CiKEAS Kelalaian yang Menelan Korban
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia. [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Kelalaian yang Menelan Korban Kamis, 18 Juni 2009 | 03:23 WIB Bumi menyediakan banyak kekayaan bagi penghuninya. Akan tetapi, saat manusia lalai, alam juga akan memberikan kembalian yang setimpal pula. Hal inilah yang terjadi saat terjadi ledakan akibat gas metana (CH) yang menewaskan 31 pekerja tambang batu bara di pertambangan tertutup milik rakyat, CV Perdana, Selasa (16/6) sekitar pukul 10.00. Lokasi tambang berada di perbatasan Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, dan Kecamatan Koto Tujuah, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Warga Kabupaten Sijunjung kebanyakan menyebut kawasan itu Bukit Bual, sedangkan warga Sawahlunto menyebutnya Ngalau Cigak. Ny Erna Bakar (43), penjaga warung di CV Perdana, termasuk yang beruntung. Ditemui di RSUD Sawahlunto, Rabu petang, alat bantu pernapasannya baru saja dilepas. ”Sudah agak lega sekarang. Kemarin sesak sekali napas saya. Tapi kepala saya masih pusing,” tutur Ny Erna, satu-satunya perempuan yang menjadi korban ledakan gas metana di pertambangan batu bara rakyat CV Perdana. Sore kemarin Erna sudah bisa duduk. Sejak dilarikan ke RSUD Sawahlunto, ia mendapat tempat tidur dalam satu ruangan dengan tujuh korban ledakan yang selamat. ”Waktu itu sekitar jam 10.00. Saya sedang duduk menjaga warung. Tiba-tiba ada bunyi ledakan sangat keras. Saya terlempar mungkin ada 5 meter,” tutur Erna. Lemparan itu membuat Erna terkapar selama hampir setengah jam dalam keadaan setengah pingsan di lereng bukit yang berseberangan dengan lereng penambangan. Dari empat lubang penambangan di depannya, ia melihat api, kemudian asap hitam tebal. ”Panas sekali,” katanya. Sebagian kecil lengan, perut, dan punggungnya terbakar. ”Saya bersyukur selamat. Tapi, namanya nyawa, mau diambil dimana pun ya bisa saja,” katanya lagi. Erna beruntung terhindar dari malapetaka meskipun ia menghirup banyak gas metana. Gas metana juga membuat Syaiful (19) hingga kemarin belum sadar. Syaiful nekat menembus kabut pekat hitam untuk mencari bapaknya ke dalam lubang meskipun warga sudah menahannya. Tak ayal, Syaiful ditemukan pingsan dalam lubang. Banyak orang mengira ia tewas, ternyata ia hanya pingsan dan masih bisa diselamatkan. Ledakan dalam tambang batu bara rakyat itu membuat sekitar 32 orang tewas terpanggang. Kondisi jasad korban menghitam seperti emas hitam yang mereka tambang. Pemerintah Kota Sawahlunto menyatakan, ada sedikitnya 13 penambang yang mendapat kuasa penambangan di kawasan pertambangan batu bara Sawahlunto. Kawasan itu menjadi magnet bagi ratusan orang untuk mencari makan. Total jumlah pekerjanya sekitar 900 orang, belum termasuk pekerja pendukung, seperti sopir, tenaga bongkar muat, penjaga warung, hingga pemulung batu bara atau orang yang mencari rontokan batu bara dari truk di jalan. ”Pemulung saja bisa mendapat Rp 50.000 per hari,” tutur Wali Kota Sawahlunto Amran Nur. Pertambangan rakyat itu muncul pascareformasi 1998. Masyarakat banyak menguasai tambang bawah tanah bekas tambang PT Bukit Asam yang sudah tidak dieksplorasi lagi karena kecilnya cadangan. Sebelumnya, PT Bukit Asam menguasai kawasan tambang seluas 11.000 hektar di Sawahlunto. Pada tahun 2007 penguasaan lahan hanya 2.950 hektar. Batu bara itu dipasok untuk keberlangsungan PLTU Ombilin yang mempunyai daya 2 x 100 MW. Sawahlunto menjadi terkenal karena batu bara setelah Willem Hendrik de Greve, peneliti batu bara dari Belanda, menyelidiki kemungkinan adanya batu bara di kawasan Sungai Ombilin, Sawahlunto, pada 1868. Penambangan pertama pun dilakukan pada tahun 1880. Sejarah panjang membuat warga Kota Sawahlunto banyak yang tumbuh dari tambang batu bara. Mereka yang tumbuh di kota itu paham tentang batu bara. Mereka juga tahu kalau batu bara makin berkualitas bila kandungan gas metana makin besar. Gas yang tersimpan dalam tambang adalah oksigen, karbon monoksida, hidrogen sulfida, dan metana. Semakin tinggi gas metana dalam pertambangan batu bara, semakin berkualitas kandungan batu bara. Akan tetapi, jika metana dalam udara lebih dari 15 persen, akan terjadi ledakan. Jika kandungan metana dalam udara 1 hingga 5 persen, akan terjadi kebakaran jika ada percikan api. Semua keterangan tentang batu bara itu terekam dalam museum kecil sejarah batu bara di Sawahlunto yang berada di tengah Kota Sawahlunto. Museum diberi nama Info Box Lubang Tambang Mbah Soero. Lubang Tambang Mbah Soero sendiri adalah bekas tambang yang dibangun tahun 1889 yang kini menjadi obyek wisata di
CiKEAS Kekuasaan, Kebangkitan dan Keagungan
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia. [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Kekuasaan, Kebangkitan dan Keagungan Kamis, 28 Mei 2009 Oleh : Gede Prama Sebuah negeri yang berlimpah kekayaan, tetapi miskin keteladanan, demikian seorang guru membisikkan pesan kepada muridnya tentang Indonesia pada pertengahan 2009. Mungkin di sini letak keadilan. Singapura hanya punya sebuah pulau kecil, tetapi karena hanya itu yang dimiliki, mereka merawat dengan cermat. Tidak saja alamnya dirawat baik, perilaku manusianya juga terawat baik. Indonesia punya belasan ribu pulau, tidak ada satu pun yang tertata rapi sebagaimana Singapura. Jangan tanya manusianya. Mungkin itu sebabnya, tetua pada zaman dulu bertanya: kekayaan alam itu berkah atau musibah? Merapikan kekuasaan Dulu, hanya di Timur ada teori kepala naga. Bila kepala bergerak sedikit saja, badan dan ekor bergerak lebih keras lagi. Namun Amerika Serikat dengan George W Bush memberi bukti tambahan. Bagaimana kekacauan di kepala (pemimpin) tidak saja merusak badan dan ekor naga (tatanan dan rakyat), tetapi juga membuat banyak naga di tempat lain menderita. Ini menghadirkan urgensi, bagaimana manusia akan merenda kekuasaan pada masa depan? Sebagaimana diteladankan terang benderang oleh Barack Obama di AS, lebih rapi dan terkendali sedikit saja kepala naganya, maka badan, ekor, dan bahkan naga-naga lain ikut rapi dan terkendali. Dengan demikian, pekerjaan rumah terbesar kemudian adalah dari mana kekuasaan itu berakar? Pemimpin-pemimpin agung (Muhammad Yunus, Nelson Mandela, Dalai Lama, dan Mahatma Gandhi) semua memiliki pohon kepemimpinan yang kokoh karena berakar kuat ke dalam. Mungkin itu sebabnya Thich Nhat Hanh dalam The Art of Power menulis “the true power comes from within.” Bangunan kekuasaan yang kuat sekaligus megah lebih mungkin terbangun bila berakar kuat ke dalam. Sayang beberapa pemilu Indonesia mempertontonkan secara terang kalau kekuasaan hanya tertarik pada hal-hal luar: uang, kursi kekuasaan, pujian orang. Dalam bahasa seorang guru, manusia termiskin adalah mereka yang hanya memiliki uang dan dendam. Bila begini gambarnya, mudah dimaklumi di mana-mana kekuasaan hanya menghadirkan bau tidak sedap yang mengundang antipati. Tidak sedikit jiwa-jiwa yang jernih dan bersih setelah masuk kekuasaan ikut tertular bau tidak sedap itu. Sekaligus membawa konsekuensi lain, ia yang setia pada kebersihan dan kejernihan hati kemudian lari menjauh dari kekuasaan. Seorang sahabat benar ketika mengemukakan, bila semua yang bersih dan jernih menjauh dari kekuasaan, akankah kekuasaan dibiarkan selamanya menyebarkan kerusakan dan kebusukan? Sejarah menyimpan orang-orang bersih dan jernih yang mengubah dunia. Sebutlah George Washington, Winston Churchill, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, sampai HH Dalai Lama. Semua memang orang-orang bersih, jernih yang turun merapikan ulang kekuasaan. Namun, jarang yang mencermati, para pemimpin ini lahir dengan “biaya” amat mahal. Nelson Mandela lebih dari seperempat abad tersiksa di penjara. Mahatma Gandhi sejak muda jadi pengacara sudah dipentungi hingga berdarah-darah. HH Dalai Lama kehilangan negeri yang ia cintai pada belasan tahun, lebih dari setengah abad mengungsi di negeri orang. Pertanyaannya kemudian, punyakah kita pemimpin yang berani menyelamatkan negeri ini dengan ongkos besar berupa cacian, makian, injakan? Tahun pertama dicaci, tahun kedua dimaki, tahun ketiga diinjak pakai kaki, kemudian baru kebangkitan mungkin datang. Tiga cahaya kekuasaan Sengaja atau tidak, kita semua sedang melukis. Melalui ucapan, pikiran, dan perbuatan, kita sedang melukis masa depan. Benar pendapat yang mengatakan, para pendiri negeri ini ketika membuat rancang bangun Indonesia, kemudian menemukan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, tidak saja merenung ratusan tahun ke belakang, tetapi merenung ribuan tahun ke belakang. Mohammad Yamin dan kawan-kawan jauh dari kemungkinan rabun tentang masa depan. Sebaliknya, itu menunjukkan tanda-tanda kemampuan membaca masa depan jauh melebihi zamannya. Bila kemudian generasi berikutnya terlihat kikuk dan ragu di depan perubahan, layak dipertanyakan, apakah kita lebih maju dari pendahulu? Untuk merespon dari tuntutan inilah, kita memerlukan pemimpin dengan konstruksi batin yang kokoh berakar ke dalam. Itu sebabnya, dalam bab “The True Power”, Thich Nhat Hanh menulis lima sumber kekuasaan: faith, diligence, mainfulness, concentration, insight. Keyakinan, itu yang pertama dan utama. Maka, banyak yang meyakini, bila orang biasa rumusnya
CiKEAS Predator Demokrasi
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Predator Demokrasi Jumat, 15 Mei 2009 Oleh : Kurniawan Muhammad Arah koalisi yang tengah dibangun partai-partai saat ini memperjelas siapa saja yang akan bertarung pada pilpres nanti. Konfigurasi politik saat ini relatif baru. Namun, pada saat bersamaan, hal ini dapat diterjemahkan sebagai bantuan sirkulasi the ruling group karena pertarungan pilpres nanti hanya akan menjadi pertarungan elite lama, yang jika meminjam istilah Vedi Hadiz, mereka bisa disebut dengan istilah predator. Mereka adalah petarung lama dengan warisan lama pada era baru. Ajang tarung predator Dengan jelas rantai predator ini bisa kita lihat. SBY, karier politiknya tidak bisa dilepaskan dari perannya di Fraksi ABRI pada era Soeharto. Begitu pula Jusuf Kala, Wiranto, dan Prabowo, warisan Golkar terlalu kental melekat di badan mereka. Megawati, meskipun berupaya hadir sebagai new hero, karier politiknya yang dirintis sejak 1986 sebagai anggota DPR membuat capres dari PDI-P ini masuk kategori ini. Dengan demikian, pilpres nanti hanya akan diramaikan oleh pewaris rezim lama yang seharusnya hilang dari sirkulasi elite 10 tahun lalu. Atas terulangnya fenomena ini, ada dua hal yang perlu disimak. Pertama, era pasca-Soeharto tidak mampu menghasilkan kelompok baru yang kuat. Meski demokrasi liberal saat ini telah menyediakan ruang yang luas bagi siapa pun untuk mengaktualisasikan kepentingannya, jika tidak diiringi munculnya aktor baru yang kuat yang mampu mengambil alih kendali kuasa yang ada, maka ruang kuasa hanya akan dicaplok oleh kelompok predator. Fakta ini adalah konsekuensi logis dari warisan Orba yang secara sistimik memandulkan mereka selama ledih kurang 32 tahun. Akhirnya, mereka minim pengalaman, kapasitas, dan kemampuan. Kedua, kekosogan inilah yang kemudian berhasil dimanfaatkan para elite yang pernah masuk lingkaran rezim lama, yang pasti membawa warisan rezim itu, untuk merebut kembali tali kuasa yang sempat mereka rasakan. Mereka tahu nikmatnya berkuasa. Mereka mapan secara jaringan, pengalaman, dan modal. Dengan bekal yang mereka bawa, kelompok ini akhirnya mengambil alih kembali kontrol kuasa yang ada dengan format dan cara yang baru. Kuasa ekonomi yang mereka miliki sebagai warisan rezim lama akhirnya menjadi faktor determinan dalam iklim politik liberal saat ini. Ditambah dengan basis sistem ekonomi liberal yang minim, akuntabilitas dan transparansi, mempersulit kelompok baru untuk menembus bahkan hanya untuk sekedar menyaingi kelompok predator ini. Kondisi inilah yang menyebabkan sirkulasi elite tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Kelompok baru yang diharapkan lahir dari perputaran ini terpaksa tersingkir karena kebuntuan modal. Dengan demikian, dengan format dan sistem yang baru kini, hanya kelompok predator yang mampu bertahan dan akhirnya berhasil meraih kembali kendali kuasa yang lebih legitimate dan demokratis. Namun sejatinya harus berani kita katakan, kondisi demikian sebenarnya menunjukkan tidak adanya sirkulasi elite baru, yang ada hanya rotasi kuasa dalam kelompok aktor yang sama. Menunggu lima tahun Seharusnya trasisi politik yang sudah dijalani hampir 10 tahun mampu melahirkan the new ruling class. Sebab, itulah salah satu pesan perubahan tahun 1998; adanya pemimpin baru tanpa warisan rezim lama. Pemilu 2009 yang diharapkan mampu menjawab kebuntuan relasi kuasa sudah hampir bisa dipastikan kembali gagal untuk diwujudkan. Lima tahun ke depan adalah harapan terdekat yang bisa diharapkan, sebab tak ada lagi harapan untuk melihat tampilnya sosok pemimpin baru yang benar-benar lahir dari rahim reformasi pada 2009 ini. Kecuali, para predator ini sadar diri bahwa mereka bukan pewaris sah kuasa negeri ini pasca-1998. [Kurniawan Muhammad Graduate Student, Political Science Ritsumeikan University, Jepang - Kompas]. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm SONETA INDONESIA www.soneta.org Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3
CiKEAS Bangsa Pembajak Hak Cipta
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Bangsa Pembajak Hak Cipta Rabu, 6 Mei 2009 | 03:31 WIB Oleh : Kusmayanto Kadiman Berita Indonesia kembali masuk daftar hitam pelanggar hak cipta, sesuai dengan laporan United State Trade Representatives-Priority Watch List (Kompas, 1/5), sungguh merupakan tamparan. Berita itu merupakan tamparan mengingat berbagai ide, konsep, inisiatif, hingga pembuatan undang-undang telah dilakukan. Pada tahun 2006 United State Trade Representatives memasukkan Indonesia ke daftar abu-abu, yaitu Watch List, sebagai apresiasi kesungguhan Indonesia memberantas pembajakan. Bahkan, tahun 2009 dicanangkan sebagai Tahun Indonesia Kreatif dengan semangat Aku 100 Persen Cinta Produk Indonesia. Pasti ada kesalahan mendasar yang kita lakukan. Apa itu? Berita yang memalukan ini bak berita biasa dan nyaris tidak mendapat perhatian, mengingat seluruh masyarakat sedang demam, terpana, bahkan terhipnotis, hiruk-pikuk dagang sapi dan hawa panas konstelasi Pemilu Presiden 2009. Ditambah berita heboh seputar skandal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Belum lagi geliat alam yang senantiasa melakukan penyeimbangan atas kecerobohan dan kerakusan manusia melakukan eksploitasi berlebihan pada kekayaan alam. Bencana alam dan bencana akibat ulah manusia silih berganti mengancam dan menerpa kita. Longsor, banjir, kebakaran bangunan dan lahan, sampai kecelakaan transportasi berkoalisi menjadi ancaman keseharian kita. Sumber penyakit pun seperti tak mau kalah. Demam berdarah, flu burung, dan kini flu babi bak berkoalisi menjadi ancaman massal ketenteraman kita. Masalah ”software” Hak cipta atau sering disebut hak atas kekayaan intelektual (HaKI) adalah produk hukum yang memberikan perlindungan atas karya inovatif dari sang pencipta. HaKI dapat diajukan dalam berbagai wujud, seperti merek dan logo dagang, resep, formula, komposisi, lirik, sampai artefak teknologi. Upaya Indonesia melindungi HaKI atas karya komposer Gesang dengan lagu ”Bengawan Solo” adalah contoh nyata perjuangan menegakkan HaKI yang hasilnya bukan hanya memberikan manfaat positif pada sosioekonomi sang komposer, tetapi juga pada peningkatan citra bangsa. Mari kita fokus pada HaKI yang terkait perlindungan dan penegakan hukum pada karya inovatif bidang peranti lunak dan aplikasi komputer yang lebih populer dengan istilah software. Gempuran ”software” Kesadaran akan peluang sekaligus ancaman globalisasi sudah kita pahami betul. Ide, konsep, strategi, sampai realisasi fortifikasi (”Fortifikasi dalam Globalisasi”, Kompas, 4/3) yang menjadi kiat mitigasi dari tsunami globalisasi juga sudah kita gulirkan. Fortifikasi atas gempuran software impor telah membangunkan ABG (academicians, businessmen, government) untuk kemudian menggelorakan semangat Indonesia Go Open Source! (IGOS) pada awal 2004, yaitu semangat membangun peranti lunak yang memenuhi kebutuhan mendasar bagi pengguna komputer tanpa kekhawatiran melanggar HaKI dan tanpa pemborosan uang untuk membayar lisensi yang harus dibayarkan kepada pemilik yang notabene menjadi dampak negatif atau ancaman globalisasi. Jika copyrights adalah senjata pamungkas kapitalis, juga telah ada perlawanan berupa gerakan copyleft yang digagas para pejuang yang juga berasal dari negara kapitalis, yaitu Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Semangat dan perjuangan IGOS ini serupa dengan copyleft movement. Ada juga gerakan dari Eropa yang melawan, yaitu perjuangan yang diinisiasi dan dimotori penuh determinasi oleh Linus Torvalds dari Finlandia, dengan membangun berbagai peranti lunak untuk mengoperasikan dan memanfaatkan komputer dengan semangat dari kita untuk kita. Free Open Source Software (FOSS) telah menjadi ikon baru sebagai penyeimbang gempuran Proprietary Softwares; meski kata free tidak selamanya berkonotasi gratis. Jargon Linux kini dipandang bukan hanya sebagai sebuah artefak teknologi, tetapi sudah naik ke tataran semangat perjuangan copyleft. Kapitalisme ”software” Kesadaran akan peluang sekaligus ancaman kapitalisme software juga telah menarik perhatian pimpinan negara-negara, bukan hanya yang masuk daftar negara berkembang. Presiden AS Barack Obama dalam gebrakan 100 harinya juga menjadikan Gedung Putih sebagai pilot pengembangan dan penggunaan FOSS. Hal serupa dilakukan Presiden India yang pada 4 Juni 2007 menginstruksikan penerapan FOSS dalam sistem pertahanan demi menciptakan sistem pertahanan nasional yang lebih aman. Ini dilakukan sang presiden yang juga ilmuwan dan ahli
CiKEAS Politisi (Enggan) Berkarya - Isi Koali
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Politisi (Enggan) Berkarya Kamis, 30 April 2009 | 05:08 WIB Oleh : Toto Suparto Aristoteles pernah mengingatkan, aktif dalam berpolitik menjadi baik sejauh tidak diperbudak proses biologis. Padanan ”perbudakan biologis” adalah mazhab Cyrenaik yang menempatkan ”kesenangan tubuh lebih baik daripada kesenangan jiwa”. Lalu, tubuh dimanjakan dengan materi sehingga menimbulkan kesan, urusan perut adalah segalanya. Ketika politisi diperbudak proses biologis, aktivitas politik jadi mata pencarian. Untung rugi dan kepentingan pribadi menjadi tolok ukur. Mereka berpendapat, adalah politisi tolol jika tak mendapat keuntungan duniawi. Celaka jika politisi menempatkan politik sebagai pekerjaan. Filsuf Hannah Arendt mengingatkan, jika politik dianggap pekerjaan, urusan orang banyak akan terabaikan. Kata Arendt, kegiatan politik bukan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam politik, yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas. Kita tak melihat kesenangan biologis sebagai prinsip berpolitik secara benar. Milik filsuf Di mata politisi kita, konsepsi itu hanya milik filsuf. Mereka beranggapan, bukan zamannya politisi tak memikirkan urusan perut. Anggapan yang tak keliru sepanjang bisa menempatkannya secara proporsional. Artinya, urusan rakyat juga diperhatikan. Ada perimbangan saat menikmati fasilitas negara dan seberapa besar kontribusi yang diberikan bagi kesejahteraan rakyat. Tetapi, saat urusan perut menjadi segalanya, kontribusi itu mengecil. Dalam kondisi beginilah kita patut memprihatinkan perilaku politisi itu. Perilaku memprihatinkan kian nyata saat pemilu. Kita dibuat kian yakin bahwa politisi nyaris mengejar kekuasaan demi kenikmatan biologis. Rakyat lalu dibuat bingung atas perilaku politisi. Elite politik memperagakan perilaku ”plintat-plintut”, ésuk dhelé, soré témpé (pagi kedelai, sore berubah menjadi tempe), ungkapan yang menggambarkan inkonsistensi seseorang. Awal pekan dinyatakan koalisi didasari idealisme, akhir pekan dikedepankan pragmatisme. Maka, omong kosong jika koalisi demi kepentingan rakyat. Pragmatisme koalisi adalah keuntungan sesaat, cuma mengalkulasi kekuasaan. Akhirnya, perilaku politisi tak lagi merakyat. Di sini makna merakyat adalah mengembalikan kekuasaan yang diperoleh politisi untuk kepentingan rakyat. Caranya, mereka memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai dengan perannya. Para wakil rakyat selayaknya ingat, mereka meraih kursi legislatif karena suara rakyat. Dari calon anggota legislatif, mereka dipercaya mewakili aneka kepentingan rakyat di DPR. Sesuai dengan konsep filsuf John Locke, memperjuangkan kepentingan rakyat adalah bagaimana menjalankan fungsi legislator sebagaimana mestinya. Menurut Locke, kekuasaan pembuat undang-undang adalah kekuasaan bersama tiap anggota masyarakat yang diberikan kepada orang atau majelis pembuat undang-undang (legislator), yang kemudian diberikan kembali kepada rakyat. Demi kekuasaan, para politisi berseteru secara terbuka, saling serang, seolah rakyat tak pernah ada. Mereka lupa, tiap perseteruan, apalagi jika disertai ancaman, membuat rakyat miris dan khawatir. Padahal, rakyat menginginkan kedamaian, sementara elite politik menjauhkan kedamaian dengan aneka pernyataan. Maka, omong kosong jika segala pernyataan politik demi rakyat; ujung-ujungnya memuluskan jalan kekuasaan mereka. Maka, saat Arendt menyatakan kegiatan politik bukan pekerjaan, para elite politik pasti mencibir, konsep itu cocok di awang-awang, bukan dunia nyata. Semestinya berkarya Meski dianggap cocok di awang-awang, filsafat politik Arendt tetap dijadikan landasan untuk bahan renungan politisi kita. Kata Arendt, politik merupakan wahana untuk berkarya, bukan bekerja. Apa beda kerja dan karya ini? Arendt menyatakan, kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup. Bagai binatang, manusia harus memenuhi kebutuhan dasariah untuk hidup. Atas dasar ini manusia disebut binatang yang bekerja (animal laborans). Penyebutan Arendt ini kian menjelaskan makna kerja baginya, yaitu ”hanya menghasilkan barang yang habis dikonsumsi”. Ia ingin menegaskan, kerja tidak terlalu peduli akan kehadiran orang lain karena perhatian fokus pada proses biologis tubuh manusia. Memang kehadiran orang lain membuat pekerja bisa hidup, tetapi kehadiran itu sendiri bukan ciri khas pluralitas. Apa yang membedakan dengan karya? Arendt menegaskan, karyalah yang membuat manusia berbeda dari binatang
CiKEAS Generasi Penyusu, Generasi Penumpang
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Generasi Penyusu, Generasi Penumpang Rabu, 29 April 2009 | 04:48 WIB Oleh : AHMAD SYAFII MAARIF Salah satu gejala sosiologis politik yang luput dari perhatian publik adalah munculnya generasi penyusu atau generasi penumpang. Apa itu, siapa itu? Tidak lain dari sosok si anak, adik, atau kemenakan yang maju sebagai calon anggota legislatif dengan menyusu atau menumpang pada kewibawaan dan popularitas orangtua atau keluarga dekatnya, sementara dia sendiri secara politik masih belum punya apa-apa untuk ditawarkan kepada bangsa dan negara. Generasi yang ”dipaksa” tampil ini tentu tidak dapat diharapkan agar menjadi politisi dengan mental merdeka dan mandiri untuk bersaing secara wajar dan sehat dengan warga negara yang memang dari awal muncul atas kemampuan dan kekuatan sendiri tanpa bayangan orangtua atau keluarganya. Anda bisa bayangkan akan betapa rapuhnya kultur politik kita pada masa depan jika pemimpin yang tampil adalah para penyusu belaka. Semifeodal Generasi penyusu jika tidak cepat dan sigap melepaskan diri dari pengaruh patronnya sudah dapat dipastikan akan menjadi sasaran bisik-bisik berkepanjangan. Dan itu pasti menyakitkan. Publik yang siuman akan mengatakan bahwa fenomena perpolitikan Indonesia ternyata sampai batas-batas tertentu masih melekat pada kultur dinastik semifeodal, sesuatu yang dulu ingin dilumpuhkan oleh cita-cita pergerakan nasional dan revolusi kemerdekaan. Dalam perkembangan sejarah, unsur-unsur semifeodal itu masih bertahan, justru mendapat perlindungan dari mereka yang mengaku sebagai demokrat dengan kibaran panji-panji egalitarianisme. Demokrasi sejati tidak mungkin tegak secara sehat dalam kepungan sisa-sisa budaya feodalisme dinastik itu. Saya tidak perlu menyebut identitas mereka itu sebab orang yang aktif membaca pergerakan peta politik Indonesia akan dengan mudah memahami ke mana ujung tombak tulisan ini mengarah. Kita punya beberapa contoh terbuka tentang mulai merebaknya kemunculan generasi penumpang ini. Bagi saya, orang tidak perlu terlalu risau dengan gejala ini. Sebab, siapa pun yang muncul ke panggung politik, dalam perjalanan waktu pasti akan dibenturkan pada ujian-ujian sejarah yang adakalanya sangat kejam. Dalam ujian itu nanti akan terlihat mana yang emas mana pula yang tembaga. Generasi penyusu jika tidak awas dalam menyiapkan diri menjadi politisi merdeka, lebih baik siap-siap dari sekarang untuk hanya mengejar posisi tembaga. Biarkanlah warga lain yang dari semula memang tidak bergantung pada patron mana pun, tidak juga pada orangtuanya. Mereka inilah yang diharapkan untuk memimpin Indonesia pada masa depan: generasi merdeka dan mandiri! Budaya pragmatisme Sistem demokrasi yang sehat pasti akan melahirkan masyarakat meritokratik: posisi terhormat hanya diberikan kepada mereka yang memang layak untuk itu dengan sederet persyaratannya. Sebenarnya gerakan reformasi sejak 11 tahun lalu punya slogan yang bagus dalam format anti-KKN. Ironisnya, dalam perjalanan waktu yang belum lama justru telah disiapkan pula generasi penyusu yang menorpedo cita-cita mulia reformasi itu. Dengan demikian, demokrasi Indonesia yang memberikan peluang sama kepada semua warga dalam politik masih harus dihadapkan pada tantangan-tantangan aneh yang sengaja disu- supkan oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatisme politik tunanilai dan tunavisi. Selama beberapa tahun pada era pascaproklamasi, tercatatlah beberapa partai politik yang anti-feodalisme dalam teori dan praktik, tetapi semuanya telah menghilang dengan suratan tangannya masing-masing. Partai-partai itu adalah Masyumi, PKI, Partai Katolik, dan PSI. Adapun keturunan mereka yang telah putus rantai dengan pendahulunya akan menemukan kesulitan besar untuk meneruskan sikap antifeodalisme itu karena dua kemungkinan sebab. Pertama, mereka memang sudah tidak berminat lagi membuka lembaran sejarah pendahulunya. Kedua, budaya pragmatisme telah menutup mata kalbu mereka untuk tidak merasa malu melahirkan generasi penyusu dengan segala akibat buruknya di kemudian hari. ”Sungguh, pada kisah-kisah mereka,” tegas Al Quran, ”terdapat pelajaran moral (’ibrah) bagi mereka yang punya visi tajam.” (Surat Yusuf: 111) Dalam kultur yang serba instan, tentu suara Langit ini tidak banyak lagi yang menghiraukan. [Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah - Kompas] --- Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh !
CiKEAS Membongkar Akar Kemiskinan
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Membongkar Akar Kemiskinan Kamis, 23 April 2009 | 03:14 WIB Oleh : Sjamsoe’oed Sadjad Semua figur politisi dari partai besar maupun kecil menyuarakan keinginan menghilangkan kemiskinan di negeri ini meski belum jelas bagaimana konsepsi dan programnya. Dunia kemiskinan tidak hanya ditemui di desa, tetapi juga di perkotaan. Keduanya terkait erat bila dihubungkan dengan proses urbanisasi yang mengumuhkan perkotaan. Namun, jika ditelusuri akar masalahnya, kemiskinan di desalah menjadi penyebab, sedangkan kemiskinan di perkotaan lebih sebagai akibat. Maka, jika kemiskinan di desa bisa diatasi, kemiskinan di kota dengan sendirinya bisa diperkecil. Atau, jika akar kemiskinan akan dibongkar, harus bertolak dari desa. ”Zoning” kemiskinan Dalam era demokrasi perlombaan antara partai dan figur politisi tentu akan ada yang menang, setengah menang, maupun tidak kebagian menang. Dalam hal ini tidak ada yang kalah. Jika nanti ada yang menjadi pelaksana pemerintahan, pengawas pemerintahan, atau menjadi warga biasa, sebagai politisi semua harus tetap berkiprah menghilangkan kemiskinan. Jika akar kemiskinan ada di desa, apa wujudnya? Selama ini warga desa kita kurang mendapat pendidikan yang mengarah pada menghilangkan kemiskinan. Di suatu wilayah, katakan kabupaten, perlu diciptakan zoning kemiskinan yang dibuat bertingkat. Kriterianya bisa ditentukan atas dasar aktivitas ekonomi warga yang disesuaikan kondisi sumber dayanya, baik sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM). Kondisi zonasi kemiskinan itu menjadi bahan pendidikan yang harus dididikkan kepada masyarakat di desa. Masyarakat desa harus disadarkan tingkat kemiskinannya agar timbul gairah bersama bagaimana menghilangkannya. Dari zoning ini bisa ditentukan juga gambaran desa mana yang mampu menjadi trigger yang menyebabkan zona miskin bisa lebih bergerak ekonominya. Mungkin dengan perbaikan infrastruktur, pemberian modal, atau pelatihan untuk keahlian tertentu. Semua berkat dorongan trigger itu. Desa lebih hidup karena akar kemiskinan dikuasai. Pendidikan masyarakat yang mengarah pembongkaran akar kemiskinan akan bergerak lebih produktif lagi jika diisi pendidikan yang intensif dalam pembentukan modal usaha melalui pembangunan kelembagaan perbankan di pedesaan dan kiprahnya kalangan swasta yang sudah mapan serta thing tank dari perguruan tinggi. Kemiskinan relatif Proses rasionalisasi usaha perekonomian desa perlu menjadi pusat pemikiran para politisi yang kini sedang berlomba mendapat kedudukan politik di kelembagaan eksekutif maupun legislatif. Semua harus bisa menciptakan kemauan politik yang jelas terkait cara membongkar akar kemiskinan negeri ini. Diyakini, sebagian besar bentuk kemiskinan yang dihadapi tergolong kemiskinan relatif, bukan kemiskinan absolut. Karena itu, dengan pendidikan masyarakat yang solid, yang terprogram secara territorial specific oleh para pemangku otonomi daerah, diyakini kemiskinan bisa teratasi, dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Semua bisa diwujudkan jika timbul kesadaran politik dalam membongkar akar kemiskinan di pedesaan. Amat diharapkan, kalangan perbankan menjadi pelopor dalam menghadapi akar kemiskinan, jangan hanya di-counter dengan pernyataan bahwa dulu sudah ada upaya perbankan ”khusus”, tetapi mengapa berubah menjadi bank umum. Bank pertanian pun dinyatakan maju-mundur dalam rencana pembentukannya. Konon, ada perundangan yang melarang berdirinya bank khusus. Jika benar, mungkin perlu ada revisi. Dalam kondisi politik masa depan, diharapkan hasil pemilu kali ini bisa membuahkan suasana berbeda untuk menghadapi kemiskinan bangsa. Dan, desa menjadi isu dominan, sedangkan penggerak utamanya ialah permodalan usaha yang dikelola mekanisme perbankan di desa. Pendidikan Bagaimana rasionalisasi pertanian dan masyarakat pedesaan diwujudkan. Salah satunya pendidikan dengan menanamkan mentalitas industrial yang setiap langkah usahanya mengejar nilai tambah. Jika semula hanya bisa menghasilkan produksi bahan baku, dengan industrialisasi di pedesaan diupayakan bisa diproduksi menjadi komoditas primer, sekunder, tersier, sampai kuarter, baru masuk pasar. Semua itu adalah proses pendidikan masyarakat yang akarnya ada di permodalan. Fokusnya tentu pada mekanisme perbankan. Terkait dengan pembangunan pedesaan berupa usaha mikro, kecil, dan menengah yang pada prinsipnya harus bisa dikreasi, diciptakan, dan diselenggarakan di pedesaan, termasuk model perbankan, oleh masyarakat
CiKEAS Kunci Masa Depan -Menanam Keikhlasan -Rakyat..
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. DISKUSI PANEL Kependudukan, Kunci Masa Depan Kamis, 16 April 2009 | 02:46 WIB Oleh : MARIA HARTININGSIH Demokrasi politik melalui pemilihan langsung menghasilkan pelaku-pelaku baru di bidang pengambilan keputusan yang berorientasi jangka pendek. Kebanyakan dari mereka tak paham arti ”kebijakan publik”, terutama masalah kesejahteraan yang terkait dengan human capital investment melalui Program Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) yang berperspektif jangka panjang. Karena orientasinya lima tahunan, para pemimpin berlomba-lomba mengklaim ”hasil karya”-nya agar dapat terpilih lagi. Kerja yang lebih banyak didasari kepentingan politik itu tak mampu (dan tak mau) melihat jauh ke depan, khususnya yang terkait dengan kualitas penduduk, sandaran masa depan bangsa. Tidak jauh berbeda dari masa lalu, saat ini pun pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai mantra yang dapat mengatasi semua persoalan. Segala cara dilakukan untuk menggenjot ”pertumbuhan”, termasuk di antaranya pengaplingan dan eksploitasi sumber daya alam dengan pemberian izin kepada perusahaan- perusahaan transnasional maupun korporasi nasional, ekspor manusia (sebagian besar dengan tingkat pendidikan rendah) sebagai buruh di luar negeri, dan utang. Banyak kebijakan lebih didasari kepentingan pihak yang kuat meski kerap mengatasnamakan ”kesejahteraan rakyat”. Adapun rakyat yang semakin kehilangan akses pada sumber daya lokal dengan mudah dijadikan obyek yang mudah dipecah belah. Seluruh kerja dan upaya dengan perspektif panjang bukanlah wilayah yang ”menggiurkan” dalam politik kekuasaan karena hasilnya tak dapat ditengarai dalam waktu singkat. Hanya negarawan yang akan mengambil risiko itu. Pembelajaran Jejak sejarah memberikan gambaran yang seharusnya memberikan pembelajaran. Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive (2005) menyebutkan, penyebab kehancuran suatu bangsa pada masa lalu adalah musnahnya manusia karena degradasi lingkungan dan sumber daya alam yang parah, penyakit, perang antarnegara, maupun konflik karena elite politik terus-menerus berebut kekuasaan. Proses itu terus berlanjut. Afrika adalah ”the lost continent” karena konflik dan perebutan kekuasaan yang terus-menerus, kehancuran lingkungan, dan meruyaknya infeksi menular, khususnya tuberkulosis (TB), malaria, dan HIV/AIDS. Kolaps pada zaman ini juga disebabkan ledakan pertumbuhan penduduk yang dibarengi rendahnya kualitas dan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, pengangguran dengan segala dampaknya, serta kehancuran lingkungan dan sumber daya alam dalam arti luas. Faktor lain terkait dengan bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, penyakit akibat gaya hidup maupun kerusakan lingkungan, apalagi kalau ditambah ketegangan terus-menerus antarelite politik yang memicu konflik horizontal maupun vertikal. Ujung dari semuanya sama: kehancuran. Semua persoalan itu terkait dengan masalah kependudukan sekaligus tercakup dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Sejarah menunjukkan, gagal atau berhasilnya suatu bangsa melewati masa-masa kritisnya dan terus maju tergantung dari bagaimana bangsa itu menghadapi masalah-masalah kependudukan, yang semuanya bermuara pada human capital investment. Berjalan mundur Kependudukan adalah persoalan rumit yang tak bisa lagi direduksi sebagai Program KB pada masa lalu, yang bersifat sentralistik dan koersif karena mereduksi seluruh pengalaman manusia sebagai angka. Namun, aspek kuantitas pun mengalami kemunduran pada Orde ”Reformasi” ini. Indikatornya banyak. Selain penurunan tingkat fertilitas (TFR) yang mandek, penurunan angka kematian bayi dan balita (IMR) serta angka kematian ibu melahirkan (MMR) juga lambat, angka kurang gizi balita tetap tinggi, kinerja akademik anak tidak optimal, meningkatnya penyakit-penyakit yang menggerogoti produktivitas, seperti TB, malaria, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit-penyakit oportunistik akibat virus HIV/AIDS, diare, anemia, dan lain-lain. Kemunduran juga dipicu perubahan sosial, terkait dengan ideologi. Pandangan ekstrem telah memasuki kelompok intelektual dan menengah dan dalam sistem politik. Bahkan, ada partai politik anti-KB. Pandangan pronatalis menguat pada era otonomi daerah, seiring dengan menguatnya identitas karena besarnya dana alokasi umum tergantung besarnya jumlah penduduk. Jawaban terhadap semua tantangan itu menentukan apakah ”jendela peluang” dalam
CiKEAS Roh dan Substansi Perubahan - Masih ada..
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Roh dan Substansi Perubahan Rabu, 15 April 2009 | 03:27 WIB Oleh : Herry Tjahjono Manajemen perubahan secara sederhana – sesungguhnya mencakup dua dimensi: substanssial dan instrumental. Namun, mayoritas praktik manajemen perubahan di berbagai organisasi di negeri ini lebih mengedepankan dimensi instrumental. Kasus-kasus alih generasi atau suksesi kepemimpinan di berbagai perusahaan lebih suka bicara soal transisi dan aspek teknis-taktis perubahan, seperti bagaimana meningkatkan revenue, profit, atau aspek keuangan lainnya, target kerja dan produktifitas, membesarkan organisasi dan sejenisnya. Karena itu, dari sudut perilaku organisasi, yang terjadi adalah sekedar transisi organisasional – dari pundak generasi awal ke pundak generasi berikutnya. Demikian pula yang terjadi dalam berbagai perusahaan BUMN. Pergantian kepemimpinan, baik bersifat procedural maupun politis, lebih terkait dengan dimensi instrumental manajeman perubahan, bersifat aspek teknis-taktis. Itu juga sekedar proses transisi dari satu pemimpin lama ke pemimpin baru. Eksesnya, muncul sindroma “ganti pemimpin ganti kebijakan” – karena fokus pemimpin baru hanya “bagaimana” punya kinerja teknis: meningkatkan keuntungan, mengurangi utang, produktivitas, dan seterusnya. Karena haya mengedepankan dimensi instrumental, hanya satu sisi mata uang, praktik manajemen perubahan di berbagai organisasi tersebut bersifat tidak mendasar dan sering going nowhere, mudah goyah dan banyak yang gagal sama sekali. Tawaran Perubahan SBY Sekarang kita lihat “organisasi Indonesia” yang baru usai menggelar pemilu legislatif. Kemenangan Partai Demokrat tak jauh dari dinamika ini. Semuanya tergambarkan sejak awal masa kampanye. Mari kita bernostalgia lebih dulu, saat kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dalam pemilu 2004 karena ia menawarkan sebuah (manajemen) perubahan bagi republik (organisasi) Indonesia. Kini, baik implisit maupun eksplisit, kampanye Pemilu 2009 juga dipenuhi oleh obsesi para pemimpin partai tentang isu (manajemen) perubahan dan nyaris semuanya (baik yang langsung maupun tidak) meng-counter semua (manajemen) perubahan yang telah dijalankan SBY selama ini. Celakanya, hampir semua kopmpetitor SBY dan partai-partai pesaing Partai Demokrat menyerang (manajemen) perubahan SBY dari dimensi instrumental saja. Ingat, selama berkuasa – terlepas dari berbagai kekurangannya – SBY telah menjalankan (manajemen) perubahan dengan dimensi instrumental. Meminjam konsep Rhenald Kasali, seorang pemimpin menjalankan perubahan itu dengan melewati tahapan “melihat, bergerak, dan menyelesaikan”. Dalam kampanye Pemilu 2004, SBY telah “melihat” adanya kebutuhan dan perlunya isu perubahan. Lalu, selama memerintah, SBY telah “bergerak” (melaksanakannya). Dan, dalam kampanye Pemilu 2009, SBY tinggal melakukan tahapan akhir: “menyelesaikan”. Itu sebabnya dengan mantap ia mengusung slogan “Lanjutkan”. Maka, semua pemimpin partai yang menyerang SBY lewat (manajemen) perubahan dimensi instrumental ibarat menggarami lautan. Tak mempan, rakyat bergumam, “ah, sesungguhnya semua cuma bicara yang itu-itu juga. Kalau Cuma begitu, mending kita lihat bagaimana SBY “menyelesaikannya” (me-lanjut-kannya)”. Contoh paling transparan soal aspek teknis-takstis dimensi instrumental adalah PDI-P yang awalnya menyerang habis soal BLT (meski belakangan mengaku bahwa merekalah yang memuluskannya dan ikut mengawasi distribusi BLT di lapangan). BLT, sekali lagi, sekedar aspek teknis-taktis, tangible. Bicara soal berbagai “angka dan bilangan” terkait kemiskinan, pengangguran, pertanian, dan bahan pokok murah dan seterusnya, semuanya soal dimensi instrumental. Padahal, untuk soal ini SBY tinggal tahap “menyelesaikan”! Dimensi Substansial Seandainya saja para pemimpin partai lebih jeli melakukan kampanye dengan counter (manajemen) perubahan dari dimensi substansial, persoalan mungkin akan lain. Dimensi substansial menyangkut cultural-strategis, (relative) intangible tetapi sangat mendasar, ada unsure tranformasi organisasional (bukan sekedar transisi). Manajemen perubahan dimensi substasial inilah yang jarang disentuh oleh para pemimpin perusahaan dan organisasi, termasuk para pemimpin partai politik yang berlaga. Aspek kultural-strategis terkait dengan nilai-nilai (dasar) bangsa. Ini jauh lebih besar dari “sekedar” soal teknis. Contohnya soal “martabat bangsa” yang terkoyak-koyak akibat pelecehan dan dehumanisasi atas sekian banyak anak
CiKEAS PEMILU : Aman, lancar dan damai
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. PEMILU : Aman, lancar dan damai Kerja keras serentak pekerjaan KPU oleh Panitia Pemilu Setempat (PPS) di seluruh Indonesia tanggal pada hari Kamis, 9 April 2009 patut mendapat acungan jempol. Luar biasa sukses! Namun ketidaksempurnaan dan ketidak cermatan KPU menginventaris DPT pun sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan pemilu itu sendiri. Saat ini masyarakat semakin paham mana yang urgent dan penting dan mana yang tidak perlu. Dan kejadian ini tidak boleh terulang di Pilpres Juli 2009 mendatang. Saya melihat para pelaksana pemilu di TPS 2 di sekitar tempat tinggal kita sangat tekun melaksanakan tugasnya, dengan penuh semangat menuntaskan tugas rumitnya perhitungan dan prosedural laporan pelaksanaan di TPS, sehingga harus di selesaikan hingga larut malam bahkan di banyak tempat selesai hingga dini hari [sedangkan hasil data instant pun sudah beterbangan kemana2 sejak sore hari]. Ada beberapa TPS yang pintar saat menunggu masyarakat giliran mencontreng sudah/langsung melaksanakan/mencicil pekerjaan sehingga laporan bisa selesai lebih cepat dari TPS lain, karena apabila mengikuti prosedur yang ditetapkan KPU maka cenderung selesai larut malam bahkan hingga dini hari. Itulah bagian wujud dharma rakyat kepada bangsanya. Lancar tenang dan damai Prediksi pemilu berjalan ramai dan tegang ternyata justru berjalan aman, tenang dan damai. Memang ada banyak peristiwa yang mengemuka, diantaranya; tidak tercantumnya banyak pemilih di DPT domisili mereka tinggal, bahkan istri pak RT juga ada yang menjadi korban ‘DPT error’. Kita tidak tahu apakah hal tersebut disengaja atau kelalaian manusiawi [human error], hal ini menjadi penting menjadi perhatian pihak terkait; KPU dan pemerintah. Pemilu kali ini rupanya sudah berganti wajah, dan sifatnya, walaupun tidak mengubah maksud, tujuan dan esensinya. Masyarakat semakin tambah mengerti, tambah pintar dan tambah sadar apa dan bagaimana sebenarnya pemilu itu dilaksanakan. Sikap masyarakat semakin dewasa, elegan dan tahu mana yang penting dan perlu, sehingga lebih bermartabat. Contohnya, ketika kampanye saya tidak lagi menemui pengendara sepeda motor/mobil peserta kampanye yang melepas knalpotnya [di Jl. Protokol Jakarta] dan menarik keras2 gasnya untuk menarik perhatian massa, ini berbeda sekali dengan beberapa kampaye pemilu terdahulu. Para pengendara dijalanan pun relatif sopan tidak ugal2an dengan ngebut atau berbonceng lebih dari tiga orang. Mungkin mereka sekarang massa sudah menyadarinya sehingga ada rasa malu yang kuat untuk melakukan hal-hal yang tidak perlu dan tidak penting..! Kemajuan dan perkembangan kesadaran berpolitik tersebut bisa dilihat diantaranya: Pertama, kampanyepun lebih terkonsentrasi di lapangan2 terbuka dan bukan di jalanan. Kedua, masyarakatpun sudah bisa menerima perbedaan satu sama lain tanpa menjadi masalah. Ketiga, berbeda dengan pemilu yang lalu, apabila sudah pernah bawa bendera salah satu partai maka rasanya tidak bisa/mau kenal dengan yang lainnya. Jadi masih ada rasa fanatisme sempit yang tidak perlu dan tidak penting. Keempat, sekarang masyarakat lebih terbuka pengertiannya, sehingga bisa menerima perbedaan pendapat, maka ketika pagi menerima atribut dari partai yang satu maka siang pun sudah bisa menerima kaos atau atribut dari partai yang lain dan sore pun tidak menolak untuk menerima dari yang lain lagi dengan tersenyum ramah. Semua ini menandakan keterbukaan dan toleransi masyarakatpun semakin baik. Kelima, perbedaan partai bukan lagi menjadi kendala untuk tetap menjalin hubungan dengan pihak lain. Keenam, sekarang tidak ada lagi istilah; fanatisme pokoke….. ikut partai A. Ketujuh, kepemimpinan nasional Indonesia juga sudah terbukti bisa menerima pemimpin siapa saja, laki-laki, perempuan dari manapun ia dilahirkan dan berasal. Kedelapan, masyarakat selalu saja berharap ada perubahan, perbaikan dan kesejahteraan dari partai yang dipilihnya, sehingga apabila tidak terbukti, ya selanjutnya di pemilu berikutnya akan segera pindah ke lain hati, lihat saja perolehan partai2 yang berlaga kali ini. Jadi rupanya secara perilaku sosial dan politik masyarakat Indonesia memang sudah cepat belajar, sudah berubah, lebih baik, lebih manusiawi dan lebih bermartabat. Jangan berharap bisa mengadu domba antar kelompok/individu lagi, kecuali anda sendiri memang domba. Ya silahkan saja.. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko SONETA INDONESIA www.soneta.org Retno Kintoko
CiKEAS Dosa Besar Pemilu 2009 Menebus Dosa..
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. ANALISIS POLITIK Dosa Besar Pemilu 2009 Selasa, 14 April 2009 | 03:27 WIB Oleh EEP SAEFULLOH FATAH Saya tak tahu jumlah mereka. Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka. Mereka terabaikan. Di tengah sukacita para calon pemenang dan kesibukan partai-partai menyusun koalisi menuju pemilu presiden, Juli mendatang, tempat mereka makin tergeser dari berita pokok media massa. Empat salah kaprah Pencederaan hak-hak para pemilih itu adalah dosa besar Pemilu 2009 yang tak sekadar layak diratapi. Celakanya, sejumlah salah kaprah kita temukan dalam perbincangan tentang kisruh DPT. Pertama, kisruh DPT lebih banyak dipahami sebagai bencana administrasi. Ini jelas salah besar! Kisruh ini bukanlah bencana administrasi, melainkan pelecehan atas hak politik rakyat! Mereka yang memahaminya sebagai sekadar perkara administratif tak paham bahwa bagian terpenting dalam setiap pemilu demokratis adalah terpenuhinya hak-hak politik para pemilih. Tanpa ini, pemilu cedera berat. Adalah salah besar menjadikan hal ihwal administratif (tak tercatat dalam DPT) sebagai alasan untuk membunuh hak pilih seseorang. Semestinya administrasi harus tunduk, tersubordinasi, dibuat lentur, menyesuaikan diri untuk memenuhi hak-hak pemilih. Setiap orang yang punya bukti sah kependudukan semestinya beroleh kesempatan menunaikan hak pilihnya. Kedua, kisruh DPT dipahami sebagai muasal persoalan. Sejatinya, kisruh ini adalah konsekuensi logis dari kekacauan administrasi kependudukan kita. Itu bukanlah sebab, melainkan akibat. Tak satu pun dari empat presiden pada era reformasi yang berhasil menata administrasi kependudukan secara layak. Alhasil, tiga pemilu legislatif (1999, 2004, 2009), satu pemilu presiden (2004), dan lebih dari 450 pemilihan kepala daerah selama satu dasawarsa terakhir dicederai rendahnya kredibilitas data pemilih. Dicederainya hak pilih ratusan ribu — bahkan jutaan — calon pemilih dalam pemilu pada 9 April lalu adalah puncak dari kisruh permanen berulang-ulang itu. Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju. Ketiga, kisruh DPT dipahami sebagai buah kekeliruan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja KPU punya andil memfasilitasi tak terkelolanya kisruh itu. Namun, KPU bukan biang keladi sendirian. Menteri Dalam Negeri (yang membawahkan otoritas pendataan dan administrasi kependudukan) dan Presiden (sebagai penanggung jawab tertinggi pengelolaan administrasi pemerintahan) adalah pihak-pihak yang selayaknya ikut bertanggung jawab. Maka, saya sungguh menyesalkan bahwa sampai dengan saat ini belum terdengar sepotong pun permohonan maaf dari KPU, Mendagri, maupun Presiden kepada setiap orang yang hak-hak politiknya dilucuti. KPU terkesan lebih senang membela diri, Mendagri alpa bahwa ia ikut bertanggung jawab, dan Presiden lebih sibuk menyiapkan jalan terlapang menuju termin kedua pemerintahannya. Keempat, banyak partai politik berasumsi bahwa kisruh DPT menyebabkan mereka kalah. Padahal, sungguh sulit mengaitkan serta-merta kisruh itu dengan perolehan suara setiap partai. Tak ada satu teori pun yang bisa membuktikan bahwa kisruh ini menguntungkan secara konsisten partai tertentu dan merugikan partai yang lain. Kisruh ini pun akhirnya hanya sekadar topeng pemanis untuk menyembunyikan ketidaksiapan sebagian partai untuk kalah. Dua perkembangan Dari balik kisruh DPT, mencuat dua kemungkinan perkembangan: perlawanan warga negara atau kemarahan partai-partai. Para calon pemilih yang hak politiknya dicederai punya alasan kuat untuk melakukan aksi kolektif menuntut pertanggungjawaban para pejabat publik terkait. Mereka berhak memperkarakan pelecehan hak-hak politik mereka melalui jalur hukum secara elegan, tanpa kekerasan, dengan melintasi sekat partai atau pilihan politik. Demokrasi harus memberikan jalan lapang bagi perlawanan semacam ini. Tetapi, kita layak
CiKEAS Pemilu : Masih banyak yang harus dilakukan
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. ANALISIS POLITIK Pemilu : Masih banyak yang harus dilakukan Akhirnya yang ditunggu dan dinantikan datang juga. Sehari lagi kita akan melakukan penyontrengan di TPS domisili kita terdekat. Semua fasiltas sudah dipersiapkan oleh KPU dan pemerintah. Masyarakat tinggal menggunakan fasilitas tersebut dan meyalurkan haknya untuk memilih dan menyuarakan pilihannya. Para aktivis partai, caleg, dpd, fungsionaris pemerintah dan aparat keamanan semuanya tentunya tertuju pada bagaimana pelaksanaan pemilu kali ini dapat berjalan tenang, damai, lancar dan sukses. Masyarakat, aktivis demokrasi dan hak azazi manusia dan para personil partai pun bergandeng tangan erat2 mengawal jalannya pengumpulan dan perhitungan suara. Tindakan tak terpuji yang berlawanan dengan aturan main dan ilegal, hanya akan memperburuk citra dan nilai diri para pelaku, partai, maupun organisasi yang membinanya. Sehingga tidak perlu hal itu terjadi. Marilah kita pilih yang terbaik diantara yang baik, karena semua sudah menunjukkan prestasi dan kebaikannya kepada masyarakat, untuk membangun bangsa Indonesia saat ini dan ke depan. Semoga pemilu kali ini dapat berjalan tenang, tertib, aman, lancar dan sukses! Karena masih banyak hal yang harus kita lakukan… Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm Sedikit catatan: Menjelang pemilu kita banyak belajar dengan keras bahkan hingga berduka nestapa oleh peristiwa yang mendera, diantaranya; oleh gelombang krisis moneter global bagi para pengusaha, investor dan karyawan, banjir dan longsor di beberapa kawasan produktif beras di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tragedi Situ Gintung pun turut membuat duka nestapa ratusan jiwa dan keluarga, dan terakhir tragedi jatuhnya pesawat latih Foker 27 yang menelan korban 17 orang pasukan Paskhas AU dan 7 orang TNI AU. Sudah berhati-hati dan tanpa disengaja pun banyak menelan korban. Jadi memang banyak hal yang harus di benahi dan lakukan untuk menghadapi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan. Sehingga saling menjaga, saling menghormati dan menghargai diantara lembaga dan komponen bangsa menjadi wujud semangat, cerminan keluhuran budi dan teladan bagi generasi Indonesia di masa depan! Selamat jalan para pahlawan kemanusiaan dan pahlawan kehidupan. Selamat PEMILU, Kamis, 9 April 2009 Selamat Hari Raya PASKAH 2009, Minggu, 12 April 2009 Kiranya TUHAN Yang Maha Kuasa, senantiasa menyinari dengan wajahNya, Melimpahi berkat kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan kepada para pemimpinnya diberikan kemuliaan derajat, kehormatan dan kebijaksanaan agar pantas dan mampu membawa kebaikan dan kemajuan masyarakat Indonesia saat ini dan ke depan. Amien! Best Regards, Retno Kintoko WDNCenter WDNCenter_RH Moderator The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm SONETA INDONESIA www.soneta.org Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3
CiKEAS TUHAN BERPERANG GANTI KITA (2) Happy Easter!
== THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDNC] [ Seri : Membangun Spiritual Keluarga Indonesia ] == [SQ] Renungan Harian “Air Hidup” Rabu, 8 April 2009 Baca: 2 Tawarikh 20:20-30 TUHAN BERPERANG GANTI KITA (2) “Ketika mereka mulai bersorak-sorai dan menyanyikan nyanyian pujian, dibuat Tuhanlah penghadangan terhadap bani Amon dan Moab, dan orang-orang dari pegunungan Seir, yang hendak menyerang Yehuda, sehingga mereka terpukul kalah.” 2 Tawarikh 20:22 Tindakan raja Yosafat tidak hanya sampai di situ, “Ia menyerukan kepada seluruh Yehuda supaya berpuasa.” (2 Tawarikh 20:3b). Yosafat meminta seluruh rakyatnya ikut berpuasa, bukan hanya tentaranya, karena keamanan dan keselamatan bangsa merupakan tanggung jawab bersarna tanpa kecuali. Seluruh rakyat diharuskan berpuasa menyatakan pertobatannya kepada Tuhan. Yosafat menyadari, Tuhanlah yang membuat segala sesuatu berhasil. Tanpa pertolongan dan campur tangan-Nya bangsa Israel tidak dapat bertahan menghadapi ancaman musuh. Alkitab mencatat, “...Tuhan mengokohkan kerajaan yang ada di bawah kekuasaannya. Seluruh Yehuda memberikan persembahan kepada Yosafat, sehingga ia menjadi kaya dan sangat terhormat.” (2 Tawarikh 17:5). Oleh karena itu bersama seluruh rakyatnya ia merendahkan diri di hadapan Tuhan. Mereka bersehati berdoa rnemohon belas kasihan Tuhan, “Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tetapi mata kami tertuju kepada-Mu.” (2 Tawarikh 20: 12c). Yosafat tidak bertanya strategi apa untuk melawan musuh, dia sepenuhnya mempercayakan perkara ini kepada Tuhan. Doa mereka didengar Tuhan. Seketika itu juga Tuhan menjawab dan memberitahukan apa yang harus mereka lakukan: “… kamu takut dan terkejut karena laskar yang besar ini, sebab bukan kamu yang akan berperang melainkan Allah. Dalam peperangan ini tidak usah kamu bertempur. Hai Yehuda dan Yerusalem, tinggallah berdiri di tempatmu, dan lihatlah bagaimana Tuhan memberikan kemenangan kepadamu.” (2 Tawarikh 20:15,17). Kemudian Yosafat mengumpulkan dan mengangkat orang-orang yang akan menyanyikan nyanyian bagi Tuhan, ditempatkannyalah mereka di depan pasukan bersenjata. Jadi bangsa Israel turun ke medan perang bersenjatakan nyanyian syukur dan puji-pujian kepada Tuhan. Suatu peristiwa yang unik! Hanya dengan mencari Tuhan, berpuasa, berdoa bersama dan menaikkan pujian pengagungan kepada Tuhan, musuh dapat dikalahkan! Apa pun masalah kita, segera datang pada-Nya, Ia pasti bertindak menolong kita! The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm Mengucapkan Selamat, 1. Melaksanakan penyontrengan di TPS domisili terdekat dan pergunakan hak pilih dengan baik dan benar sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam pembangunan demokrasi dan pemerintahan Indonesia untuk masa bhakti 5 tahun ke depan. 2. Menjalankan dan merayakan ibadah, kebaktian raya, misa raya; Kamis putih, Jumat Agung dan Hari Raya Paskah, Minggu, 12 April 2009. Semoga semua peristiwa yang kita telah lalui, akan memberi nilai, makna yang sangat berarti dan memberikan spirit, semangat di dalam kehidupan kita berkeluarga, bergereja, bermasyarakat dan berbangsa Indonesia, saat ini dan ke depan. Selamat PASKAH 2009. TUHAN Memberkati kita semua. Amien! Teriring Salam dan doa, Retno Kintoko WDNCenter WDNCenter_RH Moderator SONETA INDONESIA www.soneta.org Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3
CiKEAS Pemilu dan Janji Perubahan
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. ANALISIS EKONOMI Pemilu dan Janji Perubahan Senin, 6 April 2009 | 02:56 WIB Oleh : FAISAL BASRI Perubahan adalah kata yang paling banyak diusung selama masa kampanye Pemilihan Umum 2009 ini. Memang, pemilu merupakan sarana untuk melakukan pembaruan kontrak politik, menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Partai yang sedang berkuasa mengklaim keberhasilan yang telah dicapai dan berjanji akan lebih baik lagi kalau kembali berkuasa. Sejumlah partai, terutama partai-partai baru, menawarkan perubahan mendasar, pembalikan haluan ekonomi, dan perombakan strategi pembangunan. Seberapa menjanjikan perubahan itu? DPR mendatang akan sangat berbeda. Jumlah partai di DPR akan menciut, diperkirakan tak akan lebih dari 10 partai, sebagai konsekuensi penerapan parliamentary threshold 2,5 persen. Ketentuan peraih suara terbanyak, bukan nomor urut calon anggota legislatif, yang berhak melenggang ke Senayan, membuat sebagian besar anggota DPR yang ada sekarang akan tergusur. Muka-muka baru yang akan muncul adalah politisi yang sudah teruji paling dekat dengan rakyat. Hubungan mereka dengan pemilihnya lebih langsung, tak lagi tersekat oleh birokrasi partai. Sebagai anggota DPR, mereka akan senantiasa menjaga hubungan dengan konstituennya. Berdasarkan mazhab rational choice (pilihan rasional), hanya dengan berbuat demikian mereka akan bisa berhasil sebagai politisi dalam menapaki jenjang-jenjang kekuasaan yang lebih tinggi. Untuk itu, mereka akan memperjuangkan alokasi anggaran lebih besar bagi daerah pemilihannya, dan memastikan pelaksanaannya sesuai dengan tujuan. Akan lebih lengkap lagi apabila anggota DPR mewujudkan janji-janji kampanye mereka dengan makin produktif menelurkan undang-undang yang bermutu. Penataan institusi Pembangunan dan penataan institusi adalah tantangan terberat bagi anggota DPR baru. Dengan institusi yang baik, kepastian bagi perbaikan yang terukur akan lebih terhadirkan. Harapan tersebut akan terwujud apabila anggota DPR mau lebih banyak mendengar, mengundang, lebih sering melakukan public hearing, dan lebih kerap mendengar langsung keluhan konstituennya. Tak boleh lagi proses pengambilan keputusan dilakukan secara tertutup di hotel-hotel mewah. Hubungan antara DPR dan pemerintah tampaknya juga akan mengalami perubahan. Dengan jauh lebih sedikit partai di DPR, pengelompokan antara partai-partai pendukung pemerintah dan partai-partai oposisi akan lebih tegas sehingga meningkatkan efektivitas pemerintahan dan fungsi checks and balances. Pemilu legislatif kali ini sudah memberikan petunjuk sementara ke arah mana pengelompokan yang bakal terjadi. Pengelompokan tampaknya tak berdasarkan orientasi ideologis yang kental, atau bahkan tak berorientasi ideologi sama sekali. Buktinya, penjajakan koalisi sangat cair dan bisa berubah setiap saat. Bertolak dari kecenderungan ini, bisa diduga bahwa perubahan mendasar masih sangat sulit terjadi. Partai-partai besar yang ada sekarang masih akan menjadi penentu utama karena merekalah yang paling berpeluang untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Dengan kemungkinan konfigurasi politik pascapemilu seperti itu, kita tak bisa berharap terjadi perubahan radikal. Ruang gerak yang cukup terbuka baru sebatas bagi perbaikan gradual. Masalahnya, bagi Indonesia, lebih baik saja tak cukup. Harus ditata ulang Dewasa ini kita sedang berada di tengah krisis ekonomi global. Persoalan-persoalan fundamental mengemuka. Makin disadari bahwa perekonomian dunia yang berlandaskan financially-driven capitalism dewasa ini sangat rapuh, dan oleh karena itu harus ditata ulang. Ironisnya, perekonomian Indonesia berada di jalur yang sesat itu, dan kian terseret di dalamnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, kita tak memiliki jaring-jaring pengaman yang memadai sehingga sangat rentan dalam menghadapi guncangan eksternal. Modal dasar kita yang sebetulnya cukup memadai untuk menggerakkan perekonomian domestik bisa porak-poranda seketika akibat kerapuhan sektor finansial kita. Lalai Kita lalai membangun basis kekuatan domestik. Segala potensi yang kita miliki, termasuk pendanaan, tak didayagunakan. Pemerintahan sekarang belum menunjukkan keberhasilan nyata dalam penerimaan pajak. Nisbah pajak (tax ratio) tetap saja bertengger di aras 12 persen, dengan kecenderungan yang menurun. Juga kegagalan memoneterisasikan kekayaan alam kita sehingga belum kunjung menjadi berkah bagi pembangunan. Kelalaian itulah yang membuat kita semakin
CiKEAS Tantangan bagi Presiden Terpilih
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Tantangan bagi Presiden Terpilih Jumat, 3 April 2009 | 03:06 WIB Oleh : Jusuf Wanandi Sepintas terasa prematur membahas tantangan yang dihadapi Presiden Indonesia terpilih 2009, sementara pemilu legislatif baru akan dilangsungkan pekan depan. Namun, masalah ini juga relevan dibahas sekarang. Alasannya, dua dari tiga parpol yang akan mendapat suara terbanyak dalam pemilu bergantung pada popularitas pemimpinnya, yakni SBY untuk Partai Demokrat (PD) dan Megawati untuk PDI-P. Dengan demikian, menentukan pilihan untuk parlemen pun tidak lepas dari penilaian terhadap pimpinan parpol yang menjadi capres. Dalam Pemilu Presiden 2004, penulis mendukung Megawati karena dia dapat memilih anggota kabinet dan para pembantunya yang berprestasi sehingga kekurangannya dapat diatasi. Namun, harapan ini tidak terwujud karena dalam pilpres dikalahkan SBY. Bagai beauty contest pribadi yang merupakan faktor penting dalam pilpres langsung pertama itu, SBY telah memenanginya. Ketika SBY mencalonkan diri dalam pilpres itu, sebenarnya Megawati merasa dikhianati; karena dua kali ia bertanya kepada SBY apakah akan mencalonkan diri, tetapi selalu dibantah oleh SBY. Namun, dua minggu setelah bantahannya yang terakhir, ternyata SBY mencalonkan diri. Sejak itu Megawati tidak pernah mau lagi bertemu dengan SBY dan perlawanannya kali ini adalah untuk membalas courtesy SBY pada tahun 2004 itu. Memperbaiki diri Megawati memang bukan yang terpandai, tetapi jelas kini ia telah memperbaiki diri dan citranya dibandingkan tahun 2004. Ia lebih ramping dan lebih mendekat kepada rakyat, bahkan terus berkeliling hingga ke pelosok Tanah Air. Dalam jajak pendapat parpol dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Maret lalu tentang program PDI-P di bidang ekonomi dan usaha, Megawati telah memimpin timnya dengan baik. Pandangan-pandangannya umumnya bernalar dan lugas, yang menunjukkan bahwa ia telah menyiapkan diri dengan baik, berbeda dengan ketika ia menjadi presiden yang menyerahkan banyak hal kepada para pembantunya saja. Di pihak lain, SBY bukan lagi orang yang tidak dikenal atau hanya dikenal selintas oleh rakyat Indonesia karena ia telah memerintah selama hampir lima tahun. Benar seperti penulis khawatirkan sebelum 2004, sebagai pemimpin, ia tidak tegas dan enggan mengambil keputusan-keputusan yang tidak populer di kalangan tertentu di masyarakat. Ada dua contoh yang menonjol. Pertama, dalam bidang ideologi, SBY tidak berani menyatakan tidak sahnya perda-perda syariah di lebih dari 50 kabupaten di Indonesia yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi RI. Menteri Dalam Negeri pernah mengajukan masalah itu, tetapi ia menolak untuk mengambil keputusan karena alasan politik. Kedua, hal yang sama terjadi dengan kasus Ahmadiyah. Sebagai kepala pemerintahan, memang SBY tidak menentukan masalah agama. Tetapi, berbagai kekacauan dan kekerasan yang terjadi berkaitan dengan masalah Ahmadiyah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatasinya dengan menjaga ketertiban umum dan tegaknya hukum. Pemerintah harus dapat mencegah tindakan-tindakan liar yang melanggar hukum, seperti membakar masjid Ahmadiyah dan menganiaya pengikutnya; serta bertindak tegas terhadap kelompok ekstrem yang menyerang dan menganiaya kelompok lain yang membela tegaknya hukum di Indonesia, seperti terjadi pada peristiwa Monas tahun 2008. Bidang ekonomi Sementara itu, ekonomi Indonesia tidak pernah berkembang maksimal dan ekonomi riil juga tidak berkembang dengan baik karena SBY tidak tegas dalam mengambil keputusan yang diperlukan. Ia lebih mementingkan kebijakan populisnya untuk mengangkat citra diri dan mendapat dukungan dalam pemilu. Paket stimulus yang amat diperlukan bila ekonomi anjlok juga tidak didukungnya secara penuh. Jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat, tetapi angka-angka yang diumumkan untuk menutupinya bermasalah. Jika krisis ekonomi yang kita alami ini memburuk, SBY harus bertanggung jawab. Pada tahun 2004, penulis tidak mendukung Jusuf Kalla karena umumnya ia dikenal dari berbagai pernyataannya terdahulu yang dianggap antiasing, anti-WNI keturunan Tionghoa, dan anti-Kristen. Namun, setelah memerhatikan lebih cermat ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya sebagai Wakil Presiden, penulis menyimpulkan bahwa kadang-kadang ia terlalu banyak bicara dan berkomentar tentang masalah-masalah yang tidak dikuasainya secara mendalam sehingga mudah disalah mengerti, seperti dalam masalah demokrasi. Penulis yakin JK tidak
CiKEAS Bali Kembali ke Kebijakan Satu Pintu
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. PARIWISATA BALI Bali Kembali ke Kebijakan Satu Pintu Rabu, 1 April 2009 | 02:42 WIB Denpasar, Kompas - Perkembangan pariwisata Bali diakui mengubah masyarakat dengan budaya spiritual menjadi masyarakat materialistis, dan secara fisik perubahan budaya masyarakat telah mengubah ekologi. Karena itu, Pemerintah Provinsi Bali akan mengembalikan kebijakan satu pintu dalam pengembangan pariwisata, menyusul kesepakatan bersama antarkabupaten/kota. Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Ida Bagus Sedhawa di Denpasar, Selasa (31/3), mengatakan, Pemprov Bali tengah mengevaluasi dan menyusun ulang rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Pulau Bali untuk 20 tahun ke depan dengan target tahun 2009 dapat disahkan DPRD Bali. Rencana tata ruang dan wilayah ini diharapkan mampu mengendalikan dan menata ulang pembangunan melalui pemetaan wilayah serta memiliki payung hukum yang jelas. Menurut Sedhawa, pihaknya optimistis kebudayaan Bali dapat kembali dalam waktu 20 tahun melalui penerbitan RTRW. ”Kami tengah berupaya keras mengembalikan pariwisata yang berbudaya berbasis agraria dengan pariwisata kerakyatan. Setidaknya ada upaya sekarang ini mengembalikan kepercayaan masyarakat kembali kepada norma-norma spiritual, di antaranya berbasis agraris,” ujarnya. Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali Nengah Suarca mengatakan, ruang lingkup RTRW yang tengah diselesaikan itu tidak hanya mengatasi karut-marutnya pembangunan karena pesatnya pariwisata. Penyusunan RTRW untuk 20 tahunan itu juga mencakup pemetaan kawasan mana saja yang diperbolehkan diubah karena investasi atau lainnya. Pada tahun 1970-an, pengembangan pariwisata hanya diperbolehkan di kawasan teben atau hilir, seperti (sekarang) kawasan Nusa Dua, dan Sanur. Pengembangan tidak diperbolehkan di kawasan ulu atau atas, antara lain Gunung Agung yang dianggap kawasan suci. Namun, dalam perkembangannya, investasi pariwisata merambah ke mana-mana. Pembangunan hotel berbintang marak di beberapa kawasan dan tidak memedulikan lagi kawasan ulu dan teben tersebut. Kabupaten hati-hati Diperoleh informasi, sejumlah bupati di Bali menyatakan telah berusaha keras untuk memastikan agar pengembangan pariwisata di daerah mereka tetap sesuai dengan konsep Tri Hita Karana atau keselarasan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Untuk itu, mereka berhati-hati menerima investor pariwisata terkait jenis ataupun lokasi pengembangan fasilitas pariwisata. ”Kami selama ini tidak main-main mengembangkan pariwisata di daerah kami. Dasarnya tetap pariwisata budaya dan agama. Jika itu hilang, apa yang akan kami jual,” kata Bupati Karangasem Wayan Geredeg ketika dihubungi dari Denpasar. Ia mengungkapkan, Karangasem menetapkan tiga wilayahnya untuk pengembangan wisata sesuai dengan topografi masing-masing. Ketiga wilayah itu adalah Padang Bai dan Candi Dasa untuk pengembangan wisata pantai, Taman Ujung untuk kawasan wisata spiritual, dan Tulamben untuk pariwisata bawah laut. Karangasem tengah membangun pelabuhan kapal wisata pertama, dan terbesar di Bali, di sekitar kawasan Padang Bai. Pelabuhan itu tak akan memakan kawasan hijau. Secara terpisah, Bupati Buleleng Putu Bagiada menyatakan komitmennya untuk mengembangkan wisata selaras dengan pelestarian hutan, di samping pengembangan wisata pantai di Pantai Lovina. Pembangunan delapan hotel dan resor di kawasan Taman Nasional Bali Barat, misalnya, juga diwajibkan selaras dengan upaya pelestarian kawasan itu. Budayawan Ketut Sumarta melukiskan Bali membutuhkan komitmen bersama guna mendorong pengembangan pariwisata yang akrab dan menyatu dengan tradisi adat-istiadatnya. ”Pariwisata jangan menjadi kambing hitam atas gangguan yang menimpa tradisi adat. Khusus di Bali, pariwisata justru menghidupkan tradisi setempat, seperti pementasan barong, kecak, tek-tekan, dan gamelan. Tradisi juga harus mampu mengikuti tuntutan perkembangan. Tradisi berkarakter agraris harus diolah menjadi tradisi berkarakter jasa, sesuai tuntutan dunia pariwisata,” kata Pemimpin Redaksi Sarad, majalah budaya Bali, itu. Oleh sebab itu, obyek wisata berupa taman safari, golf, atau balap mobil di Bali, misalnya, adalah obyek yang melenceng dari arah wisata budaya. General Manager Hotel Inna Bali Maryanto mengaku resah terhadap kehadiran hotel berbintang di Bali yang bertambah banyak dan terkesan tak terkendali. Karena itu, pembangunan hotel-hotel berbintang agar distop. Sekretaris Jenderal Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Bali
CiKEAS Politik sebagai Janji
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Politik sebagai Janji Kamis, 2 April 2009 | 03:02 WIB Ingar-bingar janji memekakkan telinga kita belakangan ini. Di negeri ini, selain musim hujan beneran, ada juga musim hujan janji. Datangnya lima tahun sekali, menjelang pemilu seperti saat-saat ini. Setelah itu, kita memasuki lima tahun musim menanti, yang lebih pantas disebut musim kemarau pemenuhan janji. Persoalannya, apakah keliru menempatkan politik sebagai janji? Atau, bahkan, apakah pasti keliru kalau janji-janji politik lalu tak terpenuhi? Bukankah seorang pemikir besar, seperti Jacques Derrida, justru pernah berwacana bahwa janji merupakan matra konstitutif politik sebagai ”demokrasi akan datang” (democracy to come)? Justru karena dimensi janji tersebut, politik lalu mempunyai struktur messianik, mempunyai orientasi etis ekstratemporal untuk mengacu sehingga dapat melakukan penyempurnaan terus-menerus tak berkesudahan dalam mengejawantahkan ’K’eadilan. Baginya, bahkan seandainya tak terpenuhi, janji masih tetap merupakan matra penting politik karena betapapun gagal, upaya-upaya memenuhinya meninggalkan jejak janji tersebut: meninggalkan jejak-jejak pergulatan etis mewujudkan keadilan. Seujung hidung Kalau sense of humor kita belum ikut-ikutan defisit tergerus krisis finansial, kita bisa terpingkal-pingkal melihat politik janji parpol kita seperti terpampang pada iklan pemilu mereka. Ada klaim sukses menurunkan harga BBM tiga kali berturutan. Padahal, tidakkah naik-turunnya harga BBM lebih bergantung pada harga minyak dunia? Ada rebutan klaim sukses swasembada beras, padahal sama-sama tidak pernah memacul sawah. Ada yang mengulang gimmick basi kontrak-kontrakan politik. Ada yang mendadak prihatin dengan penderitaan rakyat; ada yang mendadak merasa jadi juru bicara petani; ada yang mendadak prihatin dengan merajalelanya korupsi. Semacam itulah janji politik kita. Isinya cuma judul-judul mimpi atau klaim keberhasilan. Kurang programatis, defisit strategi apalagi kebijakan, dan terutama, alpa ideologis. Terkadang, bahkan ada unsur kibul-kibul yang sengaja pula. Kesamar-samaran sebagai gaya, sekarang menggejala dalam komunikasi politik kita. Karena itu, ketika janji tak terpenuhi, lalu dengan mudah bisa berkelat-kelit lewat perdebatan semantik, seperti pada pemakaian ukuran tingkat kemiskinan BPS atau Bank Dunia. Padahal, miskin ya miskin, nganggur ya nganggur. Tren kenaikan atau penurunannya mestinya tak berbeda pakai penggaris mana pun. Jangan-jangan segenap janji tersebut memang sekadar pragmatis. Yang penting rakyat percaya. Kalau kuasa sudah di tangan, urusan belakangan. Toh, rakyat Indonesia bukan masyarakat yang demanding; bukan penuntut yang bawel. Coba lihat, penandatanganan kontrak-kontrak politik pemilu lalu. Tak pernah ada yang menagih walau tak terwujud. Jadi, cuma gimmick politik seujung hidung. Janji ideologis Pada pemikiran Derrida, janji politik bukan hanya mungkin tak terpenuhi, melainkan bahkan tak mungkin sungguh terpenuhi. Maksudnya tentu bukan membenarkan politik dusta seperti janji kampanye para politisi kita. Baginya, struktur messianik politik menempatkan idealitas ’K’eadilan — dengan K kapital; jadi keadilan pada posibilitas perwujudan paling optimalnya — sebagai janji di pengujung temporal politik. Jadi, janji tersebut bersifat tak berkesudahan (infinitudo) karena tak mungkin sepenuhnya tergapai; namun menjadi acuan bagi politik sebagai rangkaian pergulatan tanggung jawab etis manusia. ’K’eadilan sebagai janji politik, lalu menjadi acuan ziarah artikulatif setiap keputusan politik sebagai tindak nilai. Rangkaian tindak politik lalu laiknya pesawat ulang-alik terus-menerus pulang-pergi mencocokkan-mengejawantahkan di antara idealitas ’K’eadilan dengan masing-masing penerapan kontekstualnya. Jadi, walaupun Derrida sendiri tidak suka dengan sebutan ini, politik semestinya mempunyai dimensi ”utopia” semacam ini. Utopia semacam ini berguna untuk menjadi acuan jangka panjang sehingga politik tak terjebak pada tetek bengek kekuasaan sesaat yang pragmatis. Tepat di sinilah persoalan mendasar politik kita. Dalam politik, rumah utopia, rumah cita-cita politik, adalah ideologi. Kebijakan parpol-parpol kita tak pernah jelas karena ketidakjelasan ideologi mereka. Sungguh kesulitan besar untuk membedakan kebijakan mereka masing-masing atas isu-isu sentral di negeri ini. Perubahan drastis kebijakan Amerika Serikat (AS) seharusnya menjadi pelajaran bagi kita mengenai arti sebuah ”janji” ideologis.
CiKEAS Menuju Sistem Moneter Dunia Baru
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. ANALISIS EKONOMI Menuju Sistem Moneter Dunia Baru Senin, 30 Maret 2009 | 03:51 WIB Oleh : A TONY PRASETIANTONO Kurs rupiah sedang mengalami dinamika penting. Pekan lalu secara mengesankan rupiah menguat dari Rp 12.000 menjadi Rp 11.500 per dollar AS. Memang, penguatan Rp 500 per dollar AS dalam tempo singkat tersebut bisa dianggap biasa dan wajar, di saat krisis ekonomi global masih terus bergejolak dan belum menemukan ekuilibrium permanennya. Rupiah kadang-kadang bisa melemah dan menguat oleh penyebab yang sepele. Pada kasus penguatan rupiah kali ini, penyebabnya merupakan gabungan beberapa faktor. Pertama, cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia meningkat dari 51 miliar dollar AS menjadi 53,9 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan oleh mulai masuknya modal asing ke pasar modal di Jakarta, selain karena masuknya dana penjualan obligasi pemerintah di luar negeri (global medium-term notes). Kedua, BI meneken perjanjian bilateral currency swap arrangement dengan Bank of China senilai Rp 175 triliun atau 100 miliar renminbi. Di bawah payung perjanjian ini, eksportir dan importir kedua negara tidak perlu menggunakan mata uang dollar AS dalam transaksinya. Mereka cukup mengonversikan langsung mata uang masing-masing dengan negara mitra dagang. Dalam hal ini, importir Indonesia bisa langsung menukar rupiahnya dengan renminbi, sebaliknya importir China menukar renminbinya langsung dengan rupiah. Kini tidak perlu lagi ada mata uang ”perantara”, yakni dollar AS, dalam setiap transaksi kedua negara. Perjanjian semacam ini akhir-akhir ini mulai marak dilakukan, terutama oleh ASEAN + 3, yakni kesepuluh negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan. Banyak hal positif dapat ditarik dari skema baru ini. Bagi para importir maupun eksportir, mereka bisa berhemat karena jalur penukaran mata uang dapat diperpendek dari rupiah-dollar AS-renminbi menjadi langsung rupiah-renminbi. Berarti, akan dapat dihemat sejumlah fee penukaran. Dari sisi ekonomi makro, kebutuhan (permintaan) terhadap dollar AS dapat ditekan. Implikasi dari turunnya permintaan dollar AS oleh pemegang rupiah akan menyebabkan kurs dollar AS cenderung melemah, atau sebaliknya rupiah bakal menguat. Ini sangat positif sebagai upaya untuk menurunkan volatilitas kurs rupiah terhadap dollar AS. Dengan kata lain, kurs rupiah ke depannya akan cenderung lebih stabil, tidak terlalu berfluktuasi. Ini bagus bagi dunia usaha yang pada umumnya amat memerlukan kepastian (certainty), termasuk kepastian kurs. Sementara itu, variabel inflasi juga diuntungkan karena stabilitas kurs akan menurunkan tekanan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Ketiga, rupiah harus berterima kasih kepada situasi politik di Tanah Air. Sejauh ini kampanye pemilu legislatif berlangsung aman. Masyarakat tampaknya sudah penat dan ”kapok” untuk tidak mau lagi mengulang pemilu bergejolak seperti sebelumnya, terutama 1999. Timbul kesadaran baru bahwa euforia demokrasi sudah tidak zamannya lagi diekspresikan dengan letupan-letupan di jalanan. Lagi pula, mengapa harus secara fanatik membela calon anggota legislatif jika yang bersangkutan kelak pada akhirnya juga diseret Komisi Pemberantasan Korupsi? Jumlah partai peserta pemilu yang amat banyak juga memberi andil memecah penumpukan massa. Ini semua berujung pada penguatan rupiah. Sistem moneter baru Secara pelan tapi pasti, krisis ekonomi global telah menginspirasi negara-negara di seluruh dunia untuk mengurangi penggunaan dollar AS. Dulu, pada Juli 1944, ketika 44 negara bersepakat di Bretton Woods, New Hampshire — sejam perjalanan dari Boston — untuk menggunakan dollar AS sebagai mata uang dunia, yang didukung dengan cadangan emas yang disimpan bank sentral, pertimbangannya adalah dominasi AS dalam perekonomian dunia. Saat itu setiap peredaran 35 dollar AS harus didukung dengan 1 ons emas. Kurs tetap (fixed rate) pun dapat diberlakukan. Kesepakatan yang juga dihadiri ekonom top Inggris, John Maynard Keynes, itu berakhir awal 1970-an. Ketika AS mulai sibuk berperang, anggaran pemerintahnya defisit besar, maka kurs dollar AS pun jadi fluktuatif. Seiring dengan kesulitan untuk menimbun emas dalam jumlah yang sebanding dengan perkembangan ekonomi dunia yang kian pesat, standar emas pun dihapus. Kurs mata uang bisa bergerak dinamis berdasarkan kekuatan kinerja ekonomi negara masing-masing,
CiKEAS Menuju Sistem Moneter Dunia Baru
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. ANALISIS EKONOMI Menuju Sistem Moneter Dunia Baru Senin, 30 Maret 2009 | 03:51 WIB Oleh : A TONY PRASETIANTONO Kurs rupiah sedang mengalami dinamika penting. Pekan lalu secara mengesankan rupiah menguat dari Rp 12.000 menjadi Rp 11.500 per dollar AS. Memang, penguatan Rp 500 per dollar AS dalam tempo singkat tersebut bisa dianggap biasa dan wajar, di saat krisis ekonomi global masih terus bergejolak dan belum menemukan ekuilibrium permanennya. Rupiah kadang-kadang bisa melemah dan menguat oleh penyebab yang sepele. Pada kasus penguatan rupiah kali ini, penyebabnya merupakan gabungan beberapa faktor. Pertama, cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia meningkat dari 51 miliar dollar AS menjadi 53,9 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan o
CiKEAS Indonesia sebagai Model Kerukunan
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Melirik Indonesia sebagai Model Kerukunan Jumat, 27 Maret 2009 | 02:40 WIB Oleh : PAULINUS YAN OLLA Sebuah seminar yang menampilkan Indonesia sebagai model kehidupan bersama dalam kerukunan sekalipun berbeda-beda, unità nella diversità, baru saja diadakan di Roma (Antara, 4/3). Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini dalam sambutannya pada awal seminar jelas-jelas ”meminang” Indonesia menjadi pelaku perdamaian. Tawaran serupa telah diutarakan pula Perdana Menteri Australia (The Jakarta Post, 26/2) dan beberapa negara lain yang ingin melamar Indonesia sebagai mitra dalam percaturan relasi internasional (Kompas, 27/2). Mengapa kerukunan Indonesia ingin dijadikan model oleh berbagai pihak di ranah internasional? Apa yang menarik dan karenanya sangat diharapkan dari Indonesia dalam pergaulan internasional? Seminar di Roma membidik salah satu unsur sentral kearifan budaya (cultural wisdom) Nusantara yang kini mempunyai nilai pikat dan relevansi sangat tinggi, yakni kemampuan hidup bersama secara rukun dalam perbedaan. Sering terjadi pergesekan dalam relasi, tetapi keharmonisan telah menyejarah dan menjadi pengalaman dominan dalam hidup bersama di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika menjadi daya pikat ketika di berbagai belahan Bumi terjadi konflik dan ketakutan akan terjadinya benturan antarbudaya. Ketakutan itu terlihat, misalnya, dari sikap panik negara-negara Eropa yang kehilangan akal menghadapi imigrannya yang berbudaya dan berkeyakinan lain. Kemampuan Indonesia untuk meramu perbedaan ratusan suku, bahasa, etnisitas, atau perbedaan agama menjadi sebuah harmoni tidak dapat diabaikan ketika dunia seakan disekap ketakutan terhadap orang asing (xenofobia) dan kebingungan dihadapkan pada pembauran manusia dalam keberagamannya di era globalisasi. Pernyataan Menteri Dalam Negeri Italia Roberto Maroni, dobbiamo essere cattivi (kita harusnya jahat) terhadap orang asing, menjadi contoh lain kepanikan dan ketakutan menghadapi serbuan pendatang dengan keragaman agama, budaya, dan nilai hidup yang menyertainya (Corriere della Sera, 9/2). Unsur Islam dan keharmonisan relasi antaragama di Indonesia menjadi daya pikat lain yang menaikkan pamor Indonesia pascaperistiwa serangan teroris, 11 September 2001. Islam Indonesia menampilkan wajah yang ramah dan moderat yang mampu hidup damai bersama agama-agama lain. Italia, seperti diungkapkan Franco Frattini, menginginkan Indonesia sebagai jembatan antara Barat dan Timur Tengah. Politik identitas Jonathan Sacks dalam usahanya mencari jalan untuk menghindari terjadinya benturan antarbudaya (the clash of civilizations) memperlihatkan adanya sebuah transformasi dari abad ke-20 ke abad ke-21, yakni perubahan dari politik ideologis ke politik identitas. Agama dalam politik identitas berperan sangat penting karena menjadi sumber jawaban atas identitas. Namun, pada saat yang sama, ia menjadi sumber perbedaan yang bisa melahirkan konflik (Jonathan Sacks, The Dignity of Difference: 10-11). Indonesia dapat disodorkan sebagai model kerukunan karena tampaknya berhasil menjawab kekhawatiran banyak orang yang mencurigai agama-agama sebagai sumber konflik. Apakah berbagai tawaran menjadi model perdamaian dan kesempatan menjadi duta perdamaian itu akan dimanfaatkan Indonesia? Tantangan utama bagi Indonesia adalah agar mampu menjadi jembatan/perantara yang dapat dipercaya. Sebuah jembatan hanya berfungsi ketika bisa menghubungkan dua sisi. Indonesia akan lebih mapan posisinya sebagai mediator bila meninjau kembali sikapnya terhadap negara-negara yang dianggap sebagai ”musuh”. Mediasi memerlukan kekokohan sikap, tetapi itu tidak berarti tidak mengajak yang dianggap musuh untuk duduk di meja perundingan. Tantangan lain adalah apakah Indonesia sendiri menyadari kekayaan serta keberagamannya sebagai sesuatu yang berharga? Ketika memasuki pertarungan kekuasaan dalam pemilu mendatang, ada partai politik yang mengusung isu pluralitas sebagai janji (The Jakarta Post, 1/3). Hal itu patut dikritisi karena pluralitas Indonesia bukanlah sebuah pengalaman yang bisa diklaim seakan buatan atau hadiah partai tertentu. Ia menyentuh dasar keberadaan bersama sebagai bangsa dan karenanya siapa pun yang berkuasa sebagai pemimpin wajib memeliharanya. Praktik kerukunan hidup bersama di Indonesia di ranah internasional tampaknya dimaknai sebagai pembalikan dan jawaban atas tesis the clash of civilizations. Agama-agama di Indonesia ternyata mampu menjadi sumber identitas yang
CiKEAS Pergulatan Menggapai Kepasrahan
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. Pergulatan Menggapai Kepasrahan Minggu, 22 Maret 2009 | 03:28 WIB Oleh : J SUMARDIANTA Alam melimpah dengan kebajikan yang bisa diteladani. Inilah semesta hikmah yang bisa ditimba dari dongeng tentang kodok yang tak pernah puas diri. Ada seekor kodok di pinggir kolam yang sunyi. Kodok itu, dengan suasana hati senantiasa kacau, menunggu serangga terbang di atasnya. Setiap kali ada lalat, ia segera mencaploknya. Kalau sudah kenyang kodok itu ngorek (berbunyi), ”Rek, kek-kek, rek kek-kek”. Namun, sering kali ia tidak menangkap apa-apa. Maka bersungut-sungut ia dan beginilah gerutunya, ”Ko-ak, ko-ak”. Anak-anak desa mendengar gerutu kodok. Mereka tidak tahu kalau kodok itu lapar. Kata mereka, ”Dengarlah, si kodok minta hujan”. Suatu pagi, kodok tampak gundah-gulana. Hanya lalat-lalat kecil yang sempat dicaploknya. Sambil menggerutu, ko-ak-ko-ak, ia mengeluh dalam hati, betapa malang nasibku. Sering aku pergi tidur dengan perut kosong. Kodok rupanya iri dengan ikan-ikan emas yang hidup bersamanya di kolam. Batinnya, sepanjang hari ikan-ikan itu hanya bermain-main saja, berenang ke sana kemari, tak pernah bekerja. Toh mereka selalu mendapat makan. Setiap pagi anak-anak datang melemparkan nasi ke kolam dan dengan lahap ikan-ikan itu menyantapnya. Tiba-tiba si kodok mendengar langkah manusia. Ia bersembunyi di balik daun sambil mengintip anak yang biasanya datang memberi makan ikan. Ia datang bersama seorang lelaki yang membawa jaring. Segera lelaki itu melemparkan nasi ke kolam. Datanglah ikan-ikan emas berebut makanan. Ikan terjaring dalam jumlah besar. Ikan besar dimasukkan ke dalam keranjang. Yang kecil kembali dilepaskan ke kolam. Katanya, tunggulah sampai ikan-ikan ini besar nanti. Ia bilang lagi, kali ini cukup. Mari kita masak ikan-ikan ini dengan bumbu asam manis perasan limau (orange) di dapur Haji Mangoes. Hari ini Pak Haji kedatangan tamu istimewa. Bagi tamunya, mesti ada ikan bakar, nasi mengepulkan asap, dan sambal mentah di meja hidangan. Si kodok menyaksikan apa yang terjadi. Pula mendengar semua yang dikatakan kedua manusia itu. Kodok menjadi ketakutan, tetapi ia tidak menyesali diri dan nasibnya lagi. Katanya, ”Betapa saya bahagia bahwa saya seekor kodok”. Susah memaafkan Tamsil kodok yang tak pernah puas diri sangat cocok buat mengapresiasi buku Arvan Pradiansyah, The 7 Laws of Happiness. Motivator, penulis buku laris Life is Beautiful ini, memaparkan tujuh rahasia kebahagiaan otentik: sabar (patience), syukur (gratefulness), bersahaja (simplicity), kasih (love), memberi (giving), memaafkan (forgiving), dan pasrah (surrender). Tiga rahasia pertama bersifat menerima berkaitan dengan kecerdasan personal. Tiga rahasia kedua bersifat melepaskan ego berurusan dengan kecerdasan sosial. Satu rahasia terakhir bersemayam di jantung kecerdasan spiritual. Manusia cenderung kemrungsung, tergopoh, dan ruwet hingga susah berdamai dengan diri sendiri karena terperangkap perasaan iri. Iri hati adalah perasaan impoten yang membikin lumpuh usaha manusia untuk meraih kebahagiaan otentik. Soalnya, segala sesuatu entah berupa jabatan, kekuasaan, uang, mobil, rumah, dan tanah itu milik orang lain. Manusia diamuk dengki karena penyesalan berlarut, gagal memiliki obyek yang diinginkannya. Manusia sulit mengasihi, memberi, dan memaafkan hingga susah berdamai dengan sesama karena terjebak budaya bertahan hidup. Kesibukan sehari-hari menjerumuskan manusia pada nitty-grity (tetek bengek) penguras energi, patuh pada sistem yang membelenggu, mengelola birokrasi yang tidak waras, dan menjalankan kepatuhan keras. Kerja menjadi lubang hitam raksasa yang menyedot habis energi dan kesehatan. Mereka sampai rela membayar kesuksesan dengan tukak lambung akut, perkawinan kandas, dan pola hidup sinting. Bahkan, para dokter sengsara di tempat kerja. Mereka menghabiskan seluruh hari buat mengobati orang-orang yang sengsara akibat pekerjaan. Kegilaan egosentris inilah yang oleh William James, Bapak Psikologi Modern, disebut sebagai ”kelembekan moral demi kesuksesan banal”. Saat bahagia kita kurang berfokus pada diri sendiri, lebih menyukai orang lain, dan ingin berbagi nasib baik kepada siapa pun. Sebaliknya, ketika sedih, kita kurang memercayai orang lain, suka menyendiri, dan secara defensif berfokus terhadap kebutuhan-kebutuhan sendiri. Bahagia itu cermin pribadi yang terbuka (extrovertion). Murung itu gambaran orang yang cenderung menarik diri dari pergaulan (introvert). Kebahagiaan, menurut
CiKEAS Memantau Kondisi Alam Indonesia
= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia. = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. Belajar menyelamatkan sumberdaya alam negara untuk kebaikan rakyat Indonesia. PERUBAHAN IKLIM Memantau Kondisi Indonesia Kamis, 19 Maret 2009 | 03:45 WIB Oleh : YUNI IKAWATI Pencemaran gas-gas rumah kaca tidak mengenal batas wilayah. Menjadi ”atap kaca” di atas ruang atmosfer yang memerangkap panas matahari, GRK berdampak negatif bagi bumi. Pemantauan efek pemanasan global kini diikuti dengan skenario perubahan lingkungan bumi. Indonesia berkontribusi dalam menyusun skenario tersebut. Naiknya suhu permukaan bumi hingga mengubah pola iklim, melelehnya es di kutub hingga permukaan air laut naik, merupakan beberapa dari sederet efek buruk gas rumah kaca (GRK) yang menjadi perhatian dunia, karena dampaknya yang begitu memengaruhi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Perkiraan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan, jika suhu rata-rata permukaan bumi naik 1°-3,5°C pada tahun 2100, permukaan air laut naik antara 15-95 sentimeter. Dengan tingkat kenaikan 1 cm per tahun, pada 2050 kenaikannya mencapai 40 cm. Kenaikan hampir 1 meter akan menenggelamkan 80 persen pantai di Jepang. Bagaimana dengan Indonesia? Di negara maju, pemantauan sudah dilakukan 50 hingga 100 tahun silam sehingga tren kenaikan muka laut jelas terlihat, yaitu 3 milimeter per tahun. Data pemantauan oleh stasiun pasang surut (pasut) di Indonesia masih relatif sedikit. Rekaman baru dilakukan 20 tahun terakhir. Itu pun terputus-putus, ujar Parluhutan Manurung, Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Hasil awal perhitungan di Indonesia menunjukkan kecenderungan naiknya muka laut 3-8 mm per tahun. ”Sejak 2007 sudah ada tujuh stasiun pasut dilengkapi GPS sehingga pada pengamatan pasut efek tektonik dan tanah lokal bisa dipisahkan dari efek pemanasan global,” ujar Parluhutan. Pemantauan satelit Kenaikan muka laut sejak 1984 diketahui terutama disebabkan oleh meningkatnya suhu global akibat meningkatnya kadar CO2 dan gas lain di atmosfer. Fenomena naiknya muka laut dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian termal sehingga volume air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser juga berkontribusi terhadap kenaikan muka laut. Pengukuran yang dilakukan selama ini jangkauannya terbatas di daerah sekitar pantai sehingga datanya hanya akurat untuk memprediksi perubahan kedudukan muka laut di perairan dangkal atau di sekitar pantai. Sementara itu, Kosasih Prijatna dan timnya dari Kelompok Keilmuan Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB, melakukan studi awal perubahan muka laut di perairan Indonesia berdasarkan data satelit altimetri Topex (1992- 2002). Penelitian dilakukan di laut dangkal (Laut Jawa dan Laut Bangka), laut lepas (Samudra Hindia), dan laut dalam yang dikelilingi banyak pulau (laut di kepulauan Maluku dan Laut Banda). Dengan satelit altimetri Topex/Poseidon yang diluncurkan tahun 1992 lewat kerja sama Amerika Serikat (NASA) dan Perancis (CNES) diperoleh informasi mengenai dinamika global secara cepat dan akurat. Dengan teknik satelit altimetri dimungkinkan untuk memantau variasi kedudukan muka laut dengan tingkat presisi yang tinggi dan cakupan lautan yang luas. Satelit Topex/Poseidon memiliki sensor radar yang beroperasi secara simultan pada dua frekuensi sehingga dapat mereduksi efek bias ionosfer. Ketelitian pengukuran satelit altimetri sekitar 2 cm. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cazenave, perubahan kedudukan muka laut rata-rata global menggunakan satelit altimetri Topex/Poseidon dan ERS-1 selama kurun waktu sekitar empat tahun (Januari 1993-Juli 1997) telah terjadi perubahan variasi muka laut global sekitar 1,4 mm ± 0,2 mm/ tahun yang kuat kemungkinan disebabkan oleh ekspansi termal. Dampak Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan dengan mayoritas populasinya tersebar di sekitar wilayah pesisir. Kemungkinan dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari fenomena kenaikan muka laut di antaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir. Meskipun demikian, sampai saat ini karakteristik serta perilaku dari fenomena naiknya muka laut di wilayah regional perairan Indonesia belum dipahami secara baik dan komprehensif. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut, baik variasi temporal maupun spasialnya, di wilayah Indonesia merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan
CiKEAS Error
Mail transaction failed. Partial message is available. [Non-text portions of this message have been removed]