan lebih lanjut terhadap pandangan Pascal ini antara lain adalah: Mengapa dan bagaimana terbentuknya subyektivisme pikiran? . Pertanyaan yang bisa dirinci: Apa dasar sosial, ekonomi, politik, sejarah dan kebudayaannya subyektivitas pikiran ini?. Pembicara lain menyangkutkan perbedaan Gerakan Naturalis di Perancis, Amerika Serikat dan negeri-negeri Eropa Utara dengan masalah agama. Eropa Utara jauh lebih bebas. Sampai-sampai pernah terjadi di Hamburg, ada sepasang dari Komunitas Naturalis yang berjalan telanjang di jalan raya kota. Disebutkan ini sebagai pengaruh Portestanisme/Evangelis, sedangkan Perancis yang dipandang moderat atau setengah-setengah dikaitkan dengan adanya Katolisisme dan Protestanisme. Sementara Amerika Serikat yang lebih tertutup oleh kuatnya Puritanisme. Dari pembahasan tentang nudisme ini, debat kemudian beralih ke masalah telanjang dalam sastra-seni, model-model telanjang di Akademi Fine Art, Beaux Art. Di negeri-negeri di mana Islam dominan, nampaknya telanjang hampir tidak terdapat di dalam sastra-seni. Sedangkan dalam perbandingan Tiongkok nampak
[ac-i] Andi Makmur Makka: Kue Bugis
Dari Arsip Andi Makmr Makka The Habibie Center “BEPPA TELLO” KUE ORANG PORTUGIS (1) BEPPA tELLO Dituturkan : A.Makmur Makka Ketika saya belajar di Amerika Serikat, Kuntherra, wanita lajang teman sekelas saya dari Thailand pada suatu hari membuat kejutan kepada saya. Ia memberikan kepada saya kue Thailand kiriman dari keluarganya. Kue itu kecil berwarna kuning dan sangat manis karena memakai kuah dari gula yang bening. Kata Khunterra, kue itu kue tradisonal Thailand .. Ketika saya cicipi dan melihat bentuknya, kue itu tidak lain “Beppa Tello” berbagai bentuk, kue tradisonal orang Bugis. Bagi orang Bugis, “Beppa Tello” sering disajikan bilamana ada hajatan pengantin, atau disajikan kepada tamu-tamu khusus. Saya katakan kepada Kuntherra, kue ini sama dengan kue tradisional Bugis, tidak ada bedanya. Ia mulanya heran dan tidak percaya. Bagaimana mungkin, ada persama kue yang kami anggap sebagai kue tradisional daerah kami masing-masing. Thailand cukup jauh dari Sulawesi-Selatan. Namun kemudian, dia mengakui bahwa menurut orang tuanya, kue itu aslinya dari Portugis. Beberapa abad yang lalu, orang Portugis di Thailand mengajari orang Thailand membuatnya. Saya baru mengerti, tetapi kenapa sama dengan kami di Sulawesi -Selatan ? Thailand adalah negara Asia yang tidak pernah resmi dijajah oleh bangsa lain, termasuk bangsa Portugis. Tetapi Raja Thailand, dinasti Mongkut sampai Chulaalongkorn tahun 1800 sangat toleran dan bisa menerima bangsa apa saja dengan damai di kerajaan Thailand. Karena itu, Portugis walaupun tidak dalam kapasitas menjajah, Portugis pernah lama memengaruhi budaya kerajaan itu. Pada saat itulah kemungkinan sejumlah budaya bendawi dan tradisi Portugis diadaptasi di Thailand , termasuk “Beppa Tello” tadi. Di Indonesia para perantau Portugis sejak abad 15 sudah menjelajah Indonesia . Apalagi setelah Portugis yang menaklukkan Malaka, mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia . Bahkan Portugis menduduki wilayah Indonesia , bermula dari Ambon . Di Suppa, Antoni de Payva malah pernah berhasil membaptis penguasa Suppa tahun 1543. Setelah itu, Portugis sangat dominan sebagai pedagang di seantero Sulawesi-Selatan. Mereka hanya terusik setelah Pelabuhan Bacukiki dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa . Portugis juga menguasai bandar Parepare selain pengusaha Melayu dan Belanda. Pada masa itu pula, saya kira ada adopsi kebudayaan dan tradisi Portugis oleh penduduk lokal. Buktinya, “Beppa Tello” tadi.. Sejak dulu, saya percaya kita cukup banyak menerima kebudayaan luar, termasuk dari Portugis, kemudian dipindahkan dan diakui sebagai budaya dan tradisi kita sendiri. Saya tidak terlalu percaya bahwa budaya bendawi kita selalu asli dan kita ciptakan sendiri. Menurut Pelras , pada masa lalu , “perahu panjang” orang Portugis bisa lalu lalang dari Bone ke Sidenreng dan Wajo. ketika itu Sungai Saddang masih bermuara di Selat Makassar diantara Sawitto dan Suppa. Perahu Portugis ini dapat melayari Teluk Bone dengan melewati Sungai Cenrana. Bahwa ekspor hasil bumi yang berasal dari Sulawesi Selatan pada tahun 1511, dapat memenuhi semua kebutuhan orang Portugis di Malaka.. Pernyataan ini dikutip dari Pinto pengelana Portugis yang terkenal. Cukup dengan 6 cruzados atau senilai 1.800 rial Portugis atau bahasa Bugis “rella “, orang bisa membeli tiga ekor kerbau, dua puluh ekor babi, tiga puluh ekor kambing atau 360 ekor ayam. Mereka pun biasa mengangkut budak-budak yang mereka beli di Sulawesi Selatan untuk dibawa ke kawasan lain di Asia. Masih menurut Pelras, abad ke 17 di Makassar, masih ada komunitas dagang Portugis dan Mestizo, peranakan campuran Portugis dan pribumi..Setelah Portugis dikalahkan oleh Belanda di Malaka, makin banyak pengungsi Portugis datang ke Makassar , jumlahnya mencapai 3.000 jiwa. Mereka tinggal dan mendirikan gereja sendiri di Barobboso (sebelah selatan Somba Opu). Seorang pedagang Portugis ternama waktu itu Fransisco Vicera de Figueredo di Makassar di kenal dengan nama “ We Hera” . Karaeng Patingaloang, intelektual kerajaan Gowa yang terkenal, dikabarkan sangat fasih berbahasa Portugis, Jika seseorang hanya mendengar suaranya berbicara dalam bahasa Portugis, orang itu akan menyangka Karaeng Patingalloang adalah orang Portugis. Hal ini, memberikan gambaran betapa fasihnya intelektual Kerajaan Gowa yang juga ahli perbintangan ini dalam bahasa asing. Menurut Alif Danya Munsy dalam buku “ 9 dari 10 kata Bahasa Indonesia adalah Asing”. Pengaruh bahasa Portugis dalam bahasa Indonesia antara lain kata : beranda dari “veranda”, meja “meza”, peluru “pelor”, kasta “casta”, nenas “ananas”, garpu “ garfo”. Termasuk kata lemari, kemeja, kereta, martil, lentera , mentega, nyonya, dan seabrek lagi bahasa Indonesia ditiru dari bahas Portugis. Betapa banyak peninggalan budaya Portugis yang kita serap dan gunakan sampai sekarang ini. Tidak hanya di Sulawesi-Selatan, tetapi juga di beberapa
[ac-i] lingka : sansana bulan pambelum: aku tak kan sampai ke visaya, tetap di laut
Lingka: Sansana Bulan Pambelum AKU TAK KAN SAMPAI KE VISAYA, TETAP DI LAUT tak jauh memang visaya dan borneo tapi seperti sorga dan komunisme aku tak pernah kan sampai di sana harapan dan cinta sering serupa pulau fatamorgana sang kapitan lama dilelahkan samudera -- kemutlakan hanyalah impian sia-sia tidak senyata visaya dan kampunghalaman panas dingin musim kembaraku hanya kapitan tetap kapitan anak pinisi putera topan dikawal ajal berpeta harapan jentera tak lepas dari genggaman laut atau daratan wilayah pertarungan dan hidup niscaya sejak pengungsian nah, barangkali kau kemudian paham mengapa aku tak segan memberontak walau tak sampai ke visaya tak kujual jiwaku seharga kopra atau lateks ekspor karena itu aku masih saja seorang anak pinisi dan baris-baris begini terus kutulis bagai catatan harian sebelum malam mengakui laut memang rumah sejati dan nyawa pencari pantai misteri visaya di depan mata harapan tak semua tergenggam ke borneo pun aku tak tentu kembali tiba lambat menyaing gerak di pantai dan dermaga ada bayang-bayang samar selalu samar wajah laksaan kemungkinan Winter 2009 - JJ. Kusni Importing contacts has never been easier..Bring your friends over to Yahoo! Mail today! http://www.trueswitch.com/yahoo-sg
[ac-i] lagu duka sairara orang danau: horas mahu, horas magodang
Lagu Duka Sairara Orang Danau: HORAS MAHU seratus lebih lagu jadul kutelusuri menjelejajahi kisah tapianauli bisakah kau hitung jari berapa sekarang orang mengenalnya modernisasi melecehkan dan mengasingkan diri dari kampung dan rumah ibu bapak sedang hari ini, o boru hasian mungkinkah dipenggal dari semalam kendati aku sering gelagapan disergap ketiba-tibaan rupa-rupa kehilangan di luar duga aku masih saja batak yang mengucap horas mahu harus magodang pada tiba-tiba siapa saja horas adalah harapan anak perkasa anak toba aku masih saja batak anak toba mengubah petaka dalam horas mahu horas magodang seperti sisingamangaraja memilih jalannya lalu kita memilih indonesia dengan darah negeri ini boru hasian tak terbilang mencatat keperkasaan dari pulau ke pulau dari etnik ke etnik o , hasian , boruku percuma kita menyebut diri anak bangsa etnik ini itu yang perkasa jika ternyata kita hanyalah pengecut tukang ratap kehilangan di bawah perjalanan matahari dan bulan pergantian siang dan malam horas mahu horas mogadang horas hasian joras tulang inang dan apang apakah kau paham maknanya? obah tangis o hasian obah jadi keperkasaan orang danau tragedi? ya, hasian ya hidup adalah tragedi itulah laut dan bukit padang kita kembarai sampai tenggelam matahari maka dengan darah kusalam kau bagai anak danau: horas mahu horas magodang horas boru ito hasian gitar habis senar kutabuh tubuhnya senandungkan harapan esok hidup lirik nyanyi gema gitar anak toba orang danau ito hasian anak danau pantang cucurkan air mata horas mahu horas hasian dari toba jangan padamkan cahaya bulan dan matahari jangan padamkan hasian, ito o hasian jangan padamkan dari hatimu aku pun oleh kembara tak pernah takluk dukanya kuobah jadi madu Winter 2009 - JJ. Kusni New Email names for you! Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] dari jendela toddopuli :lampu natal hari lalu
Dari Jendela Toddopuli: LAMPU NATAL HARI LALU lampu natal jalan warna-warni bergantungan seperti harapan yang tergantung iming-iming dibangkitkan masih warna-warni jalan kotaku warna-warni lampu natal hari lalu lampu-lampu beku harapan tergantung kuyu hari ini tak seorang pun bisa pura-pura tak mengakui sergapan duka pada siang dan malam pada bulan dan matahari angkasa kian menekan pinisi didesak badai aku hanya punya pilihan berlayar sesuai peta dan kau? akankah balik dermaga kita pun kian jauh saling kenal lampu natal kemarin dulu masih bergantungan aneka warna seperti harapan kendati redup masih bercahya bagai dahulu aku masih saja melangkah menarung cuaca hidup yang kupilih Winter 2009 JJ. Kusni Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now! http://sg.toolbar.yahoo.com/
[ac-i] lagu duka sairara orang danau: maafkan ayahmu, butet
Lagu Duka Sairara Orang Danau: MAAFKAN AYAHMU, BUTET kutinggalkan dahulu butet bayiku sembilan hari untuk bergeriliya menarung mati dihimbau merdeka maafkan aku boru maafkan aku tulang maafkan aku inang dan apang lihatlah danau lihatlah bukit pengawal kalian tahu diriku masih lelaki tapianauli tak khianati danau dan bukit leluhur aku lelaki danau ayahmu butet setia janji mencintaimu akulah gelombang menggelegak angin pengaduk hutan menolak perbudakan berhitung waktu apa gerangan sisingamangaraja paduan romantisme dan kepahlawanan apa itu tapianauli jika kau butet darah daging kusayang dewasa tanpa kemerdekaan danau adalah jiwaku bukit adalah hati dan cintaku gitar di kiri senapan di kanan cinta dan duka kupekik di jerit lelaki tapianauli butet si doge doge boru ito hasian orang danau pencipta gelombang tak cucurkan airmata danau dan bukit pendayung penunggang kuda tak kenal airmata kalau aku tak pulang butet, butetku o hasian cari jejakku di kedai tuak di gemuruh lisoi di petikan gitar-gitar tua di tepian dan debur gelombang toba Winter 2009 JJ. Kusni Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] lingka: sansana bulan pambelum: pantai bulan visaya
Lingka: Sansana Bulan Pambelum PANTAI BULAN VISAYA ang bulan pantai visaya esok yang menanti kita tiba bergulung ombak kencana bergulung mengejar pantai tarung tak punya urung nestapa tinggal busa lalu, lingka, kemana lagi kita kalau bukan ke pantai bulan visaya Winter 2009 KERTAS KLAT sunyi itu tak obah puntung rokok atau kertas klat rencana yang kubuang di keranjang sampah sunyi itu adalah sisa abu mimpi ketika kita membangun esok tak lagi punya tempat di hati kubakar ia ketika diriku menjadi sepotong kayu api unggun harapan menghanguskan nista penindasan mencat hitam kehidupan dengan arang hitam kayu ladang berkata lingka di rapat-rapat rencana: kita niscaya menjadi kandil di bukit garam kampung-halaman jika kita mencintai diri menyayangi anak sunyi hanyalah semacam keasyikan pada diri yang tak acuh pada semesta kanan- kiri kertas klat ini kubuang ia di keranjang sampah samping meja Winter 2009 - JJ.Kusni New Email names for you! Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] dari jendela toddopuli [16]:membayangkan koko adikku di tengah dingin russia
DARI JENDELA TODDOPULI [16]: MEMBAYANGKAN KOKO ADIKKU DI TENGAH DINGIN RUSSIA belum juga mereda dingin kota matahari menumpul lambat tiba itu pun sejenak saja di angkasa yang nampak sepenggalah dari atap rumah jurnal pagi televisi kemudian berkabar jumlah para gelandangan semalam meninggal di hadapan cangkir kopi meja kerja tergambar mereka yang rumahnya dihancurkan peperangan anak-anak lapar tak lagi sekolah bermain aman pun tidak. halaman bertabur bom tak meledak terbayang nikmat hangatnya ruang-ruang mewah dengan pemanas korupsi dan kecurangan orang tak berhitung tagihan listrik dan gas berapa juta juga rakyat sumber segala tak kering diperas gigilku bukan gigil dingin, prita di kembara lama kukenal musim beku gigilku bukan gemetar ketakutan ajal kuhafal lama berjaga di tikungan aku cuma merenung semesta kelabu saban pergantian malam-siang kian kelabu entah berapa yang kian terpinggir bangkai bergeletakan bagai anjing tanpa daya kehidupan sering bagai anjing kurap kurus dan kerdil dengan gonggong lapar di perempatan sunyi sebelum mati padahal tidak semestinya kita kekurangan dan tersingkir di toddopuli senantiasa aku mencoba keluarga untuk yakini tentang arti bertahan tanpa hilang asa mempercayai bahwa kitalah tuan bumi dari tengah dingin kelabu jalan-jalan kota terbayang koko adikku di dingin russia mencoba tegak sebagai lelaki pemenang di antara dingin kekurangan menggigilkan belulang dik sanggupkah kau jadi lelaki pemenang lebih baik karam di laut dari pinisi balik pulang sanggupkah kau menghargai darah leluluhur mengalir di nadi? dingin kota masih dingin kotaku masih dingin hidup ketakadilan tak meredup Winter Seine 2009 -- JJ. Kusni Start chatting with friends on the all-new Yahoo! Pingbox today! It's easy to create your personal chat space on your blogs. http://sg.messenger.yahoo.com/pingbox
[ac-i] lingka,sansana bulan pambelum [[16] ang bulan
LINGKA, SANSANA BULAN PAMBELUM [16] ANG BULAN* ang bulan kotaku ang bulan visaya memberiku bayang teman pulang di antara riuh jalan dan senyap menunggu ujung bernaung di rindang pohon seperti kau di sini aku pun bergegas melomba waktu sebelum tiba detik agung selamat jalan tapi wahai mimpi-mimpi sebuah peta serinci yang di taskomando panglima terasa nanti patut kuserahkan ke tangan putera-puteri didewasakan laga jatuh bangun sambil mengebaskan debu duka darah luka dari pakaian malam seperti juga fajar tak pernah tawar-menawar maka sambil membaca kemarin kuisi selalu catatan harian pahitmanis, kelamterang yang mengeraskan belulalang ang bulan kotaku malam ini ang bulan visaya barangkali ia mendapat piket giliran mencatat hirukpikuk kota dari tol hingga lorong-lorong kumuh rataptangis gelakbahak kecurangan para pejabat kejadian di gunung hutan dan sungai yang jauh mengeja namamu kudapatkan ruang lapang sejenak relaks dari keseriusan rapat demi rapat karena kita dikutuk sebagai pengungsi eden tak boleh diam apalagi lepas tangan apatis dan narsis -- hiv jiwa ditularkan peristiwa-peristiwa mengajak putusasa jalan buntu di mulut jurang ang bulan aku menatapnya saat berjalan bersama bayang -- purnama bumi benua-benua satu saja bukan? kukira ang bulan adalah mimpi dan harapan anak bumi lima benua timbul tengelam hilang tiba oleh etnik-etnik besar kecil disimpan dijaga dalam sastra sansana kampungku ang bulan visaya malam ini betapa pun amis bangkai bau sendawa kukira juga bercahaya di gaza di semua front lingka kubaca di ang bulan sejarah manusia dan negeri-negeri Winter Seine 2009 - JJ. Kusni Keterangan: * Ang Bulan, bahasa Visaya, Philipina, berarti purnama. Importing contacts has never been easier..Bring your friends over to Yahoo! Mail today! http://www.trueswitch.com/yahoo-sg
[ac-i] jurnal toddopuli: pantura
Jurnal Toddopuli: PANTURA Pada tanggal 10 Januari 2009, kemarin malam, Koperasi Restoran Indonesia SCOP Fraternité, Paris kami, mendapat kehormatan dengan kedatangan rombongan tamu-tamu spesial. Mereka berjumlah 21 orang lebih. Siapakah mereka itu, Ayah? tanya anak-anakku yang selalu minta didongengi sebelum tidur sambil berbaring santai di pangkuan ibu mereka yang asyik sendiri dengan buku novel di tangan. Mereka itu sebagian besar adalah para Tenaga Kerja Wanita [TKW] yang tinggal dan bekerja di Paris. Ada yang tinggal secara gelap. Ada pula yang legal. Saya sendiri tidak tahu bagaimana TKW-TKW ini mengurus kartu izin tinggal mereka di sini pada saat pemerintah Sarkozy memperketat jumlah imigran, bahkan berencana membuat Perancis sebagai negeri imigran nol. Artinya tidak menutup pintu pada imigran-imigran baru. Sebagai ganti dari politik imigrasi yang terbuka, selain melaksanakan politik imigran selektif yaitu hanya menerima tenaga-tenaga imigran yang ahli. Politik ini sudah diterapkan oleh Nicolas Sarkozy sejak ia menjadi Menteri Dalam Negeri. Sejak itu di bandara Charles de Gaulle terdapat sebuah penjara untuk para imigran gelap sebelum mereka dipulangpaksakan ke negeri masing-masing dengan pesawat khusus, dikawal oleh polisi hingga ke negeri mereka. Mereka dipulangkan dengan pesangon. Guna menangani imigran-imigran legal, yang tidak sedikit jumlahnya dalam masyarakat Perancis dan kemudian mengambil kewarganegaraan Perancis, sehingga berpengaruh terhadap komposisi demografis, politik, ekonomi dan kebudayaan, ketika menjadi Presiden pada tahun 2002, Sarkozy membentuk kementerian khusus yang disebutnya Menteri Indentitas Nasional ditambah dengan kebijakan diskriminasi positif. Menyerapkan politik terakhir ini, Sarkozy mengangkat pejabat-pejabat tinggi lokal warga negara Perancis asal imigran. Barangkali dalam hubungan ini pulalah maka dalam komposisi menteri kabinetnya, terdapat menteri-menteri kunci asal imigran. Dalam masalah imigrasi ini, Sarkozy waktu menjabat Menteri Dalam Negeri banyak mendapat kritik berbagai kalangan karena pada masa Pemberontakan Banlieu [pinggiran kota, yang umumnya dihuni oleh para imigran dari Afrika dan negeri Afrika Utara], Sarkozy menamakan anak-anakmuda warganegara Perancis asal imigran ini sebagai sampah masyarakat [la racaille]. Sebutan ini menyulut kemarahan lebih besar. Polisi yang patroli dalam grup-grup kecil disergap secara fisik sehingga menimbulkan korban nyawa dan luka-luka. Malam pertama ketika terpilih sebagai presiden, Paris dan kota-kota lainnya diterpa oleh pembakaran dan berbagai bentuk vandalisme. Untuk meredakan keadaan ini, semua partai politik dan tokoh-tokoh mengeluarkan seruan dengan mengatakan bahwa vandalisme bukan cara beroposisi yang sehat. Sejak itulah maka popularitas seni rap meningkat dengan lirik-lirik yang terkadang sangat penuh kekerasan. Warganegara Perancis imigran inilah agaknya yang merupakan dasar sosial rap Prancis dan mencerminkan keadaan sosial-ekonomi dasar sosial seni rap ini. Lalu dengan demikian bisakah disimpulkan bahwa suatu sasatra-seni itu mempunyai basis sosial dan mencerminkan keadaan basis sosial seni tersebut? Tanpa menggunakan dasar teori sastra-seni itu, jika kita memperhatikan lirik-lirik rap Perancis, maka dengan jelas nampak kepada siapa ia berpihak dan untuk apa ia diciptakan serta dipentaskan. Dari segi jumlah TKW-TKW Indonesia di Paris khususnya, Perancis umumnya belum merupakan suatu jumlah yang perlu diperhitungkan. Bahkan tidak tertera dalam daftar yang KementerianTenaga Kerja yang disiarkan di koran-koran. Bagaimana TKW-TKW ini bisa sampai di Paris? Koperasi Restoran Indonesia, pada masa Orba masih berkuasa pernah didatangi oleh TKW-TKW dari Timur Tengah yang menyertai majikan-majikan Arab mereka berkunjung ke Paris. Kesempatan ini oleh TKW-TKW Indonesia ini dimanfaatkan untuk lari dari majikan mereka. Disamping itu, Koperasi kami juga pernah didatangi oleh mantan Legiun Asing [Légion Etrangère], sebuah batalion khusus tentara Perancis yang terdiri dari orang-orang asing. Semacam tentara bayaran. Anggota Legiun Asing asal Indonesia ini datang ke Koperasi atas dasar petunjuk KBRI Paris. Tentu saja kami tidak bisa menerima sembarang orang bekerja di Koperasi, sesuai dengan latar sejarah, visi dan misi koperasi nasional Perancis. Sedangkan terhadap TKW-TKW yang ke Koperasi Restoran minta pertolongan, penanganan lebih lanjut, kami serahkan kepada organisasi Perancis Lembaga Anti Perbudakan Modern. Organisasi kemanusiaan inilah yang selanjutnya menangani kasus mereka. Barangkali TKW-TKW angkatan pertama ini kemudian yang merupakan janin hadirnya kelompok TKW Indonesia di Paris yang jumlahnya masih belum diketahui dengan pasti. Sekali pun terdapat peraturan-peraturan ketat Sarkozy tentang masalah imigran, tapi tetap saja peraturan-peraturan tersebut tidak bisa menutup semua celah bagi kehadiran imigran gelap
[ac-i] lingka:sansana bulan pambelum [[18] la plage de l'inconnue
Lingka: Sansana Bulan Pambelum [18] PANTAI TANPA NAMA [ La plage de l'inconnue] ang bulan bulan visaya bidari pulau kulit kuning kuning tembaga mandi laut lembut mata merayu pantai lingka lingka di laut pasang dan ang bulan gemuruh gelombang berdebur tak jeda-jeda kudapatkan di pantai laut kelengkapan nisbi diriku di sini bersua kenyataan mimpi romantika dan laga kutuang dalam walsa lirik sansana amis? apak? asin, pekat? perduli amat! lihat saja dirimu apakah wangi parfummu tak mengandung bau apak? keringat tetap keringat maka kuhormati pilihan al capone atau kusni kasdut apakah dasi lehermu bisa sembunyikan hakekat? lipstik tetap lipstik dasi tetap secarik kain warnawarni dimitoskan kita saja yang sukarela didustai dan bersantai dengan mitos lambang-lambang serta upacara sanggup merangkak asal dikenal sekalipun berjiwa kroco dan kacung kau maka kugandeng kau, lingka tanpa skedul ke pantai ang bulan ke la plage de l'inconnue di batas nyata dan impian hidup program tanpa kepastian seperti laut ang bulan dan cintaku ang bulan bulan visaya bulan katingan ang bulan itu, lingka adalah diriku anak terbuang mimpi mengalir di nadi di degup jantung di debur gelombang sendiri di laut di gunung sungai danau lembah di mana saja apa beda hidup dan cintamu dengan la plage de l'inconnue? tanpa skedul kemari kau yang penari kuajak dansa kita adalah penari-penari de la plage de l'incconnue Winter Seine 2009 - JJ. Kusni Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now! http://sg.toolbar.yahoo.com/
[ac-i] lagu duka sairara orang danau: gitarku tanpa senar
Lagu Duka Sairara Orang Danau: GITARKU TANPA SENAR MENGAPUNG DI DANAU DEKAT TEPIAN anggi boru hasian ito o ito datanglah kau ke danau di tepian ada jejak tak hilang: jejakku sabtu minggu pekan dahulu seusai gereja lama di sana kau kutunggu yang tiba a sing sing so tengah danau ditingkah penunggang kuda dari bukit pengawal toba anggi, anggi ito hasian boru boruku pekan dahulu kau tak tiba dengan gitar kala itu kau kutunggu ni rondang ni bulani fasih kuucap dua pekan kemudian kau ke danau dari tepian barangkali masih nampak bangkai gitar kulempar di antara gelombang speedboat mengapung tanpa senar penyanyi bukit dan warung tuak bertutur dengan sesal: boru, kami hilang seorang tenor bengal sedikit gila boru, kau apakan penyanyi tenor gila bengal kami boru, kau bikin nyanyi kami kurang satu suara di depan warung tuak terbayang ada seorang boru batak diam-diam menahan hisak kehilangan separo hati mereguk hidup dan tuak batak tersimpan di kantong pelana kembaranya mencari ufuk ada seseorang lelaki kakek penyenandung lagu demi lagu dari yang jadul hingga terbaru ketika itu sudah tengah malam di danau lewat tengah malam dari suatu masa lama silam hanya aku percaya ada selalu yang tak kenal buram tak punya silam selalu aktual Winter 2009 JJ.Kusni Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] lingka,sansana bulan pambelum --dua rambu
LINGKA, SANSANA BULAN PAMBELUM [14] DUA RAMBU antara mesir dan gaza tank-tank israel berjaga kemerdekaan dan pencaplokan hadap-hadapan moncong-moncong meriam menabur nestapa menembaki gaza gaza jazirah gurun padang kuburan hidup dan cintaku di salib dendam berseru yesus kesepian: eli, eli lama sabachtani sipongang menyebar penjuru lembah-lembah hatiku gaza salib golgotha tanah achoura sejak keluar eden, lingka kita hanyalah pengungsi tapi akulah adam tak tinggalkan eva eva dan kau lingka kemerdekaan memilih dikutuk dosa pertama gaza dan tank kemerdekaan dan kepungan dua rambu tolak belakang gaza dan perlawanan gaza dan kau lingka harapan dan cinta jangan pisahkan! duka ini, lingka tanda sanggup jadi manusia duka ini , lingka duka kita duka cinta besok meriam pongah mencongak menabur mesiu seperti daun pisang akan tertekuk layu di batangnya merunduk Winter Seine 2009 - JJ. Kusni New Email names for you! Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] pasar malam paris a celebration
Pasar Malam Paris a celebration of RI literary Kunang Helmi-Picard, , Contributor, , Paris | Sun, 01/04/2009 10:01 AM | Arts Design On a crisp December weekend in Paris, the French-Indonesian association, Pasar Malam, held its third bi-annual Indonesian-French literary exchange event. Featured writers from both countries and held at the Maison des Cultures du Monde and emceed by Arwad Esber, the theme of the weekend was complex: From the private sphere to the public place: autofiction or self-image? Autobiography in literary oeuvre. Pak Maruli Tua Sagala, from the Indonesian Embassy, officially opened the proceedings and Johanna Lederer, in her written introduction to the program, said that: ...writing about others often leads to unwelcome autobiographical elements, but writing about others without involving a self-centered approach has nourished works by Dickens, Proust, Salman Rushdie and Alexander Soljenitsyne, for example. French writer and teacher at the prestigious Lycee Louis-le-Grand, Bernard Chambaz, was the first to talk about his work. Chambaz reminded the audience that the great richness of the modern French language is due in part to words or expressions taken from other cultures and languages. Chambaz talked about his own geographical and literary journeys and an extract of his poem, Le livre blanc de toutes les couleurs, which touches on the them of French's enrichment by outside influences, was then read by French born Indonesian social scientist Anda Djoehana Wiradikarta. Makassar-born writer Lily Yulianti Farida, 37, and Luna Widya (trained as an anthropologist) were next, and explained their Makkunrai project, which involved feminist themes. Both had flown from Sulawesi just to attend the literary gathering. Luna convinced onlookers of her skills as an actress and activist when she later performed at the Restaurant Indonesia's 26th anniversary ten days later. Luna born in Jakarta in 1966 of Makassar parents read two poems and acted out the latter with great bravado. The latter was a long poem about the daughter of someone very unimportant who got caught up in the anti-communist wave in Indonesia and who as a consequence never had the proper papers and left to work as a servant-girl in Saudia Arabia. She then murdered her employer there. What was unusual was that representatives of the Indonesian Embassy were there as well because additionally a photo exhibition by Patrick Blanche of his Indonesia series was also on display at the restaurant. Luna, an actress-cum-poet who transforms ideas from short stories and excerpts of novels into recorded theater monologues, explored photo-essays. Welcome entertainment came in the form of vivacious Mexican dancer Ilse Peralta. Having studied dance with I Made Djimat and Agung Oka Partiniin Bali, Peralta presented a contemporary version of Keban Tanjung with such authenticity that she confounded some in the audience, who thought the brunette dancer was Indonesian. At the following round-table discussion, expertly led by anthropologist Jean-Marc de Grave, philosopher Etienne Naveau began by giving his interpretation of the day's literary theme with references to Sundanese writer Ajip Rosidi. Naveau explained when and why Rosidi chooses to express himself either in Sundanese or in modern Indonesian. He then discussed how, under the guise of writing about others, many writers actually express more about their own point of view and history. Interpretations and translations of oral traditions is usually required in research on Indonesia and this, Naveau said, can be a major pitfall for young academics, who do not always fathom the peculiarities of local languages, including Bahasa Indonesia. Naveau cited the difficulties involved in translating a large selection of Sitor Situmorang's poems, edited by Henri Chambert-Loir, in 2002. The compilation, Paris la Nuit, was the fruit of cooperation between French and Indonesian students, poets and academics alike, and was overseen by Indonesia's Farida Soemargono-Labrousse, the now retired former lecturer of the National Institute of Languages and Oriental Civilizations (INALCO). French writer, critic and editor, Christine Jordis, then expounded on her travels in Asia and the afterwards -- or the insights gained during the trip that enabled her to talk about the Other, thereby revealing her own intimate self. Jordis reminded the audience of deceased Palestinian philosopher Edward Said's idea of the Other or the West's exoticization of the East and its need to create differnces between the two. Jordis told the audience that she had enjoyed reading Nicolas Bouvier's account of his travels in Indonesia just as much as Chambaz. Despite general disappointment at Djenar Maesa Ayu's -- who famously explores female sexuality in her writing -- last minute cancellation, another well-known Indonesian writer, poet and
[ac-i] dari jendela toddopuli [15]: ada sebuah bintang dalam kelam
DARI JENDELA TODDOPULI [15] ADA SEBUAH BINTANG DALAM KELAM cahaya setinggi atap saja seakan tak berdaya menarung kelam jauh hingga puncak angkasa ada sebuah bintang jauh dan jauh seperti menyala di angkasa jiwaku meyakinkan diri yang kembara tentang harapan arti mimpi dan laga Winter Seine 2009 SEKALI PUN BELUM PURNAMA BENAR pohon taman luxembourg buram warna malam pucuk-pucuknya kota dan sungai pun demikian lampu-lampu subuh dingin musim menjaringku dengan jala kesendiran serta sunyi kau pernah lihat tentu ikan menggelepar di jala atau di pantai digusur gelombang laut? itulah diriku terpental lama dari rumah dilanda rindu sekali pun belum purnama benar bulan jeruk tembaga di langit kota bersinar menuturkan kegelapan bukan kemutlakan Winter Seine, 2009 BURSA TANAHAIR tenang selat malam ini purnama membangkitkan pasang pinisi melaut dan pulang aku masih saja menghitung dampak kemiskinan dan kekurangan tak henti menjaring menjala republik dan indonesia memang pilihan negeri ini tapi kealpaan memukat tak henti-henti presiden dan para menteri asyik sendiri indonesia pasar perdagangan jual beli bursa pelacuran tenang selat malam ini purnama membangkitkan pasang pinisi melaut dan pulang aku masih saja menghitung gimana jadi warga republik dan indonesia anak manusia di bursa tanahair Winter Seine 2009 SEBELUM PETANG BENAR-BENAR TUMBNAG aku bersyukur mendapatkan rumah di sini di toddopuli kapal perlu dermaga dan samudera kapal dan pinisi bukan lagi kapal dan pinisi jika tertambat, nona duka dan mimpi adalah dermaga samudera adalah pelayaran benarkah kita kapal dan pinisi? lebih dari syukur mengenal ciri langit bulan dan matahari aku pun pinisi dan kapal tanpa bersobat badai ajal dan duka ayo bercanda sebelum petang benar-benar tumbang kukenal kau kegarangan tanpa hati dengan bahak kusapa kutanyai aku mencintaimu Winter Seine 2009 -- JJ. Kusni New Email names for you! Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] sansana bulan pambelum 12 -- cahaya langit paris musim salju
Sansana Bulan Pambelum [12] PUISI DI WILLOW SEINE putih dan dingin puncak montmartre putih dan dingin lembah hingga dermaga willow tebing kiri sungai masih menyimpan puisi spontan dulu kau baca menggantikan dedaunan cemara hijau senantiasa di antara dingin di tengah angin putih hening ada selalu yang tak pupus bertahan dan tersisa dalam kekalahan bahkan kematian Winter Seine, 2009 CAHAYA LANGIT PARIS MUSIM SALJU beku memang permukaan sungai sebeku lereng-lereng landai kampungku bertenda kembara menahun di ski lelaki- perempuan meluncur melaju penjuru sesekali satu dua burung menghambur atau bertengger di patung-patung salju mainan bocah kejar-kejaran dalam pakaian tebal lalu? tidakkah ada yang tak beku diterpa dingin dan beku? burung pun tak semua lari ke selatan atau ke timur menyertai matahari pendek siang dipersingkat kelam langit masih membersit cahaya Winter Seine 2009 --- JJ. Kusni Get your preferred Email name! Now you can @ymail.com and @rocketmail.com http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] sansana bulan pambelum 13 -- jazirah gaza
SANSANA BULAN PAMBELUM: JAZIRAH GAZA kecil saja jazirah ini di peta entah berapa senti panjang dan lebarnya tahun demi tahun pertempuran melanda rumah pohon zaitun melebarkan kawasan kuburan di gurun nyawa bertaburan kecil saja jazirah gurun ini lebih besar tentu saja kalimantan pulau kelahiran -- tak bebas bencana darah menyisakan harga diri anak-anak nabi berlaga tak henti seperti kisah hanacaraka di sejarah tanah jawa roket dan bom bahasa berdialog dan berdalih ketika mabuk dan rabun ada yang mabuk ada yang rabun ada yang sadar memang sering yang kalah adalah nalar di hadapan kekuatan komplot kita gemar jadi pengecut sejak bocah anak-anak sudah pintar tahu benar menarik pelatuk kalasnikhov 49 m16 mitraliur arti detonator dan allhuakabar di jazirah ini mata di balas mata gigi diganti gigi hukum talion di telapak kaki tahun demi tahun pertempuran melanda gaza di reruntuhan rumah dan sekolah kebun-kebun zaitun subur tumbuh dendam riap rimbun berpupuk bangkai dan darah duka menguap menggumpal di awan deras turun dalam hujan tahun demi tahun pertempuran melanda gaza riuh penjara rumah tahanan gemuruh tank dan bom desing peluru melebar tanah kawasan kuburan cinta terbaring tanpa epitaf maaf kosakata terhapus dari kamus kecil saja jazirah ini dua anak nabi berlaga hidup-mati amis langit amis gurun amis dendam berdarah amis bangkai busuk tanpa epitaf sia-sia kucari di mana kubur kekasihku: lingka palestina tanpa jilbab ajal di kanan-kiri cintaku tak mati lingka kutatap tajam maut di kanan-kiri tak tergertak terbayang kau naik ke langit kemudian berumah di hatiku kuli yang mau jadi penyair lingka di jazirah gaza kuserukan namamu mengganti peluru lingka cinta yang langgeng kaulah itu Winter Seine 2009 JJ. Kusni Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now! http://sg.toolbar.yahoo.com/
[ac-i] jurnal toddopuli: berlomba memberi sumbangan dalam pembudayaan negeri dan manusia
Jurnal Toddopuli: BERLOMBA MEMBERI SUMBANGAN DALAM PEMBUDAYAAN NEGERI DAN MANUSIA [Cerita kepada Anak-anakku] Dengan disponsori oleh Amiq Ahyad dan Mintardjo, PPI Leiden telah melaksanakan sebuah dialog budaya pada tanggal 3 Januari 2009 bertempat di rumah Mintardjo, di Leiden. Dalam temu budaya itu selain para mahasiswa Leiden, juga kelihatan wakil-wakil dari berbagai organisasi seperti Yayasan Sejarah dan Budaya Indonbesia (YSBI), Sapulidi, Persaudaraan, Perhimpunan Dokumentasi Indonesia, Indonesia Media, Jaringan Kerja Indonesia, dll. Sementara itu juga hadir Iba Soedharosono dari Paris. Dialog budaya ini menampilkan seorang pembicara tunggal : Asahan Aidit dengan pokok pembicaraan « Sketsa Budaya Indonesia dan Budaya Migran ». Demikian Chalik Hamid, seorang penyair asal Medan, yang sekarang bermukim di Negeri Belanda antara lain menulis dalam artikel pendeknya berjudul Dialog Budaya Di Leiden melaporkan kegiatan budaya yang baru-baru ini berlangsung menyusul acara Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia Di Paris diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia Pasar Malam. Kegiatan sastra ini diselenggarakan mendahului program budaya internasional tahunan Winternachten yang juga dilangsungkan di Negeri Belanda di mana sastrawan-sastrawan dari Indonesia turut diikut-sertakan. Dalam sejarah dunia, pendekatan budaya, jamak dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Sadar akan keadaan ini maka ketika Orde Baru Soeharto naik ke panggung kekuasaan melalui kudeta merangkak, ia segera mengendalikan bidang kebudayaan, antara lain dengan segera melarang Lekra dan mengangkangi dunia perwayangan yang amat populer di Jawa, sebagai pulau berpenduduk terbanyak di negeri kita. Dunia perwayangan , termasuk ketoprak dan teater-teater rakyat, merupakan suatu wilayah yang ditangani oleh Lekra dengan baik dan sangat sistematik. Konflik politik dii Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1960an yang berlanjut dengan dengan Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat [Wen Hua Da Qe Min] juga dimulmai dengan debat sastra Hai Jui Dipecat Dari Jabatyannya. Revolusi Perancis 1789 juga menunjukkan keadaan serupa. Sulit dibayangkan Penjara Bastille akan runtuh oleh serbuan rakyat, jika tidak ada pertarungan yang bermula di bidang budaya walau pun pertarungan ini tidak selalu mencapai kemenangan sehingga di di Perancis dikatakan Bastille masih harus direbut. Barangkali karya Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer ,yang terbit pada masa masih jayanya Orde Baru merupakan awalan dari suatu titikbalik perkembangan sastra di Indonesia. Karya Pulau Buru Pram pada mumanya beredar dlam bentuk fotokopie dari tangan ke tangan sebagaimana halnya dengan karya-karya bawah tanah pengarang-pengarang pembangkang Soviet pada masa kekuasaan Uni Soviet yang kemudian diselnndupkan ke Barat, terutama melalui Italia. Hal-hal ini sekedar mengetengahkan beberapa contoh dari premis di atas. Pendekatan kebudayaan ini, dalam melihat masalah Indonesia pada masa Orba sudah menjadi perhatian para cendekiawan dalam dan luarnegeri yang prihatin pada soal Indonesia.Antara para cendekiawan dari berbagai kalangan pada masa jaya-jayanya Orba terdapat kesepakatan tak tertulis bagaimana antara dalam dan negeri bisa dibangun sebuah jembatan pemikiran. Karena apa yang terjadi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks global. Pengucilan negeri dan bangsa dari dunia, agaknya merupakan salah satu cara mempertahankan penindasan, mencegah keluasan pandang sebagai anak manusia, pembudayaan manusia dalam arti hakiki. Kecupetan alias sektarisme, bisa berjubah sutra kiri dan kanan bahkan menggunakan nama dewa dengan mengantar pengikutnya ke lembah petaka dan kekerasan sia-sia sesia-sia penindfasan mempertahakan kelanggengan kuasanya karena manusia itu tidak akan terbunuh binasa seperti yang diucapkan oleh penyair Tiongkok Kuno bahwa musim dingin tidak mencegah tibanya musim bunga atau raja turun naik silih berganti, rakyat tetap di tempatnya ada. Peran kebudayaan dan pendekatan kebudayaan begini, kiranya akan menonjol arti pentingnya, jika budayawan, sastrawan-seniman bisa mengambil posisi sebagai pemikir bebas [free thinker] yang tidak mentabukan apa pun jika menggunakan kata-kata Chairil Anwar. Bisa menjadi warga republik berdaulatan sastra-seni yang tidak segan berhadapan dengan republik politik dengan segala resikonya seperti yang diteladkan oleh Julius Fuçik atau Cak Durasim sang pemain ludruk yang sanggup menggadaikan kepala melawan militerisme Jepang. Narsisme , kecemburuan egoistik dan sejenisnya, aku kira tak ada sangkutpautnya dengan sikap Cak Durasim atau Julius Fuçik atau penyair-penyair Albania yang sanggup mempertaruhkan nyawa demi bangsa dan negeri dan manusia bisa jadi manusiawi [ Lihat:Sejarah Sastra Albania]. Free thinker, sebagai warga republik sastra-seni berdaulat yang tak asing dari kenyataan, boleh jadi , merupakan syarat penting untuk bisa
[ac-i] dari jendela toddopuli [9]: pertemuan bugis di sebuah restoran ibukota
DARI JENDELA TODDOPULI [9] PERTEMUAN BUGIS DI SEBUAH RESTORAN IBUKOTA di sebuah restoran jakarta siang itu bugis-bugis berdarah laut awak pinisi layar sembilan warna abu bertemu kerinduan anak rantau berbaur tentu dengan tantangan negeri anak pulau bagai ombak dicumbu angin laut mengasini pantai [galesong karaeng galesong kucari jejakmu sepanjang kembara pada laut kulayari pada gunung-gunung kudaki di barat dan di timur galesong karaeng galesong menarung mati bela martabat kutahu karaeng kau tak mati] daerah dan pulau memang masih saja masalah besar ketika kita tak setia pada sepakat tentang republik dan indonesia separatis disederhanakan sinonim suku republik dan indonesia pun disederhanakan jadi nkri sejarah berdarah larut di gelombang di dasar kapal lalu kita pun luka ditikam digertak diancam kemerdekaan tinggal angan di langit kelam [jangan katakan demikian abang-abang laut pun punya fajar bukan cuma malam] berapa yang terbunuh dengan kubur tanpa tanda karena setia republik dan negeri diituduh khianat padahal yang dibunuh itu anak-anak negeri setia hanya menolak jadi budak menolak indonesia jadi negeri budak bangsa sampiran globalisasi penindasan negeri ini pun kemudian menjelma tanahair tabu dikelola dengan larangan moncong senanpan kebudayaan diperosotkan identik kebodohan di sebuah restoran jakarta siang itu bugis-bugis berdarah laut awak pinisi layar sembilan warna abu bertemu [apakah kalian mencari jejak yang juga kucari jejak pahlawan karaeng galesong menarung mati demi negeri?] atau barangkali membicarakan nasib pulau makna republik dan indonesia dibilang patut direformulasi kembali apa di mana sulawesi dan bugis di peta negeri di bola bumi ken prita puteri toddopuli yang islam sebagai jamak-otomatisnya anak puulau ini di kursi makan siang memandang sloki aperitifnya di antara jari jauh tatap pandang ken prita menoreh hakekat esok hidup bernegeri berepublik berkeindonesiaan menanyai dirinya siapa selain sebagai ibu dan istri? ya, ya, namaku namaku masih nama dahulu masih ken prita bauran suku-suku tanahairku indonesia bugis dan indonesia barangkali sedang dipetakan oleh bugis-bigus di restoran siang itu kalian punyakah peta lain yang bisa dipajang di geladak pinisi dan kapal di belakang jentera? bertemu bugis-bugis di sebuah restoran ibukota siang itu aku menunggu kalian di mana pun di negeri ini sebagai anak bangsa dan negeri aku menunggu kalian dengan sabar sesuai nasehat patunru menunggu bukan kekonyolan ujar bugis arif satu ini turunan pemberontak karaeng galesong barangkali yang tak pernah mati menjaga mengawal pulau-pulau negeri menyulut bulan dan matahari demi cahaya selalu kemilau Winter Seine 2009- -- J. Kusni New Email names for you! Get the Email name you#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/
[ac-i] dari jendela toddopuli [8]: gumam ibu anak menjelang berangkat
Dari Jendela Toddopuli [8] GUMAM IBU DAN ANAK MENJELANG BERANGKAT sambil membantu puteri sulungnya, mengemas koper keberangkatan perempuan tua yang melahirkan ken prita di toddopuli jalan kampung sederhana -- istri seorang guru pemimpi, penyaksi jatuhbangunnya republik ini tahu benar sekarang puterinya sudah lebih dari bujang segera memberikannya cucu merasa sudah darahdaging timangannya dahulu mulai mengayun langkah ia membayangkan sebuah planet besar sebuah galaksi di luar batas duga merupakan wilayah kembara anak gadisnya itu terbayang samudra yang menggemuruh terbayang bumi putih salju bumi dingin hingga sungsum terbayang anaknya melangkah dan melangkah melangkah dan melangkah teluk rantau dan tanjung dataran dan gunung bagai bocah girang bermain membangun patung perempuan yaitu diri ibunya yang renta ia kenakan topi di kepala patung salju itu ia lukiskan bibir patung perempuan itu tersenyum kepadanya mah, ko tersenyum padaku ya ken prita membalas senyum patung sajlu ibunya dengan bayangan demikian perempuan tua itu semacam bercakaap dengan bayangannya berkata: jangan lupa ko beli topi dan sarungtangan nanti di sana jangan lupa kenakan syal toraja ini pulau lahirmu harus selalu kau junjung. hormati! jelek-jelek kampung tetap kampung sendiri ken prita melirik ibunya dengan haru sekelabu langit mendung berawan syarat hujan -- menguap dari permukaan samudra kasihsayang mengisi angkasa jiwanya senter, lilin, minyak tawon, termos kecil, jangan pula lupa masukkan koper gumam perempuan tua itu mengucapkan kasihsayang campur kesiapan hilang ya, ma, ken prita juga akan bawa jarum, benang dan kancing karena kancing baju suamiku sering copot oleh geraknya yang kasar bagai kuli dua perempuan itu bergumam dengan perasaan masing-masing berbicara pada diri menyongsong esok di mana harapan menceburi kancah rahasia bagai pinisi melayari samudra tak bertepi di ombak kemungkinan tanpa peta ya, ma, aku juga akan bawa garam karena suamiku tak suka makanan hambar seperti tersengat perempuan tua itu berkomentar: ooo, ko inga anakku, lebih penting kalian berdua menjadi garam kehidupan ko inga-inga lebih penting kalian berdua menjadi kandil di bukit tahan topan ujar perempuan tua itu melayangkan pandang ke langit menebak cuaca ko lihat,ngana lia langit di luar cerah benar sebening selat kalau langit mendadak berang jangan kalian saling khianat kalian dua inga-inga, kampung kita dan bumi ini perlu cahaya aku sudah tua, tapi masih punya mimpi, bisa membaca kemarin dan esok masih kusimpan wasiat pengalaman keluarga toddopuli di lemari hidup rumah ini kata-kata perempuan tua istri guru sederhana itu menggema menggaung di hatiku di segala ruang dan tanjung kembara kosa kata kujadikan lumbung kearifan kampung para tetua pulau demi pulau khazanah kaya belum tuntas kutimba Toddopuli, 2009 - JJ. Kusni Happy Holidays from Yahoo! Messenger. Spread holiday cheers to your friends and loved ones today! Get started at http://emoticarolers.com/
[ac-i] jurnal toddopuli: dari konsert daniel bôhren, l'ho mme de révolte
JURNAL TODDOPULI: DARI KONSET DANIEL BÖHREN, L'HOMME DE REVOLT Dalam rangka acara menyambut Tahun Baru 2009, FR2, salah satu terus tivi Perancis, menyiarkan konser Philharmoni Wina, Austria yang kali ini khusus menggelarkan karya-karya Johan Strauss. Ruang konser yang megah dihiasi bunga-bunga diselenggarakan dengan penuh ritual sebagai sahabat mususi klasik . Ritual, sebagai suatu penghargaan Austria kepada para seniman-seniman yang mengangat nama bangsa dan negeri segi kebudayaan. Saya bukanlah orang yang mengerti musik tapi menyukai musik, termasuk menyukai Strauss dan walsanya. Saya mengaggumi juga bagaimana penyelenggara negara dan suatu bangsa menghargai seniman-senimanya. Jasa dan karya-karya mereka. Menghargai dan mengenang seseorang sesuai tempatnya. Jika masalah penghargaan ini diluaskan lingkup masalahnya, maka kitaakansamâipadamasalah ingat dan lupa dalam sejarah. Masalah kejujuran. Apabila kejujuran ini ada, kita tidak akan lupa orang-orang yang berjasa bagi kemausiaan dan pemanusiawian manusia;, kehidupan dan masyarakat. Kita tidak akan membunuh pahlawan sampai berkali-kali, apa pun corak pemikiran mereka. Kita tidak akan menjungkirbalikkan sejarah bangsa kita sendiri . Kesan inilah yang saya dapatkan mlihat konser dan ritualitas ketika menggelarkan karya-karya Strquss hari ini di bawah pimpinan Daniel Böhren. Konser Philharmoni Wina kali ini juga melayangkan kenangan saya akan peringatan ulta Brahms yang ke-100 di Paris bebrapa tahun silam. Dalam rangka peringatan seabad lahirnya kompo,is ini, Peracis mener itkan dalam jumplah besar, karya-karya Brahms dalam bentuk CD. Di berbagai tempat, mumai dari gedung kesenian tertetup memalui taman-taman sampai ke kuburan, dselenggarakan konser-knser yang memperagaka karya Brahms. Konser-konser ini senantiasa penuh sesak dengan pengunjung. CD nya pun segera terjual habis. Melihat keadaan begini, saya menyaksikan betapa karya-karya komponis ini dinikmati oleh masyarakat dan menjadi keperluan masyarakat. Saya lalu teringat akan arahan Lekra tentang dua tinggi: tinggumutu ideologi dan tinggi mutu artistik serta meluas dan meninggi. Laris habisnya CD karya-karya Brahms dan konser-konser terbuka serta tertutup yang selalu dipadati pengunjungi, bartangkali bisa menunjukkan bahwa masyarakat ketika sampai pada tingkat apresiasi sastra-seni tertentu bisa menikmati karya-karya dua tinggi. Hal ini juga saya saksikan ketika untuk menyaksikan pamaera van Gogh dan Picasso , jauh-jauh hari diperlukan pemesanan tempat atau karcis masuk. Keadaan begini pun perah saya saksikan dalam bidang saastra ketika saya berada di Republik Rakyat Tiongkok -- negeri yang bisa dibilang tingkat buta aksaranya sudah samai pada tingkat nol. Nyanyian Remaja karya Yang Mo, atau Ouyang Hai, sekalipun dicetak dalam jumlah berjuta-juta eksemplar segera habis terjual. Adanya tingkat minat pada saastra-seni begini barangkali tak lepas dari tingkat minat baca, tingkat buta aksara dan apresiasi sastra-seni. Ketika berbicara soal apresiasi barangkali tak terlepaskan peran kritikus astra-seni dan pendidikan apresiasi. Dalam konteks ini, saya melihat arti penting karya Nurhady Sirimorok Laskar Pemimpi, Andrea Hirata. Pembacanya Dan Modernisasi Indonesia [Insist Press, November 2008, 191 hlm.]. Lepas dari sepakat tidaknya kita dengan pendapat Nurhady Simorok, saya kira karya Nurhady mengisi lengang dunia kritik sastra- seni yang serius. Nurhady berusaha membahas karya Andrea secara menyeluruh, bertanggungjawab, meggunakan pembanding dan acuan . Bukan dengan metode celetukan atas nama apresiasi dan kritik yang sering mengesankan berangkat dari penilaian diri berkelebihan yang tidak diperlukan oleh kritik sastra serius apalagi jika dihubungkan dengan ilmu yang memerlukan kerendahan hati dan kejujuran. Kritik sastra serius barangkali dekat dengan usaha medapatkan batu giok dengan melempar batu bata. Konser Philharmoni dengan Daniel Böhren yang kocak dan komunikatif sebagai konduktur meningggalkan kesan lain dalam soal keberpihakan. Ia mempunyai kaitan keluarga dengan Israel tapi memegang paspor Palestina --dan negara-negara lain seperti Amerika Serikat. Untuk menganjurkan ide perdamaian langgeng antara Palestina-Israel, Daniel pernah menyelenggarakan konsert bersama antara musisi Palestina dan Israel untuk perdamaian. Perdamaian antara Plestina-Israel merupakan komitmen manusiawi Daniel sebagai seniman. Daniel bukan seorang seniman setril yang tak acuh pada politik. Seni tidak dipisahkan oleh Daniel dari politik. Daniel tidak ia tabukan dan menjadi alergi. Komitmen manusiawi ini dengan tandas ditunjukan oleh Daniel saat ia bermain sebagai konduktur Philharmoni Wina hari ini. Ia menyla konser dengan pidato singkat yang menggarisbawahi perlunya hidup berdampingan damai antara Palestina-Israel. Sesudah pidato singkatnya, seluruh manusiawi Philharmoni berdiri serentak dengan mengacungkan tangan,
[ac-i] kronik bulan pambelum: gerakan kebudayaan
Kronik Bulan Pambelum: GERAKAN KEBUDAYAN [Surat Kepada Halim HD] Posting singkat Bung menyertakan banyak persoalan besar tak sederhana, menunjukkan bahwa Bung masih seperti dahulu dengan segala kesulitan masih menyetiai bidang kebudayaan yang Bung kecimbungi bertahun-tahun, dan kukira akan terus Bung kecimpungi sebagaimana teman-teman lain yang sudah memilih bidang ini sebagai wilayah kiprahnya. Soal-soal besar itua antara lain evaluasi Bung tentang partai-partai politik sekarang , cq. PKS, masalah Islam dan kebudayaan, peran pakar asing yang disebut Indonesianis dalam pembangunan budaya nasional seperti yang dirancangkan oleh TEPI, kasus Afrika Selatan dan Amerika Latin, elite negeri ini dan life style serta orientasi mereka, gerakan literasi, komunitas sastra-seni dan perannya dalam pemberdayaan masyarakat, soal pengalaman Ode Kampung, konsep Paulo Freire dan Ivan Illich. Soal-soal besar dan tidak sederhana ini jika dimasuki satu persatu akan menjadi suatu uraian panjang lebar apalagi jika dipadukan dengan usaha-usaha pentrapannya di negeri kita, termasuk pengalaman kecil diri sendiri, ditambah dengan pengalaman-pengalaman negeri terkait itu sendiri sebagai bahan banding. Melihat kadar permasalahan yang demikian, saya merasa tidak tahu memilih soal mana untuk memulai surat ini. Di samping, pasti akan meminta waktu, pikiran dan tenaga yang tidak kecil. Sedangkan jika dibicarakan secara celotehan dan asal-asalan, serta model haha hihi, apakah akan ada gunanya. Celotehan dan hahahihi memang suatu metode menghadapi masalah, tinggal kita memutuskan apakah metode begini mau ditanggap atau tidak. Hal lain, sering di depan publik, termasuk di dunia maya, ketika berbincang, para yang terlibat lebih menjurus mencari menang dan bukan membahas soal dengan jujur. Sering ngeladrah, orang Jawa bilang. Karena itu saya sering lebih menyukai jalur pribadi [japri] untuk membicarakan soal-soal yang saya rasakan serius. Terhadap soal-soal besar yang Bung ajukan di atas, selain saya memang tidak punya kemampuan membahasnya, saya pasti tidak bisa menyediakan waktu , enerji dan kesanggupan yang padan walau pun kira-kira apa-apa yang Bung ketengahkan itu, bukan daerah amamt-amat asing bagi kegiatan dan studi saya dulu. Ada rupa-rupa pengalaman pahit dan manis ketika mengejawantahkan program-pprogeam berdasarkan wacana tertentu. Saya tentu saja sangat berterimakasih kepada Bung atas pengetengahan soal-soal yang Bung angkat dari Ode Kampung III di Serang awal Desember ini. Melalui pengutaraan Bung, paling tidak saya sudah mendapatkan sebuah peta tambahan baru tentang keadaan lokal yang sangat berguna untuk mengenal keadaan mutakhir. Melalaui Kronik Bulan Pambelum kali ini, barangkali akan lebih sederhana bagi saya jika membicarakan soal Ode Kampung dalam kaitannya dengan gerakan kebudayaan. Seperti sering saya tulis dan katakan pada berbagai kesempatan di berbagai tempat di Indonesia, saya sangat menghargai prakarsa teman-teman Rumah Dunia mengorganisasi penyelenggaraan Ode Kamaping secara teratur sebagaimana saya juga menghargai Festival Lima Gunung yang diprakarsai oleh Mas Tanto dan kawan-kawannya di Jawa Tengah sekali pun dalam skala keluasaan dan tingkat yang berbeda. Tapi dari kedua kegiatan ini, saya mendapatkan ada satu jelujur benang yang sewarna yaitu menggalakkan kegiatan kebudayaan dari bawah secara mandiri. Dua-duanya diselenggarakan saban tahun. Yang menarik dari pengalaman Festival Lima Gunung bahwa kegiatan ini diselenggarakan sepenuhnya bersandar pada kaum tani, baik dari segi pembeyaan mau pun pengisian acara. Walaupn Mgawati dan Presiden SBY menyempatkan diri hadir tapi Festival tidak menerima sepeser pun pemda atau dari kedua tokoh politik nasional itu, ujar Mas Tanto dalam pembeibaraan telpon kami ketika saya berada di Jawa Tengah. Hasil sumbangan kaum tani yang tadinya bersifat natura, setelah diuangkan, malah berkelebihan, tambahnya. Model pembeyaan mandiri ini pun pada dasarnya juga dilakukan oleh Rumah Dunia Serang dalam menyelenggarakan Ode Kampung. Hal menarik pada Ode Kampung bahwa kegiatan budaya ini dihadiri oleh banyak komunitas-komunitas sastra-seni dari berbagai daerah dan pulau. Ode Kampung tahun ini, menurut Halim HD yang hadir dalam jumpa budaya Ode Kampung ke-3 ini berjumlah 70 komunitas. Tentu saja jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan angka 4000 komunitas di seluruh tanahair, jika menggunakan angka yang pernah disiarkan oleh Gola Gong dari Rumah Dunia. Tapi jumlah ini merupakan jumlah terbesar dari semua jumpa sastra-seni dari bawah yang pernah diselenggatakan. Saya sepakat bahwa keadaan ini merupakan kenyataan yang menggembirakan. Membesarkan hati karena saya melihat bahwa di negeri ini ada kemungkinan dansama sekali bukan mustahil, menggalakkan suatu gerakan kebudayaan, termasuk gerakan literasi [jika kita mau membedakan antara gerakan kebudayaan dengan gerakan literasi] dari bawah.
[ac-i] jurnal toddopuli: éman-éman endasé -- sayang-sayan g kepalanya
Jurnal Toddopuli: EMAN-EMAN ENDASE [SAYANG-SAYANG KEPALANYA] Aku kira waktu itu musim panas ketika beberapa surat listrik [sulis] masuk ke kotak surat laptopku. Sulis-sulis itu berasal dari Rosa Prabowo, seorang mantan anggota DPR Pusat dari NU dan sedang menyelesaikan program S3-nya di salah satu universitas di Australia. Negeri dan bangsa ini memerlukan anak-anaknya yang terdidik baik dan berwawasan, jelas Rosa kepadaku mengapa ia melepaskan sementara kedudukannya sebagai anggota DPR Pusat. Aku mengenal Rosa dan juga Choirotun Chisaan, adiknya yang penulis buku Testimoni H. Misbach Yusa Biran. Lesbuli. Strategi Politik Kebudayaan [LKiS, Yogyakarta, 2008, 247 hlm], sudah cukup lama dan ketika tahun 2007 lalu aku ke Yogyakarta, kami berkesempatan jumpa di kantor Syarikat Indonesia yang menerbitkan bukuku Aku Telah Dikutuk Menjadi Laut [ Yogyakarta, April 2007]. Dalam sulis-sulisnya, Rosa mengatakan bahwa setelah dari Jerman, ia bermaksud untuk datang ke Paris. Apakah Babé [demikian anak-anak muda NU memanggilku selalu] ada di Paris musim panas ini? Setelah tukar-menukar sulis, pada hari kedatangannya aku datang ke Stasiun Utara [Gare du Nord], sebuah stasiun kereta-api terbesar di Paris, dari mana kereta-kereta yang berangkat dan tiba ke dan dari negeri-negeri Eropa Utara berpangkal. Gare du Nord biasa juga disebut Paris Utara. Kedatangan kali ini adalah kedatangan Rosa pertama kali ke Paris. Paris tidak ia kenal,utara-selatan, barat--timurnya. Karena tahu ia belum makan , maka Rosa langsung kuajak ke Koperasi Restoran kami yang terletak di pusat kota Paris. Sambil menyeret kopernya yang penuh buku, kami berjalan sambil kujelaskan keadaan tempat-tempat yang kami lalui. Di Koperasi, Rosa berkenalan dengan awak koperasi kami. Saling tukar cerita sambil makan bersama masakan sederhana yang khusus dibuat menyambutnya. Sebagaimana biasa, ketika ada tamu-tamu khusus datang ke Paris, Koperas memanfaatkan kehadiran mereka untuk tukar-pikiran dan informasi. Demikian juga untuk Rosa sebelum ia kembali ke Jerman dalam perjalanan kembali ke tanahair, sudah dijadwalkan kegiatan demikian. Yang ingin kucatat dalam Jurnal Toddopuli kali ini adalah beberapa pendapat Rosa yang tengah menyelesaikan program S3nya di bidang antropologi, yang juga merupakan aktivis NU semenjak muda. Sehingga mendengar kisahnya , aku sekaligus mendengar lika-liku perjalanan NU dan organisasi-organisai pemudanya, terutama pada masa dan pasca Orde Baru. Hadiah paling berharga dari Rosa adalah tesisnya. Sebuah kopie tesisnya ia tinggalkan untukku: Agar Babé makin kenal Islam dan NU, ujarnya sambil menyerahkan kopie tesis tersebut. Tentu saja di sini aku tidak membahas isi tesisnya tapi mencatat beberapa pendapat-pendapat atau pernyataan-pernyataannya di depan teman-teman Koperasi yang mengesankan. Salah satu yang paling berkesan adalah pernyataannya dalam bahasa Jawa khas Yogya yang kocak bahwa cendekiawan dan pemimpin negeri kita dinilainya sangat éman-éman karo nadsé [sangat sayang-sayang pada kepalanya]. Dengan kata lain, Rosa melihat bahwa cendekiawan dan para pemimpin kita kurang suka menggunakan kepalanya. Malas berpikir. Tapi lebih suka menggunakan jalan pintas. Keadaan yang sering aku namakan pola pikir danmentalitas mie instant. Korupsi material, pikiran dan data termasuk beberapa ujud dari pola pikir dan mentalitas mie instant atau yang éman-éman karo ndasé. Sayang-sayang dengan kepalanya Sehingga kepala itu dipelihara demikian rupa. Tidak digunakan sesuai fungsinya Sampai berlumut. Bulukan. Mendengar pernyataan kocak serius, mengena dan komunikatif ini, para anggota Koperasi tidak bisa menahan gelak. Pilihan ungkapan begini, jika pengamatanku benar, adalah ungkapan-ungkapa yang khas terdapat di kalangan para penggiat di akar rumput, baik di kalangan buruh atau tani atau pun lapisan-lapisan masyarakat lapisan bawah. Adanya jual-beli skripsi di dunia akademi, barangkali ujud dari gejala yang disebut oleh Rosa dengan sikap éman-éman ndasé juga adanya. Bentuk dari kultus akademi yang umum di negeri-negeri yang baru mencapai kemerdekaan nasional, negeri yang oleh Alfred Sauvy dinamakan negeri-negeri dunia ketiga sekalipun gelar akademi dan isi kepala tidak rasuk [uncompatible]. Varian dari pola pikir dan mentalitas éman-éman endasé atau mie instant ini boleh jadi yang sering kita lihat dalam sikap menindas ke bawah menjilat ke atas, sanuwun dawuh, minta restu bapak. Yang éman-éman endasé sering menjadi alat jinak [docile tool] dengan segala dampaknya dari tuan-tuan paternalistik Sementara kebebasan dan keberanian berpikir serta mencari kebenaran dari kenyataan yang memerlukan kerja keras dan ketekunan merupakan kutub lain dari éman-éman endasé. Gejala lain yang diangkat oleh Rosa Praboowo adalah masalah latah. Rosa melihat bahwa masyarakat kita sekarang, masih dihinggapi oleh penyakit latah. Isu syariat Islam yang dipandang sebagai jalan
[ac-i] jurnal toddopuli: sastrawan-seniman makassar di forum internasional paris
Jurnal Toddopuli: SASTRAWAN-SENIMAN MAKASSAR DI FORUM SASTRA INTERNASIONAL PARIS Maison des Cultures du Monde [MCM, Griya Budaya Dunia], tingkat dua, 111 Boulevard Raspail, 75006 Paris, merupakan sebuah Lembaga yang sejak bertahun-tahun menangani kerjasama kebudayaan antara Perancis dengan negeri-negeri lain di dunia. Melalui kebudayaan, MCM berharap bisa menanam-tumbuhkan saling pengertian, persahabatan, saling belajar antara bangsa-bangsa di dunia. Di dalam sejarah usahanya mengejawantahkan visi dan misi ini, MCM telah mengundang beberapa kali rombongan-rombongan kesenian dari Indonesia, seperti dari Bali, Jawa, dan Sumatera. Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia Pasar Malam yang menterapkan pendekatan serupa, pada tanggal 07 Desember 2008 kemarin, telah melangsungkan acara sastra akhir tahunnya: Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia Griya Budaya Dunia ini. Untuk acara ini, dari Indonesia hadir Sitor Situmorang, Laksmi Pamuntjak, Lily Yulianti dan Luna Vidya. Dua seniman yang terakhir ini merupakan sastrawan-seniman pertama dari Makassar, Indonesia Timur yang diundang oleh Pasar Malam ke acara-acara sastra internasionalnya. Kehadiran Lily dan Luna mengisyaratkan bahwa Pasar Malam -- sebuah lembaga dengan pendekatan kebudayaan -- mulai menaruh perhatian pada perkembangan sstra-seni di luar pusat-pusat tradisional sastra-seni Indonesia seperti di Jawa-Bali. Paris mulai melemparkan pandang ke pulau-pulau luar Jawa. Untuk membuktikan eksistensi sastra-seni di pulau-pulau luar Jawa, Lily Yulianti dan Luna Vidya telah menggelarkan karya-karya sastra dari Makassar dan Aceh bersama-sama display buku-buku dari KITLV dan penerbit-penerbit berbagai negeri lain tentang Indonesia. Di antara karya-karya sastra dari Makassar dan Aceh, digelarkan juga kaset vcd monolog Luna Vidya. Pada kesempatan ini, Pasar Malam juga telah memberikan kesempatan khusus kepada dua sastrawan-seniman dari Makassar ini untuk tampil di panggung, memperkenalkan diri, menuturkan secara singkat tentang kehidupan sastra-seni di Makassar dan proyek Makkunrai [bahasa Bugis: perempuan]. Kehadiran dua seniman Makassar ini menarik perhatian khusus antropolog Perancis yang memang peneliti tentang Perancis, Christian Pelras dan para peserta.Kehadiran Lily Yulianti dan Luna Vidya ditambah dengan nama-nama seperti Sitor Situmorang asal Tapianuli dan Laksmi Pamuntjak, berdarah Minang,secara tersirat mengungkapkan keluasan dan kebhinnekaan sastra-seni Indonesia dan keindonesiaan.Sayangnya, tidak seperti rencana, Richard Oh dan Djenar Maesa Ayu, akhirnya berhalangan hadir. Djenar hanya tampil melalui filemnya Mereka Bilang, Saya Monyet!, yang digelarkan sebagai acara bahasan penutup. Apabila kedua seniman terakhir ini bisa hadir, maka kebhinnekaan yang hanayalah nama lain dari keterbukaan dan keluasan Inonesia secara geografis dan wacana, akan menjadi lebih nampak dan berwarna. Kehadiran Lily Yulianti dan Luna Vidya, bagiku juga sekaligus memperlihatkan potensi dan daya hidup sastra-seni kepulauan. Sastra-seni kepulauan pada galibnya adalah sari dari sastra-seni Indonesia. Sastra-seni pulau-pulau dan daerah bukanlah sastra-seni periferik atau pinggiran. Ia bahkan sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia sebagai negara berdiri. Sudah ada dan berkembang jauh sebelum sastra berbahasa Indonesia berkembang seperti sekarang. Ia hanya dipinggirkan oleh tafsiran dan pelaksanaan konsep NKRI yang memberi tekanan pada sentrilisasi dan menganggap desentralisasi sebagai padanan dari separatisme. Saya khawatir, jika memandang sastra-seni kepulauan sebagai wacana dan nama lain dari sastra-seni Indonesia yang bhinneka tunggal ika, sebagai sastra- seni pinggiran, merupakan sisa dari pikiran bahwa NKRI padanan dari sistem sentralisme dengan segala dampaknya yang buruk, seperti penjajahan bangsa oleh bangsa sendiri sehingga menjadi berkebalikan dengan rangkaian nilai republiken dan berkeindonesiaan. Kalau pada pengejawantahan sastra-seni kepulauan terdapat kesulitan dan masalah, kesulitan dan masalah, saya kira tidak terletak pada kekeliruan wacana tapi terdapat pada pelaksanaan. Masalah justru akan menjadi akan lebih serius terdapat pada wacana sastra periferik. Kesalahan wacana justru bisa berdampak lebih serius daripada kesulitan dalam pengejawantahan wacana. Wacana adalah suatu orientasi. Wacana budaya kita adalah wacana republiken dan berkeindonesiaan. Bhinneka tunggal ika, bukan sastra-seni pinggiran dan pusat. Budaya itu majemuk, kemanusiaan itu tunggal jika meminjam istilah filosof Perancis Paul Ricoeur. Saya lebih melihat lebih banyak bahaya pada wacana sastra periferik daripada sastra-seni kepulauan. Bahayanya?. Pusat akan bisa bertindak sesuka-hati dan daerah serta pulau-pulau jadi terpinggir dari jati diri serta warna dan soal-soal lokal yang nyata.Padahal niscayanya, pusat adalah rumusan dari sari keragaman lokal dan pulau. Apakah karya-karya sastra dan monolog
[ac-i] jurnal toddopui: sastra periferik dan atau sastra kepulauan?
JURNAL TODDOPULI: SASTRA PERIFERIK DAN ATAU SASTRA KEPULAUAN? Istilah priferik atau pinggiran adalah kosakata yang dihadapkan dengan sentral. Istilah yang umum digunakan dalam teori-teori ilmu ekonomi pembangunan dengan tokoh-tokoh seperti Andre Gunder Frank, Cardoso, Samir Amin, Ignacy Sachs, dan lain-lain dan kemudian banyak yang berhimpun di sekitar Universitas Leuven, Belgia. Adanya istilah sastra periferik ini baru saya dengar dari Luna Vidya, yang hari ini, 04 Desember 2008 petang , telah tiba dengan selamat di Paris setelah berhenti sebentar di Dubai, dengan membawa dua koper buku karya-karya penulis Makassar dan Aceh. Ketika mendengar istilah sastra periferik ini, saya tidak langsung mereaksi Luna Vidya tapi merenungi istilah tersebut. Istilah? Mengapa ia harus dipermasalahkan? Jawabannya, sederhana karena istilah pada galibnya, seperti halnya setiap kosa-kata tidak lain dari lumbung bagi suatu konsep dalam bentuk bahasa. Jika benar demikian, maka agaknya kepada semua pemakai bahasa diharapkan adanya kesadaran berbahasan, termasuk kesadaran menggunakan kosakata atau istilah. Makna istilah dan pemilihan kosakata dan atau istilah ini akan makin terasa ketika kita menulis karya-karya ilmiah, skripsi dan apalagi saat menulis tesis. Melihat buku-buku karya-karya para penulis Makassar dan Aceh yang akan dipamerkan dalam acara Lembaga Persahatan Perancis-Indonesia Pasar Malam di Paris pada 07 Desember 2008, Sepuluh h Jam Untuk Sastra Indonesia, yang mengisi koper-koper Luna Vidya sehinggga membuatnya harus membayar ongkos timbangan lebih penerbangan [over weight], saya bertanya-tanya: Karya-karya inikah yang disebut karya-karya sastra periferik? Sementara saya masih mempertanyakan apakah karya-karya yang disebut periferik ini mutunya jauh lebih rendah dari karya-karya yang terbit dan ditulis oleh para penulis Jakarta atau Jawa yang mungkin dipandang sebagai sentral? Periferik dalam ilmu ekonomi pembangunan memang bermaksud menekankan keniscayaan negeri-negeri Selatan untuk memperjuangkan keadilan secara ekonomi, melawan dominasi negeri-negeri Utara dan untuk menjadi tuan atas negeri sendiri serta setara dengan bangsa-bangsa lalin di dunia , termasuk negeri-negeri Utara. Konsep periferik juga bisa dipandang sebagai dasar teori front persatuan negeri-negeri Selatan guna menegakkan keadilan manusiawi dalam tingkat global. Konsep menentang dominasi negara-negara Utara yang umumnya kapitalistik. Lalu apa yang disebut sastra kepulauan? Dalam pengertian saya, sastra kepulauan tidak lain dari pada niat dan usaha mengembang-tumbuhhkantanpa kompleks potensi-potensi sastra di berbagai daerah dan pulau tanahair yang tentu saja berbeda dengan konsep Black is beautiful dari Leopold Senghor , Aimé Césaire dan kawan-kawan karena latar sejarahn dan politiknya memang berbeda.. Dasar teori konsep sastra-seni kepulauan, saya kira terdapat pada kosakata republik dan Indonesia yang secara ringkas dirumuskan dalam motto filosofis bhinneka tunggal ika. Hal yang tidak terdapat pada konsep saastra periferik. Konsep sastra periferik terasa padaku masih berpegang pada pandangan UUD '45 yang mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia itu adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, mengakui adanya sentra-sentra budaya, sastra-seni, penuh kompleks rendah diri pada yang disebut sentral, tidak menyadari arti kesetaraan dalam nilai republiken dan berkindonesiaan serta tidak mengkahayati makna kebhinnekaan. Hal yang berbeda dengan konsep sastra kepulauan. Satra periferik lebih menjurus ke konsep sastra proyek LSM. Tentu saja sastra proyek LSM tidak saya tentang, tapi yang saya inginkan adalah kejelasan konsep.Bahwa Republik dan Indonesia serta bhinneka tunggal ika adalah kosakata-kosakata yang melukiskan sebuah cita-cita untuk negeri dan bangsa. Adalah suatu program dan politik kebudayaan. Sastra-sastra kepulauan, sastra-seni yang ada di berbagai pulau dan daerah sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Sentral dan periferik jika itu ada, dominasi dan hjegemoni hanyalah salah satu akibat dari pemahaman bahwa Republik dan Indonesia sinonim dari sentralisasi, jika dilihat dari segi politik. Sehingga daerah-darrah dan pulau tidak lain suatu daerah jajahan tipe baru dan sentral. Karena itu saya memandang bahwa konsep sasra kepumauan [dalam pengertian termasuk daerah-daerah] lebih rasuk [compatible] dibandingkan dengan kosakata periferik. Dalam konteks inilah maka saya memandang kehadiran Sitor Situmorang, Richard Oh, Laksmi Pamuntjak, Lily Yulianti, Maesa Ayu Djenar, Luna Vidya di acara Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia, merupakan ujud dari pengakuan Paris pada sastra kepualauan sebagai kenyataan Indonesia. Sementaran demikianlah pendapat saya yang selalu bermimpi agar konsep republik dan Indonesia yang sesungguhnya dan demikian itu bisa terujud. Jika Martin Luther King Jr mengatakan I have a dream, maka
[ac-i] jurnal toddopuli:: taman luxembourg
Jurnal Toddopuli TAMAN LUXEMBOURG, PARIS Taman Luxembourg, merupakan salah satu taman terbesar di tengah kota Paris. Boleh dibilang berada di kilometer nol,. Tidak jauh dari Universitas Sorbonne. Persis di belakang Gedung Senat yang megah. Dari Koperasi Restoran Indonesia, hanya berjarak 100 meter. Kurang lebih satu kilometer dari Sungai Seine yang membelah Paris yang dibayangi oleh Katedral Nontre Dame dan gedung-gedung bersejarah. Cara paling sederhana dan cepat untuk mengetahui sejarah Paris adalah naik kapal menelusuri sungai dan mengitar Pulau Saint Louis yang terletak di tengah sungai. Kapzl kalian akan dikawal dibuntutui oleh ratusan camar putih. Selama perjalanan, kalian akan mendengar tuturan sejarah Paris yang dituturkan secara garis besar kepada para penumpang. Salah satu yang tercatat di Taman Luxembourg ini adalah perjumpaan pengarang Les Miserables dana Si Bongkok Dari Notre Dame, Victor Hugo , dengan istrinya yang setia. Saya katakan setia, karena jetika Victor Hugo terpaaksa meninggal Perancis untuk mencari suaka di Belgia, karena sikap politik Victor Hugo yang tegas menyokong Peembrontakan Commune de aris, sang istri turut dengan tegar menanggung segala duka-derita dan sepi seorang suaka politik di ngeri orang. Sang istri tergolong seorang perempuan yang berprinsip. Bukan perempuan yang bersikap ada uang ada sayang, tak ada uang abang melayang. Pada musim panas, taman ini menjadi tempat orang-orang berjemur sambil membaca. Ia juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan, tempat hiburan dan bermain bagi anak-anak. Taman yang mencakup beberapa model taman, seperti taman model Inggris, di segala musim dijadikan daerah olahraga: jogging,tenis dan tai chichuan, Sekaligus tempat bersantai dan tentu saja juga tempat berkecan. Suasana kemesraan merupakan bagian dari pemandangan taman, apalagi di musim panas dan siapapan tidak ambil perduli. Menanggapnya hal demikian sebagai urusan pribadi yang bersaangkutan. Menjelang jam 19:00 petang, penjaga taman yang berseragam seperti pakaian polisi, membunyikan sempritannya, mengingatkan para pengunjung bahwa taman segera akan tutup. Terlarang untuk bermalam di sini seperti halnya terlarang untuk bermaam tidur di dalam stasiun metro -- kereta-api bawah tanah. Adakah para pedagang kecil di dalam taman seperti yang kita saksikan di tanahair yang segera mengisi tempat-tempat publik dan trotoar? Di dalam taman tidak ada sama sekali. Bahkan rumput hijau, apalagi bunga-bunga, terlarang diinj ak. Jika kita melanggar ketentuan ini, polisi akan segera datang menegur. Kencing sembarangan pun terlarang. Saya ceritakan soal kencing ini, karena pernah seorang teman saya yang sakit, tidak bisa menahan kencingnya. Daripada menahan sakit dan mengencingi celananya, ia berlindung di balik sebuah pohon besar taman dan kening. Tiba-tiba ia mendengar suara sempritan polisi penjaga taman yang langsung mendekati da menegurnya:Tuan, Monsieur, terlarang buang air kecil sembarang. Teman saya itu meminta maaf sambil mengmenjelaskan keadaannya. Polisi taman itu tersenyum maklum, kemudian berlalu.[Pamusuk Eneste ketika melihat ada orang buang air kecil di Saint Michel, setelah kembali dari Paris, menulis ketercengangan akan kejadian ini sama membuat tercengangnya Dr. Masud ketika ia diminta ua,g oleh pengemis New York. Bulé minta uang dari seorang Ilander, ujarnya sambil tertawa]. Taman besar yang berpagar besir berujung lancip seperti mata tombak setinggi kurang lebih 10 meter, diurus dengan baik oleh petugas khusus. Merekalah yang menyapu dedaunan rontok di musim gugur, menggunting dan membentuk tanaman-tanaman, menanam bunga. Mendangirnya. Menyirmanya . Sehingga taman senantiasa terawat dan asri Memberikan kenyamanan bagi para pengunjung. Hal unik, satu-satunya di Paris, bahwa pagar besi taman ini sejak bertahun-tahun dimanfaatkan sebagai pameran foto permanen. Berlangsung siang-malam selama dua bulan dengan tema berbeda-beda. Pagar yang digunakan adalah bagian yang menghadapi jalan teramai yaitu simpang tiga Rue de Vaugirard yang menuju Universitas Sorbonne dan jalan Saint Michel mengarah ke Pntheon, tempat pemakaman atau perisirahatan putera-puteri terbaik Perancis --vbyang sebagian besar terdiri dari orang-orang kiri dengan segala tendensinya, termasuk anggota Partai Komunis, seperti Madame Curie;, saastrawan Andre Malraux yang pernah Trotskis, Vixtor Hugo yang penyokong konsekwen kaum Komunard, dan lain-lain Keadaan dan kenyataan ini menimbulkan pertanyaan pada diri saya: Mengapa banyak orang kiri yang mengisi Pantheon sebagai tempat berisitrahat terpandang bagi putera-puteri terbaik Perancis? Apa hubungan dan adakah hubungan antara orang kiri dan putera-puteri terbaik? Atau sekedar suatu kebetulan belaka?.Tapi yang jelas tidak ada orang kanan, apalagi kanan ekstrim. Pameran foto bersarna dan artistik berukur 2 X 4 meter ini diprakarsai dan disponsor oleh Senat dengn tujuan
Re: [ac-i] jurnal toddopuli: sastra nusantara adalah sastra kepulauan
Fahmi yang baik, Pian orang Banjar-kah? Sayangnya ulun kada punya yang Pian takon. Salam hangat dari Paris yang dingin, JJK --- On Sun, 30/11/08, Fahmi Faqih [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Fahmi Faqih [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [ac-i] jurnal toddopuli: sastra nusantara adalah sastra kepulauan To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Date: Sunday, 30 November, 2008, 1:12 PM bang Kusni, apakah Jurnal Toddupuli ada dalam bentuk media online? agar kami yang di Indonesia bisa juga belajar dari esei-esei tersebut, utama tentang sastra kepulauan. tabik, fahmi faqih --- On Sat, 11/29/08, sangumang kusni [EMAIL PROTECTED] com.sg wrote: From: sangumang kusni [EMAIL PROTECTED] com.sg Subject: [ac-i] jurnal toddopuli: sastra nusantara adalah sastra kepulauan To: artculture indonesia artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com Date: Saturday, November 29, 2008, 8:29 PM Jurnal Toddopuli: SASTRA NUSANTARA ADALAH SASTRA KEPULAUAN Les Insolindes, Insulinde, barangkali adalah istilah lain dari Nusantara yang menunjukkan kepada suatu kawasan yang terdiri dari berbagai pulau. Pengertian sempitnya, barangkali identik dengan wilayah yang sekarang menjadi wilayah negara Republik Indonesia dan budaya Melayu sehingga mencakup Malaysia Barat Timur serta Brunei. Mungkin termasuk juga Filipina Selatan dan Muangthai Selatan serta Timor Leste. Sedangkan dalam dunia sastra, saya kira istilah ini menunjukkan kepada karya-karya seni yang menggunakan berbagai bahasa di berbagai pulau dan daerah di wilayah Republik Indonesia sebagai sarana utama pengungkapan diri, pengungkapan rasa dan karsa. Jika pemahaman begini benar maka konsekwensi nalarnya, bahwa yang disebut sastra Nusantara, tidaklah sebatas karya-karyaa sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra berbahasa Indonesia hanyalah menjadi salah satu saja dari sastra Nusantara atau sastra Indonesia. Jika kita sepakat dengan pengertian Nusantara seperti ini maka kita akan memasukkan karya-karya besar seperti I La Galigo dari TanahBugis, Sansana Bandar Bandar,Sansana Kayau Pulang dari Tanah Dayak, pantun-pantun, gurindam dan seloka Melayu , karya-karya yang ditulis oleh warga dari etnik Tionghoa atau Indo sebagai bagian dari sastra Nusantara dan bukan hanya membatasinya pada karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia Modern yang secara usia sangat pendek usianya dibandingkan dengan karya-karya tersebut dan yang kita sangat kurang indahkan. Sedangkansastra Indonesia jauh lebih tua usianya daripada sastra berbahasa Indonesia. Membatasi cakupan sastra Nusantara pada yang berbahasa Indonesia modern lebih memperlihatkan kepongahan , kekenesan dan kecupetan atau sektarisme pandangan. Barangkali. Terdapat masalah jika dilihat secara otntologi sebagai sisa atau varian dari pandangan hegemonik modernitas dan yang disebut besar dan puncak sebagaimana yang dirumuskan dalam UUD '45 dahulu. Nusantara dan Indonesia adalah dua istilah berbeda makna jika dilihat dari periodisasi sejarah. Nusantara ada jauh sebelum Indonesia lahir. Sedangkan Indonesia dilihat dari segi politik menunjuk kepada wilayah Rempublik Indonesia. Wilayah Republik Indonesia ini, jika kita mau jujur dan realis, juga terdiri dari berbagai pulau dengan budaya masing-masing. Dengan sastra masing-masing pula. Kalau kita mengakui yang disebut Indonesia itu adalah wilayah Republik Indonesia maka sastra yang hidup dan terdapat di berbagai daerah dan pulau, termasuk sastra Indonesia juga, tidak hanya sebatas sastra berbahasa Indonesia. Tidak ada dominasi suku dan budaya besar atau kecil -- yang bertentangan dengan prinsip bhinneka tunggal ika yang secara singkat disebut Indonesia dengan nilai republiken sebagai perekat. Saya khawatir bahwa di sekolah-sekolah dan di publik justru pandangan sempit inilah yang dominan dan diajarkan.Pandangan menyempitkan yang disebut sastra Indonesia begini sama sekali tidak representatif. Kita fasih menyebut Indoneisia, republik, bhinneka tunggal ika tapi apakah maknanya belum dikhayati benar. Pendekatan dan pemahaman salah tentang prinsip-prinsip ini , apalagi hanya sebatas barang hapalan, akan menjalar dan berdampak negatif ke berbagai bidang, terutama pendidikan dan pengajaran. Dari segi ini, saya melihat karya Prof Teeuw yang dijadikan pegangan dalam pengajaran sastra Indonesia menjadi sangat timpang. Sastra lokal sama sekali diabaikan. Padahal di segi lain, dalam kurikulum sekolah-sekolah, terdapat yang disebut muatan lokal. Barangkali pelaksanaan kurikulum ini ada tautannnya dengan penyediaan bahan lokal, kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan lokal, dan tidak kurang pentingnya, mungkin pada soal cara ajar-mengajar sastra di sekolah. Tidak kurang pentingnya adalah tulisan-tulisan apresiasi terhadap karya-karya sastra di suratkabar, radio dan televisi. Tapi di atas segalanya, barangkali yang perlu disepakati dahulu apakah yang disebut sastra Indonesia itu. Apakah
[ac-i] jurnal toddopuli: sans domicile fixe --sdf
JurnaL Toddopuli: SANS DOMICILE FIXE Dingin sudah merontokkan dedaunan dari dahan-dahan kotaku. Langit kelabu seakan hanya sepanggalah saja tingginya dari menara katedral terletak di depan taman Abbesses. Orang-orang jalan bergegas dibalut pakaian tebal. Syal tebal melilit leher mereka.Kalau pun sesekali matahari merebak di antara awan menyinari kota dan atap-atap, bertaburan di jalan, sinarnya pun terasa sangat tumpul, tak terasa menyegat seperti pada bulan Agustus silam. Sengat matahari diganti oleh irisan dingin pada jari-jari kaki dan tangan serta pipi atau daun telinga yang tidak tertutup. Di tengah iklim yang terasa sangat menekan ini, orang-orang berteriak girang dengan mata bercahaya saban melihat ada matahari menyala: O, soleil, soleil... [Oooo, matahari, matahari...]. Matahari jadi dambaan, isi kerinduan, disenandungkan dalam lagu dan puisi. Di samping menikmati keindahan varian tamasya negeri empat musim, saya makin merasakan betapa matahari tanahair tidak tergantikan, terdengar seperti suara rindu seorang ibu atau orang kesayangan menyeru-nyeru segera pulang. Matahari seperti juga bulan, bagiku adalah lambang harapan dan kerinduan -- cinta yang tak pudar, dimatangkan dalam perjalanan musim dengan segala ketiba-tibaan tak tertakar duga. Alangkah gelapnya kehidupan tanpa harapan. Alangkah gelapnya siang tanpa matahari dan betapa temaramnya malam tanpa bulan. Tanpa harapan membuatku akan seperti orang tenggelam ketika pinisinya pecah dibanting topan, yang tergapai-gapai sebelum hilang di lubuk dalam kesia-siaan tanpa makna. Keadaan jiwa tergapai-gapai inilah yang dilukiskan oleh temanku Arifin C. Noer dalam dramanya berjudul Gapai-gapai. Ataukah di samudera kehidupan ini kita memang sering tergapai-gapai? Musim dingin di kota tempatku sejenak bertenda dari perjalanan panjang berdasawarsa meniti busur bumi, menjadi sempurna ketika salju turun beberapa kali pada hari-hari lalu. Terselip memang bayangan betapa saya dan keluarga di saat salju tebal turun bagaikan sisik-sisik naga putih rontok berhamburan dari langit, bermain lempar-lemparan salju sambil kejar-kejaran di antara derai gelak tak berkeputusan mengembarai ujung-ujung alam yang putih seluas cakrawala, lalu membangun sebuah patung manusia. Mengenang dan membayang ulang tamasya begini, saya menyadari bahwa sebenarnya kehidupan tidaklah berwarna tunggal, tapi penuh warna-warni, duka yang hitam hanyalah salah satu saja yang tertera di kanvas kehidupan. Tapi musim dingin di negeri pertendaan sementaraku, apalagi jika suhu sudah berada di bawah nol, adalah juga musim yang memusingkan kepala penyelenggara negara berbagai tingkat, mulai dari tingkat walikota melalui Perdana Menteri hingga ke Presiden, tanpa perduli apakah mereka itu kiri atau kanan. Lembaga-lembaga kemanusiaan seperti Emaus [lembaga yang didirikan oleh pastur Abbé Pierre alm. khusus untuk menangani masalah kemiskinan di Perancis] , Samu Social [lembaga pemerintah untuk pertolongan darurat], dan Restaurant du Coeur [restoran yang didirikan oleh bintang filem dan pelawak, Coluche, dengan dana dari para bankir dan orang-orang kaya] yang menyediakan dan membagi-bagikan makan gratis pada orang-orang miskin di seluruh Perancis, makin sibuk. Coluche, seniman yang berpihak dan terlibat demi pemanusiawian masyarakat. Kerbepihakan dan keterlibatan sosial manusiawinya yang membuat ia selalu hidup di hati masyarakat Perancis. Musim dingin menjadi isu politik nasional. Karena saban musim dingin tiba, senantiasa saja membawa berita kematian demi kematian para gelandangan [clochard] dan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tingga,l yang di sini dinamakan sans domicile fixe dikenal dengan singkatan SDF. SDF disamping orang-orang yang tergolong dalam Dunia Keempat [Le Quatre Monde], orang-orang hanya punya kaki, tangan dan kepala, bahkan cacat, sejak lama merupakan masalah sosial besar dalam masyarakat Perancis. Adanya clochard, SDF dan Le Qurtre Monde, masalah yang tak terpecahkan sampai sekarang, baik oleh pemerintah kiri atau pun kanan, merupakan sisi lain dari Perancis, di samping segi glamour, mode, parfum, sastra, filsafat dan lain-lain faset kemilaunya. Karena keadaan ini, maka saya selalu melihat Perancis memang utuh secara teritorial, tapi pecah dari segi sosial, beragam dari segi budaya. Waktu saya belajar antropoloogi-sosiologi di l'EHESS [L'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales], pecahan dari Universitas Sorbonne, dulu, saya diperkenalkan dengan adanya tiga Amerika Serikat yang kalau tidak salah bermula dari pandangan kelompok sosiolog dari Chicago School. , Sebagai varian dari pandangan ini, saya melihat Perancis pun , paling tidak ada dua Perancis. Perancis kaya dan Perancis yang pas-pasan bahkan yang clochard. Clochard sebagai sebuah metafora realistik. Musim Dingin memang baru saja tiba. Ia belum sampai Februari di mana ia berpuncak. Sampai sekarang menurut
[ac-i] jurnal toddopuli: luna vidya anak sentani tanah papua akan bermonolog di paris
Jurnal Toddopuli: LUNA VIDYA ANAK SENTANI TANAH PAPUA AKAN BERMONOLOG DI PARIS [Cerita Untuk Andriani S. Kusni Anak-anakku] Pada tanggal 15 Desember 2008, Koperasi Restoran Indonesia Paris yang sekaligus sebagai pusat kebudayaan Indnesia di Paris, akan merayakan ultanya yang ke-26. Dalam rangka kegiatan ini maka akan diselenggarakan bedahbuku dan pameran foto tentang Indonesia, bekerja sama dengan Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia Pasar Malam. Sementara itu pada 7 Desember 2008 Pasar Malam akan melangsungkan acara Sepuluh Jam Untuk Sastra Indoneisa dengan menghadiirkan Sitor Sitomorang, Richard Oh, Laksmi Pamuntjak, Djenar Maesa Ayu, Lily Yulianti dan Luna Vidya di samping para pakar sastra dan indonesianis Peris dan Belanda serta para penerbit terkemuka Perancis seperti Gallimard dan Flammarion yang telah menerbitkan antara lain karya-karya Pramoedya A Toer, Ayu Utami serta kemudian Laksmi Pamuntjak. Acara sastra kali ini agak lain dari acara-acara sastra terdahulu jika dilihat dari kompisisi mereka yang diundang yang berasal dari berbagai asal etnik di Indonesia. Tema pembicaraan pun berkisar tentang bagaimana perkembangan pemikiran dan perasaan para penulis bermula dari etnik berkembang melalui nasionalisme lalu menjurus ke universalisme. Hal paling baru adalah hadirnya Lily Yulianti, penulis dari Makassar dan Luna Vidya, aktris kelahiran danau Sentani, Papua. Memang sebelum ini , Pasar Malam pernah mengadakan acara untuk penyair Bali ,Tan Lioe Ie sehingga tampilnya sastrawan-seniman dari luar Jawabukan diawali oleh Lily dan Luna. Bali sebenarnya bukanlah nama baru dalam dunia kesenian. Senman-seniman Bali sering datang ke Paris. Bahkan Arthaud, dramarturg Perancis terkemuka terilhami ketika menyaksikan pertunjukkan pentas Bali. Di Perancis, terkadang, tidak sedikit orang lebih mengenal Bali dari Indonesia. Hadirnya Lily Yulianti dan Luna Vidya dari Makassar dan Papua, kali ini menjadi mempunyai arti khusus, karena baru merekalah sastrawan-seniman dariIndonesia Timur yang diundang olehPasar Malam dalam kegiatan internasionalnya. Hal ini memperlihatkan perhatian Pasar Malam pada perkembangan sastra-seni di luar Jawa dan di muar pusat-pusat kegiatan sastra-seni tradisional yang dikenal dunia, sekaligus memperlihatkan bahwa. kegiatan sastra-seni di luar pusat-pusat tradisional mendapat perhatian dan pengakuan. Guna menopang pengakuan dan perhatian ini maka Lily dan Luna pada kesempatan in, sebagai tanda bukti kegiatan sastra di luar Jawa, ingin memamerkan karya-karya sastra dari Makassar dan Aceh. Sedangkan dalam rangka peringatan ulta ke-26 Koperasi Restoran Indonesia Scop Fraternité Pairs, sudah merencanakan untuk memberi acara khsus kepada Luna Vidya guna menggelarkan monolog berjudul Balada Sumarah karya Tentrem Lestari. Balada Sumarah adalah kisah hidup yang dituturkan dalam sebuah sidang pengadilan. Sidang pengadilan seorang TKW yang tertuduh telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Di depan siding pengadilan itu, Sumarah bercerita tentang hari-hari dimana ia belajar menerima diskriminasi dalam seluruh dimensi kehidupan sosialnya sejak kecil karena satu penyebab: ayahnya dituduh sebagai anggota PKI. Ayah yang tidak pernah sempat dikenalnya. Karena alasan itu Sumarah meski lulus SMA dengan nilai terbaik ijazahnya tak berbunyi apa-apa. Untuknya tak ada kesempatan menjadi pegawai negeri, bahkan petugas administrasi. Ia hanya boleh menjadi buruh pabrik. Nama bapaknya, adalah bayangan hitam yang terus menguntitnya di semua kesempatan. Bayangan itu menggelapkan bahkan impian Sumarah untuk menikah. Dikucilkan, dirampas hak-haknya di negeri sendiri, menjadi TKW di Arab Saudi adalah kesempatan satu-satunya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kesempatan yang diperolehnya dengan memberi amplop. Sumarah menyangka, setelah bertahun-tahun menjadi rakyat setengah gelap di negeri sendiri, terselip dan tidak boleh mendongakkan kepala, ia akan bermetamorfosa dari ulat bulu menjadi kupu-kupu indah di negeri orang. Balada Sumarah yang ditulis oleh Tentrem Lestari ini mulai ditampilkan oleh Luna Vidya sejak tahun 2005 pada Festival Monolog Dewan Kesenian Jakarta 2005 di Teater Kecil-TIM. Luna Vidya lahir di Sentani, Papua, Luna Vidya, bermain teater sejak tahun 1984 di Makassar bersama berbagai kelompok teater di kota itu, sejak datang ke Makassar setelah menamatkan SMAnya di Jayapura. Bergabung dengan Teater Kampus Universitas Hassanuddin, Ia makin mengokohkan dirinya sebagai salah satu pemain teater terbaik Sulawesi Selatan. Ia memfokuskan diri pada ruang-ruang teater monolog, memainkan naskah-naskah orang lain, LV juga menulis naskahnya sendiri (Meja Makan, Pagar, Garis) dan membuat adaptasi dari cerita-cerita pendek untuk keperluan itu. “Makkunrai”, “Dapur” adalah naskah monolog yang iia sadur dari cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Lily Julianti dalam kumpulan cerpen
[ac-i] Mari kita dukung gerakan literasi lokal
JURNAL TODDOPULI: � � MARI KITA DUKUNG GERAKAN LITERASI LOKAL � � � Kalimat yang saya jadikan judul� Jurnal� kali ini berasal dari� Komunitas Rumah Dunia, Serang Banteng yang pada� tanggal 5 - � 7 Desember 2008 mendatang akan menyelenggarakan pertemuan Ode Kampung ke-03� dengan mata acara sebagai berikut [saya kutuip siaran Komunistas � Rumah Dunia, 25 November 2008 di milis [EMAIL PROTECTED]: � � Pembukaan Jum’at, 5 Desember 2008, Pukul 13.30 � � Diskusi: Membudayakan Minat Baca � Kiprah Pemerintah Mendukung Gerakan Literasi Peran Penerbit � dalam Komunits Literasi Jejaring Komunitas Literasi Penulis dalam Gerakan Sosial Tanggung Jawab Pers Mendukung Gerakan Literasi Peranan CSR di dunia Literasi Deklarasi Komunitas Literasi � � Pembicara Prof. Yoyo Mulyana, Dick Doank, Eko Koswara, Asma Nadia, Halim HD, Si Uzi Jodhi Yudono, Myra Junor, Hernowo, Bambnag Trim, Hikmat Kurnia, DR. Zulkieflimansyah, Tantowi Yahya � � Menu spesial: Pementasan ”Pria ½ Iblis” oleh Teater Rumah Dunia, Jum’at 5 Des 08, pukul 19.30 Pameran karikatur karya Si Uzi setiap hari � Cemilan: Parade pembacaan puisi, teater sekolah, dan musikalisasi puisi� . � Berbeda dengan Ode Kampung 02 ynng lalu, kali ini Komuniitas Rumah Dunia tidak atau belum mnngumumkan daftar komunitas-komunitas yang � menyatakan diri akan hadir. Sedangkan tahun lalu, daftar peserta diterakan.� Walaupun jumlah yang hadir� cuma� dua ratusan komunitas sastra-seni� dari jumlah yang mencapai angka 4000 komunis , menurut keterangan Rumah Dunia sendiri,� tapi jumlah dua ratusan dari berbagai penjuru tanahair, kiranya bukanlah jumlah yang sedikit. Barangkali sampai sekarang hanya Rumah Dunia sajalah yang sudah mengumpulkkan dua ratusan komunitas sastra-seni di Serang di Banten, ujung barat Jawa. Saya tetap menganggap hal begini tetap sebagai suatu prestasi. Prestasi ini lebih layak dihargai jika kita melihat cara pengorganisasiannya dan pembeyaannya. Penghargaan ini saya garisbawahi lagi karena ia bermula dari bawah, oleh komunitas-komunitas itu sendiri, berangkat dari pendirian dan sikap yang jelas mendukung usaha literasi lokal. Hal yang sejajar dengan wacana sastra-seni kepulauan, sastra-seni bhinneka tunggal ika di luar yang disebut pusat-pusat pengakuan atau pusat-pusat legitimasi kegiatan bersastra dan berkesenian --- wacana yang bisa dikatakan absurd. Pertemuan Ode Kampung yang diselenggarakan secara periodik mempunyai arti tersendiri bagi pengembangan sastra-seni di negeri kita, yang� berbeda dengan Writers and Readers Ubud Festival yang mewah dan glamour ditopang oleh dana yang besar. Tapi secara kongkret, apa yang diberikan oleh Ubud Festival dalam� mengembangkan sastra-seni di negeri kita, kecuali membuka suatu etalase barang dagangan yang bernama sastra-seni? Barangkali pertanyaan ini keliru, tapi tetap � saya pertanyakan. Pertemuan-pertemuan dari bawah untuk kepentingan pengembangan sastra-seni kepulauan, dalam pikiran saya, jutru lebih layak mendapat perhatian penanggungjawab kebudayaan resmi di negeri kita daripada pertemuan seperti Uubd Festival. Pikiran begini tidak berari membuat penyelenggara pertemuan tipe Ode Kampung atau Fstival Tahunan Lima Gunung di Jawa Tengah tergantung pada uluran tangan� pihak resmi. Masalahnya adalah terletak pada pertanyaan apa bagaimana orientasi dan tanggungjawab � budaya pihak resmi. Ode Kampung dan atau Festival Lima Gunung sejauh ini walau pun pernah dihadiri oleh Megawati dan SBY,tapi� penyelenggaraannya tidak pernahmendapat bantuan sepeser pun dari pihak resmi. Dan tetap berlangsung bahkan jika mengambil pengalaman Lima Gunung, sumbangan dari masyrakat masih bersisa di akhir festival. Melalui penyelenggaraan Festival Lima Gunung berhasil dirawat, diangkat � dan dikembangkan bentuk-bentuk sastra-seni di daerah mulai dari pojok-pojok jauh perdesaan disekitar Lima Gunung Jawa Tengah. Sedangkan Ode � Kampung, saya kira, merupakan peluang untuk komunitas-komunitas dari berbagai penjuru tanahair menyerampakkan langkah agar perkembangan sastra-seni di berbagai daerah kian � � marak. Dari segi ini jugalah saya mengangap penting pertemuan periodik Jumpa Sastrawan Se-Borneo.� � Saya mencium pada usaha pengembangan sastra kepulauan� ini, pernah dicoba dirambah oleh H.B Jassin, anak Gorontalo itu, � melalui majalah Kisah dengan menampilkan penulis-penulis dari berbagai pulau. Saya curiga, apakah dengan merambah usaha ini , HB Jassin tidak mengidam� juga ide sastra kepulauan jsebaga dasar bagi sastra Indonesia? � � Pengembangan sastra-seni lokal atau daerah atau pumau-pulau saya kira, bisa menumbuhkan sastra nasional. Bisa menjadi dasar warna bagi sastra nasional yang semarak. Ia akan semakin bernas� jika membuka diri pada daerah dan pulau-pulau lain serta dunia.� Sastra-seni lokal dan pulau adalah pengembangan sastra-seni yang mengakar dan dekat dengan masyarakat,� merupakan bahasa bedialog dengan dunia jika meminjam istilah filosof berpengaruh � � Perancis, alm.
[ac-i] jurnal toddopuli: sisi lain kongres reims partai sosialis perancis
JURNAL TODDOPULI: SISI LAIN DARI KONGRES PARTAI SOSIALIS PERANCIS [PSP] Kongres Reims PSP baru saja berakhir Sabtu lalu.Kongres bermaksud utama memilih Sekretaris Jenderal [Sekjen]Partai, menggantikan François Hollande, sekretaris lama yang menjabat kedudukan ini selama dua periode atau 11 tahun. Kedudukan Sekjen menjadi sangat enting karena dialah yang akan memimpin kehidupan Partai selama masa jabatannya. Memberi warna pada politik Partai. Kongres ini mendapat perhatian semua kalangan politisi dan rakyat Perancis, karena PSP merupakan partai terbesar dan berpengaruh pada kehidupan politik Perancis, selanjut berdampak langsung pada kehdupan seluruh rakyat negeri ini, Pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dengan UMP sebagai partai berkuasa, PSP merupakan oposisi utama yang mampu mengimbangi UMP. PSP dan UMP, kelanjutan dari RPR, kekuatan utama kekuatan kanan di Perancis bersama sekutu masing-masing, ,berkuasa silih berganti. Yang menarik perhatian saya dalam Kongres Reims PSP ini adalah pertarungan sengit antara dua politisi perempuan yaitu Segolène Royal dan Martine Aubry yang memperebutkan posisi Sekjen. Segolène mantan calon PSP dalam pemilihan presiden pada tahun 2005 sedangkan Martine Aubry ,puteri Jacques Delor, mantan presiden Masyarakat Eropa, walikota Lille, Perancis Utara, duanya mantan menteri pada kabinet Lionel Jospin, kader-kader godokan François Mittterrand. Pertarungan antara kedua politisi perempuan ini memastikan bahwa untuk pertama kalinya PSP dipimpin oleh seorang perempuan. Perhitungan pemilihan babak kedua menyatakan bahwa Martine Aubry terpilih sebagai Sekjen PSP dengan kemenangan 42 suara atau 0,04% ,,terutama berasal dari Lille. Kubu Segolène Royal menuduh telah terjadi kecuranngan pada angka 42 suara ini, karena pada pemilihan babak pertama Segolène berhasil mendapat tempat jauh lebih unggul dari Martine Aubry dan Benoït Hanom, calon termuda dari tiga calon yang tersiaa. Kubu Royak meminta kepada pimpinan pusat PKP untuk menyelenggarakan pemilihan ulang, kalau tidak akan menggugat yang disebutnya kecurangan ini ke Pengadilan Negeri . Sebagai politisi dan kader PSP, baik Segolène mau pun Martine sama-sama lulusan perguruan tingg terkemuka di Perancis dan tumbuh dari basis. Jumlah politisi dan menteri perempuan di negeri ini meningkat sejak masa Kabinet Jospin. Melalui kegiatan lapangan dan dengan latar pendidikan tinggi demikin, keduanya tumbuh menjadi politisi secara bertahap serta mencapai kematangan politik. Tumbuhnya barisan politisi perempuan bukanlah suatu keadaan mendadak atau serta-merta, tapi melalui suatu proses panjang, buah dari perjuangan pahit-getir merebut hak perempuan. Setelah Perang Dunia II [PD II] , dengan kekalahan Jerman Hitler, Charles de Gaulle sekembalinya dari pengasingan di Inggris, segera menyelenggarakan pemilu. Pada pemilu pertama setelah PD II, para perempuan tidak diikut-sertakan dalam pemilu. Bahkan untuk pekerjaan yang sama perempuan digaji dengan imbalan yang berbeda dari lelaki. Kemudian perkembangan bangunan bawah mendorong meletusnya Revolusi Mei 1968, yang mendorong perobahan dibangnan atas [super structure]. Gerakan femininisme yang antara lain diberi dasar teori oleh Simone de Beauvoir dengan The Second Sex-[Seks Kedua-nya ] berkembang marak dengan laju tak tertahankan. Revolusi Mei 1968 merobah wajah mental dan kebudayaan Perancis. Barisan politisi perempuan tumbuh membesar. Segolène Royal dan Martine Aubry adalah hasi wajar dari proses panjang ini , seperti halnya mereka sendiri pun tumbuh menjadi politisi melalui proses juga. Bukan buah dari katrolan atau politisi katrol. Kematangan menyeluruh seorang politisi, barangkali merupakan hal penting jika kita sepakat dengan pandangan bahwa masalah politik merupakan cerminan terpusat segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi yang keludian dijabarkan dalam berbagai undang-undang, ketetapan dan peraturan-peraturan. Misalnya, di Perancis ditetapkan oleh peraturan pemerintah bahwa pada hari libur dan hari-hari besar, apotik dan toko-toko roti tidak diperkenankan untuk tutup semua. Di tiap kartir, harus ada apotik dan toko roti yang buka. Harga-harga obat dan roti pun ditetapkan batas tertingginya oleh pemerintah. Melalui peraturan pemerintah jugalah di Paris ditetapkan batas kecepatan mobil dan bahkan pernah ada hari bebas mobil sehingga para menteri menggunakan metro, kereta ai bawah tanah, kendaraan umum yang paling banyak digunakan oleh penduduk atau bahkan nak sepeda menuju kantor kementeriannya. Melalui politik yang dijabarkan ke dangan peraturan menteri, pada masa Charles Fitterman sebagai mentMenteri Transport pada masa François Mitterrand menjadi Presiden Perancis , pembedaan kelas-kelas di metro ditiadakan. Dan Martine Aubry ketika menjadi menteri, untuk menciptakan lapangan kerja bagi angkatan muda, membuat peraturan yang dikenal sebagai Tiga Puluh Lima Jam [le
[ac-i] jurnal toddopuli: kongres reims partai sosialis perancis
JURNAL TODDOPULI: KONGRES REIMS PARTAI SOSIALIS PERANCIS - Tanda Dari Krisis Konsepsional? Partai Sosialis Perancis [PSP], sebelum Perang Dunia II seperti halnya dengan semua partai kiri sejens, tadinya bernama Partai Sosial Demokrat Perancis, Waktu itu belum ada Partai Komunis Perancis [PKP] . Setelah kongres PSDP di Marseille yang membicarakan sikap terhadaap gerakan kemerdekaan nasional, Kongres terbelah dua: yang menyokong gerakan pembebasan nasional dan yang tidak menyokongnya. Yang menyokong,kemudian menjadi PKP, sedangkan yang tidak menyokong menjadi PSP. Organ resmi PSDP pada waktu itu yang dipimpin oleh Jean Jaures bernaa L'Humanité dan sekaang menjadi organ PKP. Setelah PD II, PSP dan PKP merupakan partai-partai berpengaruh di Perancis, terutama karena jasa jaa mereka dalam melawan pendudukan Nazi Herman. Hanya kemudian PKP makin melemah, terutama setelah runtuhnya Tembok Berlin. Sedangkan PSP tetap merupakan salah satu partai terbesar,berpengaruh dan terpenting dari golongan kiri, seimbang dengan partai terbesar kanan seperti RPR sekarang menjelma menjadi UMP dan menjadi partai berkuasa. UMP atau PSP serta partai-partai kiri lainnya silih berganti berkuasa. Partao-partai kiri dan kanan menguasai pemerintahansecara silih berganti karena memang kekuatan antara kiri dan kanan boleh dikatakan 50:50 persen. Apabila partai-partai ini terpecah-belah, maka mereka akan mengalami kekalahan dalam pemilu, Di faktor lain, berkuasa tidaknya partai kiri dan kanan, juga ditentukan oleh pilihan politik dan akibat pilihan politik mereka. Rakyat Perancis menghukum partai-partai ini melalui pemilu dan unjuk rasa. Menurut angka Majalah Science Sociale,Paris, jika dipukul rata , maka di Perancis terjadi unjuk rasa saban hari. Kontrol masyarakat yang terorganisasi terhadap janji pemilu sangat ketat. Sampai-sampai Harian Katolik yang berusia sudaha lebih dari 100 tahun, La Croix, mengatakan bahwa di negeri ini terdapat tiga kekuatan utama yaitu pemerintah, pengusaha dan rakyat yang teroganisasi yang disebut dengan istilah partner sosial. Organisasi para majikan,sebagai organisasi dari para pengusaha dan majikan, yang sekarang, juga sudah menyadari akan hal ini, sehingga dengan tujuan agar masyarakat terkelola baik, ketua organisasi para majikan/pengusaha yang sekarang sangat mempertimbangkan unsur patner sosial ini. Tanpa menyertakan patner sosial dalam masalah pengambilan keputusan di berbagai bidang, maka tidak akan ada ketenangan dalam masyaraka. Produksi bisa mandeg dan negeri akan mengalami kerugian sangat besar di berbagai bidang. Bisakah dibayangkan bahwa pernah bahwa Paris pernah dikepung dan lumpuh karena kepungan para petani yang unjuk rasa, pernah macet karena mogok para sopir kendaraan berat yng memblokade tol-tol di sekitar Paris, sehingga tentara harus turun tangan untuk membuka blokade tersebut? Contoh ini kukemukakan untuk memperlihatkan pengaruh dan peran kontrol masyarakat yang terorganisasi terhadap penyelenggara negara dan partai-partai politik. Dan benarkah kontrol masyarakat begini merupakan suatu tingkat demokrasi yang telah dicapai dan dikhayati? Tingkat kesadaran politik akan hak dan wajib, sebagai hasil dari suatu proses panjang semenjak anak-anak masuk sekolah? Kalau penglihatan saya benar, maka masalah kesadaran politik, berjalan sehat tidaknya demokrasi, kontrol sosial, erat kaitannya dengan masalah pendidikan. Warganegara tidak menjadi alat jinak [docile tool] menyelenggara negara, tetapi adalah warganegara yang berpikir. Karena itu hak mengungkapkanan diri disadari sebagai hak warga negara yang tidak bisa diusik-usik. Barangkali keadaan ini pula yang menyebabkan bahwa baik pada partai kiri atau pun kanan, tanpa kecuali, selalu terdapat kelompok-kelompok pendapat. Di PSP misalnya, sebagai satu partai terdapat tujuh kelompok pendapat dan grup atau aliran yang disebut sebagai tujuh gajah. Dalam Kongres Epinay, di bawah François Mitterrand, tujuh gajah berhasil disatukan dan kemudian pada buan Mei 1981, PSP bersama-sama partai-martai kiri lainnya berhasil memenangani pemeilihan umum presidensial dan parlemen..Tapi dalam kongres Rennes, tujuh gajah ini tidak berhasil mendapatkan kesepakatan sehingga Kongres berakhir tanpa menghasilkan sebuah resolusi apa pun. Kemudian Lionel Jospin datang menyatukan mereka dan berhasil memenangi pemilihan umum untuk Parlemen sehingga Lionel Jospin ditunjuk oleh Presiden Jacques Chirac menjadi Perdana Meenteri. Pemerintah kohabitasi pun lahir. Kohabitasi antara partai-partai kiri dan kanan. Presiden berada di tangan partai-partai kanan, sedangkan pemerintahan dipegang oleh partai-artai kiri, dengan PSP sebagai partai intinya. Kohabitasi terjadi karena baik partai kiri atau pun kanan pada waktu itu berpegang kokoh pada ketentuan-ketentuanKonstitusi dan tidak ada yang mengusulkan perobahannya. Di negeri ini, agaknya apa yang disebut hukum ,disadari benar arti
[ac-i] jurnal toddopuli: ketika eros djarot dilarang syuting
Jurnal Toddopuli: KETIKA EROS DJAROT DILARANG SYUTING [Ceriita Untuk Anak-anakku] Kalian tahu Eros Djarot, bukan? Pertama-tama ia dikenal sebagai seorang sutradara filem di negeri kita, kemudian berkembang menjadi politisi dan sekarang menjabat sebagai Ketum Partai Nasional Benteng Kemerdekaan Indonesai (PNBKI), tanpa meninggalkan profesi lamanya sebagai seorang seniman filem. Perkembangan dan perluasan wilayah profesi ini, barangkali disebabkan oleh pandangan seni Eros Djarot [yang selanjutnya aku singkatkan dengan Eros] yang di Perancis disebut sebagai seni berpihak [l'art engagée]. Seperti kalian ketahui, seorang seniman berpihak pada umumnya adalah seorng seniman, seorang pemikir yang pemimpi. Mimpi yang aku maksudkan di sini adalah mimpi tentang kemasyarakatan, dan tentu saja masyarakat yang manusiawi. Seniman berpihak berharap melalui karya-karyanya, ingin memberikan sumbangan sebisanya untuk pengejawantahan mimpinya agar mimpi tidak tinggal mimpi. Dan mimpi ini tak obah pedoman bagi kapitan pini di laut. Bagaikan mercu suara bagi kapal yang sedang dermaga. Umumnya seniniman berpihak ini, seperti halnya pinisi, sanggup dengan segala resikonya menarung badai pelayaran. Termasuk mempertaruhkan nyawa dan kepala. Berkembangnya Eros menjadi politisi dan bahkan ketua umum PBBKI, barangkali bisa dibaca sebagai penegasan keberpihakan mimpinya. Ia ingin mencari topangan dan sarana baru guna mewujudkan mimpi-mimpi manusiawinya. Hanya saja, dengan menjadi partisan dari sebuah partai politik, apalagi menjadi orang pertamanya, bolehjadi yang berbuat demikian akan menghadapi resiko baru. Resiko itu kita bisa lihat apabila kita membandingkan watak profesi sebagai seniman dan profesi sebagai politisi, apalagi sebagai orang pertama sebuah partai politik. Dalam pemahamanku, watak pekerjaan seniman sekalipun memang memerlukan disipilin. Disiplin berkaarya. Tapi barangkali sifatnya lain dengan disiplin suatu organisasi, apalagi partai politik. Partai politik mempunyai disiplin --terkadang disiplin mati --, minoritas tunduk ppada mayoritas, sementara di dunia keseniman, barangkali disiplin demikian rasanya kurang berfungsi dalam pekerjaan kreatif. Seniman patuh pada mimpi manusiawinya, bukan pada suatu partai politik, bukan pada orang-perorang seperti ketua, sekjen atau pengurus partai politik. Seniman bekerja tanpa hirarki. Ia seorang pencari dan menjaga kebebasannya mencari serta bertanya sebebas ia mencari jawab dan mengungkapkan pendapatnya sebagai buah pencariannya. Dalam posisi inilah ia menjadi seorang republik merdeka sastra-seni, yang sering hadap-hadapan dengan republik politik formal. Tapi justru dengan posisi ini ini pulalah seniman bisa dipandang sebagai pengawas sosial, melakukan pengawasan masyarakat, apalagi jika ia bisa menjadi jiwa bangsa dan jiwa rakyatnya seperti halnya dengan Aimé Cesaire darn Martinique yang sanggup menolak kedatangan Nicolas Sarkozzy yang waktu itu menjadi Menteri Dalam Negeri Perancis. Penolakan penyair ini disokong penuh oleh rakyat Martinik dan Guadaloupe. Kemerdekaan seniman merupakan suatu keniscayaan dalam berkarya. Disiplinnya berbeda dengan disiplin partai politik atau suatu organisasi. Disiplinnya adalah disiplin kreator. Disiplin seorang pemimpi. Tapi ia pun bukan seseorang yang tidak paham politik. Ada keniscayaan baginya untuk paham politik tapi tanpa menjadi partisan. Buah pencariannya ia tuangkan dengan menggunakan bahasa atau sarana artistik yang berbicara dengan hati dan kepala. Seniman partisan, kukira seniman yang berjudi dengan profesi kesenimanannya. Tidak sederhana mengelola disiplin seniman dengan disiplin partai politik. Salah-salah kelola, bisa terjadi seniman merasa dirinya terkungkung di rumah tanahan yang terpaksa membungkamkan renungan dan hasil pencariannya demi disiplin organisasi. Apalagi tidak jarang kita menyaksikaan bahwa partai politik terasing dari kehidupan, tidak aspiratif, sibuk dengan masalah kekuasaa yang bukan urusan seniman.. Gejala Eros, yang selain sebagai seniman [filem], di segi lain kubaca bahwa ada kemungkinan di negeri kita tumbuh angkatan politisi yang mengerti budaya dan budayawan yang mengerti politik. Jika pembacaanku benar melalui gejala Eros ini maka gejala ini akan menggirangkan. Di Tiongkok Kuno disebutkan bahwa seorang pemimpin itu niscayanya mengerti masalah militer, budaya dan politik. Contoh agak mutakhir terdapat pada tokoh Mao Zedong yang selain seorang politisi, juga seorang strateg jendral dari semua jendral, dan seorang penyair, budayawan serta pemikir. Aapakah Eros sampai dan mengarah ke jurusan ini? Adakah politisi dan seniman tipe begini di negeri kita? Suara hingar-bingar deras kudengar adalah gaung-gema narsisme hampa sehingga sampai ada yang berkata:Aku malu menjadi Indonesia, sumpah-serapah tanpa mendorong kreativitas, dan mauke mana sertai mau apa, ungkapan yang berkata banyak untuk melukiskan keadaan negeri dan
[ac-i] jurnal toddopuli: bénang dinding
JURNAL TODDOPULI: BENANG DINDING Katingan, salah sebuah sungai di Kalimantan Tengah, propinsi yang didirikan paa tahun 1957 dan disebut juga sebagai propinsi ribuan sungai, adalah sungai di mana aku dilahirkan dan kemudian diasuh oleh hutan yang tak tertembus cahaya matahari, arus dan sungai gelombang, bukit dan busut-busut jantan serta betinanya, dibuai oleh suara burung dan pekik siamang siang-malam sahut-menyahut dengan denting dawai kecapi, irama sansana para penakik karet dan pemotong rotan atau nelayan pulang subuh. Hanya sebelas tahun secara efektif aku hidup di sungai berbentuk lipat siku ini. Karena begitu selesai Sekolah Rakjat (SR) --sekarang disebut Sekolah Dasar -- aku harus keluar rumah orangtua untuk mencari sekolah di kota lain. Di Kasongan, sekarang ibukota Kabupaten Katingan, yang terletak di bibir sungai Katingan, sekolah tertinggi hanyalah sampai tingkat SR. SMP apalagi SMA sama sekali tak ada. Daerah sangat kaya raya, tapi tidak mempunyai sekolah yang padan untuk mengembangkan sumber daya manusia setempat. Kekayaannya mengalir semua ke Banjarmasin sebagai ibukota Kalimantan Selatan. (Waktu itu Pulau Kalimantan sebagai pulau ketiga terbesar di dunia sesudah Pulau Hijau, Australia) dibagi dalam tiga propinsi: Barat, Timur dan Selatan. Kalteng merupakan bagian dari Kalsel. Sebagai bagian dari Kalsel maka semua kekayaan yang dihasilkan Katingan terhenti dan ditumpuk serta digunakan oleh Banjarmasin, tanpa ada yang kembali ke Katingan. Oleh keadaan inilah, pada usia 11 tahun, maka orangtua mengirimku ke Sampit untuk melanjutkan sekolah di SMP Kristen -- satu-satunya SMP di daerah yang sekarang disebut Kalteng bersangukan pesan-pesan berat yang tak bisa kujawab: obah cawat dengan dasi, jangan kembali jika tak bisa mengobah nasib Katingan, jangan menangis saat kapal meninggalkan tepian. Sebagai anak diasuh alam yang merasa tak tenggelam di tengah gelombang yang selalu memabokkan dan menggoda ingin menerjuni menantangnya, sebelum masuk kapal, bersembunyi di perut kapal, agar tak nampak bahwa aku sedih berangkat dari tepian, sejenak aku menatap langit. Kepada langit, kuacungkan kepalan kecilku mau berkata: Awas kau akan kutonjok, dan kau akan kalah!, kebiasaan yang kulakukan saban melihat gelombang sungai Katingan. Aku pun masuk ke perut kapal mengintip para pengantar dari balik kaca dengan mengelola perasaan yang campur-aduk. Jika diukur dari masa hidup seseorang, masa 11 tahun bukanlah waktu yang panjang. Tapi ia meninggalkan kesan mendalam padaku dan menancap tak pernah pupus di kenangan bocahku. Salah satu dari kenangan dalam itu adalah kegiatan ibu. Tokoh ibuku yang mengesankan karena kepribadian, tanggungjawabnya, sikap kemandiriannya serta tangannya yang tak pernah dari melakukan sesuatu. Salah satu kegiatannya yang meninggalkan kesan sampai sekarang adalah keteunannya dalam melakukan sesuatu, menganyam dan melakukan sesuatu sampai tuntas. Tak pernah ia melakukan sesuatu secara kepalangtanggung. Kalau ia membuat pakaian untuk ayah dan anak-anaknya, sisa kain dari segala warna dan ukuran yang dipotongnya, ia simpan. Kemudian pada waktu senggang, ia jahit. Tak ada yang terbuang di tangan ibu. Hasil jahitannya kemudian menjelma menjadi sebuah lembaran kain warna-warni yang bisa digunakan sebagai selimut atau korden pintu kamar kami. Benang warna-warni yang dijahit rapi dan kemudian menjadi selembar kain, dalam bahasa Dayak disebut bénang dinding. Tambalan, tembelan dalam bahasa Jawa atau mungkin patch work dalam bahasa Inggris. Kalau kurenung ulang soal bénang dinding ini, maka aku melihat kreatifian, ketekunan dan sikap berhemat dari para perempuan di rumah tangga. Perempuan Dayak, yang tentu juga terdapat pada perempuan etnik dan bangsa-bangsa lain. Terbukti adanya istilah-istilah untuk bentuk kreativitas ini dalam berbagai bahasa. Barangkali, bénang dinding juga bisa dilihat sebagai pembagian kerja antara lelaki dan perempuan secara alami. Karena tak pernah kulihat tangan ayah yang kasar menjahit sisa-sisa kain yang dikumpulkan ibu. Sementara ibu, bisa dan mampu melakukan apa saja yang ayah kerjakan, termasuk membuka ladang. Dalam masyarakat Dayak Kalteng, paling tidak sampai dengan masa bocah Katingan-ku, masalah kesetaraan lelaki dan perempuan bukan masalah yng harus diperjuangkan, tapi sudah menjadi kenyataan hidup sehari-hari. Penanggungjawab keluarga adalah suami-istri. Secara ekonomi, istri tidak tergantung pada suami. Salah satu tiang penyangga keluarga adalah istri. Sang ibu, keadaan yang dalam ungkapan Tiongkok Kuno disebut perempuan adalah penyangga separo langit. Dalam masyarakat Dayak pada masa bocah Katingan-ku perempuan bukanlah bunga rumahtangga, tidak pula menjadi konco wingking [teman di belakang atau dapur], atau orang yang ke sorga ikut, ke neraka terbawa [nyang sorga nunut, nyang neraka katut]. Inilah yang kulihat, yang tersirat dari adanya masalah bénang dinding, Nampak
[ac-i] jurnal toddopuli: poubelle
Jurnal Toddopuli: POUBELLE [Cerita Untuk Anak-anakku] Kalau George Eugène Haussmann [1809-1891 selaku walikota Paris berjasa menata Paris secara artistik, maka Eugène Réné Poubelle, bupati daerah Seine pada abad ke-19, pinggiran kota Paris, mempunyai jasa lain yang unik, dihargai yang membuat ia dikenang sampai sekarang oleh penduduk seluruh Perancis. Apakah jasa Eugène Réné Poubelle? Jasa Poubelle, demikian ia kemudian diucapkan sampai sekarang oleh hampir semua bibir dari segala lapisan masyarakat, terletak pada prakarsanya menciptakn sistem pembuang sampah yang berton-ton saban hari. Masalah sampah yang keluar dari setiap rumah, perusahaan-perusahaan, toko-toko, hotel-hotel dan pabrik memerlukan perhatian dan penanganan khusus terutama oleh pemegang kekuasaan di berbagai tingkat. Untuk melukiskan keseriusan masalah sampah ini , di sini aku ingin menceritakan beberapa contoh. Pada suatu hari, dan tentu kejadian begini bukan terjadi sekali dua kali, ketika aku datang ke Koperasi sepanjang jalan menuju Koperasi Restoran Indonesia Paris, aku menyaksikan tong-tong sampah masih berada di beranda gedung-gedung, termasuk di beranda Restoran kami. Keesokan dan lusanya, tong-tong sampah yang jumlahnya terus-menerus bertambah, masih saja berada di semua beranda dan pinggiran jalan. Sehari saja sampah-sampah itu tidak diangkut maka ia akan membusuk oleh suatu proses peragian. Bau busuk yang tidak menyenangkan ini pasti akan sangat mengganggu kenyamanan serta kesehatan. Apalagi jika sampaai tiga hari sampah-sampah itu tidak diangkut oleh barisan kebersihan kota, maka seluruh kota atau kartir menjadi kartir atau kota berbau busuk. Selain itu pemandangan kota pun akan berobah menjadi kot tumpukan sampah. Karena itu seluruh penduduk akan segera memprotes penyelenggara administrasi kota jika masalah sampah ini tidak diselesaikan sesegera mungkin dan berdampak pada posisi penyelenggara administrasi itu pada periode pemilu berikutnya. Jika terus dibiarkan maka pasti jalan-jalan akan gemuruh oleh teriakan dan duyunan perkasa para pengunjuk rasa dari segala lapisan masyarakat yang menyerukan A bas [Turun dari panggung administrasi]. Kali lain aku juga pernah berkali--kali menyaksikan peomogokan tukang sapu keteta-api bawah tanah yang disebut metro, kota Paris. Di kade-kade metro sampah bertumpuk dan berhamburan. Sebagai taktik pemogokan dan alat menekan penyelenggara administrasi kota, para tukang sapu pemogok, memungut sampah dari luar dan menaburnya di kade-kade metro sehingga jumlah sampah kian bertambah.Dalam situasi begini,tidak jarang kita melihat sambil tersenyam-senyum para wisatawan dan penumpang metro, mencari sapu untuk menyisihkan sampah-sampah tersebut ke pinggir. Tentu saja, cara ini hanyalah cara penyelesaian tambal-sulam karena segera jumlah akan kembali meningkat dan bertaburan di kade-kade. Tukang sapu metro bukanlah kalangan masyarakat dari tingkat elite. Umumnya berasal dari para imigran yang kulit mereka berwarna-warni, tapi tidak pernah kulihat ada orang asal Asia di antara mereka, seperti juga sangat sangat langka ada gelandangan asal Asia. Mereka menggunakan seragam kuning hijau daun karena itu disebut Pasukan atau Barisan Hijau. Mereka merupakan pegawai resmi dari kotapraja. Pada hari-hari biasa, ketika mereka tidak melancarkan pemogokan, umumnya dengan tuntutan kenaikan gaji dan perbaikan syarat kerja, orang-orang tidak memandang mereka dengan sepicing mata. Mereka baru dipandang ketika mereka melancarkan pemogokan. Pemerintah kotapraja pun akhirnya mereka paksa untuk berunding dan biasanya perundingan selalu berakhir dengan kemenangan para tukang sapau pemogok. Keadaan ini mengingatkan aku akan premis Mao Zedong dan pemikir-pemikir Marxis lainnya bahwa masaa dan hanya massalah sesungguhnya yang pahlawan sejati. Massa adalah motor perkembangan maju sejarah. Pemerintah kotapraja tunduk pada tuntutan para tukang sapu yang bersatu dan terorganisasi, apakah ini bukannya memperlihat kemampuan kebersamaan rakyat kecil yang membela kepentingan diri mereka dan mencintai kehidupan? Permogokan adil mereka termasuk pemogokan yang tidak pernah kalah, tapi dilancarkan dengan prinsip adil dan tahu batas. Untuk menghadapi tekanan para pekerja dengan senjata pemogokannya maka pemerintah NicolasSarkozy, presiden Perancis sekarang, membuat undang-undang yang mencoba mengatasi pemogokan dan tentu saja mengundang badai pengunjuk rasa. Pemogokan adalah senjata perjuangan kaum pekerja di masyarakat demokratis. Ternyata, penyelenggara negara pun ada yang berkualitas sampah dan yang menyampahkan diri dengan pilihan politiknya. Selain sampah, pembuangan air besar dari kota-kota, juga sebenarnya bukanlah merupakan soal kecil. Jacques Chirac ketika menjadi walikota Paris, sebelum menjadi presiden untuk dua periode, pernah diprotes oleh Komune pinggiran Paris karena menjadikan Komune mereka sebagai akhiran
[ac-i] Jurnal Toddopuli: Dix heures pour la littérature in donésienne di paris 7 desember 2008
JURNAL TODDOPULI: SEPULUH JAM UNTUK SASTRA INDONESIA DI PARIS Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia, Pasar Malam pada tanggal 07 Desember 2008 mendatang kembali akan menyelenggarakan kegiatan budayanya. Kali ini dengan menggelarkan acara yang dijuduli Dix Heures Pour La Littérature Indonésienne [Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia]. Kegiatan tentang sastra Indonesia ini akan berlangsung di ruangan La Maison des Cultures du Monde,101 Boulevard Raspail, 75006 Paris. Dalam acara Dix Heures Pour La Littérature Indonésienne ini akan berbicara Sitor Situmorang, Laksmi Pamuncak dan Richard Oh, dengan tema Dari Lingkup Pribadi Ke Ruang Publik . Otofiksi atau Meninjau Ulang Citra Diri .Otobiografi Dalam Karya Sastra[ De la sphère privée à l'espace public : . autofiction ou image de soi revisitée ? La part autobiographique dans luvre littéraire]. Tema lain yang akan dibicarakan adalah Aku dan Orang Lain [Je et L'Autre]. Melihat komposisi para pembicara utama dalam jumpa sastra tersebut yang berasal dari berbagai latar etnik dan sosial, maka ketika berjumpa dengan Johanna Lederer, Ketua Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia Pasar Malam di Koperasi Restoran Indonesia, aku jajagi pendapatnya tanyakan: Apakah tidak sebaiknya juga para pembicara disarankan atau diarahkan untuk menyinggung masalah sastra lokal dan pengaruhnya terhadap diri mereka sebagai penulis. Bagaimana hubungan sastra lokal dan nilai-nilai universal? Secara prinsip Johanna yang sarjana sastra Amerika lulusan Universitas Sorbonne itu, menyatakan setuju. Ia pun melihat arti penting pengangkatan sastra lokal di Indonesia dalam konteks sastra Indonesia sebagai suatu bangsa dan negeri. Pengangkatan sastra lokal, tidak berarti mempertentangkannya dengan sastra nasional yang berbahasa Indonesia. Patut pula dicatat bahwa di dunia akademi, masalah-masalah sastra lokal banyak ditangani oleh para Indonesianis Perancis dan dilihat dari berbagai metode pendekatan. Waktu berjumpa di Paris dalam tahun ini, ketika soal ini aku singgung, sebagaimana juga kubicarakan dengan Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad memperlihatkan ketertarikannya dan mengesankan bahwa ia sangat mendukung. Kesan ini nampak ketika aku berbicara tentang Luna Vidya sebagai penyair yang lahir di Sentani dan sekarang bermukim di Makassar. Kesan serupa juga kudapatkan dari Sitor Situmorang ketika ia mengakui bahwa ia sering dikonsultasi oleh penggiat-penggiat sastra-seni Tapianauli. Mengembangkan sastra-seni lokal, aku lihat hanya menguntungkan bangsa dan negeri, suatu usaha sadar mendorong pengejawantahan potensi yang kaya-raya dan potensial di negeri kita. Barangkali melalui cara ini, melalui proses, kita bisa mendapatkan wajah sastra-seni yang berkindonesiaan yang sekaligus bernilai universal. Sebab aku tidak pernah mempertentangkan nilai lokal dengan universal. Pada karya-karya lokal terdapat nilai universal. Dengan pengembangan sadar sastra-seni lokal, barangkali kita sekaligus mengejawantahkan konsep bhinneka tunggal ika yang oleh Paul Ricoeur disebut bahwa lokalitas adalah bahasa dalam bergaul dengan budaya dunia. Kebudayaan itu majemk,kemanusiaan itu tunggal sebagaimana yang tertuang pada konsep rengan tingang nyanak jata [anak enggang putera-puteri naga] dan Utus Kalunen [Anak Manusia] pada budaya Dayak dahoeloe. Pengembangan sastra-seni lokal yang pada suatu ketika oleh budayawan Halim HD dirumuskan sebagai sastra-seni kepulauan, aku melihat bahwa keragaman itu adalah suatu rakhmat dan indah, sedangkan ketunggalan itu mengandung bahaya. Dengan pandangan ini, aku mempertanyakan pendapat Ignas Kleden yang mengesankan bahwa keindonesiaan itu bermula dari atas. Sementara, aku melihat, bahwa dalam pengembangan kebudayaan di negeri ini, kita perlu berpijak di dua kaki: Dari atas dan dari bawah, tapi dengan titik berat dari bawah. Sebab seperti dikatakan oleh salah seorang penyair Tiongkok Kuno, penguasa bisa silih berganti, rakyat itu akan tetap ada.Dalam istilah kelompok pemikir Samir Amin, pandangan begini disebut : rakyat sebagai poros. Dalam acara Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia-s kali ini seperti biasa akan turut berbicara para Indonesianis dan sejumlah pakar-pakar sastra dari Perancis sendiri seperti Gilbert Hamonic, antropolog dengan spesialisasi Asia Tenggarah, Christine Jordis, penulis dan redaktur pada penerbit besar Gallimard, Etienne Naveau, dosen pada INALCO [Institut Nasional Untuk Bahasa-bahasa Timur] tentang sastra Indonesia, Vincent Bardet dari penerbit Le Seuil, penulis Bernard Chambaz dan lain-lain... Kegiatan sastra Indonesia kali ini untuk pertama kali mendapat sokongan dari KBRI Paris, bahkan pejabat Dubes sendiri akan hadir. Bantuan dari Perancis diperoleh dari Centre National du Livre Conseil régional dIle de France Direction régionale des Affaires Culturelles dIle de France, LES ÉDITIONS DU PACIFIQUE et Willem, seorang pelukis Sedangkan bantuan
[ac-i] membangun kedaulatan kebudayaan rakyat
hersri setiawan Membangun Kedaulatan Kebudayaan Rakyat* 1. Kebudayaan bukan Anak-Bawang Kehidupan Walaupun kata benda “kebudayaan” atau “budaya” selalu disebut paling akhir dalam urutan pasangannya, politik-ekonomi- kebudayaan (di jaman penataran Suharto dulu dikenal istilah “ipeloksesbud” ), tapi tidak bisa dipungkiri bahwa peranan kebudayaan tidak lebih kecil atau lebih rendah dari kata-kata pasangannya itu. Contoh: (a) menyadari kekalahannya di Indonesia, Belanda (1950) segera berusaha merebut kembali jajahannya yang hilang dengan jalan ‘penetration pacifique’ dalam bentuk Sticusa dan MMB (Misi Militer Belanda); (b) Gang-4 Ziang Chin mencoba mempertahankan RRT melalui “Revolusi Kebudayaan”. Tapi kedua-duanya gagal. Yang pertama karena perlawanan rakyat, yang kedua karena terlambat diintrodusir. Rejim militer Orba Indonesia dbp Jendral Suharto lebih cerdik dan pandai menangkap dan memanfaatkan momentum. Segera sesudah jenasah lima jendral dan satu perwira pertama dimakamkan, ketika tanah kubur masih merah dan emosi masih teraduk-aduk, segera dilakukan berbagai manuver kebudayaan yang jitu, antara lain (a) Uril (Urusan Moril) di departemen AD diperluas bidangnya dengan mengambil model dan peranan Lekra; (b) Pepadi, organisasi pedalangan, dikuasai dan diserahkan kepemimpinannya bukan pada Ki Dalang Nartosabdo atau dalang lainnya, tapi pada seorang Jendral Sudjono Humardani; (c) menghancurkan simbol-simbol budaya lama dan membangun yang baru – paling mencolok dalam contoh ini dihitamkannya nama Jameela Aljazair , simbol kebangkitan dan perlawanan rakyat Asia-Afrika (lagu komposisi Mochtar Embut), dihancurkan dan diganti dengan Jamilah pekerja seks Ps Senin yang konon “penari harumbunga”. 2. Sikon Kebudayaan Indonesia Pasca-G30S-65 Sesudah '65, kebudayaan menjadi milik penguasa, kaum modal dan para elite. Situasi dan kondisi semacam itu sebenarnya masih terus berlangsung sampai sekarang. Timbul alienasi antara kebudayaan di satu pihak dengan rakyat di lain pihak, karena rakyat sudah tidak lagi “the owner”, juga bukan “the partner”, melainkan sudah menjadi samasekali “the other” – “liyan” (Jawa) “yang lain” (Indonesia). Pemikiran ini barangkali juga melanda sementara para cendekiawan, budayawan, dan aktivis LSM, mereka tampil seakan-akan punya mandat untuk mewakili rakyat merumuskan kebudayaan. Tanpa pernah merumuskan terlebih dahulu apa itu “kebudayaan” dan apa itu “rakyat”. Kebudayaan rakyat atau kebudayaan yang berasal dari rakyat pun lalu dianggap sebagai liyan”, atau “lain atau the other. Sadar atau tidak sadar pemikiran kebudayaan yang ekslusif ini dan kadang dengan mengatasnamakan “kebudayaan kiri” itu (apa itu “kiri” dan “kanan”?), justru mendukung penguasa dan modal untuk tidak memperhatikan kebudayaan rakyat. Padahal dahulu, tepatnya tahun 1960 di depan Kongres Nasional Lekra di Taman Sri Wedari Solo, Presiden Soekarno menegaskan, bahwa kebudayaan harus untuk rakyat dan dari rakyat. Lebih tegas ia dari Lekra yang berkredo “kebudayaan (untuk) rakyat”. Bung Karno sangat benar. Karena jika hanya “untuk”, maka berarti menempatkan rakyat sekedar sebagai obyek. Tapi jika “dari” dan “untuk”, maka rakyat ialah subjek dan sekaligus objek. Ia samasekali bukan “liyan” (other) atau “rekan” (partner), tapi dialah si Empunya (the Owner). Dengan demikian, jika mengamati sikon kebudayaan dewasa ini, sejatinya ternyata telah terjadi perubahan isi dan/atau pergantian nilai-nilai budaya. Isi dan nilai budaya “the leisure class” lalu menjadi isi dan nilai budaya bangsa. Tidak salah sebenarnya pendapat kaum marxis ketika mengatakan, bahwa “kebudayaan suatu bangsa ialah kebudayaan klas yang berkuasa”. Sedemikian rupa pergantian nilai atau perubahan isi budaya itu, sampai berdampak pada pemiskinan sekaligus pendangkalan jatidiri kosakata. Misalnya, kata “aktor” dan “aktris” sekarang nyaris hilang karena terdesak oleh kata “artis” yang rancu arti dengan “selebritis”. Padahal “artis”, yaitu ahli seni atau seniman/seniwati, yang semestinya sebagai kata cakupan untuk “aktor” dan “aktris”, sekarang tinggal menjadi sesempit dan sedangkal kata “selebritis” alias “bintang”, yang lebih menunjuk pada penampilan (outer appearance) ketimbang isi atau bobot (inner value). Seniman atau seniwati susut nilai dan isinya tinggal menjadi sekedar “pelipur lara” atau, pinjam istilah Jacques Leclerc, “kaum suka hibur” belaka. Tirani otoritarian bukan hanya terdedahkan dalam tindak kekerasan di dunia kasatmata, tapi bahkan juga berimbas pada dunia yang nirkasatmata, seperti dunia linguistik misalnya. Perhatikan saja dunia kosakata sport yang justru penuh dengan kata-kata yang samasekali tidak sportif! Misalnya: Rafael Nadal gebuk Federer, Jatim sabet tuan rumah, Rusia lumatkan Belanda ... dsb dst. 3. Kebudayaan Kuda Troya Tirani Modal Rezim militer Orde Baru Suharto bukan hanya kekejamannya saja yang menarik diamati. Tapi juga
[ac-i] Fw: [HKSIS] Xi Jinping tentang Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok (2).
--- On Wed, 16/7/08, [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED] wrote: From: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED] Subject: [HKSIS] Xi Jinping tentang Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok (2). To: [EMAIL PROTECTED] Date: Wednesday, 16 July, 2008, 11:35 AM Tentang Beberapa Kesan dan Pengertian Belajar Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok. (2) Xi Jinping. II. Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok yang berusaha keras untuk menggali dan menjawab sekitar tiga masalah dasar, yang telah memperdalam dan memperkaya pengertian tentang tiga hukum besar, adalah sistim teori yang ilmiah. Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok berangsur-angsur terbentuk dan berkembang di bawah syarat-syarat historis di mana perdamaian dan perkembangan menjadi tema jaman, di atas dasar praktek besar Reformasi dan Keterbukaan dan pembangunan modernisasi sosialis di Negeri kita, di atas dasar penyimpulan pengalaman historis pembangunan sosialis di Negeri kita dari dua segi positif dan negatif, dan pengalaman yang masih segar sejak dilancarkannya Reformasi dan Keterbukaan, di atas dasar menarik pelajaran dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan Negeri-Negeri sosialis yang lain. Sistim teori ini, dalam masalah garis ideologi pembangunan Sosialisme Berkepribadian Tiongkok, jalan perkembangan, tingkat perkembangan, strategi perkembangan, tugas-tugas pokok, tenaga penggerak perkembangan, kekuatan-kekuatan yang harus disandari, strategi Internasional, kekuatan-kekuatan yang memimpin, tujuan pokok dll., telah secara kreatif membentuk serentetan pandangan teoritis penting, secara sistimatis telah menjawab serentetan masalah penting bagaimana melepaskan diri dari kemiskinan, mempercepat pelaksanaan modernisasi, mengkonsolidasi dan mengembangkan Sosialisme di Tiongkok, di suatu Negeri besar yang sedang berkembang yang berpenduduk satu milyar lebih ini. Sistim teori ini, yang isinya meliputi bidang Filsafat, Ilmu Ekonomi-Politik, Sosialisme Ilmu, dll., mencakup berbagai bidang Pembangunan Ekonomi sosialis, Pembangunan Politik, Pembangunan Kebudayaan, Pembangunan Sosial dan Pembangunan Partai serta Pembangunan Modernisasi Pertahanan dan Tentara, Penyatuan Tanahair, Strategi Internasional dan Pekerjaan Diplomatik, menyangkut berbagai bidang kestabilan perkembangan Reformasi, Dalam Negeri, Luar Negeri, Pertahanan, Pengurusan Partai, Pengurusan Negara, Pengurusan Tentara dll., adalah sistim teori yang kaya secara arti, mendalam secara ideologi, ilmiah dan sistimatis. Dalam membangun dan mengembangkan Sosialisme Berkepribadian Tiongkok, yang terpokok yalah harus secara jernih mengerti dan secara ilmiah menjawab tiga masalah dasar yaitu apa itu Sosialisme, bagaimana membangun Sosialisme, membangun Partai yang bagaimana, bagaimana membangun Partai, melaksanakan Perkembangan yang bagaimana, bagaimana berkembang. Tingkat pengertian dan penguasaan terhadap tiga masalah dasar ini akan menentukan tingkat inovasi, tingkat pengayaan dan tingkat pendalaman praktek dan teori Sosialisme Berkepribadian Tingkok. Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tingkok yang berusaha keras menggali dan menjawab sekitar tiga masalah dasar ini, dari praktek sampai teori telah melakukan ciptaan yang mempunyai efek luar biasa, dengan menggunakan serentetan pikiran baru, pandangan baru, tesis baru yang bertalian erat dan saling berhubungan, telah memperdalam dan memperkaya pengertian terhadap hukum-hukum bagaimana Partai memerintah, hukum-hukum pembangunan sosialis, hukum-hukum perkembangan sosial umat manusia. (1). Sistim Teori Sosialisme Berkepribadian Tiongkok telah menggali dan menjawab masalah dasar apa itu Sosialisme, bagaimana membangun Sosialisme. Sejak diumumkannya Manifes Komunis 160 tahun yang lalu, Sosialisme, baik di bidang teori maupun praktek telah memperoleh hasil-hasil besar historis, tetapi juga telah mengalami lika-liku yang serius. Dalam proses kemajuan pembangunan sosialis di Negeri kita selama beberapa dasa warsa, orang-orang komunis Tiongkok dalam praktek mandiri telah menciptakan hasil-hasil gemilang perkembangan sosialis, telah mengumpulkan pengalaman-pengalam an kaya, tetapi bersamaan dengan itu juga telah memperoleh pelajaran yang mendalam dari kesalahan dan kegagalan. Di bawah syarat terjadinya perubahan besar situasi Dalam dan Luar Negeri, bagaimana secara ilmiah menyimpulkan pengalaman positif maupun negatif pembangunan sosialis di Dalam dan Luar Negeri, dengan baik menjawab masalah dasar apa itu Sosialisme, bagaimana membangun Sosialisme, merupakan satu tema besar yang dihadapi oleh orang-orang komunis Tiongkok pada dewasa ini. Teori Deng Xiaoping dengan erat mencengkam masalah dasar ini, menerangkan secara mendalam hakekat Sosialisme, menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah Sosialisme, perkembangan terlalu lambat juga bukan Sosialisme; égalitarisme bukan Sosialisme,
[ac-i] kronik sairara: le déclin de l'homme blanc -ke merosotan orang putih [3 --selesai]
Kronik Sairara: LE DECLIN DE L'HOMME BLANC 3. Ketika : Pas si vite! Eric Le Boucher lalu mengacu pada Daniel Kaufmann yang menekuni masalah-masalah Bank Dunia mengenai masalah-masalah demokrasi dan pembangunan, masalah demokrasi dan penyelenggaraan negara [gouvernance -- saya ragu apakah gouvernance bisa diterjemahkan dengan penyelenggaraan negara, seperti halnya terjemahan empowerment bisakah padan dengan istilah pemedayaan. Untuk sementara saya menggunakan istilah penyelenggaraan negara untuk gouvernance] . Dalam kajiann tentang masalah-masalah di atas, Kaufmann menggunakan kriteria-kriteria yang membedakan antara demokrasi politik, demokrasi ekonomi, pengawasan terhadap korupsi [hal yang oleh Eric dikatakan baik di Selatan atau pun Utara sering dilupakan], lalu jangkauan jangka panjang ketiga hal tersebut. Yang Kaufmann masukkan dalam kategori demokrasi politik adalah masalah-masalah: pemilihan bebas, Negara Hukum [Etat de droit], kebebasan pers...]. Sedangkan dalam kategori demokrasi ekonomi Kaufmann memasukkan unsur-unsur: efektivitas pemerintah, regularisasi, kebebasan melakukan kontrak- kontrak...[dan entah di mana Kaufmann menaruh pembagian dan pemerataan relatif penghasilan -- keadilan relatif jika menggunakan standar keadilan John Rawl, yang nampaknya dilupakan oleh Kaufmann ketika berbicara masalah demokrasi ekonomi.Bandingkan juga dengan konsep keadilan sosial pada Pancasila Soekarno atau Sun Yat Sen. Sedangkan mengenai demokrasi politik, entah di mana dan bagaimana Kaufmann melihat pemilihan bebas sebagai suatu standar tunggal dan jaminan demokrasi politik, sementara di Perancis sendiri pemilihan bebas dipandang sebagai pembuka jalan bagi diktatur bahkan kerajaan mayoritas -- ujud perkembangan baru secara teoritis dibidang demokrasi politik]. Acuan kepada Kaufmann dilakukan oleh Eric Le Boucher berdasarkan pertimbangan laju kecepatan pembangunan [development], terutama dari segi pertumbuhan ekonomi [la croissance économique], sekarang yang berlangsung di negeri-negeri sedang tumbuh [les pays émergants, yang oleh Alfred Sauvy, geograf Perancis, disebut sebagai dunia ketiga yang kemudian dipakai ulang oleh wakil Republik Rakyat Tiongkok dalam pidatonya di depan forum PBB pada zaman Mao Zedong]. Menurut Kaufmann, laju pertumbuhan ekonomi di negeri-negeri sedang tumbuh ini disebabkan karena negeri-negeri terkait, memanfaatkan tekhnologi Barat, terutama tekhnologi Eropa Barat dan Amerika Serikat [terhadap hal ini terdapat macam-macam teori yang kurang disorot oleh Kaufmann atau Eric Le Boucher]. Dengan menggunakan tekhnologi Eropa atau Amerika ini maka produktivitas di negeri sedang tumbuh menjadi sangat meningkat [hal yang penggunaannya juga sudah sejak lama dicanangkan oleh Lenin danMao Zedong. Dalam hal ini layak dijadikan acuan pandangan Mohamad Arkoun tentang mengapa Barat maju dalam tekhnologi]. Hanya saja menurut Kaufmann setelah negeri-negeri sedang tumbuh ini mencapai pertumbuhan ekonomi yang cemerlang dengan menggunakan tekhnologi Barat, mereka kemudian sampai pada tahap gembos [s'aplatit]. Menurut Kaufmann, pertumbuhan ekonomi RRT pun akan mengalami penggembosan dalam 5, atau 15 atau 20 tahun lagi. Dan dari sini , kita bisa melihat, ujar Kaufmann, bahwa pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan keniscayaan perlunya demokrasi -- berbeda dengan pandangan Amartya Sen ketika berbicara tentang bencana kelaparan di Ethiopia dan negeri-negeri lain. Tetapi , ujar Kaufmann selanjutnya bahwa jika dilihat dari jangka panjang, kriteria Bank Dunia mengenai hubungan demokrasi dan pembangunan, hubungan demokrasi dan penyelenggaraan negara [gouvernance] menjadi berarti. Signifikatif. Dilihat dari segi jangka panjang ini pula maka demokrasi sangat berarti jika dihubungkan dengan masalah keresahan sosial dan kerjasama bebas, kemerdekaan sipil , distribusi sosial [mungkin yang Kaufmann maksudkan di sini adalah redistribusi sosial]. Sehingga dilihat dari segi jangka panjang, simpul Kaufmann, demokrasi tetap yang terbaik untuk kehidupan bermasyarakat. Walau pun tidak ada yang bersifat mekanistis. Sebab masalah hubungan antara penyelenggaraan negara dan pembangunan [development], merupakan suatu proses berlika-liku , pelik, berat dan peka, ujar Kaufmann membela tesisnya. Penuh kasus-kasus khusus, kejatuhan dan kebangunan, ujar Kaufmann berhati-hati mencadangkan ruang bertahan. Hanya saja, ujarnya, bahwa demokrasi, menghormati hukum, kemerdekaan pers, keterbukaan, singkatnya humanisme secara umum dan dilihat dari jangka panjang, bisa membuat kita menyelenggarakan negara segara lebih baik, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan terciptanya kemakmuran yang berbagi. Dilihat dari segi ini maka Barat Putih yang tadinya tidak lain dari perampok, masih mempunyai suatu harapan. Demikian Daniel Kaufmann yang dirujuk oleh Eric Le Boucher dalam artikelnya. Untuk melengkapi artikelnya, Boucher menyertakan
[ac-i] kronik sairara: perlunya forum kebudayaan indonesia [3]
Kronik Sairara: PERLUNYA FORUM KEBUDAYAAN INDONESIA 3. TRADISI DAN MODERNITAS Kemudian Luluk Sumiarso dari Paguyuban Puspo Budoyo dan Ketua Yayasan Peduli Majapahit juga menulis: Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa. Dari kalimat-kalimat di atas saya ingin mengangkat dua soal, yaitu masalah tradisi dan modernitas. Tanpa kecuali, siapa pun tidak bisa memilih di mana kita lahir. Tidak bisa menetapkan di lingkungan etnik dan bangsa atau keluarga mana ia dilahirkan. Orangtua tidak pernah meminta izin kita yang kemudian disebut anak, untuk dilahirkan. Lingkungan, keluarga, etnik dan bangsa ini mempunya kebudayaan masing-masing yang unik. Kebudayaan , yang saya pahami sebagai bentuk jawaban nyata terhadap masalah-masalah kehidupan zaman mereka. Jawaban suatu angkatan anak manusia dalam menanggulangi segala rupa tantangan dikurun hidup mereka. Tanggap tidaknya jawaban barangkali menentukan kadar mereka sekaligus sebagai anak manusia dan zaman mereka. Kebudayaan ini merupakan rangkaian nilai dominan pada suatu zaman sangat beragam. Anak yang dilahirkan tanpa izin itu, tanpa terelakkan juga, diasuh di bawah dan dengan rangkaian nilai dominan di lingkungan, keluarga, etnik dan bangsa tertentu pada suatu kurun waktu, sehingga membentuk diri sang anak. Mempengaruhi perkembangan diri si anak selanjutnya. Meninggalkan tanda nilai pada si anak. Sebagai modal nilai pada sangat anak dalam menarungi dan mengharung kehidupan mereka sendiri selanjutnya. Anak ini merupakan angkatan tersendiri dan baru lagi. Hidup pada era lain lagi dari angkatan orangtuanya. Era sang anak mempunyai tantangan-tantangan tersendiri berbeda pula yang mau tak mau, suka tidak suka harus mereka jawab. Jawaban-jawaban angkatan sang anak tentu akan berbeda dari jawaban angkatan orangtuanya karena keadaan dan permasalahan pun berbeda. Angkatan sang anak melahirkan kebudayaan dan rangkaian nilai mereka sendiri. Pada saat lahirnya kebudayaan sang anak, maka kebudayaan orangtua akan menjadi kebudayaan angkatan silam yang bisa disebut kebudayaan tradisional, jika dilihat dari segi kurun waktu dan ujud jawaban. Sedangkan kebudayaan angkatan si anak disebut kebudayaan kekinian atau kebudayaan modern. Karena si anak diasuh dengan kebudayaan orangtua, kebudayaan tradisional, tentu saja nilai-nilai lama yang merupakan sangu mereka menarung dan mengharung zaman mereka, masih mempunyai pengaruh. Pengaruh inilah yang oleh Kelompok Sejarawan Annales Paris dijabarkan sebagai saling hubungan antara masa silam, hari ini dan esok. Tiga kurun waktu yang bertautan dan bukan sebagai pulau-pulau terpencil tanpa jembatan penghubung. Jembatan penghubung ini adalah kebudayaan. Adalah rangkaian nilai yang tertuang dalam berbagai bentuk berbagai bidang. Dari sudut pandang inilah, barangkali bisa dibaca arti pentingnya kesadaran sejarah, perlunya mengenal sejarah lokal, nasional dan dunia, sekaligus memperlihat bahayanya angkatan yang lupa sejarah dan yang oleh orang Perancis disebut angkatan tanpa sejarah[la génération sans l'histoire]. Tapi tradisi bukan sebatas pengertian kebudayaan dan rangkaian nilai masa silam. Tradisi bisa bermakna buah kebudayaan kekinian yang ditradisikan. Yang dilakukan secara berulang dan periodik. Misalnya La Fête de la Musique, yang diprakarsai oleh Jack Lang, Menteri Kebudayaan F.Mitterrand dari Partai Sosialis, pada bulan Juni 1981, guna menggalakkan kreativitas rakyat Perancis di bidang musik dalam menghadapi ofensif musik-musik Amerika Serikat, saban Juni sampai sekarang diselenggarakan di seluruh negeri. Tiap pojok jalan seluruh negeri pada pesta musik yang kemudian bersifat internasional, menjadi panggung pesta rakyat, berlangsung hingga subuh. Fête de la Musique adalah karya kebudayaan kekinian yang ditradisikan oleh Perancis. Tradisi , dalam pengertian hasil budaya angkatan pendahulu, sebagai rangkaian nilai yahg tertuang dalam berbagai bentuk, tentu saja tidak selalu tanggap dengan perkembangan dan tantangan. Karena sikon dan tantangan juga berbeda antara masa silam dan hari ini. Tetapi kiranya, juga akan keliru mengatakan bahwa semua nilai-nilai masa silam itu sebagai kadaluwarsa. Misalnya nilai dari pepatah berikut: menepuk air di dulang memercik ke muka sendiri Saya kira, nilai dialektis sebab-akibat yang diungkapkan oleh pepatah ini masih mempunyai nilai tahan waktu hingga sekarang. Masih banyak contoh-contoh lain lagi yang memperlihatkan tahan waktunya rangkaian nilai angkatan silam yang disebut tradisi. Tapi ada juga yang tidak tahan waktu dan sudah kadaluwarsa. Misalnya kebiasaan mangayau [potong kepala] pada masyarakat Dayak. Untuk zaman sekarang, saya kira
[ac-i] kronik sairara: perlunya froum kebudayaan indonesia [4 --selesai]
Kronik Sairara: 4. KONGRES KEBUDAYAAN NASIONAL DARI BAWAH Selanjutnya di bagian lain Luluk Sumiarso menulis: Tahun lalu, tepatnya tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia' untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing. Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia ke depan. Harapannya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. [Lihat : Lampiran]. Ide sentral dari dua alinea ini adalah dibentuknya Forum Kebudayaan yang bertujuan : untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing. Ide menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing adalah sebuah pikiran yang baik dan niscayanya disokong serta dilaksanakan. Ide yang sesuai dengan rangkaian nilai republiken dan berkeindonesiaa. Rasuk dengan prinsip bhinneka tunggal ika. Pertanyaan saya: Apakah untuk mewujudkannya perlu pembentukan sebuah organisasi baru bernama Forum Kebudayaan Indonesia yang Harapannya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. Apakah pengejawantahan pikiran dan harapan ini akan efektif dengan mendirikan Forum Kebudayaan Indonesia 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia? Saya mengkhawatirkan, adanya 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia akan menjelma sebagai sarana pengawas, pengendali kebudayaan dan forum demikian akan terjangkit KKN dan alat birokrasi serta sangat birokratis. Apalagi jika di dalamnya terdapat birokrat- birokrat dan yang disebut tokoh-tokoh kebudayaan tapi jauh dari masyarakat budaya yang aktif dan benar-benar menjadi aktor kreatif di bidang kebudayaan. Jika bayangan ini terjadi, maka ide dan harapan dengan pembentukan Forum Kebudayaan akan menjadi jauh panggang dari api. Jika demikian, lalu apakah alternatif lain untuk mengejawantahkan ide dan harapan di atas? Terhadap pertanyaan ini, saya ingin menjawabnya dengan pertanyaan: Mengapa tidak, kita bersandar pada dan mempercayai masyarakat kesenian, pada aktor-aktor budaya di lapangan yang tergabung dalam berbagai komunitas sastra-seni dan lembaga-lembaga kebudayaan yang tersebar di berbagai daerah dan pulau tanahair?. Komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga ini sudah jauh lebih dahulu ada dan lebih lama dari 10 tahun, dan sampai sekarang terus berkegiatan dan bekerjasama secara leluasa dan tanpa dikendalikan oleh partai politik mana pun. Juga tidak disopiri oleh penyelenggara negara. Mereka membeayai diri mereka sendiri. Lahir, tumbuh dan berkembang secara mandiri. Saya melihat adanya komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga kebudayaan bebas, mandiri ini adalah tenaga penting bagi pembangunan kebudayaan di negeri kita. Bersandar dan percaya pada mereka, saya kira akan merupakan orientasi yang lebih rasuk untuk negeri kita yang bhinneka. Melalui mereka, bisa diharapkan konsep kebudayaan, sastra-seni kepulauan akan marak. Desentralisasi nilai, bukan sentralisasi nilai dan bentuk mempunyai syarat berkembang tanpa ada yang merasa diri sebagai pusat pengesahan. Saya mengkhawatirkan dengan ide pembentukan Forum Kebudayaan Indonesia, hanya akan memperkuat kembali sentralisasi nilai dan penciptaan pusat pengesahan [legacy center] baru dalam dunia kebudayaan, varian lain dari pandangan bahwa kebudayaan Indonesia hanyalah puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai yang dianut oleh UUD 1945. Adanya pusat pengesahan dan sentralisasi nilai dan bentuk menjurus ke penyeragaman, mendorong pembentukan bangsawan-bangsawan setipe dengan nomenklatura budaya baru di negeri kita ,
[ac-i] kronik sairara: le déclin de l'homme blanc -ke merosotan orang putih [1]
Kronik Sairara: LE DECLIN DE L'HOMME BLANC 1. Minggu lalu, ketika sedang bekerja di dapur Koperasi Restoran Indonesia, Andri, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar masalah komputer di Paris, sambil bekerja di Koperasi masuk ke dapur sambil menggerutu: Jangan mau dikibulin bulé!. Mendengar gerutu itu, aku menoleh bertanya: Ada apa Andri, khoq ngomel sendiri? Lalu ia menjelaskan keadaan yang sedang dihadapinya di ruang pelayanan tamu yang kami sebut la salle de service. Seorang tamu berkulit putih setelah mendapat l'entrée [makanan pembuka] berupa sup ayam, minta lumpia dengan alasan ia belum mendapatkan l'entrée. Padahal saya memberikannya kepada Tuan, dan sudah Tuan minum habis, jawab Andri. Saya mau memberikan Tuan lumpia itu, tapi harus jelas bahwa Tuan harus membayar harga tambahan, tambah Andri dengan tegas tapi sopan. Si kulit putih itu menjawab dengan tegas pula: Tidak mau. Kalau tidak mau ya tidak saya berikan, ujar Andri lagi. Si kulit putih itu diam. Dengan latar kejadian inilah, Andri yang merasa jengkel lalu menggerundel di dapur: Jangan mau ditipu bulé. Cukup sudah kita ditipu. Dalam hati, aku berkata sendiri: Wah, agaknya Andri mengalami perkembangan baru dalam pemikirannya. Apakah perkembangan ini merupakan hasil diskusi kami awak Koperasi tentang soal politik, bahasa, sejarah dan lain-lain sambil kami bekerja? Aku tidak tahu persis, tapi yang jelas, dibandingkan dengan hari-hari pertama ia bergabung, dari segi pemikiran dan sikap, Andri mengalami perkembangan pesat. Secara nyata sejak 26 tahun berdirinya, Koperasi ini, selain menjadi sarana ekonomi yang menghidupkan kami, ia juga merupakan tempat kami saling belajar dan saling bantu , sarana kami untuk turut memperkenalkan Indonesia dengan pendekatan kebudayaan. Semua pekerja Koperasi sadar akan hal ini dan melakukannya dengan cara serta gaya masing-masing. Ketika ia masuk lagi ke dapur, teman lain menegurnya dengan ringan: Awas lho, Andri, jangan sampai pikiran dan sikapmu menjurus ke rasialisme anti bulé. Kritis itu baik, tapi ekstrimitas itu berbahaya. Dari gerundelan Andri tadi, aku melihatnya bahwa pada mahasiswa muda ini, mulai tumbuh rasa harga diri dan martabat diri sebagai orang Indonesia. Ia sering mengatakan bahwa Niscayanya menjadi Indonesia itu tidak boleh bodoh.Tidak boleh memalu-malukan bangsa dan negeri. Selain itu gerutu Andri sebenarnya bukan omelan tak berdasar. Melalui pengalaman menghadapi orang Perancis di Koperasi ini, hampir tanpa kecuali semua pekerja berkesimpulan bahwa orang Perancis itu punya sikap yang mau memanfaatkan [profiter] dan agak sok hebat semata karena kulit mereka putih. *** Hari Minggu, 29 Juni 2008, seperti kebiasaan saban hari, aku membeli Harian Le Monde dan bulanan Le Monde Diplomatique, menambah info dan analisa bandingan dari Harian La Croix yang kulanggani sejak bertahun-tahun. Sebuah artikel berjudul: Le Déclin de l'homme blanc [Kemerosotan Orang Putih] tulisan ekonom Perancis, Eric Le Boucher, segera menambat perhatianku dan berkali-kali kubaca ulang. Jarang-jarang sekali istilah l'homme blanc seperti halnya Orang Arab, Orang Hitam, yang dipandang berbau rasis dan gampang menyinggung perasaan, digunakan dalam percakapan, apalagi dalam artikel di sebuah harian serius seperti Le Monde. Harian kanan seperti Le Figaro pun cermat dalam menggunakan istilah. Judul artikel Eric Le Boucher ini juga segera mengingatkan aku akan artikel Lenin yang profetik, berjudul Eropa Yang Terbelakang, Asia Yang Maju. Tentu saja mengingatkan aku akan gerutu Andri di Koperasi. Eric memulai artikelnya dengan pertanyaan: Apakah sekarang kita hidup di awal kemerosotan Eropa yang tak terelakkan? Kemerotan nilai-nilai dan humanismenya? Akhir dari Dunia Yunani [la fin du monde grec]? Eric selanjutnya menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaannya ini berangkat dari latarbelakang krisis kapitalisme Barat dewasa ini,krisis finansial, krisis Negara Kesejahteraan. Dan tentu saja ditambah dengan latar keadaan kebangkitan Asia yang tinggal landas berpolakan model lain, serta munculnya masalah agama di Dunia Arab Musliman [le monde arabo-musulman]. Latarbelakang lain dari pertanyaan Eric di atas adalah keadaan Perancis sekarang. Di sini gencar dilakukan pembahasan kritis tentang masalah identitas Eropa, yang menyangkut masalah humanisme yang dipandang sebagai selubung saja dari jenis seksual dari kehendak kolonialistis ras putih. Para pengkritik identitas Eropa berupa humanisme terselubung ini berpendapat bahwa sekarang sudah saatnya kita menyokong relativisme kebudayaan [le relativisme culturel] -- bsebuah tesis yang bermaksud menjawab Jean-François Mattéi dalam karyanya Le Regard Vide. Essai sur l'épuissement de la culture européenne, Pandangan Hampa. Esai tentang Ketidakerdayaan Budaya Eropa [ Flammarion, Paris, 2007]. Barangkali relativisme kebudayaan ini juga diarahkan kepada teori hak
[ac-i] kronik sairara: perlunya 'Forum Kebudayaan Indonesia' [2]
Kronik Sairara: 2. VISI KEBUDAYAAN: Soal lain adalah masalah perlunya kita mempunyai Visi Kebudayaan yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri, masing-masing mungkin baik, tetapi kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, Ibarat Serpihan Mutiara Retak. Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa, demikian tulis Saudara Luluk Sumiarso. Pertanyaan saya: Apakah selama ini, kita tidak mempunyai visi kebudayaan nasional yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan [budaya] bangsa kita? Jawaban pertanyaan ini barangkali bisa didapat jika kita melihat sejarah perkemangan Republik Indonesia dari periode ke periode berdasarkan siapa yang menjadi pemegang kekuasaan politik di negeri ini. Periode Soekarno agaknya bisa dipilah dalam dua tahap, yaitu periode demokrasi parlementer, di mana presiden tidak menjadi penyelenggara negara, tapi lebih menjadi simbol. Periode ini berlangsung sampai 1959 menyusul kegagalan Sidang Konstituante di Bandung, sehingga Soekarno mengunakan kedudukannya sebagai Kepala Negara mengumumkan kembali ke UUD 1945 dan mengawali Demokrasi Terpimpin-nya serta presiden langsung bertanggungjawab atas penyelenggaraan negara sampai pada 1966, ketika ia dijatuhkan. Seperti sudah menjadi pengetahuan umum, setelah Soekarno dijatuhkan maka Soeharto dengan Orbanya naik ke panggung kekuasaan hingga 1998, lalu dilanjutkan oleh Habibie, Gus Dur, Megawati dan sekarang oleh Susilo Bambang Yudhoyono [SBY]. Kalau masalah pendidikan yang menggambarkan corak manusia Indonesia yang diinginkan oleh RI , serta menelaah ulang konsep Pancasila [bukan Pancasila Orba Soeharto!] dan pasal khususnya tentang masalah kebudayaan Indonesia, saya kira pada periode demokrasi parlementer, RI mempunyai visi kebudayaannya. Visi ini [lepas dari kita setuju atau tidak] lebih jelas lagi pada periode Demokrasi Terpimpin yang mula-mula dituangkan dalam Manipol, kemudian dijadikan arahan bagi kegiatan nasional di bidang kebudayaan. Orientasi itu menginginkan agar kebudayaan kita mempunyai kepribadian nasional. Visi ini menjadi tidak jelas begitu Orba Soeharto mengendalikan negeri. Yang nampak di daerah-daerah adalah adanya gejala Jawanisasi feodal [yang di sini rinciannya tidak saya masuki]. Rasa dan semangat republiken dan berkeindonesiaan kemudian merosot dan makin merosot yang ujudnya sampai sekarang masih nampak. Dari paparan sangat singkat di atas, kiranya bisa nampak bahwa sesungguhnya secara visi, kita sudah mempunyai visi kebudayaan yaitu yang bersifat republiken dan berkeindonesiaan. Visi tersebut, kiranya, tidak lain dari republik dan berkeindonesiaan karena saya memandang republik dan berkeindonesiaan adalah suatu visi dan program kebudayaan sekaligus. Ketika Saudara Luluk Sumiarso mengatakan bahwa kita perlu mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri, masing-masing mungkin baik, tetapi kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, Ibarat Serpihah Mutiara Retak, terkesan pada saya seakan-akan kita tidak mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan [budaya] bangsa kita. Lain halnya jika Saudara Luluk Sumiarso dari Pembina Paguyuban Puspo Budoyo/ Ketua Yayasan Peduli Majapahit, memandang bahwa Republik dan Indonesia bukan sebuah visi budaya dan bukan politik kebudayaan sekaligus. Konstatasi Saudara Luluk Sumiarso barangkali bisa dipahami sebagai lukisan keadaan sekarang, tapi tidak berarti bahwa kita yang mengakui dan menerima Republik dan Indonesia sebagai sebuah cita-cita, tidak mempunyai visi budaya. Konstatasi Saudara Luluk Sumiarso jika demikian, bisa dipandang sebagai pernyataan bahwa sekarang kita tidak mengindahkan republik dan Indonesia sebagai visi dan politik kebudayaan. Jika benar demikian, maka masalahnya, apabila kita sepakat dengan republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai, visi dan politik kebudayaan, mengapa tidak kita kembali melaksanakannya? Jadi bukan mencari visi dan politik kebudayaan baru karena kita sudah mempunyainya tapi kita tidak indahkan saja seperti halnya OrbaSoeharto memerosokan RI menjadi sebuah imperium feodal keluarga. Konstatasi Saudara Luluk Sumiarso bisa dipahami juga sebagai bias dari pemerotan Republik dan Indonesia menjadi imperium feodal keluarga itu yang dampaknya nampak sampai sekarang. Apakah tidak demikian? Secara formal negara ini masih berbentuk Republik dan negeri ini masih menggunakan nama Indonesia, tapi pada kenyataannya Republik dan Indonesia sebagai cita-cita masih
[ac-i] kronik sairara: perlunya 'Forum Kebudayaan Indonesia' [1]
Kronik Sairara: PERLUNYA 'FORUM KEBUDAYAAN INDONESIA' 1. Pada tanggal 23 Juni 2008, melalui milis artculturindonesia @yahoogroups.com , Luluk Sumiarso menyiarkan tulisan berikut: Teman2 yang Peduli Budaya, Tentu kita tergelitik dgn berbagai tulisan yang dimuat Kompas Minggu tgl 22 Juni 2008 yang menyangkut kebudayaan Indonesia, utamanya yang berjudul Secara Kultural Kita Sedang Kalah, tulisan Frans Sartono yang mengulas pendapat Saini KM, yang budayawan, penyair, penulis drama, penulis esai yang memprihatinkan budaya bangsanya yang tengah jatuh dan kehilangan arah. ' Karena dalam gelombang globalisasi, bangsa yang tidak punya karakter akan lenyap', kata Saini. Saya berpendapat bahwa kita perlu mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri, masing-masing mungkin baik, tetapi kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, Ibarat Serpihah Mutiara Retak. Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa. Terus terang, saya bukan budayawan dan juga bukan pelaku industri budaya. Saya hanyalah satu diantara mereka-mereka yang peduli budaya bangsanya dan menggiatkan kegiatan budaya, khususnya budaya tradisional. Tahun lalu, tepatnya tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia' untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus mengilangkan identitas masing-masing. Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia ke depan. Harapanya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. Mohon email ini disebarkan ke teman-teman yang perduli budaya. Karena tempat terbatas, teman-teman yang berminat mohon mendaftar ke pedulimajapahit@ gmail.com Mudah-mudahan forum ini bermanfaat. Jakarta, 24 Juni 2008 Salam Budaya Luluk Sumiarso Pembina Paguyuban Puspo Budoyo/ Ketua Yayasan Peduli Majapahit Beberapa soal yang ingin saya angkat dari tulisan ini adalah masalah yang diangkat oleh Frans Sartono [Kompas Minggu, 22 Juni 2008] yang mengatakan bahwa Secara Kultural Kita Sedang Kalah yang oleh Saini KM, yang budayawan, penyair, penulis drama, penulis esai yang memprihatinkan budaya bangsanya yang tengah jatuh dan kehilangan arah. ' Karena dalam gelombang globalisasi, bangsa yang tidak punya karakter akan lenyap'. Soal lain adalah masalah perlunya kita mempunyai Visi Kebudayaan yang jelas yang dipakai sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama ini kita sibuk dan jalan sendiri-sendiri, masing-masing mungkin baik, tetapi kita kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, Ibarat Serpihah Mutiara Retak. Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa. Lalu atas dasar tersebut, Luluk Sumiarso mengusulkan pembentukan Forum Kebudayaan Indonesia berangkat dari hasil Sarasehan Budaya 5 Juli 2007 di Balai Kartini Jakarta yang diselenggarakan oleh Grup Luluk Sumiarso bersama Lintas Budaya Nusantara dan Media Grup dalam rangka memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Direncanakan Forum Kebudayaan Indonesia ini akan dibentuk pada 5 Juli 2008
[ac-i] kronik sairara: catatan kecil tentang pameran kedua sanggar bumi tarung
Kronik Sairara: CATATAN KECIL TENTANG PAMERAN KEDUA SANGGAR BUMI TARUNG Bumi Tarung, salah sebuah sanggar para seniman Lembaga Seni Rupa [Lesrupa] Lekra didirikan pada akhir tahun 1961 di Yogyakarta sesuai berlangsungnya Konfrensi Nasional Lesrupa di kota yang sama. Di dalam Konferensi Nasional yang dihadiri oleh pelukis-pelukis Lesrupa dari seluruh tanahair, selain dibicarakan masalah-masalah yang bersifat keorganisasian, juga didiskusikan masalah-masalah terdapat di dunia seni rupa tanahair. Berbarengan dengan itu dilangsungkan juga sebuah pameran lukisan dan patung dalam skala besar diikuti oleh perupa-perupa Lesrupa dari berbagai generasi. Pada waktu yang sama di Jefferson Library di Jalan Diponegoro, tiga pelukis muda Yogya, yaitu Misbach Thamrin, Sabri Djamal dan Isa Hasanda menyelenggarakan pameran besar mereka sendiri juga. Sebagai pelukis, ketiga anak muda ini tentu saja menyempatkan diri mereka untuk mendatangi pameran dan Konerensi Nasional Lesrupa yang dihadiri oleh pelukis-pelukis seperti Affandi, Sapto Hudoyo, Suromo, Surono, Johni Trisno, Gambir Anom, Ngajar Bana Sembiring, Trubus, Batara Lubis, Hendra, Eddy Sunarso, Amrus Natalsya, Kuslan Budiman, dan lain-lain... untuk sekedar menyebut beberapa nama saja. Di sinilah Misbach Thamrin, Isa Hasanda dan Sabri Djamal bertemu dengan Amrus Natalsya, Kuslan Budiman dan lain-lain... Diskusi sengit pun terjadi dan berlanjut terus di kedai-kedai seusai Konferensi Nasional. Hasil dari diskusi panjang dan sengit ini kemudian melahirkan sebuah sanggar yang dinamai Bumi Tarung, terletak di Gamping, berhadapan dengan rumah pelukis Amri Yahya, hanya beberapa ratus meter dari ASRI [Akademi Seni Rupa Indonesia]. Masih terbayang padaku semangat dan kegairahan anggota sanggar yang berusia sangat muda dan membawa suatu corak tersendiri dibandingkan dengan sanggar-sanggar Lekra lainnya yang ada di Yogya. Kalau ingatanku benar, pelukis-pelukis Bumi Tarung pada waktu itu banyak menggunakan tidak banyak warna. Lebih mengarah ke hitam-putih. Secara teratur, di sanggar dilangsungkan diskusi-diskui politik dengan mengundang tokoh-tokoh politik lokal, kebudayaan, dan tentu saja tentang seni rupa sendiri. Dapur sanggar adalah warung-warung yang bertebaran di sekitar ASRI. Karena itu saya selalu mengatakan bahwa warung-warng Yogya, terutama yang di sekitar ASRI langsung atau tidak langsung mempunyai andil dalam pengembangan seni rupa di kota ini. Dengan penuh semangat pula anggota-anggota Bumi Tarung melakukan gerakan turun ke bawah, ke pantai-pantai, ke desa-desa sesuai dengan metode kerja Lesrupa sebagai bagian dari Lekra. Aku masih berhutang lukisan pada petani dan seorang ibu tua Lampung yang kutemukan waktu turba, ujar Amrus Natalsya di depan pertemuan kami di Serua Indah Ciputat pada tahun September 2005. [Lebih lanjut mengenai Bumi Tarung bisa dilihat dalam: JJ. Kusni: Di Tengah Pergolakan, Penerbit Syarikat Indonesia, Yogyakarta, April 2007; Misbach Thamrin tentang Amrus Natalsya. Buku Misbach ini kudengar diterbitkan tahun ini]. Menyusul terjadinya Tragedi Nasional September 1965 keadaan sanggar dan anggota-anggotanya dituturkan oleh Ferry Kodrat di Harian Suara Pembaruan ,Jakarta [25 Juni 2008] sebagai berikut: Para seniman yang dinilai revolusioner diciduk dan dijebloskan ke dalam tahanan. Karya-karya mereka pun dimusnahkan (dibakar). Sengsarakah mereka? Itu sudah pasti. Bukan hanya sengsara badan, melainkan juga psikis karena dalam tahanan, para seniman itu tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi menarikan kuasnya di atas kanvas. Itulah yang dialami sekitar 30 lebih pelukis yang menjadi anggota Sanggar Bumi Tarung. Dari 30 lebih pelukis tersebut, tinggal 11 pelukis (yang lainnya meninggal dunia) yang masih hidup dan eksis di dunia seni rupa Indonesia, Djoko Pekik dan Amrus Natalsya. Berdasarkan keterangan Amrus Natalsya di Pertemuan Serua Indah Ciputat yang saya katakan di atas, kepada teman-temannya sepenjara Amrus mengatakan bahwa nanti kalau kita sudah lepas penjara dan kita tidak mampu melukis, tidak bisa melukis, maka kita akan menjadi orang yang lebih bodoh dari kerbau. Pelukis harus tetap melukis. Hidup dari melukis, ujar Amrus dengan gaya cueknya yang dingin. Yang tersisa dari tapisan ajal teror putih menyusul Tragedi September 1965, setelah keluar dari penjara, saling mencari untuk mengatasi berbagai soal kongkret , terutama bagaimana bisa hidup sebagai pelukis ditengah penyingkiran, diskriminasi, pelarangan dan posisi sebagai warga negara kelas dua dengan KTP bertandakan ET [eks tapol]. Sejarah selalu rumit dan tidak pernah sederhana , ujar tajuk rencana Harian Katolik La Croix, Paris [25 Juni 2008] Demikian juga sejarah Indonesia dan kehidupan para anggota Sanggar Bumi Tarung. Tapi kemudian kenyataan menunjukkan bahwa anggota Sanggar yang tersisa tidak lebih dungu dari kerbau, jika meminjam istilah Amrus
[ac-i] Fw: [nasional-list] Fwd: suarapembaruan.com --- Kembalinya Para Seniman Terlarang
--- On Thu, 26/6/08, awind [EMAIL PROTECTED] wrote: From: awind [EMAIL PROTECTED] Subject: [nasional-list] Fwd: suarapembaruan.com --- Kembalinya Para Seniman Terlarang To: [EMAIL PROTECTED] Date: Thursday, 26 June, 2008, 4:22 AM http://www.suarapem baruan.com/ News/2008/ 06/25/Hiburan/ hib01.htm SUARA PEMBARUAN DAILY Kembalinya Para Seniman Terlarang SP/Ferry Kodrat Patung dua tentara zaman kemerdekaan bangsa Indonesia yang terbuat dari bahan semen dengan judul Trip, karya Sudjatmoko, dengan latar belakangnya lukisan karya Djoko Pekik yang berjudul Tak Seorang pun Berniat Pulang Walau Mati Menanti, menjadi salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran seni rupa Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 19-29 Juni. ezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan presiden kedua RI, Soeharto, bukan saja telah memasung ke- bebasan para seniman (pelukis) untuk berekspresi, me-lainkan juga sudah mencabik-cabik hak asasi dan hati nurani untuk hidup bebas, apalagi dalam berkarya di atas kanvas. Selain penyiksaan di dalam tahanan, penghancuran terhadap jati diri seniman pun pernah dilakukan oleh rezim Orba. Setelah bergeloranya Gerakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), pemimpin negara ini mengalami salah kaprah dalam menilai arti kebebasan berekspresi dari para seniman. Para seniman yang dinilai revolusioner diciduk dan dijebloskan ke dalam tahanan. Karya-karya mereka pun dimusnahkan (dibakar). Sengsarakah mereka? Itu sudah pasti. Bukan hanya sengsara badan, melainkan juga psikis karena dalam tahanan, para seniman itu tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi menarikan kuasnya di atas kanvas. Itulah yang dialami sekitar 30 lebih pelukis yang menjadi anggota Sanggar Bumi Tarung. Dari 30 lebih pelukis tersebut, tinggal 11 pelukis (yang lainnya meninggal dunia) yang masih hidup dan eksis di dunia seni rupa Indonesia, Djoko Pekik dan Amrus Natalsya. Apa yang dialami Djoko Pekik dan kawan-kawan jelas menyisakan traumatik yang berkepanjangan. Bahkan, sampai dalam era reformasi saat ini, para seniman itu masih trauma sekalipun seniman lain sudah bebas mengekspresikan perasaannya di atas kanvas. Pengalaman-pengalam an getir serta gejolak perasaan yang pernah dan masih dialami anggota Sanggar Bumi Tarung itulah yang menjadi titik balik kembalinya orang- orang terlarang. Kali ini mereka menggelar pameran seni rupa yang menampilkan sejumlah karya-karya seni Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, hingga 29 Juni 2008. Pameran Sanggar Bumi Tarung memiliki arti sangat penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Tidak bisa juga dimungkiri bahwa para seniman yang menjadi anggota Sanggar Bumi Tarung yang berdiri tahun 1961 ini, merupakan pelaku sejarah seni rupa Indonesia, meskipun nama-nama dan keberadaan mereka tidak ada sama sekali dalam buku sejarah mengenai seni rupa Indonesia karena dianggap sebagai pemberontak. Bagi para seniman Sanggar Bumi Tarung, pameran di Galeri Nasional Indonesia ini adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya, mereka menggelar pameran pertama berlangsung pada tahun 1962 di Galeri Budaya, Jakarta. Kebebasan Sekalipun masih tersisa trauma, Djoko Pekik mengaku tidak sakit hati. Demikian juga rekan-rekannya di Sanggar Bumi Tarung tidak dianggap sebagai pelaku sejarah seni rupa Indonesia. Bagi saya selaku seniman, yang terpenting adalah memiliki kebebasan dalam berkarya. Sebab, kebebasan para seniman dalam berkarya itu tidak bisa dihalang-halangi oleh kekuasaan. Hanya Tuhan yang bisa menghalangi kebebasan kami dalam berkarya, ujar Djoko kepada SP di Jakarta, baru-baru ini. Mengomentari era reformasi saat ini, Djoko Pekik masih menilai belum adanya kebebasan yang dimiliki para seniman. Menurut dia, reformasi yang dijalankan hanya kulitnya saja. Maksudnya, reformasi yang dibangun hanya untuk mengalahkan dan memenangkan seseorang. Akibatnya, orang yang sudah menang, kemudian dikalahkan, tetapi orang itu tidak terima. Reformasi apa itu? ujar dia. Sementara itu, rekannya, Misbach Tamrin menjelaskan, meskipun dia dan rekan-rekannya pernah dimarginalkan bahkan ditahan tanpa melalui proses hukum (persidangan) . Hingga kini, para anggota Sanggar Bumi Tarung tidak pernah lepas dari perhatian kami dalam ber- karya, yaitu mencintai rakyat kecil dan orang-orang yang dianiaya. Dalam memberikan sajian kepada masyarakat dalam pameran tersebut, ruang pameran utama Galeri Nasional Indonesia dibagi menjadi tiga bagian ruang pameran. Dinding dan lantai ruangan utama menyajikan lukisan-lukisan, patung, dan pahatan mengenai pengalaman para seniman yang teraniaya. Satu ruangan lagi berisi karya-karya para seniman yang memiliki kesan sebagai karya kontemporer revolusioner. Sementara itu, satu ruang lagi berisi mengenai lukisan-lukisan dan foto-foto karya seniman pada era 60-an, seperti lukisan Drinking Water karya Amrus Natalsya. Dari beberapa lukisan yang terpajang, terdapat satu lukisan yang dibuat Djoko
[ac-i] jurnal sairara: kepada saudara taufiq ismail [16]
Jurnal Sairara Kepada Saudara Taufiq Ismail 16 . REPUBLIK DAN INDONESIA SEBAGAI CITA-CITA. 6. Selepas dua perang saudara, akibatnya sebagai bangsa kita masih saling mendendam. Penyebabnya dua orang. Kedua orang ini masih mengulurkan rantai dendam yang panjang dari kuburan mereka melintasi Perang Dingin, satu dari London (Marx), satu lagi dari Moskow (Lenin). Rantai dendam sepanjang itu masih membelit tubuh bangsa kita. 7. Bagaimana akan akan maju dalam peradaban bila sebagai bangsa kita masih saling mendendam? Saya serukan pada mahasiswa yang hadir, yang terpengaruh ideologi usang-lapuk ini agar membuangnya, karena wacana ideologi abad 19 ini sudah kuno ke mana-mana, terbukti gagal total di seluruh dunia, dan berbau amis-hanyir 120 juta mayat korbannya. Ideologi ini sudah terbukti keropos. Yang mau mengusungnya pasti cuma karena memikul beban dendam. Taufiq Ismail. Aku masih ingin berbicara tentang ideologi usang lapuk dan kropos yang dibicarakan oleh Saudara Taufiq Ismail dalam alinea ke-7 respons bagian pertamanya. Cara yang terbaik, sebenarnya adalah menuturkan masalah secara historik. Tapi tentu saja jika dilakukan secara rinci akan akan menjadi sangat panjang, walau pun dalam hatiku aku sangat ingin melakukannya. Istilah usang-lapuk dan kropos mengesankan padaku bahwa ideologi dan dunia pemikiran itu tidak berkembang. Statis! Secara umum, apakah dunia pemikiran berada dalam keadaan statis? Pemikiran-pemikiran di kalangan orang beragama pun, agama apa saja, umumnya berkembang dari masa ke masa sehingga melahirkan adanya agama-agama baru. Protestan Luhter adalah pecahan dari Katolik, misalnya. Apakah di agama Islam tidak terdapat cabang-bang begini? Aku hanya bisa memahami adanya cabang-sabang begini tidak lain dari pertanda bahwa segalanya berkembang. Perkembangan atau gerak yang tak terelakkan karena zaman pun berobah menantang manusia. Demikian juga di kalangan orang-orang Marxis dan Sosialis. Leninisme, Fikiran Mao Zedong, sebagai misal, kukira adalah perkembangan dan cabang dari Marxisme. Sosial-demokrat, Trotkisme, Bakuninisme, Althuserisme, focusisme dan lain-lain kukira hanyalah ujud dari perkembangan yang terjadi di dunia pemikiran. Yang usang-lapuk dan kropos hanyalah ide-ide yang tidak berkembang dan menjadikan ide-ide itu dogma mati serta langeng sehingga tidak mampu tanggap zaman dan apresiatif. Barangkali ini pulalah sebabnya maka Partai Komunis Perancis yang tadinya merupakan kekuatan politik kedua terbesar sesudah RPR-nya Charles de Gaulle lalu sekarang menjadi merosot dan terus merosot dalam pemilu. Teori pra-sosialisme yang dicanangkan di RRT berikut teori pasar-sosialisme-nya menunjukkan perkembangan di dunia pemikiran setelah menyimpulkan pengalaman periode Mao Zedong hingga reformasi Deng Xiao-ping. Belum lagi jika kita memperhatikan praktek Partai Komunis Nepal di tahun 2008 yang sudah melepaskan perjuangan bersenjata dan menempuh jalan parlementer, pengalaman di negeri-negeri Amerika Latin , mulai dari Hugo Chavez melalui Luka hingga Morales dan Paraguay di mana Lopez Perito , komandan gerilya Marxis melawan diktator Alfredo Stroesner ditunjuk oleh presiden Fernando Lugo sebagai Perdana Menteri [lihat : Harian La Croix, Paris, 16 Juni 2008] --- dengan kekecualian FARC sampai hari ini [sekalipun sudah dinasehati oleh Hugo Chavez untuk menempuh jalan perjuangan lain dari perjuangan bersenjata --Lihat: bagian terdahulu]. Sejalan dengan pikiran dan anjuran Hugo Chavez ini, Partai Sosialis Perancis dalam Pernyataan Prinsip yang dikeluarkan setelah pertemuan Convention Nationalemereka bulan ini menegaskan juga bahwa perobahan masyarakat tidak lagi dilakukan dengan revolusi tapi melalui reformasi dan Apakah pandangan dan sikap-sikap ini bukannnya menunjukkan bahwa di di kalangan kaum Marxis dan kiri terdapat adanya perkembangan perobahan ekonomi sosial dan pasar ekoplogi. Lebih jauh Bertrand Delanoë yang mencalonkan diri sebagai sekjen Partao Sosialis Perancis pengganti François Holland, mengetengahkan konsep liberal-sosial sebagai konsep yang dianggapnya tanggap zaman dan apresiatif. [Lihat: Harian Le Monde Direct Matin, Paris, 16 Juni 2008]. Perkembangan di Italia, lebih jauh lagi. Partai Komunis Italia malah bergabung dengan partai-partai yang semasa Togliati dipandang sebagai partai borjuasi. Di Jerman pun agaknya demikian yang terjadi antara Sosial Demokrat dan Kristen Demokrat untuk menangani masalah masyarakat Jerman sekarang. Artinya di Eropa Barat, agaknya patokan dan teori lama sudah ditinggalkan. Pada pihak golongan kanan, masalah perkembangan ini pun terjadi. Dalam kampanye presidensial tahun 2002, Jacques Chirac, yang tergolong kanan, mengetengahkan program yang relatif sama mendekati program kiri hingga para pemilih akhirnya memilih lebih dengan emosi karena dari segi program sulit dibedakan. Hal ini terjadi karena kalangan kanan
[ac-i] jurnal sairara: kepada saudara taufiq ismail [14]
Jurnal Sairara: Kepada Saudara Taufiq Ismail 14. HETZE Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun (1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120 juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000). Ini kalimat-kalimat Saudara Taufiq Ismail pada alinea kelima dalam respons bagian pertamanya dengan data yang beliau pinjam dari Courtois sebagai senjata pemungkas, yang di Perancis sudah dijawab dengan buku tidak kalah tebalnya, seperti yang berulang kali pula kusitat. Baik! Sekarang aku ingin memasuki masalah ideologi yang mampu dan tidak lancung keujian yang sudah diketengahkah oleh Saudara Taufiq Ismail sebagai argumen. Karena Saudara Taufiq sudah memasuki masalah ini, maka aku tanyakan kepada Saudara Taufiq Ismail, ideologi apakah yang beliau anggap sebagai yang mampu dan tidak lancung keujian? Akan sangat baik dan menggembirakan jika Saudara Taufiq Ismail bisa menyebutkan satu negara saja, di mana ideologi yang mampu dan tidak lancung keujian itu telah diterapkan? Jika Saudara Taufiq Ismail tidak menunjukkan satu contoh saja maka kukira Saudara Taufiq Ismail dengan argumen ini hanya memperlihatkan hetze anti Marxisme yang di negeri-negeri Barat dipelajari tanpa emosi sebagai salah satu aliran pemikiran berpengaruh. Dengan kalimat ini aku ingin mengatakan agar kita tidak perlu terlalu apriori terhadap apa saja, sesuai dengan hasrat mencari dan mencari, bertanya dan bertanya tentang pantai keempat seperti yang dikatakan oleh Chairil Anwar,sesuai dengan perangai Ahasveros yang dikutuk-sumpahi Eros. Mungkinkah hetze, yang hakekatnya tidak sesuai dengan pluralisme, tidak sesuai dengan prinsip bhinneka tunggal ika, bertolak belakang dengan pandangan toleran dan dialektis biar bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara, bisa dijadikan dasar untuk menggalang rekonsiliasi apalagi untuk mewujudkan perdamaian total? Dilihat dari segi pandangan cogito ergo sum, jika mau dijadikan acuan, maka hetze akan menyangkal eksistensi diri siapa pun sebagai manusia. Di analisa terakhir agaknya hetze adalah sikap, yang entah sadar atau tidak sadar, menempatkan dirinya sebagai pengganti Tuhan. Hetze tentu saja bertentangan dengan rangkaian nilai republiken dan keindonesiaan, serta sulit mendapatkan dasar pembenarannya dari segi epistemologi. Ataukah pandangan dan pemahamanku keliru? Tolong Saudara Taufiq Ismail koreksi , jika aku keliru. Saudara Taufiq Ismail mengatakan bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua perang saudara. Katakanlah bahwa perang saudara itu memang ada di negeri kita. Tapi apakah perang, termasuk perang saudara penyebabnya adalah pertama-tama karena alasan ideologi? Tidak adakah alasan kepentingan ekonomi dan politik yang melatarbelakangi tercetusnya suatu perang? Aku masih bisa lebih rinci lagi mengenai hal ini dengan mengambil banyak contoh dan yang paling dekat padaku adalah kasus kota kecil Kasongan yang sekarang menjadi ibukota kabupaten Katingan pada zaman agresi Belanda. Waktu aku berada di kancah Perang Viêt Nam melawan agresi Amerika Serikat, jenderal-jenderal Viêt Nam Utara atau pun dari Front Pembebasan Viêt Nam Selatan mengatakan kepadaku bahwa kemenangan perang tidak ditentukan oleh kecanggihan senjata, tapi lebih banyak dipastikan oleh kebenaran dan keadilan, politik dan situasi politik. Bahwa ideologi bukan penyebab perang, aku pun bisa mengambil apa yang berlangsung di Tanah Dayak saat kolonialisme Belanda menyiapkan agresi penaklukannya terhadap Tanah Dayak. Untuk menyiapkan agresi kolonialnya , pihak Belanda menyebut budaya Dayak sebagai ragi usang dan Dajakers adalah lambang dari segala keburukan serta kejahatan. Menghadapi agresi kebudayaan ini, orang Dayak berhimpun dan melawannya dari bastion budaya Kaharingan. Masakre terhadap orang Amerindien dan pendudukan daerah-daerah orang Amerindien pada tahun 1492 , menyusul kedatangan Colombus pun, agaknya tidak bermula dari perbedaan ideologi. Di Katingan, daerah kelahiranku, orang Dayak Kaharingan, Islam atau Kristen, bisa hidup berdampingan secara sangat rukun. Makam mereka pun ada di satu tempat yang sama. Keadaan yang bagiku memperlihatkan bahwa perbedaan pandangan, ideologi dan agama tidak seniscayanya membuat orang bermusuhan. Kapan dan di mana sih, orang berpandangan seragam? Orba yang disokong mati-matian oleh Saudara Taufiq Ismail pun tidak bisa dan tidak berhasil memusnahkan keragaman Indonesia melalui konsep Pancasilanya. Dalam hal ini, aku sungguh-sungguh dan lagi-lagi memerlukan penjelasan dari Saudara Taufiq Ismail tentang jalan pikirannya. Argumen Saudara Taufiq Ismail yang
[ac-i] jurnal sairara: kepada saudara taufiq ismail [13]
Jurnal Sairara Kepada Saudara Taufiq Ismail 13. BIAR BUNGA MEKAR BERSAMA, SERIBU ALIRAN BERSAING SUARA Aku masih ingin mengomentari alinea Saudara Taufiq Ismail ini: Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun (1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120 juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000). Kalau pemahamanku benar, dengan kalimat ini Saudara Taufiq Ismail mengingatkan hadirin agar paling tidak berhati-hati pada ide Marxisme. Tentu saja berpendapat dan memberi peringatan begini adalah hak penuh tanpa tergugatkan dari Saudara Taufiq Ismail, baik sebagai pribadi, lebih-lebih lagi sebagai cendekiawan dan sastrawan, untuk mengingatkan hadirinnya tentang bahaya Marxisme dengan segala kata sifat yang disertai oleh Saudara Taufiq Ismail. Tapi jika Saudara Taufiq Ismail berhak mengingatkan orang lain dengan segala kemauan baik beliau, kukira orang lain pun berhak menetapkan pilihan dan siapa pun tak mempunyai hak mengutuk pilihan dan pencarian mereka. Apakah bukan demikian? Apalagi jika kita masih berpatokan bahwa motto bangsa, negeri dan negara ini adalah bhinneka tunggal ika sari dari berkeindonesiaan dan sebagai bentuk negara para pendiri negara ini memilih bentuk republik dan nilai-nilai republiken. Bahwa bangsa kita merupakan suatu kebhinekaan, aku memandangnya sebagai suatu rakhmat dan keindahan yang patut disyukuri, sedangkan uniformitas , ketunggalan, termasuk la pensée unique dekat dengan jurang petaka. Rekonsiliasi, kukira, adalah kemampuan hidup dalam keragaman, dengan kebhinnekaan ini, tersimpul dalam rangkaian nilai republik dan Indonesia. Pada tahun 1960an, Menteri Kebudayaan RRT, Lin Mo-han menguraikan kebhinnekaan ini dalam sebuaha orasi budayanya berjudul Biar Bunga Mekar Bersama, Seribu Aliran Bersaing Suara, dan Paul Ricoeur, dalam artikelnya di Harian Le Monde, Paris, sekitar tahun 2003 mengatakan bahwa kebudayaan itu majemuk , kemanusiaan itu tunggal. Sedangkan lokalitas oleh Paul Ricoeur dipandang sebagai bahasa untuk berdialog dengan budaya dunia. Dari segi filsafat, atau epistemologi, kukira bisa dipertanggungjawabkan, sementara la pensée unique, apakah dasar pembenarannya? Apakah dasar pembenaran filosofi dan ilmiahnya untuk mencegah orang memilih pandangan hidup masing-masing? Apakah karena kita sepakat menjadi satu bangsa, satu negeri dan negara bernama Indonesia, lalu yang minoritas harus menerima pandangan mayoritas secara budaya dan mengeliminasikan dirinya dan dieliminasi dengan satu dan cara lain. Tentu saja peringatan, sebagai sebuah kritik adalah syah, tapi melarang, nanti dulu, jika kita masih menerima Republik dan Indonesia sebagai suatu rangkaian nilai bersama dan perekat kita berbangsa, bernegeri dan bernegara. Orang Badui mengatakan bahwa terlarang untuk melarang. Mao Zedong dalam artikelnya Dari Mana Datangnya Pikiran Yang Tepat , demikian juga Mohamad Arkoun, islamolog asal Aljazair dan pengajar di Sorbonne, Paris, dalam ceramahnya di depan mahasiswa-mahasiswa IAIN di Paris sepuluhan tahun silam [laporan ceramah ini pernah dimuat sehalaman penuh oleh Harian Media Indonesia, Jakarta] , ketika berbicara tentang divine truth dan kebenaran yang lain, telah menunjukkan makna kebhinnekaan ini serta arti kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir akan terganggu jika dihadang oleh larangan dan apriorisme. Aku mengkhawatirkan peringatan Saudara Taufiq Ismail mengarah kepembentukan busut-busut halangan bagi kebebasan orang memilih dan mencari secara leluasa. Sementara aku memandang sastrawan-seniman termasuk jenis manusia pencari dan pencari tak kenal tabu, seperti yang diungkapkan oleh Chairil Anwar dalam esai dan puisi-puisinya. Jenis manusia yang jika menggunakan istilah Pelukis Salim sebagai orang yang berjalan tapi tak pernah punya sampai [lihat: Ajip Rosidi: Biografi Salim]. Alinea Saudara Taufiq Ismail di atas, tidak lain dari sebuah alinea yang membuka palang pintu bagi perdebatan besar dan bukan suatu keniscayaan. Apalagi sebagai suatu kebenaran yang tak bisa dipertanyakan. Alinea ini pun sesungguhnya rada bertentangan dengan saran beliau untuk tergalangnya perdamaian total. Perdamaian totalkah jika tidak mengakui kebhinnekaan dan menyisihkan pihak lain? Apakah pola pikir begini bukannya merupakan suatu pola pikir yang ankronik? Paling tidak menyangkal pendapat diri sendiri? Kalau aku mengomentari respons Saudara Taufiq Ismail yang memang sejak lama ingin kujumpai dan berdialog langsung, kukira ini merupakan bentuk kongkret dari Biar BungaMekar Bersama, Seribu Aliran Bersaing Suara. Selama Orba berkuasa, kami dari Lekra hanya boleh dicerca, tak mempunyai
[ac-i] jurnal sairara: kepada saudara taufik ismail [12]
Jurnal Sairara: Kepada Saudara Taufiq Ismail 12. BEBERAPA PERTANYAAN Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun (1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120 juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000), tulis Saudara Taufiq Ismail pada alinea kelima respon bagian pertamanya. Dan aku masih mau melanjutkan komentarku atas alinea ini terutama dan pertama- tama dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: Perang saudara [tentu saja perang selalu berdarah-darah. Kiranya tak ada perang yang tak berdarah!] . Dalam konteks Indonesia, perang saudara mana gerangan yang Saudara Taufiq mau tunjukkan? Apakah Tragedi September 1965 yang menurut Jenderal Sarwo Eddie menelan korban kurang lebih 3 juta nyawa orang PKI dan non PKI , 500.000 angka resmi, merupakan suatu perang saudara atau pembantaian? Masalah Tragedi September 1965 yang berdampak sampai sekarang, dengan banyak terbitnya buku-buku alternatif, dalam pengertian buku-buku yang isinya berbeda dengan versi Orde Baru, serperti tulisan Prof. Dr. W.F.Wertheim, Ben Anderson, Ruth McVey , atau tulisan John Roosa, serta yang dipandang sebagai terlibat atau menjadi korban , seperti Letkol Penerbang Heru Atmodjo, Kol. A. Latief, Omat Dhani, Soebandrio, Oei Tjoe-tat, Hersri Setiawan, untuk sekedar menyebut beberapa nama saja, masalah Tragedi September 1965 masih jauh dari selesai. Paling tidak masih penuh tanda tanya? Bahkan Ali Sadikin alm. dalam sebuah seminar di kalangan militer, mengatakan yang menjadi penyulut Tragedi September 1965 bukanlah PKI. Dalam hal ini aku kira selayaknya kita tidak menggunakan pendekatan simplistis , karena itu apakah tidak akan lebih baik jika Saudara Taufiq Ismail dalam soal ini berbicara agak persis, dan tentu saja akan lebih baik lagi apa yang telah diucapkan atau ditulis itu disertai dengan sekedar keterangan serta data dalam usaha bersama merekonstruksi sejarah negeri dan bangsa kita yang oleh sejarawan Asvi Warman Adam dari LIPI perlu diluruskan. Berkelebihankah harapan ini? Saudara Taufiq Ismail menulis: Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Pertanyaanku: Untuk berbicara kongkret, mari kita ambil kasus Republik Rakyat Tiongkok [RRT] yang sampai sekarang masih dikendalikan oleh Partai Komunis Tiongkok. RRT dari segi politik , militer , apalagi ekonomi , suka atau tidak suka , sudah merupakan kekuatan mendunia. Aku ingin tahu bagaimana Saudara Taufiq Ismail memandang masalah perkembangan RRT dilihat dari sudut pandangnya bahwa : Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Dalam konteks RRT yang berpenduduk satu miliard lebih, apakah apakah Saudara Taufiq Ismail bisa menawarkan alternatif terbaik lain dari yang sedang dilakukan sekarang bagi RRT dan kemudian alternatif apa untuk Indonesia? Untuk sampai ke jalan yang ditempuh sekarang, RRT dan PKT pun harus melalui jalan yang sangat berliku. Mao Zedong dan Chou En-lain memang sejak awal mengajukan ide keniscayaan melakukan Empat Modernisasi untuk agar sosialisme bisa nyata memperlihatkan keunggulan nyatanyaa dibandingkan dengan kapitalisme. Tapi ide ini tertunda pelaksanaannya karena pertarungan intern sengit di kalangan PKT, terutama, dan memuncak dengan meletusnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar pada tahaun 1965an. Capaian RRT sekarang, dengan segala kekurangannya barangkali baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah Tiongkok hingga sekarang. Apakah anjuran Menjadilah kaya! , salah satu anjuran Partai Komunis Tiongkok [PKT] kepada rakyat Tiongkok bertentangan dengan Marxisme. Marxisme tidak ada gunanya tidak bisa menyejahterakan dan memberi ketenteraman bagi rakyatnya. Kucing hitam atau putih tidak menjadi penting asal bisa menangkap tikus, ujar Deng Xiaoping. Apakah capaian RRT yang demikian, dan tentu saja tidak dipisahkan dari peran PKT, merupakan petunjuk bahwa Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Ah, masalah ini akan menjadi pembicaraan panjang jika dimasuki lebih jauh dan akan menyimpang dari tema rekonsiliasi. Kalimat-kalimat
[ac-i] jurnal sairara: pertanyaan dari makassar
Jurnal Sairara: PERTANYAAN DARI MAKASSAR Setelah tersiar rencana pemerintah untuk menaikkan lagi harga BBM, berbagai kalangan masyarakat yang gelisah akan dampak negatif dari kenaikan itu dalam berbagai sektor kehidupan, mulai menyatakan penolakan mereka dengan melancarkan aksi-aksi turun-jalan. Unjuk rasa ini kian menjadi setelah kenaikan tersebut resmi diumumkan. Di mana-mana terjadi demo, termasuk para di Samarinda, Kalimantan Timur. Penangkapan-penangkapan terjadi, bahkan Universitas Nasional di Jakarta diserbu oleh polisi. Yang mungkin luput dari pengetahuanku, demo-demo demikian tidak terjadi di Kalimantan Tengah dan Barat, juga di Selatan. Daerah-daerah ini terkesan tenang tenteram, tanpa kegelisahan akan dampak negatif kenaikkan harga BBM. Suatu siang, telponku berdering. Di ujung jauh kudengar suara seorang ibu, yang segera kukenal, mantan aktivis pada masa menentang rezim Orde Baru [Orba], dan mantan penanggungjawab Front Persatuan Nasional Lombok pada masa pemerintahan Soekarno, sedangkan anak sulungnya adalah aktivis terdepan dalam melawan Orba sampai rezim ini tumbang. Mereka tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Ibu yang sudah berkepala lima ini dengan asyik penuh semangat mengemukakan pandangan-pandangan-pandangannya tentang situasi tanahair yang kurasa cukup tajam dan menukik, termasuk kegiatan Amerika Serikat sekarang di Manado, Sulawesi Utara. Gairah dan semangat yang memperlihatkan keprihatinan serta kecintaannya pada tanahair yang tak usai-usai dirundung kemelut susul-menyusul. Apalagi cinta ini sudah menempuh jalan panjang berliku,, bahkan banjir darah, tapi tetap saja tegak gagah di hadapan peristiwa demi peristiwa silih berganti. Cintanya pada tanahair dan kehidupan mengingatkan aku akan peribahasa Tiongkok Kuno bahwa daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh. Tahu benar bahwa aku berasal dari Sungai Katingan, Kalimantan Tengah, ibu berkepala lima ini, menanyaiku terbuka, kebiasaan kami jika sedang berbicara: Mengapa, Nak, Kalimantan khoq adem-adem dan diem-diem saja, padahal daerah-daerah dan pulau-pulau lain bergejolak. Tak pernah ibu baca unjuk rasa di Kalimantan mendapat sorotan media massa nasional , kecuali berlangsungnya konflik-konflik etnik?. Tersentak juga hatiku mendengar pertanyaan terus-terang dari sang ibu ini? Terasa padaku bahwa pertanyaannya menyentuh soal hakiki yang jika dibicarakan dan direnungkan akan menyangkut banyak bidang. Yang bisa dilihat dari segi sejarah, sosiologi, antropologi, psikhologi, ekonomi dan tentu saja dari segi politik. Karena tidak mau gegabah mengetengahkan pendapat, maka aku hanya balik bertanya: Sebagai orang dari luar Kalimantan, bagaimana ibu melihatnya?. Karena merasa sudah dekat, maka sang ibu lalu dengan bebas berkomentar, kurang lebih sebagai berikut: Kalimantan adalah pulau kaya raya. Punya minyak, punya emas, punya hutan, punya batubara, punya karet, punya jelutung, punya damar, punya batu-batuan berharga, dan entah apa lagi. Kekayaan ini memanjakan mereka dan berdampak pada pola pikir dan mentalitas mereka. Kemelut yang membuntuti kenaikan BBM seperti tidak menggoyahkan kehidupan mereka. Karena itu maka mereka menjadi adem-adem dan diem-diem seperti tidak ada angin tidak ada hujan saja apalagi badai. Ini dugaan ibu lho, nak. Bagaimana menurut anakku sendiri?. Sang ibu tidak membiarkan aku hanya mendengarnya. Karena sadar bahwa jawaban pertanyaan mendasar ini akan menjadi panjang-lebar, dilihat tahap demi tahapnya, bisa disorot dari berbagai segi, maka aku hanya menjawab bahwa ibu telah mengetengahkan soal mendasar bahkan sangat mendasar yaitu apa-siapa dan bagaimana manusia Kalimantan, cq, Dayak, hari ini? Pertanyaan yang jika menggunakan istilah strateg Tiongkok zaman dahoeloe: mengenal diri sendiri sebelum mengenal lawan. Lawan yang bisa dipahami sebagai situasi nyata. Sedangkan diri sendiri, bisa dipahami sebagai faktor intern, faktor kesadaran dan wawasan subyektif manusia sebagai aktor pemberdayaan dan pembangunan memanusiawikan diri sendiri, manusia, kehidupan dan masyarakat. Faktor ini, adalah faktor the singer sedangkan the song adalah karya dari the singer, jika meminjam dan memberi varian pada judul sebuah filem Holywod zaman dahulu. Pandangan sang ibu ini menyeret kenanganku akan keadaan Kalimantan, terutama Kalimantan Tengah di mana aku pernah bekerja di lapangan sampai tahun 2001, memulai kegiatan di sini sejak 1991, dan propinsi-propinsi lain Kalimantan yang kusempatkan mengunjunginya hingga jauh ke hulu. Secara singkat bisa kukatakan bahwa Kalimantan sekarang bukan Kalimantan yang dahulu. Dayak sekarang bukan Dayak dahoeloe yang Utus Panarung, turunan Panimba Tasik [Penimba Samudera], Panetek Gunung [Pemungkas Gunung]. Kalimantan memang kaya, tetapi mayoritas penduduknya miskin, masih belum bisa melepaskan diri dari budaya betang lama dalam menanggapi
[ac-i] Tanggapan Putu Oka Sukanta untuk Taufiq Ismail - Re: bertemu sitor situmorang
putu oka sukanta [EMAIL PROTECTED] wrote: To: [EMAIL PROTECTED] From: putu oka sukanta [EMAIL PROTECTED] Date: Mon, 26 May 2008 07:55:08 +0700 Subject: Re: [wahana-news] RE: [ac-i] jurnal sairara: bertemu sitor situmorang [5 - selesai] Saudara Taufiq, saya tidak pernah menerima Undangan seperti yang Saudara informasikan. Sebenarnya pertemuan seperti yang dimaksud sangat saya nantikan. Lain kali tolong pastikan apakah Undangan sudah sampai ke tangan saya atau belum, siapa yang mengirim dan ke alamat mana dikirim. Mengenai ide dan usaha rekonsiliasi adalah usaha yang perlu direalisasi bersama dalam kesetaraan derajat dan martabat. Sudah saya lakukan itu walaupun kecil-kecilan di wilayah yang bisa saya jangkau.. Secara politis saya masih dikerangkeng dengan beberapa peraturan yang diskriminatif. Bisakah rekonsiliasi dilakukan antar dua orang/kelompok yang masih dipisahkan oleh peraturan yang memposisikan mereka berbeda di hadapan hukum? Secara kulutural/ persahabatan antar sesama, sudah banyak yang bisa dilakukan. Tetapi secara politis, harus ada pengguguran peraturan yang diskriminatif itu. Pemerintah R.I. tidak melakukan itu, sementara persahabatan antar sesama ( yang bebeda di masa lalu, mungkin sampai sekarang) sudah terjadi secara individual. Dengan demikian, siapapun yang menginginkan rekonsiliasi secara total harus bersama juga memdesak pemerintah untuk mencabut aturan-aturan yang diskriminatif tersebut. Hati lapang menciptakan jembatan cahaya. Salam Putu Oka - Original Message - From: sangumang kusni To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; kotajakarta ; wahana news ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Sunday, May 25, 2008 9:08 AM Subject: [wahana-news] RE: [ac-i] jurnal sairara: bertemu sitor situmorang [5 - selesai] Taufiq Ism [EMAIL PROTECTED] wrote: To: artculture-indonesia@yahoogroups.com From: Taufiq Ism [EMAIL PROTECTED] Date: Sat, 24 May 2008 15:38:24 + Subject: RE: [ac-i] jurnal sairara: bertemu sitor situmorang [5 - selesai] Sdr Kusni, Saya membaca jurnal anda bertemu Sitor Siitumorang. Saya lampirkan respons saya terhadap surat tersebut bagian kelima, alinea 5 dan 6. Semoga kiriman saya sampai dengan baik. Salam, Taufiq Ismail DISKUSI MARXISME-LENINISME DALAM PERSPEKTIF BUDAYA, FAKULTAS SASTRA U.I., 9 JUNI 2000 Taufiq Ismail Pada hari bulan 9 Juni 2000, di aula Fakultas Sastra Universitas Indonesia diadakan diskusi bertajuk Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Budaya. Untuk kedua kalinya sesudah 38 tahun (pertama kali ialah dalam Musyawarah Federasi Teater se-Indonesia, Desember 1962 di Yogyakarta) wakil dari dua kelompok seniman-budayawan yang berseteru di masa Demokrasi Terpimpin bertemu di dalam sebuah forum terbuka. Untuk pertama kalinya Asrul Sani dan saya akan berhadapan dengan Pramoedya Ananta Toer dan (penyair Lekra) Putu Oka Sukanta. Dua hari sebelumnya tiba-tiba Asrul Sani sakit dan Putu Oka berhalangan. Asrul digantikan (dosen sosiologi) Imam Prasodjo dan Putu Oka digantikan (sastrawan) Martin Aleida. Rocky Gerung, mahasiswa kekiri-kirian yang jadi moderator sejak awal sudah terasa selalu berusaha memojokkan saya. Dia tidak berhasil. Saya menyiapkan diri dengan literatur baru untuk diskusi itu. Percuma. Tak ada gunanya. Pram berbicara dengan istilah-istilah kuno tahun 1960-an tujuh setan desa, tiga setan kota, tuan tanah, sama rata sama rasa, kapitalis birokrat dan seterusnya. Diskusi ideologi timpang dan tak bermakna. Saya tercengang. Pengarang besar ini tak punya pengetahuan tentang Marxisme-Leninisme yang berarti dan dapat diukur dengan jengkal tangan kanan. Saya tak merasakan getaran, sengatan setrum ideologi Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme dari diskusi itu, seperti yang saya rasakan bila berdiskusi dengan orang-orang Palu Arit tulen yang pernah saya alami. Pram bukan komunis. Saya makin mual pada partai yang berhasil memperalatnya, yang dirangkul, difasilitasi ini-itu, diangkut ke seberang garis menyertai apel barisan PKI, terpaksa ikut menderita dalam pembuangan, dan ternyata tetap saja tidak in dalam ideologi ini sama sekali. Ternyata Lekra tak berhasil menjadikannya komunis. Dia Pramis, seperti pengakuannya sendiri, dan dia betul. Pram terlampau individualistik, egosentrik dan keras hati untuk jadi pion partai mana pun. Palu Arit cuma memerlukan nama besar Pram untuk baliho Lekra/PKI, mengeksploitirnya sebagai tokoh pengisi billboard iklan produk ideologi kiri di tepi jalan raya tol kesusasteraan Indonesia. Untuk itu PKI berhasil, juga KGB (Komunis Gaya Baru) Indonesia abad 21 ini. Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun (1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai
[ac-i] jurnal sairara:defends ton identité
Jurnal Sairara: DEFENDS TON IDENTITE Sebuah segiempat 30 X 30 cm, ditengah-tengahnya terdapat gambar sebuah tinju diacungkan. Di atas tinju ini tertera kata Defends [ Bela] sedangkan di bagian bawah, tercantum kata Ton Identité [Identitasmu]. Gambar sablon hitam putih ini disemprotkan di mana-mana di permukaan jalan-jalan kilometer nol kota Paris. Jalan-jalan yang paling banyak dilalui orang, terutama jalan-jalan yang terletak di Rive Droite [Tebing Kanan] Sungai Seine, sungai yang membelah ibukota Perancis. Sambil berjalan menuju ke tempat pekerjaan, aku merenungkan sablon tinju dan kata-kata yang tertera di atasnya: Defends Ton Identité. Mengapa seruan membela identitas ini muncul sekarang. Apa latarbelakangnya? Sebelum sampai ke tempat pekerjaan, di beberapa jalan di Kartir Latin [Le Quartier Latin], sebuah kartir bersejarah dimana janin eksistensialisme dilahirkan. Kartir yang secara tradisional menjadi pusat unjuk rasa para mahasiswa-pelajar. Di kartir ini pulalah Revolusi Mei 1968 yang menggoyahkan pemerintahan Jendral Charles de Gaulle dan memberi wajah baru bagi Perancis. Tapi Nicolas Sarkozy, Presiden Perancis yang dipilih dengan suara relatif mutlak pada pemilu Mei 2007 lalu dalam kampanye presidensialnya, memandang Revolusi Mei 1968 sebagai rendah dan bahkan tidak berguna bagi Perancis. Untuk menjawab Sarkozy maka pemikir-pemikir Perancis yang langsung terlibat dalam Revolusi Mei 1968 telah menulis beberapa buku, baik secara perorangan mau pun secara kolektif. Mengenang Revolusi Mei 1968, di Place de Sorbonne yang terletak di pusat Paris, diselenggarakan pameran foto tentang peristiwa bersejarah. Orangtua-orangtua datang membawa anak-anak mereka dan menjelaskan kepada mereka tentang peristiwa besar yang mengobah wajah Perancis. Salah satu cara orang Perancis untuk mengasuh anak-anak mereka agar tidak melupakan sejarah,tahu sejarah dan sadar sejarah agar tidak menjadi generasi tanpa sejarah, lepas sejarah dan atau hilang sejarah. Dalam kampanye presidensialnya Sarkozy menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat Perancis dengan meningkatkan daya belinya. Menjanjikan modernisasi Perancis di berbagai bidang seperti pendidikan jaminan kesehatan, hari tua, dan lain-lain, dan lain-lain Pendeknya Sarkozy menjanjikan bersama dia maka akan lahir Perancis Baru yang sejahtera dan cemerlang di antara bangsa-bangsa di dunia. Setelah setahun berlalu, rakyat Perancis mendapatkan janji-janji manis itu berhadapan dengan kenyataan yang menghasilkan sesuatu yang sebaliknya. Daya beli [le puvoir d'achat] rakyat Perancis makin merosot. Di pinggiran Paris, di mana terdapat banyak tokotoko besar bahan makanan, penduduk sekitarnya menunggu toko-toko tersebut tutup dan membuang makanan-makanan, sayur-sayuran, dan lain-lain yang tidak lagi layak jual. Mereka berlomba-lomba memungut barang-barang ini. Inflasi meningkat, gaji terasa makin mepet. Apakah keadaan begini ini memperlihatkan meningkatnya daya beli? Ataukah sebaliknya? Dari segi pekerjaan, atas nama reformasi, ribuan guru-guru akan dipecat. Dari segi politik dan kebudayaan rakyat, melihat bahwa Perancis oleh Sarkozy diamerikanisasikan. Apalagi Sarkozy menyatakan akan lebih aktif di NATO -- NATO yang oleh Charles de Gaulle ditolak untuk bermarkas di Perancis. Unjuk rasa demi unjuk rasa, pemogokan demi pemogokan , apalagi kritik tajam terbuka di media massa , makin menjadi-jadi setelah setahun Sarkozy menduduki kursi Presiden Perancis. Jarak antara janji pemilu dan kenyataan, barangkali bisa dilihat dari popularitas Sarkozy seperti ditunjukkan oleh pengumpulan pendapat umum [sondage]. Menurut sondage terakhir, popularitas Sarkozy merosot dari 60% lebih menjadi hanya 30%. Sarkozy secara sinis disebut oleh semua media massa negeri ini sebagai Presiden daya beli [le president du pouvoir d'achat]. Kekecewaan pada Sarkozy ini lebih nyata lagi pada hasil pemilihan kotapraja [municipal] seluruh Perancis, di mana partai-partai kiri menang telak. Hasil pemilihan munisipal nasional ini oleh media massa disebut sebagai pemilihan hukuman pada Sarkozy dan UMP , partai yang sekarang berkuasa. Unjuk rasa yang yang kulihat memenuhi beberapa jalan di Kartir Latin hari ini sambil merenungkan arti sablon Defends Ton dentité, hanyalah bagian kecil saja dari ujuk rasa anti kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang yang dirasakan sangat merugikan rakyat Perancis. Tanggal 20an Mei yang akan datang diumumkan melalui media massa akan terjadi pemogokan transpor publik yang besar. Adanya sablon yang menganjurkan agar Perancis membela identitas nasionalnya, kuduga tidak lain dari reaksi perlawanan dari masyarakat bawah terhadap politik Amerikanisasi Perancis oleh Sarkozy. Masyarakat lapisan bawah yang tak punya akses ke media massa akhirnya menggunakan permukaan jalan, tembok-tembok kota,
[ac-i] ulos
ULOS tenun ini, hasian tenun ini tenunan tangan tenunan hati tenun samosir laksaan harapan kebolehan batak kebolehan rakyat juga cintaku padanya tersimpan tak kutolak jean hari ini tentu saja tak kutolak tentu saja ulos masih saja tanggap tak kalah modern dari top tank baju-celana pamer pusat kota-kota maka di jumpa keluarga ibu berikan ulos kepadamu ulos adalah diriku diri samosir anak angin bukit berdarah panarung, oue hasian, oue anak danau tahu bangkit dari kejatuhan bolehkah ulos ini kupersembahkan kepadamu? bolehkah ulos ini kuminta kau jaga? 2008 --- JJ. Kusni - Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel
[ac-i] catatan bantimurung: menegaskan kepulauan dan daerah sebagai gagasan budaya [1]
Catatan Bantimurung: MENEGASKAN KEPULAUAN DAN DAERAH SEBAGAI GAGASAN BUDAYA Mulai hari ini, tanggal 02 Mei sampai dengan 04 Mei di Barru, Sulawesi Selatan, dilangsungkan Temu Sastra Kepulauan. Temu Sastra Kepulauan ini bukanlah hanya kali ini diselenggarakan. Temu Sastra Kepulauan yang pertama telah dilangsungkan pada tahun 1999 di kota Makassar. Dan pada tahun 2000 Temu Sastra Kepulauan II masih diselenggarakan di kota serupa dengan meninggalkan serangkaian masalah masih patut dijawab diseputar pertanyaan: Mau kemana arah program ini? yang sesungguhnya bersarikan Apa gerangan sastra-seni kepulauan itu, bagaimana mengujudkannya dan mengembangkannya secara nyata? Temu Sastra Kepulauan yang berlangsung di Baru mulai hari ini merupakan Temu Sastra Kepulauan [TSK] yang ke-III. Dilihat dari segi jangka waktu, maka Temu Sastra Kepulauan [TSK] ini penyelenggaraannya tidak periodik. TSK III baru bisa dilangsungkan kembali selang 8 tahun kemudian. Selang panjang ini tidak bisa lain hanya memperlihatkan adanya kesulitan-kesulitan, barangkali terutama kesulitan finansial dalam menyelenggarakannya. Sedangkan dari apa yang dikatakan oleh penyelenggaranya bahwa sampai pada TSK II, yang baru dirumuskan hanyalah persoalan-persolanan di seputur Mau ke mana arah program ini?. TSK I dan II belum memberikan jawaban-jawaban jelas mengenai apa-bagaimana TSK itu. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh yang dikatakan oleh think tank TSK III bahwa Temu Sastra Kepulauan adalah semacam forum gagasan yang berorientasi ke masalah-masalah geo-cultural di Indonesia, berarti adalah pembebasan sastra dari gen yang mendominasinya, berarti adalah perluasan praktek sastra ke dalam berbagai bentuk pengucapan yang masih berlangsung. Dari keterangan ini nampak, bahwa sebagai gagasan pun yang dimaksudkan dengan sastra kepulauan ini agaknya masih belum samppai ke tingkat yang matang dan rampung. Jika pemahaman demikian benar, maka jika secara gagasan saja belum rampung tuntas lalu bisakah diharapkan apa-bagaimana pengejawantahannya. Apa-bagaimana ujud nyatanya. Masalah konsepsional belum selesai tuntas dirumluskan, belum terjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan oleh TSK I dan II, tiba-tiba TSK III mengangkat masalah baru yang aktual yaitu masalah lingkungan, cq. pemanasan global planet kita. Sehingga nampak bahwa TSK III sebagai forum gagasan menjadi menjadi fokus alias menjurus ke nggladrah. Dengan mengatakan hal ini, saya tidak bermaksud mengabaikan arti masalah penting membicarakan soal lingkungan, khususnya masalah memanasnya bumi kita secara global. Hanya saja yang jelas dari cuplikan Term of Reference [TOR] di atas, bahwa dalam konsep sastra, masalah komitmen, keberpihakan merupakan salah satu ciri utamanya. Sastra Kepulauan bukanlah sastra yang mandul atau banci. . Sastra kepulauan adalah sebuah komitment terhadap keberagaman, geokultural Indonesia yang khas. Orientasi keberpihakan ini, merupakan hal yang sangat positif. Titik penting kedua dari TOR di atas adalah tekananya pada kenyataan Indonesia yang majemuk yang dikandung pada kata Indonesia itu sendiri sebagai suatu rangkaian nilai. Sayangnya penggagas TOR tidak menggarisbawahi bahwa kata Indonesia itu sendiri sebenarnya adalah suatu rangkaian nilai. Suatu konsepsi yang selama ini diabaikan. Kurang diindahkan bahkan selama beberapa dasawarsa konsep agung dan mulia serta sangat tanggap dan apsiratif ini dilanggar bahkan diinjak-injak oleh sepatu boot militerisme, termasuk rumusan UUD 1945 tentang apa kebudayaan Indonesia itu. Padakah bhinneka Tunggal Ika itu pada dasarnya tidak lain dari sari Indonesia sebagai gagasan. Secara gagasan pula, belum selesai dijawab apakah gagasan kepulauan itu sebatas sastra saja? Mengapa hanya dibatasi pada sastra dan tidak diluaskan pada seni atau budaya? TOR berbicara tentang pembebasan sastra dari gen yang mendominasinya, berarti adalah perluasan praktek sastra ke dalam berbagai bentuk pengucapan yang masih berlangsung. Sangat tidak jelas, atau mungkin karena keterbatasan saya, maka saya menjadi tidak jelas tentang apa yang dimaksudkan dengan gens yang mendominasinya. Apakah kalimat atau istilah ini sebuah cara berkelit dari penggunaan kata politik? Cara untuk mengelak dari praktek Jawanisasi sebagai politik budaya terapan selama berdasawarsa dalam sejarah Republik Indonesia [RI]? Padalah ketika berbicara tentang sastra-seni kepulauan sebenarnya kita sedang berbicara tentang politik kebudayaan. Politik sastra-seni yang ingin diterapkan dan dikembangkan sebagai suatu perspektif yang tanggap dan aspiratif untuk bangsa dan negeri ini. Apa lalu yang disebut sebagai dominasi bagi budaya pulau-pulau dan daerah di pandangan penggagas TSK III? Ketika TOR berbicara tentang perluasan praktek sastra ke dalam berbagai bentuk pengucapan yang masih
[ac-i] alamat tanpa nomor
PARIS MENJELANG SUBUH walau ini adalah paris tapi tak terdengar ada suara di luar jendela subuh seine tadi kulintasi jembatannya dari montmartre kampungku tak kalah sunyi -- kapal-kapal berlabuh di dermaga ratusan camar tidur di tembok pagar kota riak pun diam bulan dan cahya lampu saja di airnya mencumbu sunyi dan rindu yang menyeru-nyeru namamu kudian memantul bagai sipongang dari lembah jarak. 2008 JALAN KE PUNCAK menanjak selalu jalan ke puncak likunya tak terhitung jari lembah menganga di kanan kiri cinta apakah punya puncak di semak belantara senantiasa saja kulihat kelebat bayang bencana menanti alpa 2008 BUIH AIR DI TUNGKU matahari musim bunga ini memang seperti dahulu melepaskan kota dari tekanan langit kelabu musim lalu cuma sepenggalah dari menara katedral -- hingga tak semua bisa tersenyum dalam dera orang-orang melarikan sepi dan gundah pada cangkir-cangkir kopi café demi café tapi aku tetap saja mencintai kehidupan tetap saja di jalan mimpiku yang sepi di panas atau dingin bersalju duka, luka dan keresahan jangan tanya mengapa jika mereka duduk semeja denganku asyik bercengkarama seperti kapan saja matahari musim bunga ini memang memberi kehangatan musim salju yang sering bagai kucing nakal menggigit kakiku di bawah meja kerja entah ke mana dia. barangkali ke kutub selatan yang jauh karena kelanggengan itu hanya ada pada perobahan musim bunga ini pun bukan jaminan dingin tak datang tiba-tiba apakah kau percaya cintamu bisa bertahan hingga musim panas nanti kata sering tak obah bagai buih air panci mendidih di tungku. 2008 ALAMAT TANPA NOMOR ada delapan belas simpang di avenue champs élysées siapa pun patut tahu jalan dipilih mencapai tujuan apa kau tahu berapa jumlah simpang di jalan cinta -- yang kupasti dialah jalan bertikungan tajam lipat siku dadagan tak terkira janin kandungan misteri kepadamu yang hari ini masih berada di sisiku di kendaraan melaju mata kukerdipkan sambil mencari esok -- alamat tanpa nomor. 2008 --- JJ. Kusni - Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel
[ac-i] jurnal sairara: hari itu kami berjumpa kembali [6]
JURNAL SAIRARA: HARI ITU KAMI BERJUMPA KEMBALI -Kisah-kisah kecil berjumpa dengan Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuntjak di Koperasi Restoran Indonesia Paris, 10 April 2008. 6 Mengapa kita mesti secara sukarela membuang waktu seribu tahun mengayuh ke hulu sedangkan muara dan laut menunggu kejantanan awak pinisi? Malam Musim Bunga makin larut, terasa hingga ke ruang percakapan santai. Tamu-tamu yang makan malam satu demi satu pulang meninggalkan restoran. Di luar matahari sudah lama tenggelam meninggalkan kelam pada dedaunan hijau yang makin merimbun. Pembicaraan saja yang nampaknya seperti tak berujung bagaikan kehidupan yang terus berlanjut tanpa perduli suka dan duka kita pribadi. La vie continue, orang Perancis bilang. Di atas helai-helai waktu de la vie continue ini tak terbilang darah dan airmata mengucur di atasnya. Tak tertakar jumlah nama dan peristiwa tetera. Juga kekalahan dan kemenangan, kegagalan dan keberhasilan. Kejatuhan dan kebangkitan. Kemudian menjelma jadi parit-parit dahi dan atau warna rambut yang memutih atau merontok. Sejenak memandang ke belakang, dengan sisa daya yang ada, barangkali kita bisa tersenyum dengan segala nostalgia sonder dendam atau menertawakan diri mengingat kebodohan-kebodohan yang telah dilakukan sementara kaki mengajak kita menyusur jalande la vie continue. Perasaan beginilah yang kudapatkan saban kali berjumpa kembali dengan teman-teman seperti GM, Arief Budiman, Sorri Siregar, Rendra dan lain-lain, terutama mereka dari kelompok yang kusebut Kelompok Republik Bringharjo Yogyakarta -- kota di mana aku melewatkan masa remajaku di tengah rupa-rupa pergolakan. Kelompok Republik Bringharjo adalah sebuah kelompok tak berbentuk dari para sastrawan-seniman dengan berbagai pandangan. Di sini berdiskusi leluasa dengan pandangan masing-masing secara leluasa tentang sastra-seni. Diskusi yang kemudian tidak jarang menelorkan artikel-artikel, dan rupa-rupa karya bahkan sanggar. Ketika munculnya Manifes Kebudayaan warga Republik Bringharjo terbelah oleh sikap berbeda-beda menanggapi Manifes ini. Hanya saja hubungan pertemanan di antara mereka saja sangat kuat. Mereka masih saja saling menghormati dan menyayangi. Pada suatu tahun, di TIM Jakarta diselenggarakan peringatan lahirnya Manifes Kebudayaan. Aku baru saja mendarat di Jakarta dari perjalanan ke Papua. Mendengar adanya berita ini, dari bandara Soekarno-Hatta, aku langsung ke TIM, di mana aku berjumpa dengan teman-teman lama. Mereka mengeremuniku hangat dengan pertanyaan bertubi, antara lain: Kau masih hidup. Ini penting dan kau pasti terus menulis. Aku merasa terharu oleh sikap dan pertanyaan-pertanyaan mereka. Perkawanan kami tidak diluluhkan oleh Tragedi, rupa-rupa peristiwa dan waktu. Tidak berprinsipkah sikapku ini? Aku tetap berpendapat mengapa perkawanan dihancurkan oleh perbedaaan pandangan? Sementara waktu sering mengajak orang untuk belajar dan berobah? Siapa pun berobah. Tidak berobah pun adalah hak masing-masing dan mengapa tidak bisa hidup dan berkawan dengan perbedaan? Perbedaan sering jadi kaca diri dan guru yang baik. Melengkapi diri sendiri. Engagement [keberpihakan] adalah pilihan masing-masing, sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman masing-masing. Dengan sikap begini pula, maka Arifin C. Noor pernah datang ke Paris dan secara khusus mencariku di Koperasi Restoran Indonesia, sampai buka puasa di Restoran. Tentu saja aku dan Arifin yang sama-sama pernah berada di satu grup teater di Yogya, selain berbicara tentang masa silam , juga tentang filemnya G30S/PKI. Seperti sering kuungkapkan, ternyata Arifin menyesal dengan filem ini yang dipandangnya bukan lagi dirinya. Dan ia sama sekali tak pernah menduga bahwa filem ini akan menjadi filem tontotan wajib selama sekian dasawarsa. Ia memintaku agar jangan melakukan kritik terbuka, karena teman-teman dekatnya sudah banyak mengkritiknya secara tertulis dan langsung yang membuatnya stres. Aku hanya mengatakan kepadanya:Kau sudah naik punggung harimau lalu tidak bisa turun lagi. Kunjungan Arifin yang khusus mencariku, kupahami sebagai tanda persahabatan antara kami masih terjaga. Waktu ia meninggal, aku berada di tengah-tengah Kalimantan. Tak kusembunyikan bahwa aku merasa sedih dengan kepergiannya. Sama sedihnya dengan kepergian Mbak Soenarti Soewandi, penyanyi terkemuka dari Yoyga yang meninggal hampir berbarengan dengan Arifin. Perasaan ini kuketengahkan pada GM semacam curhat dan mau menunjukkan bahwa mendukung Manifes Kebudayaan dan prinsip berkesenian Lekra sebenarnya bukan garis pemisah kekal di antara para sastrawan-seniman. Akan sungguh menarik, jika mereka bisa duduk di hadapan satu meja, dengan santai memandang ulang dengan kejujuran baru dan perkembangan diri mereka yang sekarang, ketika usia makin senja. Barangkali ada gunanya. Dan aku membayangkan jika
[ac-i] jurnal sairara: seandainya
Jurnal Sairara: SEANDAINYA Hari itu 25 April 2008 malam. Sepulang kerja menguli di Koperasi Restoran Indonesia Paris, yang juga merupakan sejenis pusat kegiatan kebudayaan Indonesia di ibukota Perancis ini, seperti biasa aku segera membuka laptop sederhanaku. Melalui alat inilah aku mengikuti perkembangan tanahair dan dunia serta berhubungan dengan teman-teman di 16 penjuru. Dibandingkan dengan beberapa dasawarsa silam, adanya komputer sangat membantuku dalam mengurangi beaya korespondensi yang tadinya kulakukan menggunakan jasa telkom. Di samping itu, komunikasi pun menjadi sangat cepat. Oleh kemajuan tekhnologi begini, aku rasakan benar seperti sering dikatakan bahwa dunia menjadi sebuah desa kecil, keadaan yang memperlihatkan potensi positif manusia yang seakan berbataskan pantai keempat jika menggunakan ungkapan Chairil Anwar. Di antara sekian surat yang masuk ke kotak suratku, kudapatkan surat pendek dari Lily Yulianti, penulis kucerpen Makkunrai [bahasa Bugis yang berarti Perempuan], yang sekarang bekerja di Jepang. Ly, demikian biasa ia dipanggil oleh teman-temannya, dalam surat pendeknya antara lain berkabar: Saya ada kabar baik nih. Salzburg Global Seminar mengundang saya menjadi pembicara dalam seminar tahunannya bulan Juni mendatang. Saya berpikir, barangkali ada baiknya saya mampir di Paris (bila jadwalnya memungkinkan), untuk memperkenalkan Sastra dari Makassar di Restoran Indonesia dan sekaligus berkenalan dengan Bu Johanna*]. Sungguh-sungguh, ini adalah sebuah berita baik dan menggembirakan. Apabila pada Maret-April 2008, penyair M.Aan Mansyur melakukan Tour de Java Sastra Makassar, maka seandainya Lily Yulianty bisa ke Paris dan membicarakan Sastra Makassar dalam konteks konsep sastra-seni kepulauan, kukira acara demikian akan mengkonsolidasi dan memperluas jaringan yang dicapai melalui Tour de Java Sastra Makassar. Perluasan kerjasama jaringan dalam dan luar negeri, kukira akan sangat mendorong pengembangan sastra-seni kepulauan. Jaringan internasional, semacam bentuk diplomasi kebudayaan, akan sangat terbantu jika berangkat dari basis kekuatan di dalam negeri. Dan basis sastra-seni dalam negeri ini sekarang kukira sudah ada. Sudah terdapat di berbagai daerah dan pulau. Seandainya Lily Yulianti [selanjutnya kusingkat Lily] bisa hadir di Paris untuk berbicara di suatu acara sastra, maka kesempatan ini bisa digunakan bukan hanya memperkenalkan sastra-seni di Makassar, tapi juga perkembangan sastra-seni di berbagai daerah dan pulau di luar sentra-sentra kegiatan tradisional. Hal ini akan merupakan pemberitahuan ke dunia internasional bahwa kehidupan sastra-seni Indonesia baik yang berbahasa lokal atau pun berbahasa Indonesia, tidak hanya terdapat di Jakarta, Yogyakarta dan Bandung atau sentra-sentra tradisional yang dikenal. Indonesia tidak sebatas sentra-sentra tersebut. Esok Indonesia yang republiken dan berkeindonesiaan, justru terdapat dengan terujudnya sastra-seni kepulauan. Sastra-seni kepulauan merupakan dasar perekat budaya ber-repulik dan berkeindonesiaan yang dibina dari bawah. Sastra-seni kepulauan adalah sastra-seni dengan pusat yang majemuk. Majemuk juga dalam bentuk dan standar nilai. Jaringan internasional berbasiskan kekuatan basis lokal sangat mungkin. Pertanyaannya: Seberapa jauh usaha ke arah ini telah dilakukan secara berprakarsa. Basis sastra-seni pulau dan daerah akan mempunyai daya paksa pada kata. Suatu kehadiran yang tak terabaikan oleh siapa pun. Penggalangan jaringan internasional akan sangat menopang pengembangannya. Penggalangan jaringan internasional secara aktif berprakarsa akan jauh lebih kongkret makna dan dampaknya daripada cemburu yang lebih memperlihatkan ketidakberdayaan dan merengek pengakuan. Kerja, karya, kekuatan nyata, merupakan bahasa paling efektif. Merupakan proklamasi eksistensi dan mempunyai daya paksa untuk didengar, diindahkan serta merupakan jalan perkembangan tak terbendung. Sastra-seni kepulauan adalah suatu politik sastra-seni yang republiken dan berkeindonesia. Nama tak usah diminta dan diproklamasikan. Kerja, karya adalah ujud proklamasi sastrawan dan seniman. Pengakuan siapa pun adalah salah satu dampak langsung dari kerja dan karya. Mungkinkah pulau-pulau dan daerah dengan basis sastra-seni seperti sekarang mengembangkan jaringan internasionalnya? Mengapa tidak? Sangat mungkin. Sekali pertanyaannya: Seberapa jauh sudah hal ini dilakukan? Dari mana patner di mancanegara tahu adanya sastra-seni kepulauan dan daerah, jika tidak ada keaktifan memperkenalkan keadaan sastra-seni Indonesia yang baru. Keadaan saastra-seni Indonesia hari ini? Berorganisasi, mempunyai program berkesenian, kontrol rencana, kukira akan sangat membantu sastrawan-seniman pulau dan daerah menggalang jaringan internasional. Dengan adanya komunitas, organisasi, mereka akan lebih berdaya dan akan lebih
[ac-i] oasis
OASIS tandus padang di sini berhenti di oasis kasihsayang airmata darah luka keringat laga bening di air telaga tandus gurun hijau di dedaunan oasis sehijau harap di cahya matahari hidup adakah hidup tanpa harapan adakah hidup bebas kenangan adakah hidup tanpa mimpi adakah hidup tanpa tarungan? kasih sayang oasis gurun duka -- di bekas jejak tertera epitaf luka hijau oasis sehijau harap sepasti matahari di atasnya ajal membayang ditanggap makna 2008 SEBELUM MELAMBAIKAN SAPUTANGAN seperti menghitung jumlah jari kuhitung siang dan malam kuhitung bulan dan matahari silih berganti bersarang di atap katedral taman abbesses* amat kukenal orang-orang bilang perjalananku berliku mencengangkan sangat panjang di parit-parit dahi kisahnya tertera kukatakan bahwa sesungguhnya aku baru beberapa depa dari dermaga belum benar sampai ke laut asin anginnya pun belum terbau karenanya seperti menghitung jumlah jari aku selalu menghitung kapan senja ditelan hulu lalu menelaah kembali peta perjalanan sebelum lambaikan saputangan dari pelabuhan ajal dan cintaku sama pastinya sama kerasnya memberi degup pada jantungku 2008 --- JJ. Kusni Keterangan: *Taman Abbesses, sebuah taman di kampung seniman di ketinggian Montmartre, Paris. Di sini saya tinggal sejak puluhan tahun. - Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.
[ac-i] makkunrai
MONOLOG 1. aku sedang di kamar rias, sayang siap pentaskan monolog makkunrai membangkitkan perempuan yang jatuh kembang-kembang terkulai dari panggung monolog kutabur mantra membangun fondamen baru dari kata di jiwa-jiwa yang remuk demi utuhnya langit perempuan bisa jadi pemenang 2. dari panggung monolog kurentangkan dialog jembatan pelangi menyatukan tebing-tebing hati yang bisu hilang harapan pada surya 3. tentu saja cinta tentu saja bukan pentas bukan permainan petunjukan tunggal aktris-aktor monolog cinta itu semacam kesanggupan musim semi meraih matahari 4. aku sedang di kamar rias, sayang siap melaga merebut menang perempuan sanggup jadi pemenang 5. perempuan nona nionya dan puan-puan kaliankah kijang buruan makkunrai- kah itu yang menggelepar dijaring pemburu? meraung menjerit dicekik nestapa meratap candra? makkunrai makkunrai pun anak bumi anak bumi! 6. makkunrai bukan nasib makkunrai bukan takdir makkunrai ibuku kekasih gantungan esok aku mencintaimu 7. monolog awal sadar bertarung di galaksi mimpi memburu arti dan diri 2008. MAKKUNRAI PENYANGGA LANGIT makkunrai* akulah makkunrai perempuan yang bangkit bersama lelaki enambelas penjuru menyangga separo langit tajam mataku kau tatap matamu kutatap tajam mukkunrai! aku makkunrai zaman ini perempuan bukan buruan lelaki sasaran kejantanan jalang makkunrai jangan tunduk makkunrai sambut tantangan badai makkunrai adalah seruan berlaga dari langit dari laut dan gunung dari rimba-belantara dari hati perempuan kembalikan manusia ke bumi. 2008 --- JJ. Kusni Keterangan: * Makkunrai , istilah yang saya pinjam dari judul kucerpen Lily Yulianti, terbitan Nala Cipta Litera, Makassar, 2008. - Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel
[ac-i] jurnal sairara: hari itu kami berjumpa kembali [1]
JURNAL SAIRARA: HARI ITU KAMI BERJUMPA KEMBALI -Kisah-kisah kecil berjumpa dengan Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuncak di Koperasi Restoran Indonesia Paris, 10 April 2008. 1. Siang. Tanggal 09 April 2008, telpon tetap di meja tulisku berdering. Dari ujung yang jauh, Soejoso, penanggungjawab pertama Koperasi Restoran Indonesia di Paris memberitahukan bahwa Goenawan Mohamad dan Laksmi Pamuntjak, yang sedang berada di Paris atas undangan Lembaga Persahabatan Perancis Indonesia Pasar Malam pada 10 April, berharap untuk bisa mempunyai kesempatan bertemu dengan teman-teman klayaban serta teman-teman lain di sekitar Koperasi Restoran Indonesia. Merasa permintaan bertemu dari dua penulis terkemuka Indonesia begini sebagai suatu penghormatan, dan kecuali itu Goenawan Mohamad, memang syohib lama, tapi sangat jarang berjumpa, maka kepada Soejoso langsung kujawab: Baiklah, Bung, saya pasti datang. Agar bisa berjumpa lebih awal, maka aku pun menyempatkan diri untuk datang pada tanggal 09 April di acara yang diselenggarakan oleh Pasar Malam khusus untuk Goenawan dan Laksmi. Acara sastra Indonesia begini akan digalakkan lagi oleh Pasar Malam tahun ini. Pada November 2008, Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia ini akan mengundang Sitor Situmorang, Richard O dan Laksmi Pamuncak untuk berbicara. Kepada Johanna Lederer selaku Ketua Lembaga Persahabatan kukatakan bagaimana agar ia mulai memperhatikan sastrawan-seniman dari pulau-pulau lain dan dari daerah. Johanna agaknya memperhatikan saran ini. Yang aku tuturkan di sini terutama pertemuan dengan kedua sastrawan Indonesia itu di Koperasi Restoran Indonesia di Paris. Karena, agaknya perbincangan santai , bebas antar teman sambil menikmati hidangan makan malam di sini, jauh lebih intens dibandingkan dengan pembicaraan di depan publik. Tema pembicaraan bisa meloncat dari soal ke soal lain sebebas tupai di pepohonan hutan. Kadang disertai dengan lelucon yang melahirkan tawa. Goenawan memang suka bercanda. Sense of humor-nya cukup tinggi. Yang menarik, ia tahu benar fungsi humor dan menggunakan humor itu untuk tujuan-tujuan politik. Apakah, humor begini yang disebut humor bermutu? Orang tertawa mendengarnya tapi sambil tertawa orang diajak berpikir dan merenung pesan humor itu. Humor bermutu dan berkomitmen beginilah yang pernah Goenawan dan teman-temannya gunakan dalam melawan Orde Baru dan militerisme. Jika dilihat dari segi ilmu militer, barangkali humor berkomitmen ini semacam perang gerilya yang menggunakan taktik hit and run dalam dunia pemikiran dan politik. Ia bisa menyerang lawannya, kapan dan di mana saja ia mau, sedangkan yang diserang tak gampang menyerang balik. Dengan cara ini, citra dan kekuatan lawan digerogoti. Analogi humor berpihak dan perang gerilya ini muncul di benakku karena pada salah satu tema yang diangkat oleh Goenawan adalah bagaimana melawan dan menghancurkan militerisme dalam keadaan seperti pertarungan antara David dan Goliath. Militerisme dan rezim militer, dengan pendekatan keamanan dan stabilitas nasional selama tiga dasawarsa lebih telah menabur epidemi ketakutan di negeri kita. Pada saat imbangan kekuatan tidak padan, maka konfrontrasi frontal hanya akan membawa korban yang tidak perlu pada saat korban demikian bisa dihindarkan. Cara inilah yang oleh Mao Zedong dikatakan sebagai berani dan pandai berjuang, berani dan pandai menang. Menjadi pemenang bukanlah ghal gampang. Seusai perang melawan agresi Amerika Serikat, seorang Jendral Viêt Nam pernah mengatakan padaku: Bagiku bertempur di medan perang, jauh lebih gampang daripada mengkonsolidasi kemenangan. Dalam kemenangan kita gampang tergelincir dan jatuh. Humor berpihak selain ditujukan menggerogoti dan menjatuhkan citra lawan [baca: militerisme dan otoritarisme] juga berusaha mendorong orang tertawa, merenung lalu bertanya: Mengapa saya harus takut. Ketakutan menjadikan kita sebagai ikan yang digiring ke bubu kesalahan demi kesalahan. Membuat kita hilang prakarsa. Tidak banyak tokoh berbagai bidang di negeri kita yang menggunakan humor berpihak begini sebagai sarana pencerahan dan sarana politik. Dari jumlah yang tidak banyak ini, Gus Dur dan Goenawan termasuk di antaranya. Bincang-bincang santai berlanjut di bawah suhu musim bunga Paris yang makin terasa sehingga yang hadir tidak merasa terganggu oleh dingin atau panasnya tak wajar alat penghangat ruangan. Semua nampak gembira dan antusias, sementara pelayanan tamu yang makan malam berlangsung terus di ruangan lain. Pelanggan Koperasi Restoran ini sudah biasa melihat suasana begini berlangsung sehingga mereka merasa seperti sedang bertandang ke rumah teman. Kedatangan Goenawan ke Koperasi kami kali ini, bukanlah kedatangan yang pertama kali. Ia sudah mengunjungi kami beberapa kali seperti halnya dengan Rendra , Sitor Situmorang, Arifin
[ac-i] catatan bantimurung: puisi-puisi anak sentani [4]
Catatan Bantimurung: PUISI-PUISI ANAK SENTANI 4. Ciri lain yang menonjol pada puisi-puisi Luna yang juga pemain teater handal, pemonolog terbaik yang kukenal jika meminjam penilaian Lily Yulianti penulis kucerpen Makkunrai, serta pernah tampil di TIM Jakarta, terletak pada kesederhanaan pengucapannya. Kesederhanaan , umumnya, memang merupakan ciri dari warga masyarakat pedalaman dan agraris. Bahkan di Perancis ini, pun orang-orang di propinsi lebih sederhana sikap dan pengucapan mereka dibandingkan dengan orang-orang di Paris. Paris bukan Perancis, sering kudengar ucapan begini ketika saya berbicara dengan orang-orang di propinsi. Dengan kesederhaan pengucapan dan perbandingan ini, puisi-puisi Luna , yang pada akhir bulan April 2008 ini akan turut tampil mementaskan salah sebuah karya Riantiarno di Makassar bersama grup teater Tambora, tidak menjadi puisi gelap. Tidak menjadi puisi yang sulit dipahami. Kesederhaan, biasanya berhubungan dengan kejujuran pada diri sehingga yang diucapkan, yang ditulis terasa langsung mengalir dari lubuk hati. Seperti air bening mengalir dari sumbernya di gunung lalu mengarus di sungai mencari muara dan laut. Sebagai misal saya ambil puisi berikut yang saya ambil dari kumpulan : Jalan-jalan Kecil Ke Rumah rumahku di jayapura, papua, terletak di atas bukit. hanya seratus meter dari jalan umum di bawahnya. jalan kecil yang menghubungkan rumah kami dengan jalan umum, Jl. Gunung Agung, bukan jenis jalan beraspal yang dihaluskan. Jalan itu berbatu-batu. di rumah itu, separuh hidupku dikubur. kusimpan ini disini, karena akhirnya aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang. [Sumber:http://lunavidya.blogspot.com/2007/08/jalan-kecil-ke-rumah.html] Ciri-ciri kesederhanaan yang kukatakan di atas, terdapat pada puisi Luna ini. Dari puisi ini, bayangan kampungnya di Jayapura, Papua terbayang jelas hanya melalui beberapa kata. Dan Luna pun mengungkapkan rindunya secara unik: karena akhirnya aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang. Bagi orang yang pernah tinggal di pedalaman, di pinggir sungai atau berada di puncak-puncak pegunungan Papua, orang akan segera tahu betapa indahnya pemandangan saat matahari akan tenggelam di hulu atau di balik gunung atau ketika fajar tiba. Sedangkan tekhnik pengucapan rindu dilakukan oleh Luna secara unik dan berada di luar kejamakan mayoritas puisi dewasa ini yang banyak lahir di daerah urban. Tidak heran jika syohib lamaku, budayawan Solo asal Banten, Halim HD mengatakan dengan pasti dan berulang-ulang saban jumpa bahwa Sesungguhnya Bung, etnik dan daerah merupakan sumber budaya dan kreativitas luar biasa. Sayangnya apa yang dikatakan oleh Halim HD ini kurang dilirik oleh sastrawan-seniman kita yang asyik dengan Barat saja. Bahkan terkadang budaya etnik dan daerah dipandang sebagai hal tradisional dan kadaluwarsa. Padahal apakah nilai yang tertera pada pepatah: menepuk air di dulang memercik ke muka sendiri atau: tangan mencencang bahu memikul itu kadaluwarsa dan sudah tidak tanggap zaman? Apakah konsep hidup-mati manusia Dayak dahoeloe: rengan tingang nyanak jata [anak enggang putera-puteri naga] itu kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman? Keadaan begini selalu mengingatkan saya akan kritik Mao Zedong pada cendekiawan Tiongkok pada tahun 1930an: Lebih kenal Yunani Kuno daripada mengenal Tiongkok. Atau yang sering kudengar di kalangan keluargaku bahwa kita lebih kenal kanal-kanal di Negeri Belanda daripada sungai-sungai di Kalimantan. Keadaan beginilah yang sering kukatakan sebagai keterasingan diri dari kampunghalaman sendiri. Kerberadaan di kampunghalaman bukan jaminan kita kenal kampung halaman. Inti keadaan begini, barangkali terletak pada pertanyaan: kita berada di mana, apa masalah nyata kita, kemudian bagaimana lalu mau ke mana serta jalan apa yang ditempuh untuk sampai ke tempat mau ke mana. Sederhana berbeda dengan jual koyok yang hampa isi. Berbeda dengan balagu atau balagak hingga menjadi tong kosong nyaring bunyinya. Sederhana itu indah tapi tidak sederhana untuk menjadi sederhana, ujar Agam Wispi alm., penyair asal Aceh yang hidup-mati dari puisi. Sederhana, kukira menjadi indah karena ia menangkap sari masalah yang sering disebut hakekat. Sederhana erat dengan kejujujuran. Sederhana memberi sayap pada kata-kata hingga ia memancing selaksa tafsir mendekati luasnya ruang galaksi. Terbukanya ruang bagi selaksa tafsir mendekati luas ruang galaksi barangkali merupakan ciri kekuatan puisi . Cara puisi yang berbicara dengan hati dan otak memberikan kemerdekaan dan kebebasan pada pembacanya. Tidakkah ciri-ciri ini yang terdapat pada larik-larik Agam Wispi: pita merah dan matahari cinta berdarah sampai mati atau baris Chairil Anwar: sekali berarti sudah
[ac-i] catatan bantimurung: puisi-puisi anak sentani [5--selesai]
Catatan Bantimurung: PUISI-PUISI ANAK SENTANI 5. Maka munculnya Luna Vidya sebagai seniman Papua sungguh menggembirakan dan memperkuat tendensi serta gejala ini. Gejala berkembangnya sasatra-seni kepulauan dan daerah, ujud dari bhinneka tunggal ika dalam bidang kebudayaan dan kita harapkan berorientasi pada nilai-nilai republiken serta berkeindonesiaan. Selain dua ciri di atas, puisi-puisi Luna lebih bersifat liris, mengungkapkan pikiran dan perasaannya terhadap kejadian-kejadian yang mengitiarinya dan ia alami. Tuturan lukisan ini, rata-rata memang tidak disertai dengan perenungan hakiki. Belum sampai kepada tingkat merenungi apa gerangan hakekat di balik kejadian-kejadian itu. Sampai sekarang, puisi-puisi Luna masih berada di taraf permukaan dari segi pemikiran, ketika ia berhadapan dengan peristiwa sebagai gejala. Dan ini tidak menjadi suatu keberatan besar, walau pun ada yang berpendapat bahwa penyair yang bekerja menggunakan bahasa sebagai alat sesungguhnya ia pun adalah seorang pemikir. Sehingga selain ia bisa memberikan sumbangan kepada kebudayaan melalui penyempurnaan bahasa, sang penyair banyak diharapkan sumbangannya dari segi gagasan. Sumbangan gagasan tidak mungkin diharapkan dari seorang penyair jika sang penyair hanya berkutat dengan dirinya tanpa meluaskan lingkup cakrawala penglihatannya serta tanpa bertanya apa gerangan yang terdapat di balik gejala. Penyair tidak pernah berkelebihan dalam masyarakat, tapi penyair yang dinantikan oleh masyarakat adalah penyair yang merupakan anak zamannya, penyair yang mampu menjadi jiwa bangsa dan zamannya. Hal begini tidak mungkin diharapkan dari penyair-penyair narsistik dan tipe anak pangeran atau anak raja jika meminjam istilah Paul Elouard, penyair Perancis yang juga pejuang anti fasis. Saya tidak mentabukan penyair bicara tentang dirinya, tidak juga mentabukan sastrawan bicara tentang seks. Hanya jika kita membaca Sade misalnya Sade yang juga anti fasis menggunakan tema seks dalam konteks menenang nilai dominan pada zamannya dengan cara yang paling ekstrim sehigga lahir istilah sadisme yang bermula dari nama Sade juga adanya. Hal begini tidak mungkin dilakukan oleh Sade dan siapa pun jika tidak mempunyai lingkup horison pandangan yang luas dan sibuk dengan diri sendiri. Pramoedya dan Goenawan Mohamad , misalnya juga bicara soal seks. Tapi seks tidak menjadi tema pokok mereka dan ketika berbicara tentang seks dua sastrawan ini mengolahnya dengan lingkup cakrawala yang luas. Pram intens belajar tentang sejarah Indonesia. Intens memperkaya bahasa Indonesia. Sedangkan Goenawan juga melihat kehidupan dengan segala seginya. Dengan lingkup pandang yang luas ini, Goenawan memprakarsai berdirinya Komite Indonesia Untuk Pengawasan Pemilu yang membuatnya dikejar-kejar serta mendirikan AJI. Caping Goenawan di Majalah TEMPO adalah rangkaian tulisan yang memperlihatkan cakupan perhatian Goenawan sebagai penulis. Pram dan Goenawan adalah sastrawan yang sudah sampai pada tingkat sastrawan sadar -- tingkat sastrawan yang sumbangan pemikirannya diharapkan oleh masyarakat dan kemanusiaan. Sumbangan apakah yang terpenting yang diharapkan masyarakat dari sastrawan selain sumbangan gagasan , pemikiran dan penyempurnaan bahasa yang menjadi alat kerjanya dan alat komunikasi dalam hidup bermasyarakat? Menjadi penulis, kukira, pertama-tama, bukanlah untuk mengejar nama tapi adalah suatu misi manusiawi. Nama adalah hasil kerja dan pengakuan masyarakat atas sumbangan. Sedangkan penguasaan tekhnik menulis yang niscaya terus-menerus ditingkatkan seiring dengan usaha terus-menerus meningkatkan taraf diri, hanyalah sarana bekerja dalam usaha pemanusiawian diri, kehidupan dan masyarakat. Makin tinggi taraf tekhnis dan nilai diri, sumbangan manusiawi seorang sastrawan akan makin besar. Keketersohoran paling tidak mempunyai dua segi : ketersohoran kosong dan ketersohoran bermutu. Ketersohoran hampa agaknya lebih dekat dengan sifat gelembung sabun dan busa sungai tak obah seorang manekin memperagakan kecantikan dan ketampan wajah serta fisik di depan publik tapi sonder mimpi. Penyair-penyair sastra lisan yang kudapatkan di daerah-daerah pedalaman Kalimantan, sangat menarik perhatianku karena dari karya-karya spontan mereka kudapatkan nilai-nilai yang menyimpulkan secara puitis dan sangat komunikatif pengalaman kolektif orang sekampung. Mereka tidak berpuisi tidak dari dermaga keinginan mengejar nama. Sehingga saya bisa mengerti mengapa Luna, sebagai orang pedalaman Papua, enggan menyiarkan puisi-puisinya. Luna berpuisi secara instingtif. Tapi apakah Luna sadar bahwa dengan modal instingtif ini ia bisa mengembangkan diri sebagai penyair lebih jauh lagi? Luna mempunyai kemampuan tekhnis dan kepekaan tajam sehalus permukaan danau terhadap hembusan angin peristiwa demi peristia selembut apa pun dan tak pernah jeda. Luna mempunyai syarat untuk
[ac-i] catatan bantimurung: puisi-puisi anak setani [3]
Catatan Bantimurung: PUISI-PUISI ANAK SENTANI 3. Dari puisi-puisi Luna Vidya yang berhasil kukumpulkan, nampak padaku Luna hadir dengan memperlihatkan metafora-metafora khas dari seorang penyair yang lahir dan besar di tengah alam atau dalam masyarakat pedesaan yang belum tersentuh industiralisasi dan masih hidup dengan alat-alat produksi sederhana. Laut , sungai, gunung, hutan- belantara, sawah dan ladang menjadi teman bermain serta menjadi bagian dari kehidupan penyair yang suka menyelam [diving] ini. Misalnya pada dua sanjak di bawah ini: Bulir Padi, Bumi Sepi Seperti orang menimba bulir padi ke dalam wadah Demikian tangan waktu menimbaku Seperti orang menimba bulir padi ke dalam wadah hingga menyesak ke sudut Demikian waktu menyesakkan hadirmu ke sepi paling murni jiwaku Seperti orang menimba padi ke dalam wadah hingga menyesak ke sudut pada waktu petang Demikian bayangmu datang padaku di rembang petang silau langit tertoreh lalu jatuh hujan ke ladangku hujan akhir musim , di sepetak ragu berbatas langit yang terus kutanami meski berbuah pahit seperti bulir padi dijauhkan orang dari waktu yang kelam demikian kuikat mulut malam tempat kita kusimpan lalu menunggu diriku ditanak waktu musim demi musim bersendiri seperti bulir padi pecah jadi nasi. 2008 lunes 17 de marzo de 2008 jala koyak pada jala yang koyak mataku berurai benang waktu menjahit masa depan jadi kenangan March 2008 Atau puisi-puisi berikut: Dua Sajak untuk Dua Kawan : ami di pematang, di antara batang kelapa dan pinang burung terbang , kepiting bermain dengan bayang-bayang, biren dan remis yang di gali untuk kesenangan akhir pekan dalam kanal-kanal surut di sepanjang purnama terbentang Di antara kepak sayap, anyir tambak kubuka telapak tangan diam-diam di bawah terik matahari, lalu menutup cengkram kuat sekali di setiap magrib, berharap tanganmu ada di sana, menikmati segala ngilu dari kisah tentang masa lalu kisah pinang patah yang perih kisah inong aceh. bersama. Ah! :matsui-san kukirim puisi ke negeri musim dingin, angin hembus, di atas hijau sawah, di antara batang kelapa dan pinang Begini: aku menitip matahari aceh, yang mengeringkan punggung perempuan di sawah, punggung yang tak patah oleh rasa takut pada bayang hitam yang menyelinap di antara pepohonan kelapa dan pinang. apa kabar yang di bawa musim dingin? mungkin seperti kerja keras telah mendidihkan periuk, puisi ini cukup untuk mendidihkan sup sebelum terhidang di meja makan. kupikir, di musim seperti ini di luar salju terus jatuh, seperti buah pinang dan kelapa jatuh di pangkuan perempuan aceh yang menimangnya jadi hidup sehari, sudah cukup. miércoles 12 de marzo de 2008!penjelasan panjang untuk hi yang pendek meski tak pernah saling mengucapkan selamat jalan seperti laut dan pantai, kita akan selalu berdampingan kita akan saling melupakan 3/12/2008 martes 11 de marzo de 2008 Kapan telah memanggil belalang pelahap ke dalam kebun harap Kenapa mengundang angin panas dari tenggara Mengobarkan sengsara di antara tunas dan kelopak. Juga buah muda. Mereka pasti tak bisa membaca tanda penawaran yang kuletakkan di jalan depan: saya mencintaimu. hanya itu. March 2008 Mencapai Bulan Seperti melihat musim tumbuh di ujung pohonan Putih, hijau terang, merah, di wajah hutan Kulihat cinta tumbuh di bawah langit telanjang sulur tanpa penopang telah mencapai bulan tanpa warna. Atau hitam? March 2008 viernes 7 de marzo de 2008 Manggigil*) Batu di ombak itu, berdiri di pantai tanpa angin, memaku mata pada laut yang tak mengalun sambil mengunyah waktu dan pada lembah-lembah hari Duka memanggilnya dari pucuk kering pohonan jadi helai angin Batu ombak itu, mata bermuara tanya, Kenapa pilu riang bermain gelombang Kenapa cinta tak hendak pulang Ketika laut tak mengantar apa-apa, Juga angin tak memuat berita? Batu di ombak itu adalah bongkah duka lupa pada namanya, yang tanya di mata : Kenapa kelu? Lalu terbahak-bahak tertawa melihat kepiting bunting Berendam tenang di sekujur lukanya pantai berangin, laut mengalun batu ombak itu telah menjelma aku Cadas. Diam. Penuh binatang karang. Di kedalaman, adalah ketenangan yang ganjil. Sedih yang menggigil *Manggigil = menggigil (Maluku) March, 2008 miércoles 5 de marzo de 2008Yang Tumbuh, Aneh Sungguh Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu Di bawah palem baru melepas pelepahnya Semak berdaun semanggi menyisir embun di gerimis pagi. Selalu menyapa hari seperti ini, gerimis yang menusukan sepi Asa lepas seperti hangat tubuh pergi dalam dingin. Lalu bersendiri seperti pelepah kusambut dengan kepala tengadah, ampas perih Membuka mulut lebar-lebar menelan kecewa yang di tikamkan musim. Seperti sarapan
[ac-i] catatan bantimurung: inisiatif sastra dari makassar [1]
Catatan Bantimurung: INISIATIF SASTRA DARI MAKASSAR 1. Kegiatan bersastra di Makassar sering sering kudengar dari syohibku Halim HD, budayawan asal Banten yang bolak-balik berada dan tinggal untuk sementara waktu di ibukota propinsi Sulawesi Selatan [Sulsel] ini. Saban ketemu, Halim selalu dengan gairah berkisah tentang potensi sastra daerah dan isi kandungannya yang belum tergarap penuh. Hal ini bukan hanya terdapat Sulsel tapi juga di daerah-daerah seperti Kalimantan Timur misalnya. Tutur Halim sambil memberiku contoh-contoh kongkretnya. Apa yang dikatakan oleh Halim HD ini kusaksikan ujudnya dalam sebuah Festival sastra-seni internasional yang berlangsung di Balai Budaya Solo beberapa tahun silam. Festival ini turut dimeriahkan oleh pentas oleh grup-grup sastra-seni dari berbagai kota seperti Tegal, Pekalongan. Masih tercatat baik di ingatanku, bahwa karya-karya orisinal yang dipanggungkan secara isi, berbicara tentang kerusakan lingkungan, tentang kehidupan daerah, politik dan ekonomi. Isi ini dituangkan dalam bentuk yang artistik. Menyaksikan pergelaran oleh grup-grup dari kota-kota kecil yang pada masa remajaku bisa dikatakan tandus dari kegiatan kesenian, ingatanku segera melayang ke tuntutan Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] kepada para anggotanya. Dalam berkesenian, Lekra menuntut kepada para anggotanya agar senantiasa berpatokan pada dua tinggi: tinggi mutu ideologi dan tinggi taraf artistiknya. Meluas dan meninggi, memadukan unsur baik tradisi dengan kekinian yang revolusioner. Melalui pertunjukan di Balai Budaya Solo malam Frestival Internasional beberapa tahun silam itu, aku melihat bahwa apa yang dituntut oleh Lekra kepada para anggotanya di atas telah diterapkan oleh para seniman dari komunitas-komunitas sastra-seni daerah. Sekalipun mereka bekerja dan berkaya tanpa slogan.Ketika pulang, pikiranku masih terpancang pada apa yang kusaksikan di pertunjukkan tersebut. Pikirku, tidak salah-salah juga mengatakan bahwa sastrawan-seniman adalah anak zamannya, jurubicara zamannya, nurani bangsa dan negerinya. Di bawah tindasan yang betapa pun sengitnya, kadang harus mempertaruhkan nyawa, mereka adalah suara nurani yang tak terbungkamkan tak obah arus mengalir mencari muara dan laut. Sedangkan suara nurani bangsa dan negeri ini, sering berhadapan dengan kebijakan dan sikap penyelenggara negara. Suara nurani adalah suara keadilan, mimpi manusiawi anak manusia. Sementara kepentingan penyelenggara negara sering bertentangan dengan mimpi manusiawi sekali pun dengan pun mengatasnamai bangsa dan kemanusiaan. Karena itu sering kukatakan bahwa sastra-seni adalah republik berdaulat dan sering berhadapan dengan republik politik. Lebih lanjut, aku melihat bahwa sastrawan-seniman pada galibnya adalah manusia sadar, manusia yang berwawasan, manusia yang banyak tahu, manusua yang berpendiriandan jelas berpihak. Manusia begini oleh Pramoedya A. Toer dikatakan seniscayanya berdiri setapak lebih dahulu dari orang kebanyakan. Ia bisa berdiri setapak di depan bukan karena zenialitasnya tapi karena ia banyak tahu dan tahu lebih dahulu zamannya, demikian ujar seorang penulis dari Amerika Serikat. Dalam hal ini jadinya ada dua unsur yaitu unsur tingkat kualitas pengetahuan, wawawan , pendirian sastrawan-seniman dan kadar pengungkapan diri dlam bentuk karya. Yang terakhir ini adalah masalah keterampilan atau skill know how. Kerasukan dua kualitas inilah yang disebut oleh Lekra sebagai dua tinggi. Berangkat dari pandangan ini dan bahwa sastrawan-seniman adalah warga republik berdaulat saastra-seni maka aku sepakat bahwa proses kreatif dalam penulisan sastra memang tidak bisa dibingkai oleh batasan-batasan di luar sastra. Yang disentuh oleh inisiatif ini adalah pengorganisasian kerja kreatif tersebut, bukan karya kreatifnya sendiri. Hanya kesepakatanku ini dibatasi oleh hanya. Hanya ini bahwa sekali pun penulisan sastra memang tidak bisa dibingkai oleh batasan-batasan di luar sastra , tapi penulis tidak menutup mata pada dunia dan kehidupan dan asyik dengan diri sendiri, memandang diri sendiri dan keasyikannya sebagai gantang penakar kebenaran. Sikap yang oleh penyair Perancis Paul Eluard disebut sebagai sikap anak raja atau pangeran.Tapi benar juga bahwa sikap menutup mata ini pun hak sang penulis yang tidak bisa diganggugugat. Sementara pembaca yang berdaulat pun berhak menentukan sikap dan memberi angka pada karya-karya yang disuguhkan kepada mereka. Kalau penglihatanku benar, sejarah kelahiran sastra-seni selain memerlukan kemerdekaan dan kebebasan berpikir dan berkarya, sebagai syarat utama, para seniman karya lisan dan tertulis, juga tidak terpisah dari masyarakatnya. Karena itu mereka bisa jadi anak zaman dan nurani masyarakat zamannya. Membuang bingkai, termasuk bingkai nurani manusiawi dalam berkesenian barangkali akan menjadikan karya-karya itu mata damak beripuh yang
[ac-i] jurnal sairara: sekali pun tanpa gubernur
Jurnal Sairara: SEKALI PUN TANPA SANG GUBERNUR Alkisah pada suatu hari, seorang gubernur dari sebuah provinsi Indonesia berkunjung ke Paris setelah berada di Negeri Belanda selama beberapa hari. Entah dalam rangka apa kedatangan sang gubernur, aku pun sudah lupa. Ketika berada di Paris, ia diterima oleh pejabat-pejabat Perancis. Sejak dari Negeri Belanda dan selama berada di Paris, sang gubernur disopiri oleh Tambun, teman baikku, yang selain gemar menyopir, juga memang mendapatkan penghasilan dari menyopiri tamu-tamu dari Indonesia ketika mereka berkunjung ke Eropa. Sebagai sopir dan pemandu berpengalaman, Tambun selalu menyesuaikan penampilan diri dengan tamu-tamu yang dia antar. Kali ini, karena tahu bahwa tamu yang diantarnya adalah seorang pejabat bertingkat gubernur, maka Tambun mengenakan kostum lengkap dan formal. Berjas-berdasi. Sebelum meninggalkan rumah, ia sudah menyemir sepatu hitamnya hingga mengkilat. Menyisir rambut hingga klimis. Tidak lupa memercikkan ke tubuhnya sepercik dua minyak wangi buatan Paris. Sesuai jam yang ditentukan, Tambun membawa mobilnya ke hotel mewah di mana sang gubernur dan rombongannya menginap. Tidak berapa lama kemudian, sang gubernur bersama rombongannya keluar dari ruang makan. Menemui Tambun. Sudah siapkah?, tanya sang gubernur berbasa-basi kepada Tambun yang sama sekali mempunyai kompleks di hadapan siapa pun. Tidak ada rasa rendah diri padanya karena ia hidup sebagai seorang sopir. Pekerjaan yang ia sukai. Waktu berada di Republik Rakyat Tiongkok [RRT], sikap tanpa kompleks ini pun sangat menonjol kulihat di kalangan buruh, petani Brigade Produksi atau pun Komune Rakyat [sekarang organisasi produksi ini ditiadakan], pembersih toilet di hotel-hotel, pekerja restoran, dan lain-lain... Mereka memandang hal ini sebagai salah satu bentuk pembagian pekerjaan dalam masyarakat Tiongkok. Pejabat-pejabat negara, perusahaan, Komune, berbagai tingkat pun, tidak memandang mereka dengan sebelah mata. Di RRT pada masa aku berada di negeri ini lebih dari 7 tahun, aku baru dapatkan adanya seorang pembersih toilet hotel, tapi sekaligus menjadi anggota parlemen [Kongres Rakyat Nasional]. Ini adalah pandangan terhadap arti kerja -- salah satu nilai dominan di RRT pada waktu aku di sana sebagai pekerja yang disebut ahli pada Hsinhua News Agency dengan gaji mengalahkan gaji PM Chou Enlai. Sekali pun Tambun besar di Negeri Belanda yang kapitalis dengan dominasi nilai sistem masyarakat kapitalis, dan bukan di RRT pada zamanku di sana, Tambun sama sekali tidak mempunyai kompleks. Ia menghargai dirinya sendiri dan menghargai orang lain secara patut. Sikap begini, di Perancis negeri yang gandrung filsafat, disebut dengan istilah respecte les autres [menghargai orang lain atau menghargai sesama]. Nilai dan sikap yang ditanamkan kepada anak sejak dari Play Group. Pandangan dan sikap ini berlanjut pada pandangan bahwa Kemerdekaan individual berhenti pada saat ia menyentuh kepentingan dan kemerdekaan orang lain. Apa kita berangkat sekarang, Pak?, tanya Tambun pada sang gubernur yang heran melihat bahwa sang gubernur ke acara resmi di musim panas hanya menggunakan sandal jepit. Tanpa kostum resmi atau pun formal. Padahal ia tahu benar mata acaranya hari itu. Penampilan sesuai sikon, kukira, termasuk bentuk kongkrit respecte les autres, hal yang jika menggunakan perbandingan dalam sastra Tiongkok Kuno, sangat ketat dijaga oleh bandit-bandit Liangsan [San, berarti gunung. Liangsan berarti Bukit atau Gunung Liang]. Tambun yang tak habis keheranan melihat penampilan sang gubernur hanya bisa diam dan melakukan pekerjaannya sebagai sopir secara bertanggungjawab dan sebaik mungkin. Mobil Tambun yang membawa sang gubernur meluncur di jalan-jalan Paris yang mulus dengan kecepatan tak lebih dari 40 Km/ jam, sesuai dengan ketentuan berkendaraan di dalam kota yang mempunyai hari tanpa mobil dan daerah-hijau terus-menerus dikembang-luaskan sejak Kelompok berkembang menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan. Kejiakan ini diundangkan agar jalan raya tidak menjadi kuburan penduduk. Sampailah mobil ke kantor pejabat yang dituju. Tambun keluar lebih dahulu membuka mobil. Sang gubernur keluar dengan sandal jepitnya dengan rambut digerai angin musim panas Paris rata-rata 25°, maksimal yang jarang 30°. Apa yang terjadi pada saat itu? Pejabat Perancis yang menjadi tuan rumah sang gubernur mempersilahkan Tambun berjalan di depan. Tambun dengan kostum formalnya dikira oleh tuan rumah adalah sang gubernur. Tentu saja, Tambun menolak sambil tertawa geli tak tertahan. Berkata dalam bahasa Perancis beraksen Belanda: Bukan saya.Bukan saya, Tuan [Ce n'est pas moi. Ce n'est pas moi, Monsieur]. Sadar akan kekeliruannya, tuan rumah langsung minta maaf dan mempersilahkan sang gubernur dan sandal
[ac-i] jurnal sairara: menju sarawak [11--selesai]
Jurnal Sairara: MENUJU SARAWAK [11] Secara keinginan, aku memang ingin menyusup juah dan lebih jauh lagi, jauh hingga sampai ke pedalaman Sarawak, yang seperti sudah kukatakan di atas, telah kukenal namanya dalam lagu-lagi yang dilarang Belanda seperti Borneo Tanahairku. Aku ingin mengenal dengan baik dan rinci keadaan serta budaya semua bagian Borneo dan pulau-pulau tanah kelahiranku sehingga aku mengerti apa arti kebhinnekaan tanahair. Tidak asing di negeri sendiri , sekali pun fisik berada di tengah-tengahnya. Untuk mengenal pulau, maka Tjilik Riwut, yang kebetulan adalah pamanku, ketika melancarkan perang gerilya melawan Belanda untuk mengibarkan sang saka di Kalimantan, telah berjalan kaki ke Kalimantan Utara [Sarawak dan Sabah] guna mengenal Kalimantan secara langsung. Barangkali melalui kunjungan berkali-kali ke Utara inilah kemudian yang menjadi sangkan paran adanya orang-orang Iban, Dayak dari Sarawak, dalam Angkatan Udara Republik Indonesia [AURI]. Selama ini aku lebih banyak ke muara daripada ke hulu sungai. Lebih banyak ke laut daripada ke gunung. Sebab aku masih ingat nasehat:Melihat sekali jauh lebih baik dari pengetahuan buku. Walau pun nasehat ini kukira masih berat sebelah. Melihat adalah membandingkan. Membandingkan bacaan dengan kenyataan dan perkembangannya. Sebab bisa saja apa yang terdapat di buku, selain banyak celah-celahnya, bahkan kesalahan, juga sangat rentan akan keadaan yang tak henti berkembang. Membaca buku, laporan, dokumen, sejarah, dan sebagainya mengenai suatu daerah yang akan didatangi, kemudian kurasakan sebagai suatu hal yang sangat perlu. Apalagi jika perjalanan dianggap sebagai kesempatan belajar, membanding bersangukan soal-soal dari negeri sendiri. Sangu dialog dengan budaya lain, jika meminjam pendapat filosof Perancis Paul Ricoeur. Bacaan sebelum datang memberi kepada pengunjung sebuah peta garis besar tentang berbagai keadaan sehingga ketika tiba, kita tidak seperti rusa masuk kampung. Bacaaan sebelum tiba ke suatu tempat agaknya tak obah sejenis mercusuar bagi kapal menuju dermaga. Keinginan memperpanjang kunjungan ke Sarawak, tidak bisa kuujudkan. Acara besar tentang Dayak oleh orang Dayak di Palangka Raya segera berlangsung dan sangat ingin kuhadiri walau pun sebagai pendengar yang duduk di deretan kursi paling belakang. Aku pun segera mencari tiket bus untuk kembali ke Pontianak. Sudah penuh, Pak , ujar pejual tiket. Besok, lusa, esoknya dan esoknya lagi sudah penuh semua, lanjutnya. Aku hanya bisa terdiam. Berpikir mencari jalan keluar yang lain. Aku tidak mau menunggu dan tidak pula mau tergantung pada jalan tunggal. Akhirnya aku mendapat tiket pesawat Malaysia Air Service [MAS] ke Pontianak. Sopir taksi yang mengantarku ke bandara adalah Kuching asal etnik Tionghoa. Agaknya ia baru menjemput anak lelakinya lepas sekolah. Kami berbicara bahasa Tionghoa dan Inggris. Anaknya memanggil aku dengan panggilan uncle. Kami berbicara hulu-hilir termasuk keadaan keluarga sopir itu sendiri seakan kami sudah lama berkenalan. Sopir dan anaknya mengantarku hingga ke pintu check-in bandara. Sebelum melanjutkan langkah, kucium pipi anak sopir itu yang menjawabku dengan suara bocahnya: Cai cien Xuxu. Goodbye Uncle. Sebelum masuk pesawat MAS, aku mondar-mandir dari toko ke toko. Yang sangat menarik perhatianku bahwa toko-toko di bandara ini dimeriahi oleh barang-barang suvenir Dayak dan dijaga oleh orang-orang Dayak. Aku tidak tahu, apakah modalnya juga modal orang Dayak. Tapi mengingat posisi orang Dayak di Sarawak yang cukup berpengaruh, termasuk di dunia politik, hal demikian kukira bukanlah tidak mungkin dan bukan mustahil. Jika benar dugaanku, maka kenyataan ini membantah anggapan bahwa orang Dayak itu tidak mampu berwiraswasta. Yang menjadi pertanyaan dalam hatiku: Apakah benar manusia Dayak Sarawak sudah bisa keluar dari kungkungan anak alam yang manja pada periode betang [long house] dan hutan tropis pulau belum ganas dibabat? Eksploatasi hutan tropis secara ganas dan buas telah menggoncangkan jiwa putera-puteri alam yang tadinya ramah memanjakan. Olehnya kehidupan menjadi garang dan ganas pula dan tidak sedikit anak alam yang kehilangan dirinya. Bandara sebagai pintu gerbang memasuki Sarawak. Adanya dominasi Dayak di bandara seakan-akan mau mengatakan bahwa Dayak merupakan salah satu identitas Sarawak. Sebagai kenang-kenangan, aku membeli patung enggang [hornbill] dari kayu. Hal ini tidak kudapatkan di Sepinggan, Balikpapan. Tidak juga di Supadio, Pontianak, bahkan juga tidak di bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Kuching seperti halnya Yogyakarta, melalui bandara sudah menyambut para tamu dengan berkata: Inilah aku. Inilah identitasku. Baru selesai secangkir kecil kopi yang dihidangkan oleh pramugari-pramugari Melayu pesawat MAS yang penuh penumpang,
[ac-i] jurnal sairara: sekali lagi kasus bersihar lubis
Jurnal Sairara: SEKALI LAGI TENTANG KASUS BERSIHAR LUBIS Kasus Bersihar Lubis, menarik perhatianku dan kucoba ikuti dengan sesaksama bisa. Hal ini bukan saja didorong oleh rasa solidaritas dari seorang yang mencintai jurnalisme dan sastra-seni kepada seorang jurnalis dan penulis, tapi juga tulisan yang dipermasalahkan oleh Pengadilan Negeri, sejarahnya berkaitan dengan laporanku ke Majalah Medium, Jakarta yang waktu itu dipimpin oleh Bersihar. Waktu bekerja di Indonesia, aku merasakan langsung bagaimana rasanya dilarang bicara di depan publik, dilarang memberikan makalah, dilarang menulis. Aku merasakan sakitnya hak berbicara mengungkapkan pendapat diberangus, walau pun aku tidak sempat diseret ke depan Pengadilan seperti syohibku Bersihar. Bulan lalu, Besihar Lubis divonis satu bulan penjara di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, dan dipersalahkan karena dianggap menghina instansi kejaksaan. Bersihar dijerat dengan pasal penghinaan itu akibat tulisannya di kolom Pendapat di Koran Tempo. Hal seperti Kasus Bersihar ini pun pernah terjadi pada zaman Abdurahman Saleh memimpin kejaksaan. Ketika itu kejaksaan tersinggung ketika disebut kampung maling. Kasus Bersihar akhirnya sampai ke forum Rapat Komisi Hukum DPR. Di depan forum ini Jaksa Agung Hendarman Supandji mengakui perlunya evaluasi dalam kasus Bersihar Lubis. Saya kira perlu (evaluasi), apakah pers bisa dipersalahkan dalam setiap tulisannya, katanya di depan rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR, Rabu malam (5/3). Pernyataan Hendarman itu keluar menanggapi ungkapan keprihatinan seorang anggota Komisi Hukum, Benny K Harman, terhadap kasus yang menimpa seorang jurnalis yang dihukum karena mengekspresikan pendapatnya. Aku sendiri memandang pernyata Hendarman di atas sangat tidak seksama dalam menggunakan kata-kata dan merangkaikannya jadi kalimat. Pertanyaan Hendarman [] apakah pers bisa dipersalahkan dalam setiap tulisannya adalah sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak mengena. Jika memang demikian yang dimaksudkan oleh Hendarman, maka dalam benak Hendarman, paling tidak tadinya pers harus diberangus. Mengapa? Alasanku: jika semua tulisan maka pers cetak akan keluar sebagai lembaran kertas kosong saja. Paling-paling yang tersisa adalah nama koran atau majalah. Sangat mengheran bahwa seorang pejabat tinggi yudikatif bisa menggunakan kata-kata dan kalimat yang tidak cermat padahal di dunia hukum setiap kata mempunyai makna dan dampak. Di Perancis, untuk menjadi ahli hukum, hal yang dituntut benar dari para kandidat adalah penguasaan bahasa Perancis. Oleh ketidakcermatan menggunakan kata ini pula maka Parlemen Perancis di masa Presiden Chirac, sempat geger dan para anggota Parlemdomnien dari Partai Sosialis [PS] dan golongan kiri lainnya meninggalkan sidang karena PM Dominique Villepine mengatakan kritik sekretaris jendral PS, François Holland sebagai indigne [tidak bermartabat]. Villepine akhirnya secara terbuka menyampaikan maaf dan menarik kata-katanya. Yang menarik juga adalah kejadian bahwa Parlemen Perancis pernah meminta keterangan seorang hakim mengenai keputusannnya yang dianggap keliru.Sehingga nampak pada waktu hakim diadili oleh Parlemen. Acara ini disiarkan melalui seluruh terusan tivi dan radio. Tentu saja hal begini belum mungkin terjadi di Indonesia. Bahwa hakim dan kejaksaaan pun dikontrol ketat oleh lembaga eksektif dan pers. Hal ini nampak dari Kasus Bersihar. Dalam tulisan di kolom opini Bersihar tidak mengajukan pendapatnya, tapi melaporkan pendapat orang. Kongkretnya pendapat Joesoef Isak dari Hasta Mitra di Hari Sastra Indonesia November 2004 di Paris. Sungguh membahayakan kehidupan pers di negeri ini jika membuat laporan seadanya saja dilarang. Kataevaluasi yang digunakan Jaksa Agung Hendarman Supanji, jauh lebih persis daripada apakah spers bisa dipersalahkan dalam setiap tulisannya. Aku membedakan kata evaluasi dengan re-evaluasi. Andaikan aku seorang anggota DPR, aku akan kejar pernyataan Hendarman ini. Tentu saja penggunaan kata evaluasi dan bukan re-evaluasi ini digunakan oleh Hendarman dengan menghitung keadaan intern Kejagung. Sebab jika menggunakan kata re-evaluasi maka ia secara tegas menyatakan keputusan Pengadilan Negeri Depok sebagai salah. Semangat korps agaknya ia perhitungkan sekali pun mempertaruhkan citra Pengadilan Negeri. Mempertaruhkan rasa keadilan dan nilai-nilai republiken. Bayangkan saja bagaimana wajah dan citra Pengadilan Negeri jika keadilan dan kebenaran diadili sebagai bersalah. Menurut Benny, tindakan yang dilakukan kejaksaan terhadap Bersihar Lubis adalah sebuah kemunduran di era kebebasan aspirasi. Kejaksaan tidak toleran dengan kritik sosial, katanya. Lagi pula itu hanya opini. Toleran adalah sikap berlapang dada, membuka telinga dan mata terhadap kritik. Memberi tempat pada kebenaran orang lain. Dari praktek selama ini
[ac-i] catatan bantimurung: di balik air terjun bantimurung
Catatan Bantimurung : DI BALIK AIR TERJUN BANTIMURUNG Memandang air terjun Bantimurung aku jadi teringat akan Kahar Muzakar. Ia adalah sahabat seperjuangan Tjilik Riwut, pamanku sama-sama di Lasykar Anak Seberang waktu perjuangan melawan kolonialisme Belanda, selama di Yogyakarta. Sebagai anggota Lasykar Anak Seberang ini jugalah Tjilik Riwut atas perintah Presiden Soekarno, Jendral Soedirman dan Suryadarma, memimpin pasukan payung pertama AURI untuk didrop di Kalimantan dengan tugas mengibarkan merah putih di pulau raya ini. Anggota-anggotanya terdiri dari berbagai etnik [Dituturkan ulang oleh puteri Tjilik Riwut, Nila Suseno Riwut, berdasarkan dokumen-dokumen ayahnya yang tersimpan]. Mengapa kenanganku mencapai Kahar Muzakar ketika melihat air terjun Bantimurung? Yang sampai ke telingaku ketika masih kanak di Katingan, dan Tjilik Riwut masih menjadi Bupati Kotawaringin Timur berkedudukan di Sampit, diceritakan bahwa Kahar membangun tempat persembunyiannya dalam memimpin pemberontakan terhadap Jakarta, di balik airterjun begini. Entah benar atau tidak, sulit kudapatkan bukti-buktinya. Tapi sebagai seorang militer yang menggadaikan nyawa dalam perjuangan memerdekakan Indonesia dan mendirikan Republik, walau pun tidak berpendidikan Akademi Militer seperti Breda atau West Point, pengalaman, kukira, membuat Kahar sangat mengerti bagaimana melindungi diri, dan tidak gampang dideteksi dan disasar lawan. Tahu memilih medan membangun bastion dan daerah operasi. Kahar kecewa terhadap kebijakan pemerintah Republik Indonesia[RI], terutama kebijakan Hatta yang memasukkan orang-orang KNIL ke dalam TNI.KNIL yang justru merupakan alat kolonial menindas perjuangan memerdekaan Indonesia dan mendirikan RI dengan dalih profesionalisme. Kahar hanyalah anggota lasykar tapi dengan mempertaruhkan nyawa menegakkan dan membela RI. Kekewaan besar inilah yang membuatnya masuk hutan melakukan perlawanan terhadap RI dan memproklamirkan Negara Islam Indonesia [NII]. Aku masih ragu, apakah pencantuman Islam pada NII, memang merupakan suatu kesadaran pada Kahar ataukah suatu taktik? Yang jelas dengan peneraan kata Indonesia, aku melihat kecintaan dan kesadaran Kahar pada dan terhadap Indonesia masih sangat kental. Pemberontakan Kahar, hanya memperlihatkan padaku bahwa sumber masalah dan konflik di daerah sesungguhnya terdapat di Jakarta, bukan di daerah. Apa yang terjadi di daerah hanyalah jawaban daerah terhadap politik dan kebijakanJakarta yang menabur ketidakadilan di daerah. Yang menabur angin akan menuai badai, ujar ungkapan Tiongkok Kuno.Menepuk air di dulang, tepercik ke muka sendiri, ujar tetua kita. Dari sumber yang dekat, kudengar bahwa Kahar pernah mengirim utusan untuk menemui Tjilik Riwut di Kalteng melancarkan pemberontakan juga, sekaligus bersolider pada perlawanannya. Tjilik Riwut menolak dan Kahar marah serta kecewa, lalu mengirim pasukan menyerang Pagatan, sebuah kota kecil terletak di muara Sungai Katingan. Dalam serangan dari laut ini, dua orang polisi Pagatan meninggal. Penolakan Tjilik Riwut, dan juga pemberontakan Kahar, jika kurenungi, kedua-duanya bertolak dari kecintaan pada Republik dan Indonesia. Penolakan dan pemberontakan adalah cara berbeda mencapai tujuan: terujudnya nilai-nilai republiken dan keindonesiaan di wilayah negra RI -- pilihan nama yang bukan kebetulan, tanpa arti. Soekarno yang nampaknya memahami kemarahan Kahar mencoba mencari jalan keluar. Untuk itu dikirimkanlah seorang perempuan pejuang yang juga pernah aktif dalam perang gerilya menghalau Belanda, asal Sulawesi Selatan, kebetulan anggota PKI, untuk menjumpai Kahar di hutan.Keduanya saling kenal baik sejak masa perlawanan. Berhasil. Aku mengetahui cerita ini dari Clara , puteri perempuan ini, waktu kami berjumpa di Beijing, Republik Rakyat Tiongkok. Selanjutnya, aku tidak atau belum tahu tenang hasil pertemuan dua sahabat lama ini. Hanya tak lama setelah itu, media massa menyiarkan bahwa Kahar tertembak mati dalam suatu operasi militer. Hanya saja, ketika aku bekerja di Palangka Raya, kudengar bahwa sebenarnya Kahar tidak meninggal. Ia masih hidup. Kematian adalah cara kompromi dan saling menyelamatkan muka untuk menyelesaikan sengketa. Kukira, anak Kahar yang masih hidup sampai sekarang, mungkin di Jawa, seperti yang kudengar di Jakarta, akan bisa bercerita tentang keadaan sesungguhnya. Hanya aku memahami bahwa berita sebenarnya Kahar tidak terbunuh dan bahkan pada waktu itu masih hidup, membuat Kahar menjadi legendaris. Kalau benar, Kahar waktu itu tidak terbunuh, maka ia menjadi martir imajiner, dan martir menjadi martir karena nilai yang dibelanya dan dipegangnya sebagai panji saat melakukan pemberontakan. Nilai keadilan inilah yang tidak mati dan martir menjadi suatu kekuatan tak terbunuh. Sebagaimana halnya dengan Soekarno setelah jadi martir menyusul naik panggungnya Orba.
[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [10]
Jurnal Sairara: MENUJU SARAWAK [10] Dari kedai-kedai Kuching yang kumasuki, dan dari jalan-jalan kota yang kutelusuri jalan kaki, aku melihat, entah sadar atau tidak, adanya keunikan yang dikembangkan oleh Sarawak. Di kedai di mana aku duduk sambil menghirup secangkir kopi seusai makan sambil meluruskan kaki yang lelah, aku melihat orang-orang asal etnik Melayu, Tionghoa , Dayak dan Tamil sedang duduk sambil merokok dan bercakap-cakap santai. Terkadang kudengar gelak-bahak yang lepas. Mereka kelihatan akrab bersahabat. Kurasakan ada suatu keindahan. Keindahan perdamaian dan kerukunan. Keindahan keragaman. Ia menarik perhatianku saat teringat akan konflik etnik yang sering meletus di Indonesia. Konflik yang pernah kualami langsung di tahun 2000 sehingga rumah kontrakku di Palangka Raya menjadi tempat mengungsi mahasiswa-mahasiswa yang asramanya dihancurkan. Tadi dalam perjalanan pulang-pergi dari Museum, aku membaca spanduk-spanduk menyambut Pesta Naik Dangau orang Dayak. Menurut orang-orang Dayak yang bekerja di hotel, Pesta ini juga dirayakan juga dirayakan juga oleh mereka yang non Dayak seperti warga Sarawak as Melayu, Tionghoa dan Tamil. Paling tidak mereka turut menikmati hari Pesta panen padi ini, jelas pegawai-pegawai hotel sudah merasa akrab dengan diriku. Sedangkan dari pihak pemerintah Sarawak, Pesta Naik Dangau dijadikan sebagai salah satu hari raya nasional setara dengan Idulfitri dan Tahun Batu Imlek. Tiga etnik ini memang tiga etnik utama di Sarawak sedangkan etnik Tamil merupakan etnik minoritas. Luput dari pertaanyaanku, apakah hari rayat utama orang Tamil diperlakukan serupa dengan hari raya utama ketiga etnik besar di atas. Tapi paling tidak, pemerintah Sarawak nampaknya menterapkan politik etnik kesetaraan terhadap etnik-etnik yang ada di Sarawak. Politik etnik kesetaraan ini kembali kusaksikan ketika mengunjung tugu pahlawan yang tertelak di sebuah bidang tanah cukup luas. Rapi dan terawat baik. Tugu ini terdiri dari beberapa permukaan dan pada masing-masing permukaan ditatah wajah, nama dan riwayat singkat pada pahlawan. Yang sangat menarik perhatianku bahwa pahlawan-pahlawan Sarawak berasal dari berbagai etnik, terutama tiga etnik utama di negara bagian Malaysia Timur ini: Dayak, Melayu dan Tionghoa. Kepada anak Dayak yang mengantar, kutanyakan mengapa tidak semua permukaan di isi dan dibiarkan kosong? Bidang-bidang kosong itu dicadangkan untuk pahlawan-pahlawan baru kelak, ujar anak Dayak Kuching yang dengan sukarela menemaniku. Membaca keterangan singkat di Tugu Pahlawan ini, kuketahui bahwa mereka yang ditatah nama dan wajahnya di Tugu terutama mereka gigih melawan penjajahan Inggris. Rincian kisahnya, terutama yang asal etnik Dayak bisa dilihat di Museum. Termasuk perahu yang mereka gunakan dalam perlawanan. Terkesan padaku, bahwa peneraan nama dan wajah di Tugu dilakukan dengan sangat ketat. Tidak asal-asalan, seperti halnya dengan Pantheon, makam putera-puteri terbaik Perancis yang terletak di pusat kota, tak jauh dari Universitas Sorbonne. Di Pantheon sebagai makam putera-puteri terbaik, tidak terdapat orangorang yang tangannya berlumuran darah rakyatnya sendiri.ada putera-puteri terbaik Perancis. Ironi dan nilai pahlawan dan bukan pahlawan jika pembunuh rakyat negerinya sendiri disebut sebagai pahlawan dan putera-puteri terbaik. Ketegasan Perancis pada nilai republiken ini juga nampak pada masih dikejar dan dibawa ke depan pengadilan, tokoh-tokoh yang kapitalusasi dan berdarah tangannya semasa penduduk fasis Jerman. Papon adalah salah satu contoh. Dan Jacques Chirac ketika menjadi presiden Prancis pada mandat pertama, secara terbuka mengatakan PemerintahVichy yang berkolaborasi dengan Nazi Jerman pada masa Perang Dunia, bukanlah Republik Perancis. Semangat mempertahankan nilai kepahlawanan ini jugalah yang terkesan padaku dipertahankan oleh penyelenggara kekuasaan politik di Sarawak pada Tugu Pahlawan. Kalau pengkhinat, pembunuh dan pahlawan dicampuradukkan, maka warga negara negeri itu akan rancu tentang mana pahlawan dan bukan pahlawan, mana yang agung dan tidak agung, mana benar dan tidak benar. Tugu Pahlawan Sarawak memperlihatkan juga padaku bahwa kepahlawan dan pahlawan tidak bersentuhan dengan asal etnik. Sarawak adalah negara bagian yang majemuk. Kemajemukan yang tunggal dan semua warga negara, sama di depan hukum Sarawak. Kemajemukan ini kembali nampak ke hadapanku, ketika aku duduk di sebuah rumah angin di tengah-tengah sebuah lapangan rindang oleh dedaunan. Beberapa ratus meter dari rumah angin tempatku beristirahat , berdiri sebuah bangunan seperti sebuah kuil khas Tiongkok. Di tempat rindang ini juga terdapat sisa-sisa bangunan berornamen Dayak. Terkesan padaku, bahwa Kuching seakan sebuah kota bertandakan budaya Dayak dan Tionghoa. Tak ada yang mengganggu dengan keragaman begini. Justru kurasakan
[ac-i] catatan bantimurung: masihkah besok ada kupu-kupu?
Catatan Bantimurung : MASIHKAH BESOK ADA KUPU-KUPU? Puas dengan kegiatan hobbinya potret-memotret, Ken Prita segera mencari dan mencium pipi puterinya. Maaf ya Rara. Mama tinggalkan lama . Aku kan sama Papahku, Mah. Kami juga asyik deh. Melihat aku membungkuk, Rara seperti biasa tiba-tiba menerkam punggungku sambil ngekek. Dengan kedua tangannya yang kecil memeluk leherku. Dan tak mau turun-turun lagi dari punggungku. Rara tidak bisa melihat ayahnya jongkok. Ia pasti menggunakan kesempatan itu untuk digendong. Ayo, Pah berdiri!. Ken Prita melihat ulah puterinya yang manja dengan geleng-geleng. Papahmu kan capek, nak. Biarin. Ini kan Papahku sendiri. Hanya Papahku seorang, sambil berkata demikian, Rara mencium pipiku gemas. Terkadang bahkan mencubitku. Jawaban ini adalah jawaban standar Rara pada siapa saja yang berkomentar melihat kemanjaannya pada sang ayah. Sambil berjalan menuju jurusan air terjun untuk mendapatkan kesegaran air di tengah terik, Ken Prita bercerita apa yang baru terjadi ketika ia sedang motret-motret. Aku didekati oleh seorang lelaki penangkap kupu-kupu. Ia menanyai Mama, apakah Mama mau kupu-kupu langka? Rara yang berada di punggungku menoleh ke ibunya dengan rasa ingin tahu lebih jauh. Terus gimana,Mah tanya Rara. Aku tanya kupu-kupu langka itu? Kupu-kupu yang sangat sangat jarang, Bu, jawab penangkap kupu-kupu itu. Berapa lama untuk mendapatkan kupu-kupu langka? Paling tidak seminggu lah. Lama sekali. Tentu saja. Namanya saja barang langka. Berapa harganya kira-kira? Barang langka mana ada yang murah, Bu. Apalagi aku kan juga hidup dari kupu-kupu. Kupu-kupu menghidupi aku dan keluargaku. Berapa kupu-kupu langka yang akan Bapak tawarkan? Lha, ibu mau berapa? Tentu waktunya pun jadi bukan seminggu. Bapak tawarkan berapa seekor kupu-kupu langka? Barang langka ya harganya langka juga. Berapa? Ibu benar mau? Kan tanya dulu? Dua juta seekor. Mahal amat ya Pak. Begitu memang barang langka itu, Bu Lalu Mamah bilang apa pada penangkap kupu-kupu itu? tanya Rara dari punggungku. Pah, aku turun Pah. Papah capek kan?lanjut Rara. Aku jongkok membiarkan Rara turun dari punggungku. Pegel ya nak Tapi aku kan gak capek. Papah yang capek. Biarin, kan Papahku sendiri. Rara berjalan sambil memegang tanganku. Terus,apakah Mamah jadi pesan kupu-kupu langka itu?, tanya Rara pada ibunya. Darimana Mamah punya uang sebanyak itu? Dan pula untuk apa buang duit untuk seekor kupu-kupu, betapa pun langkanya? Kita kan bukan orang kaya , Nak. Mamah kan hanya ingin tahu saja. Ada apa yang lain di bawah ada di bawah sayap ribuan kupu-kupu Bantimurung. Ingin tahu berapa lama keindahan Bantimurung ini bertahan?. Bayangkan aku pernah dapat info bahwa untuk siaran iklannya, sebuah tivi swasta memerlukan seribu kupu-kupu Bantimurung. Satu iklan seribu kupu-kupu. Ditambah dengan adanya barisan penangkap kupu-kupu yang berpatokan pada uang dan karena memang hidup dari kupu-kupu, lanjut Ken Prita bercerita kepada anaknya. Kalau begitu, kupu-kupu Bantimurung ini akan habis dong, Mah? Sayang sekali. Padahal aku suka sekali kupu-kupu dan Bantimurung yang sekarang, ujar Rara polos. Pah, kira-kira besok, masihkah akan ada kupu-kupu di Bantimurung, tanya menanyaiku sambil minta digendong lagi dengan alasan lelah berjalan kaki. Entahlah, Nak. Hutan Kalimantan dekat kampung Papah saja sudah gundul jadi padang pasir. Papah kan pernah ajak Anak melihatnya, jawabku sambil membayangkan nasib hutan Hampalit -- sebuah tambang emas terbuka di Katingan. Ya, ya , aku masih ingat, Pah. Aku masih kecil sekali waktu itu. Sekarang aku kan sudah besar. Aku ingat , Pah, ujar Rara dari punggungku sambil mencium pipiku yang basah keringat. Ihhh, pipi Papah asin ihh, katanya lagi sambil mengusap bibirnya. Ngekek . Geli sendiri. Aku hanya diam membiarkan anakku girang di punggungku menikmati masa kanaknya yang hanya sekali sepanjang hidup. Masa yang tak akan pernah bisa terulang kecuali melekat di kenang. Hijau tandusnya, riap rimbunnya masa kanak anak adalah tanggungjawab orangtua. Jika kurang disadari, maka masa kanak itu akan seperti hutan Hampalit yang menjelma padang pasir putih hingga cakrawala di mana kepahitan berkeliaran garang dan liar. Di padang pasir putih ini tak lagi kudengar suara enggang dan suara kijang berlari seperti dahulu. Bantimurung! Besok masihkah kau punya kupu-kupu?*** Paris, Akhir Musim Dingin 2008 -- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris. - Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel
[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [7]
Jurnal Sairara: MENUJU SARAWAK [7] Menjadi diri sendiri, tidak mungkin terujud tanpa sejarah dan akar budaya. Dayak, Indonesia adalah salah satu akar dari pohon raksasa budaya dunia, walau pun bukan akar tunggang tapi sekadar akar serabut. Tapi sekali pun sebatas akar serabut, mempertahankan akar ini akan membuat kita bisa berdialog dengan budaya dunia sebagai diri kita sebagaimana adanya diri kita sebagaimana dikatakan oleh Paul Ricoeur. Melalui dialog budaya beginilah dramaturg Perancis A.Arthaud mendapat rangsangan ilham dari teater Bali, dan Picasso mendapat inspirasi dari lukisan dan patung-patung primitifPapua yang dipamerkan di Paris. Dari sini kemudian Picasso mengembangkan lukisan-lukisan abstraksionisnya. Yang menyedihkan, justru kemarin [27 Februari 2008] aku membaca berita Tempo Interaktif bahwa di sungai kelahiranku demi mengembangkan perkebunan kelapa sawit, enam rumah betang [long house] dan dua sandong [kuburan kolektif para leluhur] telah dirusak oleh para pengusaha kelapa sawit dengan alasan bahwa lahan perkebunan i tu adalah lahan miliknya. Kukira kejadian ini merupakan tragedi budaya, penghinaan terhadap masyarakat Dayak Katingan [Oloh Katingan] --sampai-sampai kuburan leluhur pun dirusak . Sebagai orang Dayak, aku hanya merasa kurang paham, mengapa kesewenang-wenangan begini bisa luput dari penglihatan Agustin Teras Narang sebagai Gubernur yang berslogan pembangunan Kalteng. Apakah pembangunan Kalteng bisa membenarkan penghancuran betang -- khazanah budaya Dayak dan kuburan leluhur sesama Dayak karena uang sebagai raja membenarkan segala tindak dan kebijakan? Mau diapakan dan dibawa kemana Kalteng dan khususnya masyarakat Dayak dengan pembangunan model Teras Narang ini? Aku menagih tanggungjawab dan keterangan Teras secara terbuka terutama sebagai gubernur dan juga sebagai pemuka dari Musyawarah Masyarakat Dayak. Agustin Teras Narang layak ditagih keterangan dan tanggungjawabnya sebagai orang pertama propinsi yang mengulangi praktek Orba antara lain melalui yang disebut Proyek Sejuta Hektar atas nama kemandirian di bidang pangan tapi berakhir dengan perusakan lingkungan dan budaya Dayak. Bandingkan, dalam konteks melestarikan dan merawat budaya lokal, khususnya budaya Dayak, Museum Dayak Sarawak, jauh lebih aktif dibandingkan dengan istansi yang bertanggungjawab dalam soal kebudayaan di propinsi mana pun di Kalimantan Indonesia. Agustin Teras Narang justru membiarkan perusakan khazanah budaya dan merusak kuburan leluhur sesama orang Dayak demi program perkebunan kelapa sawitnya. BisakahTeras membayangkan jika kuburan nenekmoyangnya sendiri dihancurkan? Inikah yang disebutnya sebagai kehebatan , istilah yang ia gunakan ketika menerimaku, yang khusus datang ke Kalteng dari Kaltim atas panggilannya, pada September 2005 di Kantor Gubernur Palangka Raya untuk membanggakan bahwa ia pemilik S1 Hukum? Teras dan para penasehatnya masih punya waktu untuk mengkoreksi kebijakan yang melecehkan masyarakat dan merusak budaya lokal jika perusakan enam betang dan dua sandong ini dianggap salah. Waktu aku di Kalteng dan di Kalbar, aku melihat benar, bagaimana Museum Dayak Kuching, Sarawak--barangkali Museum Dayak terbesar dan terbaik di dunia -- aktif memburu khazanah budaya Dayak di berbagai tempat , termasuk kawasan Dayak Indonesia. Jika mereka mendengar di suatu tempat terdapat penemuan arkeologis, mereka segera mengirim orang ke tempat tersebut untuk melindungi temuan tersebut. Sayangnya, sikap begini belum terdapat di daerah lain, terutama kawan Dayak Indonesia. Yang terjadi, demi kepentingan sehari-hari, orang tak segan menjual apa pun yang merupakan khazanah penting budaya lokal. Museum Dayak di Kuching agaknya mendapat dukungan dari kalangan akademisi dan universitas. Sehingga adanya pertemuan antar universitas se Borneo dan Kalimantan di Kuching beberapa tahu lalu, kukira merupakan satu kegiatan bermakna dalam konteks ini. Prakarsa begini, paling tidak selama aku bekerja di Kalimantan Tengah, prakarsa-prakarsa inovatif dan strategis begini, belum pernah kudapatkan pada universitas-universitas di Kalteng, Kaltim,Kalbar dan Kalsel. Boleh jadi sumber informasiku yang kurang hingga aku tidak mengetahuinya. Padahal informasi, yang bukan untuk informasi, adalah kekuatan bagi orang yang bertindak. Busku melaju menuju Kuching. Matahari ada di tengah langit. Dalam perjalanan menuju perhentian bus kota, berbagai bayangan dan berita kembali mengusik benakku. Antara lain trafik penjualan perempuan Indonesia, penggeseran tonggak perbatasan yang dilakukan oleh Malaysia, soal TKI/TKW, sampai kepada penyaluran hasil illegal logging hutan Kalimantan Indonesia. Masih ingat bukan hilangnya dua pulau Indonesia dan sekarang jadi wilayah Malaysia? Berita-berita menyakitkan ini menyertaiku dalam perjalanan bus ke Kuching. Seakan-akan memperlihatkan Indonesia dewasa ini tidak lain
[ac-i] jurnal sairara: vonis terhadap bersihar lubis
Jurnal Sairara: VONIS TERHADAP BERSIHAR LUBIS Pasa 20 Pebruari 2008 14:22 Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok menjatuhkan vonis hukuman satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan bagi Bersihar Lubis, mantan wartawan TEMPO, Jakarta. Bersihar dijatuhi vonis demikian lantaran tulisannya dianggap menghina Kejaksaan Agung. Menurut laporan Media [20 Februari 2008], Teriakan cemoohan langsung terlontar dari puluhan wartawan dalam ruang sidang. Bahkan tim pengacara Bersihar langsung interupsi usai dakwaan. Mereka menilai vonis satu bulan penjara yang dijatuhkan terhadap Bersihar adalah bentuk otoriter penguasa terhadap kebebasan berpendapat. Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa delapan bulan penjara, tulis wartawan Media. Sementara wakil dari Koran Tempo, Bambang Harimurti menandaskan vonis ini akan makin mendorong para jurnalis untuk menuntut penghapusan pasal 207 KUHP tentang Penghinaan Terhadap Institusi. Bersihar dihukum karena menghina Kejagung melalui tulisan opininya di Koran Tempo edisi 17 Maret 2007 berjudul Kisah Interogator yang Dungu. Tulisan ini adalah tanggapan Bersihar terkait pelarangan beredarnya novel Pramoedya Ananta Toer serta buku sejarah sekolah menengah pertama dan atas. Bersihar, yang merasa kecewa dengan putusan tersebut berniat untuk melakukan banding. Saya merasa kecewa dengan putusan hakim. Bersama kuasa hukum secepatnya setelah menerima salinan putusan maka akan mengajukan banding, kata Bersihar, usai sidang di PN Depok, Rabu (20/2). Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa delapan bulan penjara karena melanggar pasal 207 KUHP. Bersihar menjelaskan, kata `dungu` itu bukan sepenuhnya berasal dari dirinya langsung melainkan kutipan dari Joesoef Isak. Tujuan tulisan itu adalah sebagai kritik atas masalah sejarah terkait pelarangan beredarnya novel Pramoedya Ananta Toer serta buku sejarah SMP dan SMU. Tidak ada saksi dan alat bukti yang telah membuktikan kata dungu itu ditujukan kepada Kejaksaan Agung, jelasnya. Ketua Majelis Hakim PN Depok, Suwidya mengatakan, Bersihar secara sah dan meyakinkan telah menghina institusi Kejaksaan Agung melalui tulisan opininya di Koran Tempo Edisi 17 Maret 2007 berjudul Kisah Interogator yang Dungu. Suwidya berharap, dengan putusan tersebut pada masa yang akan datang pendapat dari masyarakat dapat disalurkan secara bermartabat dan elegan, sehingga tidak menyalahi aturan hukum. Kuasa hukum Bersihar dari LBH Pers, Hendrayana, mengatakan bahwa putusan tersebut sangat ambigu dan merobek-robek rasa keadilan, serta membawa dampak terhadap kebebasan pers. Seharusnya tulisan opini dibalas dengan opini tidak dengan hukuman bagi seorang penulisnya, jelasnya. Putusan tersebut, menurut Hendrayana, merupakan kriminalisasi pers. Tulisan opini Bersihar pada dasarnya merupakan kritikan bukan menghina institusi negara. Hendrayana mengatakan, pihaknya bakal melakukan judicial review terhadap pasal 207 KUHP yang sudah tidak tepat lagi diterapkan bagi kasus-kasus serupa yang akan datang. Demikian laporan Majalah Gatra, Jakarta yang terbit minggu ini. Dari laporan di atas ada beberapa masalah yang menarik perhatianku yaitu keteguhan Bersihar, solidaritas orang seprofesi, sikap pemegang kekuasaan [Dalam hal ini kekuasaan yudikatif], sikap terhadap kritik, kemampuan berbahasa. 1. Bersihar Terus Bertarung: Sekali pun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok telah menjatuhkan hukuman penjara 1 bulan dengan masa percobaan tiga bulan, Bersihar dengan kepala tegak memprotes hal yang dikatakan oleh kuasa hukum Bersihar dari LBH Pers, Hendrayana, sebagai putusan tersebut sangat ambigu dan merobek-robek rasa keadilan, serta membawa dampak terhadap kebebasan pers karena Seharusnya tulisan opini dibalas dengan opini tidak dengan hukuman bagi seorang penulisnya, Bersihar bukan hanya tidak menyerah tapi akan meneruskan pertarungan dengan naik banding . Kasus Bersihar, kiranya berintikan masalah keadilan dan kebebasan berpendapat. Kebebasan melaporkan peristiwa, jika kita sepakat bahwa masalah mendapatkan informasi merupakan hak bagi semua orang. Untuk melanjutkan pertarungan membela keadilan, hak berpendapat dan memberi informasi serta menolak kriminalisasi pers, Bersihar segera ingin melakukan naik banding. Semangat bertarung menggunakan jalur hukum ini, kukira, punya arti sendiri untuk sebuah negara yang menyebut diri sebagai Republik dan Indonesia. Apalgi di tengah kekerasan masih dijadikan jalan pintas menyelesaikan konflik. Orang Baduy sebelum Republik Indonesia berdiri saja sudah punya tradisi sederhana tapi mendasar: Dilarang untuk melarang. Semangat bertarung yang ditunjukkan oleh Bersihar adalah sejajar dengan tradisi leluhur berbagai etnik di tanahair, sesuai pula dengan hukum primer bahwa di mana ada penindasan maka di situ akan ada
[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [2]
Jurnal Sairara: MENUJU SARAWAK [2] Smoothly and lightly the golden seed by the furrow is cover'd; Yet will a deeper one, friend, cover thy bones at the last. Joyously plough'd and sow'd! Here food all living is budding, E'en from the side of the tomb Hope will not vanish away. [Goethe. To The Husbandman, 1789]. Dengan latar belakang keadaan seperti di atas, apalagi setelah berjumpa dan berbincang dengan teman-teman sesama Dayak dari Sabah dan Sarawak mengenai persoalan-persoalan masing-masing, maka aku menetapkan, sesudah berkeliling Kalteng , harus menuju Sarawak. Lebih-lebih di Kuching terdapat Museum Dayak terbesar dan perpustakaan tentang Dayak yang cukup penting. Sementara Museum Dayak di Palangkaraya sama sekali tidak bisa dibilang membanggakan selain megahnya gedung dan luasnya halaman, untuk tidak mengatakannya terlalu miskin dan tidak padan untuk mengenal Kalteng, khususnya Dayak Kalteng. Pengunjungnya pun lebih sepi daripada yang datang ke Perpustakaan Daerah dan perpustakaan beberapa universitas. Museum dan perpustakaan belum nampak dirasakan sebagai suatu keperluan yang niscaya. Apakah keadaan begini bukannya mencerminkan sekaligus tingkat taraf pendidikan di suatu daerah atau nasion? Jika Martin Luther King Jr. berkata: I have a dream, aku pun sebenarnya mempunyai mimpi tentang Dayak dan Indonesia. Mimpi yang bertolak dari hutang moral dan cinta pada kampung-halaman karena ia telah mengasuhku dengan cinta pula, cinta yang seperti dikatakan oleh Goethe: E'en from the side of the tomb Hope will not vanish away. Dari rahim cinta begini pulalah maka lahir mimpiku yang bernama keinginan melihat Manusia Dayak Dan Manusia Indonesia Bermutu Dan Tanggap Zaman. Manusia yang berdiri di kampung halaman memandang tanahair merangkul bumi. Museum dan perpustakaan yang sepi, pendidikan yang sebenarnya hak warganegara diperdagangkan, diam-diam kurasakan bagai sebilah badek tajam beripuh menohok ulu hati seorang pemimpi yang dikutuk menempuh jalan selalu sepi. Cinta seperti yang dilukiskan oleh Goethe di atas, membuatku juga selalu menating tanya di tiap jengkal benua yang kusinggahi: Apa yang bisa kudapatkan dari sini untukmu kampung-halaman. Bukan untuk menyontek tapi sebagai acuan, karena menyontek lebih menunjukkan ketiadaan kreativitas dan dayapikir. Ketiadamampuan membaca keadaan dan menjawabnya secara tanggap. Ketiadamampuan yang serupa jalan lurus menuju lembah terjal kejatuhan. Dari perjalanan ini, sekarang kusadari benar bahwa sesungguhnya perjalananku, perjalanan tanya, tidak punya ujung, hanya punya awal. Aku melihat bahwa perjalanan ini yang oleh orang Dayak Katingan disebut sebagai tamuei, tamuei si Kayau Pulang, salah seorang tokoh dalam legenda Dayak, sebenarnya tidak lain dari sebuah ruang sekolah besar untuk memahami pengalaman putera-puteri bumi demi memanusiawikan diri sesuai misi hidup-mati rengan tingang nyanak jata[anak enggang putera-puteri naga]. Aku tidak menyesali langit dan bumi ketika ternyata kemudian aku dikutuk sejarah Indonesia, menjadi seseorang yang tidak lebih dari hanyalah seorang pengembara, bila menggunakan renungan Ramadhan KH alm. Pengembaraan, kemudian kusadari sebagai bagian saja dari guratan telapak tangan Utus Panarung sebagaimana hidup tak terpisahkan dari suka dan duka, dari tangis dan tawa yang jika pandai menanganinya, akan mengeraskan tulang serta merarakan darah. Kukira inilah makna Sairara. Selalu berwarna rara bernama harapan yang tak obah bagai matahari . Ada. Nyata. Tapi tak teraih tangan di kurun waktu nafas tersedia. Wahai, absurditas! Absurditas pun merupakan bagian tak terpisahkan, kadang nampak sangat akrab dengan kenyataan yang kita hidupi. Mimpi. Berapakah jarak mimpi dari abusditas, tapi absurditas yang tidak bisa tidak dimiliki untuk menjadi kandil di bukit ketika melangkah di kegelapan. Aku melihat keadaan di dunia pendidikan, kebudayaan dan bidang-bidang lain, termasuk kebingungan manusia Dayak kekinian, hanyalah merupakan hasil dari pilihan politik penyelenggara Republik Indonesia. Karena itu, waktu berada di tengah konflik etnik tahun 2000 di Kalteng, yang memakan korban nyawa dan hartabenda tidak kecil, aku mengusulkan sebagai solusi transisi , perlu adanya kekuasaan paralel, yaitu kesejajaran antara kekuasaan Masyarakat Adat dan kekuasaan republik yang sering ngaco dan tak berdaya. Sebelum RI berdiri, masayrakat lokal, cq. Kalteng, mampu mengurus diri mereka dengan baik, menggunakan sistem dan nilai-nilai yang mereka punya . Sementara pilihan politik dan penerapannya oleh penyelenggara negara yang mengelola RI sejak 1966 telah mencoba menghancurkan secara total nilai-nilai dan sistem ini. Cukup berhasil tetapi tidak total. Secara kebudayaan berbarengan dengan eksploatasi liar [savage exploitation, l'exploitation sauvage] sumber daya alam
[ac-i] jurnal sairara: menuju sarawak [1]
Jurnal Sairara: MENUJU SARAWAK [1] Tahun 1999, aku berkeliling ke berbagai tempat, hingga jauh ke pedalaman, Propinsi Kalimantan Tengah [Kalteng]. Perjalanan sederhana. Jalan darat yang dilalui, selain banyak lobang-lobang besar, juga berlumpur hingga lutut. Mobil kijang baru yang kutumpangi oleh keganasan jalan darat begini, jadi remuk dan tak berdaya. Oleh keadaan ini, sering perjalanan dilanjutkan dengan speed boat. Jalan darat dan speed boat merupakan hal baru di Kalteng. Aku menghibur diri seperti orang Jawa dengan mengatakan masih untung. Hahaha. Kuharap Jawa-Jawa tak akan marah dengan meminjam filsafat untung mereka. Pada masa kecilku di Katingan dahoeloe, penduduk bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan perahu kecil bikinan sendiri yang disebut oleh orang Dayak Katingan disebut jukung . Atau jalan kaki. Penduduk sungai yang tergantung pada sungai, mempunyai ketrampilan membuat jukung dari batang-batang pohon besar. Bukan hanya itu, mereka pun mampu membuat kapal ukuran sampai 100 ton. Untuk menggerakkan kapal bikinan sendiri ini mereka hanya perlu membeli mesin. Bertolak dari keadaan ini maka Tjilik Riwut, ketika menjadi Gubernur Kalteng pertama, mempunyai ide untuk mendirikan sekolah perkapalan di Sampit. Mimpi yang tak kesampaian sampai sekarang. Bersama makin melenyapnya burung enggang dari hutan-hutan Kalteng, ketrampilan membuat perahu dan kapal ini makin melenyap juga. Dalam legenda, memang manusia Dayak datang ke pulau raya Kalimantan ini dengan menggunakan perahu yang disebut Banama Tingang [Perahu Enggang]. Miniaturnya sampai sekarang banyak dijual di toko-toko kerajinan tangan di kota dan bandara. Hanya pemilik tokonya bukanlah orang Dayak tapi Banjar. Pedagang-pedagang Banjar ini membeli barang-barang kerajinan tangan Dayak dengan harga murah dari para pengrajin, umumnya perempuan, yang terdapat di kampung-kampung. Orang Dayak,yang biasa dimanjakan alam, sementara alam mereka sekarang sudah rusak tak kepalang, agaknya masih tertinggal dalam menghargai kemampuan mereka sendiri. Bisanya hanya mengeluh. Usai memasuki beberapa hulu sungai, aku memutuskan untuk kemudian pergi ke Pontianak, Kalimantan Barat [Kalbar] untuk selanjutnya ke Kuching , Sarawak. Sarawak juga Sabah menarik perhatianku sejak lama. Bahkan sejak bocah, ketika aku dengan telanjang badan menerjuni ombak sungai Katingan saat berkabut atau pun terang sambil mengacungkan kepala kecilku ke langit mengatakan bahwa aku anak sungai, aku anak alam diasuh ombak dan langit segala warna. Aku adalah anak enggang dan putera naga -- penguasa dunia atas dan dunia bawah. Pada masa bocah ini seperti anak-anak Dayak lainnya, aku belajar dan hapal benar lagu Bonero Tanahairku, Tanah Nusa Pusakaku. Di lagu ini tanpa kecuali, kota -kota besar dan kecil hingga kampung-kampung bersejarah disebutkan dengan teliti. Melalui lagu inilah aku mengenal nama kota Kuching, Sandakan dan Kota Kinabalu, yang mengembangkan mimpi kanakku bahwa suatu hari aku harus melihat dengan mata kepala sendiri tempat-tempat tersebut. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa pencipta lagu yang amat populer di masa bocahku itu. Sama populernya dengan lagu Kalimantan Tanahairku, lagu-lagu yang kemudian dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Aku hanya bisa menduga-duga, mungkin yang menciptakan lagu-lagu itu adalah salah seorang dari organisasi perjuangan masyarakat Dayak bernama Pakat Dayak [Kesepakatan Dayak], organisasi yang kemudian ditindas oleh Belanda, tapi kemudian bangun kembali. Ditumapas, bangun kembali. Dilarang dibangun kembali dan sekarang mengambil bentuk Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah [LMMD-DKT]. Pakat Dayak sejak lama, sejak zaman kolonial Belanda, Pakat Dayak atas nama masyarakat Dayak menuntut adanya propinsi sendiri, dan Belanda terpaksa mengakui tuntutan ini, dan memberikan wilayah tersebut sebagai Dayak Besar, termasuk Kalimantan Selatan. Pemberontakan bersenjata untuk mendirikan propinsi Kalteng pada 1956 di bawah Gerakan Mandau Talawang Panca Sila, kukira merupakan kelanjutan saja dari ide Pakat Dayak. Dengan berkata begini sebagai ilustrasi, barangkali di sini bisa dilihat arti pentingnya penulisan sejarah lokal dan sejarah etnik-etnik untuk menyempurnakan penulisan sejarah Indonesia yang lebih representatif, tidak hanya terpusat pada sejarah raja-raja feodal Jawa . Jawa yang hanya merupakan salah satu bagian saja dari Indonesia. Kalau berbicara tentang Republik Indonesia, kiranya, niscaya penulisan sejarah mempertimbangkan jasa-jasa dan sumbangan berbalut darah semua etnik dalam menegakkan dan membela Republik Indonesia. Apakah arti pemberontakan bersenjata masyarakat Dayak terhadap Republik Indonesia Soekarno pada 1956 ini? Jika kucamkan ulang, aku sampai pada hipotesa bahwa masyarakat Dayak menolak penindasan NKRI sentralistik. Intinya:mereka ingin
[ac-i] jurnal sairara: langkah pertama
Jurnal Sairara: LANGKAH PERTAMA Dalam pepatah-petitih tetua kita di berbagai pulau, sering kudapatkan adanya pikiran-pikiran yang sangat nalar, logis dan dialektis. Misalnya menepuk air di dulang memercik ke muka sendiri, tangan mencencang bahu memikul. Sedangkan pada kata-kata wolak-waliké zaman , selain adanya ciri seperti di atas, bahkan kulihat adanya suatu konsep sejarah yang selalu mengalir pantha rei seperti pernah diungkapkan oleh Heraclitus, pemikir Yunani Kuno, atau l'histoire est toujours contemporaine [sejarah senantiasa aktual], jika menggunakan istilah Benedetto Groce, sehingga mémoiré pun bercorak demikian , ujar Marek Halter, budayawan dan romansier Israel. Pada kata-kata Marek Halter ini, aku malah mendapatkan pandangan Grup sejarawan Annales, Paris yang menunjukkan adanya hubungan antara masa silam, hari ini dan esok. Masa silam mempengaruhi hari ini dan selanjutnya hari ini berdampak pada bangunan esok. Generasi yang menyepelekan masa silam bisa dikatakan sebagai angkatan kehilangan sejarah. Pemutihan masa silam juga, sesuai dengan nalar ini bisa disebut pelenyapan kesadaran suatu angkatan. Kalau keliru maka Benedetto Groce melakukan kekeliruan dengan mengatakan bahwa l'histoire est toujours contemporaine. Menyimak pikiran-pikiran yang terdapat di pepatah-petitih, pada pantun, gurindam, seloka dan lain-lain genre sastra lokal termasuk sansana dan legenda-legenda rakyat dalam masyarakat Dayak, sebagai contoh, terkesan padaku, selain merupakan bentuk penyimpulan pengalaman hidup generasi terdahulu, juga merupakan salah satu sarana penyampaian nilai kepada generasi berikut. Dengan demikian, agaknya sastra-seni, termasuk legenda, sastra lisan, merupakan lumbung nilai suatu angkatan di suatu kurun waktu. Dan nilai-nilai ini dituangkan dalam bentuk artistik. Oleh adanya nilai-nilai dalam sastra-seni, maka apakah terlalu salah penglihatanku bahwa sastra-seni sebagai salah-satu lumbung nilai kolektif , juga merupakan benteng bertahan dan pangkalan pengembangan diri baik sebagai individu mau pun sebagai suatu kolektif komunitas, terutama dalam soal identitas, makna hidup-mati, ukuran baik-buruk, adil dan tidak adil. Aku mau kembali mengambil contoh yang terdapat dalam sejarah Dayak Kalteng. Khususnya Katingan. Untuk menaklukkan daerah ini, mula-mula kolonialis Belanda mengirimkan 7 pendeta ke pedalaman untuk meng Kristen-kan orang Dayak. Entah bagaimana ceritanya, beberapa orang dari pendeta yang dikirim ini mati dipancung kepalanya. Kemudian Belanda menyebarkan opini bahwa orang Dayak itu adalah lambang segala keburukan dan kejahatan. Disebut dayakers. Kebudayaannya, termasuk sastra-seninya, dinamakan sebagai ragi usang tanpa guna dan harus dibuang. Agresi kebudayaan ini dihadapi oleh orang Dayak dengan berhimpun di sekitar nilai-nilai budaya Kaharingan sehingga agresi ini , sekali pun berdampak, tapi secara kebudayaan, tidak memusnahkan manusia Dayak pada waktu itu. Melihat kurang mempannya agresi kebudayaan ini, maka agresi dikembangkan di bidang politik dan militer. Berdasarkan cerita lisan yang dituturkan almarhum kakekku saban subuh, perlawanan Dayak terhadap agresi militer Belanda ini menyulut Perang Kasitu dengan korban tidak kecil. Dilukiskan oleh kakek alm. bahwa untuk memetik buah kelapa, kita tak perlu memanjat pohonnya, tapi cukup dengan berdiri di atas timbunan bangkai korban perang yang terdiri dari orang-orang berambut jagung, bermata biru, berkulit macam-macam. Cerita ini tentu saja tidak akurat sebagai sumber sejarah ilmiah. Tapi seperti dikatakan oleh seorang sejarawan Afrika Selatan, legenda bisa mengantar kita ke masalah yang lebih dalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika demikian, barangkali di sinilah arti penting registrasi dan riset sejarah lokal yang dilakukan dengan tekun oleh Institut Dayakologi Pontianak, Kalimantan Barat. Kemudian dijadikan muatan lokal pendidikan di propinsi tersebut. Mengenal sejarah lokal akan menyempurnakan penulisan sejarah Indonesia, mendesentralisasi penulisan sejarah, membantu kita mengenal akar guna berdialog dengan pulau-pulau lain dan dunia. Dari sejarah Dayak, aku melihat bahwa agresi kebudayaan, melikwidasi nilai-nilai lokal yang hidup, menanamkan nilai-nilai baru hingga menjadi nilai dominan dalam kebudayaan, termasuk sastra-seni, agaknya merupakan langkah pertama guna mendominasi dan menguasai jiwa suatu bangsa atau etnik. Ketika jiwa bangsa itu sudah ditaklukkan, maka pada saat itu bangsa tersebut sudah dikuasai secara halus dan seperti kerbau dicocok hidungnya menjadi tenaga murah bagi si penakluk. Ketika itu juga, kemerdekaan tidak lebih dari kain sutera halus kemilau, pembungkus pencaplokan dan penindasan serta penggadaian negeri. Dibalik sutra pembungkus ini terdapat darah dan airmata serta jiwa-jiwa mati, jika menggunakan istilah Nikolai Gogol. Pencaplokan budaya dan pendominasian nilai,
[ac-i] kronik dokumentasi wida: renungan bachtiar siagian [5-selesai]
Kronik Dokumentasi Wida: Renungan Bachtiar Siagian [5] * VII Yang dianggap baik oleh yang buruk adalah keburukan itu sendiri. Jika yang buruk menilaimu buruk, itu pertanda kau baik. Tetapi ingatlah: jika yang buruk itu menilaimu baik, itu pertanda kau buruk. Nusa Kambangan 1973. VIII Penjara adalah ruang tersempit untuk pertanyaan-pertanyaan tentang orang lain.Namun ia ruang terluas bagi segala pertanyaan tentang dirimu sendiri. Nusa Kambangan 1973. IX Setiap orang tentu pernah menyangkal orang lain atau pun dirinya sendiri. Menyangkal orang lain untuk suatu maksud yang baik adalah sukar. Tetapi penyangkal diri sendiri untuk maksud yang sama adalah lebih sukar. Nusa Kambangan , 1974. X Jika kau pada suatu ketika bersengketa dengan dirilmu sendiri atau pun berdamai dengan Aku-mu yang selalu menuntut banyak, itulah pertanda kau hidup. Tanpa itu sebenarnya kau tak ada. Nusa Kambangan, 1974. XI Besok itu selalu besok. Apa yang datang kepadamu dalam arus waktu dan ruang tertentu sesungguhnya bukanlah lagi sesuatu seperti yang kau bayangkan dan harapkan pada apa yang kau sebut besok itu. Yang datang adalah ke-kinian yang pasti telah berobah dari apa yang kemaren kau sebut besok. Besok itu adalah ke-akanan dan keakanan adalah pertanyaan-pertanyaan, ke-tak-pastian. Ke-kinian adalah pergumulan antara gerak hidup yang digerakkan dan menggerakkan. Kelampauan adalah jawaban-jawaban, kesimpulan-kesimpulan. Pada ketiganya jay selalu terlibat dan melibatkan dirimu. XII Oleh karena hidup dilandasi kenisbian, pastilah terdapat keganjilan pada suatu kegenapan. Terimalah keduanya dengan hati lapang, karena kau sendiripun adalah pernyataan kegenapan dan keganjilan itu. Nusa Kambangan, 1974. Catatan: * . Bachtiar Siagian adalah sineas terkemuka pada zamannya. Karena menjadi anggota Lekra, pemimpi manusiawi, tanpa diadili, ia bertahun-tahun dibuang oleh Orde Baru Soeharto di pulau pembuangan :Nusa Kambangan di mana ia menulis puisi-puisi dan renungan ini. Renungan dari penjara seorang sineas. Dengan ini, aku pulangkan tulisan Bachtiar Siagian ini kepada keluarganya. Terutama kepada Bunga Siagian. Aku merasa lega sudah mencoba memelihara tulisan Bachtiar Siagian ini, tulisan yang dikirimkan kepadaku pada masa puncak jayanya Orba Soeharto, kemudian dengan ini memulangkannya kepada keluarganya. Aku tahu, masih banyak lagi tulisan Bachtiar Siagian yang tersimpan dan belum diketahui umum. Nasib tulisan yang paralel dengan nasib penulisnya yang dipinggirkan di negerinya sendiri atas nama Republik dan Indonesia. Tapi kupastikan kepada Bunga, puteri gagah Bachtiar , bahwa ayahnya bukan penjahat, ia seniman filem pencinta negeri dan kemanusiaan dengan mentari dan bulan mimpi yang tak redup. Tak ada yang memalukan punya ayah seperti Bachtiar Siagian. Sebaliknya: boleh bangga karena ia setia mimpi! Paris, Musim Dingin 2008 --- JJ.Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris. - Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.
[ac-i] kronik dokumentasi wida: renungan bachtiar siagian [4]
Kronik Dokumentasi Wida: RENUNGAN BACHTIAR SIAGIAN [4] * V Apa yang kita alami sekarang, yang manis mau pun yang getir, pada suatu saat akan menjelma sesuatu yang kita sebut kenangan. Pada saat kenangan itu muncul, kita telah terlibat pada gerak pengalaman yang lain. Hal-hal baru yang sedang kita alami banyak mempengaruhi sikap dan perasaan kita terhadap kenangan itu. Ada orang yang pernah makan kelabang, gendon, ular, cecak, tikus, karena sangat kelaparan di penjara. Ketika beberapa tahun kemudian ia dibebaskan dan bisa hidup seperti orang biasa, ia tersenyum bangga bila terkenang pada pengalamannya yang getir itu. Ia senang menceritakan pengalamannya itu kepada siapa saja. Sebaliknya, ada orang lain yang pernah mengalami hidup mewah dan punya kekuasaan, tetapi dengan kekuasaannya itu ia berbuat sewenang-wenang; merampas hak orang, menghukum prang tanpa diadili, memfitnah, membunuh orang. Ketika pada suatu saat keadaan berobah dan dia tak punya kekuasaan serta hidup seperti orang biasa, kenangan tentang perbuatannya yang lampau itu menjadi siksaan baginya. Mereka yang ingin kekangannya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan bisa dibanggakan adalah meeeka yang dalam gerak ke-kiniannya kapan dan di mana pun, selalu sadar akan hukum gerak perobahan dan perkembangan yang tak kunjung henti, selalu bersikap rendah hati dan besar hati. Rendah hati dalam mengalami hal-hal yang menyenangkan da besar hati dalam mengalami kesulitan dan penderitaan. Nusa Kambangan, 1973 VI. Jika pada suatu saat kita melihat sesuatu dan menanggapnya sebagai kenyataan, ingatlah bahwa pada sesuatu yang kita anggap sebagai kenyataan itu, ada kenyataan lain yang belum atau tak dapat kita lihat. Karena hidup ini nisbi, pasti tak akan pernah ada kenyataan yang mutlak. Jika kita terlalu terpengaruh pada apa yang kita lihat dan kita anggap sebagai kenyataan, mungkin kita tidak akan pernah melihat kenyataan yang lain yang ada dalam sesuatu yang kita anggap kenyataan itu. Orang yang arif dan sadar akan kenisbian hidup ini tidak pernah melihat suatu kenyataan sebagai satu-satunya kenyataan. Hakim yang adil juga tidak akan pernah hanya mendengar tuduhan jaksa, tetapi juga mendengar keterangan si tertuduh, mendengar saksi-saksi dan meneliti bukti-bukti. Hanya melalui cara itu ia dapat melihat kenyataan yang diperlukannya untuk bisa bertindak adil. Seorang Sineas atau pelukis yang kreatif juga tidak akan pernah menganggap suatu kenyataan yang dilihatnya sebagai kenyataan mutlak. Ia berusaha melihat kenyataan itu dari berbagai sudut, dari berbagai jarak untuk menemukan kenyataan lain yang lebih hakiki, lebih indah. Nusa Kambangan 1973. Catatan: Bachtiar Siagian seorang sineas terkemuka pada zamannya, karena ia anggota Lekra maka ditangkap dan dibuang ke Nusa Kambangan oleh Orde Baru Soeharto. - Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel
[ac-i] berani dan pandai melawan serta memberontak
Surat Dari Montmartre: BERANI DAN PANDAI MELAWAN SERTA MEMBERONTAK [Tanggapan sederhana atas artikel A.Kohar Ibrahim: Berontak Dapat Dibenarkan]. Aku masih ingat betapa alm. Pramoedya A Toer dalam pembicaraannya dengan anggota-anggota Partai Rakyat Demokratis [PRD] sangat menekankan masalah keberanian melawan dan memberontak. Sedangkan Wiji Thukul terkenal dengan ucapannya: hanya ada satu kata: lawan! Semangat dan pandangan ini barangkali merupakan cerminan semangat zaman pada saat budaya takut hasil pendekatan keamanan dan stabilitas nasional yang diterapkan oleh Orde Baru menjadi pola pikir dan mentalitas serta sikap dominan dalam masyarakat Indonesia. Orang-orang tiarap dan mencari selamat sendiri, tak enggan menjual teman. Orang-orang hanya bisa mengatakan iya sedangkan kata tidak dipandang sebagai subversif yang dibayangi oleh hukuman berat bernilai nyawa dan kepala. Dalam keadaan begini chou fan you li, memberontak itu beralasan dan benar. Demikian Mao Zedong mengatakan kepada rakyat Tiongkok di bawah kuasa Chiang Kaishek Kuo Min Tang, yang menciptakan suasana di mana anjing berpesta ria dengan bangkai manusia bertaburan pada musim dingin yang garang. Apa yang dikatakan oleh Mao, Pram dan Wiji Thukul , boleh jadi merupakan rumusan keadaan pada suatu periode sejarah belaka. Dengan anjuran dan kalimat puisinya, Pram dan Thukul oleh kedekatannya pada kehidupan nyata, bahkan merasakan sendiri secara langsung beratnya tekanan dan dampak budaya takut yang menghantui bangsa, melihat melawan, memberontak merupakan jalan keluar alternatif untuk hidup bermartabat dan bukan menjadi bangkai santapan anjing musim dingin seperti di Tiongkok zaman Chiang Kaishek yang kemudian terdesak oleh perlawanan, lalu lari ke Taiwan. Oleh semangat ide ini, Pram terbakar sendiri dengan frustasinya yang berujung dengan ajal, sedangkan Thukul membayar kata-katanya dengan nyawa. Dari anjuran dan bait Thukul di atas, aku juga melihat bahwa mereka bisa membaca keadaan, dan merumuskannya sehingga mereka boleh dikatakan bisa menjurubicarai zamannya. Sebagai sastrawan, kukira sudah memadai. Mereka bisa berbuat demikian bukan karena luar biasa zenial, tapi karena kenal kehidupan. Dekat dengan kehidupan dan tidak melihat kehidupan dari menara gading, tapi langsung menghayati kehidupan itu sendiri. Kedekatan dan penghayatan atas kehidupan inilah yang membuat mereka mampu merumuskan semangat zamannya dan tahu keadaan. Kedekatan pada kehidupan, membuat mereka lebih dahulu tahu dari orang lain sehingga mereka bisa menawarkan sesuatu kepada masyarakatnya dan melihat melawan, berani merupakan jalan keluar keluar. Hanya saja tawaran berwawasan akan ditentukan lagi oleh kadar pengusul. Bisa terjadi pengusul hanya bisa menyampaikan lukisan keadaan tapi tak bisa menawarkan hal yang lebih jauh lagi dan bagaimana mewujudkannya. Apabila kita berbicara dengan banyak aktivis pada saat itu, semangat hanya ada satu kata: lawan!memang merupakan sikap umum di hadapan tindasan sebagai hasil logis pendekatan keamanan dan stabilitas nasional, desa mengambang, tidak bersih lingkungan, terpengaruh, dan sebagainya yang diterapkan oleh Orba sebagai pilihan politik guna mengendalikan masyarakat dan terus berkuasa. Pokoknya Orba harus tumbang dan dilawan. Demikian aku memahami anjuran berani dari Pram, dan hanya ada satu kata: lawan! dari Wiji Thukul. Bagaimana melawan dan apa bagaimana sesudahnya, tidak menjadi urgen. Pada saat itu, dalam keadaan represif demikian, melawan dan memberontak merupakan keniscayaan alami. Ia dibangkitkan oleh politik pemerintah Orba itu sendiri. Ia adalah hasil dan dihasilkan oleh keadaan obyektif itu sendiri. Jadi bukan masalah dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan. Siapa yang mengesahkan dan layak membenarkan dan tidak membenarkan suatu pemberontakan? Apa haknya membenarkan dan tidak membenarkan? Siapa yang memberi hak padanya? Namanya saja pemberontakan dan perlawanan seperti asap bermuasal dari api. Dalam sejarah kita melihat adanya pemberontakan Komune Paris abad ke-18. Karl Marx sendiri melihat bahwa pemberontakan akan berakhir dengan kekalahan. Kukira perlawanan dan pemberontakan adalah akibat alami dari suatu keadaan obyektif. Chou fan yu li, tidak berarti dapat dibenarkan tapi menceriminkan konflik kepentingan sudah tak terdamaikan. Yang ingin kukatakan dengan ini terutama agar menterjemahkan kata-kata chou fan yu li barangkali perlu cermat dan dihitung dari berbagai segi. Aku sendiri sering melihat bahwa sastra-seni itu pada dasarnya merupakan republik berdaulat di mana para pemberontak dan panarung bernama sastrawan-seniman. membangun benteng mereka. Bagaimana melawan, dan apa alternatif sesudah yang dilawan tumbang tidak masuk hitungan rinci. Jika penglihatanku ini benar, maka tingkat perlawanan pada waktu itu tidak lebih dari
[ac-i] puisi-puisi bachtiar siagian [9]
Kronik Dokumentasi Wida: PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [9] PUASA Sekali musim hujan tiba Merah senja mengantar puasa aku terlentang di gubuk telanjang pasrah kekurangan darah Mungkinkah ini puncak derita pada pergumulan menjelang tua Apakah ia wajah bahagia Yang diselimuti kabut duka? Permisan, awal puasa 1975 LEBARAN Lebaran datang lagi Sekali ini di hujan pagi di tanah berlumpur diucapkan sukur Segala yang dicinta jauh semua tetapi sahabat bertambah dekat Teringat sahabat di lebaran ini Itulah nikmat yang semakin pekat P. Lensran 1975. Dengan ini maka puisi-puisi yang ditulis oleh Bachtiar Siagian di Pulau Pembuangan Nusa Kambangan, pekerja filem terkemuka pada zamannya, anggota Lekra, yang ada padaku dan dikirimkan pada puncak kuasa Orba sudah kusiarkan seluruhnya. Dalam serie berikutnya, akan kusiarkan renungan Bachtiar Siakunya yang direkamnya di bawah judul Mencari Dalam Sepi. Bersama ini pula aku mengharapkan bantuan para pembaca dengan rasa terimakasih sebesar-besarnya , sekiranya mengetahui, di mana bisa melihat ulang karya-karya filem Bachtiar Siagian seperti Turang, Piso Surit, dan lain-lain. Yang jelas karya-karya Bachtiar Siagian tidak terdapat di Pusat Dokumentasi Usmar Ismail. Barangkali IKJ memilikinya. Paris, Musim Dingin 2008. --- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris.
[ac-i] Puisi-puisi Bachtiar Siagian [7]
Kronik Dokumentasi Wida: PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [7] YANG TERSISA Sekali aku tiba di persimpangan yang ada hanya diri sendiri Matahari membekas di kering rumput dan daun membusuk dibelaian embun Di kejauhan tak berjarak ini yang terasa hanya kehampaan desah hati yang luluh pada segala yang runtuh Yang kini masih tersisa Adalah tawa berbalut tanya tentang makna segala cita di hati manusia Permisan, Mei 1974. BIARLAH Mungkinkah hidup ini sejumlah pertanyaan yang tercecer di perjalanan dan pada suatu persimpangan kita menunggu jawaban Ah, persetan biarlah berlalu pertanyaan yang dulu Permisan, Mei 1974.
[ac-i] renungan sairara: tentang puisi
Renungan Sairara: TENTANG PUISI Suatu hari seorang teman menanyaiku: Mengapa sejak akhir tahun lalu kau lama tak menulis puisi?. Seperti biasa, ia segera kuingatkan bahwa pada dasarnya aku hanyalah pencinta sastra-seni. Dan terkadang aku menggunakan puisi untuk mengungkapkan diri. Sebagaimana dikatakan Rendra kepadaku saat aku berkunjung menggunakan sepeda bututku, dan waktu itu ia tinggal dalam keadaan sangat kekurangan di Gampingan, Yogyakarta, bersama Mbak Soenarti Soewandi: Mengungkapkan diri merupakan keperluan dasar bagi anak manusia. Pembungkaman hak dasar ini sangat kurasakan sakitnya ketika berada di Palangka Raya yang notabene adalah kampung kelahiranku. Waktu itu aku dilarang berbicara di depan publik, dilarang menulis, dilarang memberi makalah. Hanya boleh bicara di depan mahasiswa di universitas di mana aku mengajar. Mendengar keadaanku demikian, ketika berkunjung ke Palangka Raya, Mas Willy, Mbak Ken Zuraida , istrinya, dan Dorothea Rosa Herliany, dan aku sudah harus hingkang meninggalkan kampung, menjadi sangat marah. Tapi penyair hanya mempunyai punya kata. Dengan kata ia menghadapi dan menarungi kehidupan. Kata ini pun pernah kurasakan telah dibungkam. Kata sering membuat penyair dibunuh. Bahkan pada suatu ketika aku membaca puisiku berjudul Bukit Batu di mana kulukiskan kuasa uang menaklukkan dewa-dewi dan melecehkan pahlawan, perwira-perwira polisi dan tentara yang hadir melayangkan ke arahku sorot mata tajam bagai mengancam. Mereka tak bisa berbuat apa-apa karena Kepala Dinas Pariwisata Propinsi yang kebetulan seorang perempuan, berkata : Aku yang memintanya tampil membaca puisi di malam puisi ini. Ia sesepuh para penulis propinsi ini. Dalam hati aku tertawa geli, dan bangga betapa seorang perempuan Jawa berani tampil gagah. Aku berikan embel-embel kata perempuan Jawa karena di Jawa feodal, seorang perempuan tidak lebih dari konco wingking, bunga hiasan rumah tangga, ke sorga nunut ke neraka katut. Perempuan di masyafrakat Jawa feodal tidak lebih dari perempuan pada tingkat seks pertama. Beda dengan posisi perempuan Dayak zaman dahoeloe. Oleh pernyataan perempuan Jawa yang kebetulan berkuasa ini, di ruangan aku melihat berlangsungnya suatu tragedi komik. Dan aku ngakak dalam hati tapi keluar hanya berujud senyum terkendali. Pada pernyataan perempuan Jawa ini, aku juga menyaksikan kata dan kekuasaan berpadu, aku melihat kata mempunyai daya paksa. Senyum pun bisa jadi suatu bahasa, terkadang lebih tajam dari mata damak, anak sumpitan. Senyum bisa jadi bahasa puitis. Sedangkan maki-maki, kekasaran dan kebrutalan sering menjadi selemah kemarahan tak terkendali. Maki-maki bukan tanda kekuatan, tapi kelemahan , ujar Lu Sin, pengarang Tiongkok tahun 1930an. Karena itu membuat orang marah dan maki-maki sering dijadikan suatu taktik dalam debat dan polemik. Dengan marah dan maki-maki, si pembicara jadi kehilangan kendali diri sehingga menelanjangi diri sendiri bulat-bulat. Kemarahan dan dendam sering membuat orang hilang nalar walau pun dendam dan kemarahan itu punya dasar alasan kuat apalagi jika dendam dan kemarahan itu punya latar belakang berdarah. Tapi pernahkah kemarahan dan dendam menyelesaikan masalah? Dalam konteks ini aku melihat Yesus sebagai tokoh pejuang dan pemikir besar berprinsip abadi walau pun mati di salib, filsafat kasih/cintanya kekal dan menggugah. Pandangan dan konsekwensinya membela filsafat cinta tidak terbunuh di salib. Aku sendiri masih tak usai-usai mempelajari filsafat cinta pejuang dan pemikir besar manusiawi anak manusia yang di Tuhankan ini. Tapi yang jelas padaku dunia dan kehidupan kita tidak berkelebihan dengan cinta. Aku sering merenung, apakah puisi tidak seniscayanya menempuh jalan cinta agung Yesus ini jika kita ingin memfungsikan puisi dan sastra bagi kehidupan dan mencintai kehidupan? Cinta/kasih adalah inti suatu filsafat atau ide, sedangkan bentuk adalah cara penuangan ide. Berkutat pada bentuk berindah-indah, barangkali memandang puisi secara pincang. Puisi, barangkali adalah paduan rasuk antara isi ide dan cara pengungkapan ide. Rasuk artinya, jika kita menggunakan bentuk sastra, maka unsur-unsur dasar sastra perlu diperhitungkan. Tanpa menghitung unsur-unsur dasar sastra, cq. puisi maka ada bahaya yang ditulis berada di tingkat sastra-sastraan, puisi-puisian. Tidak semua yang dikira puisi adalah puisi. Untuk lepas dari keadaan begini, barangkali keselesaian pikiran dan penguasaan tekhnis penulisan menjadi suatu tuntutan. Pertanyaan lain: Apakah semua perkara bisa rasuk dituangkan dalam bentuk puisi? Terhadap pertanyaan ini, aku cenderung mengatakan: Tidak! Ada yang cocok ditulis dalam bentuk novel, roman dan esai atau studi. Puisi memerlukan cara pengungkapan tersendiri yang berbeda dengan cara penuangan genre sastra yang lain. Tanpa mengindahkan faktor ini kita akan berhadapan dengan puisi puisi-puisian yang sangat
[ac-i] renungan sairara: seratus novel selaksa cerita
Renungan Sairara: SERATUS NOVEL SELAKSA CERITA Penulis akan mati sebagai penulis ketika ia tak mampu dan berhenti menulis. Tulisan akan tentu saja bukan asal tulisan yang bercerita tentang tetekbengek. Mungkinkah hal ini dilakukan? Mengapa tidak? Sebab kehidupan merupakan mataair ilham yang tak pernah kering. Bahkan aku melihat bahwa penulis selalu ketinggalan zaman dan dikejar oleh sejarah. Penulis selamanya berhutang pada sejarah. Misalnya, apakah Revolusi Agustus 45, sebagai suatu peristiwa besar bagi kehidupan warga Republik Indonesia kita sudah cukup padan dicerminkan alam karya sastra dan seni? Apakah Tragedi September 1965 yang berdampak pahit dan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sudah mendapat tempat padan dalam dunia sastra-seni kita? Belum lagi kita menghitung pencerminan peristiwa-peristiwa penting lain dalam sejarah kita dalam sastra-seni kita. Ketertinggalan beginilah yang kunamakan hutang sastrawan-seniman pada sejarah dan kehiidupan dan sejarah selalu memburu sastrawan-seniman. Sadar akan ketertinggalan dan hutang begini, maka pada tahun 1965 Lekra mengorganisasi gerakan penulisan revolusi dalam berbagai genre sastra. Sayangnya naskah-naskah yang ditulis dan dihimpun serta siap diterbitkan, oleh terjadinya Tragedi September 1965 menjadi hilang tak tentu rimbanya, tenggelam tak menentu laut, danau dan sungainya. Yang penting di sini bukan Lekra-nya, tapi ide dan semangat yang ditumbuhkannya yaitu mengejar ketertinggalan dan menjawab tagihan hutang sejarah sebisa mungkin. Aku tidak tahu, apakah angkatan sekarang mempunyai rasa berhutang demikian atau tidak? Oleh adanya hutang seniman dan tagihan hutang sejarah itu serta peran seniman dalam memanusiawikan manusia, maka Sai Dongoran, kukira kau ditantang untuk minimal menulis 100 novel selaksa cerita. Iya, seratus novel selaksa cerita. Tak membanggakan dan tak padan jika hanya menulis delapan sepuluh novel atau seratus cerita. Kehidupan dan sejarah menyediakan sumber berlimpah untuk menulis. Entah kalau kau tak perduli pada kehidupan dan sejarah. Dengan mencermati kehidupan dan sejarah, kau akan sampai pada apa yang dikatakan oleh Chairil Anwar: aku mau hidup seribu tahun lagi untuk membawakan kalung ole-ole buat si pacar bernama kemanusiaan. Seratus novel selaksa cerita hanya mungkin ditulis jika si penulis belajar , meneliti dan mempunyai kemampuan tekhnis yang semuanya pun bukan keajaiban. Tanpa belajar, meniliti dan membaca kehidupan ditambah dengan peningkatan tekhnis terus-menerus, seratus novel dan selaksa cerita tak bakal ditulis. Kalau pun ia bisa ditulis, hasilnya tidak akan bisa membayar hutang pada sejarah yang gigih menagih dan usaha pemanusiawian manusia.Narsisme mempunyai batas dan perbatasan yang tak jauh. Narsisme tak pernah jauh jangkauannya. Belajar, meneliti, mengakrabi kehidupan dan kemampuan tekhnis bukanlah hal yang ajaib .*** Paris, Musim Dingin 2008. JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris. - Tired of visiting multiple sites for showtimes? Yahoo! Movies is all you need
[ac-i] Ke suatu malam puisi di Kedai Kebun
Kronik Dokumentasi Wida: KE SUATU MALAM PUISI DI KEDAI KEBUN Sinyal sms telpon genggamku yang sederhana berbunyi. Hari itu awal November 2007. Kubuka, ternyata pesan dari Saut Sitomurang: Aku harap Bung bisa datang jam 20:00 malam ini di Kedai Kebun, Yogya. Ada acara baca puisi. Sebelumnya, kami, aku dan Saut, memang sudah pernah bertemu berdua. Pulang-pulang ke tempat masing-masing, malam sudah cukup larut setelah omong hulu-hilir tentang macam-macam soal sastra , tentu saja. Saut mengantarku dengan sepeda motornya. Sambil menuju ke tempat penginapanku di Jalan Dagen, menengahi gemuruh lalulintas dan derum sepeda motornya, aku cerita masa remaja Yogyakartaku. Kau kangen iya?tanyanya. Tidak juga. Hanya terlalu manis untuk bisa lepas dari dari ingatan, ujarku. Yogya, mempunyai tempat sendiri dalam hidupku. Betapa pun waktu dan segala peristiwa telah mengubah dan sempat mengasingkan aku dari padanya, Yogya tetap merupakan salah satu arah yang kutuju saban ada kesempatan. Aku masih hapal lorong-lorongnya yang dulu sering kulalui dengan jalan kaki saban pergi kuliah. Yogya seperti Rara yang melekat di hatiku, tambahku. Dengan latar Yogya begini maka sms Saut segera kubalas: Aku pasti datang Bung. Jawabannya pun segera: Kutunggu!. Dalam kontak dengan Saut, aku berterimakasih kepada Sai yang telah menyiapkan pertemuan kami. Berjumpa langsung dan bicara kurasakan memberi peluang untuk saling mengenal pribadi, pandangan dan sosok seseorang. Jika ada persoalan, cara ini pun akan membuka peluang besar untuk memecahkan persoalan, jika memang ada masalah. Melalui pertemuan berkali-kali, aku mulai mengenal Saut lebih jauh. Mengenal alur pikirannya dan lebih-lebih lagi perasaannya. Aku memang lebih tua usia dari Saut, tapi aku tidak merasakan kelebihan usia sebagai kelebihan dalam sastra dan bidang-bidang lain. Kami berbicara dalam posisi setara, bahkan mendekati curhat. Memecahkan soal jika berangkat dari perasaan lebih unggul dan tidak bertolak dari keinginan menyelesaikan soal, perjumpaan hanya akan berujung dengan ketegangan kian meruncing. Dalam hal ini, aku jadi teringat akan kepekaan remaja Yogyaku dulu. Aku sering tidak puas dan memprotes. Dalam menghadapi sikapku ini, aku bertemu dengan macam-macam sikap pula. Ada yang mengatakan secara terbuka bahwa aku anak kemarin sore, tak perlu diindahkan. Bahkan ada yang mengejek: Apa sih perlunya sastra dalam hidup!?. Tapi ada pula yang memperlakukan kebengalanku dengan sabar, mendengarku dengan sabar, mencoba memahami pikiran dan perasaanku, bahkan menempatkan aku setara dengan dirinya, betapa pun jenjang pengetahuan, pengalaman dan usia sesuai dengan prinsip tut wuri handayani, saling asih, saling asuh dan saling asah. Sikap terakhir ini membuatku kemudian malu sendiri, dan aku dijawab: Aku adalah matahari yang sudah condong ke barat dan kau adalah matahari jam 8-9 pagi. Dalam analisa terakhir, kaulah, angkatanmulah pemilik bumi dan esok, bukan aku yang berbau tanah. Ketika mengenal istilah ilmu komunikasi win-win solution, sempat juga terlintas di kepalaku, apakah ini bukan istilah baru yang dimenterengkan agar lebih kelihatan canggih secara psikhologis atas nama sesuai zaman, untuk suatu kearifan lama? Dari apa yang kualami dan bagaimana aku diperlakukan , membekas benar betapa penting arti kemampuan mendengar dan saling menghargai serta menghormati harga diri orang lain. Untuk sampai ke tingkat ini, tingkat yang kusebut sebagai tingkat lebih dewasa secara psikhis, pemikiran dan perasaan, aku menempuh jaman berliku dan jatuh bangun. Ketika tiba di tempat begini, aku menertawai diri sendiri, menertawai kepongahan yang sesungguhnya tidak lain dari sifat kekanakan, berbeda dengan mimpi, cinta dan cita-cita. Mimpi atau cinta yang ranum pun agaknya merupakan buah yang dimatangkan waktu. Tidak dirontokkan angin ketika masih puitik. Mengatakan kamilah, akulah, ukuran, standar sastra , kukira tidak lain dari kepongahan bocah sedang tumbuh yang tidak indahkan kiri-kanannya. Pede sih pede, tapi kepedean yang awur-awuran. Agar bisa mengikuti acara dari awal , dan agar keterlambatan tiba tidak menarik perhatian orang, aku pun datang lebih awal ke Kedai Kebun. Sambil menunggu acara dimulai, aku melihat-lihat keadaan Kedai Kebun yang sudah banyak berobah dari beberapa tahun sebelumnya ketika kukunjungi. Orang-orang kulit putih dan Indonesia, ada yang asyik di komputer tanpa kabel, ada yang makan dan minum di ruang restoran, ada juga yang seperti aku melihat-lihat buku yang dipajangkan di tembok. Tak terlalu kaya memang jumlah dan judul buku-buku yang dipajangkan sehingga bisa kupastikan dari buku-buku ini Kedai Kebun yang kudengar disponsori dan dimiliki oleh seorang pelukis [perempuan?!] tidak mungkin ia menjalankan kelangsungan Kedai Kebun. Aku menduga bahwa sumber finansial utama akan bersandar pada usaha
[ac-i] Puisi-puisi Bachtiar Siagian [5]
Kronik Dokumentasi Wida: PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [5] Puisi-puisi berikut adalah puisi-puisi yang dihimpun oleh Bachtiar Siagian di bawah judul ELEGI CELAH BUKIT MAWAS DIRI Sekali hatiku meronta-ronta Pedih, merasa terhina Ketika memikul peti berisi kotoran tinja manusia se-sel tahanan Aku berteriak lantang Melontarkan kebencian Ingis menghanguskan hutan dan membekukan lautan Tetapi ketika teringat petuah guru bahwa pengalaman adalah permata Kucoba membujuk hati yang nyeri di panas terik matahari Kiranya di hatiku ada benalu kecongkakan berbalut beledru Yang ingin menayingi matahari dan menggenggam poros bumi Akhirnya aku tersenyum sendiri Telanjang dijepit rasa nyeri dan peti putih berisi kotoran merobek mahkota kesombongan Ketika esok, lusa dan seterusnya kupikul lagi peti berisi kotoran kurasakan sentuhan jari Tuhan pada hati yang dibajakan. Permisan 1972
[ac-i] Puisi-puisi Bachtiar Siagian [4]
Kronik Dokumentasi Wida: PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN RENUNGAN I. Bayangan tak pernah tetap Namun dia selalu ada Kenanganpun beralih makna Yang manis berganti rasa Ah, mana ada musim tanpa kisah Di latar bumi berbayang ini Berjuta kisah telah berlalu Yang putihpun disebut kelabu II. Di ketandusan semacam apapun juga tanamlah apa yang bisa Barangkali tak ada yang tumbuh Tetapi di hatimu Bersemi sesuatu III. Duka Apakah dia siksaan Ataukah kenikmatan? Ah, apa lezat hidup ini Tanpa duka menyelingi? IV. Matahari Kau memberi arti Tentang kedatangan dan kepergian Matahari Kau memberi makna Tentang kesetiaan dan keteguhan Matahari Di terikmu aku berdiri Mengamati diri V. Karang Di dadamu ombak terhempas Di tenangmu aku terbebas Karang Di bisumu laut berdesah Di sabarmu aku terasah VI. Hari ini kubakar alang-alang Ketika lapar dan terik membakar Kiranya derita bukan penghalang Untuk mencicipi nikmat tawa Mentertawakan diri sendiri Yang tersungkur di perjalanan Barangkali lebih berarti Dari keluhan di kehilangan Hari ini kubakar alang-alang Hari ini kutantang kesombongan NUSAKAMBANGAN Di batas Selatan tanah tercinta membentang nusa Wijayakesuma Pulau buangan tanah karang Bumi pijakan dikehilangan Di sini derita dijalin mesra Bersama kasih bertarung baja Rindu membeku ditelan debu Duka rekah di bukit batu Namamu selalu menyulam haru Di lembah-lembah rintih berpadu Tapi, bila hati menjamah hati Cemerlang segala di bumi ini Wijayakesuma Nusakembangan Engkaulah kasih dalam tantangan ***
[ac-i] kronik dokumentasi wida: puisi-puisi bachtiar siagian [3]
Kronik Dokumentasi Wida PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN Riuh Di Keheningan I. Aku ini anak perbatasan Dari dua dunia berpapawan Antara kasih dan kebencian Antara kekosongan dan kberadaan Kupikul segenap beban pertanyaan Yang menyerpih dari balik pengalaman Apabila nanti terhempas ke tepi Aku menari-cari di hati sendiri II. Di hamparan kelam Sepi bergumam Hati dipagut Rindu yang kalut Lalu terasa nyeri Berhari-hari Gemerlap di kelam ini membekas sekilas lintas Dan hanguslah mimpi Di beku kawat berduri III. Baju yang terus koyak Kutampali lagi Tak henti-henti Betapa gerangan menampali Hati yang robek Dan pikiran yang koyak? IV. Ketika harapan berpapasan Dengan segala yang tak terpegang Terasalah semua Yang disebut hampa Tetapi hidup bukan kehampaan Yang terasa di kejatuhan Ia madu Bagi yang mampu Dan bencana Bagi yang buta V. Jika kedunguan dan keserakahan Membebani hari nurani Pasir pun dianggap permata Dan kejujuran tak berharga VI. Di larut sendja ini Berebutan segala tanya Satu yang paling terasa Kedunguan sendiri VII. Segala yang menjulang ke puncak Sekali kan jatuh ke bumi Dan pulanglah segalanya Ke batas semula *** - Tired of visiting multiple sites for showtimes? Yahoo! Movies is all you need
[ac-i] puisi-puisi bachtiar siagian [1]
Kronik Dokumentasi Wida: PUISI-PUISI BACHTIAR SIAGIAN [1] Menjelang pergi ke Indonesia akhir tahun 2007 lalu, saat membongkar berkas-berkas lama, tiba-tiba aku mendapatkan sebundel berkas diketik di atas kertas warna merang. Kertas-kertasnya pun sudah sangat gampang sobek jika kita membukanya tidak dengan hati-hati. Aku sendiri sudah lupa, dari mana aku mendapatkan kumpulan puisi dan renungan ini. Satu-satunya yang masih kuingat bahwa pada masa kuat-kuatnya Orde Baru Soeharto, aku memang banyak sekali mendapat kiriman naskah-naskah yang ditulis dari pulau pembuangan dan penjara di Indonesia . Termasuk naskah ini. Sebagian kecil dari naskah-naskah itu sudah kusiarkan bersama teman-teman dalam bentuk sangat sederhana. Sebagian terbesar , aku jadi sangat menyesal sendiri, tidak terawat dan entah di mana sekarang. Sebagian kecil yang sudah kami siarkan adalah tulisan Hersri Setiawan ,Di Sela-sela Intaian dan Pledoi Kolonel Latief [sekarang sudah diterbitkan di Indonesia]. Karya-karya yang ditulis langsung dari pulau pembuangan dan penjara, selain merupakan saksi sejarah yang hidup, kukira karya-karya demikian memperlihatkan pergulatan seorang anak manusia menarung maut dan menolak kalah. Setia pada martabat kemanusiaan dan mimpinya. Bahwa menjadi manusia bermartabat dan berharga diri bukanlah sesuatu yang sederhana. Mimpi dan cinta itu pun seharga kepala. Menagih kesanggupan memilih. Dengan penilaian begini, maka aku merasa sangat gembira telah mendapatkan kembali kumpulan tulisan berjudul Catatan Kemarau [CK] dan Mencari Dalam Sepi [MDS], karya Bachtiar Siagian, salah seorang pekerja filem terkemuka dari Lembaga Filem Indonesia Lekra. Dari tangannya antara lain telah lahir filem Turang, drama Batu Merah Lembah Merapi... CK dan MDS menghimpun karya-karya Bachtiar Siagian antara tahun 1967 hingga tahun 1975 bertandakan Salemba dan Nusakambangan [NK]. Melalui Kronik dan Dokumentasi Wida ini, aku akan siarkan karya-karya Bachtiar Siagian tersebut, sebagai penghormatanku kepada beliau, sekaligus sebagai bentuk usahaku mencari keluarganya dan menyerahkan karya-karya Bachtiar Siagian ini kepada mereka yang berhak memilikinya. Sampai aku menggoreskan kalimat-kalimat ini, aku masih kehilangan jejak Bachtiar. Aku sama sekali tidak tahu, beliau di mana. Apakah masih hidup atau sudah tiada. Kalau meninggal di mana makamnya? Aku tidak ingin karya-karya ini hilang seperti halnya dengan banyak karya orang lain, ketika berada di tanganku -- seorang penghuni kemah perjalanan. Mencegah hal buruk begini, maka paling tidak memasukkannya ke dalam dokumentasi, maka tulisan-tulisan Bachtiar Siagian yang ia gores di saat menarung ajal memenangi hidup, sedikit demi sedikit akan kusiarkan selengkapnya. Bisakah penyiaran karya-karya ini dipandang sebagai salah satu bentuk tanggungjawab, saling hormat dan solidaritas bersastra? Entahlah. Yang kukehendaki agar kita bisa bebas dari subyektivisme, seperti yang dikatakan oleh Chairil Anwar dalam puisinya Catetan TH. 46 : keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat. Adanya karya-karya seperti karya Bachtiar ini, karya yang tidak mendapat peluang terbit pada masa Orde Baru, barangkali menunjukkan bahwa pada periode itu selain ada sastra yang muncul, ada pula sastra yang tidak muncul. Underground literary jika boleh meminjam istilah Supriadi Tomodihardjo dari Köln, Jerman. Berikut adalah karya-karya Bachtiar Siagian yang kumaksudkan itu: [Tanpa judul] Sekelumitpun Kasih menyala di dada Ia mampu menantang derita Salemba 1967 Paris, Musim Dingin 2008 --- JJ. Kusni, pekerja biasa di Koperasi Restoran Indonesia Paris. [Berlanjut] - Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel
[ac-i] surat dari montmartre: membaca ulang selasar kenangan [4]
Surat dari Monmartre: MEMBACA ULANG SELASAR KENANGAN Kumpulan Cerpen Srikandi Apsas Tebal:95 hlm + xx. Penerbit:Akoer, Jakarta, Juni 2006 [Dengan ucapan Selamat Ulang Tahun Ke-3 Kepada Milis Apresiasi Sastra] PERAN EDUKATIF KARYA SASTRA Tokoh-tokoh yang diciptakan oleh penulis, melalui berbagai tekhnik pengungkapan ide dan perasaannya, kupahami sebagai bagian dari wacana sertai mimpi penulis tentang dunia yang ia impikan. Tokoh adalah personifikasi wacana dan mimpi penulis.Tokoh dilahirkan oleh penulis melalui pernikahan imajinasi dengan kenyataan kehidupan dan pengalaman disaring oleh tingkat kemampuan ketrampilan tekhnis dan tingkat pengetahuan dan jenis komitmennya. Tergantung pada rabun dan tidak mata hati memandang dunia yang tak ramah guna menangkap sari, warna rara dan hitamnya. Tokoh-tokoh inilah yang kemudian secara berdaulat sebagai anak penulis berhadapan dengan para pembaca dengan para pembaca yang sama berdaulatnya. Mereka berdialog langsung. Peran penulis dalam bermasyarakat, barangkali terletak dalam menetapkan mengirimkan tokoh yang dilahirkannya sekaligus sebagai delegasi pribadi menjumpai pembaca, untuk tidak menggunakan istilah masyarakat. Delegasi ini, walau pun tidak bicara banyak, tapi dengan penampilannya ia sudah banyak berbicara dan menawarkan suatu esok. Boleh jadi di sinilah terletak makna kepujanggaan, kata yang mengandung arti sangat dalam dan luas.Karena ia mengandung pesan, harapan dan mimpi yang utuh tentang wajah hari ini dan esok . Penulis tidak serta-merta menjadi pujangga dengan otodeklarasi sekedar mendapat sebutan sastrawan dan seniman. Otodeklarasi, iklan diri tanpa jemu dan berburu sebutan, agaknya lebih dekat kepada tingkat berkesenian instingtif yang darinya tidak bisa diharapkan terlalu jauh dan terlalu banyak. Tidak lebih dari suatu gejala permukaan sesaat. Berkesenian, kukira, memerlukan seniman yang selalu mencari dan selalu kucari jalan terbaik agar tidak ada penyesalan dan airmata, agar tercipta keadaan damai bersenandung, betapa pun jadul [jaman dulu]nya, jika menggunakan lirik lagu Rinto Harahap, agar bisa menyelam lubuk hakekat dan menampilkan tokoh yang menarik berguna bagi pemanusiawian manusia. Sayangnya, zaman sekarang , anak negeri dan bangsa kita , lebih suka pada yang serba instant alias mencoba menempuh jalan pintas -- pola pikir dan mentalitas yang dikandung oleh globalisasi kapitalis, serta produk dari suatu pilihan politik penyelenggara negara pada suatu periode. Ketika membaca ulang Selasar Kenangan pinjaman Sairara pada November 2007 lalu di Indonesia, sebagai seorang ayah, aku sempat tertegun dan merenung. Selasar Kenangan, menampilkan dengan jujur kenangan masa kecil sembilan penulis yang tampil di antologi ini sebagai hasil seleksi dari 21 cerpen lomba apsas. Selasar Kenangan, mengingatkan aku akan teori tabula rasa, atau kertas kosong dari Mao Zedong. Anak-anak adalah kertas kosong. Isi kertas kosong itu banyak ditentukan oleh orangtua. Perangai, watak, pikiran dan perasaan anak selanjutnya sangat ditentukan oleh ortu. Karena itu , usai membaca ulang Selasar Kenangan, sebagai seorang ayah, aku merasa ditegur agar cermat menghitung kata, tindakan, gerak-gerik, menghitung jumlah perhatian kepada anak di tengah-tengah kejaran dan himpitan pemenuhan kebutuhan hidup, mencermati pembagian ruang di rumah agar tidak berdampak negatif bagi perkembangan anak. Setelah berhadapan dengan tokoh-tokoh dalam Selasar Kenangan, suara yang mengetuk hatiku adalah Jangan bikin anak jika tidak bisa bertanggungjawab pada anak dan esok anak. Jangan melahirkan anak jika menyiksanya dengan derita karena kesalahan ortu. Melalui tokoh-tokoh Selasar Kenangan, aku seperti mendengar suara balita berseru kepada ayahnya dalam lagu Batak Ahawa Natau Sidohununku, yang menjewer telingaku sebagai ayah bahwa betapa anak memerlukan cinta total. Anak lahir tanpa diminta persetujuannya. Semestinya, anak dilahirkan oleh mimpi terindah dan tanggungjawab akan esok yang membatasi eksistensi kita. Anak adalah kesinambungan perjalanan menjelang esok yang tak berbatas. Tanggungjawab adalah totalitas dalam menghadapi segala bentuk kegarangan kuda liar [wild horse] kehidupan. Anak adalah tanda cinta agung kita pada kehidupan dan kepercayaan akan kekuatan manusia sebagai anak enggang putera-puteri naga [rengan tingang nyanak jata]. Desakan keperluan biologis seniscayanya memperhitungkan soal-soal ini, agar tidak meninggalkan tragedi karena kurang hitung. Berdialog dengan tokoh-tokoh Selasar Kenangan, sebagai ayah, aku merasa kembali seorang anak kecil yang diam mendengar kemarahan sang ibu atau ayah. Tokoh-tokoh kanak dalam Selasar Kenangan, tampil di hadapanku sebagai ortu. Tokoh-tokoh Selasar Kenangan kurasakan tampil ke hadapanku dan bertutur dengan semacam gugatan halus tajam. Halus, karena mereka sudah dewasa dan malah menjadi penulis. Halus
[ac-i] kronik dokumentasi wida: alam lembang
Kronik Dokumentasi Wida: ALAM LEMBANG Sebagai pekerja biasa Koperasi Restoran Indonesia Paris, buruh rendahan, smiker, jika menggunakan ungkapan orang Paris, aku paling sering mendapat giliran kerja malam yang sering mendapat kesulitan pulang jika sudah terlalu larut. Lebih-lebih di akhir pekan. Mencari taksi pun tidak gampang dan kadang terpaksa pulang jalan kaki menembus dingin musim. Dari para sopir taksi, aku paham kemudian bahwa jumlah taksi ibukota Perancis ini sesungguhnya tidak memadai untuk menjawab permintaan. Cerita-cerita sopir taksi dari berbagai negeri asal, kemudian kurasakan sebagai salah satu sumber informasi berharga untuk mengenal kehidupan Paris senyatanya. Sumber yang tidak didapat melalui buku-buku akademi. Demikian pula hari itu. Sebuah petang bulan Desember 2007. Aku bekerja malam yang secara umum imbalannya lebih besar dari yang bekerja siang. Tapi tidak di Koperasi kami. Imbalan yang bekerja siang dan malam sama saja. Bahkan pernah kami mengambil kebijakan ekstrim, menggunakan gaji samarata dan menimbulkan dampak buruk. Agaknya ekstrimitas, senantiasa merupakan pandangan dan sikap yang tak tanggap keadaan dan tidak apresiatif. Ekstrimitas, entah kiri atau kanan, dan entah berlindung di balik nama apa pun: setan atau dewa, hanyalah ujud lain dari subkyetivisme dan keterbatasan daya pandang yang bisa memerosotkan diri dan kehidupan bermasyarakat. Musuh ekstrimitas barangkali adalah pertanyaan dan kejujuran. Saban datang, sebagai kerja pertama yang kulakukan adalah memeriksa buku reservasi di mana tercatat nama-nama pelanggan yang akan datang, jam datang, dan berapa jumlah mereka yang akan makan malam. Makan malam, di negeri ini bukan sekedar makan , tapi berwayuh arti, jika menggunakan istilah alm. Prof.Djojodigoeno S.H. dari Universitas Gadjah Mada dulu zaman aku masih jadi mahasiswa universitas beken di ibukota Republik zaman revolusi ini. Atas dasar informasi buku reservasi itu, aku bisa menduga keadaan yang akan dihadapi malam itu dan mengatur cara menghadapinya. Dengan kata lain: menetapkan rencana kerja dan mensistematikkan pekerjaan sehingga yang bekerja bisa lancar dan para tamu merasa nyaman. Kenyamanan tamu merupakan sesuatu hal yang patut dihitung oleh usaha seperti restoran. Para pelangganlah yang menghidupi restoran dan usaha produktif. Karena itu, di sini, pelanggan disebut raja. Padahal di masa kecilku di Katingan, Kalimantan Tengah, kata raja mengandung konotasi sangat buruk. Berarti pemalas, main perintah, dan menghisap tenaga orang lain. Apakah pengertian Oloh Katingan ini merupakan penelenjangan watak masyarakat kapitalistik di mana sekarang aku berada di tengah-tengahnya? Entahlah, tapi benar, di masyarakat Katingan pada waktu itu, kehidupan komunal masih sangat kuat. Hasil perburuan dibagi-bagi pada tetangga. Semangat kebersamaan dari budaya rumah betang [rumah panjang, long house] di masa kecilku masih sangat terasa. Dari buku reservasi di suatu petang bulan Desember ini, aku dapatkan sebuah catatan aneh. Pemesan tempat bernama seorang Jerman, tapi di bawahnya tertulis: Orang Indonesia. Mengapa harus ditambah kata-kata Orang Indonesia? Padahal, jika mau terus-terang, kami tidak terlalu gairah melayani tamu Orang Indonesia. Rewel dan minta diutamakan, minta segalanyasegera, tanpa memperdulikan urut-urutan pelayanan bak seorang raja atau ratu, pangeran. Dan adakah budaya antri, sebagai tanda kita menghormati orang lain di Indonesia? Ucapan maaf dan terimakasih pun menjadi langka kudengar di tanah kelahiranku. Yang sering kuhadapi adalah peragaan kehebatan diri dan kekuasaan. Aku hebat. aku berkuasa!. Kau tak ada apa-apanya. Sikap yang kuanggap tidak terlalu jauh dari hukum rimba. O, barangkali ini adalah pola pikir yang ditelorkan oleh globalisasi kapitalis dan uang adalah raja. Katingan, Oloh Katinganku! Budaya Rumah Betang-mu secara fisik dan wacana sudah jadi kadaluwarsa. Matahari dan langitmu pun berobah warna di musim hutan terbakar, para dandau durang [bahasa Dayak Katingan, berarti: orang-orang tersayang]. Mencintai dan menjadi Indonesia adalah suatu tekad dan pilihan terhitung. Membuatnya menjadi Republik Indonesia adalah suatu program dan memerlukan orang-orang yang bertekad dan berkesadaran. Demikian pula untuk kehidupan budayanya. Sebab aku sering melihat kita meragi usangkan budaya kita sendiri atas nama modernisasi atau melestarikan budaya sendiri. Melihat catatan di bawah nama Jermanik, rasa ingin tahuku lalu menjadi-jadi. Aku sangat menanti-nanti kedatangan Orang Indonesia itu. Tepat waktu, seorang perempuan muda bulé datang dan mengatakan bahwa ia sudah pesan tepat. Aku menatap wajahnya lurus ke mata. Sama sekali tak ada tanda-tanda Indonesia. Benar ini nama Madame atau Mademoiselle? , tanyaku dalam bahasa Perancis sambil memegang kertas nama yang disebutkannya. Maaf, saya tidak bisa
[ac-i] surat dari montmartre: mencoba membaca masa silam
Surat Dari Montmartre: MENCOBA MEMBACA MASA SILAM [Kepada A. Kohar Ibrahim, Putera Indonesia Asal Betawi Yang Bersemangat]. Kohar putera Betawi, syohibku yang bertahun tak berjumpa, Sangat menarik apa yang kau katakan bahwa: Maka gamblang sekali, dalam hal adanya manifestasi aksi berupa Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang dikonsepsi dan dideklarasikan oleh sementara kalangan budayawan, sastrawan dan penyair Indonesia itu tak lain tak bukan merupakan peristiwa politik bukan semata-mata kebudayaan. Pendapat ini menunjukkan bahwa Manifes Kebudayaan selain merupakan peristiwa kebudayaan juga sekaligus merupakan peristiwa politik, peristiwa dan tindakan yang menunjukkan dengan gamblang hubungan politik dengan kehidupan kebudayaan, sebagaimana juga yang kita saksikan bersama di Tiongkok semasa Revolusi Besar Kebudayaan Proletar [RBKP] di tahun 65an ke atas, dengan segala kesalahan, kelemahan dan segi positifnya. Seperti Bung ketahui dengan baik bahwa RBKP berawal dari polemik tentang novel Hai Rui Dipecat Dari Jabatannya. Peristiwa ini dan juga berdasarkan peristiwa-peristiwa sebelumnya termasuk Gerakan 4 Mei, disimpulkan oleh Mao Zedong sebagai peristiwa kebudayaan mendahului peristiwa politik. Kukira kesimpulan ini pun berlaku untuk Indonesia antara lain dengan penerbitan Tetra Pulau Buru karya Pramoedya A. Toer, penulis yang banyak Bung bicarakan dalam tulisan serial Bung. Kukira , Hasyim Rachman dan Joesoef Isak, tidak kebetulan menerbitkan Tetra Pulau Buru itu. Joesoef Isak pada berbagai kesemopatan mengatakan bahwa kebebasan merupakan HAM, hak alami anak manusia, dan ia bukan pemberian penyelenggara negara tingkat mana pun. Hak yang harus dibela. Jika dirampas, ia harus direbut kembali. Penjara, pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan? Hanyalah resiko dalam membela dan merebut kembali hak alami itu. Joesoef Isak dan lain-lain sudah membuktikan kata-katanya ini dengan perbuatan, antara lain dengan menerbitkan tetra Pulau Buru Pram pada masa masih berkuasanya Soeharto. Penerbitan tetra ini, kukira, selain merupakan peristiwa budaya, juga adalah peristiwa politik. Dilihat dari analisa Mao Zedong di atas, dibandingkan dengan pendapat dan sikap Joesoef Isak ini, plus sejarah negeri ini sendiri, aku melihat di Indonesia pun agaknya dunia kebudayaan memang merupakan ruang pergulatan awal yang kemudian menjalar ke bidang-bidang lain, termasuk politik. Konsep Indonesia Merdeka, Sumpah Pemuda 1928, misalnya, kukira, awalnya, adalah konsep di dunia budaya. Dunia pemikiran. Kemudian menjalar ke lingkup lain. Sumpah Pemuda, Indonesia Merdeka kemudian berkembang menjadi tekad Merdeka Atau Mati. Tidakkah Merdeka Atau Mati pun adalah suatu ide dan sikap budaya juga? Ide yang menjelma menjadi kekuatan material ketika ia jadi milik masyarakat. Dengan ini, aku mau mengatakan peran budaya sebagai dasar membangun hari ini dan esok. Sampai sekarang, aku tidak menganggap bahwa RBKP merupakan sesuatu yang serba hitam semata. Betapa pun mungkin seperti pernilaian CC Partai Komunis Tiongkok, RBKP dipandang 60% keliru. Enam puluh persen keliru artinya persen yang tersisa mempunyai arti positif. Sedangkan peristiwa politik dan budaya berbentuk Manifes Kebudayaan dan kelahiran Lekra itu sendiri, barangkali, bisa diangkat sebagai salah satu bukti bahwa pertarungan budaya mengawali pergulatan lebih lanjut di bidang-bidang lain, seperti halnya politik budaya kolonialis Belanda ragi usang terhadap etnik Dayak. Politik dan kebudayaan, termasuk sastra-seni, jika kita menyimak data-data sejarah negeri mana pun, agaknya saling bertautan dan pengaruh-mempengaruhi. Sekali pun mereka, bidang-bidang itu berada dan mempunyai tempat masing-masing yang mandiri sebagaimana kedudukan sebuah sekrup dalam mesin keseluruhan suatu masyarakat manusia. Mandiri, tapi saling bertautan. Pengaruh-mempengaruhi sebagaimana hubungan suatu negara dan bangsa berdaulat satu dengan yang lain di lingkup dunia. Dalam kontek sebagai utus kalunen [keluarga manusia] , jika menggunakan alur pikiran manusia Dayak dahoeloe. Saling hubungan antara sektor satu dan sektor lain ini akan menjadi kian gamblang jika kita , termasuk sastrawan-seniman, tidak berkurung dalam ruang sempit kejuruannya, tapi paling tidak, membuka jendela dan pintu pandangannya lebar-lebar untuk melihat dan memahami dunia serta kehidupan seutuhnya, mencemplungkan diri ke tengah-tengahnya agar pemahaman itu menjadi lebih mendalam dan menyentuh hakiki. Yang kumaksudkan dengan membuka jendela dan pintu pandangan lebar-lebar, bisa juga dikatakan secara lain yaitu mempelajari segala segi kehidupan bermasyarakat, mencoba melihatnya dari berbagai sudut pandang seperti psikhologi, filsafat, sejarah, sosiologi, ekonomi, ilmu bahasa, termasuk dan terutama politik [yang oleh sementara teoritisi politik dipandang sebagai pencerminan terpusat dari segala kepentingan,