[mediacare] Irawady Menunda Gugat KPK
Irawady Menunda Gugat KPK "Kalau kami jadi menggugat, sudah ketahuan hasilnya. Buang-buang tenaga saja." JAKARTA -- Anggota Komisi Yudisial nonaktif, Irawady Joenoes, menunda pengajuan gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebelumnya, gugatan itu direncanakan akan dilayangkan kemarin. "Kami tunda dulu," ujar penasihat hukum Irawady, Ahmad Yani, setelah menjenguk kliennya di tahanan Markas Besar Kepolisian RI. Sebagai gantinya, kata Ahmad, kliennya bermaksud melaporkan berbagai ketidakberesan di Komisi Yudisial ke KPK. "Pokoknya, yang di tingkat kesekretariatan jenderal dan kepanitiaan yang ada dalam pengadaan tanah. Kan jelas itu siapa yang bertanggung jawab," katanya. Kuasa hukum Irawady lainnya, Suhardi Somomoeljono, mengatakan penundaan gugatan itu dimaksudkan agar kliennya bisa berfokus mencari bukti berkaitan dengan surat tugasnya dari Komisi Yudisial dan dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan tanah untuk kantor komisi itu. Lagi pula, katanya, "Kalau kami jadi menggugat, sudah ketahuan hasilnya. Buang-buang tenaga saja." Ia juga menilai tindakan KPK dalam kasus ini sudah sesuai dengan prosedur. Suhardi mengatakan pihaknya kini mempertimbangkan upaya mengkonfrontasi keterangan Irawady dengan keterangan Komisi Yudisial mengenai surat tugas yang diterima kliennya. Menurut Suhardi, Irawady menganggap pertemuannya dengan Freddy Santoso, Direktur PT Persada Sembada yang memenangi tender pengadaan tanah untuk Komisi Yudisial, adalah bagian dari lingkup penugasannya yang bersifat tertutup dan rahasia. Ketika sedang bertemu itulah, Irawady dan Freddy ditangkap. Petugas KPK mendapati uang Rp 600 juta dalam tas dan US$ 30 ribu di saku Irawady, yang diduga merupakan suap yang diterimanya dari Freddy. "Saya akui memang berat karena tertangkap basah," ujar Suhardi. Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi Yudisial M. Thahir Saimima mengatakan surat tugas dari lembaganya kepada Irawady tak berhubungan dengan masalah pengadaan tanah. "Hanya berkaitan dengan supervisi," kata Thahir. "Itu untuk pengadaan barang dan tertib administrasi." Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan kemarin penyidik kembali memeriksa Freddy sebagai tersangka penyuapan. Ia juga memastikan hingga saat ini KPK belum menemukan bukti nota dinas seperti yang disebutkan Suhardi dan ramai diberitakan media. RADEN | BAYU | SHINTA | CHETA Sumber: Koran Tempo - Selasa, 02 Oktober 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Korupsi Kejahatan Peradaban
Korupsi Kejahatan Peradaban Berdayakan Hakim di Pengadilan Tipikor Status korupsi di Indonesia yang dijadikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime perlu ditingkatkan menjadi kejahatan melawan kemanusiaan dan peradaban. Peningkatan status ini diharapkan mampu menyadarkan dan menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk melawan korupsi. Demikian diungkapkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqqodas saat peluncuran Lembaga Bantuan Hukum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Jakarta, Rabu (26/9). Korupsi dinilai merusak seluruh sendi kehidupan bangsa, menghancurkan moral masyarakat, dan menimbulkan kemiskinan absolut. Korupsi juga menghambat upaya bangsa untuk meningkatkan peradaban guna bersaing dengan bangsa lain. "Korupsi bukan hanya memorak-porandakan perekonomian bangsa, tetapi juga turut merusak moral masyarakat," ungkap Busyro. Sayangnya, elite justru mengajarkan kepada rakyat untuk melakukan korupsi. Kondisi ini jelas terlihat dalam proses pemilu dan pemilihan kepala daerah. Rakyat dipaksa menerima suap dari elite agar memilih mereka. Busyro menambahkan, korupsi terjadi hampir di semua lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jika elemen negara sulit memberantas korupsi, seluruh elemen masyarakat harus bergerak. Namun, menggerakkan masyarakat sipil ini sulit. Kelompok agama sebagai bagian masyarakat sipil terfragmentasi. Secara terpisah, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Yudi Latif mengkhawatirkan peningkatan status korupsi menjadi kejahatan melawan kemanusiaan dan peradaban hanya simbol, tanpa pernah menyentuh upaya riil pemberantasan korupsi sendiri. Agar berhasil, pemberantasan korupsi harus dilakukan melalui kontrol horizontal antara sesama lembaga negara dan kontrol vertikal melalui pengawasan dan tekanan masyarakat madani terhadap lembaga negara. Pemberantasan korupsi juga harus melibatkan kontrol eksternal di luar lembaga negara dan kelompok masyarakat madani. Pemberian bantuan asing harus mensyaratkan bebas korupsi, baik dari lembaga pemberi maupun penerima bantuan. "Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan simbol, tetapi perlu upaya yang konsisten, koheren, dan bersinergi," kata Yudi. Peran masyarakat madani seperti ormas dan lembaga swadaya masyarakat, diakui Yudi, berat. Ketidakmampuan kekuatan negara dan pasar dalam memberantas korupsi membuat kelompok ini harus menanggung semua beban masyarakat. Mereka akhirnya terjebak nepotisme dan larut dalam kultur yang korup. "Ormas keagamaan harus kembali ke semangat awal pendiriannya sebagai organisasi yang berjuang membela kepentingan rakyat, tidak terjebak dalam urusan rutin dan teologis semata, tetapi harus lebih membumi sesuai dengan kebutuhan masyarakat," ujarnya. Berdayakan hakim Terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Binsar Gultom, berharap ada pemberdayaan hakim. Hakim yang memiliki keahlian diangkat menjadi hakim khusus. "Sekarang banyak hakim yang berpendidikan strata dua atau strata tiga (S-2/S-3). Mereka ini seharusnya lebih diberdayakan menjadi hakim khusus. Kalau tak ada kasus korupsi, mereka bisa menjalankan tugas sebagai hakim untuk perkara lain," kata Binsar, Rabu. Jika hakim khusus diangkat dari kalangan ahli dan bertugas bila ada perkara, kata Binsar, tak akan efektif dan butuh biaya besar. "Jika hakim khusus seperti ini, seperti dosen terbang. Mereka juga tidak akan fokus karena masih harus menjalankan tugasnya yang lain," papar dia lagi. Untuk memilih hakim khusus Pengadilan Tipikor dari kalangan hakim, lanjut Binsar, Mahkamah Agung (MA) bisa bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY). "Jika jumlah hakim yang dipromosikan menjadi hakim khusus kurang, bisa saja hakim ditambah pengetahuannya," kata dia. Binsar juga menandaskan, semestinya Pengadilan Tipikor dilekatkan dengan pengadilan negeri di kabupaten/kota sehingga tidak membutuhkan biaya yang tinggi. (mzw/tra) Sumber: Kompas - Kamis, 27 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Pemerintah Dinilai Belum Serius Berantas Korupsi
Pemerintah Dinilai Belum Serius Berantas Korupsi "Dengan dipermalukan seperti ini, diharapkan aparat birokrasi malu." JAKARTA -- Pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai masih belum serius. Berdasarkan survei Transparency International Indonesia, indeks persepsi korupsi di Indonesia menurun dari 2,4 pada 2006 menjadi 2,3 pada tahun ini. "Persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia belum berubah," kata Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis di Jakarta kemarin. Transparency International menyurvei 180 negara. Hasil survei terhadap Indonesia diperoleh dari hasil 14 polling berbeda dan dari 12 lembaga independen. Pengusaha dan pengamat menjadi responden survei. Tahun lalu Indonesia berada di peringkat tiga terbawah dari 163 negara yang disurvei. Indonesia berada di posisi 143 bersama Gambia, Togo, dan Rusia. Angka maksimal indeks adalah 10. Semakin tinggi angka indeks, negara tersebut semakin bersih dari korupsi. Angka indeks persepsi Indonesia ini jauh dari indeks Malaysia (5,1) dan Singapura (9,3). Di Asia Tenggara, Indonesia lebih baik dibanding Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini. Posisi teratas ditempati Denmark, Finlandia, dan New Zealand. Ketiga negara itu memiliki indeks persepsi 9,4. Adapun posisi terbawah ditempati Myanmar dan Somalia (1,4). Todung menilai masyarakat indonesia menganggap pemerintah tak konsisten dalam memberantas korupsi. Publik menilai Indonesia tetap tak serius memberantas korupsi. "Angka indeks tinggi hanya jika ada konsistensi pemberantasan korupsi," katanya. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengakui pemberantasan korupsi di Indonesia hampir tak berubah. Ia muak melihat hasil survei yang menunjukkan tak ada perbaikan dalam pemberantasan korupsi. "Biarpun KPK sudah menangkap sana-sini, tetap saja duit negara ditilep," kata dia. "Tapi diharapkan, dengan dipermalukan seperti ini, aparat birokrasi jadi merasa malu." Menurut Ruki, pemberantasan korupsi tak hanya tanggung jawab KPK yang merupakan pelatuk kejaksaan dan kepolisian. KPK, kata dia, hanya menangani kasus di masa depan, tapi tak menangani kasus lama yang merupakan wewenang kejaksaan. Pemimpin negara, kata Ruki, harus berkomitmen kuat memberantas korupsi. Ia mencontohkan Singapura pada 1960-an yang merupakan sarang penyelundup. Komitmen kuat Perdana Menteri Lee Kuan Yew menjadikan Singapura kini memperoleh indeks persepsi 9,3. Ruki menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersuara lebih kencang terhadap pemberantasan korupsi. Suara keras itu perlu dukungan lembaga hukum, Mahkamah Agung, atau hakim. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menganggap indeks persepsi konsumen mempengaruhi iklim investasi. Angka indeks persepsi korupsi yang rendah menjadikan investor enggan menanamkan modal. Para investor, kata Sofjan, enggan berurusan dengan praktek suap. Adapun anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Bagus Suryama, menganggap hampir tak ada profesi bebas dari korupsi, bahkan anggota legislatif, pengacara, polisi, jaksa, dan hakim. Tapi, katanya, pemberantasan korupsi mulai membaik dibandingkan dengan dalam pemerintahan lalu. "Meskipun masih tebang-pilih," katanya. PRAMONO Sumber: Koran Tempo - Kamis, 27 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Mahfud M.D. Pernah Ditawari Henry Uang Satu Tas
Mahfud M.D. Pernah Ditawari Henry Uang Satu Tas Pengusutan Kasus Asabri JAKARTA - Henry Leo, salah seorang tersangka kasus korupsi PT Asuransi ABRI (Asabri) Rp 410 miliar, benar-benar royal. Pengusaha rekanan Dephan itu bukan hanya membelikan rumah mewah terhadap mantan KSAD Jenderal (pur) R Hartono, tetapi juga memberikan uang kepada Mahfud M.D. semasa menjabat menteri pertahanan (Menhan). Itu terungkap saat berlangsungnya rapat kerja (raker) Komisi III DPR dengan jajaran Kejaksaan Agung (Kejagung) di gedung MPR/DPR kemarin. Saat sesi tanya jawab, anggota Komisi III Ahmad Fauzi (FPD) mengajukan pertanyaan seputar keseriusan kejaksaan mengusut kasus pemberian kavling rumah untuk mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) T.B. Silalahi. Nah, saat mengulas materi pertanyaan, Fauzi tiba-tiba menyentil penolakan Mahfud saat diberi uang satu koper oleh Henry. Selanjutnya, giliran Mahfud mengomentari pernyataan tersebut. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengakui, tawaran tersebut terjadi semasa dia menjabat Menhan di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. "Bukan satu tas koper, tetapi uang dalam satu tas besar," ungkap Mahfud dalam raker yang dipimpin Trimedya Panjaitan itu. Menurut Mahfud, tas besar itu diserahkan Henry saat hendak menunaikan ibadah haji. Guru besar UII tersebut awalnya menyangka tas besar itu berisi kain ihram. "Saat saya buka, isinya ternyata (tumpukan) uang," jelas Mahfud. Dia lantas memanggil Irjen Dephan untuk mengurus pengembalian uang tersebut kepada Henry. Mahfud juga mengaku pernah ditawari apartemen oleh Henry. Dia diminta memilih salah satu di antara dua apartemen. "Saya juga menolak karena tidak ada hubungannya dengan saya," ujar politikus kelahiran Pamekasan itu. Pengakuan Mahfud tersebut memicu interupsi berbagai anggota komisi III lain. Mereka umumnya menyoroti keseriusan kejaksaan mengungkap kasus hadiah kepada pejabat terkait bisnis yang ditekuni Henry.(agm) Sumber: Jawapos - Selasa, 25 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Kejagung Minta Dukungan Jaksa Agung Sedunia
Kejagung Minta Dukungan Jaksa Agung Sedunia Usut Aset Soeharto Seret Mbak Tutut JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) serius menindaklanjuti dokumen Bank Dunia berisi aset mantan Presiden Soeharto di luar negeri (LN). Selain mengajukan request ke Bank Dunia, kejaksaan bakal minta dukungan kepada seluruh jaksa agung sedunia yang akan hadir di pertemuan The 2nd Annual Conference and General Meeting of The International Association of Anti-Corruption Authorities (IAACA) di Nusa Dua, Bali, pada 21-24 November mendatang. Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, dalam pertemuan tersebut, para jaksa agung akan membicarakan konvensi untuk merumuskan mekanisme penelusuran aset, agar tidak melanggar prinsip-prinsip kerahasiaan bank. "Kami juga membuat kesepakatan dengan lembaga internasional, untuk berkomitmen membantu pelacakan (aset Soeharto)," kata Hendarman di sela rapat kerja antara Komisi III DPR dan jajaran kejaksaan di Gedung MPR/DPR, kemarin. Menurut dia, kejaksaan tidak dapat menindaklanjuti temuan Bank Dunia tanpa hasil pertemuan IAACA tersebut. Hendarman menjelaskan, kejaksaan mutlak harus masuk dalam tataran global untuk pelacakan aset Soeharto. Kejaksaan juga memenuhi tawaran Prakarsa PBB dalam The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Di tengah upaya menindaklanjuti temuan aset Soeharto, kejaksaan menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan keluarga Cendana. Kali ini terkait keterlibatan Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut dalam kasus korupsi penerbitan commercial paper dalam pembangunan jalan tol yang diduga merugikan Rp 209,35 miliar dan USD 105 ribu. "Saat ini, kasus itu masih dalam penyelidikan di Kejati DKI," kata Hendarman. Dalam paparannya, Hendarman tidak mendetailkan kasus tersebut. Dia hanya mengatakan, kasusnya terkait pembangunan jalan tol. Penyelidikan kasus tersebut terungkap ketika anggota Komisi III Nadrah Izahari (F-PDIP) menyoroti keseriusan kejaksaan menangani kasus korupsi keluarga Soeharto. Mulai gugatan kerugian negara dalam kasus Yayasan Supersemar, kasus korupsi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) yang menyeret Tommy Soeharto, hingga tunggakan kasus yang melibatkan Mbak Tutut.(agm) Sumber: Jawapos - Selasa, 25 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Jenderal Hartono Terancam Kasus Suap
Jenderal Hartono Terancam Kasus Suap "Rumah sudah saya kembalikan." Jakarta -- Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan penyidik kejaksaan tengah mendalami motif pemberian rumah oleh tersangka kasus korupsi dana PT Asabri, Henry Leo, kepada mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Purnawirawan) TNI R. Hartono. "Mengapa rumah itu dibeli dari uang Asabri lalu diserahkan ke Hartono?" katanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat RI kemarin. Menurut dia, jika rumah itu diberikan karena posisi Hartono sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Henry Leo bisa dikenai pasal penyuapan. "Yang menyuap dan yang disuap akan ditindak," ujarnya. Hartono diketahui menerima hadiah rumah di Jalan Suwiryo Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat, dari Henry Leo pada 1995. Kepada Tempo, Hartono mengakui memperoleh rumah itu dari temannya, Direktur PT Dutaraya Kawijaya (mitra PT Asabri). Namun, dia mengaku tak mengetahui motif pemberian itu. "Sekarang sudah saya kembalikan," katanya. Keberadaan rumah itu terungkap setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit Asabri. Audit dilakukan berkaitan dugaan korupsi di Asabri senilai Rp 410 miliar pada 1995. Dalam kasus ini, kejaksaan sudah menetapkan dua tersangka, yakni Henry Leo dan Mayor Jenderal (Purn) Subarda Midjaja, Direktur Asabri waktu itu. Istri Henry Leo, Yul Sulinah, memperkuat temuan BPKP. Selain kepada Hartono, menurut Sulinah, suaminya memberikan rumah kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) T.B. Silalahi, yang saat itu menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Kini Silalahi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Sulinah mengatakan rumah yang terletak di Jalan Pantai Kuta VI, Pademangan, Ancol Timur, Jakarta Utara, itu diberikan pada 26 Juni 1996. Pemberian itu, kata dia, atas nama Paul Banuara Silalahi, putra T.B. Silalahi. Namun, T.B. Silalahi dan Paul Banuara membantahnya. Paul Banuara mengatakan rumah di atas tanah 750 meter persegi di Ancol yang disebut-sebut pemberian Henry Leo itu adalah hasil jual-beli. Dalam salinan akta yang diperoleh Tempo, jual-beli terjadi antara Henry dan Paul pada 31 Desember 1997, dengan harga Rp 1,018 miliar. "Jadi tidak benar kalau saya dibilang diberi. Apalagi mengaitkannya dengan Pak TB. Beliau kan Menpan, nggak ada proyeknya." Jaksa Agung Hendarman Supandji juga menegaskan rumah milik T.B. Silalahi murni hasil jual-beli. Bukti akta notaris yang diperlihatkan istri Henry Leo, kata Hendarman, merupakan bukti formal proses jual-beli. "Kami cross check, notarisnya pun menyebutkan jual-beli." Anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Lumbuun, berpendapat akta notaris memang menunjukkan bukti jual-beli. "Namun, tidak mendasarkan bukti sebagai tindak pidana, misalkan upaya suap-menyuap. Pembuktian pidana ini harus materiil, bukan hitam di atas putih," ujarnya. Karena itu, kata Gayus, Komisi Hukum akan menyusun panitia kerja DPR untuk membahas dugaan korupsi Asabri. "Panitia kerja nantinya akan membantu menguak kasus ini bersama-sama dengan kejaksaan." Anggota Komisi Hukum lainnya, Arbab Paproika, mengatakan Kejaksaan Agung mestinya tegas menyikapi kemungkinan keterlibatan beberapa petinggi TNI dalam kasus Asabri. Dia mengaku memperoleh informasi ada semacam instruksi atau perintah dari struktur TNI dalam Asabri. Panda Nababan, juga anggota Komisi Hukum, menyarankan agar kejaksaan bekerja sama dengan Polisi Militer TNI mengurai kasus ini. "Agar tidak terjadi kecanggungan dalam pemeriksaan," katanya. SUDRAJAT | SANDY INDRA PRATAMA | DWI RIYANTO AGUSTIAR | FANNY FEBIANA Sumber: Koran Tempo - Selasa, 25 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Buka Lagi Kasus Pidana Soeharto
Buka Lagi Kasus Pidana Soeharto MPR meminta Kejaksaan Agung lebih proaktif. JAKARTA -- Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman menyatakan, untuk memburu harta mantan presiden Soeharto, status hukum perkara pidananya harus ditetapkan agar bisa memperoleh akses membuka data bank di luar negeri. "Syaratnya (untuk membuka akses bank), ada status resmi bahwa Soeharto sedang diproses hukum secara pidana," kata Marzuki di gedung MPR/DPR kemarin. Menurut dia, tidak ada lembaga yang bersedia membuka keterangan atau informasi tanpa status hukum tersebut. Perburuan harta Soeharto kembali muncul ke permukaan setelah Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, tiga hari lalu. Dalam laporan lembaga internasional itu, Soeharto menduduki peringkat pertama pencuri aset negara. Direktur Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda mengakui memang harus ada kesalahan atau perbuatan hukum yang harus dibuktikan apabila pemerintah serius menindaklanjuti gerakan StAR. Menurut dia, gugatan tidak harus secara pidana. "Perdata pun bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum." Namun, kata Yoseph, proses hukum Soeharto harus diawali dengan temuan konkret dari StAR soal harta mantan penguasa Orde Baru itu di luar negeri. "StAR dulu yang membuktikan bahwa data yang mereka miliki valid," kata Yoseph. Jika ada bukti, Yoseph melanjutkan, kejaksaan akan menyiapkan penyelidikan dan gugatan penarikan aset. Mengenai hal ini, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid justru meminta Kejaksaan Agung yang proaktif meneliti data StAR. "Agar nama bangsa Indonesia bisa dibersihkan, sekaligus harta negara bisa dikembalikan jika memang terbukti terjadi penyimpangan seperti yang disampaikan itu," katanya seusai buka puasa di rumah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono kemarin. Pada kesempatan lain, Agung mendukung rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick di New York, 22-26 September mendatang. "Perlu ada kejelasan, konfirmasi, karena ini menyangkut citra negara kita," katanya. Namun, di luar rencana pertemuan Yudhoyono dengan Zoellick, hingga saat ini Indonesia belum menghubungi Bank Dunia untuk menindaklanjuti data StAR. Meski begitu, "Kami tetap membuka tangan jika pemerintah Indonesia menginginkan bantuan kami," kata Jhon Hellman, Chief Governance Advisor World Bank, kepada Tempo di Jakarta kemarin. Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, pesimistis StAR akan efektif mengembalikan aset para koruptor. Ia justru khawatir gerakan yang diprakarsai PBB dan Bank Dunia itu hanya pengalihan agenda. "Ini hanya untuk menunjukkan seolah-olah Bank Dunia berpihak pada negara berkembang," katanya kemarin. KURNIASIH | SANDY IP | AQIDA | PURBORINI | DESY | FANNY Sumber: Koran Tempo - Jumat, 21 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Menangkan Perdata Dulu, Baru Tarik Aset Soeharto
Menangkan Perdata Dulu, Baru Tarik Aset Soeharto JAKARTA - Data PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Bank Dunia yang menempatkan mantan Presiden Soeharto dalam deretan penguasa paling korup di dunia bisa saja ditindaklanjuti Kejaksaan Agung (Kejagung). Misalnya, menarik aset-aset milik penguasa Orde Baru itu yang diparkir di luar negeri. Tapi, itu tidak mudah. Ada beberapa syarat yang harus dilakukan Kejagung. Di antara syarat itu, Kejagung harus terlebih dahulu memenangi perkara perdata Soeharto. Yakni, menggugat perdata aset Yayasan Supersemar milik Soeharto. "Sebab, kalau perdata kalah, bagaimana Indonesia bisa meminta negara-negara lain membantu menarik aset-aset Soeharto," kata Romli Atmasasmita, pakar hukum dari Unpad (Universitas Padjadjaran), Bandung. Menarik aset, kata Romli, harus ditunjukkan dengan bukti hukum. Yakni, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht). Jika memang serius menindaklanjuti data PBB dan Bank Dunia terkait aset Soeharto di sejumlah bank di luar negeri, kejaksaan harus memenangi gugatan. Selasa lalu Bank Dunia dan PBB melalui program StAR (Stolen Asset Recovery Initiative) menempatkan Soeharto dalam deretan mantan penguasa paling korup. Jenderal bintang lima itu bahkan menempati posisi nomor wahid, di atas mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan mantan Presiden Zeire Mobutu Seseko. Romli menjelaskan, StAR bertujuan semua negara saling membantu dalam pengembalian aset hasil korupsi pascaratifikasi konvensi antikorupsi sedunia, United Nation Convenant Against Corruption (UNCAC). Penempatan Soeharto dalam posisi pertama bukannya tanpa alasan. Menurut Romli, itu adalah bentuk tekanan dari dunia internasional kepada penegak hukum Indonesia. "Ini adalah suatu warning bagi pemerintah Indonesia untuk serius, atau dengan kata lain dunia internasional mempertanyakan apa yang telah dilakukan sehingga kasus Soeharto tidak pernah tuntas. Ini warning dunia internasional," ujar salah seorang penyusun UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu. (ein/agm) Sumber: Jawapos - Jumat, 21 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Jaksa dan Nurdin Bersepakat
Jaksa dan Nurdin Bersepakat Pertemuan di Depan Rumah Tahanan Jakarta, Kompas - Sebelum proses penahanan, ternyata mantan Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia Nurdin Halid dan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Hidayatullah sudah berhubungan melalui telepon. Mereka sepakat bertemu di depan Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, dalam rangka proses eksekusi Nurdin yang dihukum dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung dalam kasus korupsi. Keterangan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman itu terkesan sebagai upaya menyelesaikan kontroversi mengenai proses penahanan Nurdin pada Selasa (18/9) pagi. "Dengan penjelasan ini, diharapkan masalah sudah selesai," kata Kemas di Gedung Bundar Kejagung, Kamis. Sebelumnya, dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Selasa, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Thomson Siagian didampingi Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Adi Toegarisman menyampaikan, tim eksekutor Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan tim intelijen Kejati DKI Jakarta berhasil menemukan Nurdin di Menteng pukul 04.20. Lalu Nurdin dibawa ke Rutan Salemba. Saat ditanya wartawan apakah kejaksaan telah menangkap Nurdin, Thomson mengatakan, "Silakan, itu interpretasi Saudara. Yang jelas, tim kejaksaan menemukan terpidana di daerah Menteng." (Kompas, 19/9) Keterangan itu dibantah adik kandung Nurdin, Kadir Halid, dan penasihat hukum Nurdin, Ali Abbas. Mereka mengatakan keterangan jaksa tidak benar. "Nurdin itu tidak ditangkap. Kami sudah berkoordinasi dengan jaksa untuk bertemu di depan Rutan Salemba. Jadi sama sekali tidak benar ada penangkapan di daerah Menteng. Saya ini menemani Nurdin dari rumah hingga ke Rutan Salemba," ujar Kadir. (Kompas, 19/9) Kemas Yahya Rahman mengakui ada kekeliruan jaksa eksekutor dalam menyampaikan laporan soal eksekusi Nurdin. Setelah diteliti, kata Kemas, diketahui bahwa Kepala Kejari Jakarta Selatan Hidayatullah dan Nurdin sudah berhubungan melalui telepon pada hari Senin (17/9) siang. Mereka sepakat bertemu di depan Rutan Salemba. Hari Senin itu Nurdin Halid dipanggil jaksa untuk dieksekusi, tetapi tidak datang ke Kejari Jaksel. Ditanya tentang penjelasan kejaksaan sebelumnya yang menyebutkan Nurdin Halid ditemukan di Menteng, Kemas menolak menjawab. Kemas juga menolak menjelaskan mengenai kesepakatan waktu eksekusi pada dini hari. "Tidak jelas," kata Kemas. Ali Abbas, pengacara Nurdin, menyambut baik keterangan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman itu. "Kalau keterangannya seperti itu, ya sudah, masalahnya sudah clear. Kami maupun Pak Nurdin Halid tidak akan mempersoalkan lagi," kata Ali Abbas yang dihubungi Kamis malam. Dua hari lalu Ali Abbas menyatakan, tim kuasa hukum Nurdin menyurati Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung untuk menarik ucapannya mengenai penangkapan Nurdin dan meminta maaf kepada Nurdin. Alasan keamanan Perihal tempat penahanan Nurdin, Kemas menegaskan, jaksa sudah menyerahkan kepada pihak yang berwenang. Direktur Penyidikan pada Bagian Tindak Pidana Khusus Kejagung Muhammad Salim mengatakan, jaksa sedang bersiap memeriksa Nurdin sebagai saksi atas dugaan korupsi di Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh. Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah DKI Jakarta Gusti Tamardjaja kemarin siang mengaku belum ada rencana memindahkan Nurdin ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Salah satu alasan tetap menahan Nurdin di Rutan Salemba adalah untuk keamanan. (IDR) Sumber: Kompas - Jumat, 21 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] DPR Minta Biaya Perkara Diaudit
DPR Minta Biaya Perkara Diaudit "Prinsipnya, lembaga negara itu dibiayai oleh negara, maka keluar-masuknya uang di lembaga itu berada dalam wilayah auditor negara," kata Almuzammil Yusuf, anggota Komisi Hukum, kemarin. JAKARTA -- Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan Badan Pemeriksa Keuangan harus mengaudit biaya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. "Prinsipnya, lembaga negara itu dibiayai oleh negara, maka keluar-masuknya uang di lembaga itu berada dalam wilayah auditor negara," kata Almuzammil Yusuf, anggota Komisi Hukum, kemarin. Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menilai dalih Mahkamah Agung yang menolak diaudit dengan alasan berpegang pada Hukum Acara Perdata juga tak pas. "Karena di situ tidak dibicarakan pemeriksaan," katanya, "melainkan pengaturan masalah teknis administrasi pembayaran biaya perkara oleh pemohon kepada pengadilan melalui panitera." Berkaitan dengan persoalan ini, Ketua BPK Anwar Nasution telah melaporkan MA ke Markas Besar Kepolisian RI pada 13 September lalu. Anwar menilai MA tidak kooperatif terhadap auditor negara yang ingin mengaudit pungutan biaya perkara. "Mahkamah Agung bergeming dan tetap tidak mau diperiksa terkait dengan biaya perkara tahun 2005-2006," katanya. Selain kepada polisi, BPK membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi. Kepala Polri Jenderal Sutanto mengatakan akan memproses semua laporan yang masuk. Namun, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengatakan belum menerima laporan BPK itu. Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie menyarankan MA dan BPK segera bertemu untuk menyelesaikan masalah ini. "Harus dicari jalan alternatif tentang sengketa ini, yaitu dengan mediasi," katanya dua hari lalu. Jimly menyarankan pertemuan kedua belah pihak ini juga dihadiri pemerintah. Mahkamah Agung mempertanyakan upaya mediasi ini. "Apa yang perlu dimediasi?" tanya Djoko Sarwoko, juru bicara Mahkamah Agung, kemarin. Menurut dia, masalah ini hanyalah soal beda pandangan. Mahkamah, kata dia, tidak mau diaudit karena berpegang pada hukum acara perdata. "Uang perkara itu milik pihak ketiga," kata Djoko. Dalam hukum keperdataan, katanya, uang pihak ketiga masuk dalam lingkungan peradilan yang tidak boleh dicampuri pihak lain. Dia menjelaskan MA dan BPK telah membentuk tim untuk membahas biaya perkara sejak Juni 2006. Salah satu yang dibahas tim adalah pengaturan dana biaya perkara yang akan dimasukkan dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Nantinya, hasil pembahasan tim itu akan dituangkan dalam bentuk peraturan Mahkamah Agung. Mengenai mekanisme biaya perkara, Djoko menjelaskan, biaya perkara disetorkan sejak seseorang mengajukan gugatan. Pembayaran biaya perkara merupakan salah satu persyaratan untuk bisa mendaftarkan gugatan di pengadilan. "Itu berlaku universal. Di negara mana pun sama," katanya. Biaya perkara ini digunakan untuk membayar biaya operasional, seperti melakukan pemanggilan pihak-pihak yang beperkara, memfotokopi gugatan, dan sebagainya. "Semuanya sudah diatur dalam Hukum Acara Perdata," katanya. Yang menentukan besarnya jumlah biaya perkara adalah ketua pengadilan negeri, disesuaikan dengan kondisi di daerah masing-masing. RINI KUSTIANI Sumber: Koran Tempo - Jumat, 21 September 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Sejumlah Pengacara Akui Terima Dana Bank Indonesia
Sejumlah Pengacara Akui Terima Dana Bank Indonesia "Lebih baik kita bicarakan yang lainnya," JAKARTA -- Sejumlah pengacara mengakui menerima dana dari Bank Indonesia sebagai pembayaran jasa bantuan hukum yang diberikan kepada mantan pejabat lembaga tersebut. Pengacara Albert Hasibuan mengaku mendapat fee atas jasanya sebagai penasihat hukum mantan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono. Menurut dia, pembayaran tersebut dilakukan dalam dua tahap, masing-masing Rp 300 juta dan Rp 1 miliar. Albert juga memastikan dana yang diterimanya hanya Rp 1,3 miliar, bukan Rp 1,43 miliar seperti yang tertulis pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Bank Indonesia 2004. "Tapi saya tidak tahu uang itu dari mana," katanya kepada Tempo. Penasihat hukum Sudradjad yang lain, Luhut M.P. Pangaribuan, juga mengatakan hal senada. Ketika dimintai konfirmasi apakah imbal jasanya sebesar Rp 1,43 miliar, Luhut mengatakan, "Mungkin saja, saya sudah lupa." Maiyasyak Johan, yang dalam dokumen BPK tercatat sebagai penasihat hukum mantan Direktur BI Paul Sutopo, juga mengakui menerima pembayaran dari bank sentral. Mengenai apakah jumlahnya Rp 6,74 miliar seperti yang tercantum dalam hasil audit bank sentral, dia mengatakan, "Saya dibayar sesuai dengan kontrak. Tapi jumlahnya tidak bisa saya sebutkan karena itu rahasia saya dengan klien." T. Nasrullah, pengacara mantan Direktur Bank Indonesia yang lain, juga membenarkan telah menerima pembayaran dari bank sentral. "Saya lupa jumlahnya. Sumber dananya saya tidak tahu," katanya kemarin Dokumen hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Bank Indonesia Tahun Buku 2004, yang salinannya diterima Tempo, menyebutkan adanya pengucuran dana Rp 68,5 miliar kepada sejumlah pengacara untuk menyelesaikan permasalahan hukum mantan pejabat bank sentral. Selain untuk pengacara, menurut dokumen itu, BI juga mengucurkan dana Rp 31,5 miliar untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut laporan itu, seluruh dana tersebut diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)/Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Dua yayasan itu ada di bawah naungan Bank Indonesia. BPK juga menemukan adanya kantor hukum yang tidak melaporkan pajak pertambahan nilai, atau ada yang melaporkan tapi nilainya berbeda. Kepada Tempo, Ketua BPK Anwar Nasution membenarkan kesahihan dokumen tersebut. "Itu (dokumen) adalah bagian dari surat saya ke penegak hukum setahun yang lalu," katanya. Para pejabat bank sentral hingga kini menolak memberikan konfirmasi atas laporan BPK tersebut. Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Budi Mulya memilih bungkam saat ditanyai soal pengucuran dana tersebut "Lebih baik kita bicarakan yang lainnya," ujarnya sembari tersenyum pada Rabu lalu. M. NUR ROCHMI | KURNIASI BUDI | RINI KUSTIANI | AGOENG WIJAYA Sumber: Koran Tempo - Jumat, 31 Agustus 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Panitia Seleksi KPK Akui Pertimbangkan Kuota
Panitia Seleksi KPK Akui Pertimbangkan Kuota Jakarta, Kompas - Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengakui mempertimbangkan kuota antara unsur pemerintah dan masyarakat. Namun, Pansel membantah ada politik afirmasi atau memasukkan orang dengan latar belakang institusi tertentu. Kuota dilakukan cuma untuk proporsionalitas sehingga sinergi bisa tercipta. Demikian diungkapkan Sekretaris Panitia Seleksi (Pansel) KPK Gunawan Hadisusilo di Jakarta, Kamis (30/8). Ia menganalogikan KPK seperti membangun rumah yang perlu tukang batu, tukang cat, dan tukang las. "Komposisi harus seimbang sehingga dapat saling mengisi," ujarnya. Menurut Gunawan, kuota dipertimbangkan karena Pasal 43 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, keanggotaan KPK terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Kedua, karena melihat aspirasi masyarakat tentang kasus apa yang harus ditangani KPK. "Jadi, dengan adanya kombinasi mereka bisa bekerja sama. Tidak ada politik afirmasi. Pansel hanya ingin memenuhi aspirasi masyarakat," kata Gunawan. Soal dugaan masuknya calon dari jaksa dan polisi menjadi sebuah keharusan dalam komposisi pimpinan KPK, Gunawan menuturkan, Pasal 21 Ayat 4 UU No 30/2002 tentang KPK memang mencantumkan unsur pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. "Memang tidak ada secara eksplisit pimpinan KPK itu harus dari jaksa dan polisi, tetapi secara implisit ada," ujar Gunawan. Pengamat hukum tata negara, A Irman Putrasidin, mengingatkan, KPK merupakan lembaga antitesa dari kejaksaan dan kepolisian yang dinilai tidak mampu memberantas korupsi. "Jadi, aneh kalau justru ada kuota bagi orang dari institusi yang dinilai gagal memberantas korupsi. Buat apa ada KPK bila orang kejaksaan dan kepolisian hanya pindah kamar," katanya. Argumen kedua, lanjut Irman, dalam struktur ketatanegaraan, KPK adalah state auxiliary agencies. KPK dibentuk sebagai reaksi atas ketidakberdayaan kekuasaan klasik negara selama ini. (vin) Sumber: Kompas - Jumat, 31 Agustus 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Korupsi Ditangani Pengadilan Tipikor
Korupsi Ditangani Pengadilan Tipikor PN Tak Akan Tangani Korupsi Jakarta, Kompas - Sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi atau MK supaya tidak terjadi dualisme penanganan kasus-kasus korupsi, semua kasus korupsi, baik yang ditangani kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, akan bermuara di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Kedudukan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) direncanakan akan berada di seluruh pengadilan negeri. Demikian dikemukakan Ketua Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Romli Atmasasmita di Jakarta, Kamis (30/8). Tim perumus sudah menggelar rapat pembahasan dua kali. Diharapkan, tahun 2008 RUU ini sudah diserahkan ke DPR. "Sesuai dengan putusan MK, hanya ada satu yurisdiksi penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu Pengadilan Tipikor. Nanti tidak ada lagi pengadilan negeri yang akan menangani kasus-kasus korupsi," ujar Romli. Ia melanjutkan, poin penting lain yang dibahas dalam perumusan tim adalah soal pemeriksaan pendahuluan. Di dalam RUU Pengadilan Tipikor, pengadilan memiliki wewenang untuk memeriksa surat dakwaan jaksa penuntut umum. Pemeriksaan pendahuluan ini, ujar Romli, dimaksudkan untuk memeriksa apakah jaksa sudah memiliki cukup bukti untuk menyeret seseorang ke Pengadilan Tipikor. Pemeriksaan pendahuluan akan dilakukan terbuka untuk umum sehingga transparan dan bisa diakses oleh publik. Hal ini untuk menghindari kolusi antara hakim dan jaksa. "Publik juga bisa melihat apakah kejaksaan atau KPK sudah bekerja profesional dengan memiliki bukti-bukti kuat mengadili seseorang," kata Romli. Selain itu, kata Romli, jika terjadi kolusi antara jaksa dan polisi, maka Komisi Yudisial harus turun memeriksa hakim dan Komisi Kejaksaan harus turun untuk memeriksa para jaksa. Tim penegak kode etik yang dibentuk Jaksa Agung Hendarman Supandji juga harus turun untuk memeriksa jika disinyalir terjadi praktik kolusi itu. "Para hakim tipikor, baik hakim karier maupun nonkarier, harus mengikuti proses sertifikasi dan perekrutan hakim. Proses ini dilakukan oleh tim independen, bisa terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, mungkin juga Komisi Yudisial masuk," ungkapnya. Romli mengatakan, saat ini tim perumus mendapat tiga draf, yaitu draf RUU Pengadilan Tipikor versi masyarakat, versi KPK, dan versi Dirjen Peraturan Perundang-undangan Dephuk dan >small 2small 0<. "Draf versi masyarakat yang menjadi acuan, sementara versi KPK dan Dirjen PP akan menjadi pembanding," kata Romli. (VIN) ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] BI Tebar Rp 31,5 Miliar ke DPR
BI Tebar Rp 31,5 Miliar ke DPR Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan yayasan. JAKARTA - Bank Indonesia dikabarkan membagi-bagikan total Rp 31,5 miliar ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 2003. Dana itu digunakan untuk pembahasan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Dari dokumen hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Bank Indonesia Tahun Buku 2004, yang salinannya diterima Tempo, diketahui dana itu diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)/Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) senilai Rp 100 miliar. Kedua yayasan itu ada di bawah naungan Bank Indonesia. Dari jumlah itu, Rp 31,5 miliar di antaranya dibagi-bagikan ke sejumlah anggota DPR. Sisanya, Rp 68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum mantan pejabat Bank Indonesia. Pada saat itu sejumlah mantan petinggi BI, seperti J. Sudradjad Djiwandono, Heru Supraptomo, Hendrobudianto, dan Paul Sutopo, sedang tersangkut kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Menurut laporan itu, penggunaan dana tersebut adalah hasil keputusan rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam dua kali pertemuan. Dalam pertemuan pertama, 3 Juni 2003, diputuskan penggunaan dana LPPI senilai Rp 100 miliar untuk membiayai kegiatan yang insidental dan mendesak di Bank Indonesia. Rapat ini diputuskan antara lain oleh Deputi Gubernur Aulia Pohan dan Aslim Tadjudin. Kemudian, pada rapat 22 Juli 2003 diputuskan Bank Indonesia akan memberikan bantuan peningkatan modal kepada LPPI sebesar Rp 100 miliar untuk menggantikan penyisihan dana itu. Dokumen ini semakin mengukuhkan pandangan tentang maraknya praktek suap-menyuap di parlemen. Awal Agustus lalu, Indonesia Corruption Watch melaporkan Bank Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi karena lembaga itu diduga memberikan suap senilai Rp 3,8 miliar untuk pembahasan undang-undang. Pencairan dana untuk DPR ini, berdasarkan dokumen tersebut, diserahkan melalui salah seorang anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari salah satu fraksi terbesar di Senayan. Sedangkan pencairan dana Rp 68,5 miliar untuk bantuan hukum mantan pejabat bank sentral dilakukan lewat sejumlah kantor hukum. Ketua BPK Anwar Nasution membenarkan soal dokumen tersebut. Menurut dia, dokumen tersebut adalah hasil pemeriksaan yang menemukan adanya transaksi janggal di Bank Indonesia. "Itu (dokumen) adalah bagian dari surat saya ke lembaga penegak hukum setahun yang lalu," katanya kepada Tempo dan Liputan 6-SCTV, Kamis lalu. Adapun Deputi Gubernur Bank Indonesia Aslim Tadjuddin mengaku tak tahu-menahu soal aliran dana ke DPR itu. "Saya tidak tahu itu," ujarnya. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan membenarkan adanya permintaan bank sentral kepada LPPI senilai Rp 100 miliar itu. Menurut dia, tidak ada yang salah dengan permintaan tersebut. "Karena dana yang ada di LPPI adalah milik Bank Indonesia. Jadi itu bukan milik negara," katanya. Soal penggunaan dana tersebut, Aulia mengaku tidak mengetahuinya. "Saat itu memang tak spesifik untuk apa, banyak." Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Rizal Djalil, mengaku tidak mendengar soal adanya aliran dana tersebut. "Saat itu saya lebih banyak di Jambi," katanya. SETRI YASRA | ANNE L HANDAYANI | AGOENG WIJAYA | YULIAWATI | RAFLY WIBOWO | AGUS SUPRIYANTO | KARANIYA DHARMASAPUTRA | MOHAMAD TEGUH Sumber: Koran Tempo - Senin, 27 Agustus 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Menyingkap Tradisi Suap Parlemen
Menyingkap Tradisi Suap Parlemen Dana lobi bisa memakan 60 persen dari anggaran yang dialokasikan. Rokhmin Dahuri tak juga habis pikir kenapa hanya dirinya yang mendekam di balik jeruji penjara. Ditemui Tempo dan Liputan-6 SCTV belum lama ini, mantan Menteri Kelautan itu hakulyakin apa yang dilakukannya terjadi di semua departemen. "Setiap urusan di DPR kan harus pakai uang," katanya, "Bedanya, hanya saya yang membuat catatan." Lebih dari sekadar catatan, indikasi teranyar kini meruap dari sebuah dokumen laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Bank Indonesia yang diperoleh Tempo. Dikonfirmasikan oleh Ketua BPK Anwar Nasution, laporan itu mengungkap kucuran dana Rp 31,5 miliar dari bank sentral pada 2003 untuk mengegolkan rencana amendemen Undang-Undang BI. Mewabahnya suap dan pemerasan di parlemen memang sudah menjadi rahasia umum. "It's huge (ini luar biasa besar-Red.). Skalanya jauh melebihi di masa Orde Baru," pengusaha Sofjan Wanandi mengeluhkannya, "Apalagi kalau menyangkut kepentingan bisnis besar." Sofjan mestinya tak asal bicara. Ia baru-baru ini ikut memimpin tim lobi Kadin soal Undang-Undang Pajak. Seorang tokoh yang berpengalaman dalam urusan ini dan meminta identitasnya disembunyikan memastikan praktek tersebut berlaku di semua partai "tanpa terkecuali". Ia membeberkan, sepak-terjang anggota parlemen dari sebuah partai keagamaan yang mencitrakan dirinya sebagai partai bersih pun setali tiga uang, "Mereka datang sendiri dan terang-terangan minta uang." Mantan Menteri Dalam Negeri Ryaas Rasyid pun mengkonfirmasikan gejala memprihatinkan ini. "Salah satu sumbernya adalah di panitia anggaran," ia memastikan. Sayang, ia tak bersedia menjelaskan lebih gamblang dengan alasan ia kini "hanya duduk di komisi air mata". Ryaas merupakan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang antara lain membidangi pemerintahan dalam negeri. Fenomena ini jelas bukan gejala baru. Telah berkali-kali kasusnya diungkap oleh pers. Pada pertengahan 2002, anggota parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Meilono Soewondo, menjadi pucuk berita di mana-mana setelah membongkar upaya penyuapan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang terkait dengan rencana divestasi sebuah bank. Bersama koleganya di PDIP, Indira Damayanti Sugondo, Meilono menolak pemberian uang senilai $ 1.000 per kepala. "Itu diberikan sehari sebelum rapat kerja yang membahas hal yang sama di DPR," kata Indira. Pertengahan 2006 lalu, tersingkap kasus amplop Departemen Dalam Negeri yang dikirimkan atas permintaan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh Ferry Mursyidan Baldan. Gara-gara urusan ini, Ferry sempat diperiksa Badan Kehormatan DPR. Benny K. Harman dari Partai Demokrat, yang melaporkan kasus ini ke Badan Kehormatan, mengatakan praktek ini, "memang jadi tradisi di Senayan." Tradisi tercela itu, sebagaimana diakui anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fachri Hamzah, sudah sedemikian berurat-berakar. Segala urusan di parlemen selalu diwarnai uang suap, ibarat, "hujan amplop yang berjatuhan dari atas genting." Modusnya pun sangat beragam. Ia mencatat setidaknya ada lima saluran yang biasa dieksploitasi untuk memeras dana terlarang, yakni rapat kerja di komisi, panitia anggaran, kunjungan kerja, panitia khusus RUU, dan panitia khusus kasus. Modusnya terentang mulai sekadar pemberian amplop di setiap rapat rutin, percaloan dalam penyusunan anggaran, sampai suap bernilai miliaran rupiah berkait dengan pembahasan kasus-kasus kakap (lihat, "Semua Bermuara di Senayan"). Lalu, berapa anggaran negara yang lenyap akibat praktek ini? "Kita bicara triliunan rupiah, karena ukurannya adalah APBN itu sendiri," Fachri menaksir. Bila dihitung-hitung, katanya lagi, dana lobi yang dibutuhkan untuk mengegolkan sebuah proyek bisa memakan 60 persen dari dana yang dianggarkan. Jadi, jika alokasi belanja ke daerah saat ini sekitar Rp 252 triliun, "Artinya, yang jadi barang paling-paling cuma 40 persen." Benar-tidaknya taksiran fantastis ini tentu masih harus diteliti. Tapi, satu hal sudahlah pasti, nilai uang yang terlibat dalam permainan ini memang berskala besar. Terhadap berbagai persoalan itu, Ketua DPR Agung Laksono menyatakan telah mengambil langkah pencegahan dan tak mentoleransinya. Pemimpin DPR, katanya, telah melarang lembaga pemerintah mana pun mengucurkan dana buat segala urusan di DPR. "Saya sudah membuat surat kepada menteri, bahkan presiden (mengenai larangan ini). Sudah dua kali kami sampaikan," Agung menegaskan. Pertanyaannya: bisakah sekadar surat dan larangan resmi memberantas tradisi yang telah lama berurat-berakar di Senayan ini? Tim Tempo dan Liputan-6 SCTV (Liputan ini bisa diakses di www.tempointeraktif.com dan www.liputan6.com) Sumber: Koran Tempo - Senin, 27 Agustus 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.
[mediacare] Netralitas Birokrasi
Netralitas Birokrasi Oleh: Ida Syafrida Harahap, Peneliti pada MTI Koran Tempo - Rabu, 1 Agustus 2007 Administrasi negara tidak banyak mendapat perhatian di negara ini. Namun, reformasi birokrasi menjadi salah satu tawaran dalam pembenahan sistem penyelenggaraan negara. Meskipun tidak sama, keduanya memiliki keterkaitan. Administrasi negara tidak akan baik tanpa adanya sistem birokrasi yang efektif dan efisien. Sebaliknya, birokrasi yang cenderung gemuk dan korup akan membentuk sistem administrasi negara yang tidak dapat melayani masyarakat. Untuk mudahnya, administrasi negara adalah salah satu organ birokrasi. Di beberapa negara, Jerman misalnya, administrasi negara menjadi lembaga negara profesional, terpisah dari fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Administrasi negara di sini memegang fungsi administratif dalam penyelenggaraan negara. Secara legal, administrasi negara bertindak atas nama konstitusi. Untuk operasionalisasi, administrasi negara memiliki Undang-Undang Prosedur Administrasi Negara (Verwaltungsverfahrensgesetz). Dasar hukum yang kuat mampu membentuk sistem administrasi (negara) Jerman yang profesional dan pro kepada rakyat. Berbeda halnya dengan Amerika. Administrasi negara merupakan bagian dalam sistem pemerintahan eksekutif. Meskipun tidak tercantum tegas dalam konstitusi, hal ini dengan tegas diatur dalam Administrative Procedure Act. Eksekutif selaku implementator undang-undang membutuhkan fungsi administratif dalam mengurus dan mengelola negara. Kodifikasi hukum dalam negara ini memberi kekuatan. Sistem hukum Amerika mengatur sistem pemerintahan secara komprehensif, baik dalam fungsi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan demikian, netralitas dalam menjalankan administrasi negara tetap terjaga. Adapun administrasi negara di Belanda hampir mendekati sistem di Jerman. Namun, dalam beberapa hal, kondisi faktual yang tergambar dalam The General Administrative Act (Alegemene wet Bestuursrecht) mereka cenderung mirip dalam konteks negara Indonesia. Sebab, dalam beberapa aturan hukum, Indonesia memang masih banyak berpedoman pada Negeri Kincir Angin tersebut. Terlepas dari berbagai bentuk prosedur administrasi negara, Indonesia masih belum memilih bentuk administrasi negara. Selama ini administrasi negara selalu identik dengan keputusan tata usaha negara. Belum ada aturan hukum yang tegas mendeskripsikan administrasi negara. Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki standar dalam menyelenggarakan administrasi negara. Jika kita akan menerapkan sistem seperti Jerman, Amerika, ataupun Belanda, harus ada dasar hukum yang kuat. Terlebih sistem kelembagaan Indonesia dirancukan oleh sistem kepartaian dan sistem kepegawaian. Namun, meskipun dilakukan amendemen, tidak ada jaminan akan terwujud administrasi negara yang ideal. Sementara itu, untuk membentuk sistem di tengah jalan, akan membentur banyak aturan hukum yang belum tertata. Artinya, bukan masalah pendekatan apa yang digunakan dalam membentuk administrasi negara, melainkan sejauh mana Indonesia dapat menjaga netralitas penyelenggara negara dari berbagai kepentingan. Jika selama ini netralitas hanya menyentuh ruang-ruang politis, sudah saatnya netralitas memisahkan antara ruang pemerintah dan ruang negara. Netralitas birokrasi Undang-undang yang mengatur soal birokrasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian). Dalam hukum Indonesia memang tidak dikenal istilah birokrasi. Namun, dalam UU Kepegawaian, birokrasi identik dengan pegawai negeri sipil. Pemisahan yang tidak tegas antara fungsi negara dan fungsi pemerintah sebenarnya dimulai dari konstitusi. Kita lihat saja istilah "kekuasaan pemerintahan negara" yang dipegang oleh eksekutif, dalam hal ini presiden. Padahal secara umum pemerintahan diselenggarakan oleh semua lembaga negara, yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara, termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lain. Terlepas dari kelemahan konstitusi, kedudukan birokrasi semakin diperlemah oleh UU Kepegawaian. Secara sengaja pegawai negeri sipil ditempatkan sebagai alat pemerintah (eksekutif), bukan alat negara. Dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, pegawai negeri sipil tunduk pada aturan pemerintah. Bagaimana mungkin pegawai negeri sipil dapat menjalankan roda birokrasi secara netral jika kebijakan dan aturan yang digunakan tunduk serta patuh kepada pemerintah. Kesalahan berikutnya adalah negara sering kali diidentikkan dengan pemerintah. Peran masyarakat tidak menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan negara. Masyarakat cenderung menjadi obyek penyelenggaraan negara. Secara ideal, penyelenggaraan negara pasti melibatkan masyarakat. Dengan demikian, pada tingkat implementasi diperlukan instrumen khusus dengan standardisasi prosedur. Singkatnya, hubungan eksternal
[mediacare] Bank Mandiri Emoh Ungkap Rekening Widjanarko
klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Dana Kampanye Presiden Diyakini Bisa Diungkap
Dana Kampanye Presiden Diyakini Bisa Diungkap Jika KPU tidak bergerak, perkara ini tidak selesai. JAKARTA - Mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Didik Supriyanto mengatakan dana kampanye fiktif pada dua pasangan calon presiden sudah dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum. Tapi lembaga ini tidak pernah menindaklanjuti. Menurut Didik, dana kampanye pemilihan presiden pada 2004 itu bisa diungkap asalkan KPU memeriksa tim-tim sukses pasangan calon yang pada saat itu banyak bermunculan. "Celah ini dapat dimanfaatkan oleh KPU," katanya kemarin. Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil audit akuntan publik, terdapat dana kampanye fiktif pada pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi sebesar Rp 4,045 miliar. Adapun pada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla ditemukan dana kampanye fiktif Rp 1,625 miliar. Dalam daftar penyumbang pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, kata dia, beberapa tidak sesuai dengan data di KPU. Dia mencontohkan penyumbang nomor 425 atas nama Maryono, yang dalam daftar penyumbang disebutkan Rp 200 juta. "Kenyataannya cuma menyumbang Rp 10 juta," ungkapnya. Adapun pada daftar penyumbang dana kampanye pasangan Yudhoyono-Kalla, Panitia Pengawas menduga ada 13 perusahaan fiktif yang andil setor uang. Tapi domisili perusahaan-perusahaan itu tidak satu pun yang ditemukan sesuai dengan alamat yang tercantum (lihat infografis di halaman A1). Didik menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Pemilu, KPU bisa memberikan sanksi administratif terhadap pasangan calon yang terbukti melanggar. "Masalahnya, KPU tidak bergerak, sehingga perkara ini tidak selesai," ujarnya. Masalah lainnya, kata Didik, pasangan calon presiden gampang mengelak jika ditanya soal dana kampanye. "Sebab, secara formal, mereka memang tidak menerima. Sementara itu, tim audit hanya memeriksa laporan keuangan tim kampanye yang terdaftar di KPU," ujarnya. Didik menambahkan, bersamaan dengan maraknya aliran dana kampanye fiktif, terdapat dana asing yang masuk ke Indonesia. "Besarnya US$ 50 juta," katanya. Tapi Didik tidak dapat memastikan bahwa dana asing itu mengalir ke tim sukses pasangan calon presiden. Dia mengaku memperoleh informasi itu dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tapi Yunus Husein, Kepala Pusat Pelaporan, membantah dana itu mengalir ke pasangan calon presiden. "Bisa saja dana tersebut untuk investasi," ujarnya. Mantan Ketua Pokja Dana Kampanye Pemilihan Presiden 2004 KPU Mulyana W. Kusumah mengatakan dana kampanye sudah dibongkar karena keterbatasan akuntan publik dalam mengaudit pundi-pundi tim kampanye calon presiden. KPU juga kesulitan mendapatkan akses untuk meneliti aliran dana mereka. "Ketika KPU meminta bantuan ke PPATK, dijawab bahwa PPATK hanya bisa laporan ke aparat penegak hukum," kata Mulyana. Baik pasangan Yudhoyono-Kalla maupun Megawati-Hasyim Muzadi telah membantah tudingan menerima dana kampanye di luar aturan. Alwi Hamu, bekas anggota tim sukses pasangan Yudhoyono-Kalla, memastikan jagonya tidak pernah menerima dana dari luar negeri. "Semua tercatat dengan baik. Kecuali data itu terbakar atau rusak, saya kira masih ada," ujarnya saat dimintai konfirmasi oleh Tempo beberapa waktu lalu. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung berulang kali menyatakan bahwa Megawati tidak pernah menerima bantuan asing ataupun dana dari Rokhmin Dahuri, yang membagikan dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan kepada sejumlah calon presiden. "Tidak ada dana masuk ke Mega Center atau ke pribadi Megawati," katanya. ERWIN DARIYANTO | IMRON ROSYID Sumber: Koran Tempo - Selasa, 29 Mei 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Dana Gelap Calon Presiden
Dana Gelap Calon Presiden Dua tokoh, Amien Rais dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sempat adu polemik tentang dana sumbangan bagi calon presiden dalam Pemilihan Umum 2004, sudah berdamai. Tapi bola panas dana gelap calon presiden terus bergulir. Kali ini mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Didik Supriyanto yang menggelindingkan. Ia menyebutkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi diduga memiliki dana kampanye gelap Rp 4,045 miliar, sedangkan pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla mendapat sumbangan yang sumbernya tidak jelas sebesar Rp 1,625 miliar. Penyumbang fiktif Mega-Hasyim antara lain: PT Semen Grobogan Rp 600 juta PT Wilang Sari Rp 350 juta CV Maladang Putra Rp 750 juta PT Arbarie Rp 750 juta PT Friza Ausindo Riverland Rp 750 juta Lie Budi Susanto Librata Rp 100 juta Arsyad Kasmar Rp 100 juta Murhadi Ibn Rp 100 juta Joko Widodo Rp 95 juta (sebenarnya cuma menyumbang Rp 10 juta) Maryono Rp 100 juta (tak pernah menyumbang) Penyumbang fiktif Yudhoyono-Jusuf Kalla antara lain: PT Bunga Cengkeh Abadi Rp 200 juta PT Megah Pratama Murni Rp 50 juta CV Sinar Tegar Dwi Rp 15 juta CV Farah Dini Rp 250 juta PT Putra Wara Rp 75 juta CV Pembangunan Rp 150 juta PT Rajawali Duta Nusantara Rp 75 juta PT Sugiro Rp 75 juta CV Nugraha Group Rp 150 juta PT Patran Jaya Rp 300 juta UD Veteran Motor Rp 100 juta UD Cipta Jasa Rp 100 juta PT Putera Wara Rp 75 juta Dolar Panas "Ada dana asing sebesar US$ 50 juta masuk Indonesia saat kampanye pemilihan presiden." --Didik Supriyanto "Ada dana dari Washington untuk salah satu calon presiden." --Amien Rais Ketentuan yang dilanggar: Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden: Pasangan calon dilarang menerima sumbangan dari asing, pemerintah, BUMN, dan BUMD. Sumber: Koran Tempo - Selasa, 29 Mei 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Amien Rais Siap Jadi Tersangka dan Dipenjara
Amien Rais Siap Jadi Tersangka dan Dipenjara Yogyakarta, Kompas - Amien Rais siap menjadi tersangka dan dihukum jika dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan yang diterimanya diperkarakan ke ranah hukum karena dianggap korupsi. Ia mengimbau agar calon presiden dari partai lain pada Pemilu 2004 jangan berkelit karena dana itu juga mereka terima. "Ini harus saya katakan agar masalah DKP dapat dipandang adil dan proporsional. Jika sudah sampai gelar perkara lanjutan, kami siap menghadirkan saksi dan membeberkan fakta. Demi hukum, tidak ada masalah jika saya harus menjadi tersangka dan nanti dipenjara," ujar Amien, Selasa (15/5). Namun, mantan calon presiden pada Pemilu 2004 ini merasa kecewa karena kubu partai lain dan tim sukses mereka malah menyangkal menerima dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Padahal, dana itu diterima mereka dari Rokhmin Dahuri (Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu), meski jumlahnya berbeda. Karena itu, pihaknya mendesak pimpinan DPR yang menutup penyelidikan atas kasus dugaan penerimaan aliran dana nonbudgeter DKP agar meninjau ulang. Amien lalu menunjuk penerima dana itu ada yang menjadi ketua lembaga tinggi negara dan ada yang berada di luar struktur kekuasaan. "PAN memiliki catatan cash ini dan cash flow selama dua masa kampanye Pemilu 2004, termasuk dana nonbudgeter ini secara tertib. Termasuk pula Rp 200 juta yang diberikan langsung lewat tangan saya dan Rp 200 juta yang lain lewat anggota tim kampanye saya," papar mantan Ketua Umum PAN ini. Amien tidak menyebut tanggal ia menerima Rp 200 juta tersebut. Ia hanya mengatakan, pada suatu sore, Rokhmin datang kepadanya menyerahkan cek senilai Rp 200 juta dalam amplop. Rokhmin mengatakan itu untuk kampanye. Amien sendiri tak sempat menanyakan asal muasal cek itu. Namun, Amien mengaku tidak mengambil satu sen pun karena cek langsung diserahkan kepada bendahara PAN. "Untuk Rp 200 juta yang lain akan kami susuri siapa di internal PAN yang menerima," ujarnya. Amien berharap pemerintah tak melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum. Kasus dana nonbudgeter malah dianggap sebagai awal yang bagus bagi pengusutan kasus yang lebih besar. Misalnya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menyangkut uang sekitar Rp 600 triliun. "Artinya, jutaan kali lebih besar dari kaus Rokhmin-partai politik yang sudah mulai bergulir di pengadilan. Kami juga mengharap tidak ada politisasi kasus dana nonbudgeter DKP," kata Amien. Dihubungi secara terpisah, salah satu penanggung jawab Mega Center, Tjahjo Kumolo, mengaku tidak tahu-menahu dan tak pernah menerima dana dari Rokhmin. Ia mengaku akan meminta klarifikasi dari Rokhmin tentang dana yang katanya diterima Mega Center. "Kami akan mengklarifikasi Steven dan Michael yang disebutkan menerima dana atas nama Mega Center," ucap Tjahjo yang menyayangkan langkah Rokhmin menyebutkan telah memberi kado untuk Megawati sebesar Rp 4 juta, juga ditulis dan dicatat. "Ya, kalau mau nyumbang ya ikhlas saja," ucap Tjahjo. Dalam penjelasan tertulisnya, Direktur Blora Center M Jusuf Rizal menegaskan, Blora Center tidak pernah menerima kucuran dana DKP dari Rokhmin. "Blora Center selama ini tidak pernah menerima kucuran dana DKP. Saya juga sudah melakukan klarifikasi kepada bidang logistik yang menyebutkan tidak pernah menerima bantuan pendanaan dari Rokhmin," ujar Jusuf yang meminta Rokhmin menyebutkan siapa orang Blora Center yang menerima. (PRA/bdm) Sumber: Kompas - Rabu, 16 Mei 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Guernsey Gelar Adu Bukti
Guernsey Gelar Adu Bukti JAKARTA - Pengadilan Guernsey kemarin mulai menggelar sidang adu bukti gugatan intervensi kejaksaan dalam kasus dana Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang tersimpan di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang Guernsey. Sidang tersebut dimulai pukul 9 pagi. "Sidang sedang berlangsung," ujar Duta Besar Republik Indonesia untuk Inggris, R. Marty Natalegawa, melalui pesan pendek kepada Tempo kemarin. Persidangan ini merupakan rangkaian sidang gugatan intervensi antara Kejaksaan Agung dan pihak Tommy yang menggugat BNP Paribas cabang Guernsey. Adapun kisah duit Tommy di BNP Paribas cabang Guernsey sebesar 36 juta euro atau sekitar Rp 421 miliar bermula dari gugatan Garnet Investment Limited--salah satu perusahaan milik Tommy--Maret tahun lalu. BNP Paribas menolak permintaan Garnet mencairkan dana karena mencurigai dana itu hasil korupsi. Kejaksaan Agung menerima informasi tersebut dari Kedutaan Besar RI di Inggris, lalu mengajukan gugatan intervensi. Sidang gugatan intervensi sudah dimulai pada 22 Januari lalu. Kejaksaan dan pihak Tommy--diwakili pengacara O.C. Kaligis--masing-masing sudah mengajukan argumentasi dan bantahannya. Kejaksaan, selaku penggugat intervensi, berencana mengupayakan adanya penyingkapan secara menyeluruh (full disclosure) di sela-sela sidang adu pembuktian tersebut. Menurut Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda, dari keterangan dalam full disclosure itu nantinya bisa terungkap jumlah uang Tommy dan tujuan penyimpanan di BNP Paribas cabang Guernsey. "Selain itu, hakim bisa menanyakan ihwal asal-usul uang tersebut," kata Yoseph Senin pekan lalu. Namun, dalam sidang adu bukti tersebut, permohonan full disclosure belum dibahas. "Belum sampai ke sana (permintaan full disclosure)," kata Marty. Bagi O.C. Kaligis, pengacara Tommy, permintaan full disclosure dari pihak kejaksaan malah menguntungkan kliennya. "Kami malah senang," ujar Kaligis saat dihubungi kemarin. Menurut dia, permintaan full disclosure menunjukkan bahwa kejaksaan tidak memiliki cukup bukti untuk mempertahankan argumentasi dan bantahannya dalam gugatan intervensi terhadap dana kliennya yang disimpan di BNP Paribas cabang Guernsey. Kaligis mengatakan telah menyiapkan sebanyak 200 halaman untuk sidang adu bukti. Menurut dia, sidang adu bukti untuk mempertahankan argumentasi dari masing-masing pihak. "Lamanya sidang itu tergantung kekuatan argumentasi masing-masing," ujarnya. Kaligis menegaskan bahwa dana Tommy yang tersimpan di BNP Paribas cabang Guernsey adalah dana bersih yang tidak terkait dengan kasus korupsi. Kaligis mengakui menggunakan surat bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin perihal pencairan dana Motorbike--salah satu perusahaan Tommy-- yang tersimpan di BNP Paribas cabang London sebesar Rp 90 miliar. Menurut dia, surat itu dipakai untuk pembuktian dana Tommy di BNP Paribas cabang Guernsey. "Yang di Motorbike saja bisa cair, tapi kenapa yang lain tidak bisa?" kata Kaligis. Sukma N Loppies Sumber: Koran Tempo - Selasa, 15 Mei 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Korupsi Bandara, Delapan Terdakwa Diputus Bebas
Korupsi Bandara, Delapan Terdakwa Diputus Bebas Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang dipimpin Zaid Umar Bobsaid, Selasa (1/5), membebaskan delapan terdakwa dalam kasus korupsi perluasan lahan untuk Bandara Soekarno- Hatta. Para terdakwa dalam kasus tersebut adalah Aula Ismat Wahidin, Hamka Haris, Nawawi, Ahmad Dimyati, Ahmad Syafei, Muhamad Nape (seluruhnya aparat Pemerintah Kota Tangerang), serta Aryo Mulyanto dan Rusmino (pegawai PT Angkasa Pura II). Tim jaksa menyatakan naik banding atas putusan majelis hakim tersebut. "Maaf, saya tidak bisa berbicara banyak karena keberatan kami akan tertuang dalam memori kasasi," ujar Riyadi, salah satu anggota tim jaksa. Keputusan hakim membebaskan para terdakwa itu mengagetkan, karena sebelumnya tim jaksa menuntut hukuman penjara 18 bulan-36 bulan atas para terdakwa, serta membayar ganti rugi sebesar Rp 3 miliar secara tanggung renteng. Tangis haru dan ucapan syukur langsung menyeruak saat satu per satu terdakwa dinyatakan bebas dari seluruh dakwaan dan memulihkan hak dan marta- bat mereka. Aula langsung bersujud ke tanah lalu berpelukan dengan istri, ibu, dan rekannya sekantor. Tidak terbukti Majelis hakim berpendapat, dari fakta di persidangan para terdakwa tidak terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain. Alasannya, tidak ada faktor kerugian negara dalam pembayaran ganti rugi pembebasan lahan untuk perluasan Bandara Soekarno- Hatta. Beberapa pemilik lahan menyatakan menerima pembayaran ganti rugi lahan untuk tanah darat sesuai kondisi lahan saat itu, walau dalam sertifikat tertulis tanah mereka masih tanah sawah. Pembayaran ganti rugi seperti itu, kata majelis hakim, sudah sesuai dengan aturan sehingga negara tidak dirugikan. (TRI) Sumber: Kompas - Rabu, 02 Mei 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Tim Sukses Calon Presiden Terima Dana Rokhmin
Tim Sukses Calon Presiden Terima Dana Rokhmin Amien Rais mengakui, sementara tim sukses Yudhoyono membantah. JAKARTA -- Dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan semasa dipimpin Rokhmin Dahuri ternyata juga mengalir ke sejumlah calon presiden pada Pemilu 2004. Aliran dana itu, berdasarkan berita acara pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, berlangsung pada Januari-Juli 2004. Amien Rais, misalnya. Mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu menerima dana Departemen Kelautan Rp 200 juta. "(Pada) suatu sore, tanggalnya saya lupa. Pak Rokhmin sendiri yang memberikan bantuan untuk kampanye PAN," kata Amien, yang mengaku tak sempat menanyakan asal-usul uang tersebut. "Ijab kabulnya untuk membantu kampanye PAN," ujar bekas calon presiden itu kepada Tempo Jumat lalu. Sementara itu, bantahan datang dari mantan Ketua Bidang Komunikasi Mega Centre Arie Djunaidi. Menurut dia, tak ada aliran dana Departemen Kelautan ke kantong anggota tim pemenangan calon presiden Megawati Soekarnoputri. "Saya pastikan tidak ada," ujar Arie. Dalam berita acara pemeriksaan Rokhmin disebutkan, dana nonbujeter itu mengalir ke Mega Centre melalui sejumlah orang, seperti Arief Budimanta sebesar Rp 50 juta, Steven Rp 200 juta, dan Suminta Rp 50 juta. Menurut Arie, kalau memang aliran itu benar adanya, jumlahnya terlalu kecil. "Sedikit sekali, ya," ujarnya. Aktivis Muhammadiyah, Iman Addaruqutni, yang tercantum sebagai anggota tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono, membantah jika disebut kebagian aliran dana Departemen Kelautan. Ketua Umum Partai Matahari Bangsa itu menegaskan, "Saya tidak pernah menerima." Dalam berita acara pemeriksaan Rokhmin, Iman disebutkan sebagai anggota tim sukses SBY yang telah dua kali menerima duit. Pertama, Rp 25 juta pada 14 Januari 2004. Kedua, Rp 200 juta pada 10 Juni 2004. Menurut Iman, "Itu seratus persen salah." Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Fachri Hamzah, tidak mengelak disebut sebagai menerima dana departemen tersebut. "Itu dulu, sebelum saya menjadi anggota DPR," kata Fachri sambil menyebutkan dana digunakan untuk operasionalisasi sebuah yayasan yang ia pimpin. Fachri lupa jumlahnya. Tapi dalam berita acara pemeriksaan tertulis, pada 8 Februari 2004 dan 9 Juni 2004, Fachri menerima masing-masing Rp 50 juta. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid disebut-sebut menerima dana Departemen Kelautan sewaktu dirinya menjadi Presiden Partai Keadilan. Partai itu kini berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. "Itu informasi sepihak, perlu dicek lagi," katanya. Ketika Tempo menyebutkan penerimaan dana itu berlangsung pada 29 Desember 2003 dan 2 Maret 2004, masing-masing Rp 100 juta dan Rp 200 juta, Hidayat menjawab, "Tidak ada catatan di bendahara bahwa ada dana dari Pak Rokhmin ataupun Departemen Kelautan." Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama Khofifah Indar Parawansa mengakui lembaganya memperoleh bantuan. "Besarnya Rp 30 juta, untuk keperluan Kongres Muslimat NU," katanya kepada Tempo kemarin. Dia menegaskan dana Departemen Kelautan tak cuma dari Rokhmin Dahuri, tapi juga dari Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini. Dana Departemen sewaktu dipegang Rokhmin dipakai oleh Muslimat NU DKI Jakarta sebesar Rp 50 juta. "Dana itu untuk perayaan Hari Jadi Muslimat NU," katanya. Menteri Freddy, yang dikonfirmasi oleh Tempo, mengatakan tidak mengetahui duit yang disumbangkan berasal dari dana nonbujeter Departemen Kelautan. Saat ini kasus Rokhmin tengah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Rangkaian sidang mulai memasuki agenda pembuktian dengan pemeriksaan sejumlah saksi. Aliran dana Departemen Kelautan menjelang Pemilu 2004 sebagian terpampang pada tabel di bawah ini. IMRON ROSYID | GUNANTO | ERWIN DARYANTO | Sumber: Koran Tempo - Senin, 23 April 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Concerned only with money
Concerned only with money The Jakarta Post - March 10, 2007 Since 1991 I have visited many places in Indonesia, from Medan to Makassar. As I learned Bahasa Indonesia I can easily mingle with ordinary Indonesians. My first opinion about Indonesia was very positive. Most people greeted me and invited me to their homes. In particular people in the countryside are very happy when a westerner visits their village. After staying a long time in this country and having talked with many people at all social levels, from farmers to government officials, it seems that most have only one topic which keeps them entertained: money. In my country, the Netherlands, people have many hobbies and ambitions. Dutch children as young as four years old want to become doctors, police officers, dentists, lawyers, musicians, dancers, etc. They are encouraged by their parents to swim, dance, sing, draw cartoons, love animals, respect nature and so on. Indonesian children simply hang around all day in the vicinity of their house without having anything to do. They aren't encouraged by their parents to do something useful as these parents only watch television, chat with neighbors or, even worse, sleep. As a European I become bored of being told every day that I am rich just because I'm from Europe. Indonesians don't care about their achievements, but only about the amount of money they acquire. The way they get this money doesn't matter to them. People at all levels protest daily about corruption, but most of them are themselves corrupt. If those protesters could acquire top positions they wouldn't mind being corrupt in the same way they now accuse others. A lot of the media, especially The Jakarta Post, run stories on widespread corruption. Unfortunately, it's only talk with almost no action at all. In my opinion, the high level of corruption in Indonesia is caused by the fact that Indonesians have no ambition, except to acquire money. When they have more than they need, they simply have a party, buy a car, television, or waste it on other meaningless items. They don't save it for their children's education and future like we do in Europe. What's the meaning of money if you don't know what to do with it? How is this country going to develop if nobody cares about their achievements but only about money? RONALD RAMAKERS Medan, North Sumatra
[mediacare] BPK Nilai Pencairan Duit Tommy Salah
BPK Nilai Pencairan Duit Tommy Salah "Orang kita tidak punya integritas, tidak punya moral." Jakarta -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution menyatakan penggunaan rekening Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai tempat menyetor dan menyimpan uang Tommy Soeharto menyalahi aturan. "Secara etika, menurut hukum, menurut moral, itu menyalahi," kata Anwar. Dari sisi keuangan negara, dia melanjutkan, penyimpanan uang Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto di rekening pemerintah itu tidak dapat dibenarkan. "(Misalnya) rekening koran you (dipakai) jual-beli sepeda motor, transaksi, mana boleh? Dari situ sudah jelas, orang kita tidak punya integritas, tidak punya moral," kata Anwar setelah menghadiri pelantikan Muchtar Arifin sebagai Wakil Jaksa Agung kemarin. Pada 2005, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menyetujui penggunaan rekening departemennya untuk proses pencairan dana Motorbike Corporation, perusahaan asal Bahama, Amerika Tengah, milik Hutomo Mandala Putra, sebesar US$ 10 juta (setara dengan Rp 90 miliar dengan kurs Rp 9.000) yang berada di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang London. Hamid membolehkan Motorbike menggunakan rekening kantornya karena tahu uang mereka bersih. "Tidak jadi masalah, uang itu halal," kata mantan dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, ini kepada pers, 5 Maret lalu. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun meminta masyarakat jangan terlalu mencurigai keterlibatan Hamid. "Jangan selalu semua kita curigai, apa saja di republik ini. Uang keluar kita curigai, uang masuk kita curigai juga," ujarnya, 23 Maret lalu. Kalangan DPR dan pengamat meminta polisi dan kejaksaan mengusut kasus ini. Namun, menurut Anwar Nasution, hingga saat ini di BPK belum ada yang meminta untuk mengaudit duit Tommy. "Belum ada permintaan," katanya. Sementara itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam jumpa pers di kantornya menyatakan telah mengantongi nama perusahaan lain yang berafiliasi dengan Motorbike dan Garnet Investment Limited milik Tommy Soeharto. Hal itu diketahui dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Kejaksaan Agung. "Pengurusnya yang itu-itu juga," ujarnya. Namun, ia tidak bersedia menjelaskan nama-nama perusahaan afiliasi dimaksud. "(Dokumen) PPATK ada, tapi rahasia. Tidak memuat nama-nama orang, hanya memuat nama afiliasi perusahaan. Tidak boleh saya buka di sini," kata Abdul Rahman. FANNY FEBIANA Sumber: Koran Tempo - Jumat, 30 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id BPK Nilai Pencairan Duit Tommy Salah "Orang kita tidak punya integritas, tidak punya moral." Jakarta -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution menyatakan penggunaan rekening Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai tempat menyetor dan menyimpan uang Tommy Soeharto menyalahi aturan. "Secara etika, menurut hukum, menurut moral, itu menyalahi," kata Anwar. Dari sisi keuangan negara, dia melanjutkan, penyimpanan uang Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto di rekening pemerintah itu tidak dapat dibenarkan. "(Misalnya) rekening koran you (dipakai) jual-beli sepeda motor, transaksi, mana boleh? Dari situ sudah jelas, orang kita tidak punya integritas, tidak punya moral," kata Anwar setelah menghadiri pelantikan Muchtar Arifin sebagai Wakil Jaksa Agung kemarin. Pada 2005, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menyetujui penggunaan rekening departemennya untuk proses pencairan dana Motorbike Corporation, perusahaan asal Bahama, Amerika Tengah, milik Hutomo Mandala Putra, sebesar US$ 10 juta (setara dengan Rp 90 miliar dengan kurs Rp 9.000) yang berada di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang London. Hamid membolehkan Motorbike menggunakan rekening kantornya karena tahu uang mereka bersih. "Tidak jadi masalah, uang itu halal," kata mantan dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, ini kepada pers, 5 Maret lalu. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun meminta masyarakat jangan terlalu mencurigai keterlibatan Hamid. "Jangan selalu semua kita curigai, apa saja di republik ini. Uang keluar kita curigai, uang masuk kita curigai juga," ujarnya, 23 Maret lalu. Kalangan DPR dan pengamat meminta polisi dan kejaksaan mengusut kasus ini. Namun, menurut Anwar Nasution, hingga saat ini di BPK belum ada yang meminta untuk mengaudit duit Tommy. "Belu
[mediacare] KPK: Lima Transaksi Yusril Tak Jelas
KPK: Lima Transaksi Yusril Tak Jelas Jakarta -- Komisi Pemberantasan Korupsi menilai setidaknya ada lima transaksi di atas Rp 100 juta yang tidak bisa dijelaskan asal aliran dananya oleh Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Kelima transaksi itu terjadi saat ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada 2001-2004. "Saya tidak bisa menyampaikan jenis dan jumlah transaksinya, yang pasti itu transaksi keuangan," kata Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Muhammad Sigit di Kantor KPK, Jakarta, kemarin. Menurut Sigit, Yusril sebenarnya pernah ditanyai oleh KPK soal kelima transaksi itu beberapa waktu lalu. Hal itu dimintakan klarifikasi kepada Yusril, kata Sigit, karena transaksi itu cukup menarik perhatian. Pertama kali datang pada Januari 2006, Yusril pernah ditanya soal transaksi keuangan itu. "Dia belum jawab," kata Sigit. Alasannya, adik perempuannya yang mengurus administrasi keuangan. Dua bulan berselang, kata Sigit, adik perempuan Yusril datang membawa data. "Tapi itu pun belum bisa menjawab beberapa transaksi keuangan yang ditanyakan," ujarnya. Hingga saat ini, Yusril belum memberi penjelasan mengenai transaksi-transaksi tersebut. "Boleh dikatakan, Pak Yusril masih berutang." Saat Tempo bertanya soal pernyataan Sigit itu, Yusril tidak dapat memberikan konfirmasi. "Harus ada bukti transfer dari bank baru saya bisa menjelaskan. Transfer apa? Saya tidak mengerti," kata Yusril kepada Tempo melalui telepon kemarin malam. Bahkan Yusril mengatakan KPK belum meminta konfirmasi apa pun kepadanya seputar masalah transfer dana tersebut. KPK, Sigit melanjutkan, baru akan menanyakan kembali soal transaksi tersebut ketika Yusril menyerahkan data kekayaan terbarunya. "Sekarang sudah waktunya dia menyerahkan (data) Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara 2006," kata dia. Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, total harta Yusril per 28 Agustus 2001 sebesar Rp 2,061 miliar plus US$ 110 ribu. Pada 26 November 2004, harta Yusril meningkat menjadi Rp 6,907 miliar plus US$ 110 ribu. Harta Yusril naik sekitar 245 persen. Yusril mengatakan kenaikan itu dikarenakan kenaikan harga tanah miliknya. tito sianipar | muslima hapsari Sumber: Koran Tempo - Jumat, 30 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Pundi-pundi 'Pangeran Sambernyawa'
Pundi-pundi 'Pangeran Sambernyawa' Gerbangnya tertutup rapat dan dijaga ketat. Lenyap sudah keramahan di rumah mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Widjanarko Puspoyo di Kampung Baluwarti, Kelurahan Gajahan, Solo. Rumah kuno yang dibeli seharga Rp 11 miliar itu tampak sepi. Gerbang pintu rumah yang dulu dibeli dari H. Sangidoe--ayah Mudrick M. Sangidoe, tokoh Mega-Bintang (koalisi PDI Perjuangan dengan Partai Persatuan Pembangunan)--itu tampak beku. Gerbangnya tertutup rapat. Sejak mencuat kasus dugaan korupsi impor sapi yang menyeret Widjanarko, rumah itu kehilangan aura kegembiraannya. Gerbangnya tertutup rapat dan dijaga ketat. Dulu, bangunan yang diberi nama Ndalem Joyokusuman itu selalu terbuka pintunya. Rumah ini juga jadi langganan acara-acara seni budaya. Widjan pernah mementaskan ketoprak berlakon Pangeran Sambernyawa Kridha di rumah tua yang berdiri di atas tanah 8.500 meter persegi itu. Widjanarko tampil sebagai aktor utama ketopraknya. Dialah sang Pangeran Sambernyawa. Widjanarko, meski tinggal di Yogyakarta, selalu tergoda untuk bernostalgia di Solo, kota tempat ia dibesarkan hingga SMP. Dia menginvestasikan banyak uangnya untuk membeli sejumlah tanah di Solo. Selain tanah di Gajahan, pada 2002 ia membeli sebuah tanah di Kalitan, persis di sebelah Ndalem Kalitan milik keluarga mantan presiden Soeharto. Rumah Widjan, yang diberi nama Griya Kalitan, selama ini disewakan untuk umum karena didesain sebagai gedung pertemuan. Menurut Boyamin, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia, selain tanah dan bangunan dari keluarga Sangidoe, Widjanarko juga membeli tanah seluas 3.000 meter persegi yang letaknya juga di Kampung Gajahan. Tanah itu dibeli dengan harga Rp 3 miliar dari beberapa orang warga Kampung Gajahan yang tanahnya berhadapan dengan tanah Widjan yang dibeli juga dari Sangidoe. Tanah itu kemudian disulap menjadi hotel berarsitektur Jawa klasik. Renovasinya konon menghabiskan biaya miliaran rupiah. Kini, setelah Widjan tersandung dugaan korupsi, banyak rumor di seputar rumah-rumah itu. Rumahnya di Gajahan kabarnya sudah ditawarkan untuk dijual seharga Rp 10 miliar. Demikian juga yang di Kalitan. Tanah itu dikabarkan ditawarkan kepada pengurus Ndalem Kalitan, rumah pribadi mantan presiden Soeharto, dengan nilai penawaran Rp 3 miliar. "Kejaksaan Agung harus mencegah penjualan ini untuk menghindari pengalihan barang bukti," kata Boyamin. Namun, kuasa hukum Widjanarko, Hotma Sitompul, membantah jika dikatakan tanah itu didapat dari hasil korupsi. "Buktikan saja kalau itu hasil kejahatan," kata Hotma kemarin.IMRON ROSYID | ANAS SYAHIRUL | TITO SIANIPAR Sumber: Koran Tempo - Kamis, 29 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Pemahaman soal Korupsi Terbatas
Pemahaman soal Korupsi Terbatas Pemahaman publik, penegak hukum, dan penyelenggara negara terhadap korupsi di Indonesia masih terbatas pada tiga hal, yaitu adanya kerugian negara, adanya perbuatan melawan hukum, dan penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, ada sekitar 30 jenis korupsi yang diakui dalam undang-undang. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbarui dengan UU No 20/2001, jenis korupsi itu termasuk juga suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Ini belum sepenuhnya dipahami publik dan aparatur negara. Demikian dikatakan Amien Sunaryadi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam diskusi dan pemaparan hasil penelitian Ben Olken berjudul Understanding Corruption: Lessons from the Latest Research di Gedung Center for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (21/3). Diskusi itu digelar Bank Dunia dan KPK. Ben adalah peneliti yang berafiliasi dengan Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab di Massachussets Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Amien menjelaskan, sejak berlakunya UU No 3/1971, diubah dengan UU No 31/1999 dan UU No 20/2001, korupsi didefinisikan terbatas pada tiga unsur saja. Padahal, ada 27 jenis korupsi lain yang ternyata belum dipahami publik dan penyelenggara negara. Ke-27 jenis korupsi ini justru tak berhubungan dengan kerugian negara. Amien mengakui belum mendapatkan informasi tentang berapa banyak Mahkamah Agung (MA) memutus perkara korupsi dengan memakai jeratan pasal lain di luar tiga jenis korupsi yang diketahui publik itu. Karena itu, banyak kasus korupsi yang tidak tersentuh akibat penegak hukum selama ini terpaku menggunakan ukuran tiga korupsi yang ada. Amien juga menggugah apakah benar ada praktik suap terhadap hakim di Indonesia? Banyak kalangan yang menyatakan hal itu, tetapi mayoritas hanya berdasarkan persepsi. Berkaca pada data sejak tahun 1977 hingga 2007, hanya tiga hakim yang dibawa ke pengadilan. "Apakah ini disebabkan tidak efektifnya kerja aparat penegak hukum?" tanyanya. Sementara itu, Ben Olken memaparkan, pemberantasan korupsi seharusnya difokuskan pada bagian yang memiliki dampak sosial paling tinggi akibat terjadinya praktik korupsi, dibandingkan dengan bagian yang paling tinggi terjadi praktik penyuapan. Untuk itu perlu didesain sebuah solusi yang lebih memfokuskan jenis korupsi yang berbiaya sosial tinggi, dibandingkan hanya berpatokan pada berapa besar kerugian negara yang dihasilkan akibat tindak korupsi itu. (VIN) Sumber: Kompas - Kamis, 22 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Aparat Pajak Buru Pejabat Negara
Aparat Pajak Buru Pejabat Negara JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan akan mengejar para pejabat eselon I-V serta pejabat negara yang tidak membayar pajak. Menurut Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution, para pejabat itu diwajibkan memiliki memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT) atas penghasilan pribadi dari dalam dan luar negeri selama 2006. Menurut dia, pejabat yang tidak mematuhi ketentuan akan dikenai sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. "Bahkan bagi pejabat eselon I dan pejabat negara akan dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ujar Darmin setelah menerima penyampaian SPT pajak penghasilan pribadi Presiden di Jakarta kemarin. Darmin menjelaskan langkah mengejar para pejabat tinggi itu merupakan bagian dari program ekstensifikasi penerimaan pajak yang telah dicanangkan pemerintah. Menurut dia, kewajiban memiliki NPWP dan SPT juga merupakan bagian kepatuhan terhadap peraturan perundangan pajak seperti tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam aturan itu ditegaskan setiap pegawai negeri sipil wajib mematuhi peraturan perundangan di bidang pajak. Darmin mengaku telah selesai mendata pejabat eselon IV dan eselon I yang telah mempunyai NPWP dan menyampaikan SPT. "Kami masih memberi toleransi waktu selama dua bulan sejak 31 Maret lalu," ujarnya. Batas akhir penyetoran pajak terutang 2006 adalah 23 Maret 2007, sedangkan batas waktu penyampaian SPT 2006 adalah 31 Maret 2007. Lebih lanjut dia menjelaskan kewajiban memiliki NPWP berlaku bagi orang yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dan memiliki penghasilan Rp 13,2 juta setahun atau 1,1 juta per bulan. Seperti diberitakan, pemerintah akan melakukan perluasan basis pajak atau ekstensifikasi pajak berbasis pekerja atau karyawan mulai 6 Maret lalu. Pada tahap awal, Direktorat Jenderal Pajak akan memberikan NPWP kepada karyawan PT HM Sampoerna Tbk. dan PT Petrokimia Gresik. Menurut Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Hasan Rachmady, perluasan basis pajak diharapkan dapat menjaring 13-15 juta calon wajib pajak sampai 2008. Saat ini Direktorat Jenderal Pajak mencatat terdapat 3,7 juta wajib pajak. Tahun ini diharapkan ada peningkatan 7 juta, sehingga pada akhir tahun jumlah wajib pajak mencapai 10,7 juta. "Potensi calon wajib pajak 37 juta dengan perhitungan jumlah penduduk dikurangi jumlah penduduk miskin dan pemilik NPWP," katanya. Terkait dengan upaya itu, di wilayah Jakarta, Direktorat Pajak sudah melakukan pendekatan property base dan professional base. Upaya itu dilakukan dengan menjaring wajib pajak baru terhadap karyawan dan manajemen perusahaan. Darmin menambahkan, penerimaan pajak penghasilan, baik pribadi maupun badan, adalah kontributor utama sumber penerimaan pajak negara. Setelah itu baru kontribusi dari pajak pertambahan nilai barang dan jasa. "Potensi penerimaan pajak penghasilan badan dan migas 2007 mencapai 60 persen dari total penerimaan pajak." ujarnya. BADRIAH Sumber: Koran Tempo - Kamis, 22 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ ---- Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Widjanarko Menyanggupi Kembalikan 11 Miliar
Widjanarko Menyanggupi Kembalikan 11 Miliar Tindakan itu tak menghapus pidana korupsi yang disangkakan. Jakarta -- Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Widjanarko Puspoyo menyatakan sanggup membayar Rp 11 miliar sebagai pengganti kerugian negara akibat impor sapi fiktif yang diduga melibatkan dirinya. Sebagai imbalan atas kesanggupan itu, "Widjanarko minta ditahan di luar," kata Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji di kantornya kemarin. Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus M. Salim menjelaskan permintaan itu disampaikan melalui pengacara Hotma Sitompul, tiga jam sebelum Kejaksaan Agung membawa Widjanarko ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, sekitar pukul 20.00 WIB, Selasa lalu. Penahanan dilakukan setelah selama 10 jam sebelumnya Kejaksaan Agung memeriksa Widjanarko, yang menjabat Kepala Bulog sejak 19 Desember 2001 itu. Dia diperiksa sebagai tersangka dalam kasus korupsi impor sapi pada awal masa jabatannya. Penyidik kejaksaan saat ini masih mempertimbangkan permohonan tersebut. "Kan nggak bisa langsung ada jawaban ya atau tidak. Mesti kami pelajari dan pertimbangkan," kata Salim. "Sementara ini kami tahan dulu." Jaksa memutuskan menitipkan Widjanarko di LP Cipinang, menurut Salim, agar para tersangka tidak saling mempengaruhi kesaksian masing-masing. Sebelumnya Kejaksaan Agung telah menahan lima tersangka lain. Mereka adalah Tito Pranolo (mantan Ketua Tim Monitoring), Imanusafi, Ruchiyat Subandi, A. Nawawi, dan Mika Ramba Kembenan. Kelimanya ditahan di rumah tahanan Kejaksaan Agung sejak 12 Maret lalu. Salim menegaskan, meski nantinya Widjanarko jadi membayar ganti kerugian Rp 11 miliar, tindakan itu tidak menghapus pidana korupsi yang disangkakan terhadapnya. "Proses jalan terus. Lihat saja pasalnya di Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi." Hendarman menambahkan kesanggupan tersangka mengganti kerugian itu tidak bisa dilihat sebagai pengakuan dari yang bersangkutan bahwa dia bertanggung jawab dalam impor sapi bodong tersebut. "Saya tidak melihat ada pengakuan itu," ujar Hendarman. Ketika didesak pertanyaan soal aliran dana Rp 11 miliar itu, Hendarman tak bersedia menjawab. "Itu yang akan kami tanyakan (kepada Widjanarko) besok," kata Hendarman. Hotma Sitompul, pengacara Widjanarko, tak bersedia membenarkan atau membantah pernyataan kejaksaan soal kesanggupan kliennya tersebut. "Saya tak mau berkomentar soal itu," katanya kepada Tempo kemarin. Dia sebaliknya mempertanyakan tindakan Kejaksaan Agung yang mengungkapkan hal itu kepada publik. "Seharusnya kejaksaan tidak membuka semua yang ada di meja penyidikan karena itu tertutup," kata dia. Menurut Hotma, tindakan semacam itu tidak etis. "Jangan tarik ini menjadi persoalan politik." Sementara itu, mengenai tiga kasus lain yang tengah diselidiki kejaksaan berkaitan dengan jabatan Widjanarko di Bulog, Hendarman enggan menjelaskan. Dia membantah jika dikatakan salah satu dari tiga kasus itu berkaitan dengan impor gula. FANNY FEBIANA | TITO SIANIPAR Sumber: Koran Tempo - Kamis, 22 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Duit Tommy Mengalir Lewat BNI
Duit Tommy Mengalir Lewat BNI Menteri Hamid menjamin direksi BNI bebas dari tuntutan hukum. JAKARTA - Dua rekening di Bank Negara Indonesia diduga menjadi tempat penampungan uang lebih dari US$ 10 juta milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Salah satu rekening di BNI itu adalah milik Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun, Menteri Hukum Hamid Awaludin menganggap aliran dana tersebut tidak melanggar hukum. Seperti yang ditulis majalah Tempo pekan ini, Tommy berhasil mengklaim uang miliknya di BNP Paribas London berkat bantuan surat rekomendasi Departemen Hukum dan HAM (dulu Departemen Hukum dan Perundang-undangan), yang menyatakan bahwa uang Motorbike International Limited milik Tommy itu bersih dari korupsi. BNP Paribas lalu mentransfer dana lebih dari US$ 10 juta itu ke rekening Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM di BNI Cabang Tebet, Jakarta Selatan, pada 14 Juni 2005. Hari itu juga uang langsung ditransfer ke PT PSA di BNI Cabang Melawai Raya, Jakarta Selatan. Rekening tersebut diketahui milik IYG, rekan Tommy. Dua hari kemudian, uang itu dipecah ke empat rekening, termasuk rekening IYG. Menteri Hamid mengakui telah meminta BNP Paribas mentransfer uang tersebut ke rekening di Tebet. "Ya, betul, ada," kata Hamid kepada majalah Tempo. Menurut Hamid, rekening itu diurus oleh anak buahnya. "Itu nomor rekening Departemen yang dibuat oleh staf saya. Dia bilang itu rekening kita," ujar Hamid. Berdasarkan penelusuran Tempo, rekening di BNI itu telah ditutup pada 9 Juni 2006. Hamid juga sempat berkirim surat kepada direksi PT BNI Tbk., yang isinya memberitahukan adanya aliran dana milik Motorbike ke rekening di BNI Cabang Tebet. "Untuk itu, mohon bantuan Saudara untuk segera mengadministrasikan sebagaimana mestinya. Dan dengan ini kami membebaskan BNI dari segala tuntutan hukum apa pun akibat dilakukannya transaksi ini. Terima kasih." Begitu cuplikan isi surat tertanggal 10 Juni 2005 itu. Namun, BNI Cabang Tebet mengaku tidak tahu-menahu soal aliran dana tersebut. "Saya tidak tahu ada transfer itu," ujar Manajer Cabang BNI Tebet Henni Widayati ketika Tempo mewawancarainya di kantornya di Jalan Supomo, Jakarta, pekan lalu. Kalaupun tahu, Henni melanjutkan, ia tidak dapat membuka data rekening itu. "Itu rahasia bank. Saya nggak boleh buka, nanti saya bisa dipecat," katanya. Sekretaris Perusahaan BNI Intan Abdams Katoppo pada kesempatan berbeda juga mengaku tidak tahu soal transfer uang itu. "Rasanya, kalau jumlahnya sebegitu besar, pasti ramai. Apalagi itu rekening pejabat," ujar Intan ketika dihubungi Tempo melalui telepon seluler. Intan menambahkan, pada 2005 jumlah dana di BNI sedang turun. Kalau dana sejumlah Rp 90 miliar itu memang pernah masuk ke BNI, kata Intan, seharusnya menarik perhatian karena menaikkan jumlah dana BNI saat itu. Selain itu, dia melanjutkan, jika transfer itu dicurigai sebagai tindakan pencucian uang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, pasti akan dilacak. FANNY FEBIANA | AGOENG WIJAYA Sumber: Koran Tempo - Selasa, 20 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Komisi Antikorupsi Kecam Pernyataan Kalla
Komisi Antikorupsi Kecam Pernyataan Kalla JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi mengecam pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla yang membela tersangka korupsi Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais. Menurut KPK, seharusnya Kalla lebih mengedepankan statusnya sebagai negarawan, bukan sebagai politikus, karena ia menjabat wakil presiden. "Kenegarawanannya yang harus ditonjolkan," kata Deputi Bidang Pencegahan KPK Waluyo kepada Tempo melalui pesan pendek (SMS) Sabtu lalu. Menurut Waluyo, akan lebih bijak bila Kalla mengatakan tentang kesamaan hak dan mendapatkan keadilan. Pada Jumat lalu, Kalla menyatakan prihatin dengan penahanan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani. "Dia salah satu anggota, dan organisasi tentu akan melakukan pembelaan sesuai dengan prosedur hukum," ujarnya seusai acara pertemuan dengan warga Sumatera Barat di Jakarta. KPK, kata Waluyo, tidak gentar terhadap bantuan yang akan diberikan Golkar itu. "Tidak ada urusan dengan pernyataan itu," katanya. Menurut dia, KPK tidak melihat itu sebagai tekanan. Rakyat, ujarnya, akan tahu, ternyata partai politik hanya membela kepentingannya, bukan membela kepentingan rakyat. Bupati Syaukani, yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Kalimantan Timur, dicokok KPK pada Jumat malam lalu dari mes Bupati Kalimantan Timur, Jalan Cimahi Nomor 10, Jakarta Pusat. Syaukani dijadikan tersangka atas dugaan empat kasus korupsi yang diduga merugikan negara hingga Rp 40,75 miliar. Empat kasus itu adalah penggelembungan studi kelayakan pembangunan Bandara Loa Kulu senilai Rp 3 miliar, pembebasan tanah pembangunan bandara Rp 15 miliar, penyalahgunaan dana bantuan sosial sebagai dana taktis Rp 7,75 miliar, serta upah pungutan dana perimbangan untuk negara dari sektor minyak dan gas Rp 15 miliar. Sebelumnya, Kalla sempat menjenguk Syaukani ketika masih dirawat di Rumah Sakit Gading Pluit, Jakarta Utara. Dia datang bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin pada 6 Desember 2006. Kunjungan ini juga menuai kecaman dari berbagai pihak (Koran Tempo 7 Desember 2006). Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, sependapat dengan KPK. Menurut dia, pernyataan Kalla ini bertentangan dengan agenda Kabinet Indonesia Bersatu, yakni pemberantasan korupsi. Seharusnya, kata Saldi, Ketua Umum Golkar tidak perlu mempublikasikan pernyataan partai akan membantu kadernya yang jadi tersangka korupsi. Saldi tidak melarang partai memberikan bantuan kepada kadernya, tapi seharusnya tidak dipublikasikan. "Seharusnya diam-diam. Tidak perlu dipublikasikan, apalagi keluar dari mulut seorang Jusuf Kalla, yang juga wakil presiden," kata dia. Bahkan Saldi menilai itu merupakan perang psikologis terhadap pemberantasan korupsi. "Itu merupakan teror terhadap KPK," ujarnya. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Andi Mattalata menolak ucapan Kalla disebut sebagai teror. "Membela orang yang diduga (korupsi) kan boleh, kecuali sudah terpidana," kata dia. KPK, tutur dia, tidak boleh surut memeriksa hanya karena pernyataan. "Jangan jadikan ucapan seseorang sebagai halangan." Sementara itu, kuasa hukum Syaukani, Amir Syamsuddin, menyatakan kliennya meminta segera diperiksa meski sedang sakit. "Sambil berbaring juga tidak ada masalah. Dia tidak ingin menimbulkan kesan menghindari pemeriksaan," ujar Amir. Sejak Sabtu lalu, Syaukani dirawat di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta. Menurut Amir, Syaukani menderita sakit ruas tulang belakang, yang menyebabkannya tidak bisa duduk lama. Sedangkan Kepala Kepolisian Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Indarto menyatakan semua kasus dugaan korupsi Syaukani sepenuhnya telah diserahkan penanganannya kepada KPK. "Kami sudah tidak menanganinya," katanya. TITO SIANIPAR | RINI KUSTIANI | SG WIBISONO Sumber: Koran Tempo - Selasa, 20 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Korupsi Sulit Dihapus
Korupsi Sulit Dihapus BPK Pesimistis terhadap Upaya Pemberantasan oleh Pemerintah Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menyatakan pesimistis dengan pemberantasan korupsi yang dijalankan pemerintah. Apalagi jika tak diikuti dengan penataan sistem dan penempatan sumber daya manusia yang baik dalam pengelolaan keuangan serta pengawasan keuangan negara. "Tak usah heran jika pemberantasan korupsi di Indonesia selama 2,5 tahun lebih dinilai berjalan lambat dan hasilnya kurang signifikan," kata anggota BPK dan juru bicara BPK, Baharuddin Aritonang, kepada Kompas, Rabu (14/3). Dia dimintai komentarnya berkaitan dengan hasil survei lembaga Konsultan Risiko Politik dan Ekonomi (PERC) yang bermarkas di Hongkong. Dari posisi negara paling korup tahun lalu, Indonesia saat ini bersama Thailand hanya turun satu tingkat di bawah Filipina sebagai negara paling korup. Direktur Informasi dan Akuntansi Departemen Keuangan Hekinus Manao sependapat dengan pendapat BPK. Penyebabnya, antara lain, minim dan belum menyebarnya para akuntan yang secara teknis keuangan menguasai bidangnya di hampir seluruh departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). Akibatnya, banyak pengelola anggaran di departemen dan LPND yang "tidak nyambung" saat berkomunikasi perihal pengelolaan keuangan. Mereka gagal menyusun sistem pembukuan yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan yang transparan dan akuntabel. Namun, diakui bahwa di departemen dan LPND serta lembaga negara sendiri, pemerintah sudah menetapkan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berlaku di pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di provinsi hingga kabupaten. Menurut Baharuddin, banyak tenaga akuntan yang justru setelah lulus langsung menjadi tenaga pemeriksa keuangan atau justru berperan setelah adanya penyimpangan dan penyelewengan keuangan. Mereka bukannya bekerja di departemen dan LPND untuk mengelola dan menyusun anggaran di departemen. Ibarat pemadam kebakaran, para akuntan itu justru bekerja setelah terjadinya "kebakaran", bukannya mencegah terjadinya "kebakaran" laporan keuangan. Baharuddin menambahkan, lemahnya sistem pengelolaan keuangan diperparah dengan sistem pengawasan yang amburadul. Fungsi dan peran BPK sebagai auditor eksternal pemerintah jelas diatur dalam UUD 1945. "Bagaimana dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)? Harusnya BPKP ditempatkan di seluruh departemen dan LPND agar ikut mencegah terjadinya penyimpangan dan ikut menata sistem pengelolaan dan akuntansi yang baik. Bukannya ikut jadi pemeriksa," ungkap Baharuddin. Belum lagi adanya fungsi pengawasan lainnya. Ada inspektorat jenderal, lalu ada Badan Pengawasan Daerah. Di BUMN sendiri ada Satuan Pengawasan Internal (SPI). "Semuanya tumpang tindih melakukan pemeriksaan. Akan tetapi, penyimpangan terus saja terjadi," kata Baharuddin. Anggota Komisi XI DPR, Dradjat Wibowo, menyatakan, kunci dari pemberantasan korupsi sebenarnya dibangunnya sistem yang dimulai dari perencanaan keuangan, pengelolaan, dan pengadministrasian serta pengawasan dan pemeriksaan keuangan sehingga orang semakin kecil menggunakan peluang penyimpangan. (har) Sumber: Kompas - Kamis, 15 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Ada Serangan Balik
perlawanannya. Tidak tanggung-tanggung, seusai diperiksa di Kantor KPK, Yusril pun mengatakan kalau ia juga akan mengadukan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki karena telah melakukan korupsi pengadaan alat penyadapan KPK. Sehari kemudian, Yusril pun mengadu ke KPK soal penunjukan langsung alat penyadap. Melihat reaksi Yusril ini, Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengadakan jumpa pers. Isi jumpa pers tersebut mengatakan pengadaan alat penyadap KPK telah mendapat izin dari Presiden Yudhoyono. Yusril sendiri yang melakukan kajian hukum atas permohonan KPK. Keesokannya, Yusril meralat pernyataannya. Ia mengatakan bahwa KPK perlu mengkaji Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dan metode penunjukan langsung barang/jasa. Di tataran legislasi pun tiba- tiba saja muncul wacana penghapusan hakim ad hoc, penanganan kasus korupsi oleh pengadilan negeri, dan kemungkinan dihilangkannya kewenangan penuntutan bagi KPK. Wacana ini dilontarkan oleh tim perumus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Andi Hamzah dan Indriyanto Seno Adji. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa komitmen bangsa ini untuk memberantas korupsi masih terbilang rendah. Serangan-serangan untuk mengembalikan ke keadaan sebelumnya pun mulai bermunculan. Wouw! Penulis: Vincentia Hanni S dan Hernowo Sumber: Kompas - Kamis, 15 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Widjanarko Jadi Tersangka Korupsi
Sapi, sedangkan yang lain adalah anggota tim. (IDR) Sumber: Kompas - Kamis, 15 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Duit Soeharto Diduga Disimpan di Belanda
Duit Soeharto Diduga Disimpan di Belanda "Masak, orang menyimpan duit dilarang." JAKARTA -- Sebagian dana yang ada di beberapa yayasan yang dulu dipimpin Presiden Soeharto diduga disimpan di Bank Indover, Belanda. Keberadaan sebagian dana yayasan di anak perusahaan Bank Indonesia itu terungkap saat penyidikan kasus Indover oleh Kejaksaan Agung pada 2000. Bekas Jaksa Agung Marzuki Darusman membenarkan adanya dana itu. "Benar, sebagian dana yayasan ada di bank itu," ujarnya saat dihubungi kemarin. Marzuki tidak mengetahui pasti jumlah dana itu. Ia hanya mengatakan, "Kalau tidak salah mencapai US$ 1 miliar (sekitar Rp 9 triliun)." Marzuki mengaku tidak mengetahui apakah dana itu masih tersimpan atau tidak. Sebab, kasus Indover sendiri sempat terhenti penyidikannya ketika peralihan jabatan Jaksa Agung pada 2001. Pada saat itu pula, kata Marzuki, ada rencana pemerintah menjual Bank Indover. Tapi, menurut sumber Tempo, dana yayasan-yayasan Soeharto itu diyakini masih tersimpan di bank yang berkantor pusat di Amsterdam tersebut. "Masih ada sampai sekarang," ujar bekas jaksa yang pernah menangani kasus Soeharto itu. Dia mengatakan, dana yayasan itu disimpan dalam rekening di bank Indover sejak 1990-an. Dana tersebut, kata dia, dikelola oleh kakak salah seorang menteri era Orde Baru. Namun, dia enggan menyebutkan namanya. Marzuki mengatakan Bank Indover sebenarnya bertujuan menampung dana yang ada di luar negeri untuk masuk ke Indonesia. Namun, kenyataannya, bank itu malah menampung dana dari Indonesia. Menurut Marzuki, ketika kasus Indover terungkap, ia sempat mempertanyakan kepada Bank Sentral Belanda karena tidak mengawasi terjadinya transaksi besar-besaran dari Indonesia ke Belanda pada sekitar tahun 1998 sampai 2000 itu. "Bank sentral Belanda kurang pengawasan," kata dia. Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda mengaku sempat mendengar kabar adanya dana yayasan yang tersimpan di Indover. "Saya pernah dengar soal itu," ujarnya dua hari lalu. Dia tidak dapat menjelaskan lebih jauh karena berkonsentrasi perihal gugatan intervensi kasus Tommy Soeharto di pengadilan Guernsey, negara persemakmuran Inggris. Salah seorang anggota staf Bank Indover cabang Indonesia yang enggan disebut namanya hanya mengatakan, "Itu kan persoalan lama." Meski mengaku mengetahui informasi itu, anggota staf perempuan itu menolak menjelaskan dengan alasan tidak berwenang. Bank Indonesia pun belum bersedia memberikan keterangan memadai soal ini. Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia Oey Hoei Tiong mengaku belum mengetahui informasi itu. Menurut Oey, kepemilikan rekening harus dirahasiakan oleh pihak bank. Kalaupun benar dana yayasan disimpan di Bank Indover, kata Oey, hal itu wajar. "Secara hukum, tindakan itu bisa dibenarkan. Masak, orang mau menyimpan duit dilarang," ujarnya. Direktur Perencanaan Strategi dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Budi Mulya mengaku belum bisa menjelaskan. "Saya sedang rapat," ujarnya.SUKMA LOPPIES | ANNE L. HANDAYANI | RIKY FERDIANTO Sumber: Koran Tempo - Kamis, 15 Maret 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Kesaksian Anak Muda, Mengenang Almarhum Prof. Koesnadi Hardjasoemantri
Kesaksian Anak Muda, Mengenang Almarhum Prof. Koesnadi Hardjasoemantri http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatberita&id=3342 Bangsa Indonesia kehilangan satu lagi putra terbaiknya. Dia adalah Koesnadi Hardjasoemantri, seorang intelektual dan ahli hukum lingkungan. Semasa hidupnya pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 9 Desember 1926, ini sarat dengan karya-karya, prestasi dan penghargaan. Dalam usia 80-an tahun dan sebelum akhirnya beliau meninggalkan kita untuk selama-lamanya, penerima bintang mahaputra ini masih terus mengabdikan dirinya. Dia masih aktif mengajar dan mengikuti berbagai kegiatan sosial, serta menjadi pembicara diberbagai seminar. Siapapun yang berjumpa dengan Profesor Koesnadi, akan maninggalkan banyak kesan mendalam. Selain karena kepintarannya, pribadi beliau adalah santun dan ramah kepada siapapun. Apalagi bila perjumpaan itu tidak sekedar bertatap muka atau bertemu di forum-forum ilmiah, melainkan perjumpaan yang intensif semisal duduk dan bekerja sama dalam suatu kegiatan, maka semakin tampaklah kualitas pribadi dan intelektual beliau. Setidaknya begitulah yang kami rasakan di Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), sebuah lembaga, yang Pak Koes, begitu kami biasa memanggilnya, adalah salah satu pendirinya dan duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Penyantun MTI. Kehadiran Pak Koes di MTI bukan sekedar simbol atau pelengkap nama-nama besar pendiri lembaga. Di banyak kegiatan MTI beliau turut terlibat aktif dan mengambil peran, bahkan diataranya menjadi koordinator kegiatan. Beberapa kegiatan penting yang perlu kami sebutkan disini adalah, beliau pernah menjadi ketua tim kajian Hukum MTI tentang Keppres bermasalah tahun 1993-1998. Menurut Pak Koes selaku ketua tim, Keppres-Keppres tersebut dinilai tidak konsisten dengan tata aturan perundangan yang ada. Proses pembuatannya pun diragukan obyektivitasnya karena banyak kerabat dekat Presiden yang diuntungkan dalam pelaksanaan Keppres itu. Melalui tim Kajian hukum tersebut MTI merekomendasikan agar segera dilakukan tindakan perbaikan dengan mencabut, menata ulang atau meninjau kembali Keppres bermasalah tersebut. Keterlibatan Pak Koes di MTI bukan hanya dalam kajian keppres bermasalah. Pak Koes juga turut membidani pembentukan Badan Independen Anti Korupsi (BIAK), yang belakangan turut mencetuskan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, Pak Koes juga terlibat dengan pernik-pernik kegiatan di MTI lainya, salah satunya adalah aktif memberikan sumbang saran dalam pelaksanaan Forum Rembug Nasional (FRN) yang di motori MTI. FRN itu sendiri sangat fenomenal karena dalam acara tersebut menghadirkan banyak elemen penting bangsa mulai dari presiden, menteri kabinet, tokoh partai politik, pimpinan ormas-ormas besar, tokoh cendikiawan, pengusaha, kalangan media, LSM, dan aktivis mahasiswa. Mereka dihadirkan untuk menyumbangan ide-ide terbaiknya dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Bagi rekan-rekan muda di MTI, kehadiran Pak Koes memberikan kesan tersendiri yang cukup mendalam. Di tengah kesibukan yang begitu padat, Pak Koes masih kerap hadir memenuhi undangan sekretariat untuk mengikuti sejumlah diskusi di MTI sekedar sebagai peserta. Bahkan ketika rekan-rekan muda itu ingin minta waktu konsultasi untuk pembuatan buku, Pak Koes memilih mendatangi rekan-rekan muda itu ketimbang mereka yang mendatangi Beliau. Dan Pak Koes rela berjam-jam untuk menemani diskusi sebelum kemudian beliau melanjutkan agenda lain yang cukup padat. Bagi kami yang muda-muda di MTI, Pak Koes lebih dari sekedar intelektual. Ia juga seorang pendidik sejati yang siap bukan sekedar memberi tetapi juga membimbing dengan penuh kesabaran. Beliau bukan hanya siap memberi saran-saran, tetapi pada saat yang sama beliau juga mendengarkan kami dengan penuh seksama. Suatu sikap yang menurut kami sukar ditemukan pada diri orang sekaliber Pak koes. Berhadapan dengan tokoh besar seperti Pak Koes, membuat kami yang muda-muda ini menjadi manusia yang penuh arti, hal ini karena dihadapan beliau, kami juga didengar, kami dimengerti dan kami dihargai. Akhirnya, dimata kami, Pak Koes hampir-hampir tidak pernah tua meski usianya memasuki senja. Pada diri Pak Koes telah menyatu antara jiwa muda, gelora semangat dan idealisme yang terus menyala. Suatu kepribadian yang senantiasa hidup dan penuh energi, yang membuat kami yang muda-muda ini iri sekaligus kagum dan menaruh hormat setinggi-tingginya. Semoga kami bisa meneladanimu, Pak Koes. Dan kami akan terus menjadi saksi atas segala amal kebaikanmu. Semoga engkau tenang di sana dan bahagia bersama kekasih abadi. *** Ditulis oleh Sudirman Said, Ketua Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Note: Tulisan ini merupakan rangkuman dari pendapat beberapa pengurus MTI; Pak Marie Muhammad, Pak Boediono, Pak Kemal A. Stamboel, Pak Arief T. Surowidjojo, Pak Pradjoto dan rekan-rekan muda di MTI.
[mediacare] Meneropong Eksistensi Pengadilan Tipikor
Meneropong Eksistensi Pengadilan Tipikor Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review Pasal 53 UU. No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan dasar hukum Pengadilan Tipikor membawa polemik hukum yang saat ini menjadi perhatian. Putusan MK menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun setelah sejak putusan ini diucapkan. Penulis memandang setidaknya terdapat tiga permasalahan paska putusan MK ini. Pertama, putusan MK ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan multi interpretasi atas eksistensi Pengadilan Tipikor. Kedua, eksistensi Pengadilan Tipikor hingga tiga tahun ke depan, setelah putusan dibacakan Dan ketiga, eksistensi Pengadilan Tipikor paska jangka waktu tiga tahun. Menjawab permasalahan pertama, penulis berpandangan bahwa keputusan MK ini sebenarnya bermaksud menguatkan eksistensi Pengadilan Tipikor melalui dukungan terhadap terbentuknya UU yang khusus mengatur mengenai Pengadilan Tipikor. Dalam prinsip kepastian hukum, dinyatakan tidak boleh ada dualisme hukum. Sementara dalam konteks sidang perkara korupsi yang berlaku pada saat ini, perkara korupsi dapat disidangkan di dua pengadilan yang berbeda yaitu pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor. Untuk meniadakan dualisme yang selama ini terjadi dalam sidang perkara-perkara korupsi, maka seharusnya hanya ada satu pengadilan. Dan jika Pengadilan Tipikor masih dikehendaki eksistensinya, maka harus disertai dengan UU yang khusus mengaturnya. Sehingga dengan demikian pada esensinya, putusan MK justeru mendukung penguatan dasar hukum atas eksistensi Pengadilan Tipikor sebagai satu-satunya lembaga pengadilan yang memutus perkara-perkara korupsi. Hal ini menurut penulis justeru berlawanan dengan pendapat yang dinyatakan oleh Ketua Tim Pembahasan Draft RUU mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Prof. Andi Hamzah, yang menyatakan bahwa keberadaan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan konstitusi karena kriteria kekhususan Pengadilan Tipikor menyebabkan terdapat dua pengadilan yang berbeda dalam lingkup yang sama, sehingga eksistensi Pengadilan Tipikor beserta hakim adhoc-nya harus ditiadakan. Untuk kemudian seluruh perkara korupsi disidangkan oleh hakim karier yang dididik khusus untuk menangani perkara korupsi di pengadilan umum (Kompas - 1 Februari 2007) selengkapnya lihat di: http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=55 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Maraknya Gerakan Prokorupsi - Tanggapan atas Tulisan Amir Syamsuddin: Benarkah KPK Tidak Pernah Bersalah?
Maraknya Gerakan Prokorupsi (Tanggapan atas Tulisan Amir Syamsuddin: Benarkah KPK Tidak Pernah Bersalah?) Oleh: Ida Syafrida Harahap www.transparansi.or.id - 28 Februari 2007 Menarik membaca tulisan seorang praktisi hukum senior Amir Syamsuddin di Kompas, Selasa 27 Februari 2007. Penulis mempertanyakan apakah KPK tidak pernah bersalah. Namun, setelah membaca tulisan dimaksud ternyata bukan salah atau tidaknya KPK yang dipaparkan Penulis, tetapi justeru lebih banyak mempersoalkan keberadaan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Setidaknya ada tiga catatan penting atau lebih tepatnya penerjemahan sepihak yang dilakukan penulis, yaitu korupsi sebagai extraordinary crime, keputusan hakim Tipikor yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan keberadaan pengadilan Tipikor. selengkapnya lihat di: http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=53 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Koesnadi, Pencetus Kampus "Ndeso" UGM Korban Musibah Garuda
ian di ruang rektorat UGM. "Beliau bercerita tentang obsesi mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Gunungkidul. Ya, semacam universitaslah. Beliau ingin kualitas pendidikan di Gunungkidul maju seperti di Jogja," katanya. Kepada para sahabatanya, almarhum selalu mampu membawa pada sebuah pembicaraan yang serius namun santai. Tidak hanya melulu soal teori politik atau hukum, tetapi juga gaya hidup. Ada satu rahasia hidup almarhum yang diresepkan kepada sahabatnya, Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Namun, hingga sekarang, Syafii mengaku belum bisa melaksanakan amanat almarhum itu. Menurut dia, resep almarhum agar tetap energik di usia lanjut adalah rutin mengonsumsi kencur sebesar ibu jari. "Kayaknya, mulai detik ini saya akan melaksanakannya," katanya lantas tersenyum. Di mata mahasiswanya, almarhum adalah sosok ayah, bukan sekadar rektor atau dosen pembimbing skripsi. Pengusaha Indro Kimpling Suseno ingat betul, bagaimana almarhum mengantarkan mahasiswanya berunjuk rasa ke kantor DPRD provinsi pada 1980-an. Indro Kimpling juga ingat bagaimana rumah dinas rektor sering dipinjam mahasiswa untuk mengadakan rapat. Selain itu, dia sangat terbuka dengan ide mahasiswanya. "Prof Koesnadi juga tidak malu mengantarkan nasi dan makanan kecil ke Gelanggang Mahasiswa. Ini yang membuat hubungan kami bukan lagi dosen dengan mahasiswa, tetapi anak dengan ayahnya," tutur Kimpling yang menjadi mahasiswa almarhum sejak 1981. Kepergian almarhum ke peristirahatan terakhir di pemakaman keluarga UGM di Sawit Sari kemarin dilepas dengan upacara militer. Sebab, almarhum adalah penerima Bintang Gerilya pada 1958. Mencari jasad almarhum di antara 20 korban yang hangus terbakar perlu proses identifikasi berulang-ulang. Termasuk, meminta bantuan keluarga. "Keluarga membawa foto panoramik gigi ayah yang dibuat pada 18 November 2006 untuk dicocokkan dengan foto panoramik pada 6 Maret 2007. Kami beruntung punya ayah yang selalu disiplin memeriksakan giginya," ujar Indira. Pernyataan Indira dibenarkan ahli gigi yang juga anggota tim forensik Prof Sudibyo. Proses identifikasi Prof Koesnadi dibantu dengan foto panoramik gigi yang dibawa keluarga. "Jika tidak ada foto tersebut, akan semakin sulit mengidentifikasi karena kondisi jenazah yang hangus terbakar. Ini sekaligus peringatan bagi masyarakat agar rajin memeriksakan giginya," jelas Sudibyo. Rekam medik gigi juga membantu pencarian jenazah Dr Masykur Wiratno, wakil dekan II Fakultas Ekonomi UGM. Oleh tim dokter, keluarga diminta untuk mencari rekam medik gigi almarhum dari dokter giginya. "Ternyata, itu berhasil. Jenazah pun ditemukan. Korban memang memiliki alat pemacu jantung yang terpasang di organ vitalnya. Namun, itu sudah hangus terbakar sehingga tidak bisa membantu," tambah Sudibyo. (tulisan ini dilengkapi laporan Azam SA) Sumber: Jawapos - Jumat, 09 Mar 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Belasungkawa atas Berpulangnya ke Rahmatullah Prof. Koesnadi Hardjasoemantri
Segenap Pengurus dan staf Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas berpulangnya ke Rahmatullah Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, pendiri MTI, pada hari Rabu, 7 Maret 2007 dalam musibah kecelakaan pesawat Garuda GA200 di Jogjakarta. Semoga Almarhum mendapat tempat yang Mulia di sisi Allah SWT, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kekuatan.Amin. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id stime=1173328871 Description: Binary data
[mediacare] Keberadaan Profesor Koesnadi Masih Dicari
Keberadaan Profesor Koesnadi Masih Dicari http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=3280 www.transparansi.or.id - Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 200 tujuan Jogjakarta, yang diberangkatkan dari Bandara Soekarno - Hatta meledak dan terbakar ketika akan mendarat di Bandara Adi Sucipto pada pukul 06.55. Pesawat naas tersebut membawa 133 penumpang dan 7 awak Garuda. 96 orang dikabarkan selamat, sementara korban tewas yang tercatat hingga berita ini diturunkan berjumlah 21. Profesor Koesnadi Hardjasoemantri, yang merupakan dosen UGM dan pernah menjabat sebagai Rektor UGM, ikut dalam penerbangan tersebut. Pak Koes, demikian nama akrab beliau, juga merupakan salah seorang pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Pada mulanya, seperti dikutip di Detikcom, Pak Koesnadi dikabarkan selamat dan dirawat di RS AURI Jogjakarta. Tetapi beberapa saat kemudian, Detikcom memberitakan bahwa Pak Koes belum ditemukan dan hingga saat ini masih dicari. Bukan hanya pihak keluarga dan UGM yang mencari keberadaan beliau, tetapi Menteri LH Rachmat Witoelar dikabarkan juga sibuk mencari keberadaan Pak Koes. Ketika pihak MTI mencek Garuda Call Centre di nomor 021-2311801 ekstensi 7205 pada pukul 13.10 WIB, petugas mengatakan keberadaan Pak Koes hingga saat ini masih dicari. (SW) ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id The Indonesian Society for Transparency http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] Menunggu KPK Menyelesaikan secara Adat
Menunggu KPK Menyelesaikan secara Adat Seusai rapat koordinasi terbatas tentang langkah pemberantasan korupsi yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (23/2), Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra tetap duduk di kursinya. Yusril duduk tepat di samping kiri Wapres Jusuf Kalla. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki yang duduk di sisi kiri Yusril dibatasi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi berdiri menghampiri Presiden yang masih duduk. Di barisan depan ruang rapat Kantor Presiden, hanya tinggal Presiden, Ruki, Wapres, dan Yusril. Saat Ruki berdiri membungkuk berbincang serius dengan Presiden, Yusril berdiri mengemasi tiga tumpuk tebal berkas yang dibawanya. Wapres yang turut mendengarkan perbincangan Ruki dan Presiden berpaling ke sisi kiri lantaran tiba- tiba dihampiri Sudi. Saat pembicaraan Ruki dan Presiden berlangsung, Wapres berdiri bersama Sudi yang menjauh pergi. Yusril meninggalkan berkas yang telah dikemasi di atas meja untuk menghampiri Wapres yang berdiri sambil tersenyum. Yusril lantas berbincang dengan Wapres. Beberapa saat kemudian, Presiden berdiri, pergi, meninggalkan ruang rapat. Tanpa disaksikan Presiden, Ruki yang berjalan melewati Yusril menjabat tangannya di depan Wapres dan Sudi. Sambil tertawa, tangan kanan Sudi dan Wapres menimpali. Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto dan Menko Polhukam Widodo AS turut menjadi saksi "perdamaian" ini. Presiden saat berjalan kaki dari kantornya menuju tempat tinggalnya di Istana Negara berkomentar pendek. "Sudah saya selesaikan secara adat," ujarnya. Tidak dirinci apa maksud penyelesaian secara adat. Yang rinci dikatakan Presiden seusai rapat adalah upaya pemberantasan korupsi tetap akan dijalankan sungguh-sungguh dan efektif karena korupsi merusak moral, sosial, dan ekonomi. "Ini tekad, agenda, dan prioritas kita," ujar Presiden yang sejak terpilih berjanji kepada rakyat akan memimpin langsung upaya pemberantasan korupsi. Menurut Presiden, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara efektif dengan sinkronisasi antarlembaga penegak hukum. Dampak negatif yang sebetulnya wajar dalam kadar tertentu harus bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin. Meski tidak eksplisit disebut, perseteruan Yusril dan Ruki yang berkepanjangan dan tidak produktif dapat dikategorikan dampak negatif dari upaya pemberantasan korupsi itu. Dengan pedoman penegakan hukum, dibarengi pencegahan dampak negatif pemberantasan korupsi, pemerintah dan aparatnya dapat menjalankan tugas dengan tenang tanpa takut sehingga pemberantasan korupsi membawa hasil optimal. Pedoman inilah yang mungkin dimaksud Presiden sebagai penyelesaian secara adat perseteruan Yusril dan Ruki. Penunjukan langsung, seperti dilakukan Yusril, dibenarkan aturan. Yang perlu dipastikan adalah ada atau tidaknya penyimpangan yang merugikan negara yang dibiayai rakyat. Yusril diperiksa KPK sebagai saksi atas kasus pengadaan sistem identifikasi sidik jari di Departemen Hukum dan HAM saat dirinya menjadi Menteri Hukum dan HAM. Merasa diperlakukan tidak adil, Yusril mengungkapkan hal yang menurutnya dilakukan juga oleh Ruki untuk pengadaan alat sadap. Dari sini perseteruan dimulai. Penyelesaian secara adat akibat perseteruan Ruki dan Yusril dengan akhir salaman telah dilakukan. Sekarang tinggal tugas KPK yang "secara adat" harus membuktikan apakah penunjukan langsung oleh Yusril diimplementasikan secara benar atau dilakukan dengan penggelembungan atau cara yang merugikan rakyat. (Wisnu Nugroho) Sumber: Kompas - Selasa, 27 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ ---- Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Yusril Setuju Tanpa Tender
Yusril Setuju Tanpa Tender Akibat penunjukan langsung ini, menurut KPK, negara telah dirugikan hingga Rp 6 miliar. JAKARTA -- Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Kabinet Gotong Royong, Yusril Ihza Mahendra, mengaku dirinya menyetujui izin prinsip penunjukan langsung tanpa tender. Ini terjadi pada pelaksanaan proyek pengadaan sistem identifikasi sidik jari otomatis di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum di departemen yang dipimpin Yusril pada 2004. Persetujuan itu ia berikan dengan pertimbangan sempitnya waktu antara keluarnya anggaran belanja tambahan APBN, awal November, dan pelaporan anggaran, minggu ketiga Desember, pada tahun yang sama. ''Saya selaku pejabat tertinggi di Departemen kala itu menandatangani surat persetujuan penunjukan langsung,'' kata Yusril setelah diperiksa sebagai saksi selama sekitar 9 jam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin. Namun, Yusril melanjutkan, dalam persetujuan tersebut dirinya tidak pernah menunjuk salah satu perusahaan (PT Sentral Filindo) atau merek tertentu. Dia pun mengaku tidak pernah mengetahui adanya pemberian uang senilai Rp 375 juta dari PT Sentral Filindo kepada pemimpin proyek. ''Lagi pula proyek terjadi saat saya sudah tidak lagi menjabat menteri,'' ujarnya. KPK menilai penunjukan langsung dalam proyek dengan total nilai Rp 18,48 miliar itu tidak bisa dibenarkan. Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Akibat penunjukan langsung ini, menurut KPK, negara telah dirugikan hingga Rp 6 miliar. Sejauh ini KPK telah menahan dua tersangka pada 7 dan 8 Februari lalu. Mereka adalah Aji Effendi, Kepala Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga Departemen Hukum dan HAM, sebagai pemimpin proyek, dan Erman Rachman, Direktur Utama PT Sentral Filindo, sebagai rekanan yang ditunjuk. KPK juga melakukan cegah-tangkal terhadap Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM Zulkarnain Yunus, yang ketika kasus ini terjadi menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum. Yusril mengakui Keputusan Presiden Nomor 80 memang tidak mengatur kewenangan seorang menteri untuk menyetujui penunjukan langsung. Meski demikian, ia menjelaskan, keputusan presiden itu pun tidak mengatur siapa yang berwenang menyetujui proses tersebut. Karena itu, katanya, "Saya sebagai pemegang kewenangan tertinggi di Departemen kala itu berwenang menyetujui penunjukan langsung yang diajukan oleh pemimpin proyek (Aji Affendi).'' Proses pengadaan barang di semua departemen ketika itu, menurut Yusril, berlangsung dengan prosedur seperti yang ia lakukan. Zulkarnain Yunus, yang kemarin turut diperiksa di KPK, sama sekali tak mau memberikan keterangan mengenai perintah penunjukan langsung itu. ''Saya no comment soal itu,'' katanya saat keluar untuk makan siang di sela pemeriksaan. SANDY INDRA PRATAMA RISALAH KASUS Kasus: dugaan korupsi dalam proyek pengadaan peralatan identifikasi sidik jari otomatis. Modus: penunjukan langsung dan penyuapan sebesar Rp 375 juta. Total nilai proyek: Rp 18,48 miliar. Kerugian negara: Rp 6 miliar. Tersangka: Aji Effendi, Kepala Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga Departemen Hukum dan HAM, sebagai pemimpin proyek (ditahan sejak 7 Februari). Erman Rachman, Direktur Utama PT Sentral Filindo, sebagai rekanan (ditahan sejak 8 Februari). KPK juga melakukan cegah-tangkal terhadap Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM Zulkarnain Yunus. Sumber: Koran Tempo - Jumat, 16 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Pemerintah Batal Ambil Keputusan
Pemerintah Batal Ambil Keputusan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono batal menggelar rapat terbatas untuk mengambil keputusan mengenai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Sedianya, rapat kabinet terbatas untuk mencari solusi terbaik atas rencana revisi PP No 37/2006 itu dijadwalkan digelar di Kantor Presiden, Rabu (14/2). Namun, rapat yang rencananya digelar di antara dua rapat kabinet paripurna dan rapat kabinet terbatas soal energi itu batal. Menurut Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, rapat batal digelar karena Menteri Sekretaris Negara belum siap dengan bahan rapat. Selain akan membahas rencana revisi PP No 37/2006, rapat juga akan membahas UU Kementerian Negara. Sehari sebelumnya, Yusril membantah jika dikatakan pemerintah kebingungan dengan rencana revisi PP No 37/2006 yang banyak ditentang dan dipersoalkan. Di tempat terpisah, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengharapkan pemerintah agar segera memastikan revisi PP No 37/ 2006 itu. Hidayat yakin langkah tersebut diyakini akan menyelesaikan masalah, yaitu untuk menyelamatkan uang rakyat dan juga tidak membiarkan para anggota DPRD menjadi bulan-bulanan seperti saat ini. "Ke depan, pengalaman PP No 37 ini jangan terulang lagi," kata Hidayat. Dia mengingatkan agar tidak terulang pengalaman anggota DPRD yang terjerat pidana terkait PP No 110/2000. Masalahnya kini PP No 37/2006 telanjur keluar, dana tunjangan diterima, dan kegiatan sudah dilakukan. Namun, Hidayat juga berharap para anggota DPRD betul-betul mendudukkan diri sebagai wakil rakyat karena kejadian sekarang menjadi ujian berat bagi DPRD. Hidayat juga menyayangkan ketika kegiatan para anggota DPRD di Jakarta terkait PP No 37/2006 tertangkap publik sekadar untuk memperjuangkan tunjangan bagi mereka sendiri. Guru besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Damarjati Supadjar mengatakan, anggota DPRD jangan terjebak dengan persoalan hak rapelan terkait dengan PP No 37/2006. "Jika hanya menuntut hak, ketidakadilan akan mencolok mata," kata Damarjati seusai seminar "Pancasila dan Implementasinya" di Semarang. Tokoh senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sabam Sirait, mengatakan, anggota DPRD yang tidak mengoreksi keputusan presiden dan malah senang kalau rapelan dibagi memang salah. Namun, menurut dia, presiden yang pertama kali membuat kesalahan dan hal ini menyebabkan DPRD dikerdilkan. Secara terpisah, Partai Damai Sejahtera (PDS) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mengeluarkan instruksi presiden atau peraturan presiden untuk mengatasi polemik tentang PP No 37/2006 itu. Sikap PDS, yang disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Damai Sejahtera Ruyandi Hutasoit, uang rapelan yang telah diterima para anggota DPRD seharusnya dibebankan kepada APBN karena polemik ini terjadi akibat kesalahan pemerintah dalam membuat peraturan. (VIN/AB1/dik) Sumber: Kompas - Kamis, 15 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Tabrani Ismail Ditangkap di Jakarta
Tabrani Ismail Ditangkap di Jakarta Tabrani Ismail (69), terpidana korupsi enam tahun penjara, ditangkap intelijen kejaksaan di Jakarta, Rabu (14/2) sekitar pukul 17.20. Buron kejaksaan sejak bulan Agustus 2006 itu ditangkap di dalam mobil Honda Jazz warna silver bernomor polisi B 89xx EI, saat keluar dari kantornya di Gedung Mulia, Jakarta. Setelah ditangkap, mantan Direktur Pengolahan Pertamina itu dibawa ke Gedung Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di kawasan Kuningan, sekitar 150 meter dari Gedung Mulia. Sekitar pukul 21.57, Tabrani yang mengenakan setelan jas warna abu-abu dan dasi hijau muda itu dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang menggunakan mobil tahanan bernomor polisi B 8082 EH. "Saya dizalimi," kata Tabrani saat menuju mobil tahanan. Tabrani Ismail divonis enam tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan uang pengganti 189,58 juta dollar AS oleh Mahkamah Agung, 26 April 2006. Majelis hakim kasasi menilai Tabrani terbukti korupsi dalam proyek Export Oriented Refinery (Exor) I Pertamina di Balongan sehingga merugikan negara 189,58 juta dollar AS. Rabu malam, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menggelar jumpa pers di Kejati DKI Jakarta menjelaskan kronologis tertangkapnya Tabrani. Menurut Jaksa Agung, pada saat ditangkap, Tabrani menggunakan kartu tanda penduduk atas nama Putra Mangku Puspo yang dikeluarkan Kelurahan Cimpaeun, Kecamatan Cimanggis, Depok (Jawa Barat). "Saat ditangkap pukul 17.20 sampai pukul 21.00, yang bersangkutan tidak mengaku nama sebenarnya Dr Ir Tabrani," kata Jaksa Agung. Jaksa Agung menambahkan, saat dirinya tiba di Kejati DKI, barulah Tabrani mengakui bahwa dirinya Tabrani Ismail. Bahkan, Tabrani menceritakan bahwa ia melarikan diri karena merasa tidak bersalah. Menurut Jaksa Agung, ini bukan pertama kalinya Tabrani berusaha ditangkap intelijen Kejaksaan. Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin menambahkan, intelijen Kejaksaan beberapa kali menggerebek, namun Tabrani selalu berpindah tempat. (IDR) Sumber: Kompas - Kamis, 15 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Tujuh Petinggi Polri Diduga Terlibat
Tujuh Petinggi Polri Diduga Terlibat JAKARTA -- Tujuh petinggi Polri diduga terlibat penyelewengan proyek pembelian alat dan jaringan komunikasi senilai Rp 240 miliar di tubuh Kepolisian Republik Indonesia selama periode 2001-2005. Pengadaan alat dan jaringan komunikasi ini menelan biaya Rp 602 miliar. "Inisial pejabat yang terlibat AD, AG, SS, DB, YM, IG, dan TH," kata Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S. Pane kemarin. Proyek alat dan jaringan komunikasi ini antara lain meliputi pengadaan satu situs trunking di Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada 2002 senilai US$ 4 juta, dan perluasan trunking Polda Sumatera Utara tahun 2003 senilai US$ 5,5 juta. Juga pengadaan alat komunikasi Pemilu 2003 senilai Rp 111 miliar, trunking Polda Jawa Timur pada 2004 senilai US$ 10 juta, dan perluasan jaringan komunikasi PJR Sumatera (2005) senilai US$ 6 juta. Namun juru bicara Mabes Polri Irjen Sisno Adiwinoto, saat ditanya tentang keterlibatan tujuh nama itu, mengatakan pihaknya belum bisa mengklarifikasi tujuh nama mantan pejabat Polri itu. "Saat ini penyidikan masih berjalan," katanya. Menurut Sisno, selama ini BPK belum mengeluarkan hasil audit dari proyek alat dan jaringan komunikasi Polri itu. "Kalau BPK sudah mengeluarkan, akan kami tindaklanjuti," ujarnya. Korupsi pengadaan alat dan jaringan komunikasi ini juga melibatkan Henry Siahaan, suami penyanyi Yuni Shara. Henry, yang ditahan di Polda Metro Jaya, terlibat pengadaan alat dan jaringan komunikasi melalui perusahaannya, PT Chandra Eka Karya Pratama. Henry akan dikenai dua gugatan pidana terkait dengan dugaan korupsi pengadaan alat komunikasi dan jaringan komunikasi di Polri itu. Selain dikenai tuduhan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 240 miliar, Henry juga akan dikenai pasal pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurut Kepala Bagian Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komjen Polisi Hendarso Danuri, saat itu Henry terlibat dalam penyediaan alat komunikasi handy talkie. Namun sampai saat ini alat yang disediakan itu tak berfungsi. Kata Sisno, "Ada kemungkinan Henry bisa kena jeratan berlapis." Menurut Neta, penangkapan Henry dan rekan kerjanya, Santo, hanyalah bagian kecil dari keseluruhan kasus dugaan markup ini. "Jangan berhenti sampai penahanan Henry saja," ujarnya. MUSLIMA HAPSARI | ERWIN d Sumber: Koran Tempo - Jumat, 09 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id The Indonesian Society for Transparency http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] Penyidik Tak Perlu Izin Presiden
Penyidik Tak Perlu Izin Presiden JAKARTA (SINDO) – Penyidikan, penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat publik, tidak lagi memerlukan surat izin presiden atau pejabat publik selain presiden. Hal tersebut tercantum dalam pasal 18 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Artinya, kelak bila RUU ini disahkan,penyidik bisa langsung melakukan penyidikan terhadap pejabat publik tanpa harus mendapat izin dari presiden. Untuk diketahui, sesuai pasal 36 RUU Tipikor,penyidikan dalam UU ini dilakukan oleh kepolisian,kejaksaan, dan penyidik pada KPK. Ketua Tim Perumus RUU Tipikor Andi Hamzah mengatakan, hasil penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat 1, diserahkan kepada jaksa penuntut umum. Kemudian, dalam pasal 36 ayat 2 disebutkan, perkara tindak pidana korupsi yang diterima JPU sebagaimana ayat 1 dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk diperiksa dan diputus majelis hakim khusus tindak pidana korupsi. Dalam pasal selanjutnya, juga diatur dalam satu tahun setelah UU ini diundangkan, harus ditunjuk hakim khusus untuk tindak pidana korupsi pada setiap Pengadilan Negeri, bukan pada Pengadilan Tipikor. Artinya,rancangan yang dibahas sejak 30 Januari 2007 ini tidak lagi mengatur mengenai adanya pembentukan Pengadilan Tipikor seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK). ”Memang nanti perkara korupsi ditangani hakim khusus, mereka direkrut dari kalangan hakim karier yang nanti dididik khusus untuk bisa menangani perkara korupsi,” kata Andi Hamzah. Hanya, dalam draf tersebut tidak dijelaskan apakah KPK dapat juga melakukan penuntutan terhadap kasus korupsi yang ditanganinya.Untuk diketahui, sebelumnya Andi Hamzah menilai, kewenangan menuntut yang ada pada KPK membuat lembaga ini terlalu superbody. Kewenangan itu juga,kata Andi, menyebabkan adanya dua lembaga penuntutan yang memiliki kekuatan yang sama, yakni kejaksaan dan KPK. Menurut Andi, tingkat kerampungan draf RUU yang disusun oleh tim yang terdiri atas pakar hukum, akademisi, kepala biro hukum kejaksaan, dan Depkumham ini sudah mencapai 95%. ”Kita tinggal memuat penjelasan dan rancangan pencegahan korupsi,” jelasnya. Saat ditanya apakah tim perumus draf RUU melibatkan KPK,Andi menjawab KPK selalu dilibatkan. ”Ketua KPK telah kita undang untuk merumuskannya, namun yang bersangkutan berhalangan dan diwakili oleh biro hukumnya,”jelas Andi. Selanjutnya, yang menarik juga, draf RUU Tipikor mengatur ancaman pidana maksimal tiga tahun bagi seseorang yang membuat laporan palsu kasus korupsi. Aturan tersebut dimasukkan dalam pasal 13 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja membuat laporan palsu tentang seseorang yang telah melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun. Khusus menanggapi saksi pelapor korupsi yang dapat diancam pidana ini, Koordinator Departemen Informasi Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan,pasal tersebut justru menghambat upaya pemberantasan korupsi. ”Pasal seperti itu tergolong pasal karet yang bisa membahayakan pelapor kasus korupsi.Saat kita sudah punya UU Perlindungan Saksi, mengapa harus ada aturan seperti itu,” ujarnya. Aturan tersebut, nilai Adnan, bisa menimbulkan celah untuk berkolusi antara pelaku korupsi yang dilaporkan dan aparat penegak hukum. ”Dalam kondisi aparat penegak hukum yang belum bisa kita percaya, pasal itu justru memberikan kesempatan berkolusi antara pejabat yang dilaporkan dan aparat penegak hukum,”tuturnya. Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yunto yang juga tim perumus RUU ini mengatakan, masih ada beberapa substansi yang menjadi perdebatan dalam RUU tersebut, seperti soal perkara korupsi yang bernilai di bawah Rp25 juta dapat dihentikan penuntutannya. Asalkan, alat bukti dalam perkara tersebut telah cukup dan terdakwa mengakui kesalahannya serta mengembalikan hasil kejahatannya kepada negara.Perdebatan lainnya adalah, kewenangan menuntut dalam tindak pidana korupsi hilang jika telah lewat 18 tahun sejak terjadinya tindak pidana. ”Yang jelas, RUU tersebut masih perlu direvisi dan disesuaikan dengan konvensi PBB dan sesuai dengan semua aspirasi,” tandasnya. (sm said). Sumber: Harian Seputar Indonesia - Kamis, 08 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id The Indonesian Society for Transparency http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED] Web: http
[mediacare] Kultur Birokrasi Feodal Perlu Dirombak
Kultur Birokrasi Feodal Perlu Dirombak Kultur birokrasi di Indonesia dirasakan masih feodal. Aparat birokrasi lebih banyak melayani penguasa dan mengawasi rakyat ketimbang melayani rakyat jelata. Pandangan itu disampaikan anggota Komisi II Agus Condro Prayitno dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ketika ditemui di sela-sela pembahasan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik di Gedung DPR, Rabu (7/2). "Birokrasi kita itu masih warisan kolonial. Mereka lebih melayani raja atau Belanda ketimbang rakyat. Ini belum berubah sampai sekarang," ucap Agus Condro. Fraksi Kebangkitan Bangsa dalam persandingan Daftar Inventarisasi Masalah juga mengusulkan lahirnya UU ini didasari sebuah misi memperbaiki orientasi dan kultur kinerja aparatur pemerintah dan lembaga pelayanan publik yang selama ini lebih cenderung menganut filosofi "minta dilayani", bukan "siap melayani". RUU Pelayanan Publik adalah usul inisiatif pemerintah. RUU tersebut sedang dibahas Komisi II DPR dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Dalam rangka mencari masukan, Komisi II DPR mengundang Komisi Ombudsman Nasional dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Rapat dipimpin Ketua Pansus Sayuti Asyathri dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Dalam draf RUU usulan pemerintah, pelayanan publik didefinisikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan atau pelayanan administrasi yang disediakan penyelenggara pelayanan publik. (SUT) Sumber: Kompas - Kamis, 08 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id The Indonesian Society for Transparency http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] Saat Sang Profesor Terpaksa Menguji di Ruang Tahanan...
Saat Sang Profesor Terpaksa Menguji di Ruang Tahanan... Pukul 16.00 sudah lewat. Di sebuah ruangan di Rumah Tahanan Mabes Polri, Rabu (31/1), Rokhmin Dahuri tengah bersiap-siap menguji disertasi doktoral mahasiswinya, Budiati Prasetiamartati (30). Ia hanya meminta waktu sebentar kepada Budiati agar bisa menghabiskan roti yang dimakannya. "Sebentar, saya menghabiskan roti yang enak ini dulu, ya. Saya belum pernah merasakan roti seenak ini," ujar Rokhmin, yang sore itu mengenakan kaus dengan kerah berwarna abu-abu. Berbeda dengan mahasiswa lain yang diuji di ruang sidang berukuran besar, Budiati cukup bersyukur bisa diuji dosen pembimbingnya, Rokhmin Dahuri, di ruangan yang hanya berukuran 3,5 x 3,5 meter. Dinding ruangan yang berwarna biru telur asin itu telah terkelupas di sana sininya. Ruangan itu adalah ruang tunggu yang biasa dipakai tahanan saat menerima tamu. "Saya lega bisa diuji Pak Rokhmin. Saat Pak Rokhmin ditahan, saya sempat khawatir juga dengan nasib disertasi saya. Untung saja dari IPB (Institut Pertanian Bogor) diinformasikan siapa saja di bawah bimbingan Pak Rokhmin, baik master atau doktor, tetap bisa dilanjutkan, apalagi saya yang hanya tinggal tahap akhir," ujar Budiati yang sudah lima kali bolak-balik menjalani konsultasi bimbingan disertasi di Rutan Mabes Polri. Istri Rokhmin, Pigoselpi Anas, pun berpamitan pulang. "Saya pulang dulu, ya. Pakaian kotor saya bawa pulang," ujarnya, sambil mengambil tas jinjing berisi pakaian-pakaian kotor milik Rokhmin, yang ditaruh di atas tempat tidur tak berseprei. Pigoselpi pun pergi. Budiati adalah mahasiswa doktoral kedua yang diuji Rokhmin di rutan. Dua pekan sebelumnya, Cahyo Priyonggo, Direktur Perencanaan Badan Otorita Batam, juga menjalani ujian disertasi di Rutan Mabes Polri. Ujian itu adalah ujian disertasi tertutup sebelum mahasiswa menjalani ujian terbuka. Rokhmin menerangkan, seorang kandidat doktor di IPB harus melalui dua ujian, yaitu tertutup dan terbuka. Ujian tertutup disebut guru besar IPB itu sebagai killing ground, lahan pembantaian. "Tak etis kalau saya ikut meluluskan seorang kandidat doktor dari ujian tertutup ke ujian terbuka tanpa saya hadir dalam sidang ujian itu. Karena status saya sebagai tahanan, saya tidak bisa hadir dalam sidang ujian tertutup besok, IPB memperbolehkan saya menguji secara parsial di rutan ini," ujar mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditahan karena diduga terlibat kasus korupsi itu. Setelah Rokhmin menghabiskan potongan roti, Budiati pun bersiap-siap mempresentasikan disertasinya. Namun, karena ujian ini bersifat tertutup, wartawan hanya menyaksikan dari jauh. Budiati mengambil tema penelitian "Modal Sosial dalam Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat". Selain Rokhmin, dosen pembimbingnya adalah Akhmad Fauzi, Achmad Fahrudin, dan Hellmuth Lange. Budiati adalah kandidat doktor program studi pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan ke-46. Program studi ini dirintis Rokhmin tahun 1997. Menurut Rokhmin, hanya ada empat universitas di dunia yang memiliki program studi ini. Meski raga dipenjara, tetapi ilmu mampu melewati batasan yang memenjara raga sang manusia. Rokhmin dan mahasiswanya telah membuktikan. (Vincentia Hanni s) Sumber: Kompas - Kamis, 01 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Kritik MA Justru Cerminkan Sarang Mafia Peradilan
Kritik MA Justru Cerminkan Sarang Mafia Peradilan JAKARTA -- Kritik Mahkamah Agung terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial justru membuktikan bahwa selama ini lembaga tertinggi peradilan itu menjadi sarang mafia peradilan. "Malah makin menelanjangi siapa sebenarnya MA itu," ujar Koordinator Indonesia Court Monitoring Denny Indrayana saat dihubungi Tempo kemarin. Menurut Denny, kritik Mahkamah Agung itu adalah bentuk perlawanan. Sebab, kata Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu, kedudukan Mahkamah Agung terusik dengan hadirnya KPK dan Komisi Yudisial, yang merupakan lembaga pengawas peradilan. Dua hari lalu, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Nonyudisial Syamsuhadi mengkritik KPK dan Komisi Yudisial. "Mereka memandang rendah Mahkamah Agung dan semua lembaga peradilan di bawahnya (dengan menganggap) sebagai sarang penjahat," ujar Syamsuhadi. Syamsuhadi mengatakan KPK bersikap arogan dengan memorakporandakan Mahkamah Agung. Hal itu terjadi saat komisi tersebut menggeledah ruang kerja Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pada 27 Oktober 2005. Syamsuhadi menilai KPK sedang mendambakan popularitas murahan dengan menggeledah tanpa dasar. Syamsuhadi juga melontarkan kritik terhadap Komisi Yudisial, yang meminta seleksi ulang 49 hakim agung. "Komisi Yudisial menganggap para hakim agung sebagai penjahat, mafia peradilan, yang perlu diamputasi," katanya. Denny mengatakan kehadiran KPK telah mengusik kenikmatan korupsi yang terjadi di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung juga terusik dengan kehadiran Komisi Yudisial karena banyaknya mafia peradilan di sana. Misalnya dugaan jual-beli perkara. "Jadi makin menguatkan indikasi itu," ujarnya. Menurut Denny, Mahkamah Agung seharusnya bekerja sama dengan kedua lembaga itu untuk meningkatkan kinerjanya. "Kritik MA merupakan gambaran atau pendapat hakim agung yang ada di sana," kata dia. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Almuzammil Yusuf mengatakan kritik Mahkamah Agung tidak perlu dilontarkan. Sebab, penggeledahan oleh KPK dan pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial merupakan kewajibannya sebagai lembaga negara. "Seharusnya MA yang menjelaskan kinerjanya dan tidak melontarkan kritik yang tak perlu itu," kata anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera itu saat dihubungi kemarin. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengimbau Mahkamah Agung berintrospeksi sebagai lembaga negara yang kedudukannya sama dengan KPK dan Komisi Yudisial. "MA mestinya juga membudayakan transparansi," ujarnya. Todung mencontohkan masih adanya putusan yang membuat publik tidak percaya terhadap lembaga peradilan. Akibatnya, masyarakat menduga-duga apakah ada praktek korupsi dan kolusi dalam pembuatan putusan. "Publik juga tidak sepenuhnya berharap kepada MA," ujarnya. RINI KUSTIANI Sumber: Koran Tempo - Kamis, 01 Februari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Gila!
Gila! Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta Koran Tempo - Sabtu, 27 Januari 2007 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gila diartikan sebagai sakit ingatan, sakit jiwa, sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal; tidak biasa, tidak sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan; terlalu, kurang ajar, ungkapan kagum; atau dapat juga berarti terlanda perasaan sangat suka. Jadi memang pemakaian kata gila tidak melulu identik dengan seseorang yang sakit ingatan. Beberapa hari terakhir ini, media massa ramai memberitakan kasus "menghilangnya" pesawat Adam Air rute Surabaya-Manado yang belum ditemukan. Nasib 102 penumpang dan awak pesawat itu hingga kini masih tak tentu rimbanya. Ketika dikabarkan pesawat Adam Air jatuh di Desa Rangoan, Sulawesi Barat, semua perhatian segera mengarah ke lokasi tersebut. Informasi ini sulit untuk tidak dipercaya, karena cukup detail. Ketika teman saya tahu bahwa informasi tersebut hanya hoax belaka, ia hanya bisa bergumam, "Gila!" Ditujukan kepada apa atau siapa ungkapan tersebut, saya tidak tahu. Apakah ditujukan kepada orang yang menyebarkan berita bohong tersebut atau kepada pemerintah yang percaya mentah-mentah berita tersebut tanpa perlu melakukan check and recheck terlebih dulu? Dan ketika membaca ulasan di media yang memberitakan bujet perawatan pesawat dibikin cekak untuk menaikkan keuntungan bisnis mereka, dus, keselamatan penumpang diabaikan, lagi-lagi teman saya menggumam untuk yang kedua kalinya, "Gila!" Pada akhir 2006, kita dikejutkan oleh berita keterlambatan pengiriman katering jemaah haji Indonesia di Tanah Suci. Sekitar 200 ribu anggota jemaah haji asal Indonesia harus menahan lapar lebih dari 30 jam. Sepanjang sejarah pengelolaan haji yang sudah dilakukan pemerintah selama berpuluh tahun, baru kali inilah manajemen kateringnya amburadul. Teman saya pun tak bisa tidak untuk berkomentar "gila!" untuk kasus ini. Ketika rakyat di beberapa daerah terpaksa makan nasi aking hanya untuk sekadar bertahan hidup, pada saat yang bersamaan diberitakan gaji para anggota DPRD naik sebesar dua kali lipat dari sekarang. Hal itu terjadi setelah Presiden Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 pada November lalu. Peraturan tersebut mengamanatkan dua tambahan tunjangan bagi anggota DPRD, yaitu tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional. Kenaikan gila-gilaan dialami ketua dan wakil ketua DPRD. Selain mendapatkan tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp 9 juta, ketua DPRD masih mendapatkan dana operasional yang mencapai Rp 18 juta, sedangkan wakil ketua mendapat dana operasional Rp 9,6 juta! Banyak orang kemudian geleng-geleng kepala dan kembali saya mendengar (bukan hanya satu) orang berkomentar, "Gila!" Dari hari ke hari, kita disuguhi berita-berita yang tidak hanya dapat membuat kita mengurut dada, tapi juga sering mendorong kita untuk berkomentar, "Gila!" Cerita getir memilukan (bahkan kadang memalukan) dari berbagai pelosok negeri ini datang silih berganti. Masyarakat pun cenderung bersikap permissiveness. Hari ini menjadi headline, esok hari sudah tidak dibicarakan atau bahkan dilupakan. Kondisi ini tampak diperparah dengan makin bertambahnya jumlah penganggur di Indonesia. Dalam penelitiannya, Profesor M. Harvey Brenner dari Universitas John Hopkins mengemukakan, untuk setiap kenaikan 1 persen angka pengangguran, tercatat kenaikan 1,9 persen penyakit jantung, 4,1 persen bunuh diri, dan 4,3 persen pasien baru di rumah sakit jiwa. Jangan-jangan, dengan "kegilaan" yang melanda republik ini, persentase dari hasil studi Brenner bisa berubah. Ketua Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa Ontoseno menuturkan gejala sakit jiwa yang dialami penderitanya, antara lain mudah melakukan kekerasan seperti membakar atau menggebuki pencuri sampai mati, manipulatif, cuek, serta tidak mengenal apa yang baik dan buruk. Dan hal tersebut terjadi di semua lapisan masyarakat. Satu bait ramalan Jayabaya, "sungguh zaman sedang gonjang-ganjing, menyaksikan zaman gila, tidak ikut gila tidak dapat bagian", bisa jadi menggambarkan keadaan bangsa kita saat ini: kalau tidak ikut gila, kita tidak kebagian. Kalau memang demikian halnya, sungguh malang negara ini. Jelas ada sesuatu yang salah di negeri ini, tapi dari mana kita hendak memulai mengurai benang kusut ini? Tak usah lagi mengurusi hal-hal remeh-temeh. Banyak persoalan besar yang perlu diselesaikan di negeri ini: bencana lumpur Lapindo, potensi pandemi flu burung, berbagai peraturan daerah yang tumpang-tindih, lemahnya daya tarik investasi asing, krisis energi yang berimpak pada ketahanan nasional, reformasi birokrasi yang belum menyentuh lembaga yudikatif, dan segepok masalah besar lain yang masih menunggu. Bahkan Presiden Yudhoyono berjanji tak akan lagi melakukan kompromi dalam mengambil keputusan yang menyangkut rakyat. Berbagai masalah yang merundung negara ini memang membutuhkan tindakan cepat, tegas, dan nyata--seperti dijanjikan Pres
[mediacare] Badan Kehormatan DPR Jangan Tebang Pilih
Badan Kehormatan DPR Jangan Tebang Pilih Badan Kehormatan DPR diminta tidak bersikap "tebang pilih" dalam menindaklanjuti pengaduan Kelompok Kerja Petisi 50 soal dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua DPR Agung Laksono. Apabila BK DPR terus mengambangkan pengaduan itu dan tak segera memanggil Agung, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat kepada BK, bahkan kepada DPR secara keseluruhan, akan makin menurun "Bukti yang disampaikan Petisi 50 itu jelas. Seharusnya Agung Laksono dipanggil untuk diklarifikasi," ujar Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Bivitri Susanti, Jumat (26/1). Sebastian Salang, Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, menilai upaya yang dilakukan Pokja Petisi 50 sudah maksimal. Justru BK DPR yang harus menindaklanjuti pengaduan itu. "Sekarang ini bisakah BK DPR membuktikan independensi itu benar-benar ada," paparnya. Sekretariat Bersama Pokja Petisi 50 bersama Komite Waspada Orde Baru, Gerakan Rakyat Marhaen, dan Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi pada 24 November 2006 melaporkan Agung Laksono kepada BK DPR. Mereka menilai Agung menyalahgunakan kewenangan sebagai Ketua DPR sebab dalam kegiatan Safari Ramadhan 2006 ia tidak bisa membedakan posisi dan jabatannya sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Komisaris Utama AdamAir, maupun Ketua Umum Kosgoro 1957. Agung pernah menegaskan, dirinya sama sekali tidak melanggar kode etik. Menurut dia, bus DPR saat Safari Ramadhan itu disewa olehnya. Ia juga tak mengambil dana perjalanan (SPJ) yang disediakan Setjen DPR. BK DPR sampai Sabtu lalu belum menjadwalkan pemanggilan Agung. Alasan Wakil Ketua BK T Gayus Lumbuun, bukti yang disampaikan belum cukup kuat. Bivitri berpendapat, pemanggilan Agung itu bukan berarti dia dipastikan bersalah dan melanggar kode etik, melainkan lebih pada keseriusan BK DPR untuk melakukan klarifikasi. (sut) Sumber: Kompas - Senin, 29 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Rp 28,75 Triliun Berpeluang Jadi Sarana Pencucian Aset
Akuntabilitas Dana Dekonsentrasi Lemah Rp 28,75 Triliun Berpeluang Jadi Sarana Pencucian Aset Akuntabilitas dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan pemerintah pusat ke daerah sejak tahun 2000 masih lemah karena penggunaannya tidak dilaporkan di APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD. Apabila kondisi itu terus dibiarkan, dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 triliun bisa dijadikan sarana untuk pencucian aset sehingga berpotensi tindak pidana. Auditor Utama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Soekoyo mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Jumat (26/1). Menurut Soekoyo, keberadaan dana dekonsentrasi-dana yang diambil dari APBN dan disalurkan melalui departemen teknis yang masih memiliki kaitan kepentingan dengan daerah-itu tidak tercatat secara akuntansi. Dengan demikian, harus dilacak hingga ke realisasi fisik di lapangan untuk mengetahui penggunaan anggarannya. Selama ini daerah hanya menerima dananya, tetapi menolak mengakui sebagai bagian dari kekayaannya pada saat diminta pertanggungjawaban. "Pelacakan dana tersebut harus dilakukan departemen yang menyalurkannya dan perlu diawasi oleh instansi pengawasan internal di departemen tersebut. BPK sempat menguji sebagian dari keberadaan dana itu hingga ke fisik, namun ternyata tidak sesuai dengan laporan pemerintah pusat," katanya. Soekoyo mengatakan, masalahnya semakin rumit karena departemen yang menyalurkannya tidak mencatat hasil pembangunan yang didanai dana dekonsentrasi. Hal itu terjadi karena pemerintah tidak memiliki aturan yang jelas terkait dengan penggunaan dana dekonsentrasi. "Selama ini, keberadaan piutang pemerintah pusat hanya dicatat di Ditjen Piutang dan Lelang Negara (sekarang menjadi Ditjen Kekayaan Negara) Departemen Keuangan. Departemen lainnya tidak pernah mencatatnya. Angka ekuitas hanya dicatat berdasarkan prognosa sehingga belum bisa diakui secara akuntansi. Padahal, realisasi harus sangat diperhatikan," katanya. Dana dekonsentrasi sudah dicairkan pemerintah sejak tahun 2000. Dana itu sebagai bentuk bantuan pemerintah kepada daerah untuk menjalankan berbagai tugas kenegaraan yang tadinya dikelola pusat. Semakin besar Pada tahun 2005 dana dekonsentrasi yang dicairkan mencapai Rp 4 triliun. Sebagian besar disalurkan melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) senilai Rp 1,2 triliun. Penerima terbesar adalah Provinsi Jawa Barat Rp 258,5 miliar, lalu Sulawesi Selatan senilai Rp 256,2 miliar. Pada tahun 2006 jumlahnya semakin besar, mencapai Rp 24,75 triliun, dengan penyalur terbesar Depdiknas senilai Rp 17,72 triliun dan Departemen Kesehatan Rp 2,7 triliun. Penerima terbesarnya adalah Provinsi Jawa Barat Rp 2,7 triliun, Jawa Timur Rp 2,7 triliun, dan Jawa Tengah sebesar Rp 2,37 triliun. "Dana dekonsentrasi yang dikelola Mendiknas tidak kurang dari Rp 22 triliun, yang dibiayai departemen namun dilaksanakan di daerah. Tetapi, tidak dicatat di departemen dan tidak dicatat di daerah. Seharusnya, daerah penerima dana dekonsentrasi itu melaporkan hasil kerja proyeknya ke pusat. Departemen lalu mencatatnya dalam neraca," kata Soekoyo. Sumber selisih Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao menegaskan, kekacauan dalam penggunaan dana dekonsentrasi merupakan salah satu sumber selisih antara laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kondisi itu disebabkan departemen penyalur dan daerah penerima dana dekonsentrasi saling menuding pertanggungjawabannya. "Uang keluar, tetapi tidak ada yang mau bertanggung jawab. Kalau dinas di daerah tidak bisa bertanggung jawab, maka departemen yang memperbaikinya. Seperti Departemen Pertanian yang mulai bertindak tegas, kalau daerah tidak mau bertanggung jawab, maka dananya akan dialihkan ke daerah lain. Tetapi, kebanyakan departemen lain masih berbaik hati, terus menambah dananya meskipun tidak jelas pertanggungjawabannya," katanya. Menurut Hekinus, dana dekonsentrasi bukan anggaran hibah sehingga penggunaannya harus dilaporkan ke pusat. "Masalahnya ada tiga jenis gubernur. Ada gubernur yang mengerti, ada gubernur yang sama sekali tidak tahu mekanisme pelaporannya, dan yang paling parah ada juga gubernur yang pura-pura tidak tahu. Jenis ini biasanya tetap menerima dana dekonsentrasi, namun enggan bertanggung jawab," katanya. (OIN) Sumber: Kompas - Senin, 29 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Petisi 50 Serahkan VCD Bukti Pelanggaran
Petisi 50 Serahkan VCD Bukti Pelanggaran Meski surat pengaduan masuk dua bulan lalu, Badan Kehormatan DPR belum memeriksa Ketua DPR Agung Laksono sehubungan dengan adanya pengaduan pelanggaran kode etik yang diadukan Sekretariat Bersama Kelompok Kerja Petisi 50. Untuk memperkuat bukti dan agar kasus ini tidak dipetieskan, Kamis (25/1), Pokja Petisi 50 kembali memperkuat bukti dengan menyerahkan dua rekaman video (VCD) tentang perjalanan Safari Ramadhan Agung Laksono ke Lebak, Sumedang, dan Bantul, serta keterlibatannya di AdamAir. "Dengan bukti ini, Badan Kehormatan DPR saatnya memanggil Agung Laksono," ujar Koordinator Komite Waspada Orde Baru Judilherry Justam kepada wartawan sambil memutar VCD itu. Hadir juga Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Muzakkir Djabir. Dalam VCD itu, menurut Judilherry, Agung terlihat jelas melakukan Safari Ramadhan sebagai Ketua DPR. Hal ini terlihat dari spanduk yang bertuliskan Agung sebagai Ketua DPR. Agung juga menggunakan lencana DPR. Padahal, rapat DPR tidak pernah menugaskan Agung untuk melakukan Safari Ramadhan. Di sisi lain, Agung memakai fasilitas DPR, seperti bus dan membawa serta staf DPR. Agung juga dinilai melakukan kebohongan publik dengan mengatakan tak lagi menjadi Komisaris Utama di AdamAir saat menjadi Ketua DPR. Judilherry menilai Agung berbohong dan berniat cuci tangan setelah pesawat AdamAir hilang. Terbukti, pada undangan peluncuran Penerbangan AdamAir ke Singapura, 17 Maret 2006, Agung masih ditulis sebagai Dewan Komisaris AdamAir. Kantor AdamAir juga pada Januari 2007 masih memajang foto Agung Laksono bersama jajaran direksi perusahaan penerbangan itu. Di bawah foto itu, Agung ditulis sebagai Presiden Komisaris. Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR T Gayus Lumbuun membantah BK bertindak tebang pilih dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran oleh anggota DPR. Agung belum dipanggil karena bukti yang diberikan pelapor dinilai belum kuat. (sut) Sumber: Kompas - Jumat, 26 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Penyelidikan Mark Up Biaya Hotel Presiden, Timtas Tipikor Periksa Manajemen Shangri-La
Penyelidikan Mark Up Biaya Hotel Presiden, Timtas Tipikor Periksa Manajemen Shangri-La JAKARTA - Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) bergerak cepat untuk menyelidiki dugaan mark up biaya penginapan rombongan presiden di KTT ASEAN di Cebu, Filipina, 12-14 Januari 2007. Meski belum genap sepekan, tim jaksa telah memeriksa empat pihak yang bisa mengungkap kasus yang menghebohkan Istana Kepresidenan tersebut. Empat informan itu adalah dua staf bagian rumah tangga Sekretariat Negara (Setneg) dan dua orang manajemen Hotel Shangri-La perwakilan Jakarta. Saat ini, tim penyelidik yang diketuai Bambang Setyo Wahyudi tinggal menjadwalkan pemeriksaan AK, wartawan The Jakarta Post yang menulis berita dugaan mark up tersebut. "Tim penyelidik nggak perlu ke Cebu. Cukup dari (manajemen) Hotel Shangri-La di Jakarta," kata Ketua Timtastipikor Hendarman Supandji seusai mengikuti pelantikan Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Umum dan JAM Pengawasan di Gedung Kejagung, kemarin. Di Cebu, rombongan SBY menginap di Hotel Shangri-La's Mactan Island Resort and Spa. Ditanya apa yang diperoleh dari pemeriksaan manajemen Hotel Shangri-La, Hendarman menolak menjawab. "Saya belum membuat laporan. Saya ditugasi Pak Presiden, saya perlu melapor dulu kepada beliau," ujarnya diplomatis. Sebuah sumber menyebutkan, manajemen Shangri-La ditanyai terkait biaya akomodasi rombongan SBY, termasuk tarif resmi hotel. Informasi tersebut akan di-cross check dengan anggaran biaya penginapan rombongan SBY yang dikeluarkan staf kepresidenan. "Jika ada selisih harga, maka akan ditelusuri benarkah itu mark up. Sebaliknya, jika tidak ada selisih, maka urusannya akan beres," jelas sumber tersebut. Menurut Hendarman, selain memeriksa staf kepresidenan dan manajamen Shangri-La, Timtas Tipikor menjadwalkan pemeriksaan terhadap penulis berita dugaan mark up, AK, yang juga wartawan The Jakarta Post. Tim penyelidik awalnya telah meminta AK datang untuk diperiksa, namun yang bersangkutan minta penundaan. "Dia minta kami (Timtas Tipikor) melayangkan surat resmi. Saat ini, surat itu sedang kami buat," jelas jaksa alumnus Fakultas Hukum Undip ini. Hendarman menolak menjawab ketika ditanya materi kesaksian AK yang sekadar mendengarkan kesaksian orang lain. Yakni, saat staf kepresidenan berusaha melobi resepsionis hotel agar bersedia membuat kuitansi dengan biaya yang digelembungkan. Dihubungi secara terpisah, AK bersedia menjalani pemeriksaan di depan tim penyelidik untuk membeberkan kesaksiannya. Namun, dia minta surat pemeriksaan dilayangkan melalui prosedur resmi. "Saya sih, siap saja," ujarnya singkat. Berita adanya permintaan mark up staf kepresidenan atas biaya hotel di The Shangri-La's Mactan Island Resort and Spa Filipina sempat beredar di situs berita Filipina www.inquirer.net dan media masa nasional The Jakarta Post. Media tersebut menulis, staf Setneg itu meminta pihak hotel Shangri-La untuk menggelembungkan biaya hotel rombongan presiden. Permintaan itu ditolak manajemen hotel. Mendapat jawaban itu, staf Setneg itu tetap berusaha membujuk dengan menawarkan 40 persen mark up ke pihak hotel.(agm) Sumber: Jawapos - Jumat, 26 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Laksamana Tuding Pansus DPR Bohong
Laksamana Tuding Pansus DPR Bohong Mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, Rabu (24/1), mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia keberatan oleh tuduhan Panitia Khusus DPR, yang menurut dia, secara personal menyatakan dirinya terlibat dalam kasus penjualan tanker raksasa atau very large crude carrier milik PT Pertamina. "Tuduhan itu adalah kebohongan. KPK sejak Mei 2004 hingga Oktober 2004 telah menyelidiki kasus itu dan tidak ditemukan unsur kerugian negara," tutur Laksamana. Dia berharap KPK tetap menjadi lembaga yang independen. "Dengan demikian hukum menjadi panglima, bukan politik menjadi panglima," katanya. Ia merasa telah dizalimi oleh pansus dan tidak ingin DPR digunakan untuk kepentingan politik anggotanya. Pada malam sebelumnya, Komisi III DPR menegaskan desakan mereka agar KPK mengusut tuntas mantan Komisaris Utama PT Pertamina yang juga mantan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi. Penegasan itu diungkapkan dalam butir keempat kesimpulan rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan KPK yang ditutup Selasa pukul 23.33. Anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jawa Timur V), mengatakan, kesimpulan itu sesuai dengan rekomendasi Pansus Penjualan Tanker Pertamina yang telah disetujui oleh semua fraksi di DPR. Selain itu, pengusutan kasus tersebut dapat digunakan untuk menepis kesan bahwa KPK selama ini tebang pilih. Sebelumnya, sempat terjadi perdebatan panjang berkaitan dengan kesimpulan itu. Satu materi perdebatan adalah penyebutan nama Laksamana Sukardi. Bahkan, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, demi menjaga nama baik, Komisi III sebaiknya menjunjung asas praduga tak bersalah. Namun, Gayus Lumbuun dan anggota Komisi III lainnya, seperti Panda Nababan (Fraksi PDI-P, Jawa Barat V), menegaskan, penulisan nama Laksamana Sukardi sesuai dengan rekomendasi pansus tersebut. Meskipun demikian, KPK berkeberatan. Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean meminta agar kesimpulan itu sesuai dengan butir ketiga rekomendasi pansus yang menugaskan Komisi III DPR mendesak KPK segera menuntaskan kasus penjualan tanker itu tanpa menyebut nama Laksamana Sukardi. Namun, semua anggota Komisi III, termasuk Benny K Harman (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, NTT I) dan Arbab Papoeka (Fraksi PAN, Sulawesi Tenggara), menyetujui pencantuman nama Laksamana. Secara terpisah Ketua KPK Taufiequrachman Ruki yang didampingi Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. (JOS/ANA/vin) Sumber: Kompas - Kamis, 25 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Pengadilan Bekukan Duit Tommy Soeharto
Pengadilan Bekukan Duit Tommy Soeharto LONDON -- Pengadilan Guernsey, negara persemakmuran Inggris, Senin lalu menyetujui permintaan Kejaksaan RI untuk membekukan sementara uang Tommy Soeharto yang disimpan di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas. Uang itu diduga jauh lebih banyak daripada yang sebelumnya diketahui kejaksaan. Kepada Tempo, Duta Besar Indonesia untuk Inggris, Marty Natalegawa, mengatakan pembekuan itu bersifat sementara, setidaknya sampai Tommy dapat membuktikan kebenaran asal-usul uang tersebut. Di koran Financial Times, Marty mengatakan pemerintah masih mengumpulkan bukti yang lebih kuat. "Kami akan menghadirkan bukti-bukti tambahan saat pengadilan benar-benar berlangsung pada 8 Maret nanti," kata Marty. Sengketa uang Tommy senilai 36 juta euro atau sekitar Rp 421 miliar di bank itu dimulai pada Oktober 2002, saat BNP Paribas cabang Guernsey enggan mencairkan rekening milik Garnet Investment, perusahaan Tommy yang terdaftar di British Virgin Islands. Pihak bank meminta Garnet menjelaskan asal-usul uang yang disimpan sejak Juli 1998 itu. Karena bank itu tak kunjung mencairkan dananya, Tommy pada Maret 2006 pun mengajukan gugatan ke pengadilan Guernsey. Pemerintah Indonesia kemudian mengintervensi proses hukum ini karena menganggap uang Tommy di BNP Paribas itu berasal dari korupsi. Senin lalu, permohonan itu dikabulkan. Dan karena itu, pengadilan setuju membekukan sementara aset tersebut. Menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, pembekuan itu memang sesuai dengan keinginan mereka. "Kami minta Mareva injunction (dibekukan dan tidak bisa ditarik), supaya uang itu di-freeze, dibekukan dulu," kata Abdul Rahman kemarin. "Menurut pengacara kami di sana, klaim kami cukup kuat." Karena itu, proses penarikan kembali membutuhkan waktu. "Minimal sekarang itu dibekukan, sambil menunggu proses pembuktian dari kami, (juga) pembuktian dari Tommy," kata Abdul Rahman. Meski demikian, dia tak menutup kemungkinan dialihkannya aset itu ke pemerintah Indonesia. "Target akhir dibawa pulang." Jumlah uang Tommy di BNP Paribas diduga lebih dari 36 juta euro. "Tadi saya mendapat laporan, ternyata di dalam pembukuan, jumlah awal seluruhnya sekitar 60 juta euro," ujar Jaksa Agung kemarin. Bahkan, menurut koran Financial Times, jumlahnya bisa mencapai 75 juta euro. Pemerintah menunjuk seorang pengacara lokal Guernsey, Lloyd Le Roy Strappini dari kantor pengacara L. Strappini & Co., untuk menangani kasus ini. "Mr Lloyd sudah menyampaikan bahwa kami punya basis legal yang kuat untuk menggugat," kata Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda, yang mengikuti kasus itu di Guernsey, kepada Tempo. AFP | FANNY FEBIANA Sumber: Koran Tempo - Rabu, 24 Januari ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] Disebut KKN, Laksamana Melawan
Disebut KKN, Laksamana Melawan JAKARTA - Gara-gara namanya disebut Pansus Kapal Tanker Pertamina, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi mengeluarkan dua jurus serangan balik. Selain melayangkan gugatan hukum, langkah politik untuk minta pertanggungjawaban Megawati pun disiapkan. "Kami akan melaporkan sejumlah anggota DPR ke Mabes Polri karena diduga melakukan pencemaran nama baik," ujar Petrus Salestinus, kuasa hukum Laksamana Sukardi di Jakarta kemarin. Laksamana, pendiri sekaligus koordinator Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) kemarin menggelar jumpa pers khusus untuk membantah temuan Pansus Tanker Pertamina DPR. Sebelumnya, saat Komisi III DPR menggelar rapat kerja dengan KPK, Pansus menyebut Laksamana sebagai orang yang bertanggung jawab dalam penjualan kapal tanker Pertamina. "Pada rapat dengan KPK, mereka menyebut Laksamana terlibat KKN dan menyebut Laksamana sebagai orang yang paling bertanggung jawab untuk dimintai keterangan. Padahal, KPK sudah memberikan keterangan tidak ada kerugian negara dalam kasus ini," kata Petrus. Karena itu, Laks akan melaporkan sejumlah anggota Pansus seperti Gayus Lumbuun dan Simon Patrice Morin. Keduanya dari FPDIP. Mereka akan dilaporkan ke Mabes Polri pada Kamis, 25 Januari 2007. Menurut Petrus, Pansus DPR juga akan digugat secara perdata ke pengadilan karena dalam keputusannya diduga ada kebohongan publik. Laksamana juga menegaskan, tidak ada kerugian negara apa pun dalam penjualan tanker tersebut. Dia bahkan menyebut negara diuntungkan sekitar USD 50 juta. "Jadi, tidak jelas mengapa saya diminta bertanggung jawab. Sejak mundur dari kabinet, saya memang sudah jadi TO (target operasi)," katanya.(adb) Sumber: Jawapos - Rabu, 24 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] Dugaan Mark Up Hotel Presiden Dilanjutkan, Timtas Tipikor Periksa Staf Istana
Dugaan Mark Up Hotel Presiden Dilanjutkan, Timtas Tipikor Periksa Staf Istana JAKARTA - Satu per satu staf rumah tangga kepresidenan diperiksa Timtas Tipikor. Lembaga pemberantas praktik korupsi itu serius mengusut dugaan mark up biaya hotel rombongan presiden saat menghadiri KTT ASEAN ke Cebu, Filipina, lalu. Pihak istana memang terbuka dan kooperatif untuk menjalani pemeriksaan dan memberikan data-data untuk menguak kebenaran isu mark up yang menghebohkan itu. Kepala Biro Rumah Tangga Istana Kepresidenan Ahmad Rusydi mengakui, staf-stafnya sudah diperiksa oleh Timtas Tipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). "Sudah ada yang diperiksa. Kan orangnya sudah jelas, siapa yang di bagian pemesanan dan siapa di keuangan," katanya kemarin. Hanya saja, Rusydi tidak menjelaskan lebih detail, staf-staf yang mana yang sudah diperiksa oleh Timtas Tipikor. "Yang pasti kami terbuka," katanya. Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menemui Menteri Luar Negeri Kerajaan Denmark Dr Per Stig Moller juga memberikan keterangan terkait isu mark up tersebut. Menurut Hassan, biaya hotel yang dibayarkan rombongan Indonesia saat ke Cebu memang di atas harga normal. "Itu betul, tapi bukan karena adanya mark up," ujar Hasan. Sesuai penjelasan KBRI Manila, tarif hotel di Cebu selama KTT ASEAN memang melambung tinggi. Harga tersebut berlaku sama bagi semua kontingen. Pengelola hotel memang membuat kesepakatan dengan panitia KTT soal tarif resmi hotel selama KTT. Isu adanya mark up biaya hotel di Cebu beredar kali pertama di media nasional berbahasa Inggris dan media Filipina Inquirer.net. Dalam berita tersebut diceritakan, kontingen Indonesia yang berjumlah 100 orang lebih menginap di Shangri-La's Mactan Island Resort and Spa. Saat pembayaran, staf kepresidenan diduga meminta kuitansi pembayaran di mark up. Tapi, permintaan itu ditolak hotel. Namun, hotel dan panitia KTT juga telah membantah adanya dugaan tersebut. Karena sudah menjadi isu publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Timtas Tipikor dan meminta agar isu tersebut diselidiki kebenarannya. Hingga kini belum ada perkembangan yang berarti dari hasil pemeriksaan Timtas Tipikor. (tom) Sumber: Jawapos - Selasa, 23 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] Dugaan Mark Up Hotel Presiden Dilanjutkan, Timtas Tipikor Periksa Staf Istana
Dugaan Mark Up Hotel Presiden Dilanjutkan, Timtas Tipikor Periksa Staf Istana JAKARTA - Satu per satu staf rumah tangga kepresidenan diperiksa Timtas Tipikor. Lembaga pemberantas praktik korupsi itu serius mengusut dugaan mark up biaya hotel rombongan presiden saat menghadiri KTT ASEAN ke Cebu, Filipina, lalu. Pihak istana memang terbuka dan kooperatif untuk menjalani pemeriksaan dan memberikan data-data untuk menguak kebenaran isu mark up yang menghebohkan itu. Kepala Biro Rumah Tangga Istana Kepresidenan Ahmad Rusydi mengakui, staf-stafnya sudah diperiksa oleh Timtas Tipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). "Sudah ada yang diperiksa. Kan orangnya sudah jelas, siapa yang di bagian pemesanan dan siapa di keuangan," katanya kemarin. Hanya saja, Rusydi tidak menjelaskan lebih detail, staf-staf yang mana yang sudah diperiksa oleh Timtas Tipikor. "Yang pasti kami terbuka," katanya. Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menemui Menteri Luar Negeri Kerajaan Denmark Dr Per Stig Moller juga memberikan keterangan terkait isu mark up tersebut. Menurut Hassan, biaya hotel yang dibayarkan rombongan Indonesia saat ke Cebu memang di atas harga normal. "Itu betul, tapi bukan karena adanya mark up," ujar Hasan. Sesuai penjelasan KBRI Manila, tarif hotel di Cebu selama KTT ASEAN memang melambung tinggi. Harga tersebut berlaku sama bagi semua kontingen. Pengelola hotel memang membuat kesepakatan dengan panitia KTT soal tarif resmi hotel selama KTT. Isu adanya mark up biaya hotel di Cebu beredar kali pertama di media nasional berbahasa Inggris dan media Filipina Inquirer.net. Dalam berita tersebut diceritakan, kontingen Indonesia yang berjumlah 100 orang lebih menginap di Shangri-La's Mactan Island Resort and Spa. Saat pembayaran, staf kepresidenan diduga meminta kuitansi pembayaran di mark up. Tapi, permintaan itu ditolak hotel. Namun, hotel dan panitia KTT juga telah membantah adanya dugaan tersebut. Karena sudah menjadi isu publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Timtas Tipikor dan meminta agar isu tersebut diselidiki kebenarannya. Hingga kini belum ada perkembangan yang berarti dari hasil pemeriksaan Timtas Tipikor. (tom) Sumber: Jawapos - Selasa, 23 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] Tommy Bisa Jadi Tersangka Lagi
Tommy Bisa Jadi Tersangka Lagi JAKARTA - Tommy Soeharto dapat menjadi tersangka kasus pencucian uang, jika dalam proses persidangan di royal court Guernsey, Inggris, terungkap perbuatan material bahwa simpanannya di BNP Paribas adalah hasil tindak pidana korupsi. Ketua Tim Pencari Koruptor (TPK) Basrief Arief mengatakan, kepolisian berwenang menyelidiki dugaan tersebut, dengan mempelajari putusan royal court Guernsey. "Iya, itu dari (hasil penyelidikan) penyidik Polri," kata Basrief di gedung Kejagung, akhir pekan lalu. Pernyataan Basrief menjawab pertanyaan wartawan terkait peluang Tommy menjadi tersangka kasus pencucian uang. TPK sebelumnya banyak membantu kepolisian untuk mengungkap kasus pencucian uang dengan tersangka mantan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe. Sangkaan tersebut atas rekening Neloe senilai USD 5 juta yang tersimpan di sebuah bank di Swiss. Sesuai UU No 25 Tahun 2003, kejaksaan tidak dapat menjadi penyidik kasus pencucian uang. Satu-satunya penyidik kasus pencucian uang adalah kepolisian. Ditanya apakah TPK berkoordinasi dengan kepolisian terkait kasus Tommy, Basrief menegaskan belum. Meski demikian, TPK memantau proses litigasi atas gugatan intervensi yang didaftarkan kejaksaan di royal court of Guernsey. "Makanya, kami (TPK) lihat nanti. JAM Datun kan sedang berupaya mengikuti persidangan di sana (Guernsey). Nanti berkoordinasi dengan pengadilan di sana, bagaimana seharusnya..," kata Basrief. Menurut Basrief, dari hasil persidangan, jika memang memenuhi pelanggaran UU No 25 Tahun 2003, tak tertutup kemungkinan Tommy menjadi tersangka kasus pencuciang uang. Bagaimana komentar kubu Tommy? Elza Syarief, pengacara Tommy, hingga tadi malam belum bisa dihubungi. Telepon gemggamnya tidak diangkat. Kapuspenkum Kejagung Salman Maryadi mengatakan, masyarakat hendaknya tidak berspekulasi terhadap hasil proses hukum atas gugatan intervensi kejaksaan atas perkara Tommy. Sebab, kejaksaan baru tahap proses pendaftaran gugatan, sedang proses hukumnya belum digelar. "Kami saja memantau, kalau Pak Yoseph (Direktur Perdata Kejagung) sudah datang," kata Salman. Kejaksaan berencana mendaftarkan gugatan intervensi atas perkara Tommy di royal court Guernsey. Di sana, Tommy menggugat BNP Paribas atas simpanannya yang tidak dapat dicairkan. Bank berkantor pusat di Paris, Prancis, ini berdalih, simpanan itu terkait kasus pencucian uang (hasil korupsi), sehingga perlu klarifikasi asal-usulnya. Nah, pengadilan setempat lantas menghubungi pemerintah RI, apakah punya kepentingan atas perkara tersebut atau tidak. Dan, jaksa agung memastikan, pemerintah RI punya kepentingan atas aset ratusan miliar tersebut. (agm) Sumber: Jawapos - Senin, 22 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] DPRD Menolak Revisi PP 37/2006
DPRD Menolak Revisi PP 37/2006 Peraturan Pemerintah Nomor 37/2006 terus saja menjadi kontroversi. Tiga asosiasi DPRD, tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, menolak gagasan untuk merevisi PP itu. Mereka justru meminta pemerintah konsisten dengan aturan yang dibuatnya. Asosiasi DPRD juga menolak rencana pemerintah mengelompokkan daerah sebagai dasar pemberian tunjangan. Sikap itu disampaikan Ketua Badan Kerja Sama Pimpinan DPRD Provinsi Se-Indonesia Ade Surapriatna, Ketua Asosiasi DPRD Kota Se-Indonesia Soerya Respationo, dan Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten HM Harris, saat bertemu Mendagri Moh Ma'ruf, Jumat (19/1). Sebaliknya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam surat terbuka yang ditandatangani Taufik Basari (Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi), Minggu, meminta pimpinan dan anggota DPRD mempertimbangkan secara bijak luasnya penolakan masyarakat atas PP itu. "Itu menunjukkan rakyat telah disakiti," ujarnya. Ade mengatakan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional untuk DPRD diberikan sebagai ganti uang lelah. "Tunjangan itu hanya memenuhi kebutuhan minimal komunikasi, jumlahnya kecil dibandingkan anggota DPR yang mendapat 14 juta," kata Ade. Soerya juga menyatakan, dengan tunjangan itu, anggota DPRD kota mendapat tambahan Rp 6 juta. "Itu masih minimal jika dibandingkan tamu-tamu yang berbondong-bondong ke DPRD, ada yang minta berobat, sampai anak mau menikah," tuturnya. Karena itulah, anggota DPRD meminta pemerintah untuk tetap memberlakukan PP No 37/2006 tanpa perlu membuat pengelompokan daerah. PP No 37/2006 sudah jelas mengatur soal itu. "Daerah ngerti kok seberapa jauh kemampuannya. Tak perlu dikelompokkan, biarlah daerah yang menuntaskan," kata Ade. Sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi mulai resah dengan sikap pemerintah atas PP No 37/2006. Kini pemberian tunjangan dianggap beban setelah muncul protes dan sikap pemerintah pusat yang tidak tegas. "Saya sudah tidak peduli-peduli banget dengan soal itu," ujar Hendri Masyur, Ketua DPW PKS Provinsi Jambi, Sabtu. Hal senada diutarakan Syarifuddin Dwi Aprianto, Sekretaris Fraksi Keadilan Demokrat. Secara pribadi dia tak mempersoalkan jika tunjangan ditunda. Dia malah mengaku gaji dan tunjangan rumah yang diterima anggota Dewan di Jambi, Rp 8 juta hingga Rp 9 juta per bulan, dianggap mencukupi. "Perbandingan gaji kami dengan kerja yang dilakukan sudah sesuai," tuturnya. Namun, di Lampung, sebagian anggota DPRD tak mau mengembalikan tunjangan yang mereka terima. Yandri Nazir, Ketua Komisi B DPRD Lampung, mendukung PP itu. "Lampung tak mungkin iri dengan DKI Jakarta atau Riau kok," tambah Sekretaris Komisi B DPRD Lampung Dirhamsyah. (ITA/HLN/SIE) Sumber: Kompas - Senin, 22 Januari 2007 ++ Catatan: PP No. 37 Tahun 2006 -- dan Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi lainnya Bagi yang ingin menngunduh (mendownload) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah silakan klik http://www.transparansi.or.id/database/peraturan/PP372006.pdf untuk melihat Sejumlah Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi lainnya, silakan klik http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatpusatdata&id=1 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) The Indonesian Society for Transparency Jl. Polombangkeng No. 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id E-mail: [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] KPK Pertanyakan Penghentian Kasus Syafruddin Temenggung
KPK Pertanyakan Penghentian Kasus Syafruddin Temenggung "Jelas saya kecewa. Tim kami berbulan-bulan tidak tidur. Enak saja dihentikan." JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi akan menanyakan rencana Kejaksaan Agung untuk menghentikan penuntutan kasus dugaan korupsi dalam penjualan pabrik gula PT Rajawali Nusantara III, Gorontalo. "Kalau benar SKP3 (surat keputusan penghentian penuntutan perkara) turun, akan kami tanyakan," kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean ketika dihubungi Tempo kemarin. Menurut Tumpak, selama menangani kasus Syafruddin Temenggung, Kejaksaan Agung selalu melaporkan perkembangannya kepada KPK. "Sejak ditangani Kejaksaan Tinggi DKI sampai ditangani Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, selalu dilaporkan," ujarnya. Sebelumnya, Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji menyatakan sudah mengirimkan rekomendasi kepada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk menghentikan perkara dengan tersangka Syafruddin Temenggung ini karena kasusnya tidak memenuhi syarat untuk diajukan ke pengadilan. Ketika dihubungi Tempo kemarin, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan mempelajari terlebih dulu rekomendasi itu. "Nanti saya pelajari. Belum saya terima," ujarnya. Abdul Rahman menjelaskan perkara ini masih sama dengan yang ditangani Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta saat Rusdi Taher menjabat sebagai kepala. "Cuma, sekarang diteruskan dengan bahan-bahan yang baru," ujarnya. Menanggapi hal ini, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rusdi Taher mengaku kecewa dengan rekomendasi yang diajukan Hendarman. "Jelas saya kecewa. Tim kami dulu berbulan-bulan tidak tidur. Enak saja dihentikan," kata Rusdi melalui telepon. Rusdi menganggap pembuktian kasus ini sebenarnya sudah cukup. Menurut dia, penghitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga dapat digunakan untuk menghitung kerugian negara. "Tidak ada di undang-undang harus pakai ini atau itu. Saksi ahli itu menurut bidangnya, bukan institusinya," katanya. Rusdi menganggap kasus ini aneh. Sebab, penghentian perkara dilakukan saat perkara telah masuk tahap penuntutan. "Dari aspek prosedural aneh. Tidak tepat dihentikan di tingkat penyidikan," ujarnya. Kasus ini, kata dia, dulu telah dilimpahkan dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk segera dilimpahkan ke pengadilan. Kasus ini bermula dari Program Penjualan Aset Strategis pada 2003 oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pabrik gula PT Rajawali Nusantara III, Gorontalo, dijual seharga Rp 95 miliar. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha, penjualan ini diduga merugikan negara Rp 500 miliar. Pabrik Gula Rajawali III semula bernama PT Naga Manis Plantation, milik pengusaha Prajogo Pangestu. Pada 1990, Naga Manis menerima kredit Rp 632 miliar dari Bank Bumi Daya. Karena kredit tersebut macet, utang perseroan itu direstrukturisasi pada 5 Desember 1997. Melalui rapat umum pemegang saham pada 5 Desember 1997, disetujui perubahan nama menjadi Pabrik Gula Rajawali III. Utang sebesar Rp 400 miliar juga disetujui untuk ditukar dengan kepemilikan BBD atas 400 ribu lembar saham atau 66,66 persen. Kuasa hukum Syafruddin Temenggung, Frans Hendra Winata, tetap yakin kliennya tidak bersalah. "Dari dulu kami yakin tidak ada kasus dalam perkara ini," ujarnya. Menurut dia, pembelian itu dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang BPPN. TITO SIANIPAR | FANNY FEBIANA | RIKY FERDIANTO Sumber: Koran Tempo - Senin, 22 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/ Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 Fax: (62-21) 722-1658 http://www.transparansi.or.id
[mediacare] Andai Para Koruptor Insyaf dan Menyerahkan Diri...
"Saya mau bertobat dan menghapus dosa. Sesuai kepercayaan dan agama yang saya anut, daging yang tumbuh di tubuh saya dan keluarga, yang berasal dari makanan yang dimakan dari uang hasil korupsi, tidak akan pernah masuk surga. Saya selalu gelisah mengingat itu," - Andai Para Koruptor Insyaf dan Menyerahkan Diri... Kalangan DPRD Kota Bontang Pertanyakan Pengaduan Hamzah ke KPK Andai saja ara koruptor insyaf dan menyerah, negeri ini dipastikan akan kembali memiliki harga dirinya. Jangankan itu menjadi kenyataan, penegakan hukum tanpa pandang bulu saja masih menjadi angan-angan. Di tengah mimpi dan angan-angan itu tersebutlah Hamsyah MD, mantan anggota DPRD Kota Bontang (periode 1999-2004). Sejak beberapa hari dalam lawatannya ke Jakarta, sejumlah "manuver" yang dilakukan Hamzah menjadi warna tersendiri dalam ihwal cerita korupsi dan koruptor negeri ini. Hamzah perasaan bersalah dan berdosa akibat mencuri atau mengkorupsi uang yang bukan haknya. "Koruptor Insyaf...!!! Saya pelaku korupsi APBD Bontang Rp 44,6 miliar. Kenapa KPK tak tangkap saya? Kenapa KPK mandul? Silakan tangkap saya...!!!" Hamz MD, mantan Anggota DPRD Bontang". Begitu kalimat-kalimat yang tertulis dalam poster warna kuning berukuran besar, yang dia pampangkan saat berunjuk rasa di Bundaran HI. Poster y itu dia bawa juga Kamis (18/1) ini saat menemui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, di Gedung PBNU, Jakarta. Poster warna kuning berukuran besar, berisi kalimat "pengakuan dosa" sekaligus permintaan agar dia segera ditangkap. Selasa (16/1) lalu Hamzah mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia melapor dan meminta KPK menangkap serta mengadili dirinya sendiri lantaran yakin telah bersalah mengorupsi uang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Bontang saat masih menjabat. Hamzah datang bersama seorang rekannya, Sumijan, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) Bontang Corruption Watch (BCW), yang mengadukan sejumlah penyelewengan yang terjadi di Kota Bontang, termasuk yang juga dilakukan Hamzah. "Saya mau bertobat dan menghapus dosa. Sesuai kepercayaan dan agama yang saya anut, daging yang tumbuh di tubuh saya dan keluarga, yang berasal dari makanan yang dimakan dari uang hasil korupsi, tidak akan pernah masuk surga. Saya selalu gelisah mengingat itu," ujar Hamzah.. Kedatangannya ke PBNU menemui KH Hasyim Muzadi, katanya, juga untuk mencari ketenangan batin. Dia meminta Ketua Umum PBNU mendoakan sekaligus memberinya nasihat soal apa saja yang harus dia lakukan untuk bertobat. Menurut Samijan, Hamzah setidaknya telah menerima "uang kaget" sekitar Rp 125 juta, termasuk sekitar Rp 75 juta, berasal dari pencairan uang polis asuransi yang memang sengaja diberikan Pemkot Bontang kepada para anggota DPRD. Samijan memaparkan, dalam tiga tahun anggaran berturut-turut, APBD tahun 2002, 2003, dan tahun 2004, Pemkot Bontang mengalokasikan Rp 675 juta per tahun dari pos anggaran operasional pemkot untuk membayar dua macam polis asuransi bagi ke-25 orang anggota DPRD. Tuluskah, pengaduan Hamzah itu? Mudah-mudahan. Namun kalangan anggota DPRD Kota Bontang, Kalimantan Timur, mempertanyakan langkah Hamzaj. "Bisa diartikan pelaporan itu bermuatan motif politik tertentu," kata anggota DPRD Kota Bontang dari Partai Persatuan Pembangunan, Jafarudin H Usman, di Bontang. Kasusnya sendiri sedang dalam penyidikan oleh Kejaksaan Negeri. Anggota DPRD Kota Bontang dari Partai Keadilan Sejahtera, Isro Umar Dani, mengatakan, langkah Hamzah dapat dinilai memiliki motif tertentu. Akan tetapi, dalam hal ini urusan selanjutnya bergantung kepada KPK. Bagaimana pun, yang pasti, negeri ini bebas dari korupsi masih ibarat pepatah jauh panggang dari api. Jauh! (dwa/BRO) Sumber: Kompas - Jumat, 19 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Isu Judi Anggota DPR di London
Isu Judi Anggota DPR di London Pimpinan DPR akan Panggil BKSAP dan GKSB Muhammad Nur Hayid - detikcom Jakarta - Pimpinan DPR menyeriusi isu perjudian beberapa anggota DPR di London, Inggris. Rencananya, pimpinan DPR akan segera memanggil pimpinan Badan Koordinasi Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) dan Grup Kerja Sama Bilateral (GKSB) DPR. "Saya akan segera memanggil BKSAP dan GKSB untuk memintai keterangan secepatnya. Kalau hari ini bisa, ya lebih baik," kata Agung kepada wartawan di gedung DPR, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (19/1/2007). Menurut Agung, pemanggilan BKSAP dan GKSB ini sangat perlu untuk memastikan apakah isu perjudian anggota DPR di London itu benar atau tidak. Bila nanti terbukti ada anggota DPR yang bermain judi saat kunjungan kerja ke luar negeri, maka akan diberi tindakan tegas. Namun, bentuknya apa, tergantung pada hasil investigasi dan klarifikasi dari Badan Kehormatan (BK). "Kalau benar, tentu harus ada sanksi. Tapi, ya nanti akan kami sampaikan ke BK dulu. Tergantung BK," kata Agung dengan mimik serius. Menurut dia, saat ini pimpinan DPR akan mempelajari isu perjudian ini. Jika isu ini benar-benar kenyataan, tidak menutup kemungkinan pimpinan akan berusaha meminta keterangan Kedubes RI di Inggris terkait dengan kegiatan dan bukti-bukti isu tersebut. "Ya kita pelajari dulu. Tidak menutup kemungkinan nanti," kata Agung saat ditanya apakah DPR akan meminta keterangan Kedubes RI di Inggris. Terkait sikap DPR selanjutnya, Agung meminta kepada semua anggota DPR untuk menyadari bahwa anggota DPR merupakan jabatan politik yang selalu menjadi perhatian masyarakat. Agung meminta agar anggota bisa menjaga diri dan meminimalisir hal-hal yang membuat citra negatif DPR. (asy/nrl) Sumber: Detikcom - 19/01/2007 12:10 WIB ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Istana Selidiki Dugaan Markup
Istana Selidiki Dugaan Markup JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan penyelidikan untuk mengetahui kebenaran kabar adanya dugaan markup yang dilakukan staf kepresidenan. Tepatnya terkait penyimpangan biaya menginap di Hotel Shangri-La, Cebu, Filipina, saat Presiden SBY dan rombongan menghadiri KTT ASEAN pada 12-14 Januari lalu. "Presiden menginginkan, kalau memang betul ada datanya, segera diungkapkan dan dituntaskan. Kalau benar, walaupun belum terjadi transaksi, pasti akan ditindak. Kalau beritanya tidak benar, tolong diluruskan," kata Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng di Kantor Presiden kemarin. Menurut Andi, Istana sudah meminta keterangan dari general manager hotel. Sedangkan pihak hotel, kata dia, telah membantah ada orang Indonesia yang mencoba meminta markup biaya hotel. Kepala Rumah Tangga Kepresidenan (Rumgapres) Ahmad Rusydi juga membantah adanya usaha stafnya melakukan markup kuitansi pembayaran hotel di The Shangri-La s Mactan Island Resort and Spa. "Pihak hotel juga telah mengirim bantahan tentang berita itu," kata Rusydi. Dia juga menyatakan telah menyelidiki kalangan stafnya. Hasil sementara, tidak ditemukan indikasi yang memalukan itu. "Rate hotel itu sudah jelas. Sebelum berangkat sudah ada kontrak. Jadi, tidak mungkin bisa di-mark up," katanya. Berita adanya permintaan markup oleh staf kepresidenan atas biaya hotel di The Shangri-La s Mactan Island Resort and Spa Filipina sempat beredar di situs berita Filipina www.Inquirer.net dan sebuah media cetak nasional berbahasa Inggris. Media tersebut memberitakan bahwa seorang staf Setneg yang menyertai kunjungan SBY diduga meminta Hotel Shangri-La me-mark up biaya hotel rombongan presiden. Permintaan itu ditolak manajemen hotel. Tapi, staf Setneg itu justru menawarkan 40 persen keuntungan yang akan didapat dari markup tersebut. Rombongan SBY ke Cebu lebih dari 100 orang, termasuk beberapa wartawan. Sewa kamar di Shangri-La sebesar USD 250 hingga USD 400 per malam. Di Inquirer (media Filipina), Shangri-La di Mactan juga membantah rumor adanya staf kepresidenan RI yang meminta markup kepada manajemen. Direktur Komunikasi Shangri-La Sharon Samarista berjanji menyelidiki laporan tersebut karena sudah ada pemberitaan di media. "Mereka memang tinggal di sini, tapi tidak ada permintaan tersebut. Saya tidak mendengar rumor itu," tegasnya. Pihak manajemen juga menjelaskan bahwa tidak ada markup dengan semua delegasi. Rate hotel juga sudah dinegosiasikan dengan pemerintah Filipina melalui panitia ASEAN Summit Ke-12. Semua delegasi mendapat rate yang sama. Jubir ASEAN Summit 12 Victoriano Lecaros juga menyatakan keraguannya bila ada seorang staf delegasi Indonesia yang melakukan usaha mark up dan membagi keuntungan yang didapat. (tom) Sumber: Jawapos - Jumat, 19 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Anggota Kabinet Kurang Koordinasi
Anggota Kabinet Kurang Koordinasi Pandangan Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin tentang Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 yang berbeda satu sama lain menunjukkan lemahnya koordinasi pemerintah. Demikian pandangan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman (Nusa Tenggara Timur II), soal tidak adanya kepastian penyikapan pemerintah tentang kontroversi PP No 37/2006. "Bagaimana mungkin dalam waktu hampir bersamaan antara Mendagri dengan Menhuk dan HAM memiliki pandangan berbeda. Ini bukan pemerintah yang ragu-ragu, tetapi menunjukkan kurangnya koordinasi pembantu presiden," ujar Benny. Ma'ruf mengatakan, PP No 37/ 2006 tak akan direvisi, (Kompas, Selasa 16/1), sementara Hamid mengatakan, PP No 37/2006 akan direvisi (Kompas, 17/1). Politisi dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia juga mengharapkan pemerintah tidak ragu memberlakukan PP No 37/ 2006 meski mendapat tekanan dari LSM maupun sejumlah anggota DPR. "Kalau begini terus, kapan pemerintah bekerja," ujarnya. Mendagri, Kamis (18/1), mengatakan, sebuah tim yang beranggotakan Depdagri, Departemen Keuangan, serta Departemen Hukum dan HAM telah mengecek kemampuan keuangan daerah yang tidak sama satu sama lain. "Karena itu, tim dibentuk untuk meninjau ulang PP itu sendiri dan yang penting melahirkan petunjuk operasional," katanya. Berbeda Di daerah, respons anggota DPRD berbeda. Di Mataram (Nusa Tenggara Barat) meski beberapa anggota DPRD Nusa Tenggara Barat dari beberapa partai politik mengaku menolak uang rapel tunjangan komunikasi intensif, belum satu pun anggota mengembalikan dana itu. Para anggota DPRD beralasan, uang yang diterima baru dikembalikan menunggu instruksi induk organisasinya di Jakarta. Sementara itu, DPRD Provinsi NTT telah menerima tunjangan operasional dan komunikasi dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp 6,5 miliar. Kepala Biro Keuangan Setda Provinsi NTT Welly Katipona mengatakan, sebanyak 55 anggota DPRD telah menerima tunjangan operasional dan komunikasi. Di Bandar Lampung, Ketua DPRD Kota Bandar Lampung mengimbau 25 anggotanya agar segera mengembalikan seluruh dana tunjangan komunikasi yang sudah diterima. Hal itu karena PP No 37/2006 dianggap belum jelas. Namun, kalau sudah ada penjelasan yang pasti, mereka akan menerima kembali dana itu. "Besarnya tunjangan untuk enam bulan pertama tahun 2006 harus dikembalikan," ujar Ketua DPRD Kota Bandar Lampung Azwar Yakub. (sie/kor/sut/hln/rul) Sumber: Kompas - Jumat, 19 Januari 2007 ++ Bagi yang ingin mengunduh (mendownload) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah silakan klik http://www.transparansi.or.id/database/peraturan/PP372006.pdf untuk melihat Sejumlah Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi lainnya, silakan klik http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatpusatdata&id=1 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Anggota DPRD Juga Butuh Uang
Anggota DPRD Juga Butuh Uang Mencari duit memang sulit, tetapi lebih sulit lagi jika disuruh menolak uang. Apalagi bagi seorang anggota DPRD yang mengaku membutuhkan biaya "sosial" yang relatif besar akibat status sebagai wakil rakyat. "Kalian memang tak tahu kan, kalau ada yang masuk ke ruangan saya lalu memperkenalkan diri sebagai pengurus panti asuhan yang tidak bisa membayar gaji pengurus. Semua itu membutuhkan biaya," ujar Ketua DPRD Zamzani Achmad. Dia tidak sedang memamerkan kemurahan hatinya, tetapi hanya menjelaskan bahwa tunjangan dan dana operasional yang diterima sangat membantu meringankan pengeluaran yang terkait dengan jabatan. Belum lagi kalau melakukan kunjungan ke daerah konstituen. Zamzani tidak bersedia menyebutkan berapa besar dana yang dikeluarkan setiap bulan. Tetapi yang pasti, semua anggota DPRD berbeda jumlahnya. Tetapi ketika diingatkan risiko menjadi wakil rakyat, Zamzani mengatakan dirinya tidak menyesal dengan jabatan Ketua DPRD. Bahkan sambil berkelakar berujar, "kalo biso pacak." Wakil Ketua DPRD Sumsel, Elianuddin HB, meminta masyarakat melihat tugas anggota DPRD secara obyektif. Anggota DPRD memiliki wilayah cukup luas, harus menjangkau 157 kecamatan pada 14 kabupaten/kota. Selama ini, 40 persen dari pendapatannya dihabiskan untuk berhubungan dengan konstituen. Jadi, ternyata hidup anggota DPRD tak seenak yang dibayangkan, duduk lalu dapat gaji. Tetapi jangan sampai kita lupa, pengorbanan dan pendekatan kepada rakyat tak selamanya dengan uang. Mahatma Ghandi misalnya, mengabdi pada rakyat dengan kesederhanaannya. (Buyung Wijaya Kusuma) Sumber: Kompas - Kamis, 18 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] PP No. 37 Tahun 2006 -- dan Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi lainnya
PP No. 37 Tahun 2006 -- dan Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi lainnya Bagi yang ingin menngunduh (mendownload) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah silakan klik http://www.transparansi.or.id/database/peraturan/PP372006.pdf untuk melihat Sejumlah Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi lainnya, silakan klik http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatpusatdata&id=1 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Hamid: PP No 37/2006 Direvisi
Hamid: PP No 37/2006 Direvisi Kontroversi atas Peraturan Pemerintah No 37/2006 belum juga berakhir. Jangankan sikap DPRD dan pejabat daerah, di pusat pun sikap para pejabatnya berlainan, begitu juga pimpinan partai politik. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin, Rabu (17/1), mengatakan, "PP 37/2006 dalam proses revisi," kata Hamid seusai rapat bersama Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Hal ini berbeda dengan pernyataan Mendagri beberapa hari lalu yang menyatakan PP itu tak akan direvisi, tetapi dijalankan dengan beberapa catatan. Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengungkapkan, Presiden meminta Mendagri mempelajari lagi PP itu agar sesuai dengan kemampuan daerah. Menurut Hamid, kemungkinan revisi PP No 37/2006 juga dilakukan dalam bentuk PP. "Saya tak masuk substansi, tetapi frame hukumnya. Detailnya tanya ke Mendagri dan Menkeu," ujarnya. Sementara itu, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta agar wakil rakyat membatasi diri dengan asas kepatutan dan kepantasan dalam menerapkan PP No 37/2006. Meski demikian, Hidayat tak menyatakan menolak PP itu. Sebab, bila PP itu ternyata bisa mengontrol dan mengatur keuangan, tentu itu hal positif. Sikap partai berbeda Para pemimpin partai melontarkan sikap berbeda-beda. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar mengingatkan, implementasi PP No 37/2006 harus realistis, tidak berlebihan, sesuai keuangan daerah, tetapi juga mempertimbangkan standar kebutuhan minimal anggota DPRD. Faktanya, banyak anggota DPRD yang penghasilannya habis untuk konstituen. Partai Golkar menilai tunjangan dalam PP No 37/2006 masih wajar asalkan tidak dirapel sejak Januari 2006. "Jumlahnya juga tidak maksimal, tapi disesuaikan dengan keuangan daerah," kata Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso, Rabu. Sikap tegas muncul dari PDI-P. Anggota DPR, Dewi Jaksa, menegaskan, PDI-P menolak PP No 37/ 2006. "Ini keputusan DPP PDI-P 16 Januari. Semua bupati, wali kota, gubernur, DPRD dari PDI-P wajib mematuhi," ujarnya. Ketua DPP PDI-P Tjahjo Kumolo di Semarang meminta pemerintah tak gegabah mengeluarkan aturan sehingga tak menimbulkan kontroversi. Tjahjo juga mempertanyakan alasan pemerintah menetapkan pemberian rapel tunjangan. PDI-P menolak rapel ini. Namun, karena 60 persen anggota DPRD sudah menerima, kader PDI-P diminta tidak memakai dana itu. Di daerah penyikapan atas PP No 37/2006 juga mendua. Kalangan DPRD kabupaten di Lombok Barat dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meminta PP No 37/2006 ditinjau ulang. Namun, mereka meminta berbagai fasilitas jajaran eksekutif dipangkas. Hal itu dikatakan Dianul Hayezi, anggota DPRD Lombok Barat, dan A Rahman Alamudy, anggota DPRD Sumbawa. Di kedua kabupaten itu, persiapan pelaksanaan PP No 37/2006 sudah dilakukan lewat APBD, tetapi belum direalisasi. "Kita harus realistis melihat kehidupan masyarakat. Revisi saja, kurangi besarnya agar lebih sesuai dengan aspirasi rakyat," ujar Alamudy. Namun, di Papua Wakil Ketua DPRD Kabupaten Manokwari Amos H Way justru merasa tunjangan yang dirumuskan PP No 37/2006 tidak cukup. Alasannya, kondisi geografis dan ketersediaan transportasi di Papua sangat terbatas. Karena itu, sebaiknya PP No 37/2006 memberi kelonggaran dalam penerapannya. "Untuk menjangkau satu distrik saja, biaya transportasinya bisa Rp 5 juta," ujar Amos, Rabu. Sementara DPRD Kota Depok menyatakan tak mau terjebak dalam PP No 37/2006 dan menunggu dasar hukum yang kuat. Apalagi beberapa dari mereka pernah dijerat tuduhan korupsi saat menerapkan PP No 110/ 2000. Hal ini terungkap dalam rapat paripurna DPRD Depok kemarin. Hasbullah Rahmat dari Fraksi PAN meminta PP 37/2006 dikaji dulu, terutama aspek hukumnya. "Sebab, saya sudah jadi korban PP No 110/2000," kata Hasbullah, satu dari 17 anggota DPRD Depok yang dijerat tuduhan korupsi. Wali Kota Depok Nur Mahmudi Isma'il mendukung pemberian tunjangan sesuai dengan PP No 37/2006. "Toh, dana itu akan kembali ke masyarakat, bukan cuma konstituen," katanya.(ksp/AB1/EKI/ICH/CHE/RUL/SIE/sut/dik) Sumber: Kompas - Kamis, 18 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Temuan PPATK Terhenti
Temuan PPATK Terhenti Banyak kepala instansi pemerintah tidak menindaklanjuti temuan transaksi mencurigakan yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Padahal, transaksi mencurigakan itu bisa menjadi indikasi adanya praktik korupsi yang melibatkan pejabat di instansi tersebut. Hal ini diungkapkan Kepala PPATK Yunus Husein di kantornya, Jakarta, Senin (15/1). Ia menjelaskan, untuk memberantas korupsi, diperlukan keinginan kuat dari kepala pemerintahan dan instansi. "Tetapi, tidak semua kepala instansi kuat dalam memberantas korupsi. Ternyata banyak yang lebih memilih damai itu indah daripada menindaklanjuti (temuan PPATK). Saya sudah beberapa kali membicarakan dengan kepala instansi bahwa PPATK siap mendukung dengan hasil temuan," kata Yunus Husein. Beberapa instansi telah dilaporkan tentang hasil temuan PPATK atas beberapa transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan pejabat di instansinya. Salah satunya adalah rekening 15 perwira tinggi Polri yang sempat menghebohkan. Namun kini, tindak lanjut Mabes Polri atas hasil temuan PPATK tersebut tidak terdengar lagi. Padahal, kata Yunus, pascapelaporan PPATK tentang 15 rekening perwira tinggi Polri tersebut terjadi transaksi penarikan dan penutupan rekening atas nama para perwira tinggi Polri itu. "Kami mendapat laporan dari rekening yang kami laporkan itu beberapa di antaranya ditutup. Ada pula yang dipindahkan ke rekening atas nama orang lain," ujar Yunus. Ia menjelaskan, meskipun dana itu dialihkan ke orang-orang dekat dari si pejabat yang diduga melakukan transaksi mencurigakan, sebenarnya tetap bisa dicari siapa si pemilik dana tersebut. Bahkan, beberapa penyidik berhasil menemukan adanya pembelian emas batangan dari hasil korupsi ataupun setoran yang didapat pejabat tersebut. Yunus mencontohkan, meskipun anak-anak keluarga Cendana telah mengalihkan asetnya atas nama orang lain ataupun perusahaan yang ada di luar negeri, sebenarnya tindakan itu bisa dilacak. "Kalau itu perusahaan, kita tanya saja pemegang sahamnya siapa saja. Nanti akan ketemu, misalnya, ternyata pemegang sahamnya adalah pengacaranya ataupun orang terdekatnya," kata Yunus. Ia berharap di masa mendatang, PPATK bisa melacak hingga pembelian properti maupun emas batangan. Ia mencontohkan kasus di Amerika Serikat di mana seorang agen CIA, Aldrich Ames, yang kemudian direkrut secara diam-diam menjadi agen KGB Rusia. Kejahatannya terbongkar saat perusahaan properti melaporkan adanya pembelian rumah di Arlington Virginia seharga 540.000 dollar AS dan pembelian mobil jaguar 50.000 dollar AS. Setelah ditelusuri, ternyata Ames menerima dana besar berjumlah 2,7 juta dollar AS dari KGB. Lama terdengar Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (F-PDIP, Sumatera Utara II) dan anggota Komisi III Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, NTT II) mengaku sudah beberapa kali mendengar keluhan PPATK. Benny meminta Presiden menginstruksikan kepada instansi untuk menindaklanjuti temuan PPATK. Sebaliknya, Trimedya mengemukakan, Komisi III pernah meminta PPATK menyerahkan nama-nama perwira yang dicurigai secara tertutup agar DPR bisa ikut mengawasi. "Namun, PPATK juga tidak menyerahkan. Padahal, kalau diserahkan kita bisa ikut mengawasi," katanya. (vin/bdm) Sumber: Kompas - Selasa, 16 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Kejaksaan Kekurangan Uang Kirim Tim ke Guernsey
Kejaksaan Kekurangan Uang Kirim Tim ke Guernsey JAKARTA -- Kejaksaan Agung kekurangan dana untuk menangani kasus gugatan intervensi negara terhadap Banque Nationale de Paris (BNP) and Paribas di Guernsey, negara persemakmuran Inggris. Kejaksaan hanya mengirimkan satu orang jaksa untuk mewakili Indonesia dalam sidang Tommy Soeharto, yang menggugat uangnya yang ditahan oleh BNP Paribas di Guernsey. "Negara cuma berangkatkan satu orang karena kekurangan dana," kata Alex Sato Bya, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Senin lalu. Soal penunjukan pengacara, kata Alex, sudah dilakukan pihak Kedutaan Besar RI di Inggris. "Untuk pengacara pakai uang negara, bukan dari kejaksaan," ujarnya. SANDY INDRA PRATAMA Sumber: Koran Tempo - Rabu, 17 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] PP 37/2006 Tak Direvisi
PP 37/2006 Tak Direvisi Pemerintah berkeras akan melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Ketua dan Anggota DPRD. Pemerintah takkan merevisi PP, tetapi hanya memberi catatan agar tidak salah kaprah. Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf di Manado, Senin (15/1), mengatakan, PP 37/2006 tetap diberlakukan. "Belum ada pikiran merevisi peraturan tersebut. Masak saya, pemerintah, harus melawan pemerintah. Kalaupun jalan mesti dengan catatan-catatan agar tak salah kaprah," katanya. Menurut Mendagri, polemik atas penerbitan PP 37/2006 karena minimnya pemahaman atas aturan itu dari kalangan anggota DPRD. Karena itu, Mendagri menyatakan akan bertemu dengan seluruh ketua DPRD kabupaten/kota dan provinsi serta sekretaris DPRD pekan ini. "Mereka kami undang untuk sosialisasi PP itu. Dengan demikian, persepsi atas PP 37/2006 sama, meski penerapan di daerah berbeda-beda sesuai pendapatan daerahnya," katanya. "Kami justru tidak menolerir kebijakan yang merugikan rakyat. Keuangan daerah dikelola wajar, tidak cuma menguntungkan legislatif," ujar Mendagri. Ketua DPRD Sulut Syachrial Damopolii mengatakan, polemik seputar PP 37/2006 telah bertendensi politik dan berlebihan. "Kami sendiri tidak setuju jika PP 37/2006 justru menyengsarakan rakyat," katanya. Namun, pengamat politik di Manado, Toar Palilingan, meminta pemerintah merevisi PP 37/ 2006. "Buruh yang menuntut kenaikan gaji diredam, tetapi pemerintah membuka peluang anggota DPRD meraih pendapatan besar. Ini diskriminasi," katanya. Sementara itu, di Banjarmasin, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mendesak DPRD Kalimantan Selatan untuk menolak rapel tunjangan berdasarkan PP 37/2006. Mereka juga meminta Presiden Yudhoyono merevisi PP itu. "Kami menilai, rapel itu tidak sesuai kondisi, banyak masyarakat miskin. Pengangguran di Kalsel juga membengkak sampai 130.000 orang," kata Ihsan Rahmani dari PMII. Namun, Wakil Ketua DPRD Kalsel Riswandi (PKS) yang didampingi Wakil Ketua DPRD Kalsel Bahrudin Syarkawi (PDI-P) menolak desakan itu. Menurut Riswandi, jika PP 37/2006 ditinjau, judicial review juga harus dilakukan atas tunjangan DPR dan DPD. Selain itu, kultur masyarakat juga harus diubah agar jangan meminta bantuan kepada anggota DPRD. Di Kalimantan Timur anggota DPRD se-Kaltim dari PKS bertekad tidak menggunakan tunjangan PP 37/2006. Tunjangan itu akan digunakan untuk kepentingan masyarakat. "Kami mengikuti instruksi PKS pusat," kata Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah PKS Kalimantan Timur, Masykur Sarmian. Sementara di Serang, sejumlah anggota DPRD Banten meminta Mendagri segera mempertegas aturan PP 37/2006. "Selama ini legislatif bingung dengan sejumlah aturan," kata Ketua F-PKS DPRD Banten Sudarman, Senin. Semua anggota DPRD Banten telah mendapat rapelan tunjangan tahun 2006 sebesar Rp 9 juta per bulan. Bahkan, tunjangan itu telah dianggarkan dalam APBD Perubahan yang disusun Juni 2006, jauh sebelum PP 37/2006 disahkan, 14 November. Fraksi Demokrat juga memilih menyalurkan bantuan langsung kepada masyarakat. "Setiap ada yang datang meminta bantuan, kami berikan," kata Media Warman dari Fraksi Demokrat. Di Sumatera Selatan, Anggota DPRD dari F-PAN Muamar Khadafi, Senin, menyatakan F-PAN siap mengembalikan tunjangan anggota DPRD asalkan mekanisme pengembalian diperjelas. Pengembalian tunjangan itu, menurut dia, merupakan bentuk solidaritas sosial kepada masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi. Namun, Ketua DPRD Sumsel Zamzami Achmad mengatakan, pendapat Muamar Khadafi adalah pendapat pribadi bukan pendapat F-PAN. "Muamar sedang emosi. Yang benar adalah kami akan ikut keputusan pusat," ujarnya. (FUL/BRO/nta/wad/zal) Sumber: Kompas - Selasa, 16 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] 433 Kasus Diduga Pencucian Uang
433 Kasus Diduga Pencucian Uang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK mencatat 433 transaksi keuangan mencurigakan yang diduga pencucian uang karena dilakukan dalam jumlah besar dan frekuensi tinggi. Seluruh temuan itu telah ditangani Kejaksaan Agung dan Polri, tetapi penyelesaiannya belum maksimal. "Nilainya diperkirakan sekitar Rp 100 triliun. Namun, itu masih perlu diperdalam, karena ada kemungkinan pencatatan ganda dari bank berbeda," ujar Kepala PPATK Yunus Husein seusai menandatangani Nota Kesepahaman dengan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan (Itjen Depkeu), Jumat (12/1) di Jakarta. Menurut Yunus, sebagian besar temuan itu terkait tindak pidana korupsi, yakni 178 kasus. Sebanyak 12 kasus di antaranya diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terkait oknum TNI atau Polri. "Korupsi itu banyak terkait dengan pejabat negara," tuturnya. PPATK melaporkan, dugaan pencucian uang tersebut terkait pada 14 jenis kejahatan, yakni penggelapan atau korupsi, penipuan, kejahatan perbankan, pemalsuan dokumen, terorisme, penggelapan pajak, perjudian, dan penyuapan. Selain itu, terdapat kejahatan narkotika, pornografi anak, pemalsuan uang, pencurian, pembalakan liar, dan kasus yang tidak teridentifikasi. "Terkait penggelapan pajak, yang paling akhir kami temukan adalah di Medan, kemudian di Jawa Timur dan Jawa Barat. Sementara yang terkait terorisme, jumlahnya ratusan juta (rupiah). Mereka cenderung menggunakan ATM (anjungan tunai mandiri) pada bank yang memiliki jaringan online luas. Transaksinya kecil, Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, tetapi frekuensinya tinggi," kata Yunus. Dari tahun 2001 hingga 2006, PPATK menerima 6.793 laporan transaksi keuangan yang mencurigakan. Laporan terbanyak terjadi pada 2006, yakni 3.482 laporan. Namun, dari 3.482 laporan itu, hanya 86 yang berindikasi pencucian uang. "Kami memiliki lima mekanisme untuk mengawasi tindak lanjut temuan PPATK di aparat penegak hukum. Pertama, menanyakan langsung kepada pihak polisi atau kejaksaan. Kedua, menanyakan melalui Komisi III DPR. Ketiga, melalui Komite Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun tak begitu berjalan karena hanya ada satu kali pertemuan per tahun. Keempat, mendesak lewat KPK. Kelima, yang paling efektif adalah lewat media massa," ungkapnya. Eselon I Depkeu Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, lima lembaga eselon satu di Depkeu, yakni Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Perbendaharaan Negara, Sekjen, serta Ditjen Kekayaan Negara, kerap melakukan transaksi berjumlah besar. Kondisi itu menyebabkan potensi korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sangat tinggi. "Itu jadi tantangan bagi Itjen dan PPATK, karena mungkin skala korupsinya mencapai ratusan juta atau miliaran rupiah. Ini perlu diprioritaskan. Apalagi banyak keluhan yang dirasakan dan dilihat orang, tapi tak bisa mengonstruksikan bentuk kesalahannya. Ini baru terkait korupsi, sedangkan untuk kolusi dan nepotisme bentuknya lebih rumit dari penyelenggaraan negara," ucapnya. Irjen Depkeu Permana Agung menyebutkan, pihaknya menemukan 36 kasus yang berindikasi pelanggaran aturan dalam tahun 2006. Temuan terbanyak terkait Ditjen Pajak, yakni 21 kasus atau 58,3 persen dari total temuan. "Di Ditjen Bea dan Cukai serta Kekayaan Negara masing-masing 11,1 persen, sedangkan di Setjen, Ditjen Anggaran, dan Perbendaharaan mencapai 3,7 persen," tuturnya. (OIN) Sumber: Kompas - Sabtu, 13 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Pelaku Transaksi Mencurigakan Kebanyakan Pejabat
Pelaku Transaksi Mencurigakan Kebanyakan Pejabat JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan pejabat negara mendominasi transaksi keuangan mencurigakan selama 2003-2006. Menurut Kepala PPATK Yunus Husein, dari 433 kasus, sebanyak 178 kasus merupakan transaksi keuangan kasus dugaan korupsi atau penggelapan uang. "Korupsi atau penggelapan uang itu sebagian besar dilakukan pejabat," katanya seusai penandatanganan nota kesepahaman antara PPATK dan Departemen Keuangan di Jakarta kemarin Korupsi itu, kata Yunus, dilakukan pejabat di departemen dan institusi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun, dia enggan memerinci identitas lembaga pemerintah tersebut. "Tak etis kalau saya sebutkan nama departemen atau orangnya," ujarnya. Dia mengatakan 433 kasus transaksi mencurigakan senilai Rp 400 triliun tersebut sudah diserahkan kepada penegak hukum, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Ada 12 kasus besar korupsi yang sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kasus-kasus ini luar biasa dan tidak bisa disidik kejaksaan dan polisi." Yunus tidak menyebutkan secara detail kasus besar itu. Dia hanya mengatakan, "Ada satu kasus yang berhubungan dengan pejabat Tentara Nasional Indonesia." Dari ratusan kasus yang sudah disidangkan, hanya delapan kasus yang diputus dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. "Saya berharap ke depan lebih intensif lagi," kata Yunus. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, untuk mencegah dan memberantas korupsi di departemen, perlu diketahui aliran dana yang digunakan para pejabat. Sebab, kerap kali koruptor mencuci uang hasil kejahatan dengan cara menyembunyikan atau menyamarkan identitasnya. "Kami harus bekerja sama dengan berbagai instansi, termasuk lembaga antipencucian uang yang paham soal ini," katanya. Menurut Sri Mulyani, pencegahan korupsi sangat penting untuk mengamankan penerimaan negara dan mencapai kesinambungan fiskal. Selain itu, kerja sama dengan lembaga antipencucian uang akan memberikan peluang kepada pemerintah untuk membawa temuan penyimpangan di departemen, terutama Departemen Keuangan, ke wilayah hukum. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan Permana Agung menjelaskan, sampai akhir 2006, ada sekitar 8.000 kasus dugaan penyimpangan senilai Rp 4 triliun di Departemen Keuangan yang belum dapat diselesaikan. Sebagian besar penyimpangan terjadi di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea-Cukai. "Masih didalami apakah ada indikasi pencucian uang atau tidak," katanya. Dia menambahkan, pada 2006, Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan kembali menemukan 36 penyimpangan. Sebagian besar penyimpangan berupa pelanggaran sistem dan prosedur. "Saat ini kasusnya masih diteliti." ANTON APRIANTO Sumber: Koran Tempo - Sabtu, 13 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Penyimpangan Proyek Rel Empat Jalur Rp 33 Miliar
Penyimpangan Proyek Rel Empat Jalur Rp 33 Miliar JAKARTA -- Nilai penyimpangan dalam proyek rel empat jalur Manggarai-Cikarang ternyata mencapai Rp 33 miliar. Itulah hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dilakukan tahun lalu. Hasil audit tersebut meliputi semua wilayah pembebasan lahan di sepanjang Cikarang-Manggarai. "Semua berkasnya sudah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta," kata Didi Widayadi, Kepala BPKP, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Kepala BPKP DKI Jakarta Irsan Gunawan membenarkan hal tersebut. Menurut dia, BPKP kini tinggal menunggu tanggapan dari Kejaksaan Tinggi karena setelah itu biasanya mereka akan diminta menghitung nilai kerugian negara akibat penyimpangan tersebut. "Sering hasilnya (kerugian negara) tidak jauh dari hasil audit," kata dia. Setelah nilai kerugian itu didapatkan, menurut Irsan, proses selanjutnya adalah melakukan penyidikan dan melanjutkannya ke proses pengadilan. Irsan mengatakan, dalam prosesnya, penyelesaian audit membutuhkan waktu yang lama lantaran sulitnya mendapatkan data dan keterangan dari saksi dan korban pembebasan lahan proyek tersebut. Nilai penyimpangan itu pernah dicetuskan oleh sumber Tempo di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada akhir tahun lalu. Namun, saat itu sumber tersebut mengatakan nilai penyimpangan itu hanya untuk proyek yang berada di wilayah Jakarta Timur. "Di wilayah lain tidak ditemukan (penyimpangan)," katanya. Sumber itu mengatakan hasil audit tersebut sudah final dan tinggal menunggu pelimpahan ke pengadilan. Mekanismenya adalah melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, lalu berkas dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. "Segera kami tindak lanjuti," katanya. Kepala Pusat Komunikasi dan Publik Departemen Perhubungan Susilo Hadi mengatakan pihaknya menyerahkan penanganan kasus itu kepada aparat hukum. Soal hasil audit BPKP terhadap proyek tersebut, ia mengemukakan, "Kami serahkan sepenuhnya kepada auditor," katanya kepada Tempo di Jakarta, 29 Desember lalu. Penyimpangan dalam proyek tersebut terkait dengan pembebasan lahan di wilayah Jakarta Timur, seperti Kelurahan Manggarai, Kampung Melayu, Pisangan Baru, Cakung, dan Pondok Kopi. Ganti rugi yang diterima warga lebih kecil daripada nilai yang tertera dalam salinan kuitansi pembayaran ganti rugi. Salah seorang warga bernama Mustopa menerima ganti rugi Rp 8.864.000, padahal di salinan kuitansi tertera Rp 36.864.502. Ada pula warga yang bernama Ninik yang menerima Rp 12.672.000, tapi di kuitansi tertera Rp 34.180.050. Temuan ini lalu dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Marwan Batubara, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Disebutkan, uang ganti rugi yang menguap mencapai Rp 2,218 miliar. Kejaksaan Tinggi Jakarta telah menahan mantan pemimpin proyek, Yoyo Sulaiman, dan bendahara proyek, Iskandar Rosyid. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka sejak Oktober 2005 dan ditahan di penjara Cipinang, Jakarta Timur. Adapun rel empat jalur sepanjang 35 kilometer itu adalah proyek Departemen Perhubungan yang targetnya selesai tahun ini. Proyek senilai Rp 5 triliun itu rencananya akan didanai oleh Japan Bank for International Cooperation. Para pertengahan bulan ini rencananya proses tender konstruksi selesai. Targetnya, proyek itu selesai dan beroperasi pada 2009. Rel empat jalur itu akan menambah daya angkut kereta api rute Jakarta-Bekasi dari 500 ribu penumpang per hari menjadi 3 juta orang. ZAKY ALMUBAROK | HARUB MAHBUB Kisah Empat Jalur Itu April 2003 Penjelasan rencana proyek rel empat jalur di kantor kelurahan. November 2004 Pembayaran ganti rugi. Warga hanya meneken kuitansi tanpa diperbolehkan melihat isinya. 11 Januari 2006 Pembongkaran paksa bangunan milik warga. Akhir Juli 2006 Lahan proyek mulai dipagari. 5 Oktober 2006 Sidang perdana gugatan warga yang terkena proyek. November 2006 BPKP menyerahkan hasil audit ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. November 2006 Yoyo dan Iskandar ditahan. ZAKY ALMUBAROK Sumber: Koran Tempo - Senin, 15 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Arogansi Kelembagaan Memperlemah Pemberantasan Korupsi
Arogansi Kelembagaan Memperlemah Pemberantasan Korupsi Di penghujung tahun 2006 kita dapat menyaksikan peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia yang cukup meriah. Peringatan dilaksanakan di Jakarta dan beberapa daerah secara serentak. Berbagai elemen masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Tidak kurang Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut serta mengerahkan massa turun ke jalan untuk memeriahkannya. Berbagai atribut antikorupsi turut meramaikan acara dan dibagikan kepada masyarakat. Namun sayang, kemeriahan peringatan tersebut belum dapat dijadikan indikator kemeriahan pemberantasan korupsi (PK) di Indonesia. Bagaimana sebenarnya kondisi gerakan antikorupsi di Indonesia sepanjang tahun 2006? Di satu sisi, Indeks Persepsi Korupsi untuk Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005, IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Tahun 2006, dari 163 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat ke-130 bersama Azerbaijan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Etiopia, Papua Niugini, Togo, dan Zimbabwe. Di sisi lain, perseteruan lembaga-lembaga penegak hukum mewarnai tahun 2006. Komisi Yudisial (KY) berseteru dengan Mahkamah Agung (MA) mengenai kewenangan dan kebijakan penanganan perkara. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berseteru dengan Mahkamah Konstitusi (MK) karena telah membatalkan dan mengembalikan beberapa produk undang-undangnya. Perkembangan terakhir, beberapa anggota DPR berencana mengevaluasi UU tentang MK karena menganggap MK bertindak ultra petitia dan sudah berani mengambil alih kewenangan lembaga legislatif. KPK menganggap MK telah menghambat usaha pemberantasan korupsi karena mengabulkan beberapa judicial review yang diajukan oleh beberapa terpidana korupsi. Termasuk di dalamnya adalah putusan MK tentang perbuatan hukum material yang merupakan pasal penting untuk dapat menjerat banyak koruptor. Putusan MK terakhir adalah pembatalan pasal menyangkut pengadilan Tipikor. Walaupun dinyatakan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan diucapkan. selengkapnya klik: http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=39 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Ijtihad ala Mahkamah Konstitusi
Ijtihad ala Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Selasa (19/12) melakukan sidang pembacaan putusan pengujian UU KPK terhadap UUD 1945 yang diajukan Mulyana Wirakusumah (Perkara 012/PUU-IV/2006), Nazaruddin Sjamsuddin, dkk. (Perkara 016/PUU-IV/2006) dan Capt.Tarcisius Walla (019/PUU-IV/20060). Putusan MK yang akhirnya memunculkan perdebatan pro kontra adalah menyangkut keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). MK menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bertentangan dengan UUD 1945. Walaupun dinyatakan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan diucapkan. Pro Kontra Putusan MK Berbagai komentar muncul menyikapi putusan MK. Pengacara senior Adnan Buyung Nasution menilai, putusan MK bukan saja rancu, tetapi betul-betul bertolak belakang dalam substansi. Di satu pihak membatalkan Pengadilan Tipikor, tetapi di pihak lain memberi waktu tiga tahun. Gubernur Lemhanas Muladi menilai, putusan MK yang memberikan batas waktu tiga tahun merupakan putusan yang ganjil. selengkapnya klik: http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=38 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] DPR Mulai Periksa Kasus Agung Laksono
DPR Mulai Periksa Kasus Agung Laksono JAKARTA -- Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat meminta Sekretariat Bersama, yang terdiri atas Kelompok Kerja Petisi 50, Komite Waspada Orde Baru, Gerakan Rakyat Marhaen, dan Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi, melengkapi bukti pengaduannya tentang pelanggaran yang dilakukan Ketua DPR Agung Laksono. Akhir November lalu, keempat lembaga swadaya masyarakat itu melaporkan Agung Laksono ke Badan Kehormatan DPR. Mereka menilai tindakan Agung membagi-bagikan voucher pendidikan saat melakukan safari Ramadan tahun lalu merupakan penyalahgunaan jabatan sebagai Ketua DPR. Keterangan LSM ini diperkuat pengakuan Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal. Menurut Faisal, dalam safari itu pihaknya mengeluarkan dana Rp 400 ribu per hari dan uang representatif Rp 500 ribu per hari. Total, untuk 10 hari perjalanan Agung, Sekretariat Jenderal DPR mengeluarkan uang Rp 9 juta. Selain itu, Sekretariat Jenderal turut menyediakan mobil DPR sebagai kendaraan cadangan. "Pengaduan itu harus dilengkapi dengan fakta hukum dan bukti yang cukup," kata Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun setelah mendengarkan keterangan anggota Sekretaris Bersama sebagai saksi kasus voucher pendidikan yang diduga melibatkan Agung Laksono itu kemarin di gedung DPR. Gayus menjelaskan, bila nantinya pengadu menyertakan fakta yang berkualitas dan mendukung, pihaknya akan memanggil Ketua DPR Agung Laksono. "Tidak tertutup kemungkinan juga Menteri Pendidikan Nasional dan Sekretaris Jenderal DPR," katanya. Namun, Gayus belum bisa memastikan kapan Agung Laksono akan dipanggil. Salah satu saksi yang diperiksa, Didik Safari, dari Komisi Politik PB Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi, menegaskan siap memberikan fakta pelanggaran yang dilakukan Agung. Dia menegaskan seorang anggota staf DPR sudah bersedia memberikan kesaksian tentang asal-muasal dana safari Ramadan Agung. "Kami tidak mungkin menyebut namanya," kata Didik. Pemeriksaan terhadap saksi pengadu ini masih akan dilanjutkan. Namun, Gayus belum bisa memastikan kapan mereka akan dipanggil kembali. Karena polemik berkepanjangan, akhirnya pada Oktober lalu pemerintah menghapus voucher pendidikan dari Departemen Pendidikan yang digunakan untuk membantu pembangunan sekolah. Pemerintah akan memperbaiki sistem pemberian bantuan ini dan dananya tidak lagi disalurkan lewat anggota DPR. "Demi akuntabilitas, kemarin sudah diputuskan untuk tidak lagi memakai sistem itu karena dananya makin besar," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada wartawan di kantor Wakil Presiden saat itu. Kalla mengatakan penyaluran dana bantuan ini akan menggunakan sistem baru. Sistem baru ini akan melibatkan pemerintah daerah. Kabupaten akan mengusulkan sekolah yang menerima bantuan. Gubernur kemudian akan mengkoordinasi sekolah yang mendapat bantuan ini untuk diusulkan ke Departemen Pendidikan Nasional. "Harus bersifat otonomi. Prosesnya akan seperti Bantuan Operasional Daerah," kata Kalla. ERWIN DARYANTO | SUTARTO Sumber: Koran Tempo - Jumat, 12 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Legislasi Antikorupsi Dalam Ruang Sidang MK
Legislasi Antikorupsi Dalam Ruang Sidang MK Pendahuluan Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak cukup dengan dua perangkat alas hukum yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPK), namun juga harus dilengkapi dengan alas hukum yang lain yang menunjuang misi pemberantasan korupsi tersebut. Diantaranya adalah KUHP, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, HIR Hukum Acara Perdata, UU Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo UU Nomor 15 Tahun 2002, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan jo UU Nomor 7 Tahun 1992, UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, UU 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian jo UU Nomor 8 Tahun 1974, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Wajib Daftar Perusahaan, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. selengkapnya klik: http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=41 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Tunjangan DPRD, Uang Rapelan, Hadiah Tahun Baru Wakil Rakyat
Tunjangan DPRD, Uang Rapelan, Hadiah Tahun Baru Wakil Rakyat Susie Berindra Sebuah hadiah tentulah menyenangkan bagi penerimanya. Apalagi, kalau itu berupa uang tunjangan yang dirapel selama satu tahun. Sayang, hadiah itu bukan untuk rakyat, tetapi buat wakilnya yang duduk sebagai pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Siang pada awal Februari 2006, di sebuah ruang rapat Gedung Departemen Dalam Negeri, kegaduhan terdengar. Audiensi tertutup antara pejabat Depdagri dan anggota DPRD dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota digelar. Anggota DPRD berbicara sendiri- sendiri. Intinya, mereka berjuang agar anggaran untuk DPRD ditambah. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Daeng Muhammad Nazier, yang memimpin audiensi, sampai harus berkali-kali menenangkan peserta rapat. Anggota DPRD itu protes Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 188.31/006/BAKD yang dianggap mengekang DPRD dalam membuat anggaran sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2004 dan PP Nomor 37 Tahun 2005. Seusai rapat, senyum menghiasi wajah anggota DPRD. Depdagri menjanjikan merevisi PP No 37/2005 tentang Perubahan Pertama PP No 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD. Nah, di sinilah awal munculnya uang rapelan yang diterima anggota DPRD sebagai hadiah tahun baru. Dari satu kali perubahan PP No 24/2004, yang merupakan pengganti PP No 110/2000, seorang anggota DPRD mendapatkan delapan jenis tunjangan. Namun, uang yang diterima per bulan itu masih dirasa kurang. Mereka mengusulkan ada tunjangan komunikasi dengan konstituen dan dana operasional. Anggota DPRD ingin mencontoh anggota DPR yang mendapatkan dua jenis dana tunjangan itu sejak lama. Berdasarkan usulan asosiasi DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, Depdagri menyusun revisi PP No 37/2005. Maret 2006, draf itu selesai disusun dan diserahkan ke Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden. Proses disahkannya aturan itu bisa membutuhkan waktu lama. Anggota DPRD tak sabar lagi. Beberapa daerah yang yakin akan ada aturan baru sudah menganggarkan tunjangan komunikasi dan dana operasional di APBD Perubahan 2006. Ada juga DPRD yang menganggarkan tambahan penghasilan dengan tunjangan yang bermacam-macam. Contohnya, bagi Ketua DPRD DKI Jakarta dianggarkan dana terima tamu sebesar Rp 2 juta per tamu, maksimal 30 tamu per bulan. DPRD pun gencar mendesak pemerintah merevisi revisi PP No 37/2005. DPRD perlu payung hukum untuk tunjangan yang bermacam-macam itu. DPRD ingin anggarannya bertambah besar, tetapi takut terjerat hukum seperti DPRD sebelumnya. Mendagri Moh Ma'ruf mengungkapkan, anggaran DPRD harus diatur jelas dan rinci. "Banyak DPRD yang menganggarkan tunjangan macam-macam. Saya memberikan surat edaran, meminta untuk menghentikan anggaran itu sampai ada aturan yang jelas," kata dia. November 2006, keluarlah PP No 37/2006. Senyum anggota DPRD pun mengembang. Tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional didapatkan. Dana itu bisa dianggarkan sejak Januari 2006. Jadilah, rapelan tunjangan dana untuk hadiah tahun baru atau bonus akhir tahun karena seperti DPRD Banten mencairkan dana itu sejak November 2006. Dalam PP No 37/2006, pimpinan dan anggota DPRD mendapat tunjangan komunikasi intensif setiap bulan sebesar paling tinggi tiga kali uang representasi (gaji pokok) Ketua DPRD. Untuk pimpinan DPRD mendapat tambahan dana operasional setiap bulan paling tinggi enam kali uang representasi untuk ketua dan empat kali uang representasi untuk wakil ketua DPRD. Dengan PP No 37/2006, uang yang diterima anggota DPRD menjadi besar. Bila uang representasi Rp 3 juta, rapelan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional untuk Ketua DPRD provinsi Rp 324 juta dan Ketua DPRD kabupaten/kota Rp 226 juta. Untuk anggota DPRD provinsi Rp 108 juta dan anggota DPRD kabupaten/kota mendapat Rp 75,6 juta. Jumlah yang besar pada saat rakyat dibebani tingginya harga sembako. Dengan ada PP No 37/2006, sebulan seorang Ketua DPRD Provinsi mendapatkan take home pay sebesar Rp 35 juta, anggota DPRD provinsi Rp 15,6 juta, sedangkan ketua DPRD kabupaten/kota mendapat Rp 24,8 juta dan anggota Rp 10,8. Angka itu memang besar, apalagi dibandingkan dengan kehidupan rakyat yang sebagian besar masih miskin. Anggota Komisi II DPR, Ryaas Rasyid, menilai "gaji" bagi anggota DPRD itu masih wajar saja. Ia mengungkapkan, seorang wakil rakyat punya kewajiban berkomunikasi dengan konstituen, dengan jumlah dana yang tidak sebanding dengan "gaji" yang diterimanya. "Satu-satunya sumber untuk menambah penghasilan anggota DPRD hanya dengan menaikkan tunjangan atau gaji," katanya. Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten M Harris juga menganggap tunjangan yang diberikan bagi anggota DPRD itu suatu kewajaran. Apalagi, untuk menjadi seorang wakil rakyat membutuhkan dana yang tidak sedikit. "Saat kampanye, seorang calon anggota DPRD harus pinjam uang ke bank. Ketika terpilih, ya dia harus nyic
[mediacare] Banyak Daerah Terbebani
Banyak Daerah Terbebani Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Komunikasi dan Operasional Anggota DPRD membebani keuangan daerah, khususnya daerah hasil pemekaran. Mahasiswa berunjuk rasa memprotes PP No 37/2006 dan menyarankan agar PP itu ditinjau kembali. Wakil Bupati Serdang Bedagai Sukirman, Rabu (10/1), menuturkan, secara prinsip, jika pemerintah daerah membayar tunjangan komunikasi dan operasional anggota DPRD dari Januari hingga Desember tahun 2006 sesuai dengan yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2006, hal itu jelas membebani keuangan daerah. "Kan enggak mungkin tahun anggarannya 2007 harus membayar untuk tunjangan tahun 2006. Kecuali kalau daerahnya kaya dan memiliki banyak sisa anggaran," ujar Sukirman. Serdang Bedagai merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang. ML Tobing dari Bagian Humas Provinsi Sumatera Utara membenarkan, beberapa daerah pemekaran baru di Sumut seperti Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, dan Samosir mengalami hal serupa. Bahkan, kata Tobing, Kabupaten Dairi menjadi salah satu kabupaten nonpemekaran yang kesulitan membayar tunjangan komunikasi dan operasional anggota DPRD. Terkait soal kesulitan keuangan daerah, meski Pemerintah Provinsi Sumut tidak mengalami hal itu, anggota DPRD Sumut dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Nuh, menuturkan, sebaiknya jika tunjangan komunikasi dan operasional itu diterima anggota DPRD, maka ada tunjangan jenis lain yang dihapus, yakni tunjangan dana reses. Sementara menurut anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDI-P, Zakaria Bangun, PP No 37/2006 hanya membuat DPRD jadi bulan-bulanan kritik masyarakat. Meski tidak menyatakan menolak, Zakaria meminta pemerintah membentuk badan kajian untuk menentukan berapa besar tunjangan yang pantas bagi anggota DPRD. "Jangan kalian pikir anggota DPRD ini perampok semuanya. Bagaimana dengan anggota DPRD yang memang lurus? Apakah dengan gaji Rp 5,7 juta sebulan, cukup bagi kami menjalankan tugas? Uang segitu harus kami bagi untuk partai, konstituen, dan lainnya," ujar Zakaria. PP No 37/2006 telah memicu protes. Di Palembang, mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Gerakan Rakyat Palembang berdemonstrasi menuntut dicabutnya PP No 37/2006. Mahasiswa melakukan aksinya di Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Mereka berharap anggota DPRD tidak memperkaya diri, sementara rakyat tetap miskin. Menurut koordinator aksi Anwar Sadat, PP itu adalah bentuk legitimasi korupsi. Di Sumsel, dampak dari diberikannya tunjangan untuk ketua dan anggota DPRD itu adalah cenderung berkurangnya alokasi dana APBD untuk kesejahteraan rakyat. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen berencana mengajukan peninjauan kembali atas PP No 37/2006. Ia mengatakan banyak daerah yang mengalami defisit anggaran. Jika berbagai permintaan tambahan tunjangan seperti yang diatur dalam PP itu dipenuhi, berapa banyak lagi anggaran belanja yang seharusnya digunakan untuk membangun masyarakat diserap. "Ini cara paling cepat untuk meningkatkan angka kemiskinan," tuturnya. Menanggapi kontroversi meluas itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita menyarankan PP No 37/2006 ditinjau kembali. Sementara dalam jumpa pers di Jakarta, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan mengelompokkan seluruh daerah-kecuali Provinsi DKI Jakarta-menjadi tiga kelompok. Pengelompokan itu berdasarkan kemampuan keuangan daerah. Hal itu dijelaskan Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sri Mulyani menjelaskan, kemampuan keuangan daerah yang dimaksud adalah jumlah pendapatan umum yang dihitung dari komponen pendapatan dari pendapatan asli daerah (PAD), dana bagi hasil, dan dana alokasi umum yang dikurangi dengan belanja pegawai. "Aturan klasifikasi itu perlu dibuat berdasar kemampuan keuangan daerah supaya besarnya anggaran DPRD lebih pantas dan wajar. Tetapi, Jakarta tidak termasuk karena nanti tidak adil buat daerah lain, PAD DKI Jakarta Rp 8,6 triliun, tidak tertandingi," kata Sri Mulyani. Ma'ruf mengatakan, pengelompokan daerah berdasarkan kemampuan keuangan daerah itu nanti dituangkan dalam Peraturan Mendagri tentang penjabaran pelaksanaan PP No 37/2006. Ia menekankan, APBD harus tetap mengedepankan kepentingan masyarakat. Karena itu, tunjangan DPRD harus untuk meningkatkan kinerja DPRD. Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Daeng Muhammad Nazier mengungkapkan, sebenarnya bila tahu diri dan peka dengan kemampuan daerahnya, anggota DPRD tidak menganggarkan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional dengan angka maksimal. Di Purbalingga, Senin lalu, pemerintah kabupaten mentransfer rapel kenaikan tunjangan tahun 2006 total senilai Rp 3,402 miliar lebih. "Pemkab Purbalingga telah mentransfer rapel kenaikan tunjangan atau penghasilan dan tunjangan komunikasi intensif bagi pimpinan DPRD ke rekening Bendahara DPRD," ujar Henny
[mediacare] Uang Tommy di Guernsey Diduga Hasil Korupsi
Uang Tommy di Guernsey Diduga Hasil Korupsi JAKARTA -- Kejaksaan Agung menduga dana milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang ada di Banque Nationale de Paris (BNP) and Paribas adalah dana hasil korupsi. Kejaksaan saat ini mengumpulkan bukti untuk mengajukan gugatan intervensi, yang akan diajukan dalam persidangan di Guernsey, negara persemakmuran Inggris, pada 22 Januari mendatang. "Gugatan itu untuk memastikan apakah ada perbuatan yang diklasifikasikan sebagai korupsi," ujar Direktur Perdata pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Yoseph Suardi Sabda saat dihubungi Tempo kemarin. Menurut Yoseph, indikasi korupsi itu bisa terlihat dari data Kementerian Badan Usaha dan Milik Negara serta Departemen Keuangan. Data itu, kata dia, untuk memastikan apakah Tommy masih memiliki utang atau tunggakan pajak. Data itu kemudian dicocokkan dengan jumlah dana yang dimiliki Tommy di BNP and Paribas. Yoseph mengatakan, jika terdapat kecocokan waktu dan jumlah antara data tunggakan pajak serta utang Tommy dan dana di BNP and Paribas yang dibuka pada 22 Juli 1998, dipastikan adanya indikasi korupsi. "Jika ada korupsi, kan bisa ketahuan dari tanggal Tommy membuka rekening," ujarnya. Kasus ini bermula dari gugatan Tommy terhadap BNP and Paribas. Tommy mempersoalkan pembatalan transfer 36 juta euro (atau sekitar Rp 400 miliar) ke sebuah perusahaan Garnet Investment Limited di Guernsey, yang sahamnya dimiliki Tommy. BNP enggan mencairkan dana karena Tommy tercatat memiliki masalah hukum di Indonesia. Yoseph mentargetkan upaya pencarian data dan informasi yang akan dibawa ke Inggris bisa selesai seminggu sebelum persidangan pada 22 Januari mendatang. Menurut dia, ada tiga alasan negara mengajukan gugatan intervensi, di antaranya, jika Tommy terlibat dugaan korupsi, uang tersebut bisa langsung dirampas negara. Lalu Tommy diduga memiliki utang negara kepada BUMN dan pemerintah. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yakin gugatan intervensi berhasil. "Kami harus yakin, meski pengadilan nanti yang memutuskan," ujar Abdul Rahman saat dihubungi. Menurut dia, intervensi dilakukan karena Tommy memiliki masalah hukum di kejaksaan. Kejaksaan akan menunjuk pengacara di Guernsey untuk bekerja sama dalam sidang gugatan intervensi. Yoseph menambahkan kejaksaan mengirimkan dua utusan untuk sidang perkara itu, yaitu dia sendiri dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya. "Tapi kami belum menerima surat tugas tertulisnya," katanya. Ia menambahkan pengacara yang mewakili Indonesia di sana sudah diatur Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar Indonesia di Inggris. Elza Syarief, pengacara Tommy, enggan mengomentari gugatan yang diajukan Tommy kepada BNP and Paribas. Dia mengaku tak mengetahui perkara hukum tersebut. Tommy sama sekali tak pernah berkonsultasi dengannya berkaitan dengan gugatan itu. "Dia tak pernah datang kepada saya berkaitan dengan kasus itu," ujarnya. RINI KUSTIANI | SUKMA LOPPIES | PRAMONO | SANDY INDRA PRATAMA Sumber: Koran Tempo - Kamis, 11 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Perampokan Sistemik Uang Rakyat
Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD Perampokan Sistemik Uang Rakyat [JAKARTA] Peraturan Pemerintah (PP) No 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD merupakan model perampokan sistemik uang rakyat. Untuk menyelamatkan uang rakyat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera merevisi PP, kata Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana kepada Pembaruan, Rabu (10/1). Pusat Kajian itu menyerukan, seluruh kepala daerah untuk tidak membayarkan semua tunjangan sebagaimana yang disebutkan dalam PP No 37 itu, apalagi mengingat kondisi rakyat Indonesia yang sedang dilanda banyak penderitaan. Denny mengatakan, komponen penghasilan pimpinan dan anggota DPRD dalam PP tersebut menunjukkan angka yang luar biasa besarnya. Selain karena besarnya uang tersebut, juga karena pada beberapa item tertentu diberlakukan surut mulai 1 Januari 2006. Di Yogyakarta, misalnya, seorang anggota DPRD provinsi dapat memperoleh tambahan pendapatan sekitar Rp 250 juta . Dalam beberapa data yang diperoleh di Provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan defisit anggaran akibat Pendapatan Asli Daerah (PAD) habis untuk tambahan penghasilan bagi DPRD. Jika diasumsikan secara kasar bahwa PP tersebut akan menambah penghasilan masing-masing anggota DPRD sebanyak 80 Juta, maka dengan jumlah sekitar 15.000 anggota DPRD di seluruh Indonesia, perlu Rp 1,2 triliun untuk membayarkan pendapatan yang diberlakukan surut melalui PP tersebut. Secara gamblang, PP itu dapat diindikasikan merupakan bagian dari strategi pemerintah pusat menghadapi tekanan partai politik. Tercatat, sejak terbentuknya DPRD hasil Pemilihan Umum 2004, PP No 37/2006 merupakan perubahan kedua atas PP No 24/2004. Sebelumnya, PP No 24/2004 telah diperbaiki dengan PP No 37/2005. Secara terpisah Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Asfinawati mengatakan, pemberlakuan PP 37 itu per Januari 2006 bertentangan dengan beberapa undang-undang (UU) di atasnya, yaitu UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Karena itu, dia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mencabut PP tersebut. Kepada kepala daerah juga diminta untuk tidak mengalokasikan anggaran ber-dasarkan ketentuan PP tersebut. Begitu pula Ketua Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia Sebastian Salang, Rabu, berpendapat, PP No 37 itu harus ditinjau ulang karena sangat berpotensi mengakibatkan proses pemiskinan rakyat. Asas Kepantasan Menanggapi kontroversi tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, perlu diatur asas kepantasan dan mengklasifikasi daerah berdasarkan kemampuan setempat untuk bisa melaksanakan ketentuan PP tersebut. Hal itu untuk menghindarkan daerah mengambil batas maksimal. Dia mencontohkan, PAD DKI Jakarta mencapai Rp 8,6 triliun, sedangkan di Irian Jaya Barat (Irjabar) hanya Rp 18 miliar. "Dengan demikian, mengakomodasi ukuran Jakarta untuk diterapkan di Irjabar, tentu tidak tepat," ujarnya. Menteri Keuangan menambahkan, bagi daerah yang kaya, dana operasional yang diterima oleh ketua DPRD maksimal enam kali dana representasi, serta wakil ketua empat kali. Adapun tunjangan komunikasi insentif ketua DPRD Rp 35,2 juta atau enam kali uang representasi, wakil ketua Rp 25,2 juta (4 kali representasi), sedangkan untuk anggota DPRD Rp 15,1 juta per bulan. Kemudian untuk daerah yang kemampuan daerahnya sedang, dana operasional yang diterima oleh ketua empat kali uang representasi dan wakil ketua 2,5 kali dana representasi. Sementara untuk tujangan komunikasi insentif, ketua mendapat Rp 26,2 juta dan anggota Rp 9,1 juta. Untuk daerah yang kemampuannya rendah, dana operasional yang diterima oleh ketua DPRD yakni maksimal dua kali dana representatif, wakil ketua 1,5 kali. Untuk tunjangan komunikasi ketua DPRD mendapat Rp 20 juta perbulan dan anggota Rp 6,1 juta. Sementara itu Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf menegaskan besarnya dana tunjangan komunikasi intensif dan operasional bagi pimpinan dan anggota DPRD di seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan pemerintah No 37/2006 harus disesuaikan dengan beban kerja pimpinan dan anggota DPRD, kemampuan keuangan daerah serta mempertimbangkan asas manfaat dan efisiensi APBD. [E-8/A-21/B-14/L-10] ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Anggaran Departemen Pertahanan Bocor Rp 100 Miliar
Anggaran Departemen Pertahanan Bocor Rp 100 Miliar JAKARTA -- Departemen Pertahanan mengaku berhasil menekan pemborosan dan kebocoran anggaran tahun lalu sebesar 40 persen dari sebelumnya. Pada 2005, kebocoran dana di Departemen Pertahanan mencapai Rp 225 miliar. "Tahun ini (bocor) Rp 100 miliar," kata Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin seusai rapat antara Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan pemimpin TNI di Jakarta kemarin. Sjafrie mengatakan Departemen Pertahanan menekan anggaran pengadaan dan pembangunan. Pada 2007, lembaga ini akan memprioritaskan pembelian alat tempur yang mendesak terkait dengan operasi pengamanan kedaulatan. Operasi ini dilakukan di wilayah perbatasan. Prioritas yang lain di antaranya pemberantasan pembalakan liar dan penangkapan ikan secara ilegal. Selain itu, kata Sjafrie, pemerintah memprioritaskan pembelian alat operasi kemanusiaan dan pembelian alat kesehatan bagi TNI. Rencana ini pun, kata dia, telah dicek secara ketat oleh Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan. Menteri Juwono dalam rapat itu mengatakan terus mencari perimbangan anggaran yang wajar antara kemampuan operasi, peningkatan profesionalisme prajurit, dan kesejahteraan prajurit. Sebab, kebutuhan minimal Departemen Pertahanan baru terpenuhi 48 persen saja. "Sebesar 50 persen kebutuhan anggaran baru terpenuhi antara lima dan sepuluh tahun," kata Juwono. Untuk tahun lalu, kata Juwono, Departemen Pertahanan mendapat anggaran Rp 28 triliun dari Rp 56 triliun yang dibutuhkan. Sedangkan untuk tahun ini, Departemen mendapat kucuran Rp 32 triliun dari Rp 62 triliun yang dibutuhkan. Dian Yuliastuti Sumber: Koran Tempo - Rabu, 10 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Tommy Dicurigai Money Laundering
Tommy Dicurigai Money Laundering BNP Paribas Tolak Cairkan Uang Rp 424,8 M JAKARTA - Tommy Soeharto terancam terseret kasus pencucian uang (money laundering). Sebab, alasan BNP Paribas di Guernsey, Inggris, menolak mencairkan simpanan Euro 36 juta (Rp 424,8 miliar) milik perusahaan Tommy, Garnet Investment Limited (GIL), karena duit tersebut diduga hasil pencucian uang. Tommy terhitung empat kali melayangkan surat permintaan resmi agar BNP Paribas mentransfer duit tersebut ke rekeningnya. Tetapi, BNP Paribas menolak mentah-mentah. "Bank (BNP Paribas) menganggap uang Anda (Tommy) mungkin terkait tindak pidana korupsi di Indonesia. Jadi, ini (semacam) praktik money laundering," kata Direktur Perdata pada JAM Perdata dan Tata Usaha (Datun) Yoseph Suardi Sabda di gedung Kejagung kemarin. Yoseph didampingi Kapuspenkum Salman Maryadi. Kecurigaan BNP Paribas beralasan. Maklum, Tommy menyimpan uang di sebuah pulau di antara perbatasan Prancis dan Inggris tersebut pada 22 Juli 1998 atau dua bulan usai Soeharto lengser dari kursi kepresidenan. Kala itu, Kejagung giat-giatnya membidik anggota keluarga Cendana dalam beberapa pemeriksaan kasus korupsi. Tommy ditetapkan tersangka korupsi tukar guling (ruilslag) Bulog-Goro Barata Sakti Rp 94 miliar pada 19 Februari 1999. Selain itu, Tommy mendirikan GIL di Tortola, British Virgin Island (BVI). Negara kecil di kawasan Karibia itu acapkali dimanfaatkan beberapa pihak untuk menempatkan dana agar terhindar dari tagihan pajak. Kasus pencucian uang dengan modus menyimpan uang ke bank luar negeri terjadi pada beberapa tokoh. Misalnya, mantan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe. Dia diduga melarikan uang USD 5 juta ke sebuah bank di Swiss. Neloe bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka. Adrian Waworuntu juga terseret dalam kasus pencucian uang terkait pembobolan Bank BNI Rp 1,3 triliun. Yoseph membeberkan, sejak ditempatkan 22 Juli 1998, Tommy mulai berkorespondensi untuk mencairkan uangnya di BNP Paribas pada 22 Oktober 2002 dan 12 November 2002. Tommy juga pernah memerintah BNP Paribas mengalihkan dana 47,5 ribu poundsterling dan USD 7.960 kepada pegawainya di GIL Peter Amy. "BNP Paribas justru menjawab agar Tommy memverifikasi uang yang didapat. Surat ini tak dijawab (Tommy)," kata Yoseph. Tommy pada 23 Februari 2003 kembali memerintah BNP Paribas mengosongkan simpanannya untuk dialihkan ke rekening dirinya di United Overseas Bank (UOB) Singapura. Lagi-lagi, bank berkantor pusat di Paris itu menolak menuruti perintah Tommy. "Puncaknya, Tommy menggugat BNP Paribas di Royal Court of Guernsey," jelasnya. Guernsey merupakan negara di wilayah Inggris yang punya kerajaan dan pemerintahan sendiri. Menurut Yoseph, dalam proses litigasi, pengadilan justru memerintah BNP Paribas menghubungi pemerintah RI, apakah punya klaim atas aset yang dipermasalahkan Tommy tersebut.(agm) Sumber: Jawapos - Rabu, 10 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Koordinasi Kurang, Koruptor Pun Melenggang
Koordinasi Kurang, Koruptor Pun Melenggang Berbulan-bulan sudah Kejaksaan Agung berburu koruptor. Sejak dirilis Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung dengan berbagai media menayangkan wajah-wajah koruptor. Harapannya, masyarakat membantu kejaksaan bila mereka menemukan para koruptor berkeliaran di sekitarnya. Sebanyak 14 nama koruptor dimasukkan dalam daftar buruan Kejaksaan Agung. Di samping 14 nama koruptor yang dilansir oleh Kejaksaan Agung, masih banyak nama koruptor lain yang juga melarikan diri. Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi Cecep Soepriatna Anwar, kaburnya para koruptor ke luar negeri karena kurangnya koordinasi di antara para aparat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang keimigrasian, ada tiga instansi yang berwenang menangkal seseorang, yaitu Kejaksaan Agung, Menteri Keuangan, dan Menteri Hukum dan HAM, terkait dengan problem imigrator. Salah satu contohnya adalah kaburnya mantan Komisaris Utama PT Bank Modern Tbk Samadikun Hartono ke luar negeri. Berdasarkan laporan Ditjen Imigrasi, kaburnya Samadikun Hartono karena ia mengantongi surat izin bepergian ke luar negeri yang dikeluarkan Jaksa Agung RI cq JAM Intel Nomor B-442/ D/Dsp.3/03/2003 27 Maret 2003. Samadikun Hartono diberi izin untuk mengecek penyakit yang dideritanya di Shonan Kamakura General Hospital Tokyo, Jepang. Padahal, 21 Maret 2003, Samadikun Hartono dicegah dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP 023/D/Dsp.3/03/2003. Akibatnya, tiga bulan Samadikun tidak pernah melapor ke Kejaksaan Agung RI. Kejaksaan Agung pun baru menanyakan kepada pihak imigrasi pada 23 Juli 2003 soal penggunaan izin berobat. Alhasil, pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang ketika itu hendak menangkap Samadikun ternyata gagal. Samadikun telah lebih dulu kabur berbekal surat izin Jaksa Agung. Kaburnya Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan pun menjadi bukti kecerobohan para aparat. Sudjiono Timan dicegah dengan Keputusan Jaksa Agung RI pada tanggal 28 Februari 2001. Namun uniknya, paspor atas nama Sudjiono Timan nomor N 333045 yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Selatan 4 Mei 2004 belum pernah dipergunakan Sudjiono. Saat pencarian Sudjiono dilakukan pasca-penolakan kasasi Sudjiono oleh MA, Dirjen Imigrasi pernah menginformasikan kepada Kejaksaan Agung RI bahwa Sudjiono berada di Batu Malang, Jawa Timur. Informasi ini diberikan oleh ipar Sudjiono. Informasi kembali diberikan saat Sudjiono ada di Kalimantan Selatan. Namun entah mengapa, informasi yang diberikan Ditjen Imigrasi tak kunjung ditindaklanjuti Kejaksaan Agung. Padahal, saat itu Sudjiono masih berada di wilayah Indonesia. Informasi terakhir, Sudjiono sering keluar masuk RRC, diduga menggunakan paspor negara-negara kecil, seperti Vanuatu, Fiji, Tonga. Belajar dari kaburnya para koruptor, ada baiknya semua pihak, termasuk Kejaksaan Agung, tak hanya belajar mencari buronan, melainkan juga belajar agar para koruptor tidak kabur ke luar negeri. Soalnya, kalau sudah lari, susah menangkapnya...! (Vincentia hanni) Sumber: Kompas - Selasa, 09 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Semoga Ujungnya Bukan Revitalisasi
Semoga Ujungnya Bukan Revitalisasi Seperti sudah menjadi pakem, setiap muncul sebuah persoalan yang menjadi perhatian luas masyarakat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk sebuah tim. Tentu saja, sebelum tim dibentuk, rangkaian rapat digelar. Nama tim lantas disesuaikan dengan persoalan yang hendak diuraikan dan diungkapkan secara benar. Oleh karena persoalan datang silih berganti, seperti sedang mengantre, Presiden tidak pernah kehabisan mencari nama tim yang kemudian dibentuknya. Terakhir, mendapati serentetan musibah transportasi yang memilukan, karena hingga kini belum juga tuntas, Presiden membentuk Tim Nasional untuk Evaluasi Transportasi. Hilangnya Kapal Motor Penumpang Senopati Nusantara dengan 628 penumpang dan awak serta pesawat AdamAir (96 penumpang dan enam awak) menggerakkan Presiden untuk memperbaiki manajemen pengelolaan transportasi yang menjadi urat nadi perekonomian. Semua persoalan bidang transportasi selama 10 tahun terakhir yang banyak menimbulkan persoalan, katanya, akan dilihat, diinvestigasi, dan dievaluasi. Beberapa hari sebelumnya, mendapati persoalan pelayanan makanan bagi jemaah haji di Arafah dan Mina, Arab Saudi, akhir Desember 2006, Presiden membentuk tim juga yang diberi nama Tim Investigasi dan Evaluasi Penyelenggaraan Haji Tahun 1427 Hijriah (2006). Mantan Menteri Agama di era Presiden Abdurrahman Wahid, KH Tolchah Hasan, diminta "turun gunung" menjadi ketua tim yang diberi waktu bertugas tiga minggu hingga satu bulan ini. "Untuk bangsa dan umat," ujar Presiden mengenai permintaannya kepada Tolchah untuk "turun gunung" memimpin tim yang dibentuknya melalui keputusan presiden di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat pekan lalu. Tim dengan tujuh anggota ini mulai bekerja dengan rapat terlebih dahulu dan juga berangkat ke Arab Saudi, Senin (8/1) siang. Tim akan berada di Arab Saudi (Mekkah dan Jeddah) selama dua minggu. Di Arab Saudi, tim akan bertemu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Urusan Haji Arab Saudi, meminta penjelasan, dan mencari data-data yang diperlukan. Untuk keperluan investigasi, tim akan bertemu dengan pihak ANA for Development and Enterprises yang bertanggung jawab melayani kebutuhan makan bagi sekitar 200.000 anggota jemaah haji Indonesia, tetapi tidak memenuhi tanggung jawabnya itu. Mengutip Presiden Yudhoyono saat mendampingi Tolchah memberi keterangan pers seusai diterima Presiden, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan, "Presiden akan menindak penyimpangan dan kelalaian sesuai ketentuan dan derajat kelalaian yang ditemukan." Kutipan Presiden itu seperti pakem yang rutin juga dikatakan juru bicara kepresidenan setelah sebuah tim dibentuk. Namun, apakah kemudian kehendak untuk menindak penyimpangan dan kelalaian hasil temuan sebuah tim dilakukan atau tidak, sejauh ini belum nyata adanya. Belum ada yang ditindak meski sejumlah penyimpangan terjadi. Masih hangat di ingatan masyarakat saat bagaimana semburan lumpur panas akibat operasi PT Lapindo Brantas (milik Bakrie Group) kian tak terkendali dan mengusir secara paksa rakyat tidak bersalah, yang lebih dahulu tinggal di sekitar lokasi semburan lumpur panas. Ketika itu, setelah rapat di Kantor Presiden, Presiden membentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo. Saat kini lumpur semakin tak terkendali dan mengusir semakin banyak rakyat yang tidak bersalah dan melumpuhkan sejumlah aktivitas ekonomi, tidak jelas juga apa hasil evaluasi tim ini. Hasil kerja aparat yang sejak awal diberi tugas secara khusus oleh Presiden untuk melakukan investigasi juga sama tidak jelasnya dengan penanganan semburan lumpur yang hingga kini tidak terkendali. Apa kabar Tim Munir? Sekadar menengok ke belakang, dari sekian banyak tim yang dibentuk, tim pertama bentukan Presiden adalah Tim Investigasi Kasus Munir atau lebih dikenal dengan Tim Pencari Fakta Kasus Munir yang diketuai Brigadir Jenderal (Pol) Marsudhi Hanafi. Tim dibentuk Presiden setelah mendapati desakan dan masukan sejumlah pihak yang prihatin dengan kematian Munir. Munir mati tidak wajar di dalam pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam. Dalam penjelasan tertulisnya ketika itu, Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda Indonesia Pujobroto mengatakan, Munir meninggal dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam via Singapura sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandar Udara Schiphol, Amsterdam, Belanda. Meskipun tim dibentuk, bahkan telah diperpanjang masa tugasnya, upaya mengungkap misteri pembunuhan aktivis hak asasi manusia ini tetap gelap dan tak jelas ujung pangkalnya hingga kini. Hasil temuan tim investigasi yang memberikan sejumlah laporan dan rekomendasi kepada Presiden Yudhoyono juga seperti misteri. Publik bahkan tidak diberi keterangan resmi. Menurut Andi, temuan dan rekomendasi tim Munir tidak diumumkan karena publik secara luas sudah mengetahuinya. Terhadap kasus Munir, yang menurut Presiden Yud
[mediacare] Terdakwa Korupsi APBD Bebas Murni
Terdakwa Korupsi APBD Bebas Murni Denpasar, Kompas - Wakil Ketua DPRD Bali Ida Bagus Gusti Suryatmaja Manuaba yang didakwa korupsi sekitar Rp 27 miliar ketika menjadi Ketua DPRD Badung periode 1999-2004 mendapat vonis bebas murni oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang diketuai Nyoman Gede Wirya, Senin (8/1). Suryatmaja langsung berlutut dan bersujud di depan majelis hakim sebelum ketua hakim mengetukkan palu. Majelis hakim yang sama juga memberikan vonis bebas murni kepada Ketua DPRD Denpasar yang terpilih dua kali (1999-2004 dan 2004-2009) Ketut Sukita. Ia didakwa korupsi APBD Denpasar periode 2000-2004 sekitar Rp 4,3 miliar dari total Rp 43 miliar. Sebelumnya, jaksa menuntut Suryatmaja dan Sukita dihukum penjara 18 bulan dengan denda masing-masing Rp 100 juta serta mengembalikan kerugian negara. Namun, majelis hakim berpendapat keduanya telah menjalankan mekanisme persetujuan anggaran sesuai peraturan yang berlaku. Selain itu, kewenangan pencairan anggaran tidak berada di tangan ketua DPRD. "Kami menilai keduanya tidak terbukti melakukan korupsi. Surat keputusan atas anggaran ditandatangani sesuai keputusan bersama sesama anggota DPRD ketika itu dan bukan atas nama pribadi," kata Gede Wirya seusai sidang. Putusan dalam persidangan terpisah itu disambut tepuk tangan dari puluhan pendukung yang memenuhi ruang sidang. Tampak hadir Wali Kota Denpasar AA Puspayoga. Sebaliknya, jaksa Putu Supartajaya menyatakan kecewa dan akan mengajukan kasasi atas putusan yang dinilainya tidak adil. "Onslag" Dalam persidangan yang berbeda tetapi masih di PN Denpasar, Ketua DPRD Bali periode 1999-2004 Ida Bagus Putu Wesnawa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Namun, karena seluruh bukti yang diajukan tim jaksa Kejaksaan Tinggi Bali itu dinilai tidak valid, Wesnawa yang kini kembali menjabat Ketua DPRD Bali periode 2004-2009 tersebut akhirnya dinyatakan onslag atau dilepaskan dari segala dakwaan pidana. Sebelumnya jaksa menuntut Wesnawa penjara 18 bulan. Terdakwa Wesnawa yang terlihat tegang sempat mengira dirinya diputus bebas. Dalam catatan Kompas, dari 42 mantan anggota DPRD se-Bali yang didakwa korupsi APBD, Made Arimbawa (mantan Ketua DPRD Tabanan, Sukita dan Suryatmaja mendapat putusan bebas murni. Adapun 37 orang lainnya mendapat vonis onslag dan dua lainnya dihukum 15 bulan dan 18 bulan. (ays) Sumber: Kompas - Selasa, 09 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Hati-Hati 10 Modus Operandi Pencucian Uang
Hati-Hati 10 Modus Operandi Pencucian Uang [5/1/07] Jumlah laporan transaksi mencurigakan yang berhasil dianalisis mengalami kenaikan. Tidak ketinggalan, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga bercermin di akhir tahun 2006 dan meramalkan kemajuan di tahun 2007. PPATK pada dasarnya hanya dapat menerima tiga jenis laporan: Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), dan Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT). Selama 2006, PPATK total menerima 6.776 LKTM, 1.968.180 LTKT, dan 1.432 LPUT. Sayangnya sampai akhir 2006, PPATK hanya sempat menganalisis 630 LTKM. Dari 630 itu hanya 430 yang disampaikan Kepolisian dan Kejaksaan. Walau demikian, jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya: 24 kasus pada 2003, 236 kasus pada 2004, dan 347 kasus pada 2005 (lihat tabel). Selain menganalisis ratusan kasus, sepanjang 2006 PPATK juga memperkuat basis kelembagaan. Misalnya dengan melakukan kerjasama dengan sejumlah PPATK negara lain, lembaga terkait di Indonesia semisal BPK dan BPKP. Terkait dengan perluasan kewenangan, saat ini draft RUU perubahan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah masuk ke DPR. PPATK mengklaim ke-430 kasus di atas masuk kategori tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan UU No. 15 Tahun 2002. Dalam evaluasi akhir tahunnya, PPATK meminta semua pihak untuk mewaspadai 10 modus pencucian uang yang diramalkan bakal tetap muncul. Bahkan kemungkinan modus operandi dan variasinya semakin bertambah. Tabel Jumlah Laporan yang Dianalisis PPATK Tahun 2006 Korupsi/Penggelapan 177 Penipuan 157 Kejahatan Perbankan 27 Pemalsuan Dokumen 19 Teroris 5 Penggelapan Pajak 4 Perjudian 3 Penyuapan 7 Narkotika 3 Pornografi Anak 1 Pemalsuan Uang Rupiah 4 Pencurian 1 Pembalakan 4 Tidak teridentifikasi/dll 18 T o t a l 430 Apa saja kesepuluh modus yang harus diwaspadai itu? Pertama, masyarakat harus sangat waspada jika terjadi pengalihan dana dari rekening giro instansi pemerintah ke rekening tabungan atas nama pribadi pejabat. Kedua, pihak bank khususnya juga harus teliti karena maraknya penggunaan identitas palsu untuk membuka rekening yang akan digunakan sebagai sarana penipuan. Selain itu, ketiga, pengawasan bank juga harus ditingkatkan pada rekening pejabat pemerintah berserta seluruh anggota keluarganya yang rentan sebagai sasaran penyuapan. Keempat, uang suap juga sering diberikan dalam bentuk barang. Walaupun barang tersebut dibeli atas nama si pejabat tapi sumber biayanya mungkin datang dari pihak lain. Kelima, pembukaan beberapa rekening atas nama orang lain juga merupakan modus operandi yang biasa dilakukan pelaku illegal logging untuk menutupi identitasnya. Keenam, jasa asuransi pun mulai sering digunakan sebagai modus operandi pencucian uang. Biasanya pelaku akan membeli polis asuransi jiwa dengan premi tinggi yang langsung dibayarkan pada saat penutupan polis tersebut. Selang beberapa waktu, polis akan dibatalkan, dan premi yang dibayarkan akan dikembalikan walaupun dikurangi denda. Ketujuh, perusahaan bermodal kecil juga dapat digunakan sebagai pemilik polis asuransi yang berpremi besar untuk menutupi identitas asli pelaku pencucian uang. Kedelapan, transfer uang dari luar negeri juga harus dicurigai karena besar kemungkinan dana tersebut adalah hasil perbuatan melawan hukum yang dikembalikan setelah diungsikan ke luar negeri. Kesembilan, restitusi pajak besar yang tidak sesuai dengan profil perusahaan pembayar pajak juga da[at dicurigai sebagai upaya pencucian uang. Terakhir, kesepuluh, populer disebut dengan istilah mark up, yaitu pencantuman anggaran yang jauh lebih besar dari pada biaya yang sebenarnya diperlukan. PPATK mencatat sampai penghujung 2006 baru tujuh kasus money laundering yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap yang diputus. Ada juga kasus bernuansa pencucian uang tetapi divonis dengan undang-undang lain seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini diharapkan akan menjadi lebih baik pada 2007 karena pembahasan RUU pengganti UU No. 25 tahun 2003 sudah menjadi jadwal DPR awal 2007. Dari UU baru itu PPATK mengharapkan bentuk lembaga PPATK yang jauh lebih solid dengan pegawai tetap dan kantor sendiri. Dengan kesolidan tersebut, PPATK dapat menyelenggarakan pengelolaan yang baik demi peningkatan kinerjanya ditahun-tahun mendatang. Sumber: Hukumonline ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Kejagung Sewa Pengacara Inggris
Kejagung Sewa Pengacara Inggris JAKARTA - Kejaksaan Agung serius dalam merebut aset-aset Tommy Soeharto di London, Inggris, yang diklaim telah menjadi hak pemerintah. Kejagung menyewa pengacara Inggris untuk memenangi proses pengadilan perkara yang menyangkut sengketa harta Tommy itu. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan, kejaksaan menggunakan jasa pengacara lokal untuk mengikuti ketentuan hukum acara di Inggris. "Sesuai ketentuan, kejaksaan tidak dapat turun mengikuti persidangan. Dengan demikian, kami pakai lawyer di sana," kata Arman -Abdul Rahman Saleh- saat dihubungi koran ini kemarin. Arman menolak ketika diminta menyebut nama pengacara sewaan kejaksaan itu. Sebab, saat ini tengah dilakukan negosiasi honorarium selama beperkara mewakili pemerintah Indonesia dalam sidang. Berapa honorarium yang disediakan kejaksaan? Arman juga tidak menyebutkan. "Saya nggak bisa ungkap nilainya. Itu nanti saja," jawab pejabat kelahiran Pekalongan tersebut. Yang pasti, kata Arman, penunjukan pengacara dijajaki sejak akhir 2006. Saat itu, kejaksaan memilih salah seorang pengacara yang dapat diandalkan dalam litigasi kasus perusahaan milik Tommy dengan bank swasta di Inggris. Menurut Arman, kejaksaan memutuskan ikut menjadi pihak yang beperkara setelah pengadilan setempat menanyakan apakah pemerintah Indonesia punya kepentingan dalam perkara tersebut. "Setelah kami kaji, ternyata memang punya," aku Arman. Keputusan tersebut juga telah dibicarakan dengan beberapa pihak, termasuk menteri keuangan. Pemerintah diduga kuat punya kepentingan, yakni bahwa aset yang diperkarakan Tommy secara perdata tersebut merupakan aset negara. Secara terpisah, Elza Syarief, pengacara Tommy, mengaku tidak menangani perkara di London yang sedang dipermasalahkan kejaksaan. Dia menduga, Tommy menyewa pengacara di London untuk litigasi tersebut. "Saya tidak menangani. Kalaupun pakai (pengacara), harus menggunakan lawyer dari sana (Inggris). Tidak bisa dari dalam. Begitu juga sebaliknya; kalau ada orang asing beperkara di Indonesia, maka harus pakai lawyer dari sini (Indonesia)," kata Elza. Ditanya siapa lawyer yang dipercaya Tommy, pengacara berkaca mata itu mengaku belum tahu. Sumber koran ini menyebutkan, Tommy menyewa lawyer asing yang berpraktik di London. Putra bungsu mantan Presiden Soeharto itu tentu tidak perlu bertatap muka dengan lawyer tersebut. Seperti lazimnya, Tommy bakal menggunakan jasa lawyer di Indonesia untuk berkorespondensi dengan lawyer di London. Sayang, hingga kemarin, tidak satu pun pengacara yang mengaku diminta Tommy untuk berkorespondensi dengan lawyer di London, termasuk Elza dan O.C. Kaligis. Sebelumnya, jaksa agung mengatakan, kejaksaan mengintervensi sebuah perkara perdata yang melibatkan Tommy di London. Arman saat itu hanya menyebut perkara tersebut terkait dengan aset yang nilainya cukup besar. Dubes Indonesia untuk Inggris, Marty Natalegawa, membenarkan telah menginformasikan perkara tersebut kepada kejaksaan. Sebelum melibatkan pemerintah Indonesia, pihak yang beperkara adalah entitas perusahaan milik Tommy dan sebuah bank di Inggris. Keluarga Cendana -bisa jadi termasuk Tommy diyakini punya aset properti berupa rumah mewah di London. Tak diketahui, apakah aset tersebut yang sedang dipermasalahkan di pengadilan. Yang jelas, pada 16 Maret 1999, keluarga Cendana memang menjual aset properti di London senilai 11 juta poundsterling atau setara Rp 193,6 miliar (1 poundsterling = Rp 17.600). Kala itu, berita soal tersebut menarik perhatian publik Inggris setelah dimuat di koran The Independent. (agm) Sumber: Jawapos - Senin, 08 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Buron Kejaksaan Banten Dikejar ke Rumah Istri Muda
Buron Kejaksaan Banten Dikejar ke Rumah Istri Muda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan permohonan tahanan luar. Serang -- Kejaksaan Tinggi Banten terus mengejar tersangka korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Banten 2003, Marjuki Raili, sampai ke rumah istri mudanya di sebuah tempat di Serang. Politikus PDI Perjuangan ini merupakan satu dari 14 tersangka yang kabur saat akan ditahan pada Kamis pekan lalu. Untuk mengintensifkan pengejaran, Kejaksaan Tinggi Banten meminta bantuan Kepolisian Daerah Banten. Permintaan setelah pengejaran selama empat hari belum membuahkan hasil. Lokasi pencarian akan difokuskan pada tempat-tempat yang biasa disinggahi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten ini. Sebelum mendatangi rumah istri muda Marjuki, tim gabungan kejaksaan sudah mendatangi rumah pribadi Marjuki di Sepatan, Tangerang. Tim hanya diterima istri tua Marjuki. "Istrinya bilang sudah sepekan suaminya tidak pulang," kata Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Banten I Gede Sidiatmadja di Serang kemarin. Menanggapi status buron terhadap Marjuki, Sekretaris PDI Perjuangan Daerah Banten Ananta Wahana mengatakan partainya akan mengajukan permohonan tahanan luar. Permohonan ini juga diajukan untuk Riril Suhartinah dan Iwan Rosadi, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Banten. Menurut Ananta, permohonan ini diajukan karena tiga tersangka tersebut masih berstatus aktif sebagai anggota DPRD Banten. Tenaga mereka dibutuhkan untuk membahas kebijakan di Dewan. "Dibutuhkan kebijaksanaan agar ketiganya tetap bekerja meskipun kasus ini harus dilanjutkan," katanya. Permohonan ini langsung ditolak Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Banten Babul Choir. Jika permohonan ini dikabulkan, kejaksaan khawatir mereka bisa kabur. Dia menyodorkan contoh kaburnya Marjuki Raili, yang sampai sekarang belum bisa dibekuk. "Jika mereka menjamin tidak kabur, buktinya salah satu tersangka kabur," katanya. Kejaksaan Tinggi Banten menetapkan 14 anggota dan mantan anggota DPRD Banten dalam kasus penyelewengan anggaran sebesar Rp 14 miliar pada 2003. Sebanyak 13 orang ditahan sejak Kamis pekan lalu. Mereka antara lain Udin Janahudin, M. Muchlis, Robert Wihardja, Iwan Rosadi, Riril Suhartinah, Jhon R. Maulana, Achdi Samiani, Zaenal Novani, Efendi Yusuf, Aap Aptadi, Achmad Malik Komet, Damhir Tampubolon. dan Rudi Korwa. Sedangkan Marjuki Raili tidak ditahan karena kabur. Penahanan para wakil rakyat Banten ini terkait dengan tertangkapnya mantan Ketua DPRD Banten dan anggota DPR, Dharmono K. Lawi, di rumah salah satu kerabatnya di Bandung pada akhir tahun lalu. Politikus PDI Perjuangan itu menjadi buron Kejaksaan Tinggi Banten dan Kejaksaan Agung selama sembilan bulan sejak April 2006. Setelah ditangkap, Dharmono meminta Kejaksaan Tinggi Banten memeriksa 14 wakil rakyat yang ikut menikmati dana bantuan pembelian rumah dan bantuan penunjang kegiatan Dewan. Kejaksaan akhirnya menetapkan mereka sebagai tersangka kasus korupsi anggaran daerah 2003. Faidil Akbar Sumber: Koran Tempo - Senin, 08 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] DPR Keberatan Disebut Lembaga Terkorup
DPR Keberatan Disebut Lembaga Terkorup Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan keberatan terhadap hasil survei Transparency International Indonesia yang menilai DPR sebagai lembaga terkorup. Dewan menilai survei itu tidak akurat karena berdasar pada persepsi soal korupsi, sampel yang sangat sedikit, dan parameternya tak jelas. Keberatan itu disampaikan Ketua DPR Agung Laksono, Wakil Ketua Badan Kehormatan Gayus Lumbuun dan Tiurlan Hutagaol, serta Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsuddin saat menerima Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis di Gedung DPR, Kamis (4/1). "DPR yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi kok bisa disebut lembaga terkorup. Ini ironis," kata Agung. Gayus juga mempersoalkan metodologi survei TII yang berdasar pada persepsi korupsi yang sangat jauh berbeda dengan pengertian korupsi dalam hukum sehingga mengaburkan pemahaman. "TII memojokkan DPR tanpa dasar," ujarnya. Menurut dia, anggaran yang dikelola DPR hanya 0,3 persen dari APBN. " Bagaimana mungkin bisa dikatakan sebagai lembaga terkorup. Seharusnya DPR pun diperbandingkan dengan eksekutif secara keseluruhan, termasuk dengan Istana," kata Gayus. Azis juga mempertanyakan parameter survei. TII melakukan perbandingan dengan negara lain. Padahal, metode survei yang dilakukan di Indonesia berbeda dengan yang dilakukan di negara lain. Penelitian di Indonesia dilakukan dengan wawancara tatap muka, sedangkan di negara lain melalui telepon. Sampel pun hanya dilakukan di tiga kota, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Bandung, dengan total 1.000 responden. Agung berharap di masa mendatang TII dapat memperbaiki metodenya. Penelitian pun diharapkan disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Todung terima kritik Mendapat serangan keberatan itu, Todung Mulya Lubis mengakui kelemahan dari hasil survei yang berdasarkan persepsi. Apabila ditanya tentang data-data korupsi, TII pun tidak bisa menunjukkannya. Karena itu, dia pun menerima berbagai kritikan DPR. "Survei semacam ini memang tak bisa memotret secara keseluruhan. Kami siap menerima kritik," ucapnya. Namun, menurut Todung, persepsi masyarakat itu tidak bisa dihindari. Persepsi masyarakat itu terbentuk karena DPR banyak berperilaku koruptif. "DPR memang tidak 'basah' dengan uang, tetapi publik menilai cukup banyak politik uang, misalnya amplop pembahasan Undang-Undang Aceh. Saat memanggil direksi-direksi BUMN juga ada kemungkinan permainan uang," kata Todung. Hasir survei TII menunjukkan legislatif, polisi, dan sistem hukum/peradilan sebagai lembaga terkorup. Sistem peradilan termasuk di dalamnya adalah kejaksaan. Dalam persepsi masyarakat, ketiganya dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Peringkat tersebut dibuat dalam skala 1 sampai 5. Skala 1 adalah paling bersih, sedangkan skala 5 paling korup. Dalam survei ini korupsi didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan secara berlebihan yang dilakukan oleh pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Keuntungan pribadi yang dimaksud mencakup aspek material atau keuntungan lain. (sut) Sumber: Kompas - Jumat, 05 Januari 2007 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Catatan Akhir Tahun 2006 Masyarakat Transparansi Indonesia
Catatan Akhir Tahun 2006 Masyarakat Transparansi Indonesia http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatberita&id=2653 Jadikan Pemberantasan Korupsi Investasi Bangsa ! "Di antara berbagai kemajuan dalam pemberantasan korupsi, MTI menyayangkan masih munculnya pertentangan kepentingan antar lembaga dan pernyataan para pemimpin bangsa yang dapat merusak optimisme publik. Pemberantasan korupsi haruslah menjadi investasi bangsa, dimana manfaatnya akan terasa dalam jangka panjang. Kehati-hatian dalam menjalankan program-program pembangunan, tidak selayaknya ditafsirkan sebagai ketakutan, melainkan merupakan sikap yang bertanggungjawab sebagai dampak positif dari kemajuan upaya pemberantasan korupsi." Di penghujung tahun 2006 kita dapat menyaksikan peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia yang cukup meriah. Peringatan dilaksanakan di Jakarta dan beberapa daerah secara serentak. Berbagai elemen masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Tidak kurang Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut serta mengerahkan massa turun ke jalan untuk memeriahkannya. Berbagai atribut antikorupsi turut meramaikan acara dan dibagikan kepada masyarakat. Namun, dibalik kemeriahan peringatan tersebut ada plus minus upaya pemberantasan korupsi pada tahun 2006 yang patut kita catat; 1. Capaian positif tahun 2006 dimulai dari daerah. Hingga saat ini sudah tercatat sekitar 29 daerah yang telah menerapkan sistem birokrasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Beberapa daerah yang berhasil menerapkannya adalah Jembrana, Banten, Sragen, Gorontalo, Mataram, Probolinggo, Wandama, Samarinda, Klungkung, dan masih banyak lagi daerah yang mengikuti jejak daerah tersebut. Umumnya sektor yang diambil adalah pelayanan publik, terutama dalam hal perijinan. Hasilnya, daerah-daerah tersebut mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance dan membangun kepercayaan serta menarik banyak investor untuk melahirkan dunia usaha yang kompetitif dan sehat. 2. Capaian lainnya adalah diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 yang dapat memperkuat dasar hukum pemberantasan korupsi. Capaian lain, muncul wacana dibentuknya Komisi Remunerasi Nasional untuk menjawab permasalahan korupsi yang diidentifikasi dari rendahnya sistem remunerasi pegawai negeri. Di bidang kelembagaan, kelahiran UKP3R yang cukup kontroversial berpotensi mengembalikan arah proses reformasi, terutama reformasi birokrasi yang masih jalan di tempat. Di bidang penanganan kasus, ditetapkannya beberapa pejabat dan mantan pejabat sebagai tersangka dan terpidana korupsi; mantan pejabat KPU, mantan menteri, gubernur, beberapa bupati dan beberapa anggota DPRD. 3. Sayangnya, tahun 2006 juga diramaikan perseteruan antar lembaga penegak hukum. KY berseteru dengan MA, KY berseteru dengan MK, MK berseteru dengan KPK, MK berseteru dengan DPR, Kejaksaan berseteru dengan Kepolisian. Penyebab perseteruan adalah adanya ketidaksepahaman dalam menginterpretasikan UU yang mendukung pemberantasan korupsi. Pemicunya adalah dikabulkannya judicial review UU yang mendukung pemberantasan korupsi oleh MK. Pemicu lainnya adalah munculnya egoisme kelembagaan. Akibatnya, lembaga-lembaga penegak hukum kewenangannya semakin lemah yang akhirnya upaya pemberantasan korupsi menjadi terhambat. 4. Perlawanan terhadap pemberantasan korupsi di birokrasi muncul dengan adanya keinginan membentuk Instruksi Presiden (Inpres) perlindungan pejabat. Draft dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri) ini berisi mekanisme dalam penanganan indikasi korupsi di birokrasi. Proses yang rumit dan banyaknya tahapan yang harus dilalui untuk sampai pada penegakan hukum akan berpotensi menciptakan peluang terjadinya praktek korupsi baru dan melindungi pejabat-pejabat korup dari jeratan hukum. Perlindungan terhadap korps politik juga dilakukan oleh DPR untuk melindungi anggota DPRD melalui rekomendasi politiknya. Hal ini terkait dengan semakin banyaknya anggota DPRD yang menjadi tersangka dan terpidana korupsi. 5. Ketika lembaga negara di tingkat pusat sibuk berdebat dan menyusun rencana, beberapa provinsi, kabupaten dan Kota telah melakukan tindakan nyata dalam menjadikan daerahnya sebagai daerah yang governance. Program-program pelayanan satu atap, pengelolaan daerah yang transparan, pendidikan gratis, dan pelayanan kesehatan gratis merupakan program-program nyata yang dapat menjadi investasi bagi kemakmuran daerah. 6. Good governance di tingkat daerah dapat terlaksana bukan melalui peraturan yang bertele-tele dan perencanaan yang sulit, tetapi melalui keteladanan dan adanya pemimpin yang berani melakukan terobosan. Untuk dapat berlari jauh, kita harus mulai dari satu langkah. Itulah tindakan nyata yang dilakukan oleh para gubernur, bupati dan walikota yang berhasil membangun daerah dan menyejahterakan rakyatnya. Pimpinan atau pejabat di
[mediacare] "Jangan-Jangan Uang Gue Hasil Korupsi Babe"
"Jangan-Jangan Uang Gue Hasil Korupsi Babe" Jika hari ini atau besok Anda berjalan-jalan ke Plaza Semanggi atau Cilandak Town Square, Jakarta, mungkin akan menemukan counter khusus kedua tempat itu. Disebut khusus karena yang disajikan di counter itu adalah pemahaman tentang korupsi dan aktivitas Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan ukuran 2 x 3 meter, kehadiran counter milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu memang tak terlalu mencolok. Dari jauh, penanda counter yang berdiri dari 29-31 Desember dan dimaksudkan sebagai rangkaian penutup kampanye antikorupsi oleh KPK itu hanya papan bertuliskan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, jika sudah dekat, baru terlihat bedanya. Di dalam bilik pameran antikorupsi ini terpajang sejumlah foto kegiatan KPK, permainan kuis, dan podium tempat masyarakat memberi kritik dan saran hingga buku saku berjudul Pahami Dulu, Baru Lawan! yang dibagi gratis. "Baik juga sih idenya. Sebab, dengan begini, gue jadi lebih ngerti apa itu korupsi," kata Wawan, pengunjung bilik KPK di Plaza Semanggi, sambil mengamati buku korupsi setebal 66 halaman yang baru diterimanya. Sementara itu, Mita, pengunjung lain, segera menulis pesan di kertas yang telah disediakan, "Setelah dijajah bangsa lain, kemudian dijajah bangsa sendiri. Ha.. ha, benar-benar nggak lucu. Mari berantas bersama." Mengapa pesannya begitu? "Soalnya korupsi itu ngeri banget dan belum ditangani serius. Padahal bisa menghancurkan bangsa," jawab mahasiswa perguruan tinggi swasta di Bandung itu. Ditanya bukankah pemerintah sudah membuat sejumlah lembaga pemberantas korupsi seperti KPK, Mita menjawab, "Saya belum tahu banyak soal KPK. Namun, meski banyak lembaga, sepertinya korupsi jalan terus. Soalnya pemerintah juga sering ikut korupsi." Antartika, pengunjung lain, tampak lebih tahu apa itu KPK. Dia terlihat senang ketika kemarin dapat bertemu Ketua KPK Taufiequrachman Ruki di counter KPK di Plaza Semanggi. "Pak, saya lihat KPK sudah bekerja. Namun, mengapa kasus-kasus yang ditangani KPK hukumannya ringan-ringan?" tanya Antartika. "Hukuman itu wewenang hakim. KPK hanya bertugas dari penyelidikan sampai membawa tersangka korupsi ke pengadilan," jawab Ruki. Ruki menuturkan, Plaza Semanggi dan Cilandak Town Square dipilih sebagai tempat kampanye KPK karena kedua tempat itu padat pengunjung. "Yang datang rata-rata kelas menengah ke atas. Jadi, sekalian mengingatkan, jangan-jangan uang gue yang dibelanjakan di sini hasil korupsi babe," katanya. Korupsi tak cukup ditangani dengan menindak pelakunya, tetapi juga harus diiringi dengan memberi pemahaman sekaligus menyosialisasikan budaya antikorupsi ke masyarakat. Namun, keberadaan bilik KPK yang nyaris tenggelam oleh keramaian mal itu seolah menandakan kampanye korupsi di negeri ini juga ditenggelamkan isu lain. (M Hernowo) Sumber: Kompas - Sabtu, 30 Desember 2006 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Pemerintah Tidak Akan Buat Aturan Pengadilan Korupsi
Pemerintah Tidak Akan Buat Aturan Pengadilan Korupsi "Presiden meminta tidak sembarangan membuat undang-undang." JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menegaskan pemerintah tidak akan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi. "Kami tidak merencanakan perpu, itu pasti," ujarnya seusai rapat kabinet di kantor presiden di Jakarta kemarin. Menurut dia, pemerintah tidak melihat urgensi untuk membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, karena masa peralihan yang hanya tiga tahun. "Makanya kita harus segera membuat undang-undang tindak pidana korupsi. Kalau sampai 3 tahun tidak ada, bisa bubar," ujarnya. Yang pasti, kata Hamid, pemerintah akan memprioritaskan pembuatan undang-undang yang ada kaitannya dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Selasa lalu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengamanatkan agar dalam jangka waktu tiga tahun sejak putusan dibacakan pada 19 Desember 2006, dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur pengadilan khusus korupsi. Menurut Mahkamah Konstitusi, pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 53 UU Komisi Pemberantasan Korupsi itu dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 24-A ayat 5, serta Pasal 28-D ayat 1 UUD 1945 karena menunjukkan standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi melalui kedua mekanisme pengadilan yang berbeda. Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah, termasuk Presiden, belum mengambil sikap atas putusan ini. "Presiden meminta saya menelaah masalah ini. Saya sudah membaca putusannya kemarin," katanya. Yusril menjelaskan UU Komisi Pemberantasan Korupsi lahir sebagai langkah sementara untuk mengatasi kesulitan penegakan pemberantasan korupsi dengan menggunakan cara-cara yang luar biasa. Selama ini, ujar dia, pemerintah dan Mahkamah Konstitusi sama-sama memikirkan landasan hukum dualisme itu. Misalnya, kata Yusril, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara korupsi dengan nilai 1 miliar lebih 1 rupiah, sementara kejaksaan menangani nilai 1 miliar. Tapi, setelah amendemen UUD 45, kata dia, timbul satu persoalan baru di bidang hukum. Menurut Yusril, pembatalan Pasal 53 UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru berlaku 3 tahun bisa menimbulkan persoalan baru yang tidak pernah terjadi dalam praktek hukum di Indonesia, terutama perasaan keadilan seseorang. "Kalau mau dibatalkan, ya, dibatalkan saja," ujarnya. Menurut Yusril, pemerintah pernah berusaha membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan membatasi obyek hanya pada undang-undang setelah amendemen UUD 1945. Namun, undang-undang Mahkamah Konstitusi itu dibatalkan sendiri oleh mereka. "Jadi dilema, masalah yang tidak berujung," ujarnya. Yang jelas, Yusril menolak jika peraturan pemerintah pengganti undang-undang dianggap sebagai jalan keluar, meski peraturan itu bisa tidak menjadi obyek Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, peraturan pemerintah pengganti undang-undang hanya sekadar bentuk hukum. "Yang mau diatur itu apa, itu dulu," katanya. Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan Presiden masih mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi ini. Namun, kata Andi, Presiden meminta tidak sembarangan dalam membuat suatu undang-undang. BADRIAH | OKTAMANDJAYA Sumber: Koran Tempo - Jumat, 22 Desember 2006 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Pengadilan Korupsi Terancam Mati
Pengadilan Korupsi Terancam Mati Usianya ditentukan tiga tahun lagi. JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi memutuskan nasib Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan ditentukan tiga tahun lagi. Jika dalam tiga tahun pengadilan itu tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, pengadilan khusus korupsi akan dinyatakan tidak lagi mempunyai hukum mengikat alias bisa dibubarkan. "Pasal 53 tentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan Pasal 24 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum di Mahkamah Konstitusi kemarin. Kendati pasal 53 itu dinyatakan bertentangan, Mahkamah mengatakan pengadilan korupsi masih bisa memutuskan perkara hasil penyidikan KPK dalam tiga tahun ke depan. Sebab, kata Jimly, jika pasal tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, pemeriksaan KPK dan pengadilan korupsi bisa terhambat karena kehilangan dasar hukum. "Proses pemberantasan korupsi bisa kacau dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki konstitusi," ujarnya. Permohonan hak uji terhadap Undang-Undang KPK diajukan terpidana kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W. Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, serta beberapa anggota KPU lainnya. Mereka menganggap beberapa pasal dalam Undang-Undang KPK melanggar hak konstitusional sebagai warga negara. Mulyana, misalnya, mempersoalkan wewenang penyadapan oleh Komisi. Nazaruddin dan anggota KPU lainnya mempersoalkan pengadilan korupsi, yang dianggap menjadi bagian dari KPK karena dibentuk berdasarkan Undang-Undang KPK. Mahkamah menilai pasal 53 menimbulkan standar ganda dalam sistem peradilan, yakni peradilan umum dan peradilan khusus korupsi. Menurut Mahkamah, pengadilan korupsi memiliki kekhususan soal susunan majelis hakim, yakni dua hakim berasal dari pengadilan umum dan tiga hakim ad hoc. "Pasal 53 melahirkan dua lembaga karena bisa menghasilkan putusan yang berbeda," ujar Maruarar Siahaan, salah satu hakim konstitusi. Putusan itu tidak diambil secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi. H M. Laica Marzuki, salah satu hakim, berbeda pendapat soal masa tiga tahun keberadaan pengadilan korupsi. Sebab, kata dia, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat sejak diucapkan. "Pasal 53, yang bertentangan dengan konstitusi, sudah tidak lagi mempunyai hukum mengikat sejak diputus," ujarnya. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan menghormati putusan ini. "Tidak ada yang menang atau kalah. Di sini soalnya adalah menguji undang-undang," katanya seusai sidang. Tumpak yakin pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera merespons pembentukan Undang-Undang Pengadilan Antikorupsi karena mereka punya komitmen memberantas korupsi. "Tidak sampai tiga tahun, diharapkan dalam enam bulan atau satu tahun sudah selesai," ujarnya. M. Assegaf, kuasa hukum Nazaruddin, mengatakan Mahkamah melakukan pelanggaran. Menurut dia, putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat sejak diucapkan. "Hakim Laica sudah tepat," tuturnya. Mulyana sendiri, melalui pesan pendek yang dikirimkan kepada Tempo, mengatakan, meski putusan Mahkamah memperlihatkan "kearifan politik" karena pembatalan pasal 53 baru efektif tiga tahun ke depan, isi putusan itu bertentangan karena putusan Mahkamah berkekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan. "Jadi janggal kasus-kasus korupsi diadili oleh pengadilan yang sudah dinyatakan inkonstitusional," ujarnya. Di tempat terpisah, Ketua DPR Agung Laksono meminta pemimpin Komisi Hukum DPR segera mengagendakan pertemuan khusus dengan Mahkamah Konstitusi. Pertemuan itu dilakukan untuk menindaklanjuti putusan hak uji tentang keberadaan pengadilan korupsi. Agung menyarankan pertemuan itu juga membahas beberapa putusan Mahkamah yang membatalkan atau mengoreksi beberapa produk DPR. "Sehingga ke depan bisa ditentukan bagaimana sebaiknya," kata Agung. Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif mengatakan pembahasan pembuatan Undang-Undang Pengadilan Antikorupsi akan menjadi agenda pada masa sidang 2007. SUKMA LOPPIES | ERWIN DARIYANTO | IMRON ROSYID Sumber: Koran Tempo - Rabu, 20 Desember 2006 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Putusan Sidang MK tentang Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD 1945.
Putusan Sidang MK tentang Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD 1945. http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=2615 www.transparansi.or.id - Pada Selasa, 19 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi RI mengeluarkan Putusan dengan Nomor Perkara 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945. Putusan MK ini diambil berkaitan dengan pemohon Drs. Mulyana Wirakusumah; Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin; Prof. Dr. Ramlan Surbakti, M.A.; Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira; Drs. Daan Dimara, M.A.; Dr. Chusnul Mar'iyah; Dr. Valina Singka Subekti, M.A.; Safder Yusacc, S.Sos., M.Si.; Drs. Hamdani Amin, M.So. Selengkapnya Putusan MK dengan Nomor Perkara 012-016-019/PUU-IV/2006 klik: http://www.transparansi.or.id/database/peraturan/putusan_sidang_Putusan012-016-019PUUIV2006ttgKPKtgl20122006.pdf ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/
[mediacare] Buron Kejaksaan Masih Terima Gaji dari DPR
Buron Kejaksaan Masih Terima Gaji dari DPR Gaji bulanan jadi bekal hidup selama dalam pelarian. JAKARTA - Anggota DPR yang menjadi buron Kejaksaan Tinggi Banten dan Kejaksaan Agung, Dharmono K. Lawi, masih menerima gaji, uang kehormatan, dan dana komunikasi Rp 29 juta setiap bulan dari DPR. Uang itu ditransfer ke rekening terpidana 4 tahun 6 bulan penjara itu seperti pembayaran gaji anggota Dewan yang lain. "Selama statusnya masih anggota, otomatis gaji akan ditransfer ke rekeningnya," kata Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal di Jakarta kemarin. Pembayaran gaji dihentikan jika Fraksi PDI Perjuangan dan kepolisian memintanya serta ada surat keputusan presiden bahwa yang bersangkutan sudah berhenti. Namun, selama dalam pelarian, terpidana kasus korupsi dana perumahan dan penunjang kegiatan DPRD Banten Rp 14 miliar itu tidak lagi menerima uang di luar gaji, terutama dana yang membutuhkan tanda tangan untuk mengambilnya, seperti uang reses atau kunjungan kerja komisi. Faisal mengatakan gaji yang telanjur ditransfer ke rekening bisa diminta kembali jika uang itu dibayarkan setelah keputusan presiden keluar. Jumlah dana yang harus dikembalikan dihitung berdasarkan tanggal pemberhentian yang tertera dalam keputusan presiden. Dharmono menjadi buron sejak April 2006. Selain menerima gaji, dia bersama terpidana lain dalam kasus ini, Mufrodi Muchsin, mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. "Berkas dari Pengadilan Negeri Serang kami terima minggu lalu," kata Kepala Seksi Registrasi Direktorat Pidana Mahkamah Agung Lauris Souvana. Tapi upaya ini tak bisa diproses karena cacat administrasi. Lauris menyatakan bingung karena seorang buron bisa mengajukan peninjauan kembali. Sebab, pemeriksaan permohonan peninjauan kembali di tingkat pengadilan negeri biasanya harus dihadiri terdakwa. "Apakah dia hadir dalam sidang di Pengadilan Negeri Serang?" Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Suhaemi meminta Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan pembayaran gaji Dharmono. Pembayaran gaji dari negara kepada seorang dengan status buron, dia menilai, sesuatu yang aneh. Suhaemi menduga gaji itu menjadi bekal Dharmono hidup berpindah-pindah sehingga sulit ditangkap. Suhaemi memastikan buron ini kabur bersama keluarganya setelah tim Kejaksaan Tinggi Banten mendatangi rumah politikus PDI Perjuangan tersebut di Perumahan Karawaci, Tangerang, dan Kalibata, Jakarta. Petugas tidak menemukan siapa pun di dua rumah tersebut. aqida swamurti | tito sianipar | faidil akbar Sumber: Koran Tempo - Selasa, 19 Desember 2006 ++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/