[mediacare] Irawady Menunda Gugat KPK

2007-10-01 Terurut Topik MTI
Irawady Menunda Gugat KPK
"Kalau kami jadi menggugat, sudah ketahuan hasilnya. Buang-buang tenaga saja." 

JAKARTA -- Anggota Komisi Yudisial nonaktif, Irawady Joenoes, menunda pengajuan 
gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi ke Pengadilan Negeri 
Jakarta Selatan. Sebelumnya, gugatan itu direncanakan akan dilayangkan kemarin.

"Kami tunda dulu," ujar penasihat hukum Irawady, Ahmad Yani, setelah menjenguk 
kliennya di tahanan Markas Besar Kepolisian RI.

Sebagai gantinya, kata Ahmad, kliennya bermaksud melaporkan berbagai 
ketidakberesan di Komisi Yudisial ke KPK. "Pokoknya, yang di tingkat 
kesekretariatan jenderal dan kepanitiaan yang ada dalam pengadaan tanah. Kan 
jelas itu siapa yang bertanggung jawab," katanya.

Kuasa hukum Irawady lainnya, Suhardi Somomoeljono, mengatakan penundaan gugatan 
itu dimaksudkan agar kliennya bisa berfokus mencari bukti berkaitan dengan 
surat tugasnya dari Komisi Yudisial dan dugaan penyimpangan dalam proses 
pengadaan tanah untuk kantor komisi itu. Lagi pula, katanya, "Kalau kami jadi 
menggugat, sudah ketahuan hasilnya. Buang-buang tenaga saja." Ia juga menilai 
tindakan KPK dalam kasus ini sudah sesuai dengan prosedur.

Suhardi mengatakan pihaknya kini mempertimbangkan upaya mengkonfrontasi 
keterangan Irawady dengan keterangan Komisi Yudisial mengenai surat tugas yang 
diterima kliennya.

Menurut Suhardi, Irawady menganggap pertemuannya dengan Freddy Santoso, 
Direktur PT Persada Sembada yang memenangi tender pengadaan tanah untuk Komisi 
Yudisial, adalah bagian dari lingkup penugasannya yang bersifat tertutup dan 
rahasia.

Ketika sedang bertemu itulah, Irawady dan Freddy ditangkap. Petugas KPK 
mendapati uang Rp 600 juta dalam tas dan US$ 30 ribu di saku Irawady, yang 
diduga merupakan suap yang diterimanya dari Freddy. "Saya akui memang berat 
karena tertangkap basah," ujar Suhardi.

Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi Yudisial M. Thahir Saimima mengatakan surat 
tugas dari lembaganya kepada Irawady tak berhubungan dengan masalah pengadaan 
tanah. "Hanya berkaitan dengan supervisi," kata Thahir. "Itu untuk pengadaan 
barang dan tertib administrasi."

Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan kemarin penyidik kembali memeriksa 
Freddy sebagai tersangka penyuapan. Ia juga memastikan hingga saat ini KPK 
belum menemukan bukti nota dinas seperti yang disebutkan Suhardi dan ramai 
diberitakan media. RADEN | BAYU | SHINTA | CHETA

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 02 Oktober 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Korupsi Kejahatan Peradaban

2007-09-26 Terurut Topik MTI
Korupsi Kejahatan Peradaban 
Berdayakan Hakim di Pengadilan Tipikor

Status korupsi di Indonesia yang dijadikan sebagai kejahatan luar biasa atau 
extraordinary crime perlu ditingkatkan menjadi kejahatan melawan kemanusiaan 
dan peradaban. Peningkatan status ini diharapkan mampu menyadarkan dan 
menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk melawan korupsi. 

Demikian diungkapkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqqodas saat peluncuran 
Lembaga Bantuan Hukum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Jakarta, Rabu (26/9). 
Korupsi dinilai merusak seluruh sendi kehidupan bangsa, menghancurkan moral 
masyarakat, dan menimbulkan kemiskinan absolut. Korupsi juga menghambat upaya 
bangsa untuk meningkatkan peradaban guna bersaing dengan bangsa lain. 

"Korupsi bukan hanya memorak-porandakan perekonomian bangsa, tetapi juga turut 
merusak moral masyarakat," ungkap Busyro. Sayangnya, elite justru mengajarkan 
kepada rakyat untuk melakukan korupsi. Kondisi ini jelas terlihat dalam proses 
pemilu dan pemilihan kepala daerah. Rakyat dipaksa menerima suap dari elite 
agar memilih mereka. 

Busyro menambahkan, korupsi terjadi hampir di semua lembaga negara, baik 
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jika elemen negara sulit memberantas 
korupsi, seluruh elemen masyarakat harus bergerak. Namun, menggerakkan 
masyarakat sipil ini sulit. Kelompok agama sebagai bagian masyarakat sipil 
terfragmentasi. 

Secara terpisah, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina 
Yudi Latif mengkhawatirkan peningkatan status korupsi menjadi kejahatan melawan 
kemanusiaan dan peradaban hanya simbol, tanpa pernah menyentuh upaya riil 
pemberantasan korupsi sendiri. 

Agar berhasil, pemberantasan korupsi harus dilakukan melalui kontrol horizontal 
antara sesama lembaga negara dan kontrol vertikal melalui pengawasan dan 
tekanan masyarakat madani terhadap lembaga negara. 

Pemberantasan korupsi juga harus melibatkan kontrol eksternal di luar lembaga 
negara dan kelompok masyarakat madani. Pemberian bantuan asing harus 
mensyaratkan bebas korupsi, baik dari lembaga pemberi maupun penerima bantuan. 

"Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan simbol, tetapi perlu upaya yang 
konsisten, koheren, dan bersinergi," kata Yudi. 

Peran masyarakat madani seperti ormas dan lembaga swadaya masyarakat, diakui 
Yudi, berat. Ketidakmampuan kekuatan negara dan pasar dalam memberantas korupsi 
membuat kelompok ini harus menanggung semua beban masyarakat. Mereka akhirnya 
terjebak nepotisme dan larut dalam kultur yang korup. 

"Ormas keagamaan harus kembali ke semangat awal pendiriannya sebagai organisasi 
yang berjuang membela kepentingan rakyat, tidak terjebak dalam urusan rutin dan 
teologis semata, tetapi harus lebih membumi sesuai dengan kebutuhan 
masyarakat," ujarnya. 

Berdayakan hakim 

Terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana 
Korupsi (Tipikor), Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, 
Binsar Gultom, berharap ada pemberdayaan hakim. Hakim yang memiliki keahlian 
diangkat menjadi hakim khusus. 

"Sekarang banyak hakim yang berpendidikan strata dua atau strata tiga 
(S-2/S-3). Mereka ini seharusnya lebih diberdayakan menjadi hakim khusus. Kalau 
tak ada kasus korupsi, mereka bisa menjalankan tugas sebagai hakim untuk 
perkara lain," kata Binsar, Rabu. 

Jika hakim khusus diangkat dari kalangan ahli dan bertugas bila ada perkara, 
kata Binsar, tak akan efektif dan butuh biaya besar. "Jika hakim khusus seperti 
ini, seperti dosen terbang. Mereka juga tidak akan fokus karena masih harus 
menjalankan tugasnya yang lain," papar dia lagi. 

Untuk memilih hakim khusus Pengadilan Tipikor dari kalangan hakim, lanjut 
Binsar, Mahkamah Agung (MA) bisa bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY). 
"Jika jumlah hakim yang dipromosikan menjadi hakim khusus kurang, bisa saja 
hakim ditambah pengetahuannya," kata dia. 

Binsar juga menandaskan, semestinya Pengadilan Tipikor dilekatkan dengan 
pengadilan negeri di kabupaten/kota sehingga tidak membutuhkan biaya yang 
tinggi. (mzw/tra) 

Sumber: Kompas - Kamis, 27 September 2007  

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Pemerintah Dinilai Belum Serius Berantas Korupsi

2007-09-26 Terurut Topik MTI
Pemerintah Dinilai Belum Serius Berantas Korupsi
"Dengan dipermalukan seperti ini, diharapkan aparat birokrasi malu." 

JAKARTA -- Pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai masih belum serius. 
Berdasarkan survei Transparency International Indonesia, indeks persepsi 
korupsi di Indonesia menurun dari 2,4 pada 2006 menjadi 2,3 pada tahun ini. 

"Persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia belum berubah," 
kata Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya 
Lubis di Jakarta kemarin. 

Transparency International menyurvei 180 negara. Hasil survei terhadap 
Indonesia diperoleh dari hasil 14 polling berbeda dan dari 12 lembaga 
independen. Pengusaha dan pengamat menjadi responden survei. Tahun lalu 
Indonesia berada di peringkat tiga terbawah dari 163 negara yang disurvei.

Indonesia berada di posisi 143 bersama Gambia, Togo, dan Rusia. Angka maksimal 
indeks adalah 10. Semakin tinggi angka indeks, negara tersebut semakin bersih 
dari korupsi. 

Angka indeks persepsi Indonesia ini jauh dari indeks Malaysia (5,1) dan 
Singapura (9,3). Di Asia Tenggara, Indonesia lebih baik dibanding Bangladesh, 
Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini. 

Posisi teratas ditempati Denmark, Finlandia, dan New Zealand. Ketiga negara itu 
memiliki indeks persepsi 9,4. Adapun posisi terbawah ditempati Myanmar dan 
Somalia (1,4). 

Todung menilai masyarakat indonesia menganggap pemerintah tak konsisten dalam 
memberantas korupsi. Publik menilai Indonesia tetap tak serius memberantas 
korupsi. "Angka indeks tinggi hanya jika ada konsistensi pemberantasan 
korupsi," katanya.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengakui pemberantasan 
korupsi di Indonesia hampir tak berubah. Ia muak melihat hasil survei yang 
menunjukkan tak ada perbaikan dalam pemberantasan korupsi. 

"Biarpun KPK sudah menangkap sana-sini, tetap saja duit negara ditilep," kata 
dia. "Tapi diharapkan, dengan dipermalukan seperti ini, aparat birokrasi jadi 
merasa malu." 

Menurut Ruki, pemberantasan korupsi tak hanya tanggung jawab KPK yang merupakan 
pelatuk kejaksaan dan kepolisian. KPK, kata dia, hanya menangani kasus di masa 
depan, tapi tak menangani kasus lama yang merupakan wewenang kejaksaan. 

Pemimpin negara, kata Ruki, harus berkomitmen kuat memberantas korupsi. Ia 
mencontohkan Singapura pada 1960-an yang merupakan sarang penyelundup. Komitmen 
kuat Perdana Menteri Lee Kuan Yew menjadikan Singapura kini memperoleh indeks 
persepsi 9,3. 

Ruki menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersuara lebih kencang 
terhadap pemberantasan korupsi. Suara keras itu perlu dukungan lembaga hukum, 
Mahkamah Agung, atau hakim. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menganggap indeks 
persepsi konsumen mempengaruhi iklim investasi. Angka indeks persepsi korupsi 
yang rendah menjadikan investor enggan menanamkan modal. Para investor, kata 
Sofjan, enggan berurusan dengan praktek suap. 

Adapun anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Bagus Suryama, menganggap 
hampir tak ada profesi bebas dari korupsi, bahkan anggota legislatif, 
pengacara, polisi, jaksa, dan hakim. Tapi, katanya, pemberantasan korupsi mulai 
membaik dibandingkan dengan dalam pemerintahan lalu. "Meskipun masih 
tebang-pilih," katanya. PRAMONO

Sumber: Koran Tempo - Kamis, 27 September 2007


++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Mahfud M.D. Pernah Ditawari Henry Uang Satu Tas

2007-09-24 Terurut Topik MTI
Mahfud M.D. Pernah Ditawari Henry Uang Satu Tas 
Pengusutan Kasus Asabri 

JAKARTA - Henry Leo, salah seorang tersangka kasus korupsi PT Asuransi ABRI 
(Asabri) Rp 410 miliar, benar-benar royal. Pengusaha rekanan Dephan itu bukan 
hanya membelikan rumah mewah terhadap mantan KSAD Jenderal (pur) R Hartono, 
tetapi juga memberikan uang kepada Mahfud M.D. semasa menjabat menteri 
pertahanan (Menhan).

Itu terungkap saat berlangsungnya rapat kerja (raker) Komisi III DPR dengan 
jajaran Kejaksaan Agung (Kejagung) di gedung MPR/DPR kemarin.

Saat sesi tanya jawab, anggota Komisi III Ahmad Fauzi (FPD) mengajukan 
pertanyaan seputar keseriusan kejaksaan mengusut kasus pemberian kavling rumah 
untuk mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) T.B. Silalahi. Nah, 
saat mengulas materi pertanyaan, Fauzi tiba-tiba menyentil penolakan Mahfud 
saat diberi uang satu koper oleh Henry.

Selanjutnya, giliran Mahfud mengomentari pernyataan tersebut. Politikus Partai 
Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengakui, tawaran tersebut terjadi semasa dia 
menjabat Menhan di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. "Bukan satu tas koper, 
tetapi uang dalam satu tas besar," ungkap Mahfud dalam raker yang dipimpin 
Trimedya Panjaitan itu.

Menurut Mahfud, tas besar itu diserahkan Henry saat hendak menunaikan ibadah 
haji. Guru besar UII tersebut awalnya menyangka tas besar itu berisi kain 
ihram. "Saat saya buka, isinya ternyata (tumpukan) uang," jelas Mahfud. Dia 
lantas memanggil Irjen Dephan untuk mengurus pengembalian uang tersebut kepada 
Henry.

Mahfud juga mengaku pernah ditawari apartemen oleh Henry. Dia diminta memilih 
salah satu di antara dua apartemen. "Saya juga menolak karena tidak ada 
hubungannya dengan saya," ujar politikus kelahiran Pamekasan itu.

Pengakuan Mahfud tersebut memicu interupsi berbagai anggota komisi III lain. 
Mereka umumnya menyoroti keseriusan kejaksaan mengungkap kasus hadiah kepada 
pejabat terkait bisnis yang ditekuni Henry.(agm) 

Sumber: Jawapos - Selasa, 25 September 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Kejagung Minta Dukungan Jaksa Agung Sedunia

2007-09-24 Terurut Topik MTI
Kejagung Minta Dukungan Jaksa Agung Sedunia 


Usut Aset Soeharto Seret Mbak Tutut
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) serius menindaklanjuti dokumen Bank Dunia 
berisi aset mantan Presiden Soeharto di luar negeri (LN). Selain mengajukan 
request ke Bank Dunia, kejaksaan bakal minta dukungan kepada seluruh jaksa 
agung sedunia yang akan hadir di pertemuan The 2nd Annual Conference and 
General Meeting of The International Association of Anti-Corruption Authorities 
(IAACA) di Nusa Dua, Bali, pada 21-24 November mendatang.

Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, dalam pertemuan tersebut, para jaksa 
agung akan membicarakan konvensi untuk merumuskan mekanisme penelusuran aset, 
agar tidak melanggar prinsip-prinsip kerahasiaan bank. "Kami juga membuat 
kesepakatan dengan lembaga internasional, untuk berkomitmen membantu pelacakan 
(aset Soeharto)," kata Hendarman di sela rapat kerja antara Komisi III DPR dan 
jajaran kejaksaan di Gedung MPR/DPR, kemarin.

Menurut dia, kejaksaan tidak dapat menindaklanjuti temuan Bank Dunia tanpa 
hasil pertemuan IAACA tersebut. Hendarman menjelaskan, kejaksaan mutlak harus 
masuk dalam tataran global untuk pelacakan aset Soeharto. Kejaksaan juga 
memenuhi tawaran Prakarsa PBB dalam The Stolen Asset Recovery (StAR) 
Initiative. 

Di tengah upaya menindaklanjuti temuan aset Soeharto, kejaksaan menyelidiki 
kasus korupsi yang melibatkan keluarga Cendana. Kali ini terkait keterlibatan 
Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut dalam kasus korupsi penerbitan 
commercial paper dalam pembangunan jalan tol yang diduga merugikan Rp 209,35 
miliar dan USD 105 ribu. "Saat ini, kasus itu masih dalam penyelidikan di 
Kejati DKI," kata Hendarman. Dalam paparannya, Hendarman tidak mendetailkan 
kasus tersebut. Dia hanya mengatakan, kasusnya terkait pembangunan jalan tol.

Penyelidikan kasus tersebut terungkap ketika anggota Komisi III Nadrah Izahari 
(F-PDIP) menyoroti keseriusan kejaksaan menangani kasus korupsi keluarga 
Soeharto. Mulai gugatan kerugian negara dalam kasus Yayasan Supersemar, kasus 
korupsi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) yang menyeret Tommy 
Soeharto, hingga tunggakan kasus yang melibatkan Mbak Tutut.(agm)

Sumber: Jawapos - Selasa, 25 September 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Jenderal Hartono Terancam Kasus Suap

2007-09-24 Terurut Topik MTI
Jenderal Hartono Terancam Kasus Suap
"Rumah sudah saya kembalikan." 

Jakarta -- Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan penyidik kejaksaan tengah 
mendalami motif pemberian rumah oleh tersangka kasus korupsi dana PT Asabri, 
Henry Leo, kepada mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Purnawirawan) TNI 
R. Hartono. "Mengapa rumah itu dibeli dari uang Asabri lalu diserahkan ke 
Hartono?" katanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat 
RI kemarin. 

Menurut dia, jika rumah itu diberikan karena posisi Hartono sebagai Kepala Staf 
Angkatan Darat, Henry Leo bisa dikenai pasal penyuapan. "Yang menyuap dan yang 
disuap akan ditindak," ujarnya. 

Hartono diketahui menerima hadiah rumah di Jalan Suwiryo Nomor 7, Menteng, 
Jakarta Pusat, dari Henry Leo pada 1995. Kepada Tempo, Hartono mengakui 
memperoleh rumah itu dari temannya, Direktur PT Dutaraya Kawijaya (mitra PT 
Asabri). Namun, dia mengaku tak mengetahui motif pemberian itu. "Sekarang sudah 
saya kembalikan," katanya. 

Keberadaan rumah itu terungkap setelah Badan Pengawasan Keuangan dan 
Pembangunan (BPKP) mengaudit Asabri. Audit dilakukan berkaitan dugaan korupsi 
di Asabri senilai Rp 410 miliar pada 1995. Dalam kasus ini, kejaksaan sudah 
menetapkan dua tersangka, yakni Henry Leo dan Mayor Jenderal (Purn) Subarda 
Midjaja, Direktur Asabri waktu itu. 

Istri Henry Leo, Yul Sulinah, memperkuat temuan BPKP. Selain kepada Hartono, 
menurut Sulinah, suaminya memberikan rumah kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) 
T.B. Silalahi, yang saat itu menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. 
Kini Silalahi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. 

Sulinah mengatakan rumah yang terletak di Jalan Pantai Kuta VI, Pademangan, 
Ancol Timur, Jakarta Utara, itu diberikan pada 26 Juni 1996. Pemberian itu, 
kata dia, atas nama Paul Banuara Silalahi, putra T.B. Silalahi. Namun, T.B. 
Silalahi dan Paul Banuara membantahnya. 

Paul Banuara mengatakan rumah di atas tanah 750 meter persegi di Ancol yang 
disebut-sebut pemberian Henry Leo itu adalah hasil jual-beli. Dalam salinan 
akta yang diperoleh Tempo, jual-beli terjadi antara Henry dan Paul pada 31 
Desember 1997, dengan harga Rp 1,018 miliar. "Jadi tidak benar kalau saya 
dibilang diberi. Apalagi mengaitkannya dengan Pak TB. Beliau kan Menpan, nggak 
ada proyeknya." 

Jaksa Agung Hendarman Supandji juga menegaskan rumah milik T.B. Silalahi murni 
hasil jual-beli. Bukti akta notaris yang diperlihatkan istri Henry Leo, kata 
Hendarman, merupakan bukti formal proses jual-beli. "Kami cross check, 
notarisnya pun menyebutkan jual-beli." 

Anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Lumbuun, berpendapat akta notaris memang 
menunjukkan bukti jual-beli. "Namun, tidak mendasarkan bukti sebagai tindak 
pidana, misalkan upaya suap-menyuap. Pembuktian pidana ini harus materiil, 
bukan hitam di atas putih," ujarnya. 

Karena itu, kata Gayus, Komisi Hukum akan menyusun panitia kerja DPR untuk 
membahas dugaan korupsi Asabri. "Panitia kerja nantinya akan membantu menguak 
kasus ini bersama-sama dengan kejaksaan." 

Anggota Komisi Hukum lainnya, Arbab Paproika, mengatakan Kejaksaan Agung 
mestinya tegas menyikapi kemungkinan keterlibatan beberapa petinggi TNI dalam 
kasus Asabri. Dia mengaku memperoleh informasi ada semacam instruksi atau 
perintah dari struktur TNI dalam Asabri. 

Panda Nababan, juga anggota Komisi Hukum, menyarankan agar kejaksaan bekerja 
sama dengan Polisi Militer TNI mengurai kasus ini. "Agar tidak terjadi 
kecanggungan dalam pemeriksaan," katanya. SUDRAJAT | SANDY INDRA PRATAMA | DWI 
RIYANTO AGUSTIAR | FANNY FEBIANA

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 25 September 2007


++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Buka Lagi Kasus Pidana Soeharto

2007-09-20 Terurut Topik MTI
Buka Lagi Kasus Pidana Soeharto
MPR meminta Kejaksaan Agung lebih proaktif. 

JAKARTA -- Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman menyatakan, untuk memburu harta 
mantan presiden Soeharto, status hukum perkara pidananya harus ditetapkan agar 
bisa memperoleh akses membuka data bank di luar negeri.

"Syaratnya (untuk membuka akses bank), ada status resmi bahwa Soeharto sedang 
diproses hukum secara pidana," kata Marzuki di gedung MPR/DPR kemarin. 

Menurut dia, tidak ada lembaga yang bersedia membuka keterangan atau informasi 
tanpa status hukum tersebut. 

Perburuan harta Soeharto kembali muncul ke permukaan setelah Bank Dunia dan 
Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, 
tiga hari lalu. Dalam laporan lembaga internasional itu, Soeharto menduduki 
peringkat pertama pencuri aset negara. 

Direktur Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda 
mengakui memang harus ada kesalahan atau perbuatan hukum yang harus dibuktikan 
apabila pemerintah serius menindaklanjuti gerakan StAR. Menurut dia, gugatan 
tidak harus secara pidana. "Perdata pun bisa membuktikan adanya perbuatan 
melawan hukum." 

Namun, kata Yoseph, proses hukum Soeharto harus diawali dengan temuan konkret 
dari StAR soal harta mantan penguasa Orde Baru itu di luar negeri. "StAR dulu 
yang membuktikan bahwa data yang mereka miliki valid," kata Yoseph. 

Jika ada bukti, Yoseph melanjutkan, kejaksaan akan menyiapkan penyelidikan dan 
gugatan penarikan aset. 

Mengenai hal ini, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid justru 
meminta Kejaksaan Agung yang proaktif meneliti data StAR. "Agar nama bangsa 
Indonesia bisa dibersihkan, sekaligus harta negara bisa dikembalikan jika 
memang terbukti terjadi penyimpangan seperti yang disampaikan itu," katanya 
seusai buka puasa di rumah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono kemarin. 

Pada kesempatan lain, Agung mendukung rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
bertemu dengan Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick di New York, 22-26 
September mendatang. "Perlu ada kejelasan, konfirmasi, karena ini menyangkut 
citra negara kita," katanya. 

Namun, di luar rencana pertemuan Yudhoyono dengan Zoellick, hingga saat ini 
Indonesia belum menghubungi Bank Dunia untuk menindaklanjuti data StAR. Meski 
begitu, "Kami tetap membuka tangan jika pemerintah Indonesia menginginkan 
bantuan kami," kata Jhon Hellman, Chief Governance Advisor World Bank, kepada 
Tempo di Jakarta kemarin.

Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, pesimistis 
StAR akan efektif mengembalikan aset para koruptor. Ia justru khawatir gerakan 
yang diprakarsai PBB dan Bank Dunia itu hanya pengalihan agenda. "Ini hanya 
untuk menunjukkan seolah-olah Bank Dunia berpihak pada negara berkembang," 
katanya kemarin. KURNIASIH | SANDY IP | AQIDA | PURBORINI | DESY | FANNY

Sumber: Koran Tempo - Jumat, 21 September 2007 


++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Menangkan Perdata Dulu, Baru Tarik Aset Soeharto

2007-09-20 Terurut Topik MTI
Menangkan Perdata Dulu, Baru Tarik Aset Soeharto


JAKARTA - Data PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Bank Dunia yang menempatkan 
mantan Presiden Soeharto dalam deretan penguasa paling korup di dunia bisa saja 
ditindaklanjuti Kejaksaan Agung (Kejagung). Misalnya, menarik aset-aset milik 
penguasa Orde Baru itu yang diparkir di luar negeri. Tapi, itu tidak mudah. Ada 
beberapa syarat yang harus dilakukan Kejagung. 

Di antara syarat itu, Kejagung harus terlebih dahulu memenangi perkara perdata 
Soeharto. Yakni, menggugat perdata aset Yayasan Supersemar milik Soeharto. 
"Sebab, kalau perdata kalah, bagaimana Indonesia bisa meminta negara-negara 
lain membantu menarik aset-aset Soeharto," kata Romli Atmasasmita, pakar hukum 
dari Unpad (Universitas Padjadjaran), Bandung. 

Menarik aset, kata Romli, harus ditunjukkan dengan bukti hukum. Yakni, putusan 
pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht). Jika memang serius 
menindaklanjuti data PBB dan Bank Dunia terkait aset Soeharto di sejumlah bank 
di luar negeri, kejaksaan harus memenangi gugatan. 

Selasa lalu Bank Dunia dan PBB melalui program StAR (Stolen Asset Recovery 
Initiative) menempatkan Soeharto dalam deretan mantan penguasa paling korup. 
Jenderal bintang lima itu bahkan menempati posisi nomor wahid, di atas mantan 
Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan mantan Presiden Zeire Mobutu Seseko. 
Romli menjelaskan, StAR bertujuan semua negara saling membantu dalam 
pengembalian aset hasil korupsi pascaratifikasi konvensi antikorupsi sedunia, 
United Nation Convenant Against Corruption (UNCAC). 

Penempatan Soeharto dalam posisi pertama bukannya tanpa alasan. Menurut Romli, 
itu adalah bentuk tekanan dari dunia internasional kepada penegak hukum 
Indonesia. "Ini adalah suatu warning bagi pemerintah Indonesia untuk serius, 
atau dengan kata lain dunia internasional mempertanyakan apa yang telah 
dilakukan sehingga kasus Soeharto tidak pernah tuntas. Ini warning dunia 
internasional," ujar salah seorang penyusun UU Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi itu. (ein/agm) 

Sumber: Jawapos - Jumat, 21 September 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Jaksa dan Nurdin Bersepakat

2007-09-20 Terurut Topik MTI
Jaksa dan Nurdin Bersepakat 
Pertemuan di Depan Rumah Tahanan

Jakarta, Kompas - Sebelum proses penahanan, ternyata mantan Ketua Umum Koperasi 
Distribusi Indonesia Nurdin Halid dan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 
Hidayatullah sudah berhubungan melalui telepon. Mereka sepakat bertemu di depan 
Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, dalam rangka proses eksekusi Nurdin yang 
dihukum dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung dalam kasus korupsi. 

Keterangan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman itu 
terkesan sebagai upaya menyelesaikan kontroversi mengenai proses penahanan 
Nurdin pada Selasa (18/9) pagi. "Dengan penjelasan ini, diharapkan masalah 
sudah selesai," kata Kemas di Gedung Bundar Kejagung, Kamis. 

Sebelumnya, dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Selasa, Kepala Pusat 
Penerangan Hukum Kejagung Thomson Siagian didampingi Asisten Intelijen 
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Adi Toegarisman menyampaikan, tim eksekutor 
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan tim intelijen Kejati DKI Jakarta berhasil 
menemukan Nurdin di Menteng pukul 04.20. Lalu Nurdin dibawa ke Rutan Salemba. 
Saat ditanya wartawan apakah kejaksaan telah menangkap Nurdin, Thomson 
mengatakan, "Silakan, itu interpretasi Saudara. Yang jelas, tim kejaksaan 
menemukan terpidana di daerah Menteng." (Kompas, 19/9) 

Keterangan itu dibantah adik kandung Nurdin, Kadir Halid, dan penasihat hukum 
Nurdin, Ali Abbas. Mereka mengatakan keterangan jaksa tidak benar. "Nurdin itu 
tidak ditangkap. Kami sudah berkoordinasi dengan jaksa untuk bertemu di depan 
Rutan Salemba. Jadi sama sekali tidak benar ada penangkapan di daerah Menteng. 
Saya ini menemani Nurdin dari rumah hingga ke Rutan Salemba," ujar Kadir. 
(Kompas, 19/9) 

Kemas Yahya Rahman mengakui ada kekeliruan jaksa eksekutor dalam menyampaikan 
laporan soal eksekusi Nurdin. Setelah diteliti, kata Kemas, diketahui bahwa 
Kepala Kejari Jakarta Selatan Hidayatullah dan Nurdin sudah berhubungan melalui 
telepon pada hari Senin (17/9) siang. Mereka sepakat bertemu di depan Rutan 
Salemba. Hari Senin itu Nurdin Halid dipanggil jaksa untuk dieksekusi, tetapi 
tidak datang ke Kejari Jaksel. 

Ditanya tentang penjelasan kejaksaan sebelumnya yang menyebutkan Nurdin Halid 
ditemukan di Menteng, Kemas menolak menjawab. Kemas juga menolak menjelaskan 
mengenai kesepakatan waktu eksekusi pada dini hari. "Tidak jelas," kata Kemas. 

Ali Abbas, pengacara Nurdin, menyambut baik keterangan Jaksa Agung Muda Tindak 
Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman itu. "Kalau keterangannya seperti itu, ya 
sudah, masalahnya sudah clear. Kami maupun Pak Nurdin Halid tidak akan 
mempersoalkan lagi," kata Ali Abbas yang dihubungi Kamis malam. 

Dua hari lalu Ali Abbas menyatakan, tim kuasa hukum Nurdin menyurati Kepala 
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung untuk menarik ucapannya mengenai 
penangkapan Nurdin dan meminta maaf kepada Nurdin. 

Alasan keamanan 

Perihal tempat penahanan Nurdin, Kemas menegaskan, jaksa sudah menyerahkan 
kepada pihak yang berwenang. Direktur Penyidikan pada Bagian Tindak Pidana 
Khusus Kejagung Muhammad Salim mengatakan, jaksa sedang bersiap memeriksa 
Nurdin sebagai saksi atas dugaan korupsi di Badan Penyangga dan Pemasaran 
Cengkeh. 

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah DKI Jakarta Gusti Tamardjaja 
kemarin siang mengaku belum ada rencana memindahkan Nurdin ke Lembaga 
Pemasyarakatan Cipinang. Salah satu alasan tetap menahan Nurdin di Rutan 
Salemba adalah untuk keamanan. (IDR) 

Sumber: Kompas - Jumat, 21 September 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] DPR Minta Biaya Perkara Diaudit

2007-09-20 Terurut Topik MTI
DPR Minta Biaya Perkara Diaudit

"Prinsipnya, lembaga negara itu dibiayai oleh negara, maka keluar-masuknya uang 
di lembaga itu berada dalam wilayah auditor negara," kata Almuzammil Yusuf, 
anggota Komisi Hukum, kemarin. 

JAKARTA -- Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan Badan Pemeriksa 
Keuangan harus mengaudit biaya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. 
"Prinsipnya, lembaga negara itu dibiayai oleh negara, maka keluar-masuknya uang 
di lembaga itu berada dalam wilayah auditor negara," kata Almuzammil Yusuf, 
anggota Komisi Hukum, kemarin. 

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menilai dalih Mahkamah Agung yang 
menolak diaudit dengan alasan berpegang pada Hukum Acara Perdata juga tak pas. 
"Karena di situ tidak dibicarakan pemeriksaan," katanya, "melainkan pengaturan 
masalah teknis administrasi pembayaran biaya perkara oleh pemohon kepada 
pengadilan melalui panitera." 

Berkaitan dengan persoalan ini, Ketua BPK Anwar Nasution telah melaporkan MA ke 
Markas Besar Kepolisian RI pada 13 September lalu. Anwar menilai MA tidak 
kooperatif terhadap auditor negara yang ingin mengaudit pungutan biaya perkara. 
"Mahkamah Agung bergeming dan tetap tidak mau diperiksa terkait dengan biaya 
perkara tahun 2005-2006," katanya. Selain kepada polisi, BPK membawa masalah 
ini ke Mahkamah Konstitusi. 

Kepala Polri Jenderal Sutanto mengatakan akan memproses semua laporan yang 
masuk. Namun, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal 
Bambang Hendarso Danuri mengatakan belum menerima laporan BPK itu. 

Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie menyarankan MA dan BPK segera 
bertemu untuk menyelesaikan masalah ini. "Harus dicari jalan alternatif tentang 
sengketa ini, yaitu dengan mediasi," katanya dua hari lalu. Jimly menyarankan 
pertemuan kedua belah pihak ini juga dihadiri pemerintah. 

Mahkamah Agung mempertanyakan upaya mediasi ini. "Apa yang perlu dimediasi?" 
tanya Djoko Sarwoko, juru bicara Mahkamah Agung, kemarin. Menurut dia, masalah 
ini hanyalah soal beda pandangan. 

Mahkamah, kata dia, tidak mau diaudit karena berpegang pada hukum acara 
perdata. "Uang perkara itu milik pihak ketiga," kata Djoko. Dalam hukum 
keperdataan, katanya, uang pihak ketiga masuk dalam lingkungan peradilan yang 
tidak boleh dicampuri pihak lain. 

Dia menjelaskan MA dan BPK telah membentuk tim untuk membahas biaya perkara 
sejak Juni 2006. Salah satu yang dibahas tim adalah pengaturan dana biaya 
perkara yang akan dimasukkan dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). 
Nantinya, hasil pembahasan tim itu akan dituangkan dalam bentuk peraturan 
Mahkamah Agung. 

Mengenai mekanisme biaya perkara, Djoko menjelaskan, biaya perkara disetorkan 
sejak seseorang mengajukan gugatan. Pembayaran biaya perkara merupakan salah 
satu persyaratan untuk bisa mendaftarkan gugatan di pengadilan. "Itu berlaku 
universal. Di negara mana pun sama," katanya. 

Biaya perkara ini digunakan untuk membayar biaya operasional, seperti melakukan 
pemanggilan pihak-pihak yang beperkara, memfotokopi gugatan, dan sebagainya. 
"Semuanya sudah diatur dalam Hukum Acara Perdata," katanya. Yang menentukan 
besarnya jumlah biaya perkara adalah ketua pengadilan negeri, disesuaikan 
dengan kondisi di daerah masing-masing. RINI KUSTIANI

Sumber: Koran Tempo - Jumat, 21 September 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Sejumlah Pengacara Akui Terima Dana Bank Indonesia

2007-09-04 Terurut Topik MTI
Sejumlah Pengacara Akui Terima Dana Bank Indonesia
"Lebih baik kita bicarakan yang lainnya," 

JAKARTA -- Sejumlah pengacara mengakui menerima dana dari Bank Indonesia 
sebagai pembayaran jasa bantuan hukum yang diberikan kepada mantan pejabat 
lembaga tersebut.

Pengacara Albert Hasibuan mengaku mendapat fee atas jasanya sebagai penasihat 
hukum mantan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono. Menurut dia, pembayaran tersebut 
dilakukan dalam dua tahap, masing-masing Rp 300 juta dan Rp 1 miliar.

Albert juga memastikan dana yang diterimanya hanya Rp 1,3 miliar, bukan Rp 1,43 
miliar seperti yang tertulis pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan 
terhadap Laporan Keuangan Bank Indonesia 2004. "Tapi saya tidak tahu uang itu 
dari mana," katanya kepada Tempo.

Penasihat hukum Sudradjad yang lain, Luhut M.P. Pangaribuan, juga mengatakan 
hal senada. Ketika dimintai konfirmasi apakah imbal jasanya sebesar Rp 1,43 
miliar, Luhut mengatakan, "Mungkin saja, saya sudah lupa." 

Maiyasyak Johan, yang dalam dokumen BPK tercatat sebagai penasihat hukum mantan 
Direktur BI Paul Sutopo, juga mengakui menerima pembayaran dari bank sentral. 

Mengenai apakah jumlahnya Rp 6,74 miliar seperti yang tercantum dalam hasil 
audit bank sentral, dia mengatakan, "Saya dibayar sesuai dengan kontrak. Tapi 
jumlahnya tidak bisa saya sebutkan karena itu rahasia saya dengan klien." 

T. Nasrullah, pengacara mantan Direktur Bank Indonesia yang lain, juga 
membenarkan telah menerima pembayaran dari bank sentral. "Saya lupa jumlahnya. 
Sumber dananya saya tidak tahu," katanya kemarin


Dokumen hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Bank 
Indonesia Tahun Buku 2004, yang salinannya diterima Tempo, menyebutkan adanya 
pengucuran dana Rp 68,5 miliar kepada sejumlah pengacara untuk menyelesaikan 
permasalahan hukum mantan pejabat bank sentral. 

Selain untuk pengacara, menurut dokumen itu, BI juga mengucurkan dana Rp 31,5 
miliar untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut laporan itu, seluruh dana 
tersebut diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)/Lembaga 
Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Dua yayasan itu ada di bawah naungan 
Bank Indonesia. 

BPK juga menemukan adanya kantor hukum yang tidak melaporkan pajak pertambahan 
nilai, atau ada yang melaporkan tapi nilainya berbeda.

Kepada Tempo, Ketua BPK Anwar Nasution membenarkan kesahihan dokumen tersebut. 
"Itu (dokumen) adalah bagian dari surat saya ke penegak hukum setahun yang 
lalu," katanya. 

Para pejabat bank sentral hingga kini menolak memberikan konfirmasi atas 
laporan BPK tersebut. Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Budi Mulya 
memilih bungkam saat ditanyai soal pengucuran dana tersebut "Lebih baik kita 
bicarakan yang lainnya," ujarnya sembari tersenyum pada Rabu lalu. M. NUR 
ROCHMI | KURNIASI BUDI | RINI KUSTIANI | AGOENG WIJAYA 

Sumber: Koran Tempo - Jumat, 31 Agustus 2007 

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Panitia Seleksi KPK Akui Pertimbangkan Kuota

2007-09-04 Terurut Topik MTI
Panitia Seleksi KPK Akui Pertimbangkan Kuota 


Jakarta, Kompas - Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 
atau KPK mengakui mempertimbangkan kuota antara unsur pemerintah dan 
masyarakat. Namun, Pansel membantah ada politik afirmasi atau memasukkan orang 
dengan latar belakang institusi tertentu. Kuota dilakukan cuma untuk 
proporsionalitas sehingga sinergi bisa tercipta. 

Demikian diungkapkan Sekretaris Panitia Seleksi (Pansel) KPK Gunawan Hadisusilo 
di Jakarta, Kamis (30/8). Ia menganalogikan KPK seperti membangun rumah yang 
perlu tukang batu, tukang cat, dan tukang las. "Komposisi harus seimbang 
sehingga dapat saling mengisi," ujarnya. 

Menurut Gunawan, kuota dipertimbangkan karena Pasal 43 Ayat 3 Undang-Undang 
(UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 
menyebutkan, keanggotaan KPK terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. 
Kedua, karena melihat aspirasi masyarakat tentang kasus apa yang harus 
ditangani KPK. 

"Jadi, dengan adanya kombinasi mereka bisa bekerja sama. Tidak ada politik 
afirmasi. Pansel hanya ingin memenuhi aspirasi masyarakat," kata Gunawan. 

Soal dugaan masuknya calon dari jaksa dan polisi menjadi sebuah keharusan dalam 
komposisi pimpinan KPK, Gunawan menuturkan, Pasal 21 Ayat 4 UU No 30/2002 
tentang KPK memang mencantumkan unsur pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut 
umum. 

"Memang tidak ada secara eksplisit pimpinan KPK itu harus dari jaksa dan 
polisi, tetapi secara implisit ada," ujar Gunawan. 

Pengamat hukum tata negara, A Irman Putrasidin, mengingatkan, KPK merupakan 
lembaga antitesa dari kejaksaan dan kepolisian yang dinilai tidak mampu 
memberantas korupsi. "Jadi, aneh kalau justru ada kuota bagi orang dari 
institusi yang dinilai gagal memberantas korupsi. Buat apa ada KPK bila orang 
kejaksaan dan kepolisian hanya pindah kamar," katanya. 

Argumen kedua, lanjut Irman, dalam struktur ketatanegaraan, KPK adalah state 
auxiliary agencies. KPK dibentuk sebagai reaksi atas ketidakberdayaan kekuasaan 
klasik negara selama ini. (vin) 

Sumber: Kompas - Jumat, 31 Agustus 2007 

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Korupsi Ditangani Pengadilan Tipikor

2007-09-04 Terurut Topik MTI
Korupsi Ditangani Pengadilan Tipikor 
PN Tak Akan Tangani Korupsi

Jakarta, Kompas - Sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi atau MK supaya tidak 
terjadi dualisme penanganan kasus-kasus korupsi, semua kasus korupsi, baik yang 
ditangani kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, akan bermuara 
di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. 

Kedudukan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) direncanakan akan 
berada di seluruh pengadilan negeri. 

Demikian dikemukakan Ketua Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan 
Khusus Tindak Pidana Korupsi Romli Atmasasmita di Jakarta, Kamis (30/8). Tim 
perumus sudah menggelar rapat pembahasan dua kali. Diharapkan, tahun 2008 RUU 
ini sudah diserahkan ke DPR. 

"Sesuai dengan putusan MK, hanya ada satu yurisdiksi penanganan kasus-kasus 
korupsi, yaitu Pengadilan Tipikor. Nanti tidak ada lagi pengadilan negeri yang 
akan menangani kasus-kasus korupsi," ujar Romli. 

Ia melanjutkan, poin penting lain yang dibahas dalam perumusan tim adalah soal 
pemeriksaan pendahuluan. Di dalam RUU Pengadilan Tipikor, pengadilan memiliki 
wewenang untuk memeriksa surat dakwaan jaksa penuntut umum. Pemeriksaan 
pendahuluan ini, ujar Romli, dimaksudkan untuk memeriksa apakah jaksa sudah 
memiliki cukup bukti untuk menyeret seseorang ke Pengadilan Tipikor. 

Pemeriksaan pendahuluan akan dilakukan terbuka untuk umum sehingga transparan 
dan bisa diakses oleh publik. Hal ini untuk menghindari kolusi antara hakim dan 
jaksa. 

"Publik juga bisa melihat apakah kejaksaan atau KPK sudah bekerja profesional 
dengan memiliki bukti-bukti kuat mengadili seseorang," kata Romli. 

Selain itu, kata Romli, jika terjadi kolusi antara jaksa dan polisi, maka 
Komisi Yudisial harus turun memeriksa hakim dan Komisi Kejaksaan harus turun 
untuk memeriksa para jaksa. Tim penegak kode etik yang dibentuk Jaksa Agung 
Hendarman Supandji juga harus turun untuk memeriksa jika disinyalir terjadi 
praktik kolusi itu. 

"Para hakim tipikor, baik hakim karier maupun nonkarier, harus mengikuti proses 
sertifikasi dan perekrutan hakim. Proses ini dilakukan oleh tim independen, 
bisa terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, mungkin juga Komisi Yudisial 
masuk," ungkapnya. 

Romli mengatakan, saat ini tim perumus mendapat tiga draf, yaitu draf RUU 
Pengadilan Tipikor versi masyarakat, versi KPK, dan versi Dirjen Peraturan 
Perundang-undangan Dephuk dan >small 2small 0<. 

"Draf versi masyarakat yang menjadi acuan, sementara versi KPK dan Dirjen PP 
akan menjadi pembanding," kata Romli. (VIN) 

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] BI Tebar Rp 31,5 Miliar ke DPR

2007-08-26 Terurut Topik MTI
BI Tebar Rp 31,5 Miliar ke DPR
Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan yayasan. 

JAKARTA - Bank Indonesia dikabarkan membagi-bagikan total Rp 31,5 miliar ke 
sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 2003. Dana itu digunakan untuk 
pembahasan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia dan penyelesaian masalah 
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. 

Dari dokumen hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan 
Bank Indonesia Tahun Buku 2004, yang salinannya diterima Tempo, diketahui dana 
itu diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)/Lembaga 
Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) senilai Rp 100 miliar. Kedua yayasan 
itu ada di bawah naungan Bank Indonesia.

Dari jumlah itu, Rp 31,5 miliar di antaranya dibagi-bagikan ke sejumlah anggota 
DPR. Sisanya, Rp 68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum 
mantan pejabat Bank Indonesia. Pada saat itu sejumlah mantan petinggi BI, 
seperti J. Sudradjad Djiwandono, Heru Supraptomo, Hendrobudianto, dan Paul 
Sutopo, sedang tersangkut kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. 

Menurut laporan itu, penggunaan dana tersebut adalah hasil keputusan rapat 
Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam dua kali pertemuan. Dalam pertemuan 
pertama, 3 Juni 2003, diputuskan penggunaan dana LPPI senilai Rp 100 miliar 
untuk membiayai kegiatan yang insidental dan mendesak di Bank Indonesia. Rapat 
ini diputuskan antara lain oleh Deputi Gubernur Aulia Pohan dan Aslim Tadjudin. 
Kemudian, pada rapat 22 Juli 2003 diputuskan Bank Indonesia akan memberikan 
bantuan peningkatan modal kepada LPPI sebesar Rp 100 miliar untuk menggantikan 
penyisihan dana itu.

Dokumen ini semakin mengukuhkan pandangan tentang maraknya praktek suap-menyuap 
di parlemen. Awal Agustus lalu, Indonesia Corruption Watch melaporkan Bank 
Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi karena lembaga itu diduga memberikan 
suap senilai Rp 3,8 miliar untuk pembahasan undang-undang. 

Pencairan dana untuk DPR ini, berdasarkan dokumen tersebut, diserahkan melalui 
salah seorang anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari salah satu fraksi 
terbesar di Senayan. Sedangkan pencairan dana Rp 68,5 miliar untuk bantuan 
hukum mantan pejabat bank sentral dilakukan lewat sejumlah kantor hukum. 

Ketua BPK Anwar Nasution membenarkan soal dokumen tersebut. Menurut dia, 
dokumen tersebut adalah hasil pemeriksaan yang menemukan adanya transaksi 
janggal di Bank Indonesia. "Itu (dokumen) adalah bagian dari surat saya ke 
lembaga penegak hukum setahun yang lalu," katanya kepada Tempo dan Liputan 
6-SCTV, Kamis lalu. 

Adapun Deputi Gubernur Bank Indonesia Aslim Tadjuddin mengaku tak tahu-menahu 
soal aliran dana ke DPR itu. "Saya tidak tahu itu," ujarnya. 

Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan membenarkan adanya permintaan 
bank sentral kepada LPPI senilai Rp 100 miliar itu. Menurut dia, tidak ada yang 
salah dengan permintaan tersebut. "Karena dana yang ada di LPPI adalah milik 
Bank Indonesia. Jadi itu bukan milik negara," katanya. Soal penggunaan dana 
tersebut, Aulia mengaku tidak mengetahuinya. "Saat itu memang tak spesifik 
untuk apa, banyak." 

Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Rizal Djalil, mengaku tidak 
mendengar soal adanya aliran dana tersebut. "Saat itu saya lebih banyak di 
Jambi," katanya. SETRI YASRA | ANNE L HANDAYANI | AGOENG WIJAYA | YULIAWATI | 
RAFLY WIBOWO | AGUS SUPRIYANTO | KARANIYA DHARMASAPUTRA | MOHAMAD TEGUH

Sumber: Koran Tempo - Senin, 27 Agustus 2007

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Menyingkap Tradisi Suap Parlemen

2007-08-26 Terurut Topik MTI
Menyingkap Tradisi Suap Parlemen
Dana lobi bisa memakan 60 persen dari anggaran yang dialokasikan. 

Rokhmin Dahuri tak juga habis pikir kenapa hanya dirinya yang mendekam di balik 
jeruji penjara. Ditemui Tempo dan Liputan-6 SCTV belum lama ini, mantan Menteri 
Kelautan itu hakulyakin apa yang dilakukannya terjadi di semua departemen. 
"Setiap urusan di DPR kan harus pakai uang," katanya, "Bedanya, hanya saya yang 
membuat catatan."

Lebih dari sekadar catatan, indikasi teranyar kini meruap dari sebuah dokumen 
laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Bank Indonesia yang 
diperoleh Tempo. Dikonfirmasikan oleh Ketua BPK Anwar Nasution, laporan itu 
mengungkap kucuran dana Rp 31,5 miliar dari bank sentral pada 2003 untuk 
mengegolkan rencana amendemen Undang-Undang BI.

Mewabahnya suap dan pemerasan di parlemen memang sudah menjadi rahasia umum. 
"It's huge (ini luar biasa besar-Red.). Skalanya jauh melebihi di masa Orde 
Baru," pengusaha Sofjan Wanandi mengeluhkannya, "Apalagi kalau menyangkut 
kepentingan bisnis besar." Sofjan mestinya tak asal bicara. Ia baru-baru ini 
ikut memimpin tim lobi Kadin soal Undang-Undang Pajak.

Seorang tokoh yang berpengalaman dalam urusan ini dan meminta identitasnya 
disembunyikan memastikan praktek tersebut berlaku di semua partai "tanpa 
terkecuali". Ia membeberkan, sepak-terjang anggota parlemen dari sebuah partai 
keagamaan yang mencitrakan dirinya sebagai partai bersih pun setali tiga uang, 
"Mereka datang sendiri dan terang-terangan minta uang." 

Mantan Menteri Dalam Negeri Ryaas Rasyid pun mengkonfirmasikan gejala 
memprihatinkan ini. "Salah satu sumbernya adalah di panitia anggaran," ia 
memastikan. Sayang, ia tak bersedia menjelaskan lebih gamblang dengan alasan ia 
kini "hanya duduk di komisi air mata". Ryaas merupakan anggota Komisi II Dewan 
Perwakilan Rakyat yang antara lain membidangi pemerintahan dalam negeri.

Fenomena ini jelas bukan gejala baru. Telah berkali-kali kasusnya diungkap oleh 
pers. 

Pada pertengahan 2002, anggota parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia 
Perjuangan, Meilono Soewondo, menjadi pucuk berita di mana-mana setelah 
membongkar upaya penyuapan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang 
terkait dengan rencana divestasi sebuah bank. Bersama koleganya di PDIP, Indira 
Damayanti Sugondo, Meilono menolak pemberian uang senilai $ 1.000 per kepala. 
"Itu diberikan sehari sebelum rapat kerja yang membahas hal yang sama di DPR," 
kata Indira. 

Pertengahan 2006 lalu, tersingkap kasus amplop Departemen Dalam Negeri yang 
dikirimkan atas permintaan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang 
Pemerintahan Aceh Ferry Mursyidan Baldan. Gara-gara urusan ini, Ferry sempat 
diperiksa Badan Kehormatan DPR. Benny K. Harman dari Partai Demokrat, yang 
melaporkan kasus ini ke Badan Kehormatan, mengatakan praktek ini, "memang jadi 
tradisi di Senayan." 

Tradisi tercela itu, sebagaimana diakui anggota Fraksi Partai Keadilan 
Sejahtera, Fachri Hamzah, sudah sedemikian berurat-berakar. Segala urusan di 
parlemen selalu diwarnai uang suap, ibarat, "hujan amplop yang berjatuhan dari 
atas genting." 

Modusnya pun sangat beragam. Ia mencatat setidaknya ada lima saluran yang biasa 
dieksploitasi untuk memeras dana terlarang, yakni rapat kerja di komisi, 
panitia anggaran, kunjungan kerja, panitia khusus RUU, dan panitia khusus 
kasus. Modusnya terentang mulai sekadar pemberian amplop di setiap rapat rutin, 
percaloan dalam penyusunan anggaran, sampai suap bernilai miliaran rupiah 
berkait dengan pembahasan kasus-kasus kakap (lihat, "Semua Bermuara di 
Senayan"). 

Lalu, berapa anggaran negara yang lenyap akibat praktek ini? "Kita bicara 
triliunan rupiah, karena ukurannya adalah APBN itu sendiri," Fachri menaksir. 

Bila dihitung-hitung, katanya lagi, dana lobi yang dibutuhkan untuk mengegolkan 
sebuah proyek bisa memakan 60 persen dari dana yang dianggarkan. Jadi, jika 
alokasi belanja ke daerah saat ini sekitar Rp 252 triliun, "Artinya, yang jadi 
barang paling-paling cuma 40 persen." 

Benar-tidaknya taksiran fantastis ini tentu masih harus diteliti. Tapi, satu 
hal sudahlah pasti, nilai uang yang terlibat dalam permainan ini memang 
berskala besar.

Terhadap berbagai persoalan itu, Ketua DPR Agung Laksono menyatakan telah 
mengambil langkah pencegahan dan tak mentoleransinya. Pemimpin DPR, katanya, 
telah melarang lembaga pemerintah mana pun mengucurkan dana buat segala urusan 
di DPR. "Saya sudah membuat surat kepada menteri, bahkan presiden (mengenai 
larangan ini). Sudah dua kali kami sampaikan," Agung menegaskan. 

Pertanyaannya: bisakah sekadar surat dan larangan resmi memberantas tradisi 
yang telah lama berurat-berakar di Senayan ini? Tim Tempo dan Liputan-6 SCTV 
(Liputan ini bisa diakses di www.tempointeraktif.com dan www.liputan6.com) 

Sumber: Koran Tempo - Senin, 27 Agustus 2007

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.

[mediacare] Netralitas Birokrasi

2007-08-03 Terurut Topik MTI
Netralitas Birokrasi
Oleh: Ida Syafrida Harahap, Peneliti pada MTI
Koran Tempo - Rabu, 1 Agustus 2007


Administrasi negara tidak banyak mendapat perhatian di negara ini. Namun, 
reformasi birokrasi menjadi salah satu tawaran dalam pembenahan sistem 
penyelenggaraan negara. Meskipun tidak sama, keduanya memiliki keterkaitan. 
Administrasi negara tidak akan baik tanpa adanya sistem birokrasi yang efektif 
dan efisien. Sebaliknya, birokrasi yang cenderung gemuk dan korup akan 
membentuk sistem administrasi negara yang tidak dapat melayani masyarakat. 
Untuk mudahnya, administrasi negara adalah salah satu organ birokrasi. 

Di beberapa negara, Jerman misalnya, administrasi negara menjadi lembaga negara 
profesional, terpisah dari fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 
Administrasi negara di sini memegang fungsi administratif dalam penyelenggaraan 
negara. Secara legal, administrasi negara bertindak atas nama konstitusi. Untuk 
operasionalisasi, administrasi negara memiliki Undang-Undang Prosedur 
Administrasi Negara (Verwaltungsverfahrensgesetz). Dasar hukum yang kuat mampu 
membentuk sistem administrasi (negara) Jerman yang profesional dan pro kepada 
rakyat.

Berbeda halnya dengan Amerika. Administrasi negara merupakan bagian dalam 
sistem pemerintahan eksekutif. Meskipun tidak tercantum tegas dalam konstitusi, 
hal ini dengan tegas diatur dalam Administrative Procedure Act. Eksekutif 
selaku implementator undang-undang membutuhkan fungsi administratif dalam 
mengurus dan mengelola negara. Kodifikasi hukum dalam negara ini memberi 
kekuatan. Sistem hukum Amerika mengatur sistem pemerintahan secara 
komprehensif, baik dalam fungsi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan 
demikian, netralitas dalam menjalankan administrasi negara tetap terjaga.

Adapun administrasi negara di Belanda hampir mendekati sistem di Jerman. Namun, 
dalam beberapa hal, kondisi faktual yang tergambar dalam The General 
Administrative Act (Alegemene wet Bestuursrecht) mereka cenderung mirip dalam 
konteks negara Indonesia. Sebab, dalam beberapa aturan hukum, Indonesia memang 
masih banyak berpedoman pada Negeri Kincir Angin tersebut.

Terlepas dari berbagai bentuk prosedur administrasi negara, Indonesia masih 
belum memilih bentuk administrasi negara. Selama ini administrasi negara selalu 
identik dengan keputusan tata usaha negara. Belum ada aturan hukum yang tegas 
mendeskripsikan administrasi negara. Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia 
belum memiliki standar dalam menyelenggarakan administrasi negara.

Jika kita akan menerapkan sistem seperti Jerman, Amerika, ataupun Belanda, 
harus ada dasar hukum yang kuat. Terlebih sistem kelembagaan Indonesia 
dirancukan oleh sistem kepartaian dan sistem kepegawaian. Namun, meskipun 
dilakukan amendemen, tidak ada jaminan akan terwujud administrasi negara yang 
ideal. Sementara itu, untuk membentuk sistem di tengah jalan, akan membentur 
banyak aturan hukum yang belum tertata. Artinya, bukan masalah pendekatan apa 
yang digunakan dalam membentuk administrasi negara, melainkan sejauh mana 
Indonesia dapat menjaga netralitas penyelenggara negara dari berbagai 
kepentingan. Jika selama ini netralitas hanya menyentuh ruang-ruang politis, 
sudah saatnya netralitas memisahkan antara ruang pemerintah dan ruang negara.

Netralitas birokrasi 

Undang-undang yang mengatur soal birokrasi di Indonesia adalah Undang-Undang 
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang 
Pokok-pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian). Dalam hukum 
Indonesia memang tidak dikenal istilah birokrasi. Namun, dalam UU Kepegawaian, 
birokrasi identik dengan pegawai negeri sipil. 

Pemisahan yang tidak tegas antara fungsi negara dan fungsi pemerintah 
sebenarnya dimulai dari konstitusi. Kita lihat saja istilah "kekuasaan 
pemerintahan negara" yang dipegang oleh eksekutif, dalam hal ini presiden. 
Padahal secara umum pemerintahan diselenggarakan oleh semua lembaga negara, 
yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara, termasuk di dalamnya eksekutif, 
legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lain. 

Terlepas dari kelemahan konstitusi, kedudukan birokrasi semakin diperlemah oleh 
UU Kepegawaian. Secara sengaja pegawai negeri sipil ditempatkan sebagai alat 
pemerintah (eksekutif), bukan alat negara. Dalam menjalankan fungsi dan 
kewenangannya, pegawai negeri sipil tunduk pada aturan pemerintah. Bagaimana 
mungkin pegawai negeri sipil dapat menjalankan roda birokrasi secara netral 
jika kebijakan dan aturan yang digunakan tunduk serta patuh kepada pemerintah. 
Kesalahan berikutnya adalah negara sering kali diidentikkan dengan pemerintah. 
Peran masyarakat tidak menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan negara. 
Masyarakat cenderung menjadi obyek penyelenggaraan negara. 

Secara ideal, penyelenggaraan negara pasti melibatkan masyarakat. Dengan 
demikian, pada tingkat implementasi diperlukan instrumen khusus dengan 
standardisasi prosedur. Singkatnya, hubungan eksternal 

[mediacare] Bank Mandiri Emoh Ungkap Rekening Widjanarko

2007-05-28 Terurut Topik MTI
 klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Dana Kampanye Presiden Diyakini Bisa Diungkap

2007-05-28 Terurut Topik MTI
Dana Kampanye Presiden Diyakini Bisa Diungkap
Jika KPU tidak bergerak, perkara ini tidak selesai.

JAKARTA - Mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Didik Supriyanto 
mengatakan dana kampanye fiktif pada dua pasangan calon presiden sudah 
dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum. Tapi lembaga ini tidak pernah 
menindaklanjuti.

Menurut Didik, dana kampanye pemilihan presiden pada 2004 itu bisa diungkap 
asalkan KPU memeriksa tim-tim sukses pasangan calon yang pada saat itu banyak 
bermunculan. "Celah ini dapat dimanfaatkan oleh KPU," katanya kemarin.

Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil audit akuntan publik, terdapat dana 
kampanye fiktif pada pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi sebesar Rp 
4,045 miliar. Adapun pada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 
ditemukan dana kampanye fiktif Rp 1,625 miliar.

Dalam daftar penyumbang pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, kata dia, beberapa 
tidak sesuai dengan data di KPU. Dia mencontohkan penyumbang nomor 425 atas 
nama Maryono, yang dalam daftar penyumbang disebutkan Rp 200 juta. 
"Kenyataannya cuma menyumbang Rp 10 juta," ungkapnya.

Adapun pada daftar penyumbang dana kampanye pasangan Yudhoyono-Kalla, Panitia 
Pengawas menduga ada 13 perusahaan fiktif yang andil setor uang. Tapi domisili 
perusahaan-perusahaan itu tidak satu pun yang ditemukan sesuai dengan alamat 
yang tercantum (lihat infografis di halaman A1).

Didik menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Pemilu, KPU bisa memberikan sanksi 
administratif terhadap pasangan calon yang terbukti melanggar. "Masalahnya, KPU 
tidak bergerak, sehingga perkara ini tidak selesai," ujarnya.

Masalah lainnya, kata Didik, pasangan calon presiden gampang mengelak jika 
ditanya soal dana kampanye. "Sebab, secara formal, mereka memang tidak 
menerima. Sementara itu, tim audit hanya memeriksa laporan keuangan tim 
kampanye yang terdaftar di KPU," ujarnya.

Didik menambahkan, bersamaan dengan maraknya aliran dana kampanye fiktif, 
terdapat dana asing yang masuk ke Indonesia. "Besarnya US$ 50 juta," katanya. 
Tapi Didik tidak dapat memastikan bahwa dana asing itu mengalir ke tim sukses 
pasangan calon presiden.

Dia mengaku memperoleh informasi itu dari Pusat Pelaporan dan Analisis 
Transaksi Keuangan (PPATK). Tapi Yunus Husein, Kepala Pusat Pelaporan, 
membantah dana itu mengalir ke pasangan calon presiden. "Bisa saja dana 
tersebut untuk investasi," ujarnya.

Mantan Ketua Pokja Dana Kampanye Pemilihan Presiden 2004 KPU Mulyana W. Kusumah 
mengatakan dana kampanye sudah dibongkar karena keterbatasan akuntan publik 
dalam mengaudit pundi-pundi tim kampanye calon presiden. KPU juga kesulitan 
mendapatkan akses untuk meneliti aliran dana mereka. "Ketika KPU meminta 
bantuan ke PPATK, dijawab bahwa PPATK hanya bisa laporan ke aparat penegak 
hukum," kata Mulyana.

Baik pasangan Yudhoyono-Kalla maupun Megawati-Hasyim Muzadi telah membantah 
tudingan menerima dana kampanye di luar aturan. Alwi Hamu, bekas anggota tim 
sukses pasangan Yudhoyono-Kalla, memastikan jagonya tidak pernah menerima dana 
dari luar negeri. "Semua tercatat dengan baik. Kecuali data itu terbakar atau 
rusak, saya kira masih ada," ujarnya saat dimintai konfirmasi oleh Tempo 
beberapa waktu lalu.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung 
berulang kali menyatakan bahwa Megawati tidak pernah menerima bantuan asing 
ataupun dana dari Rokhmin Dahuri, yang membagikan dana nonbujeter Departemen 
Kelautan dan Perikanan kepada sejumlah calon presiden. "Tidak ada dana masuk ke 
Mega Center atau ke pribadi Megawati," katanya. ERWIN DARIYANTO | IMRON ROSYID

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 29 Mei 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 



[mediacare] Dana Gelap Calon Presiden

2007-05-28 Terurut Topik MTI
Dana Gelap Calon Presiden

Dua tokoh, Amien Rais dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sempat adu 
polemik tentang dana sumbangan bagi calon presiden dalam Pemilihan Umum 2004, 
sudah berdamai. Tapi bola panas dana gelap calon presiden terus bergulir.

Kali ini mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Didik 
Supriyanto yang menggelindingkan. Ia menyebutkan pasangan Megawati-Hasyim 
Muzadi diduga memiliki dana kampanye gelap Rp 4,045 miliar, sedangkan pasangan 
Yudhoyono-Jusuf Kalla mendapat sumbangan yang sumbernya tidak jelas sebesar Rp 
1,625 miliar.

Penyumbang fiktif Mega-Hasyim antara lain:
PT Semen Grobogan Rp 600 juta
PT Wilang Sari Rp 350 juta
CV Maladang Putra Rp 750 juta
PT Arbarie Rp 750 juta
PT Friza Ausindo Riverland Rp 750 juta
Lie Budi Susanto Librata Rp 100 juta
Arsyad Kasmar Rp 100 juta
Murhadi Ibn Rp 100 juta
Joko Widodo Rp 95 juta (sebenarnya cuma menyumbang Rp 10 juta)
Maryono Rp 100 juta (tak pernah menyumbang)

Penyumbang fiktif Yudhoyono-Jusuf Kalla antara lain:
PT Bunga Cengkeh Abadi Rp 200 juta
PT Megah Pratama Murni Rp 50 juta
CV Sinar Tegar Dwi Rp 15 juta
CV Farah Dini Rp 250 juta
PT Putra Wara Rp 75 juta
CV Pembangunan Rp 150 juta
PT Rajawali Duta Nusantara Rp 75 juta
PT Sugiro Rp 75 juta
CV Nugraha Group Rp 150 juta
PT Patran Jaya Rp 300 juta
UD Veteran Motor Rp 100 juta
UD Cipta Jasa Rp 100 juta
PT Putera Wara Rp 75 juta

Dolar Panas

"Ada dana asing sebesar US$ 50 juta masuk Indonesia saat kampanye pemilihan 
presiden." 
--Didik Supriyanto 

"Ada dana dari Washington untuk salah satu calon presiden."
--Amien Rais 

Ketentuan yang dilanggar:
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden: Pasangan 
calon dilarang menerima sumbangan dari asing, pemerintah, BUMN, dan BUMD.

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 29 Mei 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Amien Rais Siap Jadi Tersangka dan Dipenjara

2007-05-16 Terurut Topik MTI
Amien Rais Siap Jadi Tersangka dan Dipenjara



Yogyakarta, Kompas - Amien Rais siap menjadi tersangka dan dihukum jika dana 
nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan yang diterimanya diperkarakan ke 
ranah hukum karena dianggap korupsi. Ia mengimbau agar calon presiden dari 
partai lain pada Pemilu 2004 jangan berkelit karena dana itu juga mereka 
terima. 

"Ini harus saya katakan agar masalah DKP dapat dipandang adil dan proporsional. 
Jika sudah sampai gelar perkara lanjutan, kami siap menghadirkan saksi dan 
membeberkan fakta. Demi hukum, tidak ada masalah jika saya harus menjadi 
tersangka dan nanti dipenjara," ujar Amien, Selasa (15/5). 

Namun, mantan calon presiden pada Pemilu 2004 ini merasa kecewa karena kubu 
partai lain dan tim sukses mereka malah menyangkal menerima dana nonbudgeter 
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Padahal, dana itu diterima mereka dari 
Rokhmin Dahuri (Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu), meski jumlahnya 
berbeda. 

Karena itu, pihaknya mendesak pimpinan DPR yang menutup penyelidikan atas kasus 
dugaan penerimaan aliran dana nonbudgeter DKP agar meninjau ulang. Amien lalu 
menunjuk penerima dana itu ada yang menjadi ketua lembaga tinggi negara dan ada 
yang berada di luar struktur kekuasaan. "PAN memiliki catatan cash ini dan cash 
flow selama dua masa kampanye Pemilu 2004, termasuk dana nonbudgeter ini secara 
tertib. Termasuk pula Rp 200 juta yang diberikan langsung lewat tangan saya dan 
Rp 200 juta yang lain lewat anggota tim kampanye saya," papar mantan Ketua Umum 
PAN ini. 

Amien tidak menyebut tanggal ia menerima Rp 200 juta tersebut. Ia hanya 
mengatakan, pada suatu sore, Rokhmin datang kepadanya menyerahkan cek senilai 
Rp 200 juta dalam amplop. Rokhmin mengatakan itu untuk kampanye. Amien sendiri 
tak sempat menanyakan asal muasal cek itu. Namun, Amien mengaku tidak mengambil 
satu sen pun karena cek langsung diserahkan kepada bendahara PAN. "Untuk Rp 200 
juta yang lain akan kami susuri siapa di internal PAN yang menerima," ujarnya. 

Amien berharap pemerintah tak melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum. 
Kasus dana nonbudgeter malah dianggap sebagai awal yang bagus bagi pengusutan 
kasus yang lebih besar. Misalnya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang 
menyangkut uang sekitar Rp 600 triliun. "Artinya, jutaan kali lebih besar dari 
kaus Rokhmin-partai politik yang sudah mulai bergulir di pengadilan. Kami juga 
mengharap tidak ada politisasi kasus dana nonbudgeter DKP," kata Amien. 

Dihubungi secara terpisah, salah satu penanggung jawab Mega Center, Tjahjo 
Kumolo, mengaku tidak tahu-menahu dan tak pernah menerima dana dari Rokhmin. Ia 
mengaku akan meminta klarifikasi dari Rokhmin tentang dana yang katanya 
diterima Mega Center. "Kami akan mengklarifikasi Steven dan Michael yang 
disebutkan menerima dana atas nama Mega Center," ucap Tjahjo yang menyayangkan 
langkah Rokhmin menyebutkan telah memberi kado untuk Megawati sebesar Rp 4 
juta, juga ditulis dan dicatat. "Ya, kalau mau nyumbang ya ikhlas saja," ucap 
Tjahjo. 

Dalam penjelasan tertulisnya, Direktur Blora Center M Jusuf Rizal menegaskan, 
Blora Center tidak pernah menerima kucuran dana DKP dari Rokhmin. "Blora Center 
selama ini tidak pernah menerima kucuran dana DKP. Saya juga sudah melakukan 
klarifikasi kepada bidang logistik yang menyebutkan tidak pernah menerima 
bantuan pendanaan dari Rokhmin," ujar Jusuf yang meminta Rokhmin menyebutkan 
siapa orang Blora Center yang menerima. (PRA/bdm) 

Sumber: Kompas - Rabu, 16 Mei 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Guernsey Gelar Adu Bukti

2007-05-16 Terurut Topik MTI
Guernsey Gelar Adu Bukti



JAKARTA - Pengadilan Guernsey kemarin mulai menggelar sidang adu bukti gugatan 
intervensi kejaksaan dalam kasus dana Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto 
yang tersimpan di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang Guernsey. 
Sidang tersebut dimulai pukul 9 pagi. "Sidang sedang berlangsung," ujar Duta 
Besar Republik Indonesia untuk Inggris, R. Marty Natalegawa, melalui pesan 
pendek kepada Tempo kemarin.

Persidangan ini merupakan rangkaian sidang gugatan intervensi antara Kejaksaan 
Agung dan pihak Tommy yang menggugat BNP Paribas cabang Guernsey. Adapun kisah 
duit Tommy di BNP Paribas cabang Guernsey sebesar 36 juta euro atau sekitar Rp 
421 miliar bermula dari gugatan Garnet Investment Limited--salah satu 
perusahaan milik Tommy--Maret tahun lalu. 

BNP Paribas menolak permintaan Garnet mencairkan dana karena mencurigai dana 
itu hasil korupsi. Kejaksaan Agung menerima informasi tersebut dari Kedutaan 
Besar RI di Inggris, lalu mengajukan gugatan intervensi. Sidang gugatan 
intervensi sudah dimulai pada 22 Januari lalu. Kejaksaan dan pihak 
Tommy--diwakili pengacara O.C. Kaligis--masing-masing sudah mengajukan 
argumentasi dan bantahannya.

Kejaksaan, selaku penggugat intervensi, berencana mengupayakan adanya 
penyingkapan secara menyeluruh (full disclosure) di sela-sela sidang adu 
pembuktian tersebut. Menurut Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi 
Sabda, dari keterangan dalam full disclosure itu nantinya bisa terungkap jumlah 
uang Tommy dan tujuan penyimpanan di BNP Paribas cabang Guernsey. 

"Selain itu, hakim bisa menanyakan ihwal asal-usul uang tersebut," kata Yoseph 
Senin pekan lalu. Namun, dalam sidang adu bukti tersebut, permohonan full 
disclosure belum dibahas. "Belum sampai ke sana (permintaan full disclosure)," 
kata Marty.

Bagi O.C. Kaligis, pengacara Tommy, permintaan full disclosure dari pihak 
kejaksaan malah menguntungkan kliennya. "Kami malah senang," ujar Kaligis saat 
dihubungi kemarin. Menurut dia, permintaan full disclosure menunjukkan bahwa 
kejaksaan tidak memiliki cukup bukti untuk mempertahankan argumentasi dan 
bantahannya dalam gugatan intervensi terhadap dana kliennya yang disimpan di 
BNP Paribas cabang Guernsey.

Kaligis mengatakan telah menyiapkan sebanyak 200 halaman untuk sidang adu 
bukti. Menurut dia, sidang adu bukti untuk mempertahankan argumentasi dari 
masing-masing pihak. "Lamanya sidang itu tergantung kekuatan argumentasi 
masing-masing," ujarnya. Kaligis menegaskan bahwa dana Tommy yang tersimpan di 
BNP Paribas cabang Guernsey adalah dana bersih yang tidak terkait dengan kasus 
korupsi. 

Kaligis mengakui menggunakan surat bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 
Hamid Awaludin perihal pencairan dana Motorbike--salah satu perusahaan Tommy-- 
yang tersimpan di BNP Paribas cabang London sebesar Rp 90 miliar. Menurut dia, 
surat itu dipakai untuk pembuktian dana Tommy di BNP Paribas cabang Guernsey. 
"Yang di Motorbike saja bisa cair, tapi kenapa yang lain tidak bisa?" kata 
Kaligis. Sukma N Loppies

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 15 Mei 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Korupsi Bandara, Delapan Terdakwa Diputus Bebas

2007-05-02 Terurut Topik MTI
Korupsi Bandara, Delapan Terdakwa Diputus Bebas



Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang dipimpin Zaid Umar Bobsaid, 
Selasa (1/5), membebaskan delapan terdakwa dalam kasus korupsi perluasan lahan 
untuk Bandara Soekarno- Hatta. 

Para terdakwa dalam kasus tersebut adalah Aula Ismat Wahidin, Hamka Haris, 
Nawawi, Ahmad Dimyati, Ahmad Syafei, Muhamad Nape (seluruhnya aparat Pemerintah 
Kota Tangerang), serta Aryo Mulyanto dan Rusmino (pegawai PT Angkasa Pura II). 

Tim jaksa menyatakan naik banding atas putusan majelis hakim tersebut. "Maaf, 
saya tidak bisa berbicara banyak karena keberatan kami akan tertuang dalam 
memori kasasi," ujar Riyadi, salah satu anggota tim jaksa. 

Keputusan hakim membebaskan para terdakwa itu mengagetkan, karena sebelumnya 
tim jaksa menuntut hukuman penjara 18 bulan-36 bulan atas para terdakwa, serta 
membayar ganti rugi sebesar Rp 3 miliar secara tanggung renteng. 

Tangis haru dan ucapan syukur langsung menyeruak saat satu per satu terdakwa 
dinyatakan bebas dari seluruh dakwaan dan memulihkan hak dan marta- bat mereka. 
Aula langsung bersujud ke tanah lalu berpelukan dengan istri, ibu, dan rekannya 
sekantor. 

Tidak terbukti 

Majelis hakim berpendapat, dari fakta di persidangan para terdakwa tidak 
terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain. Alasannya, tidak ada faktor 
kerugian negara dalam pembayaran ganti rugi pembebasan lahan untuk perluasan 
Bandara Soekarno- Hatta. 

Beberapa pemilik lahan menyatakan menerima pembayaran ganti rugi lahan untuk 
tanah darat sesuai kondisi lahan saat itu, walau dalam sertifikat tertulis 
tanah mereka masih tanah sawah. Pembayaran ganti rugi seperti itu, kata majelis 
hakim, sudah sesuai dengan aturan sehingga negara tidak dirugikan. (TRI) 

Sumber: Kompas - Rabu, 02 Mei 2007 



++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Tim Sukses Calon Presiden Terima Dana Rokhmin

2007-04-23 Terurut Topik MTI
Tim Sukses Calon Presiden Terima Dana Rokhmin
Amien Rais mengakui, sementara tim sukses Yudhoyono membantah.

JAKARTA -- Dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan semasa dipimpin 
Rokhmin Dahuri ternyata juga mengalir ke sejumlah calon presiden pada Pemilu 
2004. Aliran dana itu, berdasarkan berita acara pemeriksaan penyidik Komisi 
Pemberantasan Korupsi, berlangsung pada Januari-Juli 2004.

Amien Rais, misalnya. Mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu menerima 
dana Departemen Kelautan Rp 200 juta. "(Pada) suatu sore, tanggalnya saya lupa. 
Pak Rokhmin sendiri yang memberikan bantuan untuk kampanye PAN," kata Amien, 
yang mengaku tak sempat menanyakan asal-usul uang tersebut. "Ijab kabulnya 
untuk membantu kampanye PAN," ujar bekas calon presiden itu kepada Tempo Jumat 
lalu.

Sementara itu, bantahan datang dari mantan Ketua Bidang Komunikasi Mega Centre 
Arie Djunaidi. Menurut dia, tak ada aliran dana Departemen Kelautan ke kantong 
anggota tim pemenangan calon presiden Megawati Soekarnoputri. "Saya pastikan 
tidak ada," ujar Arie.

Dalam berita acara pemeriksaan Rokhmin disebutkan, dana nonbujeter itu mengalir 
ke Mega Centre melalui sejumlah orang, seperti Arief Budimanta sebesar Rp 50 
juta, Steven Rp 200 juta, dan Suminta Rp 50 juta. Menurut Arie, kalau memang 
aliran itu benar adanya, jumlahnya terlalu kecil. "Sedikit sekali, ya," ujarnya.

Aktivis Muhammadiyah, Iman Addaruqutni, yang tercantum sebagai anggota tim 
sukses Susilo Bambang Yudhoyono, membantah jika disebut kebagian aliran dana 
Departemen Kelautan. Ketua Umum Partai Matahari Bangsa itu menegaskan, "Saya 
tidak pernah menerima." 

Dalam berita acara pemeriksaan Rokhmin, Iman disebutkan sebagai anggota tim 
sukses SBY yang telah dua kali menerima duit. Pertama, Rp 25 juta pada 14 
Januari 2004. Kedua, Rp 200 juta pada 10 Juni 2004. Menurut Iman, "Itu seratus 
persen salah." 

Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Fachri Hamzah, tidak mengelak disebut 
sebagai menerima dana departemen tersebut. "Itu dulu, sebelum saya menjadi 
anggota DPR," kata Fachri sambil menyebutkan dana digunakan untuk 
operasionalisasi sebuah yayasan yang ia pimpin. Fachri lupa jumlahnya. Tapi 
dalam berita acara pemeriksaan tertulis, pada 8 Februari 2004 dan 9 Juni 2004, 
Fachri menerima masing-masing Rp 50 juta. 

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid disebut-sebut menerima 
dana Departemen Kelautan sewaktu dirinya menjadi Presiden Partai Keadilan. 
Partai itu kini berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. "Itu informasi 
sepihak, perlu dicek lagi," katanya.

Ketika Tempo menyebutkan penerimaan dana itu berlangsung pada 29 Desember 2003 
dan 2 Maret 2004, masing-masing Rp 100 juta dan Rp 200 juta, Hidayat menjawab, 
"Tidak ada catatan di bendahara bahwa ada dana dari Pak Rokhmin ataupun 
Departemen Kelautan." 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama Khofifah Indar Parawansa 
mengakui lembaganya memperoleh bantuan. "Besarnya Rp 30 juta, untuk keperluan 
Kongres Muslimat NU," katanya kepada Tempo kemarin.

Dia menegaskan dana Departemen Kelautan tak cuma dari Rokhmin Dahuri, tapi juga 
dari Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini. Dana Departemen 
sewaktu dipegang Rokhmin dipakai oleh Muslimat NU DKI Jakarta sebesar Rp 50 
juta. "Dana itu untuk perayaan Hari Jadi Muslimat NU," katanya.

Menteri Freddy, yang dikonfirmasi oleh Tempo, mengatakan tidak mengetahui duit 
yang disumbangkan berasal dari dana nonbujeter Departemen Kelautan. 

Saat ini kasus Rokhmin tengah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 
Rangkaian sidang mulai memasuki agenda pembuktian dengan pemeriksaan sejumlah 
saksi. Aliran dana Departemen Kelautan menjelang Pemilu 2004 sebagian 
terpampang pada tabel di bawah ini. IMRON ROSYID | GUNANTO | ERWIN DARYANTO |

Sumber: Koran Tempo - Senin, 23 April 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Concerned only with money

2007-04-16 Terurut Topik MTI
Concerned only with money
The Jakarta Post - March 10, 2007

Since 1991 I have visited many places in Indonesia, from Medan to Makassar.
As I learned Bahasa Indonesia I can easily mingle with ordinary Indonesians.

My first opinion about Indonesia was very positive. Most people greeted me
and invited me to their homes. In particular people in the countryside are
very happy when a westerner visits their village.

After staying a long time in this country and having talked with many people
at all social levels, from farmers to government officials, it seems that
most have only one topic which keeps them entertained: money.

In my country, the Netherlands, people have many hobbies and ambitions.
Dutch children as young as four years old want to become doctors, police
officers, dentists, lawyers, musicians, dancers, etc. They are encouraged by
their parents to swim, dance, sing, draw cartoons, love animals, respect
nature and so on.

Indonesian children simply hang around all day in the vicinity of their
house without having anything to do. They aren't encouraged by their parents
to do something useful as these parents only watch television, chat with
neighbors or, even worse, sleep.

As a European I become bored of being told every day that I am rich just
because I'm from Europe. Indonesians don't care about their achievements,
but only about the amount of money they acquire. The way they get this money
doesn't matter to them.

People at all levels protest daily about corruption, but most of them are
themselves corrupt. If those protesters could acquire top positions they
wouldn't mind being corrupt in the same way they now accuse others.

A lot of the media, especially The Jakarta Post, run stories on widespread
corruption. Unfortunately, it's only talk with almost no action at all.

In my opinion, the high level of corruption in Indonesia is caused by the
fact that Indonesians have no ambition, except to acquire money. When they
have more than they need, they simply have a party, buy a car, television,
or waste it on other meaningless items.

They don't save it for their children's education and future like we do in
Europe. What's the meaning of money if you don't know what to do with it?

How is this country going to develop if nobody cares about their
achievements but only about money?

RONALD RAMAKERS
Medan, North Sumatra


[mediacare] BPK Nilai Pencairan Duit Tommy Salah

2007-03-30 Terurut Topik MTI
BPK Nilai Pencairan Duit Tommy Salah



"Orang kita tidak punya integritas, tidak punya moral." 

Jakarta -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution menyatakan 
penggunaan rekening Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai tempat 
menyetor dan menyimpan uang Tommy Soeharto menyalahi aturan. "Secara etika, 
menurut hukum, menurut moral, itu menyalahi," kata Anwar. 

Dari sisi keuangan negara, dia melanjutkan, penyimpanan uang Hutomo Mandala 
Putra alias Tommy Soeharto di rekening pemerintah itu tidak dapat dibenarkan. 
"(Misalnya) rekening koran you (dipakai) jual-beli sepeda motor, transaksi, 
mana boleh? Dari situ sudah jelas, orang kita tidak punya integritas, tidak 
punya moral," kata Anwar setelah menghadiri pelantikan Muchtar Arifin sebagai 
Wakil Jaksa Agung kemarin. 

Pada 2005, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menyetujui 
penggunaan rekening departemennya untuk proses pencairan dana Motorbike 
Corporation, perusahaan asal Bahama, Amerika Tengah, milik Hutomo Mandala 
Putra, sebesar US$ 10 juta (setara dengan Rp 90 miliar dengan kurs Rp 9.000) 
yang berada di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang London. 

Hamid membolehkan Motorbike menggunakan rekening kantornya karena tahu uang 
mereka bersih. "Tidak jadi masalah, uang itu halal," kata mantan dosen 
Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, ini kepada pers, 5 Maret 
lalu. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun meminta masyarakat jangan terlalu 
mencurigai keterlibatan Hamid. "Jangan selalu semua kita curigai, apa saja di 
republik ini. Uang keluar kita curigai, uang masuk kita curigai juga," ujarnya, 
23 Maret lalu. 

Kalangan DPR dan pengamat meminta polisi dan kejaksaan mengusut kasus ini. 
Namun, menurut Anwar Nasution, hingga saat ini di BPK belum ada yang meminta 
untuk mengaudit duit Tommy. "Belum ada permintaan," katanya. 

Sementara itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam jumpa pers di kantornya 
menyatakan telah mengantongi nama perusahaan lain yang berafiliasi dengan 
Motorbike dan Garnet Investment Limited milik Tommy Soeharto. Hal itu diketahui 
dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada 
Kejaksaan Agung. "Pengurusnya yang itu-itu juga," ujarnya. 

Namun, ia tidak bersedia menjelaskan nama-nama perusahaan afiliasi dimaksud. 
"(Dokumen) PPATK ada, tapi rahasia. Tidak memuat nama-nama orang, hanya memuat 
nama afiliasi perusahaan. Tidak boleh saya buka di sini," kata Abdul Rahman. 
FANNY FEBIANA

Sumber: Koran Tempo -  Jumat, 30 Maret 2007



++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 
BPK Nilai Pencairan Duit Tommy Salah



"Orang kita tidak punya integritas, tidak punya moral." 

Jakarta -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution menyatakan 
penggunaan rekening Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai tempat 
menyetor dan menyimpan uang Tommy Soeharto menyalahi aturan. "Secara etika, 
menurut hukum, menurut moral, itu menyalahi," kata Anwar. 

Dari sisi keuangan negara, dia melanjutkan, penyimpanan uang Hutomo Mandala 
Putra alias Tommy Soeharto di rekening pemerintah itu tidak dapat dibenarkan. 
"(Misalnya) rekening koran you (dipakai) jual-beli sepeda motor, transaksi, 
mana boleh? Dari situ sudah jelas, orang kita tidak punya integritas, tidak 
punya moral," kata Anwar setelah menghadiri pelantikan Muchtar Arifin sebagai 
Wakil Jaksa Agung kemarin. 

Pada 2005, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menyetujui 
penggunaan rekening departemennya untuk proses pencairan dana Motorbike 
Corporation, perusahaan asal Bahama, Amerika Tengah, milik Hutomo Mandala 
Putra, sebesar US$ 10 juta (setara dengan Rp 90 miliar dengan kurs Rp 9.000) 
yang berada di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang London. 

Hamid membolehkan Motorbike menggunakan rekening kantornya karena tahu uang 
mereka bersih. "Tidak jadi masalah, uang itu halal," kata mantan dosen 
Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, ini kepada pers, 5 Maret 
lalu. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun meminta masyarakat jangan terlalu 
mencurigai keterlibatan Hamid. "Jangan selalu semua kita curigai, apa saja di 
republik ini. Uang keluar kita curigai, uang masuk kita curigai juga," ujarnya, 
23 Maret lalu. 

Kalangan DPR dan pengamat meminta polisi dan kejaksaan mengusut kasus ini. 
Namun, menurut Anwar Nasution, hingga saat ini di BPK belum ada yang meminta 
untuk mengaudit duit Tommy. "Belu

[mediacare] KPK: Lima Transaksi Yusril Tak Jelas

2007-03-29 Terurut Topik MTI
KPK: Lima Transaksi Yusril Tak Jelas

Jakarta -- Komisi Pemberantasan Korupsi menilai setidaknya ada lima transaksi 
di atas Rp 100 juta yang tidak bisa dijelaskan asal aliran dananya oleh 
Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Kelima transaksi itu terjadi 
saat ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada 
2001-2004. "Saya tidak bisa menyampaikan jenis dan jumlah transaksinya, yang 
pasti itu transaksi keuangan," kata Direktur Laporan Harta Kekayaan 
Penyelenggara Negara Muhammad Sigit di Kantor KPK, Jakarta, kemarin.

Menurut Sigit, Yusril sebenarnya pernah ditanyai oleh KPK soal kelima transaksi 
itu beberapa waktu lalu. Hal itu dimintakan klarifikasi kepada Yusril, kata 
Sigit, karena transaksi itu cukup menarik perhatian. Pertama kali datang pada 
Januari 2006, Yusril pernah ditanya soal transaksi keuangan itu. "Dia belum 
jawab," kata Sigit. Alasannya, adik perempuannya yang mengurus administrasi 
keuangan. 

Dua bulan berselang, kata Sigit, adik perempuan Yusril datang membawa data. 
"Tapi itu pun belum bisa menjawab beberapa transaksi keuangan yang ditanyakan," 
ujarnya. Hingga saat ini, Yusril belum memberi penjelasan mengenai 
transaksi-transaksi tersebut. "Boleh dikatakan, Pak Yusril masih berutang." 

Saat Tempo bertanya soal pernyataan Sigit itu, Yusril tidak dapat memberikan 
konfirmasi. "Harus ada bukti transfer dari bank baru saya bisa menjelaskan. 
Transfer apa? Saya tidak mengerti," kata Yusril kepada Tempo melalui telepon 
kemarin malam. Bahkan Yusril mengatakan KPK belum meminta konfirmasi apa pun 
kepadanya seputar masalah transfer dana tersebut. 

KPK, Sigit melanjutkan, baru akan menanyakan kembali soal transaksi tersebut 
ketika Yusril menyerahkan data kekayaan terbarunya. "Sekarang sudah waktunya 
dia menyerahkan (data) Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara 2006," kata 
dia. 

Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, total harta 
Yusril per 28 Agustus 2001 sebesar Rp 2,061 miliar plus US$ 110 ribu. Pada 26 
November 2004, harta Yusril meningkat menjadi Rp 6,907 miliar plus US$ 110 
ribu. Harta Yusril naik sekitar 245 persen. Yusril mengatakan kenaikan itu 
dikarenakan kenaikan harga tanah miliknya. tito sianipar | muslima hapsari

Sumber: Koran Tempo -  Jumat, 30 Maret 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Pundi-pundi 'Pangeran Sambernyawa'

2007-03-29 Terurut Topik MTI
Pundi-pundi 'Pangeran Sambernyawa'
Gerbangnya tertutup rapat dan dijaga ketat. 

Lenyap sudah keramahan di rumah mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog 
Widjanarko Puspoyo di Kampung Baluwarti, Kelurahan Gajahan, Solo. Rumah kuno 
yang dibeli seharga Rp 11 miliar itu tampak sepi. Gerbang pintu rumah yang dulu 
dibeli dari H. Sangidoe--ayah Mudrick M. Sangidoe, tokoh Mega-Bintang (koalisi 
PDI Perjuangan dengan Partai Persatuan Pembangunan)--itu tampak beku. 
Gerbangnya tertutup rapat. 

Sejak mencuat kasus dugaan korupsi impor sapi yang menyeret Widjanarko, rumah 
itu kehilangan aura kegembiraannya. Gerbangnya tertutup rapat dan dijaga ketat. 

Dulu, bangunan yang diberi nama Ndalem Joyokusuman itu selalu terbuka pintunya. 
Rumah ini juga jadi langganan acara-acara seni budaya. Widjan pernah 
mementaskan ketoprak berlakon Pangeran Sambernyawa Kridha di rumah tua yang 
berdiri di atas tanah 8.500 meter persegi itu. Widjanarko tampil sebagai aktor 
utama ketopraknya. Dialah sang Pangeran Sambernyawa.

Widjanarko, meski tinggal di Yogyakarta, selalu tergoda untuk bernostalgia di 
Solo, kota tempat ia dibesarkan hingga SMP. Dia menginvestasikan banyak uangnya 
untuk membeli sejumlah tanah di Solo. Selain tanah di Gajahan, pada 2002 ia 
membeli sebuah tanah di Kalitan, persis di sebelah Ndalem Kalitan milik 
keluarga mantan presiden Soeharto. Rumah Widjan, yang diberi nama Griya 
Kalitan, selama ini disewakan untuk umum karena didesain sebagai gedung 
pertemuan. 

Menurut Boyamin, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia, selain tanah dan 
bangunan dari keluarga Sangidoe, Widjanarko juga membeli tanah seluas 3.000 
meter persegi yang letaknya juga di Kampung Gajahan. Tanah itu dibeli dengan 
harga Rp 3 miliar dari beberapa orang warga Kampung Gajahan yang tanahnya 
berhadapan dengan tanah Widjan yang dibeli juga dari Sangidoe. Tanah itu 
kemudian disulap menjadi hotel berarsitektur Jawa klasik. Renovasinya konon 
menghabiskan biaya miliaran rupiah. 

Kini, setelah Widjan tersandung dugaan korupsi, banyak rumor di seputar 
rumah-rumah itu. Rumahnya di Gajahan kabarnya sudah ditawarkan untuk dijual 
seharga Rp 10 miliar. Demikian juga yang di Kalitan. Tanah itu dikabarkan 
ditawarkan kepada pengurus Ndalem Kalitan, rumah pribadi mantan presiden 
Soeharto, dengan nilai penawaran Rp 3 miliar.


"Kejaksaan Agung harus mencegah penjualan ini untuk menghindari pengalihan 
barang bukti," kata Boyamin.

Namun, kuasa hukum Widjanarko, Hotma Sitompul, membantah jika dikatakan tanah 
itu didapat dari hasil korupsi. "Buktikan saja kalau itu hasil kejahatan," kata 
Hotma kemarin.IMRON ROSYID | ANAS SYAHIRUL | TITO SIANIPAR

Sumber: Koran Tempo - Kamis, 29 Maret 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Pemahaman soal Korupsi Terbatas

2007-03-22 Terurut Topik MTI
Pemahaman soal Korupsi Terbatas



Pemahaman publik, penegak hukum, dan penyelenggara negara terhadap korupsi di 
Indonesia masih terbatas pada tiga hal, yaitu adanya kerugian negara, adanya 
perbuatan melawan hukum, dan penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, ada sekitar 30 
jenis korupsi yang diakui dalam undang-undang. 

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi, yang diperbarui dengan UU No 20/2001, jenis korupsi itu 
termasuk juga suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, 
benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Ini belum sepenuhnya 
dipahami publik dan aparatur negara. 

Demikian dikatakan Amien Sunaryadi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 
(KPK), dalam diskusi dan pemaparan hasil penelitian Ben Olken berjudul 
Understanding Corruption: Lessons from the Latest Research di Gedung Center for 
Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (21/3). Diskusi itu digelar 
Bank Dunia dan KPK. 

Ben adalah peneliti yang berafiliasi dengan Abdul Latif Jameel Poverty Action 
Lab di Massachussets Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. 

Amien menjelaskan, sejak berlakunya UU No 3/1971, diubah dengan UU No 31/1999 
dan UU No 20/2001, korupsi didefinisikan terbatas pada tiga unsur saja. 
Padahal, ada 27 jenis korupsi lain yang ternyata belum dipahami publik dan 
penyelenggara negara. Ke-27 jenis korupsi ini justru tak berhubungan dengan 
kerugian negara. 

Amien mengakui belum mendapatkan informasi tentang berapa banyak Mahkamah Agung 
(MA) memutus perkara korupsi dengan memakai jeratan pasal lain di luar tiga 
jenis korupsi yang diketahui publik itu. Karena itu, banyak kasus korupsi yang 
tidak tersentuh akibat penegak hukum selama ini terpaku menggunakan ukuran tiga 
korupsi yang ada. 

Amien juga menggugah apakah benar ada praktik suap terhadap hakim di Indonesia? 
Banyak kalangan yang menyatakan hal itu, tetapi mayoritas hanya berdasarkan 
persepsi. Berkaca pada data sejak tahun 1977 hingga 2007, hanya tiga hakim yang 
dibawa ke pengadilan. "Apakah ini disebabkan tidak efektifnya kerja aparat 
penegak hukum?" tanyanya. 

Sementara itu, Ben Olken memaparkan, pemberantasan korupsi seharusnya 
difokuskan pada bagian yang memiliki dampak sosial paling tinggi akibat 
terjadinya praktik korupsi, dibandingkan dengan bagian yang paling tinggi 
terjadi praktik penyuapan. Untuk itu perlu didesain sebuah solusi yang lebih 
memfokuskan jenis korupsi yang berbiaya sosial tinggi, dibandingkan hanya 
berpatokan pada berapa besar kerugian negara yang dihasilkan akibat tindak 
korupsi itu. (VIN) 

Sumber: Kompas - Kamis, 22 Maret 2007



++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 



[mediacare] Aparat Pajak Buru Pejabat Negara

2007-03-22 Terurut Topik MTI
Aparat Pajak Buru Pejabat Negara



JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan akan mengejar para 
pejabat eselon I-V serta pejabat negara yang tidak membayar pajak. 

Menurut Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution, para pejabat itu diwajibkan 
memiliki memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan menyampaikan surat 
pemberitahuan tahunan (SPT) atas penghasilan pribadi dari dalam dan luar negeri 
selama 2006.

Menurut dia, pejabat yang tidak mematuhi ketentuan akan dikenai sanksi sesuai 
dengan aturan yang berlaku. "Bahkan bagi pejabat eselon I dan pejabat negara 
akan dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ujar Darmin setelah 
menerima penyampaian SPT pajak penghasilan pribadi Presiden di Jakarta kemarin. 

Darmin menjelaskan langkah mengejar para pejabat tinggi itu merupakan bagian 
dari program ekstensifikasi penerimaan pajak yang telah dicanangkan pemerintah. 

Menurut dia, kewajiban memiliki NPWP dan SPT juga merupakan bagian kepatuhan 
terhadap peraturan perundangan pajak seperti tercantum dalam Peraturan 
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. 
Dalam aturan itu ditegaskan setiap pegawai negeri sipil wajib mematuhi 
peraturan perundangan di bidang pajak.

Darmin mengaku telah selesai mendata pejabat eselon IV dan eselon I yang telah 
mempunyai NPWP dan menyampaikan SPT. "Kami masih memberi toleransi waktu selama 
dua bulan sejak 31 Maret lalu," ujarnya. 

Batas akhir penyetoran pajak terutang 2006 adalah 23 Maret 2007, sedangkan 
batas waktu penyampaian SPT 2006 adalah 31 Maret 2007. 

Lebih lanjut dia menjelaskan kewajiban memiliki NPWP berlaku bagi orang yang 
tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dan memiliki penghasilan Rp 13,2 juta 
setahun atau 1,1 juta per bulan. 

Seperti diberitakan, pemerintah akan melakukan perluasan basis pajak atau 
ekstensifikasi pajak berbasis pekerja atau karyawan mulai 6 Maret lalu. Pada 
tahap awal, Direktorat Jenderal Pajak akan memberikan NPWP kepada karyawan PT 
HM Sampoerna Tbk. dan PT Petrokimia Gresik. 

Menurut Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Hasan Rachmady, perluasan basis 
pajak diharapkan dapat menjaring 13-15 juta calon wajib pajak sampai 2008. Saat 
ini Direktorat Jenderal Pajak mencatat terdapat 3,7 juta wajib pajak. Tahun ini 
diharapkan ada peningkatan 7 juta, sehingga pada akhir tahun jumlah wajib pajak 
mencapai 10,7 juta. 

"Potensi calon wajib pajak 37 juta dengan perhitungan jumlah penduduk dikurangi 
jumlah penduduk miskin dan pemilik NPWP," katanya. 

Terkait dengan upaya itu, di wilayah Jakarta, Direktorat Pajak sudah melakukan 
pendekatan property base dan professional base. Upaya itu dilakukan dengan 
menjaring wajib pajak baru terhadap karyawan dan manajemen perusahaan. 

Darmin menambahkan, penerimaan pajak penghasilan, baik pribadi maupun badan, 
adalah kontributor utama sumber penerimaan pajak negara. Setelah itu baru 
kontribusi dari pajak pertambahan nilai barang dan jasa. "Potensi penerimaan 
pajak penghasilan badan dan migas 2007 mencapai 60 persen dari total penerimaan 
pajak." ujarnya. BADRIAH

Sumber: Koran Tempo - Kamis, 22 Maret 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 

----
 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Widjanarko Menyanggupi Kembalikan 11 Miliar

2007-03-21 Terurut Topik MTI
Widjanarko Menyanggupi Kembalikan 11 Miliar
Tindakan itu tak menghapus pidana korupsi yang disangkakan. 

Jakarta -- Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Widjanarko Puspoyo menyatakan 
sanggup membayar Rp 11 miliar sebagai pengganti kerugian negara akibat impor 
sapi fiktif yang diduga melibatkan dirinya. Sebagai imbalan atas kesanggupan 
itu, "Widjanarko minta ditahan di luar," kata Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda 
Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji di kantornya kemarin.

Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus M. Salim menjelaskan permintaan itu 
disampaikan melalui pengacara Hotma Sitompul, tiga jam sebelum Kejaksaan Agung 
membawa Widjanarko ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, sekitar 
pukul 20.00 WIB, Selasa lalu. Penahanan dilakukan setelah selama 10 jam 
sebelumnya Kejaksaan Agung memeriksa Widjanarko, yang menjabat Kepala Bulog 
sejak 19 Desember 2001 itu. Dia diperiksa sebagai tersangka dalam kasus korupsi 
impor sapi pada awal masa jabatannya.

Penyidik kejaksaan saat ini masih mempertimbangkan permohonan tersebut. "Kan 
nggak bisa langsung ada jawaban ya atau tidak. Mesti kami pelajari dan 
pertimbangkan," kata Salim. "Sementara ini kami tahan dulu."

Jaksa memutuskan menitipkan Widjanarko di LP Cipinang, menurut Salim, agar para 
tersangka tidak saling mempengaruhi kesaksian masing-masing. Sebelumnya 
Kejaksaan Agung telah menahan lima tersangka lain. Mereka adalah Tito Pranolo 
(mantan Ketua Tim Monitoring), Imanusafi, Ruchiyat Subandi, A. Nawawi, dan Mika 
Ramba Kembenan. Kelimanya ditahan di rumah tahanan Kejaksaan Agung sejak 12 
Maret lalu.

Salim menegaskan, meski nantinya Widjanarko jadi membayar ganti kerugian Rp 11 
miliar, tindakan itu tidak menghapus pidana korupsi yang disangkakan 
terhadapnya. "Proses jalan terus. Lihat saja pasalnya di Undang-Undang Tindak 
Pidana Korupsi."

Hendarman menambahkan kesanggupan tersangka mengganti kerugian itu tidak bisa 
dilihat sebagai pengakuan dari yang bersangkutan bahwa dia bertanggung jawab 
dalam impor sapi bodong tersebut. "Saya tidak melihat ada pengakuan itu," ujar 
Hendarman. 

Ketika didesak pertanyaan soal aliran dana Rp 11 miliar itu, Hendarman tak 
bersedia menjawab. "Itu yang akan kami tanyakan (kepada Widjanarko) besok," 
kata Hendarman. 

Hotma Sitompul, pengacara Widjanarko, tak bersedia membenarkan atau membantah 
pernyataan kejaksaan soal kesanggupan kliennya tersebut. "Saya tak mau 
berkomentar soal itu," katanya kepada Tempo kemarin.

Dia sebaliknya mempertanyakan tindakan Kejaksaan Agung yang mengungkapkan hal 
itu kepada publik. "Seharusnya kejaksaan tidak membuka semua yang ada di meja 
penyidikan karena itu tertutup," kata dia. Menurut Hotma, tindakan semacam itu 
tidak etis. "Jangan tarik ini menjadi persoalan politik." 

Sementara itu, mengenai tiga kasus lain yang tengah diselidiki kejaksaan 
berkaitan dengan jabatan Widjanarko di Bulog, Hendarman enggan menjelaskan. Dia 
membantah jika dikatakan salah satu dari tiga kasus itu berkaitan dengan impor 
gula. FANNY FEBIANA | TITO SIANIPAR 

Sumber: Koran Tempo - Kamis, 22 Maret 2007


++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Duit Tommy Mengalir Lewat BNI

2007-03-20 Terurut Topik MTI
Duit Tommy Mengalir Lewat BNI



Menteri Hamid menjamin direksi BNI bebas dari tuntutan hukum.

JAKARTA - Dua rekening di Bank Negara Indonesia diduga menjadi tempat 
penampungan uang lebih dari US$ 10 juta milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy 
Soeharto.

Salah satu rekening di BNI itu adalah milik Departemen Hukum dan Hak Asasi 
Manusia. Namun, Menteri Hukum Hamid Awaludin menganggap aliran dana tersebut 
tidak melanggar hukum.

Seperti yang ditulis majalah Tempo pekan ini, Tommy berhasil mengklaim uang 
miliknya di BNP Paribas London berkat bantuan surat rekomendasi Departemen 
Hukum dan HAM (dulu Departemen Hukum dan Perundang-undangan), yang menyatakan 
bahwa uang Motorbike International Limited milik Tommy itu bersih dari korupsi.

BNP Paribas lalu mentransfer dana lebih dari US$ 10 juta itu ke rekening 
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM di BNI 
Cabang Tebet, Jakarta Selatan, pada 14 Juni 2005. 

Hari itu juga uang langsung ditransfer ke PT PSA di BNI Cabang Melawai Raya, 
Jakarta Selatan. Rekening tersebut diketahui milik IYG, rekan Tommy. Dua hari 
kemudian, uang itu dipecah ke empat rekening, termasuk rekening IYG. 

Menteri Hamid mengakui telah meminta BNP Paribas mentransfer uang tersebut ke 
rekening di Tebet. "Ya, betul, ada," kata Hamid kepada majalah Tempo. Menurut 
Hamid, rekening itu diurus oleh anak buahnya. "Itu nomor rekening Departemen 
yang dibuat oleh staf saya. Dia bilang itu rekening kita," ujar Hamid.

Berdasarkan penelusuran Tempo, rekening di BNI itu telah ditutup pada 9 Juni 
2006.

Hamid juga sempat berkirim surat kepada direksi PT BNI Tbk., yang isinya 
memberitahukan adanya aliran dana milik Motorbike ke rekening di BNI Cabang 
Tebet. 

"Untuk itu, mohon bantuan Saudara untuk segera mengadministrasikan sebagaimana 
mestinya. Dan dengan ini kami membebaskan BNI dari segala tuntutan hukum apa 
pun akibat dilakukannya transaksi ini. Terima kasih." Begitu cuplikan isi surat 
tertanggal 10 Juni 2005 itu.

Namun, BNI Cabang Tebet mengaku tidak tahu-menahu soal aliran dana tersebut. 
"Saya tidak tahu ada transfer itu," ujar Manajer Cabang BNI Tebet Henni 
Widayati ketika Tempo mewawancarainya di kantornya di Jalan Supomo, Jakarta, 
pekan lalu. 

Kalaupun tahu, Henni melanjutkan, ia tidak dapat membuka data rekening itu. 
"Itu rahasia bank. Saya nggak boleh buka, nanti saya bisa dipecat," katanya.

Sekretaris Perusahaan BNI Intan Abdams Katoppo pada kesempatan berbeda juga 
mengaku tidak tahu soal transfer uang itu. "Rasanya, kalau jumlahnya sebegitu 
besar, pasti ramai. Apalagi itu rekening pejabat," ujar Intan ketika dihubungi 
Tempo melalui telepon seluler. 

Intan menambahkan, pada 2005 jumlah dana di BNI sedang turun. Kalau dana 
sejumlah Rp 90 miliar itu memang pernah masuk ke BNI, kata Intan, seharusnya 
menarik perhatian karena menaikkan jumlah dana BNI saat itu. Selain itu, dia 
melanjutkan, jika transfer itu dicurigai sebagai tindakan pencucian uang Pusat 
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, pasti akan dilacak. FANNY FEBIANA | 
AGOENG WIJAYA

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 20 Maret 2007 



++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/



Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650
Fax: (62-21) 722-1658
http://www.transparansi.or.id



[mediacare] Komisi Antikorupsi Kecam Pernyataan Kalla

2007-03-20 Terurut Topik MTI
Komisi Antikorupsi Kecam Pernyataan Kalla



JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi mengecam pernyataan Ketua Umum Partai 
Golkar Jusuf Kalla yang membela tersangka korupsi Bupati Kutai Kartanegara 
Syaukani Hasan Rais. Menurut KPK, seharusnya Kalla lebih mengedepankan 
statusnya sebagai negarawan, bukan sebagai politikus, karena ia menjabat wakil 
presiden.

"Kenegarawanannya yang harus ditonjolkan," kata Deputi Bidang Pencegahan KPK 
Waluyo kepada Tempo melalui pesan pendek (SMS) Sabtu lalu. Menurut Waluyo, akan 
lebih bijak bila Kalla mengatakan tentang kesamaan hak dan mendapatkan keadilan.

Pada Jumat lalu, Kalla menyatakan prihatin dengan penahanan Bupati Kutai 
Kartanegara Syaukani. "Dia salah satu anggota, dan organisasi tentu akan 
melakukan pembelaan sesuai dengan prosedur hukum," ujarnya seusai acara 
pertemuan dengan warga Sumatera Barat di Jakarta.

KPK, kata Waluyo, tidak gentar terhadap bantuan yang akan diberikan Golkar itu. 
"Tidak ada urusan dengan pernyataan itu," katanya. Menurut dia, KPK tidak 
melihat itu sebagai tekanan. Rakyat, ujarnya, akan tahu, ternyata partai 
politik hanya membela kepentingannya, bukan membela kepentingan rakyat.

Bupati Syaukani, yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Kalimantan 
Timur, dicokok KPK pada Jumat malam lalu dari mes Bupati Kalimantan Timur, 
Jalan Cimahi Nomor 10, Jakarta Pusat. Syaukani dijadikan tersangka atas dugaan 
empat kasus korupsi yang diduga merugikan negara hingga Rp 40,75 miliar.

Empat kasus itu adalah penggelembungan studi kelayakan pembangunan Bandara Loa 
Kulu senilai Rp 3 miliar, pembebasan tanah pembangunan bandara Rp 15 miliar, 
penyalahgunaan dana bantuan sosial sebagai dana taktis Rp 7,75 miliar, serta 
upah pungutan dana perimbangan untuk negara dari sektor minyak dan gas Rp 15 
miliar.

Sebelumnya, Kalla sempat menjenguk Syaukani ketika masih dirawat di Rumah Sakit 
Gading Pluit, Jakarta Utara. Dia datang bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi 
Manusia Hamid Awaludin pada 6 Desember 2006. Kunjungan ini juga menuai kecaman 
dari berbagai pihak (Koran Tempo 7 Desember 2006).

Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, sependapat dengan KPK. 
Menurut dia, pernyataan Kalla ini bertentangan dengan agenda Kabinet Indonesia 
Bersatu, yakni pemberantasan korupsi. Seharusnya, kata Saldi, Ketua Umum Golkar 
tidak perlu mempublikasikan pernyataan partai akan membantu kadernya yang jadi 
tersangka korupsi.

Saldi tidak melarang partai memberikan bantuan kepada kadernya, tapi seharusnya 
tidak dipublikasikan. "Seharusnya diam-diam. Tidak perlu dipublikasikan, 
apalagi keluar dari mulut seorang Jusuf Kalla, yang juga wakil presiden," kata 
dia.

Bahkan Saldi menilai itu merupakan perang psikologis terhadap pemberantasan 
korupsi. "Itu merupakan teror terhadap KPK," ujarnya.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Andi Mattalata menolak ucapan Kalla 
disebut sebagai teror. "Membela orang yang diduga (korupsi) kan boleh, kecuali 
sudah terpidana," kata dia. KPK, tutur dia, tidak boleh surut memeriksa hanya 
karena pernyataan. "Jangan jadikan ucapan seseorang sebagai halangan."

Sementara itu, kuasa hukum Syaukani, Amir Syamsuddin, menyatakan kliennya 
meminta segera diperiksa meski sedang sakit. "Sambil berbaring juga tidak ada 
masalah. Dia tidak ingin menimbulkan kesan menghindari pemeriksaan," ujar Amir.

Sejak Sabtu lalu, Syaukani dirawat di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, 
Jakarta. Menurut Amir, Syaukani menderita sakit ruas tulang belakang, yang 
menyebabkannya tidak bisa duduk lama.

Sedangkan Kepala Kepolisian Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Indarto 
menyatakan semua kasus dugaan korupsi Syaukani sepenuhnya telah diserahkan 
penanganannya kepada KPK. "Kami sudah tidak menanganinya," katanya. TITO 
SIANIPAR | RINI KUSTIANI | SG WIBISONO

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 20 Maret 2007 

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/



Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650
Fax: (62-21) 722-1658
http://www.transparansi.or.id


[mediacare] Korupsi Sulit Dihapus

2007-03-14 Terurut Topik MTI
Korupsi Sulit Dihapus 
BPK Pesimistis terhadap Upaya Pemberantasan oleh Pemerintah

Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menyatakan pesimistis dengan pemberantasan 
korupsi yang dijalankan pemerintah. Apalagi jika tak diikuti dengan penataan 
sistem dan penempatan sumber daya manusia yang baik dalam pengelolaan keuangan 
serta pengawasan keuangan negara. 

"Tak usah heran jika pemberantasan korupsi di Indonesia selama 2,5 tahun lebih 
dinilai berjalan lambat dan hasilnya kurang signifikan," kata anggota BPK dan 
juru bicara BPK, Baharuddin Aritonang, kepada Kompas, Rabu (14/3). Dia dimintai 
komentarnya berkaitan dengan hasil survei lembaga Konsultan Risiko Politik dan 
Ekonomi (PERC) yang bermarkas di Hongkong. 

Dari posisi negara paling korup tahun lalu, Indonesia saat ini bersama Thailand 
hanya turun satu tingkat di bawah Filipina sebagai negara paling korup. 

Direktur Informasi dan Akuntansi Departemen Keuangan Hekinus Manao sependapat 
dengan pendapat BPK. Penyebabnya, antara lain, minim dan belum menyebarnya para 
akuntan yang secara teknis keuangan menguasai bidangnya di hampir seluruh 
departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). 

Akibatnya, banyak pengelola anggaran di departemen dan LPND yang "tidak 
nyambung" saat berkomunikasi perihal pengelolaan keuangan. Mereka gagal 
menyusun sistem pembukuan yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan 
yang transparan dan akuntabel. 

Namun, diakui bahwa di departemen dan LPND serta lembaga negara sendiri, 
pemerintah sudah menetapkan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berlaku di 
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di provinsi hingga kabupaten. 

Menurut Baharuddin, banyak tenaga akuntan yang justru setelah lulus langsung 
menjadi tenaga pemeriksa keuangan atau justru berperan setelah adanya 
penyimpangan dan penyelewengan keuangan. Mereka bukannya bekerja di departemen 
dan LPND untuk mengelola dan menyusun anggaran di departemen. 

Ibarat pemadam kebakaran, para akuntan itu justru bekerja setelah terjadinya 
"kebakaran", bukannya mencegah terjadinya "kebakaran" laporan keuangan. 

Baharuddin menambahkan, lemahnya sistem pengelolaan keuangan diperparah dengan 
sistem pengawasan yang amburadul. Fungsi dan peran BPK sebagai auditor 
eksternal pemerintah jelas diatur dalam UUD 1945. 

"Bagaimana dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)? Harusnya 
BPKP ditempatkan di seluruh departemen dan LPND agar ikut mencegah terjadinya 
penyimpangan dan ikut menata sistem pengelolaan dan akuntansi yang baik. 
Bukannya ikut jadi pemeriksa," ungkap Baharuddin. 

Belum lagi adanya fungsi pengawasan lainnya. Ada inspektorat jenderal, lalu ada 
Badan Pengawasan Daerah. Di BUMN sendiri ada Satuan Pengawasan Internal (SPI). 
"Semuanya tumpang tindih melakukan pemeriksaan. Akan tetapi, penyimpangan terus 
saja terjadi," kata Baharuddin. 

Anggota Komisi XI DPR, Dradjat Wibowo, menyatakan, kunci dari pemberantasan 
korupsi sebenarnya dibangunnya sistem yang dimulai dari perencanaan keuangan, 
pengelolaan, dan pengadministrasian serta pengawasan dan pemeriksaan keuangan 
sehingga orang semakin kecil menggunakan peluang penyimpangan. (har) 

Sumber: Kompas - Kamis, 15 Maret 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Ada Serangan Balik

2007-03-14 Terurut Topik MTI
perlawanannya. Tidak tanggung-tanggung, seusai diperiksa di Kantor KPK, Yusril 
pun mengatakan kalau ia juga akan mengadukan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki 
karena telah melakukan korupsi pengadaan alat penyadapan KPK. Sehari kemudian, 
Yusril pun mengadu ke KPK soal penunjukan langsung alat penyadap. 

Melihat reaksi Yusril ini, Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengadakan 
jumpa pers. Isi jumpa pers tersebut mengatakan pengadaan alat penyadap KPK 
telah mendapat izin dari Presiden Yudhoyono. Yusril sendiri yang melakukan 
kajian hukum atas permohonan KPK. Keesokannya, Yusril meralat pernyataannya. Ia 
mengatakan bahwa KPK perlu mengkaji Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dan metode 
penunjukan langsung barang/jasa. 

Di tataran legislasi pun tiba- tiba saja muncul wacana penghapusan hakim ad 
hoc, penanganan kasus korupsi oleh pengadilan negeri, dan kemungkinan 
dihilangkannya kewenangan penuntutan bagi KPK. Wacana ini dilontarkan oleh tim 
perumus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Andi Hamzah dan Indriyanto Seno 
Adji. 

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa komitmen bangsa ini untuk memberantas korupsi 
masih terbilang rendah. 

Serangan-serangan untuk mengembalikan ke keadaan sebelumnya pun mulai 
bermunculan. Wouw! 

Penulis: Vincentia Hanni S dan Hernowo 
Sumber: Kompas - Kamis, 15 Maret 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Widjanarko Jadi Tersangka Korupsi

2007-03-14 Terurut Topik MTI
 Sapi, sedangkan yang lain adalah anggota 
tim. (IDR) 

Sumber: Kompas - Kamis, 15 Maret 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Duit Soeharto Diduga Disimpan di Belanda

2007-03-14 Terurut Topik MTI
Duit Soeharto Diduga Disimpan di Belanda
"Masak, orang menyimpan duit dilarang." 

JAKARTA -- Sebagian dana yang ada di beberapa yayasan yang dulu dipimpin 
Presiden Soeharto diduga disimpan di Bank Indover, Belanda. Keberadaan sebagian 
dana yayasan di anak perusahaan Bank Indonesia itu terungkap saat penyidikan 
kasus Indover oleh Kejaksaan Agung pada 2000. 

Bekas Jaksa Agung Marzuki Darusman membenarkan adanya dana itu. "Benar, 
sebagian dana yayasan ada di bank itu," ujarnya saat dihubungi kemarin. Marzuki 
tidak mengetahui pasti jumlah dana itu. Ia hanya mengatakan, "Kalau tidak salah 
mencapai US$ 1 miliar (sekitar Rp 9 triliun)."

Marzuki mengaku tidak mengetahui apakah dana itu masih tersimpan atau tidak. 
Sebab, kasus Indover sendiri sempat terhenti penyidikannya ketika peralihan 
jabatan Jaksa Agung pada 2001. Pada saat itu pula, kata Marzuki, ada rencana 
pemerintah menjual Bank Indover.

Tapi, menurut sumber Tempo, dana yayasan-yayasan Soeharto itu diyakini masih 
tersimpan di bank yang berkantor pusat di Amsterdam tersebut. "Masih ada sampai 
sekarang," ujar bekas jaksa yang pernah menangani kasus Soeharto itu. Dia 
mengatakan, dana yayasan itu disimpan dalam rekening di bank Indover sejak 
1990-an. Dana tersebut, kata dia, dikelola oleh kakak salah seorang menteri era 
Orde Baru. Namun, dia enggan menyebutkan namanya.

Marzuki mengatakan Bank Indover sebenarnya bertujuan menampung dana yang ada di 
luar negeri untuk masuk ke Indonesia. Namun, kenyataannya, bank itu malah 
menampung dana dari Indonesia. 

Menurut Marzuki, ketika kasus Indover terungkap, ia sempat mempertanyakan 
kepada Bank Sentral Belanda karena tidak mengawasi terjadinya transaksi 
besar-besaran dari Indonesia ke Belanda pada sekitar tahun 1998 sampai 2000 
itu. "Bank sentral Belanda kurang pengawasan," kata dia.

Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda mengaku sempat mendengar 
kabar adanya dana yayasan yang tersimpan di Indover. "Saya pernah dengar soal 
itu," ujarnya dua hari lalu. Dia tidak dapat menjelaskan lebih jauh karena 
berkonsentrasi perihal gugatan intervensi kasus Tommy Soeharto di pengadilan 
Guernsey, negara persemakmuran Inggris.

Salah seorang anggota staf Bank Indover cabang Indonesia yang enggan disebut 
namanya hanya mengatakan, "Itu kan persoalan lama." Meski mengaku mengetahui 
informasi itu, anggota staf perempuan itu menolak menjelaskan dengan alasan 
tidak berwenang.

Bank Indonesia pun belum bersedia memberikan keterangan memadai soal ini. 
Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia Oey Hoei Tiong mengaku belum 
mengetahui informasi itu. Menurut Oey, kepemilikan rekening harus dirahasiakan 
oleh pihak bank. 

Kalaupun benar dana yayasan disimpan di Bank Indover, kata Oey, hal itu wajar. 
"Secara hukum, tindakan itu bisa dibenarkan. Masak, orang mau menyimpan duit 
dilarang," ujarnya.

Direktur Perencanaan Strategi dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Budi Mulya 
mengaku belum bisa menjelaskan. "Saya sedang rapat," ujarnya.SUKMA LOPPIES | 
ANNE L. HANDAYANI | RIKY FERDIANTO 

Sumber: Koran Tempo - Kamis, 15 Maret 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Kesaksian Anak Muda, Mengenang Almarhum Prof. Koesnadi Hardjasoemantri

2007-03-14 Terurut Topik MTI
Kesaksian Anak Muda, Mengenang Almarhum Prof. Koesnadi Hardjasoemantri
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatberita&id=3342 

Bangsa Indonesia kehilangan satu lagi putra terbaiknya.  Dia adalah Koesnadi 
Hardjasoemantri, seorang intelektual dan ahli hukum lingkungan.  Semasa 
hidupnya pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 9 Desember 1926, ini sarat 
dengan karya-karya, prestasi dan penghargaan.  Dalam usia 80-an tahun dan 
sebelum akhirnya beliau meninggalkan kita untuk selama-lamanya, penerima 
bintang mahaputra ini masih terus mengabdikan dirinya.  Dia masih aktif 
mengajar dan mengikuti berbagai kegiatan sosial, serta menjadi pembicara 
diberbagai seminar. 

Siapapun yang berjumpa dengan Profesor Koesnadi, akan maninggalkan banyak kesan 
mendalam.  Selain karena kepintarannya, pribadi beliau adalah santun dan ramah 
kepada siapapun. Apalagi bila perjumpaan itu tidak sekedar bertatap muka atau 
bertemu di forum-forum ilmiah, melainkan perjumpaan yang intensif semisal duduk 
dan bekerja sama dalam suatu kegiatan, maka semakin tampaklah kualitas pribadi 
dan intelektual beliau.   Setidaknya begitulah yang kami rasakan di Masyarakat 
Transparansi Indonesia (MTI), sebuah lembaga, yang Pak Koes, begitu kami biasa 
memanggilnya, adalah salah satu pendirinya dan duduk sebagai Wakil Ketua Dewan 
Penyantun MTI.  

Kehadiran Pak Koes di MTI bukan sekedar simbol atau pelengkap nama-nama besar 
pendiri lembaga. Di banyak kegiatan MTI beliau turut terlibat aktif dan 
mengambil peran, bahkan diataranya menjadi koordinator kegiatan.  Beberapa 
kegiatan penting yang perlu kami sebutkan disini adalah, beliau pernah menjadi 
ketua tim kajian Hukum MTI tentang Keppres bermasalah tahun 1993-1998.  Menurut 
Pak Koes selaku ketua tim, Keppres-Keppres tersebut dinilai tidak konsisten 
dengan tata aturan perundangan yang ada. Proses pembuatannya pun diragukan 
obyektivitasnya karena banyak kerabat dekat Presiden yang diuntungkan dalam 
pelaksanaan Keppres itu.  Melalui tim Kajian hukum tersebut MTI 
merekomendasikan agar segera dilakukan tindakan perbaikan dengan mencabut, 
menata ulang atau meninjau kembali Keppres bermasalah tersebut.  

Keterlibatan Pak Koes di MTI bukan hanya dalam kajian keppres bermasalah.  Pak 
Koes juga turut membidani pembentukan Badan Independen Anti Korupsi (BIAK), 
yang belakangan turut mencetuskan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  
Selain itu, Pak Koes juga terlibat dengan pernik-pernik kegiatan di MTI lainya, 
 salah satunya adalah aktif memberikan sumbang saran dalam pelaksanaan Forum 
Rembug Nasional (FRN) yang di motori MTI.   FRN itu sendiri sangat fenomenal 
karena dalam acara tersebut menghadirkan banyak elemen penting bangsa mulai 
dari presiden, menteri kabinet, tokoh partai politik, pimpinan ormas-ormas 
besar, tokoh cendikiawan, pengusaha, kalangan media, LSM, dan aktivis 
mahasiswa.  Mereka dihadirkan untuk menyumbangan ide-ide terbaiknya dalam 
menyelesaikan permasalahan bangsa.

Bagi rekan-rekan muda di MTI, kehadiran Pak Koes memberikan kesan tersendiri 
yang cukup mendalam.  Di tengah kesibukan yang begitu padat, Pak Koes masih 
kerap hadir memenuhi undangan sekretariat untuk mengikuti sejumlah diskusi di 
MTI sekedar sebagai peserta.  Bahkan ketika rekan-rekan muda itu ingin minta 
waktu konsultasi untuk pembuatan buku, Pak Koes memilih mendatangi rekan-rekan 
muda itu ketimbang mereka yang mendatangi Beliau.  Dan Pak Koes rela berjam-jam 
untuk menemani diskusi sebelum kemudian beliau melanjutkan agenda lain yang 
cukup padat.  

Bagi kami yang muda-muda di MTI,  Pak Koes lebih dari sekedar  intelektual.  Ia 
juga seorang pendidik sejati yang siap bukan sekedar memberi tetapi juga 
membimbing dengan penuh kesabaran.  Beliau bukan hanya siap memberi 
saran-saran, tetapi pada saat yang sama beliau juga mendengarkan kami dengan 
penuh seksama.  Suatu sikap yang menurut kami sukar ditemukan pada diri orang 
sekaliber Pak koes. Berhadapan dengan tokoh besar seperti Pak Koes, membuat 
kami yang muda-muda ini menjadi manusia yang penuh arti, hal ini karena 
dihadapan beliau, kami juga didengar, kami dimengerti dan kami dihargai.

Akhirnya, dimata kami, Pak Koes hampir-hampir tidak pernah tua meski usianya 
memasuki senja.  Pada diri Pak Koes telah menyatu antara jiwa muda, gelora 
semangat dan  idealisme yang terus menyala.   Suatu kepribadian yang senantiasa 
hidup dan penuh energi, yang membuat kami yang muda-muda ini iri sekaligus 
kagum dan menaruh hormat setinggi-tingginya.   

Semoga kami bisa meneladanimu, Pak Koes.  Dan kami akan terus menjadi saksi 
atas segala amal kebaikanmu.  Semoga engkau tenang di sana dan bahagia bersama 
kekasih abadi.  

***

Ditulis oleh Sudirman Said, Ketua Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi 
Indonesia (MTI)

Note: Tulisan ini merupakan rangkuman dari pendapat beberapa pengurus MTI; Pak 
Marie Muhammad, Pak Boediono, Pak Kemal A. Stamboel, Pak Arief T. Surowidjojo, 
Pak Pradjoto dan rekan-rekan muda di MTI.


[mediacare] Meneropong Eksistensi Pengadilan Tipikor

2007-03-14 Terurut Topik MTI
Meneropong Eksistensi Pengadilan Tipikor

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review Pasal 53 UU. No. 30/2002 
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan dasar hukum 
Pengadilan Tipikor membawa polemik hukum yang saat ini menjadi perhatian. 
Putusan MK menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 bertentangan dengan 
Undang-Undang Dasar 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sampai 
diadakan perubahan paling lambat tiga tahun setelah sejak putusan ini 
diucapkan. 
Penulis memandang setidaknya terdapat tiga permasalahan paska putusan MK ini. 
Pertama, putusan MK ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan multi interpretasi 
atas eksistensi Pengadilan Tipikor. Kedua, eksistensi Pengadilan Tipikor hingga 
tiga tahun ke depan, setelah putusan dibacakan Dan ketiga, eksistensi 
Pengadilan Tipikor paska jangka waktu tiga tahun. 

Menjawab permasalahan pertama, penulis berpandangan bahwa keputusan MK ini 
sebenarnya bermaksud menguatkan eksistensi Pengadilan Tipikor melalui dukungan 
terhadap terbentuknya UU yang khusus mengatur mengenai Pengadilan Tipikor. 
Dalam prinsip kepastian hukum, dinyatakan tidak boleh ada dualisme hukum. 
Sementara dalam konteks sidang perkara korupsi yang berlaku pada saat ini, 
perkara korupsi dapat disidangkan di dua pengadilan yang berbeda yaitu 
pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor. Untuk meniadakan dualisme yang selama 
ini terjadi dalam sidang perkara-perkara korupsi, maka seharusnya hanya ada 
satu pengadilan. Dan jika Pengadilan Tipikor masih dikehendaki eksistensinya, 
maka harus disertai dengan UU yang khusus mengaturnya. Sehingga dengan demikian 
pada esensinya, putusan MK justeru mendukung penguatan dasar hukum atas 
eksistensi Pengadilan Tipikor sebagai satu-satunya lembaga pengadilan yang 
memutus perkara-perkara korupsi. Hal ini menurut penulis justeru berlawanan  
dengan pendapat yang dinyatakan oleh Ketua Tim Pembahasan Draft RUU mengenai 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Prof. Andi Hamzah, yang menyatakan bahwa 
keberadaan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan konstitusi karena kriteria 
kekhususan Pengadilan Tipikor menyebabkan terdapat dua pengadilan yang berbeda 
dalam lingkup yang sama, sehingga eksistensi Pengadilan Tipikor beserta hakim 
adhoc-nya harus ditiadakan. Untuk kemudian seluruh perkara korupsi disidangkan 
oleh hakim karier yang dididik khusus untuk menangani perkara korupsi di 
pengadilan umum (Kompas - 1 Februari 2007)

selengkapnya lihat di:
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=55

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Maraknya Gerakan Prokorupsi - Tanggapan atas Tulisan Amir Syamsuddin: Benarkah KPK Tidak Pernah Bersalah?

2007-03-14 Terurut Topik MTI
Maraknya Gerakan Prokorupsi
(Tanggapan atas Tulisan Amir Syamsuddin: 
Benarkah KPK Tidak Pernah Bersalah?)
Oleh: Ida Syafrida Harahap
www.transparansi.or.id - 28 Februari 2007


Menarik membaca tulisan seorang praktisi hukum senior Amir Syamsuddin  di 
Kompas, Selasa 27 Februari 2007. Penulis mempertanyakan apakah KPK tidak pernah 
bersalah.  Namun, setelah membaca tulisan dimaksud ternyata bukan salah atau 
tidaknya KPK yang dipaparkan Penulis, tetapi justeru lebih banyak mempersoalkan 
keberadaan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Setidaknya ada tiga 
catatan penting atau lebih tepatnya penerjemahan sepihak yang dilakukan 
penulis, yaitu korupsi sebagai extraordinary crime, keputusan hakim Tipikor 
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan keberadaan 
pengadilan Tipikor.

selengkapnya lihat di:
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=53  

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Koesnadi, Pencetus Kampus "Ndeso" UGM Korban Musibah Garuda

2007-03-09 Terurut Topik MTI
ian di ruang rektorat 
UGM. "Beliau bercerita tentang obsesi mendirikan lembaga pendidikan tinggi di 
Gunungkidul. Ya, semacam universitaslah. Beliau ingin kualitas pendidikan di 
Gunungkidul maju seperti di Jogja," katanya. 

Kepada para sahabatanya, almarhum selalu mampu membawa pada sebuah pembicaraan 
yang serius namun santai. Tidak hanya melulu soal teori politik atau hukum, 
tetapi juga gaya hidup. 

Ada satu rahasia hidup almarhum yang diresepkan kepada sahabatnya, Syafii 
Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Namun, hingga sekarang, Syafii 
mengaku belum bisa melaksanakan amanat almarhum itu.

Menurut dia, resep almarhum agar tetap energik di usia lanjut adalah rutin 
mengonsumsi kencur sebesar ibu jari. "Kayaknya, mulai detik ini saya akan 
melaksanakannya," katanya lantas tersenyum.

Di mata mahasiswanya, almarhum adalah sosok ayah, bukan sekadar rektor atau 
dosen pembimbing skripsi. Pengusaha Indro Kimpling Suseno ingat betul, 
bagaimana almarhum mengantarkan mahasiswanya berunjuk rasa ke kantor DPRD 
provinsi pada 1980-an. 

Indro Kimpling juga ingat bagaimana rumah dinas rektor sering dipinjam 
mahasiswa untuk mengadakan rapat. Selain itu, dia sangat terbuka dengan ide 
mahasiswanya. 

"Prof Koesnadi juga tidak malu mengantarkan nasi dan makanan kecil ke 
Gelanggang Mahasiswa. Ini yang membuat hubungan kami bukan lagi dosen dengan 
mahasiswa, tetapi anak dengan ayahnya," tutur Kimpling yang menjadi mahasiswa 
almarhum sejak 1981.

Kepergian almarhum ke peristirahatan terakhir di pemakaman keluarga UGM di 
Sawit Sari kemarin dilepas dengan upacara militer. Sebab, almarhum adalah 
penerima Bintang Gerilya pada 1958.

Mencari jasad almarhum di antara 20 korban yang hangus terbakar perlu proses 
identifikasi berulang-ulang. Termasuk, meminta bantuan keluarga. "Keluarga 
membawa foto panoramik gigi ayah yang dibuat pada 18 November 2006 untuk 
dicocokkan dengan foto panoramik pada 6 Maret 2007. Kami beruntung punya ayah 
yang selalu disiplin memeriksakan giginya," ujar Indira.

Pernyataan Indira dibenarkan ahli gigi yang juga anggota tim forensik Prof 
Sudibyo. Proses identifikasi Prof Koesnadi dibantu dengan foto panoramik gigi 
yang dibawa keluarga. "Jika tidak ada foto tersebut, akan semakin sulit 
mengidentifikasi karena kondisi jenazah yang hangus terbakar. Ini sekaligus 
peringatan bagi masyarakat agar rajin memeriksakan giginya," jelas Sudibyo.

Rekam medik gigi juga membantu pencarian jenazah Dr Masykur Wiratno, wakil 
dekan II Fakultas Ekonomi UGM. Oleh tim dokter, keluarga diminta untuk mencari 
rekam medik gigi almarhum dari dokter giginya. "Ternyata, itu berhasil. Jenazah 
pun ditemukan. Korban memang memiliki alat pemacu jantung yang terpasang di 
organ vitalnya. Namun, itu sudah hangus terbakar sehingga tidak bisa membantu," 
tambah Sudibyo. (tulisan ini dilengkapi laporan Azam SA)

Sumber: Jawapos - Jumat, 09 Mar 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Belasungkawa atas Berpulangnya ke Rahmatullah Prof. Koesnadi Hardjasoemantri

2007-03-09 Terurut Topik MTI





Segenap Pengurus dan staf Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) mengucapkan 
belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas berpulangnya ke Rahmatullah Prof. 
Koesnadi Hardjasoemantri, pendiri MTI, pada hari Rabu, 7 Maret 2007 dalam 
musibah kecelakaan pesawat Garuda GA200 di Jogjakarta. 


Semoga Almarhum mendapat tempat yang Mulia di sisi Allah SWT,
dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kekuatan.Amin.

  


Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

stime=1173328871
Description: Binary data


[mediacare] Keberadaan Profesor Koesnadi Masih Dicari

2007-03-07 Terurut Topik mti
Keberadaan Profesor Koesnadi Masih Dicari
http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=3280

www.transparansi.or.id - Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 200 tujuan 
Jogjakarta, yang diberangkatkan dari Bandara Soekarno - Hatta meledak dan 
terbakar ketika akan mendarat di Bandara Adi Sucipto pada pukul 06.55. Pesawat 
naas tersebut membawa 133 penumpang dan 7 awak Garuda. 96 orang dikabarkan 
selamat, sementara korban tewas yang tercatat hingga berita ini diturunkan 
berjumlah 21. 

Profesor Koesnadi Hardjasoemantri, yang merupakan dosen UGM dan pernah menjabat 
sebagai Rektor UGM, ikut dalam penerbangan tersebut. Pak Koes, demikian nama 
akrab beliau, juga merupakan salah seorang pendiri Masyarakat Transparansi 
Indonesia (MTI).  

Pada mulanya, seperti dikutip di Detikcom, Pak Koesnadi dikabarkan selamat dan 
dirawat di RS AURI Jogjakarta. Tetapi beberapa saat kemudian, Detikcom 
memberitakan bahwa Pak Koes belum ditemukan dan hingga saat ini masih dicari. 
Bukan hanya pihak keluarga dan UGM yang mencari keberadaan beliau, tetapi 
Menteri LH Rachmat Witoelar dikabarkan juga sibuk mencari keberadaan Pak Koes. 

Ketika pihak MTI mencek Garuda Call Centre di nomor 021-2311801 ekstensi 7205 
pada pukul 13.10 WIB, petugas mengatakan keberadaan Pak Koes hingga saat ini 
masih dicari.  (SW)


++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/



Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650
Fax: (62-21) 722-1658
http://www.transparansi.or.id


The Indonesian Society for Transparency 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 



[mediacare] Menunggu KPK Menyelesaikan secara Adat

2007-02-27 Terurut Topik MTI
Menunggu KPK Menyelesaikan secara Adat 

Seusai rapat koordinasi terbatas tentang langkah pemberantasan korupsi yang 
dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat 
(23/2), Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra tetap duduk di kursinya. 
Yusril duduk tepat di samping kiri Wapres Jusuf Kalla. 

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki yang duduk di 
sisi kiri Yusril dibatasi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Sekretaris Kabinet 
Sudi Silalahi berdiri menghampiri Presiden yang masih duduk. Di barisan depan 
ruang rapat Kantor Presiden, hanya tinggal Presiden, Ruki, Wapres, dan Yusril. 

Saat Ruki berdiri membungkuk berbincang serius dengan Presiden, Yusril berdiri 
mengemasi tiga tumpuk tebal berkas yang dibawanya. Wapres yang turut 
mendengarkan perbincangan Ruki dan Presiden berpaling ke sisi kiri lantaran 
tiba- tiba dihampiri Sudi. 

Saat pembicaraan Ruki dan Presiden berlangsung, Wapres berdiri bersama Sudi 
yang menjauh pergi. Yusril meninggalkan berkas yang telah dikemasi di atas meja 
untuk menghampiri Wapres yang berdiri sambil tersenyum. Yusril lantas 
berbincang dengan Wapres. 

Beberapa saat kemudian, Presiden berdiri, pergi, meninggalkan ruang rapat. 
Tanpa disaksikan Presiden, Ruki yang berjalan melewati Yusril menjabat 
tangannya di depan Wapres dan Sudi. Sambil tertawa, tangan kanan Sudi dan 
Wapres menimpali. Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto dan Menko Polhukam Widodo 
AS turut menjadi saksi "perdamaian" ini. 

Presiden saat berjalan kaki dari kantornya menuju tempat tinggalnya di Istana 
Negara berkomentar pendek. "Sudah saya selesaikan secara adat," ujarnya. 

Tidak dirinci apa maksud penyelesaian secara adat. Yang rinci dikatakan 
Presiden seusai rapat adalah upaya pemberantasan korupsi tetap akan dijalankan 
sungguh-sungguh dan efektif karena korupsi merusak moral, sosial, dan ekonomi. 
"Ini tekad, agenda, dan prioritas kita," ujar Presiden yang sejak terpilih 
berjanji kepada rakyat akan memimpin langsung upaya pemberantasan korupsi. 

Menurut Presiden, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara efektif dengan 
sinkronisasi antarlembaga penegak hukum. Dampak negatif yang sebetulnya wajar 
dalam kadar tertentu harus bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin. 

Meski tidak eksplisit disebut, perseteruan Yusril dan Ruki yang berkepanjangan 
dan tidak produktif dapat dikategorikan dampak negatif dari upaya pemberantasan 
korupsi itu. 

Dengan pedoman penegakan hukum, dibarengi pencegahan dampak negatif 
pemberantasan korupsi, pemerintah dan aparatnya dapat menjalankan tugas dengan 
tenang tanpa takut sehingga pemberantasan korupsi membawa hasil optimal. 

Pedoman inilah yang mungkin dimaksud Presiden sebagai penyelesaian secara adat 
perseteruan Yusril dan Ruki. Penunjukan langsung, seperti dilakukan Yusril, 
dibenarkan aturan. Yang perlu dipastikan adalah ada atau tidaknya penyimpangan 
yang merugikan negara yang dibiayai rakyat. 

Yusril diperiksa KPK sebagai saksi atas kasus pengadaan sistem identifikasi 
sidik jari di Departemen Hukum dan HAM saat dirinya menjadi Menteri Hukum dan 
HAM. Merasa diperlakukan tidak adil, Yusril mengungkapkan hal yang menurutnya 
dilakukan juga oleh Ruki untuk pengadaan alat sadap. Dari sini perseteruan 
dimulai. 

Penyelesaian secara adat akibat perseteruan Ruki dan Yusril dengan akhir 
salaman telah dilakukan. Sekarang tinggal tugas KPK yang "secara adat" harus 
membuktikan apakah penunjukan langsung oleh Yusril diimplementasikan secara 
benar atau dilakukan dengan penggelembungan atau cara yang merugikan rakyat. 
(Wisnu Nugroho) 

Sumber: Kompas - Selasa, 27 Februari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 

----
 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Yusril Setuju Tanpa Tender

2007-02-15 Terurut Topik MTI
Yusril Setuju Tanpa Tender
Akibat penunjukan langsung ini, menurut KPK, negara telah dirugikan hingga Rp 6 
miliar.

JAKARTA -- Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Kabinet Gotong Royong, 
Yusril Ihza Mahendra, mengaku dirinya menyetujui izin prinsip penunjukan 
langsung tanpa tender. Ini terjadi pada pelaksanaan proyek pengadaan sistem 
identifikasi sidik jari otomatis di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum 
di departemen yang dipimpin Yusril pada 2004. Persetujuan itu ia berikan dengan 
pertimbangan sempitnya waktu antara keluarnya anggaran belanja tambahan APBN, 
awal November, dan pelaporan anggaran, minggu ketiga Desember, pada tahun yang 
sama. 

''Saya selaku pejabat tertinggi di Departemen kala itu menandatangani surat 
persetujuan penunjukan langsung,'' kata Yusril setelah diperiksa sebagai saksi 
selama sekitar 9 jam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin. Namun, 
Yusril melanjutkan, dalam persetujuan tersebut dirinya tidak pernah menunjuk 
salah satu perusahaan (PT Sentral Filindo) atau merek tertentu. 

Dia pun mengaku tidak pernah mengetahui adanya pemberian uang senilai Rp 375 
juta dari PT Sentral Filindo kepada pemimpin proyek. ''Lagi pula proyek terjadi 
saat saya sudah tidak lagi menjabat menteri,'' ujarnya.

KPK menilai penunjukan langsung dalam proyek dengan total nilai Rp 18,48 miliar 
itu tidak bisa dibenarkan. Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 80 
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Akibat 
penunjukan langsung ini, menurut KPK, negara telah dirugikan hingga Rp 6 
miliar. 

Sejauh ini KPK telah menahan dua tersangka pada 7 dan 8 Februari lalu. Mereka 
adalah Aji Effendi, Kepala Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga Departemen 
Hukum dan HAM, sebagai pemimpin proyek, dan Erman Rachman, Direktur Utama PT 
Sentral Filindo, sebagai rekanan yang ditunjuk. KPK juga melakukan 
cegah-tangkal terhadap Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM Zulkarnain 
Yunus, yang ketika kasus ini terjadi menjabat Direktur Jenderal Administrasi 
Hukum Umum. 

Yusril mengakui Keputusan Presiden Nomor 80 memang tidak mengatur kewenangan 
seorang menteri untuk menyetujui penunjukan langsung. Meski demikian, ia 
menjelaskan, keputusan presiden itu pun tidak mengatur siapa yang berwenang 
menyetujui proses tersebut. 

Karena itu, katanya, "Saya sebagai pemegang kewenangan tertinggi di Departemen 
kala itu berwenang menyetujui penunjukan langsung yang diajukan oleh pemimpin 
proyek (Aji Affendi).'' Proses pengadaan barang di semua departemen ketika itu, 
menurut Yusril, berlangsung dengan prosedur seperti yang ia lakukan. 

Zulkarnain Yunus, yang kemarin turut diperiksa di KPK, sama sekali tak mau 
memberikan keterangan mengenai perintah penunjukan langsung itu. ''Saya no 
comment soal itu,'' katanya saat keluar untuk makan siang di sela pemeriksaan. 
SANDY INDRA PRATAMA

RISALAH KASUS
Kasus: dugaan korupsi dalam proyek pengadaan peralatan identifikasi sidik jari 
otomatis.
Modus: penunjukan langsung dan penyuapan sebesar Rp 375 juta.
Total nilai proyek: Rp 18,48 miliar.
Kerugian negara: Rp 6 miliar.
Tersangka: 

Aji Effendi, Kepala Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga Departemen Hukum dan 
HAM, sebagai pemimpin proyek (ditahan sejak 7 Februari).

Erman Rachman, Direktur Utama PT Sentral Filindo, sebagai rekanan (ditahan 
sejak 8 Februari).
KPK juga melakukan cegah-tangkal terhadap Sekretaris Jenderal Departemen Hukum 
dan HAM Zulkarnain Yunus. 

Sumber: Koran Tempo - Jumat, 16 Februari 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Pemerintah Batal Ambil Keputusan

2007-02-15 Terurut Topik MTI
Pemerintah Batal Ambil Keputusan



Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, dan Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono batal menggelar rapat terbatas untuk mengambil 
keputusan mengenai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang 
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. 

Sedianya, rapat kabinet terbatas untuk mencari solusi terbaik atas rencana 
revisi PP No 37/2006 itu dijadwalkan digelar di Kantor Presiden, Rabu (14/2). 
Namun, rapat yang rencananya digelar di antara dua rapat kabinet paripurna dan 
rapat kabinet terbatas soal energi itu batal. 

Menurut Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, rapat batal digelar karena 
Menteri Sekretaris Negara belum siap dengan bahan rapat. Selain akan membahas 
rencana revisi PP No 37/2006, rapat juga akan membahas UU Kementerian Negara. 

Sehari sebelumnya, Yusril membantah jika dikatakan pemerintah kebingungan 
dengan rencana revisi PP No 37/2006 yang banyak ditentang dan dipersoalkan. 

Di tempat terpisah, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengharapkan pemerintah agar 
segera memastikan revisi PP No 37/ 2006 itu. Hidayat yakin langkah tersebut 
diyakini akan menyelesaikan masalah, yaitu untuk menyelamatkan uang rakyat dan 
juga tidak membiarkan para anggota DPRD menjadi bulan-bulanan seperti saat ini. 
"Ke depan, pengalaman PP No 37 ini jangan terulang lagi," kata Hidayat. 

Dia mengingatkan agar tidak terulang pengalaman anggota DPRD yang terjerat 
pidana terkait PP No 110/2000. Masalahnya kini PP No 37/2006 telanjur keluar, 
dana tunjangan diterima, dan kegiatan sudah dilakukan. Namun, Hidayat juga 
berharap para anggota DPRD betul-betul mendudukkan diri sebagai wakil rakyat 
karena kejadian sekarang menjadi ujian berat bagi DPRD. 

Hidayat juga menyayangkan ketika kegiatan para anggota DPRD di Jakarta terkait 
PP No 37/2006 tertangkap publik sekadar untuk memperjuangkan tunjangan bagi 
mereka sendiri. 

Guru besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Damarjati Supadjar 
mengatakan, anggota DPRD jangan terjebak dengan persoalan hak rapelan terkait 
dengan PP No 37/2006. "Jika hanya menuntut hak, ketidakadilan akan mencolok 
mata," kata Damarjati seusai seminar "Pancasila dan Implementasinya" di 
Semarang. 

Tokoh senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sabam Sirait, mengatakan, 
anggota DPRD yang tidak mengoreksi keputusan presiden dan malah senang kalau 
rapelan dibagi memang salah. Namun, menurut dia, presiden yang pertama kali 
membuat kesalahan dan hal ini menyebabkan DPRD dikerdilkan. 

Secara terpisah, Partai Damai Sejahtera (PDS) mendesak Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono agar mengeluarkan instruksi presiden atau peraturan presiden untuk 
mengatasi polemik tentang PP No 37/2006 itu. 

Sikap PDS, yang disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Damai 
Sejahtera Ruyandi Hutasoit, uang rapelan yang telah diterima para anggota DPRD 
seharusnya dibebankan kepada APBN karena polemik ini terjadi akibat kesalahan 
pemerintah dalam membuat peraturan. (VIN/AB1/dik) 

Sumber: Kompas -  Kamis, 15 Februari 2007 



++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Tabrani Ismail Ditangkap di Jakarta

2007-02-15 Terurut Topik MTI
Tabrani Ismail Ditangkap di Jakarta



Tabrani Ismail (69), terpidana korupsi enam tahun penjara, ditangkap intelijen 
kejaksaan di Jakarta, Rabu (14/2) sekitar pukul 17.20. Buron kejaksaan sejak 
bulan Agustus 2006 itu ditangkap di dalam mobil Honda Jazz warna silver 
bernomor polisi B 89xx EI, saat keluar dari kantornya di Gedung Mulia, Jakarta. 

Setelah ditangkap, mantan Direktur Pengolahan Pertamina itu dibawa ke Gedung 
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di kawasan Kuningan, sekitar 150 meter dari Gedung 
Mulia. Sekitar pukul 21.57, Tabrani yang mengenakan setelan jas warna abu-abu 
dan dasi hijau muda itu dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang menggunakan 
mobil tahanan bernomor polisi B 8082 EH. "Saya dizalimi," kata Tabrani saat 
menuju mobil tahanan. 

Tabrani Ismail divonis enam tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan uang pengganti 
189,58 juta dollar AS oleh Mahkamah Agung, 26 April 2006. Majelis hakim kasasi 
menilai Tabrani terbukti korupsi dalam proyek Export Oriented Refinery (Exor) I 
Pertamina di Balongan sehingga merugikan negara 189,58 juta dollar AS. 

Rabu malam, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menggelar jumpa pers di Kejati DKI 
Jakarta menjelaskan kronologis tertangkapnya Tabrani. Menurut Jaksa Agung, pada 
saat ditangkap, Tabrani menggunakan kartu tanda penduduk atas nama Putra Mangku 
Puspo yang dikeluarkan Kelurahan Cimpaeun, Kecamatan Cimanggis, Depok (Jawa 
Barat). 

"Saat ditangkap pukul 17.20 sampai pukul 21.00, yang bersangkutan tidak mengaku 
nama sebenarnya Dr Ir Tabrani," kata Jaksa Agung. 

Jaksa Agung menambahkan, saat dirinya tiba di Kejati DKI, barulah Tabrani 
mengakui bahwa dirinya Tabrani Ismail. Bahkan, Tabrani menceritakan bahwa ia 
melarikan diri karena merasa tidak bersalah. 

Menurut Jaksa Agung, ini bukan pertama kalinya Tabrani berusaha ditangkap 
intelijen Kejaksaan. Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin menambahkan, 
intelijen Kejaksaan beberapa kali menggerebek, namun Tabrani selalu berpindah 
tempat. (IDR)

Sumber: Kompas -  Kamis, 15 Februari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 


[mediacare] Tujuh Petinggi Polri Diduga Terlibat

2007-02-09 Terurut Topik mti
Tujuh Petinggi Polri Diduga Terlibat

JAKARTA -- Tujuh petinggi Polri diduga terlibat penyelewengan proyek pembelian 
alat dan jaringan komunikasi senilai Rp 240 miliar di tubuh Kepolisian Republik 
Indonesia selama periode 2001-2005. Pengadaan alat dan jaringan komunikasi ini 
menelan biaya Rp 602 miliar. "Inisial pejabat yang terlibat AD, AG, SS, DB, YM, 
IG, dan TH," kata Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S. Pane kemarin.

Proyek alat dan jaringan komunikasi ini antara lain meliputi pengadaan satu 
situs trunking di Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada 2002 senilai US$ 4 
juta, dan perluasan trunking Polda Sumatera Utara tahun 2003 senilai US$ 5,5 
juta. Juga pengadaan alat komunikasi Pemilu 2003 senilai Rp 111 miliar, 
trunking Polda Jawa Timur pada 2004 senilai US$ 10 juta, dan perluasan jaringan 
komunikasi PJR Sumatera (2005) senilai US$ 6 juta.

Namun juru bicara Mabes Polri Irjen Sisno Adiwinoto, saat ditanya tentang 
keterlibatan tujuh nama itu, mengatakan pihaknya belum bisa mengklarifikasi 
tujuh nama mantan pejabat Polri itu. "Saat ini penyidikan masih berjalan," 
katanya.

Menurut Sisno, selama ini BPK belum mengeluarkan hasil audit dari proyek alat 
dan jaringan komunikasi Polri itu. "Kalau BPK sudah mengeluarkan, akan kami 
tindaklanjuti," ujarnya.

Korupsi pengadaan alat dan jaringan komunikasi ini juga melibatkan Henry 
Siahaan, suami penyanyi Yuni Shara. Henry, yang ditahan di Polda Metro Jaya, 
terlibat pengadaan alat dan jaringan komunikasi melalui perusahaannya, PT 
Chandra Eka Karya Pratama.

Henry akan dikenai dua gugatan pidana terkait dengan dugaan korupsi pengadaan 
alat komunikasi dan jaringan komunikasi di Polri itu. Selain dikenai tuduhan 
korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 240 miliar, Henry juga akan dikenai 
pasal pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 

Menurut Kepala Bagian Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komjen Polisi Hendarso 
Danuri, saat itu Henry terlibat dalam penyediaan alat komunikasi handy talkie. 
Namun sampai saat ini alat yang disediakan itu tak berfungsi. 

Kata Sisno, "Ada kemungkinan Henry bisa kena jeratan berlapis." 

Menurut Neta, penangkapan Henry dan rekan kerjanya, Santo, hanyalah bagian 
kecil dari keseluruhan kasus dugaan markup ini. "Jangan berhenti sampai 
penahanan Henry saja," ujarnya. MUSLIMA HAPSARI | ERWIN d

Sumber: Koran Tempo - Jumat, 09 Februari 2007

++


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650
Fax: (62-21) 722-1658
http://www.transparansi.or.id


The Indonesian Society for Transparency 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 



[mediacare] Penyidik Tak Perlu Izin Presiden

2007-02-08 Terurut Topik mti
Penyidik Tak Perlu Izin Presiden



JAKARTA (SINDO) – Penyidikan, penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan 
terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat publik, tidak lagi 
memerlukan surat izin presiden atau pejabat publik selain presiden. 

Hal tersebut tercantum dalam pasal 18 Rancangan Undang-Undang (RUU) 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Artinya, kelak bila RUU ini 
disahkan,penyidik bisa langsung melakukan penyidikan terhadap pejabat publik 
tanpa harus mendapat izin dari presiden. Untuk diketahui, sesuai pasal 36 RUU 
Tipikor,penyidikan dalam UU ini dilakukan oleh kepolisian,kejaksaan, dan 
penyidik pada KPK. Ketua Tim Perumus RUU Tipikor Andi Hamzah mengatakan, hasil 
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat 1, diserahkan kepada jaksa 
penuntut umum. 

Kemudian, dalam pasal 36 ayat 2 disebutkan, perkara tindak pidana korupsi yang 
diterima JPU sebagaimana ayat 1 dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk 
diperiksa dan diputus majelis hakim khusus tindak pidana korupsi. Dalam pasal 
selanjutnya, juga diatur dalam satu tahun setelah UU ini diundangkan, harus 
ditunjuk hakim khusus untuk tindak pidana korupsi pada setiap Pengadilan 
Negeri, bukan pada Pengadilan Tipikor. Artinya,rancangan yang dibahas sejak 30 
Januari 2007 ini tidak lagi mengatur mengenai adanya pembentukan Pengadilan 
Tipikor seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK). 

”Memang nanti perkara korupsi ditangani hakim khusus, mereka direkrut dari 
kalangan hakim karier yang nanti dididik khusus untuk bisa menangani perkara 
korupsi,” kata Andi Hamzah. Hanya, dalam draf tersebut tidak dijelaskan apakah 
KPK dapat juga melakukan penuntutan terhadap kasus korupsi yang 
ditanganinya.Untuk diketahui, sebelumnya Andi Hamzah menilai, kewenangan 
menuntut yang ada pada KPK membuat lembaga ini terlalu superbody. 

Kewenangan itu juga,kata Andi, menyebabkan adanya dua lembaga penuntutan yang 
memiliki kekuatan yang sama, yakni kejaksaan dan KPK. Menurut Andi, tingkat 
kerampungan draf RUU yang disusun oleh tim yang terdiri atas pakar hukum, 
akademisi, kepala biro hukum kejaksaan, dan Depkumham ini sudah mencapai 95%. 
”Kita tinggal memuat penjelasan dan rancangan pencegahan korupsi,” jelasnya. 
Saat ditanya apakah tim perumus draf RUU melibatkan KPK,Andi menjawab KPK 
selalu dilibatkan.

”Ketua KPK telah kita undang untuk merumuskannya, namun yang bersangkutan 
berhalangan dan diwakili oleh biro hukumnya,”jelas Andi. Selanjutnya, yang 
menarik juga, draf RUU Tipikor mengatur ancaman pidana maksimal tiga tahun bagi 
seseorang yang membuat laporan palsu kasus korupsi. Aturan tersebut dimasukkan 
dalam pasal 13 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja membuat 
laporan palsu tentang seseorang yang telah melakukan tindak pidana korupsi, 
dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun. 

Khusus menanggapi saksi pelapor korupsi yang dapat diancam pidana ini, 
Koordinator Departemen Informasi Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan 
Topan Husodo mengatakan,pasal tersebut justru menghambat upaya pemberantasan 
korupsi. ”Pasal seperti itu tergolong pasal karet yang bisa membahayakan 
pelapor kasus korupsi.Saat kita sudah punya UU Perlindungan Saksi, mengapa 
harus ada aturan seperti itu,” ujarnya. Aturan tersebut, nilai Adnan, bisa 
menimbulkan celah untuk berkolusi antara pelaku korupsi yang dilaporkan dan 
aparat penegak hukum. 

”Dalam kondisi aparat penegak hukum yang belum bisa kita percaya, pasal itu 
justru memberikan kesempatan berkolusi antara pejabat yang dilaporkan dan 
aparat penegak hukum,”tuturnya. Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring 
Peradilan ICW Emerson Yunto yang juga tim perumus RUU ini mengatakan, masih ada 
beberapa substansi yang menjadi perdebatan dalam RUU tersebut, seperti soal 
perkara korupsi yang bernilai di bawah Rp25 juta dapat dihentikan 
penuntutannya. 

Asalkan, alat bukti dalam perkara tersebut telah cukup dan terdakwa mengakui 
kesalahannya serta mengembalikan hasil kejahatannya kepada negara.Perdebatan 
lainnya adalah, kewenangan menuntut dalam tindak pidana korupsi hilang jika 
telah lewat 18 tahun sejak terjadinya tindak pidana. ”Yang jelas, RUU tersebut 
masih perlu direvisi dan disesuaikan dengan konvensi PBB dan sesuai dengan 
semua aspirasi,” tandasnya. (sm said).
 
Sumber: Harian Seputar Indonesia - Kamis, 08 Februari 2007 

++


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650
Fax: (62-21) 722-1658
http://www.transparansi.or.id



The Indonesian Society for Transparency 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 



Web:
http

[mediacare] Kultur Birokrasi Feodal Perlu Dirombak

2007-02-08 Terurut Topik mti
Kultur Birokrasi Feodal Perlu Dirombak



Kultur birokrasi di Indonesia dirasakan masih feodal. Aparat birokrasi lebih 
banyak melayani penguasa dan mengawasi rakyat ketimbang melayani rakyat jelata. 

Pandangan itu disampaikan anggota Komisi II Agus Condro Prayitno dari Fraksi 
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ketika ditemui di sela-sela pembahasan 
Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik di Gedung DPR, Rabu (7/2). "Birokrasi 
kita itu masih warisan kolonial. Mereka lebih melayani raja atau Belanda 
ketimbang rakyat. Ini belum berubah sampai sekarang," ucap Agus Condro. 

Fraksi Kebangkitan Bangsa dalam persandingan Daftar Inventarisasi Masalah juga 
mengusulkan lahirnya UU ini didasari sebuah misi memperbaiki orientasi dan 
kultur kinerja aparatur pemerintah dan lembaga pelayanan publik yang selama ini 
lebih cenderung menganut filosofi "minta dilayani", bukan "siap melayani". 

RUU Pelayanan Publik adalah usul inisiatif pemerintah. RUU tersebut sedang 
dibahas Komisi II DPR dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. 
Dalam rangka mencari masukan, Komisi II DPR mengundang Komisi Ombudsman 
Nasional dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Rapat dipimpin Ketua Pansus 
Sayuti Asyathri dari Fraksi Partai Amanat Nasional. 

Dalam draf RUU usulan pemerintah, pelayanan publik didefinisikan sebagai 
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai 
dengan hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan 
atau pelayanan administrasi yang disediakan penyelenggara pelayanan publik. 
(SUT) 

Sumber: Kompas - Kamis, 08 Februari 2007 


++


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650
Fax: (62-21) 722-1658
http://www.transparansi.or.id



The Indonesian Society for Transparency 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 



[mediacare] Saat Sang Profesor Terpaksa Menguji di Ruang Tahanan...

2007-01-31 Terurut Topik MTI
Saat Sang Profesor Terpaksa Menguji di Ruang Tahanan...



Pukul 16.00 sudah lewat. Di sebuah ruangan di Rumah Tahanan Mabes Polri, Rabu 
(31/1), Rokhmin Dahuri tengah bersiap-siap menguji disertasi doktoral 
mahasiswinya, Budiati Prasetiamartati (30). Ia hanya meminta waktu sebentar 
kepada Budiati agar bisa menghabiskan roti yang dimakannya. 

"Sebentar, saya menghabiskan roti yang enak ini dulu, ya. Saya belum pernah 
merasakan roti seenak ini," ujar Rokhmin, yang sore itu mengenakan kaus dengan 
kerah berwarna abu-abu. 

Berbeda dengan mahasiswa lain yang diuji di ruang sidang berukuran besar, 
Budiati cukup bersyukur bisa diuji dosen pembimbingnya, Rokhmin Dahuri, di 
ruangan yang hanya berukuran 3,5 x 3,5 meter. Dinding ruangan yang berwarna 
biru telur asin itu telah terkelupas di sana sininya. Ruangan itu adalah ruang 
tunggu yang biasa dipakai tahanan saat menerima tamu. 

"Saya lega bisa diuji Pak Rokhmin. Saat Pak Rokhmin ditahan, saya sempat 
khawatir juga dengan nasib disertasi saya. Untung saja dari IPB (Institut 
Pertanian Bogor) diinformasikan siapa saja di bawah bimbingan Pak Rokhmin, baik 
master atau doktor, tetap bisa dilanjutkan, apalagi saya yang hanya tinggal 
tahap akhir," ujar Budiati yang sudah lima kali bolak-balik menjalani 
konsultasi bimbingan disertasi di Rutan Mabes Polri. 

Istri Rokhmin, Pigoselpi Anas, pun berpamitan pulang. "Saya pulang dulu, ya. 
Pakaian kotor saya bawa pulang," ujarnya, sambil mengambil tas jinjing berisi 
pakaian-pakaian kotor milik Rokhmin, yang ditaruh di atas tempat tidur tak 
berseprei. Pigoselpi pun pergi. 

Budiati adalah mahasiswa doktoral kedua yang diuji Rokhmin di rutan. Dua pekan 
sebelumnya, Cahyo Priyonggo, Direktur Perencanaan Badan Otorita Batam, juga 
menjalani ujian disertasi di Rutan Mabes Polri. Ujian itu adalah ujian 
disertasi tertutup sebelum mahasiswa menjalani ujian terbuka. 

Rokhmin menerangkan, seorang kandidat doktor di IPB harus melalui dua ujian, 
yaitu tertutup dan terbuka. Ujian tertutup disebut guru besar IPB itu sebagai 
killing ground, lahan pembantaian. 

"Tak etis kalau saya ikut meluluskan seorang kandidat doktor dari ujian 
tertutup ke ujian terbuka tanpa saya hadir dalam sidang ujian itu. Karena 
status saya sebagai tahanan, saya tidak bisa hadir dalam sidang ujian tertutup 
besok, IPB memperbolehkan saya menguji secara parsial di rutan ini," ujar 
mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditahan karena diduga terlibat kasus 
korupsi itu. 

Setelah Rokhmin menghabiskan potongan roti, Budiati pun bersiap-siap 
mempresentasikan disertasinya. Namun, karena ujian ini bersifat tertutup, 
wartawan hanya menyaksikan dari jauh. Budiati mengambil tema penelitian "Modal 
Sosial dalam Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat". Selain Rokhmin, 
dosen pembimbingnya adalah Akhmad Fauzi, Achmad Fahrudin, dan Hellmuth Lange. 

Budiati adalah kandidat doktor program studi pengelolaan sumber daya pesisir 
dan lautan ke-46. Program studi ini dirintis Rokhmin tahun 1997. Menurut 
Rokhmin, hanya ada empat universitas di dunia yang memiliki program studi ini. 
Meski raga dipenjara, tetapi ilmu mampu melewati batasan yang memenjara raga 
sang manusia. Rokhmin dan mahasiswanya telah membuktikan. (Vincentia Hanni s) 

Sumber: Kompas - Kamis, 01 Februari 2007

++ 


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Kritik MA Justru Cerminkan Sarang Mafia Peradilan

2007-01-31 Terurut Topik MTI
Kritik MA Justru Cerminkan Sarang Mafia Peradilan



JAKARTA -- Kritik Mahkamah Agung terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan 
Komisi Yudisial justru membuktikan bahwa selama ini lembaga tertinggi peradilan 
itu menjadi sarang mafia peradilan. "Malah makin menelanjangi siapa sebenarnya 
MA itu," ujar Koordinator Indonesia Court Monitoring Denny Indrayana saat 
dihubungi Tempo kemarin. 

Menurut Denny, kritik Mahkamah Agung itu adalah bentuk perlawanan. Sebab, kata 
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu, 
kedudukan Mahkamah Agung terusik dengan hadirnya KPK dan Komisi Yudisial, yang 
merupakan lembaga pengawas peradilan. 

Dua hari lalu, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Nonyudisial Syamsuhadi 
mengkritik KPK dan Komisi Yudisial. "Mereka memandang rendah Mahkamah Agung dan 
semua lembaga peradilan di bawahnya (dengan menganggap) sebagai sarang 
penjahat," ujar Syamsuhadi.

Syamsuhadi mengatakan KPK bersikap arogan dengan memorakporandakan Mahkamah 
Agung. Hal itu terjadi saat komisi tersebut menggeledah ruang kerja Ketua 
Mahkamah Agung Bagir Manan pada 27 Oktober 2005. Syamsuhadi menilai KPK sedang 
mendambakan popularitas murahan dengan menggeledah tanpa dasar.

Syamsuhadi juga melontarkan kritik terhadap Komisi Yudisial, yang meminta 
seleksi ulang 49 hakim agung. "Komisi Yudisial menganggap para hakim agung 
sebagai penjahat, mafia peradilan, yang perlu diamputasi," katanya. 

Denny mengatakan kehadiran KPK telah mengusik kenikmatan korupsi yang terjadi 
di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung juga terusik dengan kehadiran Komisi Yudisial 
karena banyaknya mafia peradilan di sana. Misalnya dugaan jual-beli perkara. 
"Jadi makin menguatkan indikasi itu," ujarnya. 

Menurut Denny, Mahkamah Agung seharusnya bekerja sama dengan kedua lembaga itu 
untuk meningkatkan kinerjanya. "Kritik MA merupakan gambaran atau pendapat 
hakim agung yang ada di sana," kata dia. 

Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Almuzammil Yusuf mengatakan kritik Mahkamah Agung 
tidak perlu dilontarkan. Sebab, penggeledahan oleh KPK dan pengawasan yang 
dilakukan Komisi Yudisial merupakan kewajibannya sebagai lembaga negara. 
"Seharusnya MA yang menjelaskan kinerjanya dan tidak melontarkan kritik yang 
tak perlu itu," kata anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera itu saat 
dihubungi kemarin. 

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengimbau Mahkamah Agung berintrospeksi 
sebagai lembaga negara yang kedudukannya sama dengan KPK dan Komisi Yudisial. 
"MA mestinya juga membudayakan transparansi," ujarnya. 

Todung mencontohkan masih adanya putusan yang membuat publik tidak percaya 
terhadap lembaga peradilan. Akibatnya, masyarakat menduga-duga apakah ada 
praktek korupsi dan kolusi dalam pembuatan putusan. "Publik juga tidak 
sepenuhnya berharap kepada MA," ujarnya. RINI KUSTIANI

Sumber: Koran Tempo - Kamis, 01 Februari 2007

++ 


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Gila!

2007-01-28 Terurut Topik MTI
Gila!
Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta

Koran Tempo - Sabtu, 27 Januari 2007

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gila diartikan sebagai sakit ingatan, sakit 
jiwa, sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal; tidak biasa, tidak 
sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan; terlalu, kurang ajar, ungkapan 
kagum; atau dapat juga berarti terlanda perasaan sangat suka. Jadi memang 
pemakaian kata gila tidak melulu identik dengan seseorang yang sakit ingatan. 

Beberapa hari terakhir ini, media massa ramai memberitakan kasus 
"menghilangnya" pesawat Adam Air rute Surabaya-Manado yang belum ditemukan. 
Nasib 102 penumpang dan awak pesawat itu hingga kini masih tak tentu rimbanya. 
Ketika dikabarkan pesawat Adam Air jatuh di Desa Rangoan, Sulawesi Barat, semua 
perhatian segera mengarah ke lokasi tersebut. Informasi ini sulit untuk tidak 
dipercaya, karena cukup detail. Ketika teman saya tahu bahwa informasi tersebut 
hanya hoax belaka, ia hanya bisa bergumam, "Gila!" 

Ditujukan kepada apa atau siapa ungkapan tersebut, saya tidak tahu. Apakah 
ditujukan kepada orang yang menyebarkan berita bohong tersebut atau kepada 
pemerintah yang percaya mentah-mentah berita tersebut tanpa perlu melakukan 
check and recheck terlebih dulu? Dan ketika membaca ulasan di media yang 
memberitakan bujet perawatan pesawat dibikin cekak untuk menaikkan keuntungan 
bisnis mereka, dus, keselamatan penumpang diabaikan, lagi-lagi teman saya 
menggumam untuk yang kedua kalinya, "Gila!"

Pada akhir 2006, kita dikejutkan oleh berita keterlambatan pengiriman katering 
jemaah haji Indonesia di Tanah Suci. Sekitar 200 ribu anggota jemaah haji asal 
Indonesia harus menahan lapar lebih dari 30 jam. Sepanjang sejarah pengelolaan 
haji yang sudah dilakukan pemerintah selama berpuluh tahun, baru kali inilah 
manajemen kateringnya amburadul. Teman saya pun tak bisa tidak untuk 
berkomentar "gila!" untuk kasus ini.

Ketika rakyat di beberapa daerah terpaksa makan nasi aking hanya untuk sekadar 
bertahan hidup, pada saat yang bersamaan diberitakan gaji para anggota DPRD 
naik sebesar dua kali lipat dari sekarang. Hal itu terjadi setelah Presiden 
Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 pada November 
lalu. Peraturan tersebut mengamanatkan dua tambahan tunjangan bagi anggota 
DPRD, yaitu tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional. 

Kenaikan gila-gilaan dialami ketua dan wakil ketua DPRD. Selain mendapatkan 
tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp 9 juta, ketua DPRD masih mendapatkan 
dana operasional yang mencapai Rp 18 juta, sedangkan wakil ketua mendapat dana 
operasional Rp 9,6 juta! Banyak orang kemudian geleng-geleng kepala dan kembali 
saya mendengar (bukan hanya satu) orang berkomentar, "Gila!" 

Dari hari ke hari, kita disuguhi berita-berita yang tidak hanya dapat membuat 
kita mengurut dada, tapi juga sering mendorong kita untuk berkomentar, "Gila!" 
Cerita getir memilukan (bahkan kadang memalukan) dari berbagai pelosok negeri 
ini datang silih berganti. Masyarakat pun cenderung bersikap permissiveness. 
Hari ini menjadi headline, esok hari sudah tidak dibicarakan atau bahkan 
dilupakan. 

Kondisi ini tampak diperparah dengan makin bertambahnya jumlah penganggur di 
Indonesia. Dalam penelitiannya, Profesor M. Harvey Brenner dari Universitas 
John Hopkins mengemukakan, untuk setiap kenaikan 1 persen angka pengangguran, 
tercatat kenaikan 1,9 persen penyakit jantung, 4,1 persen bunuh diri, dan 4,3 
persen pasien baru di rumah sakit jiwa. Jangan-jangan, dengan "kegilaan" yang 
melanda republik ini, persentase dari hasil studi Brenner bisa berubah.

Ketua Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa Ontoseno menuturkan gejala sakit jiwa 
yang dialami penderitanya, antara lain mudah melakukan kekerasan seperti 
membakar atau menggebuki pencuri sampai mati, manipulatif, cuek, serta tidak 
mengenal apa yang baik dan buruk. Dan hal tersebut terjadi di semua lapisan 
masyarakat. Satu bait ramalan Jayabaya, "sungguh zaman sedang gonjang-ganjing, 
menyaksikan zaman gila, tidak ikut gila tidak dapat bagian", bisa jadi 
menggambarkan keadaan bangsa kita saat ini: kalau tidak ikut gila, kita tidak 
kebagian. Kalau memang demikian halnya, sungguh malang negara ini. Jelas ada 
sesuatu yang salah di negeri ini, tapi dari mana kita hendak memulai mengurai 
benang kusut ini?

Tak usah lagi mengurusi hal-hal remeh-temeh. Banyak persoalan besar yang perlu 
diselesaikan di negeri ini: bencana lumpur Lapindo, potensi pandemi flu burung, 
berbagai peraturan daerah yang tumpang-tindih, lemahnya daya tarik investasi 
asing, krisis energi yang berimpak pada ketahanan nasional, reformasi birokrasi 
yang belum menyentuh lembaga yudikatif, dan segepok masalah besar lain yang 
masih menunggu. 

Bahkan Presiden Yudhoyono berjanji tak akan lagi melakukan kompromi dalam 
mengambil keputusan yang menyangkut rakyat. Berbagai masalah yang merundung 
negara ini memang membutuhkan tindakan cepat, tegas, dan nyata--seperti 
dijanjikan Pres

[mediacare] Badan Kehormatan DPR Jangan Tebang Pilih

2007-01-28 Terurut Topik MTI
Badan Kehormatan DPR Jangan Tebang Pilih 

Badan Kehormatan DPR diminta tidak bersikap "tebang pilih" dalam 
menindaklanjuti pengaduan Kelompok Kerja Petisi 50 soal dugaan pelanggaran kode 
etik yang dilakukan Ketua DPR Agung Laksono. 

Apabila BK DPR terus mengambangkan pengaduan itu dan tak segera memanggil 
Agung, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat kepada BK, bahkan kepada DPR secara 
keseluruhan, akan makin menurun 

"Bukti yang disampaikan Petisi 50 itu jelas. Seharusnya Agung Laksono dipanggil 
untuk diklarifikasi," ujar Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia 
Bivitri Susanti, Jumat (26/1). 

Sebastian Salang, Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Peduli Parlemen 
Indonesia, menilai upaya yang dilakukan Pokja Petisi 50 sudah maksimal. Justru 
BK DPR yang harus menindaklanjuti pengaduan itu. "Sekarang ini bisakah BK DPR 
membuktikan independensi itu benar-benar ada," paparnya. 

Sekretariat Bersama Pokja Petisi 50 bersama Komite Waspada Orde Baru, Gerakan 
Rakyat Marhaen, dan Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi pada 
24 November 2006 melaporkan Agung Laksono kepada BK DPR. 

Mereka menilai Agung menyalahgunakan kewenangan sebagai Ketua DPR sebab dalam 
kegiatan Safari Ramadhan 2006 ia tidak bisa membedakan posisi dan jabatannya 
sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Komisaris Utama AdamAir, maupun Ketua 
Umum Kosgoro 1957. 

Agung pernah menegaskan, dirinya sama sekali tidak melanggar kode etik. Menurut 
dia, bus DPR saat Safari Ramadhan itu disewa olehnya. Ia juga tak mengambil 
dana perjalanan (SPJ) yang disediakan Setjen DPR. 

BK DPR sampai Sabtu lalu belum menjadwalkan pemanggilan Agung. Alasan Wakil 
Ketua BK T Gayus Lumbuun, bukti yang disampaikan belum cukup kuat. 

Bivitri berpendapat, pemanggilan Agung itu bukan berarti dia dipastikan 
bersalah dan melanggar kode etik, melainkan lebih pada keseriusan BK DPR untuk 
melakukan klarifikasi. (sut) 

Sumber: Kompas - Senin, 29 Januari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Rp 28,75 Triliun Berpeluang Jadi Sarana Pencucian Aset

2007-01-28 Terurut Topik MTI
Akuntabilitas Dana Dekonsentrasi Lemah 
Rp 28,75 Triliun Berpeluang Jadi Sarana Pencucian Aset

Akuntabilitas dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan pemerintah pusat ke 
daerah sejak tahun 2000 masih lemah karena penggunaannya tidak dilaporkan di 
APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD. Apabila kondisi itu terus 
dibiarkan, dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 triliun bisa dijadikan sarana 
untuk pencucian aset sehingga berpotensi tindak pidana. 

Auditor Utama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Soekoyo 
mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Jumat (26/1). 

Menurut Soekoyo, keberadaan dana dekonsentrasi-dana yang diambil dari APBN dan 
disalurkan melalui departemen teknis yang masih memiliki kaitan kepentingan 
dengan daerah-itu tidak tercatat secara akuntansi. Dengan demikian, harus 
dilacak hingga ke realisasi fisik di lapangan untuk mengetahui penggunaan 
anggarannya. Selama ini daerah hanya menerima dananya, tetapi menolak mengakui 
sebagai bagian dari kekayaannya pada saat diminta pertanggungjawaban. 

"Pelacakan dana tersebut harus dilakukan departemen yang menyalurkannya dan 
perlu diawasi oleh instansi pengawasan internal di departemen tersebut. BPK 
sempat menguji sebagian dari keberadaan dana itu hingga ke fisik, namun 
ternyata tidak sesuai dengan laporan pemerintah pusat," katanya. 

Soekoyo mengatakan, masalahnya semakin rumit karena departemen yang 
menyalurkannya tidak mencatat hasil pembangunan yang didanai dana 
dekonsentrasi. Hal itu terjadi karena pemerintah tidak memiliki aturan yang 
jelas terkait dengan penggunaan dana dekonsentrasi. 

"Selama ini, keberadaan piutang pemerintah pusat hanya dicatat di Ditjen 
Piutang dan Lelang Negara (sekarang menjadi Ditjen Kekayaan Negara) Departemen 
Keuangan. Departemen lainnya tidak pernah mencatatnya. Angka ekuitas hanya 
dicatat berdasarkan prognosa sehingga belum bisa diakui secara akuntansi. 
Padahal, realisasi harus sangat diperhatikan," katanya. 

Dana dekonsentrasi sudah dicairkan pemerintah sejak tahun 2000. Dana itu 
sebagai bentuk bantuan pemerintah kepada daerah untuk menjalankan berbagai 
tugas kenegaraan yang tadinya dikelola pusat. 

Semakin besar 

Pada tahun 2005 dana dekonsentrasi yang dicairkan mencapai Rp 4 triliun. 
Sebagian besar disalurkan melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) 
senilai Rp 1,2 triliun. Penerima terbesar adalah Provinsi Jawa Barat Rp 258,5 
miliar, lalu Sulawesi Selatan senilai Rp 256,2 miliar. 

Pada tahun 2006 jumlahnya semakin besar, mencapai Rp 24,75 triliun, dengan 
penyalur terbesar Depdiknas senilai Rp 17,72 triliun dan Departemen Kesehatan 
Rp 2,7 triliun. Penerima terbesarnya adalah Provinsi Jawa Barat Rp 2,7 triliun, 
Jawa Timur Rp 2,7 triliun, dan Jawa Tengah sebesar Rp 2,37 triliun. 

"Dana dekonsentrasi yang dikelola Mendiknas tidak kurang dari Rp 22 triliun, 
yang dibiayai departemen namun dilaksanakan di daerah. Tetapi, tidak dicatat di 
departemen dan tidak dicatat di daerah. Seharusnya, daerah penerima dana 
dekonsentrasi itu melaporkan hasil kerja proyeknya ke pusat. Departemen lalu 
mencatatnya dalam neraca," kata Soekoyo. 

Sumber selisih 

Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao 
menegaskan, kekacauan dalam penggunaan dana dekonsentrasi merupakan salah satu 
sumber selisih antara laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kondisi itu 
disebabkan departemen penyalur dan daerah penerima dana dekonsentrasi saling 
menuding pertanggungjawabannya. 

"Uang keluar, tetapi tidak ada yang mau bertanggung jawab. Kalau dinas di 
daerah tidak bisa bertanggung jawab, maka departemen yang memperbaikinya. 
Seperti Departemen Pertanian yang mulai bertindak tegas, kalau daerah tidak mau 
bertanggung jawab, maka dananya akan dialihkan ke daerah lain. Tetapi, 
kebanyakan departemen lain masih berbaik hati, terus menambah dananya meskipun 
tidak jelas pertanggungjawabannya," katanya. 

Menurut Hekinus, dana dekonsentrasi bukan anggaran hibah sehingga penggunaannya 
harus dilaporkan ke pusat. "Masalahnya ada tiga jenis gubernur. Ada gubernur 
yang mengerti, ada gubernur yang sama sekali tidak tahu mekanisme pelaporannya, 
dan yang paling parah ada juga gubernur yang pura-pura tidak tahu. Jenis ini 
biasanya tetap menerima dana dekonsentrasi, namun enggan bertanggung jawab," 
katanya. (OIN) 

Sumber: Kompas - Senin, 29 Januari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Petisi 50 Serahkan VCD Bukti Pelanggaran

2007-01-27 Terurut Topik MTI
Petisi 50 Serahkan VCD Bukti Pelanggaran



Meski surat pengaduan masuk dua bulan lalu, Badan Kehormatan DPR belum 
memeriksa Ketua DPR Agung Laksono sehubungan dengan adanya pengaduan 
pelanggaran kode etik yang diadukan Sekretariat Bersama Kelompok Kerja Petisi 
50. 

Untuk memperkuat bukti dan agar kasus ini tidak dipetieskan, Kamis (25/1), 
Pokja Petisi 50 kembali memperkuat bukti dengan menyerahkan dua rekaman video 
(VCD) tentang perjalanan Safari Ramadhan Agung Laksono ke Lebak, Sumedang, dan 
Bantul, serta keterlibatannya di AdamAir. 

"Dengan bukti ini, Badan Kehormatan DPR saatnya memanggil Agung Laksono," ujar 
Koordinator Komite Waspada Orde Baru Judilherry Justam kepada wartawan sambil 
memutar VCD itu. Hadir juga Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Majelis 
Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Muzakkir Djabir. 

Dalam VCD itu, menurut Judilherry, Agung terlihat jelas melakukan Safari 
Ramadhan sebagai Ketua DPR. Hal ini terlihat dari spanduk yang bertuliskan 
Agung sebagai Ketua DPR. Agung juga menggunakan lencana DPR. 

Padahal, rapat DPR tidak pernah menugaskan Agung untuk melakukan Safari 
Ramadhan. Di sisi lain, Agung memakai fasilitas DPR, seperti bus dan membawa 
serta staf DPR. 

Agung juga dinilai melakukan kebohongan publik dengan mengatakan tak lagi 
menjadi Komisaris Utama di AdamAir saat menjadi Ketua DPR. Judilherry menilai 
Agung berbohong dan berniat cuci tangan setelah pesawat AdamAir hilang. 

Terbukti, pada undangan peluncuran Penerbangan AdamAir ke Singapura, 17 Maret 
2006, Agung masih ditulis sebagai Dewan Komisaris AdamAir. Kantor AdamAir juga 
pada Januari 2007 masih memajang foto Agung Laksono bersama jajaran direksi 
perusahaan penerbangan itu. Di bawah foto itu, Agung ditulis sebagai Presiden 
Komisaris. 

Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR T Gayus Lumbuun membantah BK bertindak tebang 
pilih dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran oleh anggota DPR. Agung belum 
dipanggil karena bukti yang diberikan pelapor dinilai belum kuat. (sut) 

Sumber: Kompas - Jumat, 26 Januari 2007



++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 



 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Penyelidikan Mark Up Biaya Hotel Presiden, Timtas Tipikor Periksa Manajemen Shangri-La

2007-01-26 Terurut Topik MTI
Penyelidikan Mark Up Biaya Hotel Presiden, Timtas Tipikor Periksa Manajemen 
Shangri-La



JAKARTA - Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) bergerak 
cepat untuk menyelidiki dugaan mark up biaya penginapan rombongan presiden di 
KTT ASEAN di Cebu, Filipina, 12-14 Januari 2007. Meski belum genap sepekan, tim 
jaksa telah memeriksa empat pihak yang bisa mengungkap kasus yang menghebohkan 
Istana Kepresidenan tersebut.

Empat informan itu adalah dua staf bagian rumah tangga Sekretariat Negara 
(Setneg) dan dua orang manajemen Hotel Shangri-La perwakilan Jakarta. Saat ini, 
tim penyelidik yang diketuai Bambang Setyo Wahyudi tinggal menjadwalkan 
pemeriksaan AK, wartawan The Jakarta Post yang menulis berita dugaan mark up 
tersebut.

"Tim penyelidik nggak perlu ke Cebu. Cukup dari (manajemen) Hotel Shangri-La di 
Jakarta," kata Ketua Timtastipikor Hendarman Supandji seusai mengikuti 
pelantikan Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Umum dan JAM Pengawasan di Gedung 
Kejagung, kemarin.

Di Cebu, rombongan SBY menginap di Hotel Shangri-La's Mactan Island Resort and 
Spa.

Ditanya apa yang diperoleh dari pemeriksaan manajemen Hotel Shangri-La, 
Hendarman menolak menjawab. "Saya belum membuat laporan. Saya ditugasi Pak 
Presiden, saya perlu melapor dulu kepada beliau," ujarnya diplomatis.

Sebuah sumber menyebutkan, manajemen Shangri-La ditanyai terkait biaya 
akomodasi rombongan SBY, termasuk tarif resmi hotel. Informasi tersebut akan 
di-cross check dengan anggaran biaya penginapan rombongan SBY yang dikeluarkan 
staf kepresidenan.

"Jika ada selisih harga, maka akan ditelusuri benarkah itu mark up. Sebaliknya, 
jika tidak ada selisih, maka urusannya akan beres," jelas sumber tersebut.

Menurut Hendarman, selain memeriksa staf kepresidenan dan manajamen Shangri-La, 
Timtas Tipikor menjadwalkan pemeriksaan terhadap penulis berita dugaan mark up, 
AK, yang juga wartawan The Jakarta Post. Tim penyelidik awalnya telah meminta 
AK datang untuk diperiksa, namun yang bersangkutan minta penundaan. "Dia minta 
kami (Timtas Tipikor) melayangkan surat resmi. Saat ini, surat itu sedang kami 
buat," jelas jaksa alumnus Fakultas Hukum Undip ini.

Hendarman menolak menjawab ketika ditanya materi kesaksian AK yang sekadar 
mendengarkan kesaksian orang lain. Yakni, saat staf kepresidenan berusaha 
melobi resepsionis hotel agar bersedia membuat kuitansi dengan biaya yang 
digelembungkan.

Dihubungi secara terpisah, AK bersedia menjalani pemeriksaan di depan tim 
penyelidik untuk membeberkan kesaksiannya. Namun, dia minta surat pemeriksaan 
dilayangkan melalui prosedur resmi. "Saya sih, siap saja," ujarnya singkat.

Berita adanya permintaan mark up staf kepresidenan atas biaya hotel di The 
Shangri-La's Mactan Island Resort and Spa Filipina sempat beredar di situs 
berita Filipina www.inquirer.net dan media masa nasional The Jakarta Post.

Media tersebut menulis, staf Setneg itu meminta pihak hotel Shangri-La untuk 
menggelembungkan biaya hotel rombongan presiden. Permintaan itu ditolak 
manajemen hotel. Mendapat jawaban itu, staf Setneg itu tetap berusaha membujuk 
dengan menawarkan 40 persen mark up ke pihak hotel.(agm)

Sumber: Jawapos - Jumat, 26 Januari 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Laksamana Tuding Pansus DPR Bohong

2007-01-24 Terurut Topik MTI
Laksamana Tuding Pansus DPR Bohong



Mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, Rabu (24/1), 
mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia keberatan oleh tuduhan 
Panitia Khusus DPR, yang menurut dia, secara personal menyatakan dirinya 
terlibat dalam kasus penjualan tanker raksasa atau very large crude carrier 
milik PT Pertamina. 

"Tuduhan itu adalah kebohongan. KPK sejak Mei 2004 hingga Oktober 2004 telah 
menyelidiki kasus itu dan tidak ditemukan unsur kerugian negara," tutur 
Laksamana. 

Dia berharap KPK tetap menjadi lembaga yang independen. "Dengan demikian hukum 
menjadi panglima, bukan politik menjadi panglima," katanya. 

Ia merasa telah dizalimi oleh pansus dan tidak ingin DPR digunakan untuk 
kepentingan politik anggotanya. 

Pada malam sebelumnya, Komisi III DPR menegaskan desakan mereka agar KPK 
mengusut tuntas mantan Komisaris Utama PT Pertamina yang juga mantan Menteri 
Negara BUMN, Laksamana Sukardi. Penegasan itu diungkapkan dalam butir keempat 
kesimpulan rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan KPK yang ditutup 
Selasa pukul 23.33. 

Anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 
Perjuangan, Jawa Timur V), mengatakan, kesimpulan itu sesuai dengan rekomendasi 
Pansus Penjualan Tanker Pertamina yang telah disetujui oleh semua fraksi di 
DPR. Selain itu, pengusutan kasus tersebut dapat digunakan untuk menepis kesan 
bahwa KPK selama ini tebang pilih. 

Sebelumnya, sempat terjadi perdebatan panjang berkaitan dengan kesimpulan itu. 
Satu materi perdebatan adalah penyebutan nama Laksamana Sukardi. Bahkan, Wakil 
Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, demi menjaga nama baik, Komisi 
III sebaiknya menjunjung asas praduga tak bersalah. 

Namun, Gayus Lumbuun dan anggota Komisi III lainnya, seperti Panda Nababan 
(Fraksi PDI-P, Jawa Barat V), menegaskan, penulisan nama Laksamana Sukardi 
sesuai dengan rekomendasi pansus tersebut. Meskipun demikian, KPK berkeberatan. 

Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean meminta agar 
kesimpulan itu sesuai dengan butir ketiga rekomendasi pansus yang menugaskan 
Komisi III DPR mendesak KPK segera menuntaskan kasus penjualan tanker itu tanpa 
menyebut nama Laksamana Sukardi. 

Namun, semua anggota Komisi III, termasuk Benny K Harman (Partai Keadilan dan 
Persatuan Indonesia, NTT I) dan Arbab Papoeka (Fraksi PAN, Sulawesi Tenggara), 
menyetujui pencantuman nama Laksamana. 

Secara terpisah Ketua KPK Taufiequrachman Ruki yang didampingi Tumpak 
Hatorangan Panggabean mengatakan, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK 
bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. (JOS/ANA/vin) 

Sumber: Kompas - Kamis, 25 Januari 2007


++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Pengadilan Bekukan Duit Tommy Soeharto

2007-01-23 Terurut Topik MTI
Pengadilan Bekukan Duit Tommy Soeharto



LONDON -- Pengadilan Guernsey, negara persemakmuran Inggris, Senin lalu 
menyetujui permintaan Kejaksaan RI untuk membekukan sementara uang Tommy 
Soeharto yang disimpan di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas. Uang itu 
diduga jauh lebih banyak daripada yang sebelumnya diketahui kejaksaan.

Kepada Tempo, Duta Besar Indonesia untuk Inggris, Marty Natalegawa, mengatakan 
pembekuan itu bersifat sementara, setidaknya sampai Tommy dapat membuktikan 
kebenaran asal-usul uang tersebut. Di koran Financial Times, Marty mengatakan 
pemerintah masih mengumpulkan bukti yang lebih kuat. "Kami akan menghadirkan 
bukti-bukti tambahan saat pengadilan benar-benar berlangsung pada 8 Maret 
nanti," kata Marty.

Sengketa uang Tommy senilai 36 juta euro atau sekitar Rp 421 miliar di bank itu 
dimulai pada Oktober 2002, saat BNP Paribas cabang Guernsey enggan mencairkan 
rekening milik Garnet Investment, perusahaan Tommy yang terdaftar di British 
Virgin Islands. Pihak bank meminta Garnet menjelaskan asal-usul uang yang 
disimpan sejak Juli 1998 itu. Karena bank itu tak kunjung mencairkan dananya, 
Tommy pada Maret 2006 pun mengajukan gugatan ke pengadilan Guernsey.

Pemerintah Indonesia kemudian mengintervensi proses hukum ini karena menganggap 
uang Tommy di BNP Paribas itu berasal dari korupsi. Senin lalu, permohonan itu 
dikabulkan. Dan karena itu, pengadilan setuju membekukan sementara aset 
tersebut.

Menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, pembekuan itu memang sesuai dengan 
keinginan mereka. "Kami minta Mareva injunction (dibekukan dan tidak bisa 
ditarik), supaya uang itu di-freeze, dibekukan dulu," kata Abdul Rahman 
kemarin. "Menurut pengacara kami di sana, klaim kami cukup kuat." 

Karena itu, proses penarikan kembali membutuhkan waktu. "Minimal sekarang itu 
dibekukan, sambil menunggu proses pembuktian dari kami, (juga) pembuktian dari 
Tommy," kata Abdul Rahman. Meski demikian, dia tak menutup kemungkinan 
dialihkannya aset itu ke pemerintah Indonesia. "Target akhir dibawa pulang."

Jumlah uang Tommy di BNP Paribas diduga lebih dari 36 juta euro. "Tadi saya 
mendapat laporan, ternyata di dalam pembukuan, jumlah awal seluruhnya sekitar 
60 juta euro," ujar Jaksa Agung kemarin. Bahkan, menurut koran Financial Times, 
jumlahnya bisa mencapai 75 juta euro.

Pemerintah menunjuk seorang pengacara lokal Guernsey, Lloyd Le Roy Strappini 
dari kantor pengacara L. Strappini & Co., untuk menangani kasus ini. "Mr Lloyd 
sudah menyampaikan bahwa kami punya basis legal yang kuat untuk menggugat," 
kata Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda, yang mengikuti kasus 
itu di Guernsey, kepada Tempo. AFP | FANNY FEBIANA

Sumber: Koran Tempo - Rabu, 24 Januari 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 


[mediacare] Disebut KKN, Laksamana Melawan

2007-01-23 Terurut Topik MTI
Disebut KKN, Laksamana Melawan



JAKARTA - Gara-gara namanya disebut Pansus Kapal Tanker Pertamina, mantan 
Menteri BUMN Laksamana Sukardi mengeluarkan dua jurus serangan balik. Selain 
melayangkan gugatan hukum, langkah politik untuk minta pertanggungjawaban 
Megawati pun disiapkan.

"Kami akan melaporkan sejumlah anggota DPR ke Mabes Polri karena diduga 
melakukan pencemaran nama baik," ujar Petrus Salestinus, kuasa hukum Laksamana 
Sukardi di Jakarta kemarin.

Laksamana, pendiri sekaligus koordinator Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) 
Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) kemarin menggelar jumpa pers khusus untuk 
membantah temuan Pansus Tanker Pertamina DPR. Sebelumnya, saat Komisi III DPR 
menggelar rapat kerja dengan KPK, Pansus menyebut Laksamana sebagai orang yang 
bertanggung jawab dalam penjualan kapal tanker Pertamina.

"Pada rapat dengan KPK, mereka menyebut Laksamana terlibat KKN dan menyebut 
Laksamana sebagai orang yang paling bertanggung jawab untuk dimintai 
keterangan. Padahal, KPK sudah memberikan keterangan tidak ada kerugian negara 
dalam kasus ini," kata Petrus.

Karena itu, Laks akan melaporkan sejumlah anggota Pansus seperti Gayus Lumbuun 
dan Simon Patrice Morin. Keduanya dari FPDIP. Mereka akan dilaporkan ke Mabes 
Polri pada Kamis, 25 Januari 2007. Menurut Petrus, Pansus DPR juga akan digugat 
secara perdata ke pengadilan karena dalam keputusannya diduga ada kebohongan 
publik.

Laksamana juga menegaskan, tidak ada kerugian negara apa pun dalam penjualan 
tanker tersebut. Dia bahkan menyebut negara diuntungkan sekitar USD 50 juta. 
"Jadi, tidak jelas mengapa saya diminta bertanggung jawab. Sejak mundur dari 
kabinet, saya memang sudah jadi TO (target operasi)," katanya.(adb)

Sumber: Jawapos - Rabu, 24 Januari 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 

[mediacare] Dugaan Mark Up Hotel Presiden Dilanjutkan, Timtas Tipikor Periksa Staf Istana

2007-01-23 Terurut Topik MTI
Dugaan Mark Up Hotel Presiden Dilanjutkan, Timtas Tipikor Periksa Staf Istana

JAKARTA - Satu per satu staf rumah tangga kepresidenan diperiksa Timtas 
Tipikor. Lembaga pemberantas praktik korupsi itu serius mengusut dugaan mark up 
biaya hotel rombongan presiden saat menghadiri KTT ASEAN ke Cebu, Filipina, 
lalu.

Pihak istana memang terbuka dan kooperatif untuk menjalani pemeriksaan dan 
memberikan data-data untuk menguak kebenaran isu mark up yang menghebohkan itu. 

Kepala Biro Rumah Tangga Istana Kepresidenan Ahmad Rusydi mengakui, 
staf-stafnya sudah diperiksa oleh Timtas Tipikor (Tim Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi). "Sudah ada yang diperiksa. Kan orangnya sudah jelas, siapa 
yang di bagian pemesanan dan siapa di keuangan," katanya kemarin.

Hanya saja, Rusydi tidak menjelaskan lebih detail, staf-staf yang mana yang 
sudah diperiksa oleh Timtas Tipikor. "Yang pasti kami terbuka," katanya.

Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda seusai mendampingi Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono menemui Menteri Luar Negeri Kerajaan Denmark Dr Per Stig 
Moller juga memberikan keterangan terkait isu mark up tersebut. Menurut Hassan, 
biaya hotel yang dibayarkan rombongan Indonesia saat ke Cebu memang di atas 
harga normal. "Itu betul, tapi bukan karena adanya mark up," ujar Hasan.

Sesuai penjelasan KBRI Manila, tarif hotel di Cebu selama KTT ASEAN memang 
melambung tinggi. Harga tersebut berlaku sama bagi semua kontingen. Pengelola 
hotel memang membuat kesepakatan dengan panitia KTT soal tarif resmi hotel 
selama KTT. 

Isu adanya mark up biaya hotel di Cebu beredar kali pertama di media nasional 
berbahasa Inggris dan media Filipina Inquirer.net. Dalam berita tersebut 
diceritakan, kontingen Indonesia yang berjumlah 100 orang lebih menginap di 
Shangri-La's Mactan Island Resort and Spa. Saat pembayaran, staf kepresidenan 
diduga meminta kuitansi pembayaran di mark up. Tapi, permintaan itu ditolak 
hotel. Namun, hotel dan panitia KTT juga telah membantah adanya dugaan tersebut.

Karena sudah menjadi isu publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil 
Timtas Tipikor dan meminta agar isu tersebut diselidiki kebenarannya. Hingga 
kini belum ada perkembangan yang berarti dari hasil pemeriksaan Timtas Tipikor. 
(tom)

Sumber: Jawapos - Selasa, 23 Januari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 



Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 


[mediacare] Dugaan Mark Up Hotel Presiden Dilanjutkan, Timtas Tipikor Periksa Staf Istana

2007-01-22 Terurut Topik MTI
Dugaan Mark Up Hotel Presiden Dilanjutkan, Timtas Tipikor Periksa Staf Istana

JAKARTA - Satu per satu staf rumah tangga kepresidenan diperiksa Timtas 
Tipikor. Lembaga pemberantas praktik korupsi itu serius mengusut dugaan mark up 
biaya hotel rombongan presiden saat menghadiri KTT ASEAN ke Cebu, Filipina, 
lalu.

Pihak istana memang terbuka dan kooperatif untuk menjalani pemeriksaan dan 
memberikan data-data untuk menguak kebenaran isu mark up yang menghebohkan itu. 

Kepala Biro Rumah Tangga Istana Kepresidenan Ahmad Rusydi mengakui, 
staf-stafnya sudah diperiksa oleh Timtas Tipikor (Tim Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi). "Sudah ada yang diperiksa. Kan orangnya sudah jelas, siapa 
yang di bagian pemesanan dan siapa di keuangan," katanya kemarin.

Hanya saja, Rusydi tidak menjelaskan lebih detail, staf-staf yang mana yang 
sudah diperiksa oleh Timtas Tipikor. "Yang pasti kami terbuka," katanya.

Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda seusai mendampingi Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono menemui Menteri Luar Negeri Kerajaan Denmark Dr Per Stig 
Moller juga memberikan keterangan terkait isu mark up tersebut. Menurut Hassan, 
biaya hotel yang dibayarkan rombongan Indonesia saat ke Cebu memang di atas 
harga normal. "Itu betul, tapi bukan karena adanya mark up," ujar Hasan.

Sesuai penjelasan KBRI Manila, tarif hotel di Cebu selama KTT ASEAN memang 
melambung tinggi. Harga tersebut berlaku sama bagi semua kontingen. Pengelola 
hotel memang membuat kesepakatan dengan panitia KTT soal tarif resmi hotel 
selama KTT. 

Isu adanya mark up biaya hotel di Cebu beredar kali pertama di media nasional 
berbahasa Inggris dan media Filipina Inquirer.net. Dalam berita tersebut 
diceritakan, kontingen Indonesia yang berjumlah 100 orang lebih menginap di 
Shangri-La's Mactan Island Resort and Spa. Saat pembayaran, staf kepresidenan 
diduga meminta kuitansi pembayaran di mark up. Tapi, permintaan itu ditolak 
hotel. Namun, hotel dan panitia KTT juga telah membantah adanya dugaan tersebut.

Karena sudah menjadi isu publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil 
Timtas Tipikor dan meminta agar isu tersebut diselidiki kebenarannya. Hingga 
kini belum ada perkembangan yang berarti dari hasil pemeriksaan Timtas Tipikor. 
(tom)

Sumber: Jawapos - Selasa, 23 Januari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 



Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 


[mediacare] Tommy Bisa Jadi Tersangka Lagi

2007-01-22 Terurut Topik MTI
Tommy Bisa Jadi Tersangka Lagi



JAKARTA - Tommy Soeharto dapat menjadi tersangka kasus pencucian uang, jika 
dalam proses persidangan di royal court Guernsey, Inggris, terungkap perbuatan 
material bahwa simpanannya di BNP Paribas adalah hasil tindak pidana korupsi.

Ketua Tim Pencari Koruptor (TPK) Basrief Arief mengatakan, kepolisian berwenang 
menyelidiki dugaan tersebut, dengan mempelajari putusan royal court Guernsey. 
"Iya, itu dari (hasil penyelidikan) penyidik Polri," kata Basrief di gedung 
Kejagung, akhir pekan lalu.

Pernyataan Basrief menjawab pertanyaan wartawan terkait peluang Tommy menjadi 
tersangka kasus pencucian uang. TPK sebelumnya banyak membantu kepolisian untuk 
mengungkap kasus pencucian uang dengan tersangka mantan Dirut Bank Mandiri ECW 
Neloe. Sangkaan tersebut atas rekening Neloe senilai USD 5 juta yang tersimpan 
di sebuah bank di Swiss. 

Sesuai UU No 25 Tahun 2003, kejaksaan tidak dapat menjadi penyidik kasus 
pencucian uang. Satu-satunya penyidik kasus pencucian uang adalah kepolisian.

Ditanya apakah TPK berkoordinasi dengan kepolisian terkait kasus Tommy, Basrief 
menegaskan belum. Meski demikian, TPK memantau proses litigasi atas gugatan 
intervensi yang didaftarkan kejaksaan di royal court of Guernsey. "Makanya, 
kami (TPK) lihat nanti. JAM Datun kan sedang berupaya mengikuti persidangan di 
sana (Guernsey). Nanti berkoordinasi dengan pengadilan di sana, bagaimana 
seharusnya..," kata Basrief.

Menurut Basrief, dari hasil persidangan, jika memang memenuhi pelanggaran UU No 
25 Tahun 2003, tak tertutup kemungkinan Tommy menjadi tersangka kasus 
pencuciang uang. 

Bagaimana komentar kubu Tommy? Elza Syarief, pengacara Tommy, hingga tadi malam 
belum bisa dihubungi. Telepon gemggamnya tidak diangkat. 

Kapuspenkum Kejagung Salman Maryadi mengatakan, masyarakat hendaknya tidak 
berspekulasi terhadap hasil proses hukum atas gugatan intervensi kejaksaan atas 
perkara Tommy. Sebab, kejaksaan baru tahap proses pendaftaran gugatan, sedang 
proses hukumnya belum digelar. "Kami saja memantau, kalau Pak Yoseph (Direktur 
Perdata Kejagung) sudah datang," kata Salman. 

Kejaksaan berencana mendaftarkan gugatan intervensi atas perkara Tommy di royal 
court Guernsey. Di sana, Tommy menggugat BNP Paribas atas simpanannya yang 
tidak dapat dicairkan. 

Bank berkantor pusat di Paris, Prancis, ini berdalih, simpanan itu terkait 
kasus pencucian uang (hasil korupsi), sehingga perlu klarifikasi asal-usulnya. 
Nah, pengadilan setempat lantas menghubungi pemerintah RI, apakah punya 
kepentingan atas perkara tersebut atau tidak. Dan, jaksa agung memastikan, 
pemerintah RI punya kepentingan atas aset ratusan miliar tersebut. (agm)

Sumber: Jawapos - Senin, 22 Januari 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 



Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 

[mediacare] DPRD Menolak Revisi PP 37/2006

2007-01-22 Terurut Topik MTI
DPRD Menolak Revisi PP 37/2006



Peraturan Pemerintah Nomor 37/2006 terus saja menjadi kontroversi. Tiga 
asosiasi DPRD, tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, menolak gagasan untuk 
merevisi PP itu. Mereka justru meminta pemerintah konsisten dengan aturan yang 
dibuatnya. 

Asosiasi DPRD juga menolak rencana pemerintah mengelompokkan daerah sebagai 
dasar pemberian tunjangan. Sikap itu disampaikan Ketua Badan Kerja Sama 
Pimpinan DPRD Provinsi Se-Indonesia Ade Surapriatna, Ketua Asosiasi DPRD Kota 
Se-Indonesia Soerya Respationo, dan Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten HM Harris, 
saat bertemu Mendagri Moh Ma'ruf, Jumat (19/1). 

Sebaliknya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam surat terbuka 
yang ditandatangani Taufik Basari (Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi), 
Minggu, meminta pimpinan dan anggota DPRD mempertimbangkan secara bijak luasnya 
penolakan masyarakat atas PP itu. "Itu menunjukkan rakyat telah disakiti," 
ujarnya. 

Ade mengatakan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional untuk DPRD 
diberikan sebagai ganti uang lelah. "Tunjangan itu hanya memenuhi kebutuhan 
minimal komunikasi, jumlahnya kecil dibandingkan anggota DPR yang mendapat 14 
juta," kata Ade. 

Soerya juga menyatakan, dengan tunjangan itu, anggota DPRD kota mendapat 
tambahan Rp 6 juta. "Itu masih minimal jika dibandingkan tamu-tamu yang 
berbondong-bondong ke DPRD, ada yang minta berobat, sampai anak mau menikah," 
tuturnya. 

Karena itulah, anggota DPRD meminta pemerintah untuk tetap memberlakukan PP No 
37/2006 tanpa perlu membuat pengelompokan daerah. PP No 37/2006 sudah jelas 
mengatur soal itu. "Daerah ngerti kok seberapa jauh kemampuannya. Tak perlu 
dikelompokkan, biarlah daerah yang menuntaskan," kata Ade. 

Sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi mulai resah dengan sikap pemerintah atas 
PP No 37/2006. Kini pemberian tunjangan dianggap beban setelah muncul protes 
dan sikap pemerintah pusat yang tidak tegas. "Saya sudah tidak peduli-peduli 
banget dengan soal itu," ujar Hendri Masyur, Ketua DPW PKS Provinsi Jambi, 
Sabtu. 

Hal senada diutarakan Syarifuddin Dwi Aprianto, Sekretaris Fraksi Keadilan 
Demokrat. Secara pribadi dia tak mempersoalkan jika tunjangan ditunda. Dia 
malah mengaku gaji dan tunjangan rumah yang diterima anggota Dewan di Jambi, Rp 
8 juta hingga Rp 9 juta per bulan, dianggap mencukupi. "Perbandingan gaji kami 
dengan kerja yang dilakukan sudah sesuai," tuturnya. 

Namun, di Lampung, sebagian anggota DPRD tak mau mengembalikan tunjangan yang 
mereka terima. Yandri Nazir, Ketua Komisi B DPRD Lampung, mendukung PP itu. 
"Lampung tak mungkin iri dengan DKI Jakarta atau Riau kok," tambah Sekretaris 
Komisi B DPRD Lampung Dirhamsyah. (ITA/HLN/SIE) 

Sumber: Kompas - Senin, 22 Januari 2007

++

Catatan:

PP No. 37 Tahun 2006 -- dan Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi 
lainnya

Bagi yang ingin menngunduh (mendownload) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang 
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat 
Daerah 
silakan klik 
http://www.transparansi.or.id/database/peraturan/PP372006.pdf

untuk melihat Sejumlah Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi 
lainnya, silakan klik 
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatpusatdata&id=1

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 



Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
The Indonesian Society for Transparency
Jl. Polombangkeng No. 11,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 


[mediacare] KPK Pertanyakan Penghentian Kasus Syafruddin Temenggung

2007-01-21 Terurut Topik MTI
KPK Pertanyakan Penghentian Kasus Syafruddin Temenggung
"Jelas saya kecewa. Tim kami berbulan-bulan tidak tidur. Enak saja dihentikan."

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi akan menanyakan rencana Kejaksaan Agung 
untuk menghentikan penuntutan kasus dugaan korupsi dalam penjualan pabrik gula 
PT Rajawali Nusantara III, Gorontalo. 

"Kalau benar SKP3 (surat keputusan penghentian penuntutan perkara) turun, akan 
kami tanyakan," kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean ketika 
dihubungi Tempo kemarin. 

Menurut Tumpak, selama menangani kasus Syafruddin Temenggung, Kejaksaan Agung 
selalu melaporkan perkembangannya kepada KPK. "Sejak ditangani Kejaksaan Tinggi 
DKI sampai ditangani Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, selalu dilaporkan," 
ujarnya. 

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman 
Supandji menyatakan sudah mengirimkan rekomendasi kepada Jaksa Agung Abdul 
Rahman Saleh untuk menghentikan perkara dengan tersangka Syafruddin Temenggung 
ini karena kasusnya tidak memenuhi syarat untuk diajukan ke pengadilan. 

Ketika dihubungi Tempo kemarin, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan 
mempelajari terlebih dulu rekomendasi itu. "Nanti saya pelajari. Belum saya 
terima," ujarnya. 

Abdul Rahman menjelaskan perkara ini masih sama dengan yang ditangani Kejaksaan 
Tinggi DKI Jakarta saat Rusdi Taher menjabat sebagai kepala. "Cuma, sekarang 
diteruskan dengan bahan-bahan yang baru," ujarnya. 

Menanggapi hal ini, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rusdi Taher 
mengaku kecewa dengan rekomendasi yang diajukan Hendarman. "Jelas saya kecewa. 
Tim kami dulu berbulan-bulan tidak tidur. Enak saja dihentikan," kata Rusdi 
melalui telepon. 

Rusdi menganggap pembuktian kasus ini sebenarnya sudah cukup. Menurut dia, 
penghitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga dapat 
digunakan untuk menghitung kerugian negara. "Tidak ada di undang-undang harus 
pakai ini atau itu. Saksi ahli itu menurut bidangnya, bukan institusinya," 
katanya. 

Rusdi menganggap kasus ini aneh. Sebab, penghentian perkara dilakukan saat 
perkara telah masuk tahap penuntutan. "Dari aspek prosedural aneh. Tidak tepat 
dihentikan di tingkat penyidikan," ujarnya. Kasus ini, kata dia, dulu telah 
dilimpahkan dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ke Kejaksaan Negeri Jakarta 
Selatan untuk segera dilimpahkan ke pengadilan. 

Kasus ini bermula dari Program Penjualan Aset Strategis pada 2003 oleh Badan 
Penyehatan Perbankan Nasional. Pabrik gula PT Rajawali Nusantara III, 
Gorontalo, dijual seharga Rp 95 miliar. Menurut Komisi Pengawas Persaingan 
Usaha, penjualan ini diduga merugikan negara Rp 500 miliar. 

Pabrik Gula Rajawali III semula bernama PT Naga Manis Plantation, milik 
pengusaha Prajogo Pangestu. Pada 1990, Naga Manis menerima kredit Rp 632 miliar 
dari Bank Bumi Daya. Karena kredit tersebut macet, utang perseroan itu 
direstrukturisasi pada 5 Desember 1997. 

Melalui rapat umum pemegang saham pada 5 Desember 1997, disetujui perubahan 
nama menjadi Pabrik Gula Rajawali III. Utang sebesar Rp 400 miliar juga 
disetujui untuk ditukar dengan kepemilikan BBD atas 400 ribu lembar saham atau 
66,66 persen. 

Kuasa hukum Syafruddin Temenggung, Frans Hendra Winata, tetap yakin kliennya 
tidak bersalah. "Dari dulu kami yakin tidak ada kasus dalam perkara ini," 
ujarnya. Menurut dia, pembelian itu dilakukan sesuai dengan Peraturan 
Pemerintah tentang BPPN. TITO SIANIPAR | FANNY FEBIANA | RIKY FERDIANTO

Sumber: Koran Tempo - Senin, 22 Januari 2007

++ 


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

[mediacare] Andai Para Koruptor Insyaf dan Menyerahkan Diri...

2007-01-18 Terurut Topik MTI
"Saya mau bertobat dan menghapus dosa. Sesuai kepercayaan dan agama yang saya 
anut, daging yang tumbuh di tubuh saya dan keluarga, yang berasal dari makanan 
yang dimakan dari uang hasil korupsi, tidak akan pernah masuk surga. Saya 
selalu gelisah mengingat itu," 

- 

Andai Para Koruptor Insyaf dan Menyerahkan Diri...
Kalangan DPRD Kota Bontang Pertanyakan Pengaduan Hamzah ke KPK 

Andai saja ara koruptor insyaf dan menyerah, negeri ini dipastikan akan kembali 
memiliki harga dirinya. Jangankan itu menjadi kenyataan, penegakan hukum tanpa 
pandang bulu saja masih menjadi angan-angan. 

Di tengah mimpi dan angan-angan itu tersebutlah Hamsyah MD, mantan anggota DPRD 
Kota Bontang (periode 1999-2004). Sejak beberapa hari dalam lawatannya ke 
Jakarta, sejumlah "manuver" yang dilakukan Hamzah menjadi warna tersendiri 
dalam ihwal cerita korupsi dan koruptor negeri ini. 

Hamzah perasaan bersalah dan berdosa akibat mencuri atau mengkorupsi uang yang 
bukan haknya. "Koruptor Insyaf...!!! Saya pelaku korupsi APBD Bontang Rp 44,6 
miliar. Kenapa KPK tak tangkap saya? Kenapa KPK mandul? Silakan tangkap 
saya...!!!" Hamz MD, mantan Anggota DPRD Bontang". 

Begitu kalimat-kalimat yang tertulis dalam poster warna kuning berukuran besar, 
yang dia pampangkan saat berunjuk rasa di Bundaran HI. Poster y itu dia bawa 
juga Kamis (18/1) ini saat menemui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 
(PBNU), KH Hasyim Muzadi, di Gedung PBNU, Jakarta. 

Poster warna kuning berukuran besar, berisi kalimat "pengakuan dosa" sekaligus 
permintaan agar dia segera ditangkap. 

Selasa (16/1) lalu Hamzah mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
Dia melapor dan meminta KPK menangkap serta mengadili dirinya sendiri lantaran 
yakin telah bersalah mengorupsi uang anggaran pendapatan dan belanja daerah 
(APBD) Kota Bontang saat masih menjabat. 

Hamzah datang bersama seorang rekannya, Sumijan, aktivis lembaga swadaya 
masyarakat (LSM) Bontang Corruption Watch (BCW), yang mengadukan sejumlah 
penyelewengan yang terjadi di Kota Bontang, termasuk yang juga dilakukan 
Hamzah. 

"Saya mau bertobat dan menghapus dosa. Sesuai kepercayaan dan agama yang saya 
anut, daging yang tumbuh di tubuh saya dan keluarga, yang berasal dari makanan 
yang dimakan dari uang hasil korupsi, tidak akan pernah masuk surga. Saya 
selalu gelisah mengingat itu," ujar Hamzah.. 

Kedatangannya ke PBNU menemui KH Hasyim Muzadi, katanya, juga untuk mencari 
ketenangan batin. Dia meminta Ketua Umum PBNU mendoakan sekaligus memberinya 
nasihat soal apa saja yang harus dia lakukan untuk bertobat. 

Menurut Samijan, Hamzah setidaknya telah menerima "uang kaget" sekitar Rp 125 
juta, termasuk sekitar Rp 75 juta, berasal dari pencairan uang polis asuransi 
yang memang sengaja diberikan Pemkot Bontang kepada para anggota DPRD. 

Samijan memaparkan, dalam tiga tahun anggaran berturut-turut, APBD tahun 2002, 
2003, dan tahun 2004, Pemkot Bontang mengalokasikan Rp 675 juta per tahun dari 
pos anggaran operasional pemkot untuk membayar dua macam polis asuransi bagi 
ke-25 orang anggota DPRD. 

Tuluskah, pengaduan Hamzah itu? Mudah-mudahan. 

Namun kalangan anggota DPRD Kota Bontang, Kalimantan Timur, mempertanyakan 
langkah Hamzaj. "Bisa diartikan pelaporan itu bermuatan motif politik 
tertentu," kata anggota DPRD Kota Bontang dari Partai Persatuan Pembangunan, 
Jafarudin H Usman, di Bontang. Kasusnya sendiri sedang dalam penyidikan oleh 
Kejaksaan Negeri. 

Anggota DPRD Kota Bontang dari Partai Keadilan Sejahtera, Isro Umar Dani, 
mengatakan, langkah Hamzah dapat dinilai memiliki motif tertentu. Akan tetapi, 
dalam hal ini urusan selanjutnya bergantung kepada KPK. Bagaimana pun, yang 
pasti, negeri ini bebas dari korupsi masih ibarat pepatah jauh panggang dari 
api. Jauh! (dwa/BRO) 

Sumber: Kompas - Jumat, 19 Januari 2007



++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita 
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


[mediacare] Isu Judi Anggota DPR di London

2007-01-18 Terurut Topik MTI
Isu Judi Anggota DPR di London 
Pimpinan DPR akan Panggil BKSAP dan GKSB 
Muhammad Nur Hayid - detikcom

Jakarta - Pimpinan DPR menyeriusi isu perjudian beberapa anggota DPR di London, 
Inggris. Rencananya, pimpinan DPR akan segera memanggil pimpinan Badan 
Koordinasi Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) dan Grup Kerja Sama Bilateral 
(GKSB) DPR.

"Saya akan segera memanggil BKSAP dan GKSB untuk memintai keterangan 
secepatnya. Kalau hari ini bisa, ya lebih baik," kata Agung kepada wartawan di 
gedung DPR, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (19/1/2007). 

Menurut Agung, pemanggilan BKSAP dan GKSB ini sangat perlu untuk memastikan 
apakah isu perjudian anggota DPR di London itu benar atau tidak. Bila nanti 
terbukti ada anggota DPR yang bermain judi saat kunjungan kerja ke luar negeri, 
maka akan diberi tindakan tegas. Namun, bentuknya apa, tergantung pada hasil 
investigasi dan klarifikasi dari Badan Kehormatan (BK). 

"Kalau benar, tentu harus ada sanksi. Tapi, ya nanti akan kami sampaikan ke BK 
dulu. Tergantung BK," kata Agung dengan mimik serius. 

Menurut dia, saat ini pimpinan DPR akan mempelajari isu perjudian ini. Jika isu 
ini benar-benar kenyataan, tidak menutup kemungkinan pimpinan akan berusaha 
meminta keterangan Kedubes RI di Inggris terkait dengan kegiatan dan 
bukti-bukti isu tersebut. "Ya kita pelajari dulu. Tidak menutup kemungkinan 
nanti," kata Agung saat ditanya apakah DPR akan meminta keterangan Kedubes RI 
di Inggris. 

Terkait sikap DPR selanjutnya, Agung meminta kepada semua anggota DPR untuk 
menyadari bahwa anggota DPR merupakan jabatan politik yang selalu menjadi 
perhatian masyarakat. Agung meminta agar anggota bisa menjaga diri dan 
meminimalisir hal-hal yang membuat citra negatif DPR. (asy/nrl)

Sumber: Detikcom - 19/01/2007 12:10 WIB

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Istana Selidiki Dugaan Markup

2007-01-18 Terurut Topik MTI
Istana Selidiki Dugaan Markup



JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan penyelidikan 
untuk mengetahui kebenaran kabar adanya dugaan markup yang dilakukan staf 
kepresidenan. Tepatnya terkait penyimpangan biaya menginap di Hotel Shangri-La, 
Cebu, Filipina, saat Presiden SBY dan rombongan menghadiri KTT ASEAN pada 12-14 
Januari lalu.

"Presiden menginginkan, kalau memang betul ada datanya, segera diungkapkan dan 
dituntaskan. Kalau benar, walaupun belum terjadi transaksi, pasti akan 
ditindak. Kalau beritanya tidak benar, tolong diluruskan," kata Juru Bicara 
Kepresidenan Andi Mallarangeng di Kantor Presiden kemarin.

Menurut Andi, Istana sudah meminta keterangan dari general manager hotel. 
Sedangkan pihak hotel, kata dia, telah membantah ada orang Indonesia yang 
mencoba meminta markup biaya hotel. 

Kepala Rumah Tangga Kepresidenan (Rumgapres) Ahmad Rusydi juga membantah adanya 
usaha stafnya melakukan markup kuitansi pembayaran hotel di The Shangri-La s 
Mactan Island Resort and Spa. "Pihak hotel juga telah mengirim bantahan tentang 
berita itu," kata Rusydi.

Dia juga menyatakan telah menyelidiki kalangan stafnya. Hasil sementara, tidak 
ditemukan indikasi yang memalukan itu. "Rate hotel itu sudah jelas. Sebelum 
berangkat sudah ada kontrak. Jadi, tidak mungkin bisa di-mark up," katanya.

Berita adanya permintaan markup oleh staf kepresidenan atas biaya hotel di The 
Shangri-La s Mactan Island Resort and Spa Filipina sempat beredar di situs 
berita Filipina www.Inquirer.net dan sebuah media cetak nasional berbahasa 
Inggris.

Media tersebut memberitakan bahwa seorang staf Setneg yang menyertai kunjungan 
SBY diduga meminta Hotel Shangri-La me-mark up biaya hotel rombongan presiden. 
Permintaan itu ditolak manajemen hotel. Tapi, staf Setneg itu justru menawarkan 
40 persen keuntungan yang akan didapat dari markup tersebut. 

Rombongan SBY ke Cebu lebih dari 100 orang, termasuk beberapa wartawan. Sewa 
kamar di Shangri-La sebesar USD 250 hingga USD 400 per malam. 

Di Inquirer (media Filipina), Shangri-La di Mactan juga membantah rumor adanya 
staf kepresidenan RI yang meminta markup kepada manajemen. Direktur Komunikasi 
Shangri-La Sharon Samarista berjanji menyelidiki laporan tersebut karena sudah 
ada pemberitaan di media.

"Mereka memang tinggal di sini, tapi tidak ada permintaan tersebut. Saya tidak 
mendengar rumor itu," tegasnya. 

Pihak manajemen juga menjelaskan bahwa tidak ada markup dengan semua delegasi. 
Rate hotel juga sudah dinegosiasikan dengan pemerintah Filipina melalui panitia 
ASEAN Summit Ke-12. Semua delegasi mendapat rate yang sama. 

Jubir ASEAN Summit 12 Victoriano Lecaros juga menyatakan keraguannya bila ada 
seorang staf delegasi Indonesia yang melakukan usaha mark up dan membagi 
keuntungan yang didapat. (tom) 

Sumber: Jawapos - Jumat, 19 Januari 2007

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Anggota Kabinet Kurang Koordinasi

2007-01-18 Terurut Topik MTI
Anggota Kabinet Kurang Koordinasi

Pandangan Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi 
Manusia Hamid Awaludin tentang Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 yang 
berbeda satu sama lain menunjukkan lemahnya koordinasi pemerintah. 

Demikian pandangan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K 
Harman (Nusa Tenggara Timur II), soal tidak adanya kepastian penyikapan 
pemerintah tentang kontroversi PP No 37/2006. 

"Bagaimana mungkin dalam waktu hampir bersamaan antara Mendagri dengan Menhuk 
dan HAM memiliki pandangan berbeda. Ini bukan pemerintah yang ragu-ragu, tetapi 
menunjukkan kurangnya koordinasi pembantu presiden," ujar Benny. 

Ma'ruf mengatakan, PP No 37/ 2006 tak akan direvisi, (Kompas, Selasa 16/1), 
sementara Hamid mengatakan, PP No 37/2006 akan direvisi (Kompas, 17/1). 

Politisi dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia juga mengharapkan 
pemerintah tidak ragu memberlakukan PP No 37/ 2006 meski mendapat tekanan dari 
LSM maupun sejumlah anggota DPR. "Kalau begini terus, kapan pemerintah 
bekerja," ujarnya. 

Mendagri, Kamis (18/1), mengatakan, sebuah tim yang beranggotakan Depdagri, 
Departemen Keuangan, serta Departemen Hukum dan HAM telah mengecek kemampuan 
keuangan daerah yang tidak sama satu sama lain. "Karena itu, tim dibentuk untuk 
meninjau ulang PP itu sendiri dan yang penting melahirkan petunjuk 
operasional," katanya. 

Berbeda 

Di daerah, respons anggota DPRD berbeda. Di Mataram (Nusa Tenggara Barat) meski 
beberapa anggota DPRD Nusa Tenggara Barat dari beberapa partai politik mengaku 
menolak uang rapel tunjangan komunikasi intensif, belum satu pun anggota 
mengembalikan dana itu. Para anggota DPRD beralasan, uang yang diterima baru 
dikembalikan menunggu instruksi induk organisasinya di Jakarta. 

Sementara itu, DPRD Provinsi NTT telah menerima tunjangan operasional dan 
komunikasi dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp 6,5 miliar. Kepala Biro 
Keuangan Setda Provinsi NTT Welly Katipona mengatakan, sebanyak 55 anggota DPRD 
telah menerima tunjangan operasional dan komunikasi. 

Di Bandar Lampung, Ketua DPRD Kota Bandar Lampung mengimbau 25 anggotanya agar 
segera mengembalikan seluruh dana tunjangan komunikasi yang sudah diterima. Hal 
itu karena PP No 37/2006 dianggap belum jelas. Namun, kalau sudah ada 
penjelasan yang pasti, mereka akan menerima kembali dana itu. "Besarnya 
tunjangan untuk enam bulan pertama tahun 2006 harus dikembalikan," ujar Ketua 
DPRD Kota Bandar Lampung Azwar Yakub. (sie/kor/sut/hln/rul) 

Sumber: Kompas - Jumat, 19 Januari 2007

++


Bagi yang ingin mengunduh (mendownload) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah

silakan klik
http://www.transparansi.or.id/database/peraturan/PP372006.pdf

untuk melihat Sejumlah Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi
lainnya, silakan klik
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatpusatdata&id=1

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


 

[mediacare] Anggota DPRD Juga Butuh Uang

2007-01-18 Terurut Topik MTI
Anggota DPRD Juga Butuh Uang



Mencari duit memang sulit, tetapi lebih sulit lagi jika disuruh menolak uang. 
Apalagi bagi seorang anggota DPRD yang mengaku membutuhkan biaya "sosial" yang 
relatif besar akibat status sebagai wakil rakyat. 

"Kalian memang tak tahu kan, kalau ada yang masuk ke ruangan saya lalu 
memperkenalkan diri sebagai pengurus panti asuhan yang tidak bisa membayar gaji 
pengurus. Semua itu membutuhkan biaya," ujar Ketua DPRD Zamzani Achmad. 

Dia tidak sedang memamerkan kemurahan hatinya, tetapi hanya menjelaskan bahwa 
tunjangan dan dana operasional yang diterima sangat membantu meringankan 
pengeluaran yang terkait dengan jabatan. Belum lagi kalau melakukan kunjungan 
ke daerah konstituen. 

Zamzani tidak bersedia menyebutkan berapa besar dana yang dikeluarkan setiap 
bulan. Tetapi yang pasti, semua anggota DPRD berbeda jumlahnya. 

Tetapi ketika diingatkan risiko menjadi wakil rakyat, Zamzani mengatakan 
dirinya tidak menyesal dengan jabatan Ketua DPRD. Bahkan sambil berkelakar 
berujar, "kalo biso pacak." 

Wakil Ketua DPRD Sumsel, Elianuddin HB, meminta masyarakat melihat tugas 
anggota DPRD secara obyektif. Anggota DPRD memiliki wilayah cukup luas, harus 
menjangkau 157 kecamatan pada 14 kabupaten/kota. Selama ini, 40 persen dari 
pendapatannya dihabiskan untuk berhubungan dengan konstituen. 

Jadi, ternyata hidup anggota DPRD tak seenak yang dibayangkan, duduk lalu dapat 
gaji. Tetapi jangan sampai kita lupa, pengorbanan dan pendekatan kepada rakyat 
tak selamanya dengan uang. Mahatma Ghandi misalnya, mengabdi pada rakyat dengan 
kesederhanaannya. (Buyung Wijaya Kusuma) 

Sumber: Kompas - Kamis, 18 Januari 2007 

++ 


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] PP No. 37 Tahun 2006 -- dan Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi lainnya

2007-01-17 Terurut Topik MTI
PP No. 37 Tahun 2006 -- dan Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi 
lainnya

Bagi yang ingin menngunduh (mendownload) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang 
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat 
Daerah 

silakan klik 
http://www.transparansi.or.id/database/peraturan/PP372006.pdf

untuk melihat Sejumlah Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi 
lainnya, silakan klik 
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatpusatdata&id=1

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita 
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/ 


[mediacare] Hamid: PP No 37/2006 Direvisi

2007-01-17 Terurut Topik MTI
Hamid: PP No 37/2006 Direvisi



Kontroversi atas Peraturan Pemerintah No 37/2006 belum juga berakhir. Jangankan 
sikap DPRD dan pejabat daerah, di pusat pun sikap para pejabatnya berlainan, 
begitu juga pimpinan partai politik. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin, Rabu (17/1), mengatakan, 
"PP 37/2006 dalam proses revisi," kata Hamid seusai rapat bersama Menteri Dalam 
Negeri Moh Ma'ruf dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. 

Hal ini berbeda dengan pernyataan Mendagri beberapa hari lalu yang menyatakan 
PP itu tak akan direvisi, tetapi dijalankan dengan beberapa catatan. 
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengungkapkan, Presiden meminta 
Mendagri mempelajari lagi PP itu agar sesuai dengan kemampuan daerah. 

Menurut Hamid, kemungkinan revisi PP No 37/2006 juga dilakukan dalam bentuk PP. 
"Saya tak masuk substansi, tetapi frame hukumnya. Detailnya tanya ke Mendagri 
dan Menkeu," ujarnya. 

Sementara itu, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta agar wakil rakyat membatasi 
diri dengan asas kepatutan dan kepantasan dalam menerapkan PP No 37/2006. Meski 
demikian, Hidayat tak menyatakan menolak PP itu. Sebab, bila PP itu ternyata 
bisa mengontrol dan mengatur keuangan, tentu itu hal positif. 

Sikap partai berbeda 

Para pemimpin partai melontarkan sikap berbeda-beda. Ketua Umum Partai 
Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar mengingatkan, implementasi PP No 37/2006 
harus realistis, tidak berlebihan, sesuai keuangan daerah, tetapi juga 
mempertimbangkan standar kebutuhan minimal anggota DPRD. Faktanya, banyak 
anggota DPRD yang penghasilannya habis untuk konstituen. 

Partai Golkar menilai tunjangan dalam PP No 37/2006 masih wajar asalkan tidak 
dirapel sejak Januari 2006. "Jumlahnya juga tidak maksimal, tapi disesuaikan 
dengan keuangan daerah," kata Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Priyo Budi 
Santoso, Rabu. 

Sikap tegas muncul dari PDI-P. Anggota DPR, Dewi Jaksa, menegaskan, PDI-P 
menolak PP No 37/ 2006. "Ini keputusan DPP PDI-P 16 Januari. Semua bupati, wali 
kota, gubernur, DPRD dari PDI-P wajib mematuhi," ujarnya. 

Ketua DPP PDI-P Tjahjo Kumolo di Semarang meminta pemerintah tak gegabah 
mengeluarkan aturan sehingga tak menimbulkan kontroversi. Tjahjo juga 
mempertanyakan alasan pemerintah menetapkan pemberian rapel tunjangan. PDI-P 
menolak rapel ini. Namun, karena 60 persen anggota DPRD sudah menerima, kader 
PDI-P diminta tidak memakai dana itu. 

Di daerah penyikapan atas PP No 37/2006 juga mendua. Kalangan DPRD kabupaten di 
Lombok Barat dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meminta PP No 37/2006 ditinjau 
ulang. Namun, mereka meminta berbagai fasilitas jajaran eksekutif dipangkas. 

Hal itu dikatakan Dianul Hayezi, anggota DPRD Lombok Barat, dan A Rahman 
Alamudy, anggota DPRD Sumbawa. Di kedua kabupaten itu, persiapan pelaksanaan PP 
No 37/2006 sudah dilakukan lewat APBD, tetapi belum direalisasi. "Kita harus 
realistis melihat kehidupan masyarakat. Revisi saja, kurangi besarnya agar 
lebih sesuai dengan aspirasi rakyat," ujar Alamudy. 

Namun, di Papua Wakil Ketua DPRD Kabupaten Manokwari Amos H Way justru merasa 
tunjangan yang dirumuskan PP No 37/2006 tidak cukup. Alasannya, kondisi 
geografis dan ketersediaan transportasi di Papua sangat terbatas. Karena itu, 
sebaiknya PP No 37/2006 memberi kelonggaran dalam penerapannya. "Untuk 
menjangkau satu distrik saja, biaya transportasinya bisa Rp 5 juta," ujar Amos, 
Rabu. 

Sementara DPRD Kota Depok menyatakan tak mau terjebak dalam PP No 37/2006 dan 
menunggu dasar hukum yang kuat. Apalagi beberapa dari mereka pernah dijerat 
tuduhan korupsi saat menerapkan PP No 110/ 2000. Hal ini terungkap dalam rapat 
paripurna DPRD Depok kemarin. 

Hasbullah Rahmat dari Fraksi PAN meminta PP 37/2006 dikaji dulu, terutama aspek 
hukumnya. "Sebab, saya sudah jadi korban PP No 110/2000," kata Hasbullah, satu 
dari 17 anggota DPRD Depok yang dijerat tuduhan korupsi. 

Wali Kota Depok Nur Mahmudi Isma'il mendukung pemberian tunjangan sesuai dengan 
PP No 37/2006. "Toh, dana itu akan kembali ke masyarakat, bukan cuma 
konstituen," katanya.(ksp/AB1/EKI/ICH/CHE/RUL/SIE/sut/dik) 

Sumber: Kompas - Kamis, 18 Januari 2007 



++


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Temuan PPATK Terhenti

2007-01-17 Terurut Topik MTI
Temuan PPATK Terhenti



Banyak kepala instansi pemerintah tidak menindaklanjuti temuan transaksi 
mencurigakan yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. 
Padahal, transaksi mencurigakan itu bisa menjadi indikasi adanya praktik 
korupsi yang melibatkan pejabat di instansi tersebut. 

Hal ini diungkapkan Kepala PPATK Yunus Husein di kantornya, Jakarta, Senin 
(15/1). Ia menjelaskan, untuk memberantas korupsi, diperlukan keinginan kuat 
dari kepala pemerintahan dan instansi. "Tetapi, tidak semua kepala instansi 
kuat dalam memberantas korupsi. Ternyata banyak yang lebih memilih damai itu 
indah daripada menindaklanjuti (temuan PPATK). Saya sudah beberapa kali 
membicarakan dengan kepala instansi bahwa PPATK siap mendukung dengan hasil 
temuan," kata Yunus Husein. 

Beberapa instansi telah dilaporkan tentang hasil temuan PPATK atas beberapa 
transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan pejabat di instansinya. Salah 
satunya adalah rekening 15 perwira tinggi Polri yang sempat menghebohkan. Namun 
kini, tindak lanjut Mabes Polri atas hasil temuan PPATK tersebut tidak 
terdengar lagi. 

Padahal, kata Yunus, pascapelaporan PPATK tentang 15 rekening perwira tinggi 
Polri tersebut terjadi transaksi penarikan dan penutupan rekening atas nama 
para perwira tinggi Polri itu. "Kami mendapat laporan dari rekening yang kami 
laporkan itu beberapa di antaranya ditutup. Ada pula yang dipindahkan ke 
rekening atas nama orang lain," ujar Yunus. 

Ia menjelaskan, meskipun dana itu dialihkan ke orang-orang dekat dari si 
pejabat yang diduga melakukan transaksi mencurigakan, sebenarnya tetap bisa 
dicari siapa si pemilik dana tersebut. Bahkan, beberapa penyidik berhasil 
menemukan adanya pembelian emas batangan dari hasil korupsi ataupun setoran 
yang didapat pejabat tersebut. 

Yunus mencontohkan, meskipun anak-anak keluarga Cendana telah mengalihkan 
asetnya atas nama orang lain ataupun perusahaan yang ada di luar negeri, 
sebenarnya tindakan itu bisa dilacak. "Kalau itu perusahaan, kita tanya saja 
pemegang sahamnya siapa saja. Nanti akan ketemu, misalnya, ternyata pemegang 
sahamnya adalah pengacaranya ataupun orang terdekatnya," kata Yunus. 

Ia berharap di masa mendatang, PPATK bisa melacak hingga pembelian properti 
maupun emas batangan. Ia mencontohkan kasus di Amerika Serikat di mana seorang 
agen CIA, Aldrich Ames, yang kemudian direkrut secara diam-diam menjadi agen 
KGB Rusia. Kejahatannya terbongkar saat perusahaan properti melaporkan adanya 
pembelian rumah di Arlington Virginia seharga 540.000 dollar AS dan pembelian 
mobil jaguar 50.000 dollar AS. Setelah ditelusuri, ternyata Ames menerima dana 
besar berjumlah 2,7 juta dollar AS dari KGB. 

Lama terdengar 

Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (F-PDIP, Sumatera Utara II) dan anggota 
Komisi III Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, NTT II) mengaku sudah 
beberapa kali mendengar keluhan PPATK. Benny meminta Presiden menginstruksikan 
kepada instansi untuk menindaklanjuti temuan PPATK. 

Sebaliknya, Trimedya mengemukakan, Komisi III pernah meminta PPATK menyerahkan 
nama-nama perwira yang dicurigai secara tertutup agar DPR bisa ikut mengawasi. 
"Namun, PPATK juga tidak menyerahkan. Padahal, kalau diserahkan kita bisa ikut 
mengawasi," katanya. (vin/bdm) 

Sumber: Kompas - Selasa, 16 Januari 2007 



++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Kejaksaan Kekurangan Uang Kirim Tim ke Guernsey

2007-01-17 Terurut Topik MTI
Kejaksaan Kekurangan Uang Kirim Tim ke Guernsey



JAKARTA -- Kejaksaan Agung kekurangan dana untuk menangani kasus gugatan 
intervensi negara terhadap Banque Nationale de Paris (BNP) and Paribas di 
Guernsey, negara persemakmuran Inggris. 

Kejaksaan hanya mengirimkan satu orang jaksa untuk mewakili Indonesia dalam 
sidang Tommy Soeharto, yang menggugat uangnya yang ditahan oleh BNP Paribas di 
Guernsey. "Negara cuma berangkatkan satu orang karena kekurangan dana," kata 
Alex Sato Bya, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Senin lalu. 

Soal penunjukan pengacara, kata Alex, sudah dilakukan pihak Kedutaan Besar RI 
di Inggris. "Untuk pengacara pakai uang negara, bukan dari kejaksaan," ujarnya. 
SANDY INDRA PRATAMA

Sumber: Koran Tempo - Rabu, 17 Januari 2007 

++ 


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/



[mediacare] PP 37/2006 Tak Direvisi

2007-01-15 Terurut Topik MTI
PP 37/2006 Tak Direvisi



Pemerintah berkeras akan melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 
tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Ketua dan Anggota DPRD. Pemerintah 
takkan merevisi PP, tetapi hanya memberi catatan agar tidak salah kaprah. 

Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf di Manado, Senin (15/1), mengatakan, PP 37/2006 
tetap diberlakukan. "Belum ada pikiran merevisi peraturan tersebut. Masak saya, 
pemerintah, harus melawan pemerintah. Kalaupun jalan mesti dengan 
catatan-catatan agar tak salah kaprah," katanya. 

Menurut Mendagri, polemik atas penerbitan PP 37/2006 karena minimnya pemahaman 
atas aturan itu dari kalangan anggota DPRD. Karena itu, Mendagri menyatakan 
akan bertemu dengan seluruh ketua DPRD kabupaten/kota dan provinsi serta 
sekretaris DPRD pekan ini. 

"Mereka kami undang untuk sosialisasi PP itu. Dengan demikian, persepsi atas PP 
37/2006 sama, meski penerapan di daerah berbeda-beda sesuai pendapatan 
daerahnya," katanya. "Kami justru tidak menolerir kebijakan yang merugikan 
rakyat. Keuangan daerah dikelola wajar, tidak cuma menguntungkan legislatif," 
ujar Mendagri. 

Ketua DPRD Sulut Syachrial Damopolii mengatakan, polemik seputar PP 37/2006 
telah bertendensi politik dan berlebihan. "Kami sendiri tidak setuju jika PP 
37/2006 justru menyengsarakan rakyat," katanya. 

Namun, pengamat politik di Manado, Toar Palilingan, meminta pemerintah merevisi 
PP 37/ 2006. "Buruh yang menuntut kenaikan gaji diredam, tetapi pemerintah 
membuka peluang anggota DPRD meraih pendapatan besar. Ini diskriminasi," 
katanya. 

Sementara itu, di Banjarmasin, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) 
mendesak DPRD Kalimantan Selatan untuk menolak rapel tunjangan berdasarkan PP 
37/2006. Mereka juga meminta Presiden Yudhoyono merevisi PP itu. "Kami menilai, 
rapel itu tidak sesuai kondisi, banyak masyarakat miskin. Pengangguran di 
Kalsel juga membengkak sampai 130.000 orang," kata Ihsan Rahmani dari PMII. 

Namun, Wakil Ketua DPRD Kalsel Riswandi (PKS) yang didampingi Wakil Ketua DPRD 
Kalsel Bahrudin Syarkawi (PDI-P) menolak desakan itu. Menurut Riswandi, jika PP 
37/2006 ditinjau, judicial review juga harus dilakukan atas tunjangan DPR dan 
DPD. Selain itu, kultur masyarakat juga harus diubah agar jangan meminta 
bantuan kepada anggota DPRD. 

Di Kalimantan Timur anggota DPRD se-Kaltim dari PKS bertekad tidak menggunakan 
tunjangan PP 37/2006. Tunjangan itu akan digunakan untuk kepentingan 
masyarakat. 

"Kami mengikuti instruksi PKS pusat," kata Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah 
PKS Kalimantan Timur, Masykur Sarmian. 

Sementara di Serang, sejumlah anggota DPRD Banten meminta Mendagri segera 
mempertegas aturan PP 37/2006. "Selama ini legislatif bingung dengan sejumlah 
aturan," kata Ketua F-PKS DPRD Banten Sudarman, Senin. 

Semua anggota DPRD Banten telah mendapat rapelan tunjangan tahun 2006 sebesar 
Rp 9 juta per bulan. Bahkan, tunjangan itu telah dianggarkan dalam APBD 
Perubahan yang disusun Juni 2006, jauh sebelum PP 37/2006 disahkan, 14 
November. 

Fraksi Demokrat juga memilih menyalurkan bantuan langsung kepada masyarakat. 
"Setiap ada yang datang meminta bantuan, kami berikan," kata Media Warman dari 
Fraksi Demokrat. 

Di Sumatera Selatan, Anggota DPRD dari F-PAN Muamar Khadafi, Senin, menyatakan 
F-PAN siap mengembalikan tunjangan anggota DPRD asalkan mekanisme pengembalian 
diperjelas. Pengembalian tunjangan itu, menurut dia, merupakan bentuk 
solidaritas sosial kepada masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi. 

Namun, Ketua DPRD Sumsel Zamzami Achmad mengatakan, pendapat Muamar Khadafi 
adalah pendapat pribadi bukan pendapat F-PAN. "Muamar sedang emosi. Yang benar 
adalah kami akan ikut keputusan pusat," ujarnya. (FUL/BRO/nta/wad/zal) 

Sumber: Kompas - Selasa, 16 Januari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] 433 Kasus Diduga Pencucian Uang

2007-01-14 Terurut Topik MTI
433 Kasus Diduga Pencucian Uang



Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK mencatat 433 
transaksi keuangan mencurigakan yang diduga pencucian uang karena dilakukan 
dalam jumlah besar dan frekuensi tinggi. Seluruh temuan itu telah ditangani 
Kejaksaan Agung dan Polri, tetapi penyelesaiannya belum maksimal. 

"Nilainya diperkirakan sekitar Rp 100 triliun. Namun, itu masih perlu 
diperdalam, karena ada kemungkinan pencatatan ganda dari bank berbeda," ujar 
Kepala PPATK Yunus Husein seusai menandatangani Nota Kesepahaman dengan 
Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan (Itjen Depkeu), Jumat (12/1) di 
Jakarta. 

Menurut Yunus, sebagian besar temuan itu terkait tindak pidana korupsi, yakni 
178 kasus. Sebanyak 12 kasus di antaranya diserahkan kepada Komisi 
Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terkait oknum TNI atau Polri. "Korupsi itu 
banyak terkait dengan pejabat negara," tuturnya. 

PPATK melaporkan, dugaan pencucian uang tersebut terkait pada 14 jenis 
kejahatan, yakni penggelapan atau korupsi, penipuan, kejahatan perbankan, 
pemalsuan dokumen, terorisme, penggelapan pajak, perjudian, dan penyuapan. 
Selain itu, terdapat kejahatan narkotika, pornografi anak, pemalsuan uang, 
pencurian, pembalakan liar, dan kasus yang tidak teridentifikasi. 

"Terkait penggelapan pajak, yang paling akhir kami temukan adalah di Medan, 
kemudian di Jawa Timur dan Jawa Barat. Sementara yang terkait terorisme, 
jumlahnya ratusan juta (rupiah). Mereka cenderung menggunakan ATM (anjungan 
tunai mandiri) pada bank yang memiliki jaringan online luas. Transaksinya 
kecil, Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, tetapi frekuensinya tinggi," kata Yunus. 

Dari tahun 2001 hingga 2006, PPATK menerima 6.793 laporan transaksi keuangan 
yang mencurigakan. Laporan terbanyak terjadi pada 2006, yakni 3.482 laporan. 
Namun, dari 3.482 laporan itu, hanya 86 yang berindikasi pencucian uang. 

"Kami memiliki lima mekanisme untuk mengawasi tindak lanjut temuan PPATK di 
aparat penegak hukum. Pertama, menanyakan langsung kepada pihak polisi atau 
kejaksaan. Kedua, menanyakan melalui Komisi III DPR. Ketiga, melalui Komite 
Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun tak begitu berjalan 
karena hanya ada satu kali pertemuan per tahun. Keempat, mendesak lewat KPK. 
Kelima, yang paling efektif adalah lewat media massa," ungkapnya. 

Eselon I Depkeu 

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, lima lembaga 
eselon satu di Depkeu, yakni Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Ditjen Bea dan 
Cukai, Ditjen Perbendaharaan Negara, Sekjen, serta Ditjen Kekayaan Negara, 
kerap melakukan transaksi berjumlah besar. Kondisi itu menyebabkan potensi 
korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sangat tinggi. 

"Itu jadi tantangan bagi Itjen dan PPATK, karena mungkin skala korupsinya 
mencapai ratusan juta atau miliaran rupiah. Ini perlu diprioritaskan. Apalagi 
banyak keluhan yang dirasakan dan dilihat orang, tapi tak bisa mengonstruksikan 
bentuk kesalahannya. Ini baru terkait korupsi, sedangkan untuk kolusi dan 
nepotisme bentuknya lebih rumit dari penyelenggaraan negara," ucapnya. 

Irjen Depkeu Permana Agung menyebutkan, pihaknya menemukan 36 kasus yang 
berindikasi pelanggaran aturan dalam tahun 2006. Temuan terbanyak terkait 
Ditjen Pajak, yakni 21 kasus atau 58,3 persen dari total temuan. 

"Di Ditjen Bea dan Cukai serta Kekayaan Negara masing-masing 11,1 persen, 
sedangkan di Setjen, Ditjen Anggaran, dan Perbendaharaan mencapai 3,7 persen," 
tuturnya. (OIN) 

Sumber: Kompas - Sabtu, 13 Januari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Pelaku Transaksi Mencurigakan Kebanyakan Pejabat

2007-01-14 Terurut Topik MTI
Pelaku Transaksi Mencurigakan Kebanyakan Pejabat



JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 
mengungkapkan pejabat negara mendominasi transaksi keuangan mencurigakan selama 
2003-2006. 

Menurut Kepala PPATK Yunus Husein, dari 433 kasus, sebanyak 178 kasus merupakan 
transaksi keuangan kasus dugaan korupsi atau penggelapan uang. 

"Korupsi atau penggelapan uang itu sebagian besar dilakukan pejabat," katanya 
seusai penandatanganan nota kesepahaman antara PPATK dan Departemen Keuangan di 
Jakarta kemarin

Korupsi itu, kata Yunus, dilakukan pejabat di departemen dan institusi 
pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun, dia enggan memerinci identitas 
lembaga pemerintah tersebut. "Tak etis kalau saya sebutkan nama departemen atau 
orangnya," ujarnya.

Dia mengatakan 433 kasus transaksi mencurigakan senilai Rp 400 triliun tersebut 
sudah diserahkan kepada penegak hukum, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Ada 12 
kasus besar korupsi yang sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. 
"Kasus-kasus ini luar biasa dan tidak bisa disidik kejaksaan dan polisi." 

Yunus tidak menyebutkan secara detail kasus besar itu. Dia hanya mengatakan, 
"Ada satu kasus yang berhubungan dengan pejabat Tentara Nasional Indonesia." 

Dari ratusan kasus yang sudah disidangkan, hanya delapan kasus yang diputus 
dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. "Saya berharap ke depan 
lebih intensif lagi," kata Yunus. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, untuk mencegah dan memberantas korupsi 
di departemen, perlu diketahui aliran dana yang digunakan para pejabat. Sebab, 
kerap kali koruptor mencuci uang hasil kejahatan dengan cara menyembunyikan 
atau menyamarkan identitasnya. "Kami harus bekerja sama dengan berbagai 
instansi, termasuk lembaga antipencucian uang yang paham soal ini," katanya.

Menurut Sri Mulyani, pencegahan korupsi sangat penting untuk mengamankan 
penerimaan negara dan mencapai kesinambungan fiskal. Selain itu, kerja sama 
dengan lembaga antipencucian uang akan memberikan peluang kepada pemerintah 
untuk membawa temuan penyimpangan di departemen, terutama Departemen Keuangan, 
ke wilayah hukum. 

Inspektur Jenderal Departemen Keuangan Permana Agung menjelaskan, sampai akhir 
2006, ada sekitar 8.000 kasus dugaan penyimpangan senilai Rp 4 triliun di 
Departemen Keuangan yang belum dapat diselesaikan. Sebagian besar penyimpangan 
terjadi di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea-Cukai. "Masih 
didalami apakah ada indikasi pencucian uang atau tidak," katanya. 

Dia menambahkan, pada 2006, Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan kembali 
menemukan 36 penyimpangan. Sebagian besar penyimpangan berupa pelanggaran 
sistem dan prosedur. "Saat ini kasusnya masih diteliti." ANTON APRIANTO

Sumber: Koran Tempo - Sabtu, 13 Januari 2007 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Penyimpangan Proyek Rel Empat Jalur Rp 33 Miliar

2007-01-14 Terurut Topik MTI
Penyimpangan Proyek Rel Empat Jalur Rp 33 Miliar



JAKARTA -- Nilai penyimpangan dalam proyek rel empat jalur Manggarai-Cikarang 
ternyata mencapai Rp 33 miliar. Itulah hasil audit Badan Pengawasan Keuangan 
dan Pembangunan (BPKP) yang dilakukan tahun lalu. 

Hasil audit tersebut meliputi semua wilayah pembebasan lahan di sepanjang 
Cikarang-Manggarai. "Semua berkasnya sudah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI 
Jakarta," kata Didi Widayadi, Kepala BPKP, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. 

Kepala BPKP DKI Jakarta Irsan Gunawan membenarkan hal tersebut. Menurut dia, 
BPKP kini tinggal menunggu tanggapan dari Kejaksaan Tinggi karena setelah itu 
biasanya mereka akan diminta menghitung nilai kerugian negara akibat 
penyimpangan tersebut. "Sering hasilnya (kerugian negara) tidak jauh dari hasil 
audit," kata dia. 

Setelah nilai kerugian itu didapatkan, menurut Irsan, proses selanjutnya adalah 
melakukan penyidikan dan melanjutkannya ke proses pengadilan. Irsan mengatakan, 
dalam prosesnya, penyelesaian audit membutuhkan waktu yang lama lantaran 
sulitnya mendapatkan data dan keterangan dari saksi dan korban pembebasan lahan 
proyek tersebut. 

Nilai penyimpangan itu pernah dicetuskan oleh sumber Tempo di Kejaksaan Tinggi 
DKI Jakarta pada akhir tahun lalu. Namun, saat itu sumber tersebut mengatakan 
nilai penyimpangan itu hanya untuk proyek yang berada di wilayah Jakarta Timur. 
"Di wilayah lain tidak ditemukan (penyimpangan)," katanya. 

Sumber itu mengatakan hasil audit tersebut sudah final dan tinggal menunggu 
pelimpahan ke pengadilan. Mekanismenya adalah melalui Kejaksaan Negeri Jakarta 
Timur, lalu berkas dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. "Segera kami 
tindak lanjuti," katanya. 

Kepala Pusat Komunikasi dan Publik Departemen Perhubungan Susilo Hadi 
mengatakan pihaknya menyerahkan penanganan kasus itu kepada aparat hukum. Soal 
hasil audit BPKP terhadap proyek tersebut, ia mengemukakan, "Kami serahkan 
sepenuhnya kepada auditor," katanya kepada Tempo di Jakarta, 29 Desember lalu.

Penyimpangan dalam proyek tersebut terkait dengan pembebasan lahan di wilayah 
Jakarta Timur, seperti Kelurahan Manggarai, Kampung Melayu, Pisangan Baru, 
Cakung, dan Pondok Kopi. Ganti rugi yang diterima warga lebih kecil daripada 
nilai yang tertera dalam salinan kuitansi pembayaran ganti rugi. 

Salah seorang warga bernama Mustopa menerima ganti rugi Rp 8.864.000, padahal 
di salinan kuitansi tertera Rp 36.864.502. Ada pula warga yang bernama Ninik 
yang menerima Rp 12.672.000, tapi di kuitansi tertera Rp 34.180.050. 

Temuan ini lalu dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta dan anggota Dewan 
Perwakilan Rakyat, Marwan Batubara, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. 
Disebutkan, uang ganti rugi yang menguap mencapai Rp 2,218 miliar. 

Kejaksaan Tinggi Jakarta telah menahan mantan pemimpin proyek, Yoyo Sulaiman, 
dan bendahara proyek, Iskandar Rosyid. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka 
sejak Oktober 2005 dan ditahan di penjara Cipinang, Jakarta Timur. 

Adapun rel empat jalur sepanjang 35 kilometer itu adalah proyek Departemen 
Perhubungan yang targetnya selesai tahun ini. Proyek senilai Rp 5 triliun itu 
rencananya akan didanai oleh Japan Bank for International Cooperation. 

Para pertengahan bulan ini rencananya proses tender konstruksi selesai. 
Targetnya, proyek itu selesai dan beroperasi pada 2009. Rel empat jalur itu 
akan menambah daya angkut kereta api rute Jakarta-Bekasi dari 500 ribu 
penumpang per hari menjadi 3 juta orang. ZAKY ALMUBAROK | HARUB MAHBUB

Kisah Empat Jalur Itu 

April 2003 
Penjelasan rencana proyek rel empat jalur di kantor kelurahan. 

November 2004 
Pembayaran ganti rugi. Warga hanya meneken kuitansi tanpa diperbolehkan melihat 
isinya.

11 Januari 2006 
Pembongkaran paksa bangunan milik warga.

Akhir Juli 2006
Lahan proyek mulai dipagari.

5 Oktober 2006
Sidang perdana gugatan warga yang terkena proyek. 

November 2006
BPKP menyerahkan hasil audit ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

November 2006
Yoyo dan Iskandar ditahan.
ZAKY ALMUBAROK

Sumber: Koran Tempo -  Senin, 15 Januari 2007 



++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Arogansi Kelembagaan Memperlemah Pemberantasan Korupsi

2007-01-12 Terurut Topik MTI
Arogansi Kelembagaan Memperlemah Pemberantasan Korupsi



Di penghujung tahun 2006 kita dapat menyaksikan peringatan Hari Antikorupsi 
se-Dunia yang cukup meriah. Peringatan dilaksanakan di Jakarta dan beberapa 
daerah secara serentak. Berbagai elemen masyarakat ikut terlibat di dalamnya. 
Tidak kurang Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut serta 
mengerahkan massa turun ke jalan untuk memeriahkannya. Berbagai atribut 
antikorupsi turut meramaikan acara dan dibagikan kepada masyarakat. Namun 
sayang, kemeriahan peringatan tersebut belum dapat dijadikan indikator 
kemeriahan pemberantasan korupsi (PK) di Indonesia. Bagaimana sebenarnya 
kondisi gerakan antikorupsi di Indonesia sepanjang tahun 2006? 


Di satu sisi, Indeks Persepsi Korupsi untuk Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan 
menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005, IPK 
Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Tahun 2006, dari 
163 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat ke-130 bersama 
Azerbaijan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Etiopia, Papua Niugini, Togo, dan 
Zimbabwe.  


Di sisi lain, perseteruan lembaga-lembaga penegak hukum mewarnai tahun 2006. 
Komisi Yudisial (KY) berseteru dengan Mahkamah Agung (MA) mengenai kewenangan 
dan kebijakan penanganan perkara. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berseteru 
dengan Mahkamah Konstitusi (MK) karena telah membatalkan dan mengembalikan 
beberapa produk undang-undangnya. Perkembangan terakhir, beberapa anggota DPR 
berencana mengevaluasi UU tentang MK karena menganggap MK bertindak ultra 
petitia dan sudah berani mengambil alih kewenangan lembaga legislatif. KPK 
menganggap MK telah menghambat usaha pemberantasan korupsi karena mengabulkan 
beberapa judicial review yang diajukan oleh beberapa terpidana korupsi. 
Termasuk di dalamnya adalah putusan MK tentang perbuatan hukum material yang 
merupakan pasal penting untuk dapat menjerat banyak koruptor. Putusan MK 
terakhir adalah pembatalan pasal menyangkut pengadilan Tipikor. Walaupun 
dinyatakan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan 
paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan diucapkan.  


selengkapnya klik: 
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=39

++ 

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Ijtihad ala Mahkamah Konstitusi

2007-01-12 Terurut Topik MTI
Ijtihad ala Mahkamah Konstitusi







Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Selasa (19/12) melakukan sidang pembacaan 
putusan pengujian UU KPK terhadap UUD 1945 yang diajukan Mulyana Wirakusumah 
(Perkara 012/PUU-IV/2006), Nazaruddin Sjamsuddin, dkk. (Perkara 
016/PUU-IV/2006) dan Capt.Tarcisius Walla (019/PUU-IV/20060).  


Putusan MK yang akhirnya memunculkan perdebatan pro kontra adalah menyangkut 
keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). MK menyatakan Pasal 53 
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 
KPK) bertentangan dengan UUD 1945. Walaupun dinyatakan tetap mempunyai kekuatan 
hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung 
sejak putusan diucapkan.  


Pro Kontra Putusan MK



Berbagai komentar muncul menyikapi putusan MK. Pengacara senior Adnan Buyung 
Nasution menilai, putusan MK bukan saja rancu, tetapi betul-betul bertolak 
belakang dalam substansi. Di satu pihak membatalkan Pengadilan Tipikor, tetapi 
di pihak lain memberi waktu tiga tahun. Gubernur Lemhanas Muladi menilai, 
putusan MK yang memberikan batas waktu tiga tahun merupakan putusan yang 
ganjil.   

selengkapnya klik:
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=38

++ 

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] DPR Mulai Periksa Kasus Agung Laksono

2007-01-12 Terurut Topik MTI
DPR Mulai Periksa Kasus Agung Laksono



JAKARTA -- Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat meminta Sekretariat 
Bersama, yang terdiri atas Kelompok Kerja Petisi 50, Komite Waspada Orde Baru, 
Gerakan Rakyat Marhaen, dan Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat 
Organisasi, melengkapi bukti pengaduannya tentang pelanggaran yang dilakukan 
Ketua DPR Agung Laksono.

Akhir November lalu, keempat lembaga swadaya masyarakat itu melaporkan Agung 
Laksono ke Badan Kehormatan DPR. Mereka menilai tindakan Agung membagi-bagikan 
voucher pendidikan saat melakukan safari Ramadan tahun lalu merupakan 
penyalahgunaan jabatan sebagai Ketua DPR. 

Keterangan LSM ini diperkuat pengakuan Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal. 
Menurut Faisal, dalam safari itu pihaknya mengeluarkan dana Rp 400 ribu per 
hari dan uang representatif Rp 500 ribu per hari. Total, untuk 10 hari 
perjalanan Agung, Sekretariat Jenderal DPR mengeluarkan uang Rp 9 juta. Selain 
itu, Sekretariat Jenderal turut menyediakan mobil DPR sebagai kendaraan 
cadangan.

"Pengaduan itu harus dilengkapi dengan fakta hukum dan bukti yang cukup," kata 
Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun setelah mendengarkan keterangan 
anggota Sekretaris Bersama sebagai saksi kasus voucher pendidikan yang diduga 
melibatkan Agung Laksono itu kemarin di gedung DPR.

Gayus menjelaskan, bila nantinya pengadu menyertakan fakta yang berkualitas dan 
mendukung, pihaknya akan memanggil Ketua DPR Agung Laksono. "Tidak tertutup 
kemungkinan juga Menteri Pendidikan Nasional dan Sekretaris Jenderal DPR," 
katanya. Namun, Gayus belum bisa memastikan kapan Agung Laksono akan dipanggil.

Salah satu saksi yang diperiksa, Didik Safari, dari Komisi Politik PB Himpunan 
Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi, menegaskan siap memberikan fakta 
pelanggaran yang dilakukan Agung. Dia menegaskan seorang anggota staf DPR sudah 
bersedia memberikan kesaksian tentang asal-muasal dana safari Ramadan Agung. 
"Kami tidak mungkin menyebut namanya," kata Didik.

Pemeriksaan terhadap saksi pengadu ini masih akan dilanjutkan. Namun, Gayus 
belum bisa memastikan kapan mereka akan dipanggil kembali.

Karena polemik berkepanjangan, akhirnya pada Oktober lalu pemerintah menghapus 
voucher pendidikan dari Departemen Pendidikan yang digunakan untuk membantu 
pembangunan sekolah. Pemerintah akan memperbaiki sistem pemberian bantuan ini 
dan dananya tidak lagi disalurkan lewat anggota DPR.

"Demi akuntabilitas, kemarin sudah diputuskan untuk tidak lagi memakai sistem 
itu karena dananya makin besar," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada 
wartawan di kantor Wakil Presiden saat itu.

Kalla mengatakan penyaluran dana bantuan ini akan menggunakan sistem baru. 
Sistem baru ini akan melibatkan pemerintah daerah. Kabupaten akan mengusulkan 
sekolah yang menerima bantuan. Gubernur kemudian akan mengkoordinasi sekolah 
yang mendapat bantuan ini untuk diusulkan ke Departemen Pendidikan Nasional. 
"Harus bersifat otonomi. Prosesnya akan seperti Bantuan Operasional Daerah," 
kata Kalla. ERWIN DARYANTO | SUTARTO

Sumber: Koran Tempo - Jumat, 12 Januari 2007

++ 

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Legislasi Antikorupsi Dalam Ruang Sidang MK

2007-01-12 Terurut Topik MTI
Legislasi Antikorupsi Dalam Ruang Sidang MK



Pendahuluan

Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak cukup dengan dua perangkat alas hukum 
yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi (Tipikor) jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang 
Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPK), namun juga harus dilengkapi 
dengan alas hukum yang lain yang menunjuang misi pemberantasan korupsi 
tersebut. Diantaranya adalah KUHP, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara 
Pidana, HIR Hukum Acara Perdata, UU Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan 
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU Nomor 2 
Tahun 2002 tentang Polri, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU Nomor 1 
Tahun 1979 tentang Ekstradisi, UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana 
Pencucian Uang jo UU Nomor 15 Tahun 2002, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang 
Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan 
Negara, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan jo UU Nomor 7 Tahun 1992, UU 
Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), UU Nomor 15 Tahun 
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, UU 43 
Tahun 1999 tentang Kepegawaian jo UU Nomor 8 Tahun 1974, UU Nomor 32 Tahun 2004 
tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU 
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang 
Perseroan Terbatas, UU Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, UU Nomor 
3 Tahun 1992 tentang Wajib Daftar Perusahaan, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang 
Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang 
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pencegahan dan Pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman 
Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan Instruksi Presiden Nomor 
5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 

selengkapnya klik: 
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatkolom&id=41

++ 

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Tunjangan DPRD, Uang Rapelan, Hadiah Tahun Baru Wakil Rakyat

2007-01-12 Terurut Topik MTI
Tunjangan DPRD, Uang Rapelan, Hadiah Tahun Baru Wakil Rakyat 

Susie Berindra

Sebuah hadiah tentulah menyenangkan bagi penerimanya. Apalagi, kalau itu berupa 
uang tunjangan yang dirapel selama satu tahun. Sayang, hadiah itu bukan untuk 
rakyat, tetapi buat wakilnya yang duduk sebagai pimpinan dan anggota Dewan 
Perwakilan Rakyat Daerah. 

Siang pada awal Februari 2006, di sebuah ruang rapat Gedung Departemen Dalam 
Negeri, kegaduhan terdengar. Audiensi tertutup antara pejabat Depdagri dan 
anggota DPRD dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota digelar. Anggota DPRD 
berbicara sendiri- sendiri. Intinya, mereka berjuang agar anggaran untuk DPRD 
ditambah. 

Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Daeng Muhammad Nazier, yang 
memimpin audiensi, sampai harus berkali-kali menenangkan peserta rapat. Anggota 
DPRD itu protes Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 
188.31/006/BAKD yang dianggap mengekang DPRD dalam membuat anggaran sesuai 
dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2004 dan PP Nomor 37 Tahun 
2005. 

Seusai rapat, senyum menghiasi wajah anggota DPRD. Depdagri menjanjikan 
merevisi PP No 37/2005 tentang Perubahan Pertama PP No 24/2004 tentang 
Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD. Nah, di sinilah awal munculnya uang 
rapelan yang diterima anggota DPRD sebagai hadiah tahun baru. 

Dari satu kali perubahan PP No 24/2004, yang merupakan pengganti PP No 
110/2000, seorang anggota DPRD mendapatkan delapan jenis tunjangan. Namun, uang 
yang diterima per bulan itu masih dirasa kurang. Mereka mengusulkan ada 
tunjangan komunikasi dengan konstituen dan dana operasional. Anggota DPRD ingin 
mencontoh anggota DPR yang mendapatkan dua jenis dana tunjangan itu sejak lama. 

Berdasarkan usulan asosiasi DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, 
Depdagri menyusun revisi PP No 37/2005. Maret 2006, draf itu selesai disusun 
dan diserahkan ke Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden. Proses 
disahkannya aturan itu bisa membutuhkan waktu lama. Anggota DPRD tak sabar 
lagi. Beberapa daerah yang yakin akan ada aturan baru sudah menganggarkan 
tunjangan komunikasi dan dana operasional di APBD Perubahan 2006. 

Ada juga DPRD yang menganggarkan tambahan penghasilan dengan tunjangan yang 
bermacam-macam. Contohnya, bagi Ketua DPRD DKI Jakarta dianggarkan dana terima 
tamu sebesar Rp 2 juta per tamu, maksimal 30 tamu per bulan. DPRD pun gencar 
mendesak pemerintah merevisi revisi PP No 37/2005. DPRD perlu payung hukum 
untuk tunjangan yang bermacam-macam itu. DPRD ingin anggarannya bertambah 
besar, tetapi takut terjerat hukum seperti DPRD sebelumnya. 

Mendagri Moh Ma'ruf mengungkapkan, anggaran DPRD harus diatur jelas dan rinci. 
"Banyak DPRD yang menganggarkan tunjangan macam-macam. Saya memberikan surat 
edaran, meminta untuk menghentikan anggaran itu sampai ada aturan yang jelas," 
kata dia. 

November 2006, keluarlah PP No 37/2006. Senyum anggota DPRD pun mengembang. 
Tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional didapatkan. Dana itu bisa 
dianggarkan sejak Januari 2006. Jadilah, rapelan tunjangan dana untuk hadiah 
tahun baru atau bonus akhir tahun karena seperti DPRD Banten mencairkan dana 
itu sejak November 2006. 

Dalam PP No 37/2006, pimpinan dan anggota DPRD mendapat tunjangan komunikasi 
intensif setiap bulan sebesar paling tinggi tiga kali uang representasi (gaji 
pokok) Ketua DPRD. Untuk pimpinan DPRD mendapat tambahan dana operasional 
setiap bulan paling tinggi enam kali uang representasi untuk ketua dan empat 
kali uang representasi untuk wakil ketua DPRD. 

Dengan PP No 37/2006, uang yang diterima anggota DPRD menjadi besar. Bila uang 
representasi Rp 3 juta, rapelan tunjangan komunikasi intensif dan dana 
operasional untuk Ketua DPRD provinsi Rp 324 juta dan Ketua DPRD kabupaten/kota 
Rp 226 juta. Untuk anggota DPRD provinsi Rp 108 juta dan anggota DPRD 
kabupaten/kota mendapat Rp 75,6 juta. Jumlah yang besar pada saat rakyat 
dibebani tingginya harga sembako. 

Dengan ada PP No 37/2006, sebulan seorang Ketua DPRD Provinsi mendapatkan take 
home pay sebesar Rp 35 juta, anggota DPRD provinsi Rp 15,6 juta, sedangkan 
ketua DPRD kabupaten/kota mendapat Rp 24,8 juta dan anggota Rp 10,8. Angka itu 
memang besar, apalagi dibandingkan dengan kehidupan rakyat yang sebagian besar 
masih miskin. 

Anggota Komisi II DPR, Ryaas Rasyid, menilai "gaji" bagi anggota DPRD itu masih 
wajar saja. Ia mengungkapkan, seorang wakil rakyat punya kewajiban 
berkomunikasi dengan konstituen, dengan jumlah dana yang tidak sebanding dengan 
"gaji" yang diterimanya. "Satu-satunya sumber untuk menambah penghasilan 
anggota DPRD hanya dengan menaikkan tunjangan atau gaji," katanya. 

Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten M Harris juga menganggap tunjangan yang diberikan 
bagi anggota DPRD itu suatu kewajaran. Apalagi, untuk menjadi seorang wakil 
rakyat membutuhkan dana yang tidak sedikit. "Saat kampanye, seorang calon 
anggota DPRD harus pinjam uang ke bank. Ketika terpilih, ya dia harus nyic

[mediacare] Banyak Daerah Terbebani

2007-01-11 Terurut Topik MTI
Banyak Daerah Terbebani



Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Komunikasi 
dan Operasional Anggota DPRD membebani keuangan daerah, khususnya daerah hasil 
pemekaran. Mahasiswa berunjuk rasa memprotes PP No 37/2006 dan menyarankan agar 
PP itu ditinjau kembali. 

Wakil Bupati Serdang Bedagai Sukirman, Rabu (10/1), menuturkan, secara prinsip, 
jika pemerintah daerah membayar tunjangan komunikasi dan operasional anggota 
DPRD dari Januari hingga Desember tahun 2006 sesuai dengan yang diamanatkan 
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2006, hal itu jelas membebani keuangan 
daerah. "Kan enggak mungkin tahun anggarannya 2007 harus membayar untuk 
tunjangan tahun 2006. Kecuali kalau daerahnya kaya dan memiliki banyak sisa 
anggaran," ujar Sukirman. 

Serdang Bedagai merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang. ML 
Tobing dari Bagian Humas Provinsi Sumatera Utara membenarkan, beberapa daerah 
pemekaran baru di Sumut seperti Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, dan Samosir 
mengalami hal serupa. Bahkan, kata Tobing, Kabupaten Dairi menjadi salah satu 
kabupaten nonpemekaran yang kesulitan membayar tunjangan komunikasi dan 
operasional anggota DPRD. 

Terkait soal kesulitan keuangan daerah, meski Pemerintah Provinsi Sumut tidak 
mengalami hal itu, anggota DPRD Sumut dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, 
Muhammad Nuh, menuturkan, sebaiknya jika tunjangan komunikasi dan operasional 
itu diterima anggota DPRD, maka ada tunjangan jenis lain yang dihapus, yakni 
tunjangan dana reses. 

Sementara menurut anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDI-P, Zakaria Bangun, PP No 
37/2006 hanya membuat DPRD jadi bulan-bulanan kritik masyarakat. 

Meski tidak menyatakan menolak, Zakaria meminta pemerintah membentuk badan 
kajian untuk menentukan berapa besar tunjangan yang pantas bagi anggota DPRD. 
"Jangan kalian pikir anggota DPRD ini perampok semuanya. Bagaimana dengan 
anggota DPRD yang memang lurus? Apakah dengan gaji Rp 5,7 juta sebulan, cukup 
bagi kami menjalankan tugas? Uang segitu harus kami bagi untuk partai, 
konstituen, dan lainnya," ujar Zakaria. 

PP No 37/2006 telah memicu protes. Di Palembang, mahasiswa yang tergabung dalam 
Koalisi Gerakan Rakyat Palembang berdemonstrasi menuntut dicabutnya PP No 
37/2006. Mahasiswa melakukan aksinya di Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. 
Mereka berharap anggota DPRD tidak memperkaya diri, sementara rakyat tetap 
miskin. 

Menurut koordinator aksi Anwar Sadat, PP itu adalah bentuk legitimasi korupsi. 
Di Sumsel, dampak dari diberikannya tunjangan untuk ketua dan anggota DPRD itu 
adalah cenderung berkurangnya alokasi dana APBD untuk kesejahteraan rakyat. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen berencana mengajukan 
peninjauan kembali atas PP No 37/2006. 

Ia mengatakan banyak daerah yang mengalami defisit anggaran. Jika berbagai 
permintaan tambahan tunjangan seperti yang diatur dalam PP itu dipenuhi, berapa 
banyak lagi anggaran belanja yang seharusnya digunakan untuk membangun 
masyarakat diserap. "Ini cara paling cepat untuk meningkatkan angka 
kemiskinan," tuturnya. 

Menanggapi kontroversi meluas itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar 
Kartasasmita menyarankan PP No 37/2006 ditinjau kembali. 

Sementara dalam jumpa pers di Jakarta, Departemen Dalam Negeri dan Departemen 
Keuangan mengelompokkan seluruh daerah-kecuali Provinsi DKI Jakarta-menjadi 
tiga kelompok. Pengelompokan itu berdasarkan kemampuan keuangan daerah. 

Hal itu dijelaskan Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf dan Menteri Keuangan Sri 
Mulyani Indrawati. Sri Mulyani menjelaskan, kemampuan keuangan daerah yang 
dimaksud adalah jumlah pendapatan umum yang dihitung dari komponen pendapatan 
dari pendapatan asli daerah (PAD), dana bagi hasil, dan dana alokasi umum yang 
dikurangi dengan belanja pegawai. "Aturan klasifikasi itu perlu dibuat berdasar 
kemampuan keuangan daerah supaya besarnya anggaran DPRD lebih pantas dan wajar. 
Tetapi, Jakarta tidak termasuk karena nanti tidak adil buat daerah lain, PAD 
DKI Jakarta Rp 8,6 triliun, tidak tertandingi," kata Sri Mulyani. 

Ma'ruf mengatakan, pengelompokan daerah berdasarkan kemampuan keuangan daerah 
itu nanti dituangkan dalam Peraturan Mendagri tentang penjabaran pelaksanaan PP 
No 37/2006. Ia menekankan, APBD harus tetap mengedepankan kepentingan 
masyarakat. Karena itu, tunjangan DPRD harus untuk meningkatkan kinerja DPRD. 

Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Daeng 
Muhammad Nazier mengungkapkan, sebenarnya bila tahu diri dan peka dengan 
kemampuan daerahnya, anggota DPRD tidak menganggarkan tunjangan komunikasi 
intensif dan dana operasional dengan angka maksimal. 

Di Purbalingga, Senin lalu, pemerintah kabupaten mentransfer rapel kenaikan 
tunjangan tahun 2006 total senilai Rp 3,402 miliar lebih. "Pemkab Purbalingga 
telah mentransfer rapel kenaikan tunjangan atau penghasilan dan tunjangan 
komunikasi intensif bagi pimpinan DPRD ke rekening Bendahara DPRD," ujar Henny

[mediacare] Uang Tommy di Guernsey Diduga Hasil Korupsi

2007-01-10 Terurut Topik MTI
Uang Tommy di Guernsey Diduga Hasil Korupsi



JAKARTA -- Kejaksaan Agung menduga dana milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy 
Soeharto yang ada di Banque Nationale de Paris (BNP) and Paribas adalah dana 
hasil korupsi. Kejaksaan saat ini mengumpulkan bukti untuk mengajukan gugatan 
intervensi, yang akan diajukan dalam persidangan di Guernsey, negara 
persemakmuran Inggris, pada 22 Januari mendatang.

"Gugatan itu untuk memastikan apakah ada perbuatan yang diklasifikasikan 
sebagai korupsi," ujar Direktur Perdata pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata 
Usaha Negara Yoseph Suardi Sabda saat dihubungi Tempo kemarin.

Menurut Yoseph, indikasi korupsi itu bisa terlihat dari data Kementerian Badan 
Usaha dan Milik Negara serta Departemen Keuangan. Data itu, kata dia, untuk 
memastikan apakah Tommy masih memiliki utang atau tunggakan pajak. Data itu 
kemudian dicocokkan dengan jumlah dana yang dimiliki Tommy di BNP and Paribas. 

Yoseph mengatakan, jika terdapat kecocokan waktu dan jumlah antara data 
tunggakan pajak serta utang Tommy dan dana di BNP and Paribas yang dibuka pada 
22 Juli 1998, dipastikan adanya indikasi korupsi. "Jika ada korupsi, kan bisa 
ketahuan dari tanggal Tommy membuka rekening," ujarnya.

Kasus ini bermula dari gugatan Tommy terhadap BNP and Paribas. Tommy 
mempersoalkan pembatalan transfer 36 juta euro (atau sekitar Rp 400 miliar) ke 
sebuah perusahaan Garnet Investment Limited di Guernsey, yang sahamnya dimiliki 
Tommy. BNP enggan mencairkan dana karena Tommy tercatat memiliki masalah hukum 
di Indonesia.

Yoseph mentargetkan upaya pencarian data dan informasi yang akan dibawa ke 
Inggris bisa selesai seminggu sebelum persidangan pada 22 Januari mendatang. 
Menurut dia, ada tiga alasan negara mengajukan gugatan intervensi, di 
antaranya, jika Tommy terlibat dugaan korupsi, uang tersebut bisa langsung 
dirampas negara. Lalu Tommy diduga memiliki utang negara kepada BUMN dan 
pemerintah.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yakin gugatan intervensi berhasil. "Kami harus 
yakin, meski pengadilan nanti yang memutuskan," ujar Abdul Rahman saat 
dihubungi. Menurut dia, intervensi dilakukan karena Tommy memiliki masalah 
hukum di kejaksaan. Kejaksaan akan menunjuk pengacara di Guernsey untuk bekerja 
sama dalam sidang gugatan intervensi. 

Yoseph menambahkan kejaksaan mengirimkan dua utusan untuk sidang perkara itu, 
yaitu dia sendiri dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato 
Bya. "Tapi kami belum menerima surat tugas tertulisnya," katanya. Ia 
menambahkan pengacara yang mewakili Indonesia di sana sudah diatur Departemen 
Luar Negeri dan Kedutaan Besar Indonesia di Inggris. 

Elza Syarief, pengacara Tommy, enggan mengomentari gugatan yang diajukan Tommy 
kepada BNP and Paribas. Dia mengaku tak mengetahui perkara hukum tersebut. 
Tommy sama sekali tak pernah berkonsultasi dengannya berkaitan dengan gugatan 
itu. "Dia tak pernah datang kepada saya berkaitan dengan kasus itu," ujarnya. 
RINI KUSTIANI | SUKMA LOPPIES | PRAMONO | SANDY INDRA PRATAMA 

Sumber: Koran Tempo - Kamis, 11 Januari 2007 



++ 

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Perampokan Sistemik Uang Rakyat

2007-01-10 Terurut Topik MTI
Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD 
Perampokan Sistemik Uang Rakyat

[JAKARTA] Peraturan Pemerintah (PP) No 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan 
Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD merupakan model perampokan 
sistemik uang rakyat. Untuk menyelamatkan uang rakyat, Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono agar segera merevisi PP, kata Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi 
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana kepada Pembaruan, Rabu 
(10/1).

Pusat Kajian itu menyerukan, seluruh kepala daerah untuk tidak membayarkan 
semua tunjangan sebagaimana yang disebutkan dalam PP No 37 itu, apalagi 
mengingat kondisi rakyat Indonesia yang sedang dilanda banyak penderitaan. 

Denny mengatakan, komponen penghasilan pimpinan dan anggota DPRD dalam PP 
tersebut menunjukkan angka yang luar biasa besarnya. Selain karena besarnya 
uang tersebut, juga karena pada beberapa item tertentu diberlakukan surut mulai 
1 Januari 2006. 

Di Yogyakarta, misalnya, seorang anggota DPRD provinsi dapat memperoleh 
tambahan pendapatan sekitar Rp 250 juta . Dalam beberapa data yang diperoleh di 
Provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan defisit anggaran akibat Pendapatan Asli 
Daerah (PAD) habis untuk tambahan penghasilan bagi DPRD.

Jika diasumsikan secara kasar bahwa PP tersebut akan menambah penghasilan 
masing-masing anggota DPRD sebanyak 80 Juta, maka dengan jumlah sekitar 15.000 
anggota DPRD di seluruh Indonesia, perlu Rp 1,2 triliun untuk membayarkan 
pendapatan yang diberlakukan surut melalui PP tersebut.

Secara gamblang, PP itu dapat diindikasikan merupakan bagian dari strategi 
pemerintah pusat menghadapi tekanan partai politik. Tercatat, sejak 
terbentuknya DPRD hasil Pemilihan Umum 2004, PP No 37/2006 merupakan perubahan 
kedua atas PP No 24/2004. Sebelumnya, PP No 24/2004 telah diperbaiki dengan PP 
No 37/2005. 

Secara terpisah Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Asfinawati mengatakan, 
pemberlakuan PP 37 itu per Januari 2006 bertentangan dengan beberapa 
undang-undang (UU) di atasnya, yaitu UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 
Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. 

Karena itu, dia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mencabut 
PP tersebut. Kepada kepala daerah juga diminta untuk tidak mengalokasikan 
anggaran ber-dasarkan ketentuan PP tersebut. 

Begitu pula Ketua Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia Sebastian 
Salang, Rabu, berpendapat, PP No 37 itu harus ditinjau ulang karena sangat 
berpotensi mengakibatkan proses pemiskinan rakyat. 


Asas Kepantasan

Menanggapi kontroversi tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati 
menegaskan, perlu diatur asas kepantasan dan mengklasifikasi daerah berdasarkan 
kemampuan setempat untuk bisa melaksanakan ketentuan PP tersebut. Hal itu untuk 
menghindarkan daerah mengambil batas maksimal.

Dia mencontohkan, PAD DKI Jakarta mencapai Rp 8,6 triliun, sedangkan di Irian 
Jaya Barat (Irjabar) hanya Rp 18 miliar. "Dengan demikian, mengakomodasi ukuran 
Jakarta untuk diterapkan di Irjabar, tentu tidak tepat," ujarnya. 

Menteri Keuangan menambahkan, bagi daerah yang kaya, dana operasional yang 
diterima oleh ketua DPRD maksimal enam kali dana representasi, serta wakil 
ketua empat kali. Adapun tunjangan komunikasi insentif ketua DPRD Rp 35,2 juta 
atau enam kali uang representasi, wakil ketua Rp 25,2 juta (4 kali 
representasi), sedangkan untuk anggota DPRD Rp 15,1 juta per bulan.

Kemudian untuk daerah yang kemampuan daerahnya sedang, dana operasional yang 
diterima oleh ketua empat kali uang representasi dan wakil ketua 2,5 kali dana 
representasi. Sementara untuk tujangan komunikasi insentif, ketua mendapat Rp 
26,2 juta dan anggota Rp 9,1 juta.

Untuk daerah yang kemampuannya rendah, dana operasional yang diterima oleh 
ketua DPRD yakni maksimal dua kali dana representatif, wakil ketua 1,5 kali. 
Untuk tunjangan komunikasi ketua DPRD mendapat Rp 20 juta perbulan dan anggota 
Rp 6,1 juta.

Sementara itu Menteri Dalam Negeri Moh Ma'ruf menegaskan besarnya dana 
tunjangan komunikasi intensif dan operasional bagi pimpinan dan anggota DPRD di 
seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan pemerintah No 37/2006 
harus disesuaikan dengan beban kerja pimpinan dan anggota DPRD, kemampuan 
keuangan daerah serta mempertimbangkan asas manfaat dan efisiensi APBD. 
[E-8/A-21/B-14/L-10]

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Anggaran Departemen Pertahanan Bocor Rp 100 Miliar

2007-01-10 Terurut Topik MTI
Anggaran Departemen Pertahanan Bocor Rp 100 Miliar



JAKARTA -- Departemen Pertahanan mengaku berhasil menekan pemborosan dan 
kebocoran anggaran tahun lalu sebesar 40 persen dari sebelumnya. Pada 2005, 
kebocoran dana di Departemen Pertahanan mencapai Rp 225 miliar. "Tahun ini 
(bocor) Rp 100 miliar," kata Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie 
Sjamsoeddin seusai rapat antara Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan 
pemimpin TNI di Jakarta kemarin. 

Sjafrie mengatakan Departemen Pertahanan menekan anggaran pengadaan dan 
pembangunan. Pada 2007, lembaga ini akan memprioritaskan pembelian alat tempur 
yang mendesak terkait dengan operasi pengamanan kedaulatan. Operasi ini 
dilakukan di wilayah perbatasan. Prioritas yang lain di antaranya pemberantasan 
pembalakan liar dan penangkapan ikan secara ilegal. 

Selain itu, kata Sjafrie, pemerintah memprioritaskan pembelian alat operasi 
kemanusiaan dan pembelian alat kesehatan bagi TNI. Rencana ini pun, kata dia, 
telah dicek secara ketat oleh Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan. 

Menteri Juwono dalam rapat itu mengatakan terus mencari perimbangan anggaran 
yang wajar antara kemampuan operasi, peningkatan profesionalisme prajurit, dan 
kesejahteraan prajurit. Sebab, kebutuhan minimal Departemen Pertahanan baru 
terpenuhi 48 persen saja. "Sebesar 50 persen kebutuhan anggaran baru terpenuhi 
antara lima dan sepuluh tahun," kata Juwono. 

Untuk tahun lalu, kata Juwono, Departemen Pertahanan mendapat anggaran Rp 28 
triliun dari Rp 56 triliun yang dibutuhkan. Sedangkan untuk tahun ini, 
Departemen mendapat kucuran Rp 32 triliun dari Rp 62 triliun yang dibutuhkan. 
Dian Yuliastuti

Sumber: Koran Tempo - Rabu, 10 Januari 2007

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Tommy Dicurigai Money Laundering

2007-01-10 Terurut Topik MTI
Tommy Dicurigai Money Laundering
BNP Paribas Tolak Cairkan Uang Rp 424,8 M

JAKARTA - Tommy Soeharto terancam terseret kasus pencucian uang (money 
laundering). Sebab, alasan BNP Paribas di Guernsey, Inggris, menolak mencairkan 
simpanan Euro 36 juta (Rp 424,8 miliar) milik perusahaan Tommy, Garnet 
Investment Limited (GIL), karena duit tersebut diduga hasil pencucian uang.

Tommy terhitung empat kali melayangkan surat permintaan resmi agar BNP Paribas 
mentransfer duit tersebut ke rekeningnya. Tetapi, BNP Paribas menolak 
mentah-mentah. "Bank (BNP Paribas) menganggap uang Anda (Tommy) mungkin terkait 
tindak pidana korupsi di Indonesia. Jadi, ini (semacam) praktik money 
laundering," kata Direktur Perdata pada JAM Perdata dan Tata Usaha (Datun) 
Yoseph Suardi Sabda di gedung Kejagung kemarin. Yoseph didampingi Kapuspenkum 
Salman Maryadi.

Kecurigaan BNP Paribas beralasan. Maklum, Tommy menyimpan uang di sebuah pulau 
di antara perbatasan Prancis dan Inggris tersebut pada 22 Juli 1998 atau dua 
bulan usai Soeharto lengser dari kursi kepresidenan. Kala itu, Kejagung 
giat-giatnya membidik anggota keluarga Cendana dalam beberapa pemeriksaan kasus 
korupsi. Tommy ditetapkan tersangka korupsi tukar guling (ruilslag) Bulog-Goro 
Barata Sakti Rp 94 miliar pada 19 Februari 1999.

Selain itu, Tommy mendirikan GIL di Tortola, British Virgin Island (BVI). 
Negara kecil di kawasan Karibia itu acapkali dimanfaatkan beberapa pihak untuk 
menempatkan dana agar terhindar dari tagihan pajak.

Kasus pencucian uang dengan modus menyimpan uang ke bank luar negeri terjadi 
pada beberapa tokoh. Misalnya, mantan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe. Dia diduga 
melarikan uang USD 5 juta ke sebuah bank di Swiss. Neloe bahkan telah 
ditetapkan sebagai tersangka. Adrian Waworuntu juga terseret dalam kasus 
pencucian uang terkait pembobolan Bank BNI Rp 1,3 triliun.

Yoseph membeberkan, sejak ditempatkan 22 Juli 1998, Tommy mulai 
berkorespondensi untuk mencairkan uangnya di BNP Paribas pada 22 Oktober 2002 
dan 12 November 2002. Tommy juga pernah memerintah BNP Paribas mengalihkan dana 
47,5 ribu poundsterling dan USD 7.960 kepada pegawainya di GIL Peter Amy. "BNP 
Paribas justru menjawab agar Tommy memverifikasi uang yang didapat. Surat ini 
tak dijawab (Tommy)," kata Yoseph. 

Tommy pada 23 Februari 2003 kembali memerintah BNP Paribas mengosongkan 
simpanannya untuk dialihkan ke rekening dirinya di United Overseas Bank (UOB) 
Singapura. Lagi-lagi, bank berkantor pusat di Paris itu menolak menuruti 
perintah Tommy. "Puncaknya, Tommy menggugat BNP Paribas di Royal Court of 
Guernsey," jelasnya. Guernsey merupakan negara di wilayah Inggris yang punya 
kerajaan dan pemerintahan sendiri.

Menurut Yoseph, dalam proses litigasi, pengadilan justru memerintah BNP Paribas 
menghubungi pemerintah RI, apakah punya klaim atas aset yang dipermasalahkan 
Tommy tersebut.(agm) 

Sumber: Jawapos - Rabu, 10 Januari 2007

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Koordinasi Kurang, Koruptor Pun Melenggang

2007-01-08 Terurut Topik MTI
Koordinasi Kurang, Koruptor Pun Melenggang 

Berbulan-bulan sudah Kejaksaan Agung berburu koruptor. Sejak dirilis Jaksa 
Agung Abdul Rahman Saleh pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung dengan berbagai 
media menayangkan wajah-wajah koruptor. Harapannya, masyarakat membantu 
kejaksaan bila mereka menemukan para koruptor berkeliaran di sekitarnya. 

Sebanyak 14 nama koruptor dimasukkan dalam daftar buruan Kejaksaan Agung. Di 
samping 14 nama koruptor yang dilansir oleh Kejaksaan Agung, masih banyak nama 
koruptor lain yang juga melarikan diri. 

Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi Cecep Soepriatna Anwar, 
kaburnya para koruptor ke luar negeri karena kurangnya koordinasi di antara 
para aparat. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang keimigrasian, ada tiga 
instansi yang berwenang menangkal seseorang, yaitu Kejaksaan Agung, Menteri 
Keuangan, dan Menteri Hukum dan HAM, terkait dengan problem imigrator. 

Salah satu contohnya adalah kaburnya mantan Komisaris Utama PT Bank Modern Tbk 
Samadikun Hartono ke luar negeri. 

Berdasarkan laporan Ditjen Imigrasi, kaburnya Samadikun Hartono karena ia 
mengantongi surat izin bepergian ke luar negeri yang dikeluarkan Jaksa Agung RI 
cq JAM Intel Nomor B-442/ D/Dsp.3/03/2003 27 Maret 2003. 

Samadikun Hartono diberi izin untuk mengecek penyakit yang dideritanya di 
Shonan Kamakura General Hospital Tokyo, Jepang. Padahal, 21 Maret 2003, 
Samadikun Hartono dicegah dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP 
023/D/Dsp.3/03/2003. 

Akibatnya, tiga bulan Samadikun tidak pernah melapor ke Kejaksaan Agung RI. 
Kejaksaan Agung pun baru menanyakan kepada pihak imigrasi pada 23 Juli 2003 
soal penggunaan izin berobat. 

Alhasil, pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang ketika itu hendak menangkap 
Samadikun ternyata gagal. Samadikun telah lebih dulu kabur berbekal surat izin 
Jaksa Agung. 

Kaburnya Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan pun 
menjadi bukti kecerobohan para aparat. 

Sudjiono Timan dicegah dengan Keputusan Jaksa Agung RI pada tanggal 28 Februari 
2001. Namun uniknya, paspor atas nama Sudjiono Timan nomor N 333045 yang 
dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Selatan 4 Mei 2004 belum pernah 
dipergunakan Sudjiono. 

Saat pencarian Sudjiono dilakukan pasca-penolakan kasasi Sudjiono oleh MA, 
Dirjen Imigrasi pernah menginformasikan kepada Kejaksaan Agung RI bahwa 
Sudjiono berada di Batu Malang, Jawa Timur. Informasi ini diberikan oleh ipar 
Sudjiono. Informasi kembali diberikan saat Sudjiono ada di Kalimantan Selatan. 

Namun entah mengapa, informasi yang diberikan Ditjen Imigrasi tak kunjung 
ditindaklanjuti Kejaksaan Agung. Padahal, saat itu Sudjiono masih berada di 
wilayah Indonesia. 

Informasi terakhir, Sudjiono sering keluar masuk RRC, diduga menggunakan paspor 
negara-negara kecil, seperti Vanuatu, Fiji, Tonga. 

Belajar dari kaburnya para koruptor, ada baiknya semua pihak, termasuk 
Kejaksaan Agung, tak hanya belajar mencari buronan, melainkan juga belajar agar 
para koruptor tidak kabur ke luar negeri. 

Soalnya, kalau sudah lari, susah menangkapnya...! (Vincentia hanni) 

Sumber: Kompas - Selasa, 09 Januari 2007 

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Semoga Ujungnya Bukan Revitalisasi

2007-01-08 Terurut Topik MTI
Semoga Ujungnya Bukan Revitalisasi 

Seperti sudah menjadi pakem, setiap muncul sebuah persoalan yang menjadi 
perhatian luas masyarakat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk sebuah 
tim. Tentu saja, sebelum tim dibentuk, rangkaian rapat digelar. Nama tim lantas 
disesuaikan dengan persoalan yang hendak diuraikan dan diungkapkan secara 
benar. 

Oleh karena persoalan datang silih berganti, seperti sedang mengantre, Presiden 
tidak pernah kehabisan mencari nama tim yang kemudian dibentuknya. Terakhir, 
mendapati serentetan musibah transportasi yang memilukan, karena hingga kini 
belum juga tuntas, Presiden membentuk Tim Nasional untuk Evaluasi Transportasi. 

Hilangnya Kapal Motor Penumpang Senopati Nusantara dengan 628 penumpang dan 
awak serta pesawat AdamAir (96 penumpang dan enam awak) menggerakkan Presiden 
untuk memperbaiki manajemen pengelolaan transportasi yang menjadi urat nadi 
perekonomian. Semua persoalan bidang transportasi selama 10 tahun terakhir yang 
banyak menimbulkan persoalan, katanya, akan dilihat, diinvestigasi, dan 
dievaluasi. 

Beberapa hari sebelumnya, mendapati persoalan pelayanan makanan bagi jemaah 
haji di Arafah dan Mina, Arab Saudi, akhir Desember 2006, Presiden membentuk 
tim juga yang diberi nama Tim Investigasi dan Evaluasi Penyelenggaraan Haji 
Tahun 1427 Hijriah (2006). Mantan Menteri Agama di era Presiden Abdurrahman 
Wahid, KH Tolchah Hasan, diminta "turun gunung" menjadi ketua tim yang diberi 
waktu bertugas tiga minggu hingga satu bulan ini. 

"Untuk bangsa dan umat," ujar Presiden mengenai permintaannya kepada Tolchah 
untuk "turun gunung" memimpin tim yang dibentuknya melalui keputusan presiden 
di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat pekan lalu. 

Tim dengan tujuh anggota ini mulai bekerja dengan rapat terlebih dahulu dan 
juga berangkat ke Arab Saudi, Senin (8/1) siang. Tim akan berada di Arab Saudi 
(Mekkah dan Jeddah) selama dua minggu. Di Arab Saudi, tim akan bertemu Menteri 
Dalam Negeri dan Menteri Urusan Haji Arab Saudi, meminta penjelasan, dan 
mencari data-data yang diperlukan. 

Untuk keperluan investigasi, tim akan bertemu dengan pihak ANA for Development 
and Enterprises yang bertanggung jawab melayani kebutuhan makan bagi sekitar 
200.000 anggota jemaah haji Indonesia, tetapi tidak memenuhi tanggung jawabnya 
itu. 

Mengutip Presiden Yudhoyono saat mendampingi Tolchah memberi keterangan pers 
seusai diterima Presiden, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng 
mengatakan, "Presiden akan menindak penyimpangan dan kelalaian sesuai ketentuan 
dan derajat kelalaian yang ditemukan." 

Kutipan Presiden itu seperti pakem yang rutin juga dikatakan juru bicara 
kepresidenan setelah sebuah tim dibentuk. Namun, apakah kemudian kehendak untuk 
menindak penyimpangan dan kelalaian hasil temuan sebuah tim dilakukan atau 
tidak, sejauh ini belum nyata adanya. Belum ada yang ditindak meski sejumlah 
penyimpangan terjadi. 

Masih hangat di ingatan masyarakat saat bagaimana semburan lumpur panas akibat 
operasi PT Lapindo Brantas (milik Bakrie Group) kian tak terkendali dan 
mengusir secara paksa rakyat tidak bersalah, yang lebih dahulu tinggal di 
sekitar lokasi semburan lumpur panas. Ketika itu, setelah rapat di Kantor 
Presiden, Presiden membentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo. 

Saat kini lumpur semakin tak terkendali dan mengusir semakin banyak rakyat yang 
tidak bersalah dan melumpuhkan sejumlah aktivitas ekonomi, tidak jelas juga apa 
hasil evaluasi tim ini. Hasil kerja aparat yang sejak awal diberi tugas secara 
khusus oleh Presiden untuk melakukan investigasi juga sama tidak jelasnya 
dengan penanganan semburan lumpur yang hingga kini tidak terkendali. 

Apa kabar Tim Munir? 

Sekadar menengok ke belakang, dari sekian banyak tim yang dibentuk, tim pertama 
bentukan Presiden adalah Tim Investigasi Kasus Munir atau lebih dikenal dengan 
Tim Pencari Fakta Kasus Munir yang diketuai Brigadir Jenderal (Pol) Marsudhi 
Hanafi. Tim dibentuk Presiden setelah mendapati desakan dan masukan sejumlah 
pihak yang prihatin dengan kematian Munir. Munir mati tidak wajar di dalam 
pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam. 

Dalam penjelasan tertulisnya ketika itu, Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda 
Indonesia Pujobroto mengatakan, Munir meninggal dalam penerbangan Garuda 
Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam via Singapura sekitar dua jam 
sebelum pesawat mendarat di Bandar Udara Schiphol, Amsterdam, Belanda. 

Meskipun tim dibentuk, bahkan telah diperpanjang masa tugasnya, upaya 
mengungkap misteri pembunuhan aktivis hak asasi manusia ini tetap gelap dan tak 
jelas ujung pangkalnya hingga kini. 

Hasil temuan tim investigasi yang memberikan sejumlah laporan dan rekomendasi 
kepada Presiden Yudhoyono juga seperti misteri. Publik bahkan tidak diberi 
keterangan resmi. Menurut Andi, temuan dan rekomendasi tim Munir tidak 
diumumkan karena publik secara luas sudah mengetahuinya. 

Terhadap kasus Munir, yang menurut Presiden Yud

[mediacare] Terdakwa Korupsi APBD Bebas Murni

2007-01-08 Terurut Topik MTI
Terdakwa Korupsi APBD Bebas Murni 

Denpasar, Kompas - Wakil Ketua DPRD Bali Ida Bagus Gusti Suryatmaja Manuaba 
yang didakwa korupsi sekitar Rp 27 miliar ketika menjadi Ketua DPRD Badung 
periode 1999-2004 mendapat vonis bebas murni oleh majelis hakim Pengadilan 
Negeri Denpasar yang diketuai Nyoman Gede Wirya, Senin (8/1). Suryatmaja 
langsung berlutut dan bersujud di depan majelis hakim sebelum ketua hakim 
mengetukkan palu. 

Majelis hakim yang sama juga memberikan vonis bebas murni kepada Ketua DPRD 
Denpasar yang terpilih dua kali (1999-2004 dan 2004-2009) Ketut Sukita. Ia 
didakwa korupsi APBD Denpasar periode 2000-2004 sekitar Rp 4,3 miliar dari 
total Rp 43 miliar. 

Sebelumnya, jaksa menuntut Suryatmaja dan Sukita dihukum penjara 18 bulan 
dengan denda masing-masing Rp 100 juta serta mengembalikan kerugian negara. 
Namun, majelis hakim berpendapat keduanya telah menjalankan mekanisme 
persetujuan anggaran sesuai peraturan yang berlaku. Selain itu, kewenangan 
pencairan anggaran tidak berada di tangan ketua DPRD. 

"Kami menilai keduanya tidak terbukti melakukan korupsi. Surat keputusan atas 
anggaran ditandatangani sesuai keputusan bersama sesama anggota DPRD ketika itu 
dan bukan atas nama pribadi," kata Gede Wirya seusai sidang. 

Putusan dalam persidangan terpisah itu disambut tepuk tangan dari puluhan 
pendukung yang memenuhi ruang sidang. Tampak hadir Wali Kota Denpasar AA 
Puspayoga. 

Sebaliknya, jaksa Putu Supartajaya menyatakan kecewa dan akan mengajukan kasasi 
atas putusan yang dinilainya tidak adil. 

"Onslag" 

Dalam persidangan yang berbeda tetapi masih di PN Denpasar, Ketua DPRD Bali 
periode 1999-2004 Ida Bagus Putu Wesnawa dinyatakan bersalah melakukan tindak 
pidana korupsi. Namun, karena seluruh bukti yang diajukan tim jaksa Kejaksaan 
Tinggi Bali itu dinilai tidak valid, Wesnawa yang kini kembali menjabat Ketua 
DPRD Bali periode 2004-2009 tersebut akhirnya dinyatakan onslag atau dilepaskan 
dari segala dakwaan pidana. 

Sebelumnya jaksa menuntut Wesnawa penjara 18 bulan. 

Terdakwa Wesnawa yang terlihat tegang sempat mengira dirinya diputus bebas. 

Dalam catatan Kompas, dari 42 mantan anggota DPRD se-Bali yang didakwa korupsi 
APBD, Made Arimbawa (mantan Ketua DPRD Tabanan, Sukita dan Suryatmaja mendapat 
putusan bebas murni. Adapun 37 orang lainnya mendapat vonis onslag dan dua 
lainnya dihukum 15 bulan dan 18 bulan. (ays) 

Sumber: Kompas - Selasa, 09 Januari 2007 

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Hati-Hati 10 Modus Operandi Pencucian Uang

2007-01-07 Terurut Topik MTI
Hati-Hati 10 Modus Operandi Pencucian Uang
[5/1/07] 

Jumlah laporan transaksi mencurigakan yang berhasil dianalisis mengalami 
kenaikan.

Tidak ketinggalan, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan  (PPATK) juga 
bercermin di akhir tahun 2006 dan meramalkan kemajuan di tahun 2007. PPATK pada 
dasarnya hanya dapat menerima tiga jenis laporan: Laporan Transaksi Keuangan 
Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), dan Laporan 
Pembawaan Uang Tunai (LPUT). Selama 2006, PPATK total menerima 6.776 LKTM, 
1.968.180 LTKT, dan 1.432 LPUT. 

Sayangnya sampai akhir 2006, PPATK hanya sempat menganalisis 630 LTKM. Dari 630 
itu hanya 430 yang disampaikan Kepolisian dan Kejaksaan. Walau demikian, jumlah 
ini meningkat dari tahun sebelumnya: 24 kasus pada 2003, 236 kasus pada 2004, 
dan 347 kasus pada 2005 (lihat tabel).

Selain menganalisis ratusan kasus, sepanjang 2006 PPATK juga memperkuat basis 
kelembagaan. Misalnya dengan melakukan kerjasama dengan sejumlah PPATK negara 
lain, lembaga terkait di Indonesia semisal BPK dan BPKP. Terkait dengan 
perluasan kewenangan, saat ini draft RUU perubahan UU No. 25 Tahun 2003 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah masuk ke DPR. 

PPATK mengklaim ke-430 kasus di atas masuk kategori tindak pidana pencucian 
uang sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 
tentang Perubahan UU No. 15 Tahun 2002. Dalam evaluasi akhir tahunnya, PPATK 
meminta semua pihak untuk mewaspadai 10 modus pencucian uang yang diramalkan 
bakal tetap muncul. Bahkan kemungkinan modus operandi dan variasinya semakin 
bertambah.

Tabel

Jumlah Laporan yang Dianalisis PPATK Tahun 2006

  Korupsi/Penggelapan
 177
 
  Penipuan
 157
 
  Kejahatan Perbankan
 27
 
  Pemalsuan Dokumen
 19
 
  Teroris
 5
 
  Penggelapan Pajak
 4
 
  Perjudian
 3
 
  Penyuapan
 7
 
  Narkotika
 3
 
  Pornografi Anak
 1
 
  Pemalsuan Uang Rupiah 
 4
 
  Pencurian
 1
 
  Pembalakan
 4
 
  Tidak teridentifikasi/dll
 18
 
  T o t a l
 430
 


 

Apa saja kesepuluh modus yang harus diwaspadai itu? Pertama, masyarakat harus 
sangat waspada jika terjadi pengalihan dana dari rekening giro instansi 
pemerintah ke rekening tabungan atas nama pribadi pejabat. Kedua, pihak bank 
khususnya juga harus teliti karena maraknya penggunaan identitas palsu untuk 
membuka rekening yang akan digunakan sebagai sarana penipuan. Selain itu, 
ketiga, pengawasan bank juga harus ditingkatkan pada rekening pejabat 
pemerintah berserta seluruh anggota keluarganya yang rentan sebagai sasaran 
penyuapan.  

Keempat, uang suap juga sering diberikan dalam bentuk barang. Walaupun barang 
tersebut dibeli atas nama si pejabat tapi sumber biayanya mungkin datang dari 
pihak lain. Kelima, pembukaan beberapa rekening atas nama orang lain juga 
merupakan modus operandi yang biasa dilakukan pelaku illegal logging  untuk 
menutupi identitasnya.  

Keenam, jasa asuransi pun mulai sering digunakan sebagai modus operandi 
pencucian uang. Biasanya pelaku akan membeli polis asuransi jiwa dengan premi 
tinggi yang langsung dibayarkan pada saat penutupan polis tersebut. Selang 
beberapa waktu, polis akan dibatalkan, dan premi yang dibayarkan akan 
dikembalikan walaupun dikurangi denda. Ketujuh, perusahaan bermodal kecil juga 
dapat digunakan sebagai pemilik polis asuransi yang berpremi besar untuk 
menutupi identitas asli pelaku pencucian uang. 

Kedelapan, transfer uang dari luar negeri juga harus dicurigai karena besar 
kemungkinan dana tersebut adalah hasil perbuatan melawan hukum yang 
dikembalikan setelah diungsikan ke luar negeri. Kesembilan, restitusi pajak 
besar yang tidak sesuai dengan profil perusahaan pembayar pajak juga da[at 
dicurigai sebagai upaya pencucian uang. Terakhir, kesepuluh, populer disebut 
dengan istilah mark up, yaitu pencantuman anggaran yang jauh lebih besar dari 
pada biaya yang sebenarnya diperlukan. 

PPATK mencatat sampai penghujung 2006 baru tujuh kasus money laundering  yang 
putusannya sudah berkekuatan hukum tetap yang diputus. Ada juga kasus bernuansa 
pencucian uang tetapi divonis dengan undang-undang lain seperti UU 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini diharapkan akan menjadi lebih baik 
pada 2007 karena pembahasan RUU  pengganti UU No. 25 tahun 2003 sudah menjadi 
jadwal DPR awal 2007.

Dari UU baru itu PPATK mengharapkan bentuk lembaga PPATK yang jauh lebih solid 
dengan pegawai tetap dan kantor sendiri. Dengan kesolidan tersebut, PPATK dapat 
menyelenggarakan pengelolaan yang baik demi peningkatan kinerjanya 
ditahun-tahun mendatang. 

Sumber: Hukumonline

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Kejagung Sewa Pengacara Inggris

2007-01-07 Terurut Topik MTI
Kejagung Sewa Pengacara Inggris



JAKARTA - Kejaksaan Agung serius dalam merebut aset-aset Tommy Soeharto di 
London, Inggris, yang diklaim telah menjadi hak pemerintah. Kejagung menyewa 
pengacara Inggris untuk memenangi proses pengadilan perkara yang menyangkut 
sengketa harta Tommy itu.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan, kejaksaan menggunakan jasa pengacara 
lokal untuk mengikuti ketentuan hukum acara di Inggris. "Sesuai ketentuan, 
kejaksaan tidak dapat turun mengikuti persidangan. Dengan demikian, kami pakai 
lawyer di sana," kata Arman -Abdul Rahman Saleh- saat dihubungi koran ini 
kemarin.

Arman menolak ketika diminta menyebut nama pengacara sewaan kejaksaan itu. 
Sebab, saat ini tengah dilakukan negosiasi honorarium selama beperkara mewakili 
pemerintah Indonesia dalam sidang. 

Berapa honorarium yang disediakan kejaksaan? Arman juga tidak menyebutkan. 
"Saya nggak bisa ungkap nilainya. Itu nanti saja," jawab pejabat kelahiran 
Pekalongan tersebut.

Yang pasti, kata Arman, penunjukan pengacara dijajaki sejak akhir 2006. Saat 
itu, kejaksaan memilih salah seorang pengacara yang dapat diandalkan dalam 
litigasi kasus perusahaan milik Tommy dengan bank swasta di Inggris. 

Menurut Arman, kejaksaan memutuskan ikut menjadi pihak yang beperkara setelah 
pengadilan setempat menanyakan apakah pemerintah Indonesia punya kepentingan 
dalam perkara tersebut. "Setelah kami kaji, ternyata memang punya," aku Arman.

Keputusan tersebut juga telah dibicarakan dengan beberapa pihak, termasuk 
menteri keuangan. Pemerintah diduga kuat punya kepentingan, yakni bahwa aset 
yang diperkarakan Tommy secara perdata tersebut merupakan aset negara.

Secara terpisah, Elza Syarief, pengacara Tommy, mengaku tidak menangani perkara 
di London yang sedang dipermasalahkan kejaksaan. Dia menduga, Tommy menyewa 
pengacara di London untuk litigasi tersebut. "Saya tidak menangani. Kalaupun 
pakai (pengacara), harus menggunakan lawyer dari sana (Inggris). Tidak bisa 
dari dalam. Begitu juga sebaliknya; kalau ada orang asing beperkara di 
Indonesia, maka harus pakai lawyer dari sini (Indonesia)," kata Elza. Ditanya 
siapa lawyer yang dipercaya Tommy, pengacara berkaca mata itu mengaku belum 
tahu.

Sumber koran ini menyebutkan, Tommy menyewa lawyer asing yang berpraktik di 
London. Putra bungsu mantan Presiden Soeharto itu tentu tidak perlu bertatap 
muka dengan lawyer tersebut. Seperti lazimnya, Tommy bakal menggunakan jasa 
lawyer di Indonesia untuk berkorespondensi dengan lawyer di London. Sayang, 
hingga kemarin, tidak satu pun pengacara yang mengaku diminta Tommy untuk 
berkorespondensi dengan lawyer di London, termasuk Elza dan O.C. Kaligis.

Sebelumnya, jaksa agung mengatakan, kejaksaan mengintervensi sebuah perkara 
perdata yang melibatkan Tommy di London. Arman saat itu hanya menyebut perkara 
tersebut terkait dengan aset yang nilainya cukup besar. Dubes Indonesia untuk 
Inggris, Marty Natalegawa, membenarkan telah menginformasikan perkara tersebut 
kepada kejaksaan. Sebelum melibatkan pemerintah Indonesia, pihak yang beperkara 
adalah entitas perusahaan milik Tommy dan sebuah bank di Inggris.

Keluarga Cendana -bisa jadi termasuk Tommy diyakini punya aset properti berupa 
rumah mewah di London. Tak diketahui, apakah aset tersebut yang sedang 
dipermasalahkan di pengadilan. 

Yang jelas, pada 16 Maret 1999, keluarga Cendana memang menjual aset properti 
di London senilai 11 juta poundsterling atau setara Rp 193,6 miliar (1 
poundsterling = Rp 17.600). Kala itu, berita soal tersebut menarik perhatian 
publik Inggris setelah dimuat di koran The Independent. (agm)

Sumber: Jawapos - Senin, 08 Januari 2007


++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Buron Kejaksaan Banten Dikejar ke Rumah Istri Muda

2007-01-07 Terurut Topik MTI
Buron Kejaksaan Banten Dikejar ke Rumah Istri Muda
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan permohonan tahanan luar.

Serang -- Kejaksaan Tinggi Banten terus mengejar tersangka korupsi Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Daerah Banten 2003, Marjuki Raili, sampai ke rumah istri 
mudanya di sebuah tempat di Serang. Politikus PDI Perjuangan ini merupakan satu 
dari 14 tersangka yang kabur saat akan ditahan pada Kamis pekan lalu. 

Untuk mengintensifkan pengejaran, Kejaksaan Tinggi Banten meminta bantuan 
Kepolisian Daerah Banten. Permintaan setelah pengejaran selama empat hari belum 
membuahkan hasil. Lokasi pencarian akan difokuskan pada tempat-tempat yang 
biasa disinggahi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten ini. 

Sebelum mendatangi rumah istri muda Marjuki, tim gabungan kejaksaan sudah 
mendatangi rumah pribadi Marjuki di Sepatan, Tangerang. Tim hanya diterima 
istri tua Marjuki. "Istrinya bilang sudah sepekan suaminya tidak pulang," kata 
Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Banten I Gede Sidiatmadja di Serang kemarin.

Menanggapi status buron terhadap Marjuki, Sekretaris PDI Perjuangan Daerah 
Banten Ananta Wahana mengatakan partainya akan mengajukan permohonan tahanan 
luar. Permohonan ini juga diajukan untuk Riril Suhartinah dan Iwan Rosadi, 
anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Banten.

Menurut Ananta, permohonan ini diajukan karena tiga tersangka tersebut masih 
berstatus aktif sebagai anggota DPRD Banten. Tenaga mereka dibutuhkan untuk 
membahas kebijakan di Dewan. "Dibutuhkan kebijaksanaan agar ketiganya tetap 
bekerja meskipun kasus ini harus dilanjutkan," katanya. 

Permohonan ini langsung ditolak Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Banten 
Babul Choir. Jika permohonan ini dikabulkan, kejaksaan khawatir mereka bisa 
kabur. Dia menyodorkan contoh kaburnya Marjuki Raili, yang sampai sekarang 
belum bisa dibekuk. "Jika mereka menjamin tidak kabur, buktinya salah satu 
tersangka kabur," katanya. 

Kejaksaan Tinggi Banten menetapkan 14 anggota dan mantan anggota DPRD Banten 
dalam kasus penyelewengan anggaran sebesar Rp 14 miliar pada 2003. Sebanyak 13 
orang ditahan sejak Kamis pekan lalu. Mereka antara lain Udin Janahudin, M. 
Muchlis, Robert Wihardja, Iwan Rosadi, Riril Suhartinah, Jhon R. Maulana, Achdi 
Samiani, Zaenal Novani, Efendi Yusuf, Aap Aptadi, Achmad Malik Komet, Damhir 
Tampubolon. dan Rudi Korwa. Sedangkan Marjuki Raili tidak ditahan karena kabur. 

Penahanan para wakil rakyat Banten ini terkait dengan tertangkapnya mantan 
Ketua DPRD Banten dan anggota DPR, Dharmono K. Lawi, di rumah salah satu 
kerabatnya di Bandung pada akhir tahun lalu. Politikus PDI Perjuangan itu 
menjadi buron Kejaksaan Tinggi Banten dan Kejaksaan Agung selama sembilan bulan 
sejak April 2006. 

Setelah ditangkap, Dharmono meminta Kejaksaan Tinggi Banten memeriksa 14 wakil 
rakyat yang ikut menikmati dana bantuan pembelian rumah dan bantuan penunjang 
kegiatan Dewan. Kejaksaan akhirnya menetapkan mereka sebagai tersangka kasus 
korupsi anggaran daerah 2003. Faidil Akbar

Sumber: Koran Tempo - Senin, 08 Januari 2007

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] DPR Keberatan Disebut Lembaga Terkorup

2007-01-04 Terurut Topik MTI
DPR Keberatan Disebut Lembaga Terkorup



Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan keberatan terhadap hasil survei Transparency 
International Indonesia yang menilai DPR sebagai lembaga terkorup. Dewan 
menilai survei itu tidak akurat karena berdasar pada persepsi soal korupsi, 
sampel yang sangat sedikit, dan parameternya tak jelas. 

Keberatan itu disampaikan Ketua DPR Agung Laksono, Wakil Ketua Badan Kehormatan 
Gayus Lumbuun dan Tiurlan Hutagaol, serta Wakil Ketua Komisi III Azis 
Syamsuddin saat menerima Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis di Gedung 
DPR, Kamis (4/1). 

"DPR yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi kok bisa disebut lembaga 
terkorup. Ini ironis," kata Agung. 

Gayus juga mempersoalkan metodologi survei TII yang berdasar pada persepsi 
korupsi yang sangat jauh berbeda dengan pengertian korupsi dalam hukum sehingga 
mengaburkan pemahaman. "TII memojokkan DPR tanpa dasar," ujarnya. 

Menurut dia, anggaran yang dikelola DPR hanya 0,3 persen dari APBN. " Bagaimana 
mungkin bisa dikatakan sebagai lembaga terkorup. Seharusnya DPR pun 
diperbandingkan dengan eksekutif secara keseluruhan, termasuk dengan Istana," 
kata Gayus. 

Azis juga mempertanyakan parameter survei. TII melakukan perbandingan dengan 
negara lain. Padahal, metode survei yang dilakukan di Indonesia berbeda dengan 
yang dilakukan di negara lain. Penelitian di Indonesia dilakukan dengan 
wawancara tatap muka, sedangkan di negara lain melalui telepon. 

Sampel pun hanya dilakukan di tiga kota, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Bandung, 
dengan total 1.000 responden. 

Agung berharap di masa mendatang TII dapat memperbaiki metodenya. Penelitian 
pun diharapkan disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. 

Todung terima kritik 

Mendapat serangan keberatan itu, Todung Mulya Lubis mengakui kelemahan dari 
hasil survei yang berdasarkan persepsi. Apabila ditanya tentang data-data 
korupsi, TII pun tidak bisa menunjukkannya. Karena itu, dia pun menerima 
berbagai kritikan DPR. 

"Survei semacam ini memang tak bisa memotret secara keseluruhan. Kami siap 
menerima kritik," ucapnya. 

Namun, menurut Todung, persepsi masyarakat itu tidak bisa dihindari. Persepsi 
masyarakat itu terbentuk karena DPR banyak berperilaku koruptif. "DPR memang 
tidak 'basah' dengan uang, tetapi publik menilai cukup banyak politik uang, 
misalnya amplop pembahasan Undang-Undang Aceh. Saat memanggil direksi-direksi 
BUMN juga ada kemungkinan permainan uang," kata Todung. 

Hasir survei TII menunjukkan legislatif, polisi, dan sistem hukum/peradilan 
sebagai lembaga terkorup. Sistem peradilan termasuk di dalamnya adalah 
kejaksaan. 

Dalam persepsi masyarakat, ketiganya dianggap paling korup dengan nilai indeks 
4,2. Peringkat tersebut dibuat dalam skala 1 sampai 5. Skala 1 adalah paling 
bersih, sedangkan skala 5 paling korup. 

Dalam survei ini korupsi didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan secara 
berlebihan yang dilakukan oleh pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan 
pribadi. Keuntungan pribadi yang dimaksud mencakup aspek material atau 
keuntungan lain. (sut) 

Sumber: Kompas - Jumat, 05 Januari 2007 

++

Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Catatan Akhir Tahun 2006 Masyarakat Transparansi Indonesia

2006-12-31 Terurut Topik MTI
Catatan Akhir Tahun 2006 Masyarakat Transparansi Indonesia
http://www.transparansi.or.id/index.php?pilih=lihatberita&id=2653



Jadikan Pemberantasan Korupsi Investasi Bangsa !

 

"Di antara berbagai kemajuan dalam pemberantasan korupsi, 

MTI menyayangkan masih munculnya pertentangan kepentingan antar lembaga 

dan pernyataan para pemimpin bangsa yang dapat merusak optimisme publik.

Pemberantasan korupsi haruslah menjadi investasi bangsa, dimana manfaatnya

akan terasa dalam jangka panjang. Kehati-hatian dalam menjalankan 

program-program pembangunan, tidak selayaknya ditafsirkan sebagai ketakutan, 
melainkan merupakan sikap yang bertanggungjawab sebagai dampak positif dari 

kemajuan upaya pemberantasan korupsi."

 

Di penghujung tahun 2006 kita dapat menyaksikan peringatan Hari Antikorupsi 
se-Dunia yang cukup meriah. Peringatan dilaksanakan di Jakarta dan beberapa 
daerah secara serentak. Berbagai elemen masyarakat ikut terlibat di dalamnya. 
Tidak kurang Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut serta 
mengerahkan massa turun ke jalan untuk memeriahkannya. Berbagai atribut 
antikorupsi turut meramaikan acara dan dibagikan kepada masyarakat. Namun, 
dibalik kemeriahan peringatan tersebut ada plus minus upaya pemberantasan 
korupsi pada tahun 2006 yang patut kita catat; 

 

1.  Capaian positif tahun 2006 dimulai dari daerah. Hingga saat ini sudah 
tercatat sekitar 29 daerah yang telah menerapkan sistem birokrasi yang sesuai 
dengan prinsip-prinsip good governance. Beberapa daerah yang berhasil 
menerapkannya adalah Jembrana, Banten, Sragen, Gorontalo, Mataram, Probolinggo, 
Wandama, Samarinda, Klungkung, dan masih banyak lagi daerah yang mengikuti 
jejak daerah tersebut. Umumnya sektor yang diambil adalah pelayanan publik, 
terutama dalam hal perijinan. Hasilnya, daerah-daerah tersebut mampu menerapkan 
prinsip-prinsip good governance dan membangun kepercayaan serta menarik banyak 
investor  untuk melahirkan dunia usaha yang kompetitif dan sehat. 

 

2.  Capaian lainnya adalah diratifikasinya United Nations Convention 
Against Corruption (UNCAC) dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 yang dapat memperkuat 
dasar hukum pemberantasan korupsi. Capaian lain, muncul wacana dibentuknya 
Komisi Remunerasi Nasional untuk menjawab permasalahan korupsi yang 
diidentifikasi dari rendahnya sistem remunerasi pegawai negeri. Di bidang 
kelembagaan, kelahiran UKP3R yang cukup kontroversial berpotensi mengembalikan 
arah proses reformasi, terutama reformasi birokrasi yang masih jalan di tempat. 
 Di bidang penanganan kasus, ditetapkannya beberapa pejabat dan mantan pejabat 
sebagai tersangka dan terpidana korupsi; mantan pejabat KPU, mantan menteri, 
gubernur, beberapa bupati dan beberapa anggota DPRD.

 

3.  Sayangnya, tahun 2006 juga diramaikan perseteruan antar lembaga penegak 
hukum. KY berseteru dengan MA, KY berseteru dengan MK, MK berseteru dengan KPK, 
MK berseteru dengan DPR, Kejaksaan berseteru dengan Kepolisian. Penyebab 
perseteruan adalah adanya ketidaksepahaman dalam menginterpretasikan UU yang 
mendukung pemberantasan korupsi. Pemicunya adalah dikabulkannya judicial review 
UU yang mendukung pemberantasan korupsi oleh MK. Pemicu lainnya adalah 
munculnya egoisme kelembagaan. Akibatnya, lembaga-lembaga penegak hukum 
kewenangannya semakin lemah yang akhirnya upaya pemberantasan korupsi menjadi 
terhambat. 

 

4.  Perlawanan terhadap pemberantasan korupsi di birokrasi muncul dengan 
adanya keinginan membentuk Instruksi Presiden (Inpres) perlindungan pejabat. 
Draft dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri) ini berisi mekanisme dalam 
penanganan indikasi korupsi di birokrasi. Proses yang rumit dan banyaknya 
tahapan yang harus dilalui untuk sampai pada penegakan hukum akan berpotensi 
menciptakan peluang terjadinya praktek korupsi baru dan melindungi 
pejabat-pejabat korup dari jeratan hukum. Perlindungan terhadap korps politik 
juga dilakukan oleh DPR untuk melindungi anggota DPRD melalui rekomendasi 
politiknya. Hal ini terkait dengan semakin banyaknya anggota DPRD yang menjadi 
tersangka dan terpidana korupsi.

 

5.  Ketika lembaga negara di tingkat pusat sibuk berdebat dan menyusun 
rencana, beberapa provinsi, kabupaten dan Kota telah melakukan tindakan nyata 
dalam menjadikan daerahnya sebagai daerah yang governance. Program-program 
pelayanan satu atap, pengelolaan daerah yang transparan, pendidikan gratis, dan 
pelayanan kesehatan gratis merupakan program-program nyata yang dapat menjadi 
investasi bagi kemakmuran daerah.

 

6.  Good governance di tingkat daerah dapat terlaksana bukan melalui 
peraturan yang bertele-tele dan perencanaan yang sulit, tetapi melalui 
keteladanan dan adanya pemimpin yang berani melakukan terobosan. Untuk dapat 
berlari jauh, kita harus mulai dari satu langkah. Itulah tindakan nyata yang 
dilakukan oleh para gubernur, bupati dan walikota yang berhasil membangun 
daerah dan menyejahterakan rakyatnya. Pimpinan atau pejabat di

[mediacare] "Jangan-Jangan Uang Gue Hasil Korupsi Babe"

2006-12-30 Terurut Topik MTI
"Jangan-Jangan Uang Gue Hasil Korupsi Babe"



Jika hari ini atau besok Anda berjalan-jalan ke Plaza Semanggi atau Cilandak 
Town Square, Jakarta, mungkin akan menemukan counter khusus kedua tempat itu. 
Disebut khusus karena yang disajikan di counter itu adalah pemahaman tentang 
korupsi dan aktivitas Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Dengan ukuran 2 x 3 meter, kehadiran counter milik Komisi Pemberantasan Korupsi 
(KPK) itu memang tak terlalu mencolok. Dari jauh, penanda counter yang berdiri 
dari 29-31 Desember dan dimaksudkan sebagai rangkaian penutup kampanye 
antikorupsi oleh KPK itu hanya papan bertuliskan Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Namun, jika sudah dekat, baru terlihat bedanya. Di dalam bilik pameran 
antikorupsi ini terpajang sejumlah foto kegiatan KPK, permainan kuis, dan 
podium tempat masyarakat memberi kritik dan saran hingga buku saku berjudul 
Pahami Dulu, Baru Lawan! yang dibagi gratis. 

"Baik juga sih idenya. Sebab, dengan begini, gue jadi lebih ngerti apa itu 
korupsi," kata Wawan, pengunjung bilik KPK di Plaza Semanggi, sambil mengamati 
buku korupsi setebal 66 halaman yang baru diterimanya. 

Sementara itu, Mita, pengunjung lain, segera menulis pesan di kertas yang telah 
disediakan, "Setelah dijajah bangsa lain, kemudian dijajah bangsa sendiri. Ha.. 
ha, benar-benar nggak lucu. Mari berantas bersama." Mengapa pesannya begitu? 
"Soalnya korupsi itu ngeri banget dan belum ditangani serius. Padahal bisa 
menghancurkan bangsa," jawab mahasiswa perguruan tinggi swasta di Bandung itu. 

Ditanya bukankah pemerintah sudah membuat sejumlah lembaga pemberantas korupsi 
seperti KPK, Mita menjawab, "Saya belum tahu banyak soal KPK. Namun, meski 
banyak lembaga, sepertinya korupsi jalan terus. Soalnya pemerintah juga sering 
ikut korupsi." 

Antartika, pengunjung lain, tampak lebih tahu apa itu KPK. Dia terlihat senang 
ketika kemarin dapat bertemu Ketua KPK Taufiequrachman Ruki di counter KPK di 
Plaza Semanggi. "Pak, saya lihat KPK sudah bekerja. Namun, mengapa kasus-kasus 
yang ditangani KPK hukumannya ringan-ringan?" tanya Antartika. "Hukuman itu 
wewenang hakim. KPK hanya bertugas dari penyelidikan sampai membawa tersangka 
korupsi ke pengadilan," jawab Ruki. 

Ruki menuturkan, Plaza Semanggi dan Cilandak Town Square dipilih sebagai tempat 
kampanye KPK karena kedua tempat itu padat pengunjung. "Yang datang rata-rata 
kelas menengah ke atas. Jadi, sekalian mengingatkan, jangan-jangan uang gue 
yang dibelanjakan di sini hasil korupsi babe," katanya. 

Korupsi tak cukup ditangani dengan menindak pelakunya, tetapi juga harus 
diiringi dengan memberi pemahaman sekaligus menyosialisasikan budaya 
antikorupsi ke masyarakat. 

Namun, keberadaan bilik KPK yang nyaris tenggelam oleh keramaian mal itu seolah 
menandakan kampanye korupsi di negeri ini juga ditenggelamkan isu lain. (M 
Hernowo) 

Sumber: Kompas - Sabtu, 30 Desember 2006 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/


[mediacare] Pemerintah Tidak Akan Buat Aturan Pengadilan Korupsi

2006-12-22 Terurut Topik MTI
Pemerintah Tidak Akan Buat Aturan Pengadilan Korupsi
"Presiden meminta tidak sembarangan membuat undang-undang." 

JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menegaskan 
pemerintah tidak akan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang 
tentang pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi. "Kami tidak merencanakan 
perpu, itu pasti," ujarnya seusai rapat kabinet di kantor presiden di Jakarta 
kemarin. 

Menurut dia, pemerintah tidak melihat urgensi untuk membuat peraturan 
pemerintah pengganti undang-undang ini, karena masa peralihan yang hanya tiga 
tahun. "Makanya kita harus segera membuat undang-undang tindak pidana korupsi. 
Kalau sampai 3 tahun tidak ada, bisa bubar," ujarnya. Yang pasti, kata Hamid, 
pemerintah akan memprioritaskan pembuatan undang-undang yang ada kaitannya 
dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. 

Selasa lalu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi terhadap 
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 
mengamanatkan agar dalam jangka waktu tiga tahun sejak putusan dibacakan pada 
19 Desember 2006, dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur pengadilan 
khusus korupsi. 

Menurut Mahkamah Konstitusi, pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi yang 
diatur dalam Pasal 53 UU Komisi Pemberantasan Korupsi itu dianggap bertentangan 
dengan Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 24-A ayat 5, serta Pasal 28-D ayat 1 
UUD 1945 karena menunjukkan standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi 
melalui kedua mekanisme pengadilan yang berbeda. 

Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah, termasuk 
Presiden, belum mengambil sikap atas putusan ini. "Presiden meminta saya 
menelaah masalah ini. Saya sudah membaca putusannya kemarin," katanya. 

Yusril menjelaskan UU Komisi Pemberantasan Korupsi lahir sebagai langkah 
sementara untuk mengatasi kesulitan penegakan pemberantasan korupsi dengan 
menggunakan cara-cara yang luar biasa. Selama ini, ujar dia, pemerintah dan 
Mahkamah Konstitusi sama-sama memikirkan landasan hukum dualisme itu. 

Misalnya, kata Yusril, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan 
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara korupsi dengan nilai 
1 miliar lebih 1 rupiah, sementara kejaksaan menangani nilai 1 miliar. Tapi, 
setelah amendemen UUD 45, kata dia, timbul satu persoalan baru di bidang hukum. 

Menurut Yusril, pembatalan Pasal 53 UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru 
berlaku 3 tahun bisa menimbulkan persoalan baru yang tidak pernah terjadi dalam 
praktek hukum di Indonesia, terutama perasaan keadilan seseorang. "Kalau mau 
dibatalkan, ya, dibatalkan saja," ujarnya. 

Menurut Yusril, pemerintah pernah berusaha membatasi kewenangan Mahkamah 
Konstitusi dengan membatasi obyek hanya pada undang-undang setelah amendemen 
UUD 1945. Namun, undang-undang Mahkamah Konstitusi itu dibatalkan sendiri oleh 
mereka. "Jadi dilema, masalah yang tidak berujung," ujarnya. 

Yang jelas, Yusril menolak jika peraturan pemerintah pengganti undang-undang 
dianggap sebagai jalan keluar, meski peraturan itu bisa tidak menjadi obyek 
Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, peraturan pemerintah pengganti undang-undang 
hanya sekadar bentuk hukum. "Yang mau diatur itu apa, itu dulu," katanya. 

Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan Presiden masih mengkaji 
putusan Mahkamah Konstitusi ini. Namun, kata Andi, Presiden meminta tidak 
sembarangan dalam membuat suatu undang-undang. BADRIAH | OKTAMANDJAYA 

Sumber: Koran Tempo - Jumat, 22 Desember 2006 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/



[mediacare] Pengadilan Korupsi Terancam Mati

2006-12-20 Terurut Topik MTI
Pengadilan Korupsi Terancam Mati
Usianya ditentukan tiga tahun lagi. 

JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi memutuskan nasib Pengadilan Tindak Pidana 
Korupsi akan ditentukan tiga tahun lagi. Jika dalam tiga tahun pengadilan itu 
tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, pengadilan khusus korupsi akan 
dinyatakan tidak lagi mempunyai hukum mengikat alias bisa dibubarkan.

"Pasal 53 tentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan 
dengan Pasal 24 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945," ujar Ketua Mahkamah 
Konstitusi Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk 
umum di Mahkamah Konstitusi kemarin.

Kendati pasal 53 itu dinyatakan bertentangan, Mahkamah mengatakan pengadilan 
korupsi masih bisa memutuskan perkara hasil penyidikan KPK dalam tiga tahun ke 
depan. Sebab, kata Jimly, jika pasal tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, 
pemeriksaan KPK dan pengadilan korupsi bisa terhambat karena kehilangan dasar 
hukum. "Proses pemberantasan korupsi bisa kacau dan menimbulkan ketidakpastian 
hukum yang tidak dikehendaki konstitusi," ujarnya.

Permohonan hak uji terhadap Undang-Undang KPK diajukan terpidana kasus korupsi 
Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W. Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, serta 
beberapa anggota KPU lainnya.

Mereka menganggap beberapa pasal dalam Undang-Undang KPK melanggar hak 
konstitusional sebagai warga negara. Mulyana, misalnya, mempersoalkan wewenang 
penyadapan oleh Komisi. Nazaruddin dan anggota KPU lainnya mempersoalkan 
pengadilan korupsi, yang dianggap menjadi bagian dari KPK karena dibentuk 
berdasarkan Undang-Undang KPK.

Mahkamah menilai pasal 53 menimbulkan standar ganda dalam sistem peradilan, 
yakni peradilan umum dan peradilan khusus korupsi. Menurut Mahkamah, pengadilan 
korupsi memiliki kekhususan soal susunan majelis hakim, yakni dua hakim berasal 
dari pengadilan umum dan tiga hakim ad hoc. "Pasal 53 melahirkan dua lembaga 
karena bisa menghasilkan putusan yang berbeda," ujar Maruarar Siahaan, salah 
satu hakim konstitusi.

Putusan itu tidak diambil secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi. H M. 
Laica Marzuki, salah satu hakim, berbeda pendapat soal masa tiga tahun 
keberadaan pengadilan korupsi. Sebab, kata dia, putusan Mahkamah Konstitusi 
bersifat final dan mengikat sejak diucapkan. "Pasal 53, yang bertentangan 
dengan konstitusi, sudah tidak lagi mempunyai hukum mengikat sejak diputus," 
ujarnya.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan 
menghormati putusan ini. "Tidak ada yang menang atau kalah. Di sini soalnya 
adalah menguji undang-undang," katanya seusai sidang.

Tumpak yakin pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera merespons 
pembentukan Undang-Undang Pengadilan Antikorupsi karena mereka punya komitmen 
memberantas korupsi. "Tidak sampai tiga tahun, diharapkan dalam enam bulan atau 
satu tahun sudah selesai," ujarnya.

M. Assegaf, kuasa hukum Nazaruddin, mengatakan Mahkamah melakukan pelanggaran. 
Menurut dia, putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat sejak diucapkan. 
"Hakim Laica sudah tepat," tuturnya.

Mulyana sendiri, melalui pesan pendek yang dikirimkan kepada Tempo, mengatakan, 
meski putusan Mahkamah memperlihatkan "kearifan politik" karena pembatalan 
pasal 53 baru efektif tiga tahun ke depan, isi putusan itu bertentangan karena 
putusan Mahkamah berkekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan. "Jadi janggal 
kasus-kasus korupsi diadili oleh pengadilan yang sudah dinyatakan 
inkonstitusional," ujarnya.

Di tempat terpisah, Ketua DPR Agung Laksono meminta pemimpin Komisi Hukum DPR 
segera mengagendakan pertemuan khusus dengan Mahkamah Konstitusi. Pertemuan itu 
dilakukan untuk menindaklanjuti putusan hak uji tentang keberadaan pengadilan 
korupsi.

Agung menyarankan pertemuan itu juga membahas beberapa putusan Mahkamah yang 
membatalkan atau mengoreksi beberapa produk DPR. "Sehingga ke depan bisa 
ditentukan bagaimana sebaiknya," kata Agung.

Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif mengatakan pembahasan pembuatan Undang-Undang 
Pengadilan Antikorupsi akan menjadi agenda pada masa sidang 2007. SUKMA LOPPIES 
| ERWIN DARIYANTO | IMRON ROSYID

Sumber: Koran Tempo - Rabu, 20 Desember 2006 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Putusan Sidang MK tentang Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD 1945.

2006-12-19 Terurut Topik MTI
Putusan Sidang MK tentang Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap 
UUD 1945.

http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=2615



www.transparansi.or.id - Pada Selasa, 19 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi RI 
mengeluarkan Putusan dengan Nomor Perkara 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang 
Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi terhadap UUD 1945. Putusan MK ini diambil berkaitan dengan pemohon Drs. 
Mulyana Wirakusumah; Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin; Prof. Dr. Ramlan 
Surbakti, M.A.; Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira; Drs. Daan Dimara, M.A.; Dr. 
Chusnul Mar'iyah; Dr. Valina Singka Subekti, M.A.; Safder Yusacc, S.Sos., 
M.Si.; Drs. Hamdani Amin, M.So.

Selengkapnya Putusan MK dengan Nomor Perkara 012-016-019/PUU-IV/2006 klik: 

http://www.transparansi.or.id/database/peraturan/putusan_sidang_Putusan012-016-019PUUIV2006ttgKPKtgl20122006.pdf

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

[mediacare] Buron Kejaksaan Masih Terima Gaji dari DPR

2006-12-19 Terurut Topik MTI
Buron Kejaksaan Masih Terima Gaji dari DPR
Gaji bulanan jadi bekal hidup selama dalam pelarian. 

JAKARTA - Anggota DPR yang menjadi buron Kejaksaan Tinggi Banten dan Kejaksaan 
Agung, Dharmono K. Lawi, masih menerima gaji, uang kehormatan, dan dana 
komunikasi Rp 29 juta setiap bulan dari DPR. Uang itu ditransfer ke rekening 
terpidana 4 tahun 6 bulan penjara itu seperti pembayaran gaji anggota Dewan 
yang lain.

"Selama statusnya masih anggota, otomatis gaji akan ditransfer ke rekeningnya," 
kata Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal di Jakarta kemarin. Pembayaran gaji 
dihentikan jika Fraksi PDI Perjuangan dan kepolisian memintanya serta ada surat 
keputusan presiden bahwa yang bersangkutan sudah berhenti. 

Namun, selama dalam pelarian, terpidana kasus korupsi dana perumahan dan 
penunjang kegiatan DPRD Banten Rp 14 miliar itu tidak lagi menerima uang di 
luar gaji, terutama dana yang membutuhkan tanda tangan untuk mengambilnya, 
seperti uang reses atau kunjungan kerja komisi. 

Faisal mengatakan gaji yang telanjur ditransfer ke rekening bisa diminta 
kembali jika uang itu dibayarkan setelah keputusan presiden keluar. Jumlah dana 
yang harus dikembalikan dihitung berdasarkan tanggal pemberhentian yang tertera 
dalam keputusan presiden. Dharmono menjadi buron sejak April 2006.

Selain menerima gaji, dia bersama terpidana lain dalam kasus ini, Mufrodi 
Muchsin, mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. "Berkas dari 
Pengadilan Negeri Serang kami terima minggu lalu," kata Kepala Seksi Registrasi 
Direktorat Pidana Mahkamah Agung Lauris Souvana. Tapi upaya ini tak bisa 
diproses karena cacat administrasi.

Lauris menyatakan bingung karena seorang buron bisa mengajukan peninjauan 
kembali. Sebab, pemeriksaan permohonan peninjauan kembali di tingkat pengadilan 
negeri biasanya harus dihadiri terdakwa. "Apakah dia hadir dalam sidang di 
Pengadilan Negeri Serang?" 

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Suhaemi meminta Dewan Perwakilan 
Rakyat menghentikan pembayaran gaji Dharmono. Pembayaran gaji dari negara 
kepada seorang dengan status buron, dia menilai, sesuatu yang aneh. Suhaemi 
menduga gaji itu menjadi bekal Dharmono hidup berpindah-pindah sehingga sulit 
ditangkap.

Suhaemi memastikan buron ini kabur bersama keluarganya setelah tim Kejaksaan 
Tinggi Banten mendatangi rumah politikus PDI Perjuangan tersebut di Perumahan 
Karawaci, Tangerang, dan Kalibata, Jakarta. Petugas tidak menemukan siapa pun 
di dua rumah tersebut. aqida swamurti | tito sianipar | faidil akbar

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 19 Desember 2006 

++
 
Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita
 
Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

  1   2   >