[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Budi Rahardjo wrote: On 1/13/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Sebetulnya yang diminta Adi cs itu seperti Financial Report di perusahaan publik setelah proses audit yang jelas tiap neraca dan anggaranya apa saja. Of course itu ada pak. Saya tahu itu ada pak. Sama seperti waktu di apjii dulu,tahu hal yang publik gak tahu. Kalau bicara perusahaan publik,yang namanya auditor pun,kudu cari yang netral.Banyak mantan auditor yang masuk penjara akhir2 ini di AS (dalam kasus perusahaan lah jelas...hints: Enron). Bahwa itu tidak dilaporkan ke Carlos, itu lain soal :) Don't hold your breath. Nah,sebaiknya diumumkan ke publik,khususnya ke mantan dosen seperti Pak Adi cs ini. Ujarnya om Adi,yang punya PTN kan seluruh manusia Indonesia,jadi mungkin wajar jika dibuat terbuka. Masalahnya kan tidak berhenti disitu, pak. Seperti yang sudah disitir oleh Made, masih ada banyak daerah gelap (aka kerajaan). Ini yang lebih sukar. Setuju tapi ini langkah berikutnya.Mungkin kudu diskusi 'bagaimana hasil audit dibikin terbuka' supaya lebih definitif. Masalah kerajaan ini di perusahaan publik ini gampang diberantas (di AS sekarang). Kalau di perusahaan kan ada BOD yang bisa memberesi masalah internal seperti inefisiensi dan ada SEC jika ada hal2 yang berbau 'penipuan' dan 'manipulasi publik'. Tapi mungkin tidak heran jika 5 tahun dari sekarang anak2 lulusan gundar.ac.id lebih canggih dibanding itb.ac.id :-) Kalau melihat proses yang sekarang ada, rasanya masih belum pak. Karena saya sering diminta untuk melakukan proses rekrutmen, jadi saya tahu kemampuan perguruan tinggi2 :) Dalam satu kasus, yang daftar banyak dari Gunadarma dan UGM. :) Seperti disitir oleh pak Adi, melihat kondisi ini saya lebih condong ke arah individu bukan ke arah sistem. Jadi gak peduli universitasnya apa, lulusannya bisa bagus (dan tentu saja bisa buruk) apabila dia mau proaktif. Di tempat saya sendiri ada lulusan Gunadarma, ITB, UI, drop out, mahasiswa Unpad, mahasiswa Unpar ;-) Paham Pak.Sudah dari dulu Pak Budi sebenernya cenderung dalam pendekatan ini kelihatannya. Hanya Dalam hal ini,issuenya untuk memberesi masalah seorang mahasiwa yang kudu bayar 200 juta untuk lulus sekolah kedokteran,dan lebih mahal dibanding PTS, itu defisini problem yang om Adi minta. Karena ini masalah lembaga,sebaiknya dibikin melalui tekanan publik agar auditnya bisa dilakukan secara netral terbuka dan diumumkan kepada masyrakat. 'Shouting' ke milis teknologia yg kebetulan ada dosen PTNnya tidak memecahkan masalah,apalagi jika secara terbuka dosenya sudah 'almost give up' dengan sistem. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Pre Marital Syndrome Effects wrote: On 1/13/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote: On Fri, Jan 13, 2006 at 12:41:37AM +, Ary Setijadi Prihatmanto wrote: Sebetulnya apa sih yang kita inginkan dari PT(N) itu? Jangan-jangan apa yang kita pikulkan ke pundak PT itu nggak realistis. Seperti contohnya bahkan untuk membalas budi mayoritas rakyat saja dibebankan ke pundak PT(N). Emangnya PT itu apaan yakhe he he he... jangan bombastis lah :-) balas saja sesuai yang sudah diberikan (subsidi dulu, walaupun selalu mengeluh kurang-kurang-dan-kurang larinya kemana). Saya pikir sudah waktunya kita berfikir logis, realistis dan duitnya diitung yang bener. PT itu diharapkan apa lalu diberi modal berapa. Kalo modalnya nggak ada, harapannya yang diturunin. Itu realistiskita juga kalo nggak punya duit beli mobil baru kan mobil bekas juga nggak apa-apa. kalau mau logis, baca posting saya lagi, biar ndak capek saya nulis lagi dan buang-buang bandwidth. Jangan spt. sekarang, kewajiban PT itu menurut saya aneh-aneh dan nggak fokus alias macem-macem dari mulai pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat sampe nyari beasiswa ketika ada masyarakat yang nggak mampu sekolah juga harus jadi tanggung jawab PT. silakan keluarkan pernyataan resmi plus yang diatas (emangnya pt itu apaan yak), atas nama PTN. pasti diberangus (PTN/PTS saja saja). frustasi itu bagus, tapi jangan pragmatis kalau memang ndak boleh hi..hi.. kalau memang ndak mampu tutup saja. Salam, P.Y. Adi Prasaja Walahini masih soal tret Dosen VS Mahasiswa, atau sudah menyimpang ke arah hasil keluaran dari PTS atau PNS? ada trend jika threadnya menyinggung mahasiwa,akan menjadi pts vs ptn. Lalu kalo ini udah melenceng, bagaimana perbandingan kualitas antara lulusan PT dgn lembaga pendidikan non-formal semacam pelatihan dari vendor? yg terakhir ini saya bisa jawab karena yang bikin soal2 di sertifikasi dan pelatihan vendor itu masih temen saya. Singkatnya: saling membutuhkan. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Budi Rahardjo wrote: On 1/14/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Hanya Dalam hal ini,issuenya untuk memberesi masalah seorang mahasiwa yang kudu bayar 200 juta untuk lulus sekolah kedokteran,dan lebih mahal dibanding PTS, itu defisini problem yang om Adi minta. bentar dulu ... saya mau cek fakta ini dulu mahasiswa kudu bayar 200 juta untuk lulus sekolah kedokteran - ini PTN mana? - kalau di PTS memangnya berapa? - kalau di luar negeri memangnya costnya berapa? saya baca dari URL yang semuanya diberikan mas Adi Pak. Itu semua artikel di koran Pak. Saya sendiri kaget. PTNnya UI dan dibandingkan dengan Atma jaya,lebih murah di Atma Pak.Angkanya ada di artikel tersebut. Btw, yang jadi polemik di URL yang disebutkan adi itu BUKAN tingginya harga masuk PTN pak,tapi kenapa harganya PTN lebih mahal dibanding PTS. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Muhamad Carlos Patriawan wrote: PTNnya UI dan dibandingkan dengan Atma jaya,lebih murah di Atma Pak.Angkanya ada di artikel tersebut. Btw, yang jadi polemik di URL yang disebutkan adi itu BUKAN tingginya harga masuk PTN pak,tapi kenapa harganya PTN lebih mahal dibanding PTS. Carlos Hmmm gara-gara kesaktian yang dimiliki PTN kali Bang Carlos. Boleh pakai analogi? Minum kopi di starbucks tentu lebih sakti dibanding minum kopi di warung kopi. Tapi menurut saya, trend ke depannya kesaktian ini akan ditantang dengan kompetensi. Dan sepertinya kompetensi yang akan memenangkan pertempuran. Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Zaki Akhmad wrote: Muhamad Carlos Patriawan wrote: PTNnya UI dan dibandingkan dengan Atma jaya,lebih murah di Atma Pak.Angkanya ada di artikel tersebut. Btw, yang jadi polemik di URL yang disebutkan adi itu BUKAN tingginya harga masuk PTN pak,tapi kenapa harganya PTN lebih mahal dibanding PTS. Carlos Hmmm gara-gara kesaktian yang dimiliki PTN kali Bang Carlos. Boleh pakai analogi? Minum kopi di starbucks tentu lebih sakti dibanding minum kopi di warung kopi. Tapi menurut saya, trend ke depannya kesaktian ini akan ditantang dengan kompetensi. Dan sepertinya kompetensi yang akan memenangkan pertempuran. Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info Sip ! saya setuju 1000% dengan Zaki. Sering2 kirim email yang enlightening seperti ini. Perduli apa kita,kalau si A lulusan ITB,UI,gundar atau Universitas Mpu Senduk di Kalimantan Selatan.Sama Saja ! Yang penting apa nanti **kompetensi** mereka dan manfaatnya bagi orang lain dan masyrakat. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Muhamad Carlos Patriawan wrote: Sip ! saya setuju 1000% dengan Zaki. Sering2 kirim email yang enlightening seperti ini. Wah hati-hati, Bang Carlos! Tidak ada orang yang sempurna, dan saya cenderung takut dengan pujian. Saya lebih menghargai teman saya yang mengkritik saya di depan saya. Walau hal ini diawal memang sulit, kok orang kritik malah lebih dihargai. Dari kuliah kendali, satu filosofi yang bisa saya pahami adalah sistem akan menuju kestabilan apabila diberi feedback negatif (kritikan). Dan kebalikannya, feedback positif (pujian) justru membawa sistem menuju ketidakstabilan. Yah, kadar kritikan dan pujiannya bisa sangat relatif ya. Analogi lainnya, obat bisa menyembuhkan apabila diberi pada dosis yang tepat. Sementara kita tahu, obat itu sebenarnya adalah racun yang dilemahkan. Perduli apa kita,kalau si A lulusan ITB,UI,gundar atau Universitas Mpu Senduk di Kalimantan Selatan.Sama Saja ! Yang penting apa nanti **kompetensi** mereka dan manfaatnya bagi orang lain dan masyrakat. Carlos Siapa suruh Bang Carlos kerja di SV? Terus mengirim email lewat jalur pribadi dan tiba-tiba mengaku satu SD sama saya. Yah, semangat saya jadi ikut terbakar deh. Bang Carlos aja bisa, kalau saya yah gak bisa lah. Lha wong dari dulu masih script-kiddies mulu. :D Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
orang kritik malah lebih dihargai. Dari kuliah kendali, satu filosofi yang bisa saya pahami adalah sistem akan menuju kestabilan apabila diberi feedback negatif (kritikan). Dan kebalikannya, feedback positif (pujian) justru membawa sistem menuju ketidakstabilan. tenang aja bos,dari seribu satu kritik ptn vs pts yang tidak hanya di milis ini saja akhirnya kan ada yang bisa menyebutkan kompetensi tanpa membawa jaket universitasnya :) Perduli apa kita,kalau si A lulusan ITB,UI,gundar atau Universitas Mpu Senduk di Kalimantan Selatan.Sama Saja ! Yang penting apa nanti **kompetensi** mereka dan manfaatnya bagi orang lain dan masyrakat. Carlos Siapa suruh Bang Carlos kerja di SV? Terus mengirim email lewat jalur pribadi dan tiba-tiba mengaku satu SD sama saya. Yah, semangat saya jadi ikut terbakar deh. Bang Carlos aja bisa, kalau saya yah gak bisa lah. Lha wong dari dulu masih script-kiddies mulu. :D hahaha,ternyata kita dibesarkan dari tempat yang sama kan,mungkin tukang cendol yang ada di depan SD di jalan balai pustaka 20 tahun lalu masih ada sampai sekarang. Anyway good luck,tidak ada yang menjadi penghalang agar anda menjadi lebih berhasil di masa depan kecuali anda sendiri :-) Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Muhamad Carlos Patriawan wrote: hahaha,ternyata kita dibesarkan dari tempat yang sama kan,mungkin tukang cendol yang ada di depan SD di jalan balai pustaka 20 tahun lalu masih ada sampai sekarang. Kapan pulang ke .id Bang Carlos? Yuk main ke almamater SD kita tercinta yuk. Saatnya berkontribusi pada lingkungan sosial. Ingat lho, kalau tidak SD berarti saya tidak bisa masuk SMP. Kalau tidak masuk SMP jadi tidak bisa ke SMA. Kalau tidak SMA berarti saya tidak bisa kuliah. Kalau tidak kuliah di ITB tidak perlu pusing. Eh, kok akhirnya malah jadi pusing. :) Anyway good luck,tidak ada yang menjadi penghalang agar anda menjadi lebih berhasil di masa depan kecuali anda sendiri :-) Halah mulai lagi. Malah manas-manasin lagi. ;) Carlos Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Pada hari Rabu, tanggal 11/01/2006 pukul 15:45 -0800, Muhamad Carlos Patriawan menulis: Mungkin kawan2 lain lebih bersemangat untuk berinovasi-ria jika BR join google atau bikin new google-like startup :) Ini bukan google tapi khusus yang senang di-sun. http://ie.sun.com/ojp/ie0200245.html Lekas, keburu diambil sama Sanjay atau Manishankar duluan. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Mohammad DAMT wrote: Ini bukan google tapi khusus yang senang di-sun. http://ie.sun.com/ojp/ie0200245.html Lekas, keburu diambil sama Sanjay atau Manishankar duluan. Carlos Terimakasih Mas MDAMT untuk informasinya. Saya kasih penanda-buku dulu ya biar tidak lupa alamatnya. Hop..hop...hopsaatnya belajar melompat lebih tinggi. Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: engan biaya perguruan tinggi swasta.data please.berapa biaya masuk BINUS vs UI/ITB misalnya. itu belum memasukkan kenyataan bahwa kapasistas perguruan tinggi negeri yang jauh lebih besar. data please.berapa sih jumlah mahasiswa S1 komputer-related di BINUS?silahkan bandingkan dengan jumlah mahasiswa komputer-relateddi PTN (UI, ITB, UGM, IPB). Di tempat saya biaya per semester sekitar 2 jutaan :-), mahasiswa dapat chance potongan 50% kalau pinter, bahkan bisa 100% kalau diangkat jadi asisten. Bahkan kalo bagus bisa disekolahkan di LN dg biaya total dari kampus (bukan beasiswa dari negara). Soal biaya, PTN udah terima dana misal - Fasilitas gedung dan tanah dibayar pemerintah (PTS harus bayar cicilan dan tidak murah) - Dosen tidak perlu membiayai kenaikan kualitasnya (beasiswa dan sebagainya banyak) Jadi ndak bener kalo dibilang PTN terima dana nol :-). PTS, ndak terima dari pemerintah, yg ada malah disuruh bayar ini itu. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/11/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: diperluas lagi (dana dan cakupannya). Biaya pelaksanaan kampus di Indonesia besar karena pelaksanaan pengoperasian kampus tidak efisien. Itu yg saya lihat di PTNI see. Trims atas tambahanya Pak Made. Terus kalau bisa diefisiensikan, bisa dihemat sampai berapa persen ?dan apakah ini sama dengan penghilangan berberapa departemen alias PHK? Ya besar sekali efisiensi yang dapat dilakukan dari - BIaya perawatan peralatan/ruangan - Biaya pembayaran tenaga administrasi Dampak ya memang mem-PHK-kan. Tapi yg dilakukan di tempat saya karena ada kebijakan minimal tenaga menegah (administrasi yg lulusan SMEA/SMA) dengan cara menyuruh mereka (si pegawai itu) kuliah lagi dengan dibayari kampus. Sehingga sekarang mereka sudah S1, dan S2 dan tak perlu di PHK, karena sudah jadi dosen statusnya. He he he laboran saya sekarnag sudah punya gelar S2. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/11/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: Alasannya sangat sederhana, karena tanpa auditorpun sudah bisadisimpulkan betapa kekurangan dananya PTN :)Ini seperti menghusulkan agar didatangkan auditor untuk ngecekapa pak Amat, tukang becak, harus membayar pajak penghasilan karena dia tidak punya NPWP. Jadi harus diaudit dulu.hi hi hi.Orang-orang tetap ngotot bahwa pak Amat harus diaudit,sebab semua orang harus punya NPWP. bhwa ha ha ha ha ha. Wah kalo PTN dibilang kurang dana, saya nggak paham. Siapa yang salah. PTN itu bukan kurang dana, tapi kurang beres mengurus dana :-) (dana dalam arti bukan duit saja). menghasilkan output penelitian. Bagaimana bisa ya?Ternyata penelitian tersebut didanai oleh sang dosennya sendiri. Kalau diaudit ini bisa jadi temuan, sebab seharusnya tidak adahasil penelitian. Menurut saya hal ini normal-normal saja. Karena penelitian suatu lembaga itu tidak ditentukan oleh siapa pemberi dana, tapi siapa yang melakukan. Yang beda adalah hak menggunakan hasil penelitian itu. Di Jerman misal kita terima kontrak penelitian dg dana si A, maka tetap aja hasil penelitian itu adalah hasil research group itu, tetapi hak mengkomnersialkan bergantung dari si pemberi dana Di tempat saya ada 1 yg terima kontrak dari Siemens IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/11/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Ada disconnection disini antara om made,Adi dan Pak Budi.Berdasarkan ujaran beliau(om made dan Pak Adi), PTN tidak efisien.Harusdiaudit sehingga ada accountability public.Sementara ujar Pak Budi: memang kurang dana. Nah itu kurang dananya (dari yg saya tangkap oleh Om Made) apakahkarenaa) tidak efisien ataub) karena memang gak ada duit ?c) dua duanya, kalau ya sebutkan berapa prosen faktor inefisiensi ? 0.1 %, 2% , 50% ? Tergantung apa dana yang dimaksud. Misal dalam operasioanl PT dibutuhkan dana - Bangunan dan mebel (biasnya PTS mengambil kredit dan membayar per bulan), utk PTN ini rata-rata sudah tertutupi - Gaji dosen dan karyawan (dosen dan karyawan kebanaykan PNS khan jadi sebagian di PTN sudah tertutupi) - Biaya peningkatan SDM yang tidak murah - Bahan habis - Biaya administrasi SIlahkan difikir-fikir, bagi PTN sebetlnya sebagian dana sudah tertutupi, dan bagi PTS masih perlu ditutupi IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Mungkin,lagi2 dalam masalah ini, kudu ada beasiswa jangka panjang ataufinancing pendidikan jangka panjang buat yang tidak mampu (membayar)tentunya dilakukan oleh pihak yang kelebihan duit. Hal itu dilakukan oleh kampus saya, staf dikasih beasiswa, karyawan dikasih beasiswa, mahasiswa pinter dikasih beasiswa. Resikonya, beberapa fasilitas fisik harus dipotong :-) karena ndak mau naikin SPP jadi mahal-mahal. Soalnya belum kelebihan duit. Lha gedung aja masih harus mbayar cicilan. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: lagi mikir-mikir mau sabatical di Singapura saja ahor, better yet, working for google??? Sabatical di Skandinavia aja mas Bud :-) biar dapat gambaran lain dan bisa main bareng MDAMT IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Zaki Akhmad [EMAIL PROTECTED] wrote: Dalam satu kesempatan yang lalu, ketika sedang ada hearing terbukacalon rektor ITB 2005-2010, salah seorang teman saya ada yang bertanya.Dan saya pikir pertanyaannya keren juga. Berikut pertanyaannya:Menurut Bapak Calon Rektor, apakah tidak sebaiknya manajemen kampus diserahkan saja ke pihak profesional di bidang manajemen dan kemudiandosen bisa asyik mengajar dan meneliti? (Contoh ekstrim tataranpraktisnya adalah: rektor bukan dari kalangan dosen, tapi dari lulusan MM) Di Jerman seorang Rektor relatif 'simbol' tidak mengurusi masalah harian operasional. Kerjaannya ngursin kerja sama dg pihak lain dsb Utk operasional manajemen harian ada yg disebut Kanselir IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote: Di tempat saya biaya per semester sekitar 2 jutaan :-), hi hi hi. Ada mahasiswa saya yang biaya per semesternya hanya Rp 750 ribu :-) Uang kuliah di BINUS berapa? Berapa jumlah mahasiswa per angkatan di Gunadarma/Binus/dll? Soal biaya, PTN udah terima dana misal - Fasilitas gedung dan tanah dibayar pemerintah (PTS harus bayar cicilan dan tidak murah) - Dosen tidak perlu membiayai kenaikan kualitasnya (beasiswa dan sebagainya banyak) Jadi ndak bener kalo dibilang PTN terima dana nol :-). Dimana-mana juga yang namanya PTN harus disubsidi pemerintah. Namanya juga PT n e g e r i :) oh ya, biasanya kenaikan kualitas dari dosennya seringkali ditanggung sendiri. at least, itu yang banyak dilakukan dosen di tempat saya, termasuk oleh saya. -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote: Wah kalo PTN dibilang kurang dana, saya nggak paham. Siapa yang salah. PTN itu bukan kurang dana, tapi kurang beres mengurus dana :-) (dana dalam arti bukan duit saja). hi hi hi. Nanti suatu saya kalau disuruh ngurusin PTN baru kerasa. Oh iya ya :) Kemarin ada satu grup sekolah swasta datang ke saya, meminta saya mengambil alih management sekolah tersebut yang awut-awutan (dikorupsi habis!). Saya geleng-geleng kepala. Gak PTN/PTS sami mawon. Tentu saja saya tolak. Saya gak berminat ... udah tahu bakalan pusing :) Di Jerman misal kita terima kontrak penelitian dg dana si A, maka tetap aja hasil penelitian itu adalah hasil research group itu, tetapi hak mengkomnersialkan bergantung dari si pemberi dana Di tempat saya ada 1 yg terima kontrak dari Siemens Di Canada tempat saya dulu juga kayak gitu. Di Indonesia? ;-) wink wink wink ... -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote: - Bangunan dan mebel (biasnya PTS mengambil kredit dan membayar per bulan), utk PTN ini rata-rata sudah tertutupi Tidak betul. Kecuali kalau kita masih mau menggunakan bangku tahun 1920 :) ha ha ha. Ada lagi yang repot kalau di PTN, yaitu aset tidak bisa dihilangkan begitu saja. Jadi, contohnya bisa saja ada komputer yang sudah rongsokang (misalnya XT), maka dia tidak bisa dibuang/dihapuskan. (Bisa sih, tapi prosesnya itu lho.) Bisa-bisa kena tuduhan korupsi. Jadi ada cost untuk inventory. - Gaji dosen dan karyawan (dosen dan karyawan kebanaykan PNS khan jadi sebagian di PTN sudah tertutupi) Emang gaji dosen PNS berapa gitu? ;-) Kalau saya digaji, mungkin resminya hanya Rp 1 juta/bulan. Gak bisa hidup kalau hanya ngandalkan itu. Office boy di tempat saya, gaji resminya dibawah UMR. (hanya cukup untuk naik angkot) - Biaya peningkatan SDM yang tidak murah Ini sama, meskipun memang benar opportunity lebih besar di PTN. - Bahan habis - Biaya administrasi Dua-duanya sama rasanya. SIlahkan difikir-fikir, bagi PTN sebetlnya sebagian dana sudah tertutupi,dan bagi PTS masih perlu ditutupi Nggak juga lho. Ada enaknya di PTS. PTS bisa menentukan biaya SPP sendiri. Ada kenaikan SPP, biaya ini dan itu bisa diputuskan dengan segera. Kalau di PTN, harus melalui birokrasi yang panjang. Saya ingat ketika diusulkan untuk menambahkan biaya Rp 10 ribu/semester agar mahasiswa mendapatkan akses Internet, itu butuh diskusi bertahun-tahun. -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote: Sabatical di Skandinavia aja mas Bud :-) biar dapat gambaran lain dan bisa main bareng MDAMT Gak tahu kenapa saya kok senang melihat Singapura. Lagian dekat dengan Indonesia. :) AirAsia pun tahun ini ada tiket gratis ke sono. he he he. Skandinavia dingin. Mengingatkan saya akan pengalaman lama. Ha ha ha. -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: Di tempat saya biaya per semester sekitar 2 jutaan :-),hi hi hi. Ada mahasiswa saya yang biaya per semesternyahanya Rp 750 ribu :-) Seperti yang saya sebut, di tempat saya utk mahasiswa tertentu ada yg nol karena kena discount ini itu :-) Berapa jumlah mahasiswa per angkatan di Gunadarma/Binus/dll? Per angkatan mahasiswa baru sekitar 6000-7000 mahasiswa. Karnea utk menutupi biaya operasional. Tapi jumlah mahasiwswa banyak mewajibkan jumlah dosen tetap banyak (menurut aturan 70% harus dosen tetap dengan ratio dosen:mahasiswa lupa saya pastinya) Memang banyak PTS bermain dg aturan 70% ini dengan mengurangi jumlah dosen tetap, dan menutupi dengan fasilitas fisik. - Dosen tidak perlu membiayai kenaikan kualitasnya (beasiswa dan sebagainya banyak)Jadi ndak bener kalo dibilang PTN terima dana nol :-).Dimana-mana juga yang namanya PTN harus disubsidi pemerintah.Namanya juga PT n e g e r i :) Hm... masalahnya bukan perlu tidaknya subsidi, tapi bagiamana pengelolaan subsidi itu. Di Jerman Universitas itu relatif hidup total dari dana pemerintah, sebagai dampaknya. Semua resource BOLEH dipakai oleh semua orang di luar kampus tersebut. oh ya, biasanya kenaikan kualitas dari dosennya seringkaliditanggung sendiri. at least, itu yang banyak dilakukan dosen di tempat saya, termasuk oleh saya. Ini yang saya sebut, secara institusional kurang bagus :-) IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: itu bukan kurang dana, tapi kurang beres mengurus dana :-) (dana dalam arti bukan duit saja).hi hi hi. Nanti suatu saya kalau disuruh ngurusin PTNbaru kerasa. Oh iya ya :) Sebelum saya ikut nguursin PTS, saya sudah ikut ngurusin Lab dan sebagian kegiatn ajurusan di UI. Jadi tidak heran, dan tahu penyakitnya. mengkomnersialkan bergantung dari si pemberi danaDi tempat saya ada 1 yg terima kontrak dari Siemens Di Canada tempat saya dulu juga kayak gitu.Di Indonesia? ;-) wink wink wink ... Di tempat saya, ada dana penelitian tapi banyak dosen muda yang malas memanfaatkanya. Lebih hebat lagi khan, masalahnya. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: On 1/12/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote:Sabatical di Skandinavia aja mas Bud :-) biar dapat gambaran lain dan bisa main bareng MDAMT Gak tahu kenapa saya kok senang melihat Singapura.Lagian dekat dengan Indonesia. :)AirAsia pun tahun ini ada tiket gratis ke sono. he he he. Saya nggak gitu tertarik dg Singapore karena - Udah bosen, saya lahir dan besar di kota yang cuma 30 menit dari Singapore - Kondisinye beda banget, dg kata lain oke banyak yang dipelajari tapi sedikit bisa diterapkan karena tingkat kompleksitasnya beda. Skandinavia dingin. Mengingatkan saya akan pengalaman lama.Ha ha ha. Datangnya ya jangan pas winter :-) he hehe h Sebagai suatu bentuk masyrakat Skandinavia termasuk menarik, misal sistem pendidikan tingginya. Ada semacam gelar yang diberikan kepada orang praktisi yang pengalaman dia disuruh nulis kertas kerja dan dapat anugrah gelar setara Master mungkin. Tujuannya bukan dia supaya dapat gelar, tapi supaya orang lain bisa belajar dari apa yang dia lakukan selama ini. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/11/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote: On Wed, Jan 11, 2006 at 05:32:35PM -, Muhamad Carlos Patriawan wrote: Terus kalau bisa diefisiensikan, bisa dihemat sampai berapa persen ? dan apakah ini sama dengan penghilangan berberapa departemen alias PHK ?by design, tiap-tiap fakultas jadinya berfungsi semacam kerajaan kecil.masing-masing mengadakan pungutan sendiri, yang pada dasarnya bisadishare lintas fakultas ... misalnya: lab, ruang kuliah, wc, satpam dll. Hal ini tidak terjadi di tempat saya, karena by design tidak seperti itu. Tapi akibatnya banyak pejabat yg berasal dari Uni yg memiliki model seperti itu, sering ngeluh. Istilah mereka power sebagai Ketua Jurusan atau dekan tidak ada. kalau ndak salah, hampir tiap fakultas mengeluh bahwa dana dariuniversitas itu kecil bin ndak cukup. Ini general di mana saja dan siapa saja , di Jerman juga begitu :-)) bahkan, di satu fakultas, masing-masing jurusan bisa memiliki labmasing-masing (yang juga mengadakan pungutan sendiri-sendiri). dari hari ke hari, lab-lab tsb. mostly idle ... masing-masing memiliki stafnon-pengajar sendiri-sendiri, menanggung biaya untuk listrik, airsendiri-sendiri. Di kampus saya tidak ada hal ini, Lab atau staf-nya adalah milik kampus termasuk pembiayaannya. Jadi ini memudahkan utk sharing. Ndak ada masalah asisten jurusan komputer memberi mateir komputer di jurusan sastra (biaya murah, para asisten senang, terutama yang bujangan) dimasuki 100 orang sekaligus, tetapi yang berkeliaran cuman 1 atau duabiji saja :-) rata-rata gedung kuliah untuk ini mentereng dan mahal, yang akhirnya menjadi justifikasi biaya *pendidikan* yang mahal. Terus terang, fasilitas pendidikann mentereng lebih memiliki nilai jual ke masyarakat luas, sedangkan fasilitas seperti dosen, perpustakaan, dsb tidak memiliki nilai jual. Mahasiswa sering protest kalau ruangan tak berAC tapi tak pernah protest (atau sedikit) kalau perpustakaannya tak berisi mestinya, kalau memang biaya pendidikan itu mahal, maka masing-masingperguruan tinggi secara sukarela mengundang para auditor dari luar untuk datang memeriksa. ini merupakan hil yang mustahal. padahal hasil auditdari pihak ketiga ini merupakan salah satu faktor yang menentukantingkat akuntabilitasnya. Kalau PTS karena bersifat yayasan harus melakukan hal itu. Di tambah lagi, kalau kita menerima bantuan dari luar, maka audit secara terbuka WAJIB dilakukan. Saya tahu soalnya sekarang rekan-rekan saya lagi proses audit proyek kerjasama tersebut. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/11/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: Dari pengalaman saya ikut terlibat dalam operasional:- tidak efisien, tentu saja ada (seberapa besar? itu saya tidak tahu)- tidak ada duit, tentu saja tidak sepenuhnya benar.duit ada, tapi besarnya itu lho. Efisiensi dihitung berdasarkan pemasukan vs pengluaran, pemasukan ini tidak terhitung hanya dana operasional saja khan Kalau mau bicara inefisiensi kan begini:- di PTN1 masuk xyz rupiah, keluarannya abc - di PTN2 masuk xyz rupiah, keluarannya def- di PTS1 masuk xyz rupiah, keluarannya ghiNah ... gimana kalau kasusnya begini- di PTN3 masuk 0 rupiahkita mengharapkan keluarannya apa/berapa? Giman akalau dihtiung, PTN saat ini sudah punya modal besar misal - Dosen - Mahassiswa yg terseleksi - Subsidi yg telah terendapkan Kalau hasilnya masih X gimana ??? PS: saya sudah tidak digaji resmi 7 tahun, tapi tetap ngajarNah, kalau mau diukur efisiensi ... gimana ngukurnya ya? Yang nggak nggaji itu yg geblek. Dg kata lain institusinya yg salah (kembali ke dasar pemikiran bahwa ada yg salah pada pengelolaan PT tersebut) IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Pusingpusingpusing. (banyak bintang berputar di kepala saya diselingi burung-burung berkicauan) Kok saya malah jadi pusing ya baca topik di teknologia kali ini? Saya pikir topiknya sudah semakin bergeser, tidak lagi dosen vs mahasiswa. Saya malah melihat perbedaan pendapat meruncing di sisi manajerial PTN dan PTS. Dan saya pikir setiap masalah unik. Saya tidak tahu apakah pendekatan dengan cara perbandingan head-to-head akan menghasilkan solusi atau kebalikannya, justru memperuncing masalah. Ada satu diskusi menarik juga di milis komunitas yang saya ikuti. Saya coba cerita sedikit disini. Jadi ada salah seorang teman saya yang beropini: Mayoritas orang Indonesia yang memilih untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang S1 sebenarnya motivasi utamanya adalah setelah lulus nanti mendapatkan gaji yang sebesar-besarnya. Tidak salah sih, toh itu manusiawi: manusia ingin hidup sejahtera dan hidup layak. Namun, hal apakah yang bisa mengalahkan uang? (Ups, pertanyaan retorik: tidak perlu dijawab saja deh biar aman). Balik lagi ke PTN dan PTS. Apa akibatnya dari mayoritas orang Indonesia yang melanjutkan pendidikan hingga jenjang S1 dengan motivasi yang saya sebut diatas? Tidak ada yang mau jadi guru. Tidak ada yang mau jadi dosen. Lhah ngapain jadi dosen/guru, wong hidupnya saja tidak layak. Apa akibat jangka panjang dari hal ini? Kualitas SDM Indonesia akan semakin mundur. Gimana mau maju, yang mau jadi guru/dosen saja tidak ada. Kalaupun ada, bisa jadi itu gara-gara tidak ada pilihan profesi lain yang lebih baik. Jadi jangan berharap kualitas murid/mahasiswa akan lebih baik apabila yang mengajar saja setengah hati. (Wah looping negatif bisa terjadi lagi nih. Jadi sebaiknya tidak usah diteruskan saja ya bagian ini) Ada yang tahu kabar RUU Guru/Dosen sudah sampai mana ya? Maklum kuper nih. Ayo dong kembali berpikir positif lagi. Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/13/06, Zaki Akhmad [EMAIL PROTECTED] wrote: Pusingpusingpusing. (banyak bintang berputar di kepala saya diselingi burung-burung berkicauan) Kok saya malah jadi pusing ya baca topik di teknologia kali ini? Saya pikir topiknya sudah semakin bergeser, tidak lagi dosen vs mahasiswa. Saya malah melihat perbedaan pendapat meruncing di sisi manajerial PTN dan PTS. Dan saya pikir setiap masalah unik. Saya tidak tahu apakah pendekatan dengan cara perbandingan head-to-head akan menghasilkan solusi atau kebalikannya, justru memperuncing masalah. Pembelokan masalah terjadi karena ada yang melihat kata-kata yang menarik untuk direspon sehingga masalah semula tidak mencapai kesimpulan (sudah bercabang duluan). ** Email saya ini juga termasuk pembelokan masalah, karena saya mempermasalahkan pembelokan masalah itu dan tidak sesuai dengan judul subyek/thread ini.. --duh..pusing..hehehe... - **
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Affan Basalamah wrote: Enakan di Malaysia aja pak, negaranya enak, aman damai tenteram, infrastruktur nya sangat bagus, dan suasananya sangat dekat dengan Islam. Ini sempet saya tulis di blog saya kemarin : http://affanzbasalamah.blogsome.com/2006/01/04/kempen-anti-laman-lucah-di-malay/ -affan Ach kalau Bang Affan sich ada maunya di Malaysia :-) Anyway saya setuju dengan Malaysia.Kota lain yang saya tertarik selain silicon valley sebenarnya hanya KL.Karena bisa tetap berada di engineering dan bisa dengerin azan tiap Subuh dari mesjid. Kalo singapore dan skandinavia: tanggung ! :) Btw saya tanya ke rekans2 Dubai juga bagus,tapi RD jobs gak banyak disana walaupun jobs untuk admins/consulting/service industry-related banyak. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Pada hari Kamis, tanggal 12/01/2006 pukul 09:28 -0800, Muhamad Carlos Patriawan menulis: Nah ntu dia...hari gini masih ada yang mau ke kerja di Sun :) Cuman pertanyaan kayak begini baru bisa dimengerti kalo dah lama tinggal di valley :) Tergantung juga. Saya sih liat deskripsi kerjanya, kalau saya pribadi liatnya masih ada hubungan dgn OSS tidak, kalau ya pasti menarik. Lekas, keburu diambil sama Sanjay atau Manishankar duluan. Udah gak lagi mdamt,ngapain si Hitesh,Nilesh,Gitesh,Kuntesh dan Puntesh cape cape kerja di Sun di Irlandia kalau Sun,Google,Amazon.com,Cisco,Boeing,Intel dan Microsoft ada di depan rumah mereka :-) Wah kurang gaul nih, depan rumahnya Kuntesh itu toko kain Bombay di passer baroe. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Mohammad DAMT wrote: Pada hari Kamis, tanggal 12/01/2006 pukul 09:28 -0800, Muhamad Carlos Patriawan menulis: Nah ntu dia...hari gini masih ada yang mau ke kerja di Sun :) Cuman pertanyaan kayak begini baru bisa dimengerti kalo dah lama tinggal di valley :) Tergantung juga. Saya sih liat deskripsi kerjanya, kalau saya pribadi liatnya masih ada hubungan dgn OSS tidak, kalau ya pasti menarik. Nah ntu Dia. Kerjaan related/spesifik yang kita mau itu **banyak** kalo di tempat yang punya industri sejenis (macam hitek untuk silicon valley)... jadi banyak pilihan. Lekas, keburu diambil sama Sanjay atau Manishankar duluan. Udah gak lagi mdamt,ngapain si Hitesh,Nilesh,Gitesh,Kuntesh dan Puntesh cape cape kerja di Sun di Irlandia kalau Sun,Google,Amazon.com,Cisco,Boeing,Intel dan Microsoft ada di depan rumah mereka :-) Wah kurang gaul nih, depan rumahnya Kuntesh itu toko kain Bombay di passer baroe. Wah Kuntesh-nya Kuntesh NRI ya :-) Non-Resident Indian yang tinggal di Jakarta ? hehehe Cari yang Kuntesh di Bangalore dong.Si Kuntesh2 ini saking semangatnya berani sesumbar: IN 5 years we will beat Silicon Valley. Nah. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: - Bangunan dan mebel (biasnya PTS mengambil kredit dan membayar per bulan), utk PTN ini rata-rata sudah tertutupiTidak betul. Kecuali kalau kita masih mau menggunakan bangkutahun 1920 :) ha ha ha. Ini yang saya sebut dalam biaya operasional (bahan habis terpakai). Beda dengan tanah. Yang membedakan adalah mungkin di dalam perencanaan anggarannya. Di tempat saya biasanya kita harus menghitung dari awal, alat itu kita pakai berapa tahun dan harus kita buang berapa tahun setelah balik modal. Balik modal ditentukan dengan berapa jumlah mahasiswa yang telah dilayani atau berapa banyak kegiatan yang telah dilayani oleh peralatan tersebut. Ada lagi yang repot kalau di PTN, yaitu aset tidak bisa dihilangkanbegitu saja. Jadi, contohnya bisa saja ada komputer yang sudah rongsokang (misalnya XT), maka dia tidak bisa dibuang/dihapuskan.(Bisa sih, tapi prosesnya itu lho.) Bisa-bisa kena tuduhan korupsi.Jadi ada cost untuk inventory. Sama saja, ndak di PTS dan PTN kalau betul kita harus punya strategy atau policy utk situasi itu. Mungkin yg membedakan adalah, - Gaji dosen dan karyawan (dosen dan karyawan kebanaykan PNS khan jadi sebagian di PTN sudah tertutupi)Emang gaji dosen PNS berapa gitu? ;-)Kalau saya digaji, mungkin resminya hanya Rp 1 juta/bulan.Gak bisa hidup kalau hanya ngandalkan itu.Office boy di tempat saya, gaji resminya dibawah UMR. (hanya cukup untuk naik angkot) Tetapi saja ada sejumlah yang telah ditutupi dari subsidi pemerintah. Jangan hitung 1 juta/bulan tapi hitung dari dana gaji tersebut berapa yang telah ditutupi. BTW tahu berapa gaji dosen PTS he he he he - Biaya peningkatan SDM yang tidak murahIni sama, meskipun memang benar opportunity lebih besar di PTN. PTN lebih banyak mendapat change beasiswa (bahkan dulu hanya PTN saja yang memperoleh fasiltias itu), artinya secara tidak langsung penaikan SDM sudah dicover oleh pemerintah. Coba saja kita undur sekitar 15 tahun yg lalu, dan hitung dana kenaikan SDM itu rata-rata turun di mana. Saya tahu pasti dana ini besar, karena selalu harus menghitung tiap tahun berapa USD yang harus dihabiskan Gunadarma utk saya dan istri saya :-) serta teman-teman dosen lainnnya yang dibiayai oleh Gunadarma. Nggak juga lho.Ada enaknya di PTS. PTS bisa menentukan biaya SPP sendiri. Ada kenaikan SPP, biaya ini dan itu bisa diputuskandengan segera. Kalau di PTN, harus melalui birokrasi yangpanjang. Saya ingat ketika diusulkan untuk menambahkanbiaya Rp 10 ribu/semester agar mahasiswa mendapatkan akses Internet, itu butuh diskusi bertahun-tahun. Wah ndak sesimple itu mas Bud. PTS juga ndak bisa naikin SPP seenak udel-nya. Mau gedung dan kaca kampus dilempari mahasiswa ??? Mau dosen dan karyawan langsung minta kenaikan gaji. Jadi pertimbangannya yang beda. Sama-sama sulit, tapi beda sulitnya. Kalau di PTN lebih pada sisi birokratis, di PTS lebih sisi dampak kenaikan SPP itu. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote: On 1/12/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: hi hi hi. Ada mahasiswa saya yang biaya per semesternya hanya Rp 750 ribu :-) Seperti yang saya sebut, di tempat saya utk mahasiswa tertentu ada yg nol karena kena discount ini itu :-) Tentu saja selalu ada beasiswa dan bantuan lain-lainnya. Secara umum, PTS biasanya lebih mahal. Itulah sebabnya saya tidak langsung percaya kalau disebutkan PTN lebih mahal dari PTS. Per angkatan mahasiswa baru sekitar 6000-7000 mahasiswa. Hal lain lagi adalah masalah skala. Kalau ada 6000 mahasiswa * Rp 2 juta = Rp 12 milyar. Kalau di tempat saya ada 200 mahasiswa * Rp 2 juta = 400 juta Ada perbedaan yang cukup besar karena skala ini. Tentu saja mengelola 6000 mahasiswa lebih sukar daripada mengelola 200 orang. You give and take, lah ;-) Hm... masalahnya bukan perlu tidaknya subsidi, tapi bagiamana pengelolaan subsidi itu. Di Jerman Universitas itu relatif hidup total dari dana pemerintah, sebagai dampaknya. Semua resource BOLEH dipakai oleh semua orang di luar kampus tersebut. Mungkin perlu diperhatikan: - berapa besar (nilainya) subsidi pemerintah tersebut? Jika kita lihat, seluruh kebutuhan basic di universitas Jerman sudah dapat dipenuhi oleh subsidi tersebut. Di Indonesia, ini belum. Subsidi pemerintah (yang terus dikurangi dengan cara memprivatisasi berbagai universitas), hanya cukup untuk membayar gaji dengan standar PNS. Selebihnya, harus cari sendiri. Bayar listrik saja mungkin sebulan sudah lebih dari Rp 100 juta. Telepon mungkin Rp 250 juta. Belum lagi bahan-bahan habis seperti zat kimia, dsb. Model di Belanda lain lagi. Dari bincang2 dengan profesor Belanda yang datang ke Indonesia (karena kami memiliki kerjasama dengan Belanda, jadi dia bolak balik ke Bandung) diketahui bahwa mereka mengelolanya seperti entitas bisnis sendiri. Fasilitas dan lain-lainnya adalah milik lab, yang tentunya digunakan sesuai dengan kebutuhan lan. Dengan kata lain: kerajaan kecil. Ternyata bisa jalan juga tuh. Model di negara lain, beda lagi. Jadi ada banyak model, yang masing-masing ada success story dan kegagalan. Yang menarik mungkin melihat di IIT Bombay kali ya? -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Affan Basalamah [EMAIL PROTECTED] wrote: Enakan di Malaysia aja pak, negaranya enak, aman damai tenteram, infrastruktur nya sangat bagus, dan suasananya sangat dekat dengan Islam. Tapi jeleknya: ada banyak sifat orang Melayu juga! (Antara lain pemalas, saling sikut/ganjel :) he he he. Samalah seperti kita-kita juga.) Waktu habis pulang dari Canada dulu, saya sempat mau mampir dulu (ngajar) di Malaysia. Sudah ditawari di UTM, UKM, UM, terus sekolahannya Tenaga (lupa apa namanya). Bahkan ada yang sudah mengajak ke kampusnya sampai menunjukkan tempat duduknya. (Waktu itu ada profesor dari India yang kontraknya sudah selesai. Dia mengajar VLSI. Saya diminta untuk menggantikan dia.) Yang enak di Malaysia memang soal makanan. Yang susah di negara lain adalah cari makanan yang halal :) Nggak bisa langsung masuk ke restoran dan pesan. Oh ya, sekarang hampir semua bidang di Indonesia ada investor Malaysianya. Artinya, kita sudah hampir tidak memiliki apa2 lagi di Indonesia. Memang benar Malaysia makin maju! Ayo, kita buat Indonesia maju juga. Kalau Malaysia bisa, mengapa kita tidak? Jadi ingat kalimat yang kemarin saya baca: Kalau mau, pasti bisa! -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Budi Rahardjo wrote: On 1/12/06, Affan Basalamah [EMAIL PROTECTED] wrote: Enakan di Malaysia aja pak, negaranya enak, aman damai tenteram, infrastruktur nya sangat bagus, dan suasananya sangat dekat dengan Islam. Tapi jeleknya: ada banyak sifat orang Melayu juga! (Antara lain pemalas, saling sikut/ganjel :) he he he. Samalah seperti kita-kita juga.) wah Pak di India juga ada koq... Waktu habis pulang dari Canada dulu, saya sempat mau mampir dulu (ngajar) di Malaysia. Sudah ditawari di UTM, UKM, UM, terus sekolahannya Tenaga (lupa apa namanya). Bahkan ada yang sudah mengajak ke kampusnya sampai menunjukkan tempat duduknya. (Waktu itu ada profesor dari India yang kontraknya sudah selesai. Dia mengajar VLSI. Saya diminta untuk menggantikan dia.) Yang enak di Malaysia memang soal makanan. Yang susah di negara lain adalah cari makanan yang halal :) Nggak bisa langsung masuk ke restoran dan pesan. Di silicon valley (san jose dan sekitarnya) makanan halal gak jadi masalah,restoran indopak/arab/halal ada dimana2..bahkan daging di cisco campus pun sudah halal meats sekarang. Oh ya, sekarang hampir semua bidang di Indonesia ada investor Malaysianya. Artinya, kita sudah hampir tidak memiliki apa2 lagi di Indonesia. Memang benar Malaysia makin maju! Ada faktor lain.Malaysia banyak terima funds dari negara Arab karena Arab trade/income surplus dari harga minyak dunia DAN tekanan AS ke Arab investment komunity sejak kejadian wtc. Jadi banyak dana yang tadinya mengalir ke AS sekarang pindah ke ... Malaysia. Dan ini bukan kelas 1 atau 2 M Pak..Tapi kelas wahid... dan seperti biasa Indonesia cuman nonton doang :) Maklum ketua Investment Komunitynya pun (Theo Tomiun) baru masuk penjara. Ayo, kita buat Indonesia maju juga. Kalau Malaysia bisa, mengapa kita tidak? Jadi ingat kalimat yang kemarin saya baca: Kalau mau, pasti bisa! Dari statistik:kemudahan berbisnis di Indonesia masih dibawah Iraq :-) Kalau mau serius,itu UU Investasi di Indonesia harus berubah total sehingga investasi asing di Indonesia gampang masuk dan berkembang. Bisa sih kita berkembang,tapi dari ukuran individual saja,gak/belum bisa secara keseluruhan. Carlos
[teknologia] Kemudahan Investasi (was: Re: [teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa)
On 1/13/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: ... Dari statistik:kemudahan berbisnis di Indonesia masih dibawah Iraq :-) Kalau mau serius,itu UU Investasi di Indonesia harus berubah total sehingga investasi asing di Indonesia gampang masuk dan berkembang. ... Nah itu dia salah satu yang menjadi PR dari BHTV. Kami selalu mencoba mendobrak hal itu. Kemarin ada pertemuan di Cimahi (membahas tentang Cimahi Cyber City) dimana salah satunya adalah kemudahan untuk melakukan investasi. Pak Walikota menanyakan, apa kongkritnya yang diinginkan? - Aturan mana yang harus diubah dan diubahnya seperti apa? - Persyaratan2 apa yang harus dipenuhi? Perlu diingat bahwa Cimahi sudah bermain di level global, tapi untuk urusan tekstil. Jadi itu salah satu kelebihan mereka. Pernah dan masih ikut terlibat di skala global. Sayangnya tekstil kalah perang dengan Cina. :( Nah ... kalau mau, bisa kita diskusikan lebih lanjut -- budi
[teknologia] Re: Kemudahan Investasi (was: Re: [teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa)
Budi Rahardjo wrote: On 1/13/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: ... Dari statistik:kemudahan berbisnis di Indonesia masih dibawah Iraq :-) Kalau mau serius,itu UU Investasi di Indonesia harus berubah total sehingga investasi asing di Indonesia gampang masuk dan berkembang. ... Nah itu dia salah satu yang menjadi PR dari BHTV. Kami selalu mencoba mendobrak hal itu. Kemarin ada pertemuan di Cimahi (membahas tentang Cimahi Cyber City) dimana salah satunya adalah kemudahan untuk melakukan investasi. Pak Walikota menanyakan, apa kongkritnya yang diinginkan? - Aturan mana yang harus diubah dan diubahnya seperti apa? - Persyaratan2 apa yang harus dipenuhi? Perlu diingat bahwa Cimahi sudah bermain di level global, tapi untuk urusan tekstil. Jadi itu salah satu kelebihan mereka. Pernah dan masih ikut terlibat di skala global. Sayangnya tekstil kalah perang dengan Cina. :( Nah ... kalau mau, bisa kita diskusikan lebih lanjut Deregulasi apa saja yang dilakukan bisa dilihat dari contoh di buku Flight Capital. Ada tiga negara yang sangat notable disitu: India,China dan Irlandia (Note: Alasan ekonomi ini dipakai Google untuk punya operasi terbesar di luar AS di Irlandia ). Kalau di India,salah satu alasan vendor kenapa pindah ke Bangalore dan bukan kota lain adalah karena rendahnya import tax,mudah mengimport barang dari luar ke state Karnataka.Kedua,kemudahan berbisnis/setup company,dkk. Bisa juga merunut dari statistik yang dibuat International Finance Economy (kalau ndak salah) tentang hal apa saja yang membuat sebuah investasi mudah dilakukan.Yang saya ingat negara terbaik di kategori ini adalah Skandinavia,AS dan Singapura/Hongkong untuk level Asia. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Budi Rahardjo wrote: Tapi jeleknya: ada banyak sifat orang Melayu juga! (Antara lain pemalas, saling sikut/ganjel :) he he he. Samalah seperti kita-kita juga.) Yup betul, Pak Budi! Saya jadi kembali teringat saya pernah baca dua buku Mahathir. Yang satu biografi beliau (tapi menurut saya buku ini tidak terlalu bagus), satu lagi tulisan Mahathir sendiri: Dilema Melayu. Kurang lebih Mahathir menyoroti budaya melayu yang negatif seperti itu: malas, tidak suka bekerja keras, gontok-gontokan, feodal?, , , dicukupkan saja deh. Waktu habis pulang dari Canada dulu, saya sempat mau mampir dulu (ngajar) di Malaysia. Sudah ditawari di UTM, UKM, UM, terus sekolahannya Tenaga (lupa apa namanya). Bahkan ada yang sudah mengajak ke kampusnya sampai menunjukkan tempat duduknya. (Waktu itu ada profesor dari India yang kontraknya sudah selesai. Dia mengajar VLSI. Saya diminta untuk menggantikan dia.) Wah ketahuan deh Pak Budi pernah jalan-jalan juga ke Malaysia. Ayo, kita buat Indonesia maju juga. Kalau Malaysia bisa, mengapa kita tidak? Jadi ingat kalimat yang kemarin saya baca: Kalau mau, pasti bisa! -- budi Setelah ukemauan/u kemudian diikuti dengan ukerja keras/u dan ukreativitas/u. Hi..hi...hii tiga tulisan ini saya corat-coret di tabung-katoda saya. Ayo Zaki, semangat Zaki!
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Yang menarik mungkin melihat di IIT Bombay kali ya? -- budi Nah, ini tugasnya sudah diserahkan kepada rekan Fatih yg ada di milis ini :) Konon rekan2nya kemaren ini bikin SBY sewot kerena membandingkan universtitas di India dan UI langsung didepan beliau. carlos
[teknologia] Re: Kemudahan Investasi (was: Re: [teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa)
Jadi pingin tahu pak... Konon setelah otda ada puluhan jenis pajak yang harus dibayar seorang pengusaha. Apa bener ya? Saya sendiri nggak tahu, hehehe Kalau saya singkat saja. Cimahi kalau mau menarik investor dunia IT harus bersaing dengan Bangalore dan Penang. Jadi Cimahi harus lebih dari Bangalore dan Penang :-) - lulusan PT di sekitar Bandung/Cimahi - sudah memadai - infrastruktur, termasuk broadband- dipertanyakan (bakal ada WiMax di Cimahi? BaliCamp saja pakai jalur internet sampai ke Hawaii lho). Monopoli Indosat dan Telkom apakah masih perlu dipertahankan? - level pusat - kemudahan ekspor dan transportasi - jalur udara baru lewat Bandung, itupun bukan pelabuhan internasional. Harus ke Jakarta lewat jalan tol. Jalur Bandung-Cimahi sering macet pula. - kestabilan hukum termasuk isu hak cipta - saya mah nggak tahu bidang ini jadi no comment. Katanya penting, tapi Cina saja nggak punya perlindungan hak cipta bisa jadi sasaran investor? Apa andalannya hanya IGOS - level pusat - balik lagi ke pertanyaan awal: berapa pajak dan retribusi yang harus dibayar (baik resmi maupun tak resmi) dan berapa perbandingan dengan Bangalore dan Penang? Salam, Nano --- Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] schrieb: On 1/13/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: ... Dari statistik:kemudahan berbisnis di Indonesia masih dibawah Iraq :-) Kalau mau serius,itu UU Investasi di Indonesia harus berubah total sehingga investasi asing di Indonesia gampang masuk dan berkembang. ... Nah itu dia salah satu yang menjadi PR dari BHTV. Kami selalu mencoba mendobrak hal itu. Kemarin ada pertemuan di Cimahi (membahas tentang Cimahi Cyber City) dimana salah satunya adalah kemudahan untuk melakukan investasi. Pak Walikota menanyakan, apa kongkritnya yang diinginkan? - Aturan mana yang harus diubah dan diubahnya seperti apa? - Persyaratan2 apa yang harus dipenuhi? Perlu diingat bahwa Cimahi sudah bermain di level global, tapi untuk urusan tekstil. Jadi itu salah satu kelebihan mereka. Pernah dan masih ikut terlibat di skala global. Sayangnya tekstil kalah perang dengan Cina. :( Nah ... kalau mau, bisa kita diskusikan lebih lanjut -- budi ___ Telefonate ohne weitere Kosten vom PC zum PC: http://messenger.yahoo.de
[teknologia] Re: Kemudahan Investasi (was: Re: [teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa)
Estananto wrote: Jadi pingin tahu pak... Konon setelah otda ada puluhan jenis pajak yang harus dibayar seorang pengusaha. Apa bener ya? Saya sendiri nggak tahu, hehehe Kalau saya singkat saja. Cimahi kalau mau menarik investor dunia IT harus bersaing dengan Bangalore dan Penang. Jadi Cimahi harus lebih dari Bangalore dan Penang :-) - lulusan PT di sekitar Bandung/Cimahi - sudah memadai - infrastruktur, termasuk broadband- dipertanyakan (bakal ada WiMax di Cimahi? BaliCamp saja pakai jalur internet sampai ke Hawaii lho). Monopoli Indosat dan Telkom apakah masih perlu dipertahankan? - level pusat Ini priority 2. - kemudahan ekspor dan transportasi - jalur udara baru lewat Bandung, itupun bukan pelabuhan internasional. Harus ke Jakarta lewat jalan tol. Jalur Bandung-Cimahi sering macet pula. Ini priority 3. Di bangalore,airportnya satu(bekas militer) dan cuman punya satu gateway. The worst airport i've ever seen. Indonesia gak kalah dalam hal ini. - kestabilan hukum termasuk isu hak cipta - saya mah nggak tahu bidang ini jadi no comment. Katanya penting, tapi Cina saja nggak punya perlindungan hak cipta bisa jadi sasaran investor? Apa andalannya hanya IGOS - level pusat Andalan india,china,irlandia: massive SDM yang berkualitas ;-) Nah. - balik lagi ke pertanyaan awal: berapa pajak dan retribusi yang harus dibayar (baik resmi maupun tak resmi) dan berapa perbandingan dengan Bangalore dan Penang? nah ini prioritas #1 memang. Carlos Salam, Nano --- Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] schrieb: On 1/13/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: ... Dari statistik:kemudahan berbisnis di Indonesia masih dibawah Iraq :-) Kalau mau serius,itu UU Investasi di Indonesia harus berubah total sehingga investasi asing di Indonesia gampang masuk dan berkembang. ... Nah itu dia salah satu yang menjadi PR dari BHTV. Kami selalu mencoba mendobrak hal itu. Kemarin ada pertemuan di Cimahi (membahas tentang Cimahi Cyber City) dimana salah satunya adalah kemudahan untuk melakukan investasi. Pak Walikota menanyakan, apa kongkritnya yang diinginkan? - Aturan mana yang harus diubah dan diubahnya seperti apa? - Persyaratan2 apa yang harus dipenuhi? Perlu diingat bahwa Cimahi sudah bermain di level global, tapi untuk urusan tekstil. Jadi itu salah satu kelebihan mereka. Pernah dan masih ikut terlibat di skala global. Sayangnya tekstil kalah perang dengan Cina. :( Nah ... kalau mau, bisa kita diskusikan lebih lanjut -- budi ___ Telefonate ohne weitere Kosten vom PC zum PC: http://messenger.yahoo.de
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Fri, Jan 13, 2006 at 04:51:09AM +0700, Budi Rahardjo wrote: - berapa besar (nilainya) subsidi pemerintah tersebut? Jika kita lihat, seluruh kebutuhan basic di universitas Jerman sudah dapat dipenuhi oleh subsidi tersebut. sebetulnya ini titik pangkal pertanyaan sementara orang kenapa PTN harus (lebih) mahal. dulu pun sebenarnya operasional ndak cukup, apalagi kalau gedung dan tanah dan gaji (yang sedikit itu) harus ditanggung sendiri. ala-mak-jan. sekarang, gedung dan tanah masih, gaji (PNS) masih, dulu era subsidi juga kurang, sama saja, sekarang setelah dinaikkan pasti masih kurang juga. nah ... pertanyaannya, kalau dulu bisa kenapa sekarang tidak? jadi ndak salah kan kalau ada yang bilang bahwa birokrat (bbrp) PTN mengambil jurus aji mumpung? sampai-sampai ada yang berkomentar: 'anda tahu tidak besar spp taman kanak-kanak sekarang?' (maksudnya: ya wajar dong kalau biaya PTN naik). omong-omong, walaupun sedikit, subsidi yang dulu-dulu itu duit rakyat juga lho ... walapun (konon) 80% roda ekonomi berputar dikalangan menengah atas dan hanya 20% saja bisa dinikmati kaum mayoritas (miskin). lantas apa yang dilakukan PTN demi membalas budi kaum mayoritas tsb? dulu pun akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sudah terbatas (daya tampung PTN terbatas), sekarang lebih terbatas lagi, padahal era-nya kan sekarang harus serba sarjana, dokter harus spesialis, dukun pun kalau bisa, diembel-embeli dengan gelar profesor doktor dokter insinyur. rumit? sukar dipahami? hrs ada konsensus? egp? it's okay lah .. he..he.. the world is not enough :-) btw, dengan kondisi sekarang, kembali ke topik 'Dosen vs Mahasiswa', mestinya lebih gampang menendang dosen ke luar dari pada mahasiswa ya hi..hi.. (j/k). Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
- Original Message - From: adi [EMAIL PROTECTED] To: teknologia@googlegroups.com Sent: Friday, January 13, 2006 12:46 AM Subject: [teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa On Fri, Jan 13, 2006 at 04:51:09AM +0700, Budi Rahardjo wrote: - berapa besar (nilainya) subsidi pemerintah tersebut? Jika kita lihat, seluruh kebutuhan basic di universitas Jerman sudah dapat dipenuhi oleh subsidi tersebut. sebetulnya ini titik pangkal pertanyaan sementara orang kenapa PTN harus (lebih) mahal. dulu pun sebenarnya operasional ndak cukup, apalagi kalau gedung dan tanah dan gaji (yang sedikit itu) harus ditanggung sendiri. ala-mak-jan. sekarang, gedung dan tanah masih, gaji (PNS) masih, dulu era subsidi juga kurang, sama saja, sekarang setelah dinaikkan pasti masih kurang juga. nah ... pertanyaannya, kalau dulu bisa kenapa sekarang tidak? jadi ndak salah kan kalau ada yang bilang bahwa birokrat (bbrp) PTN mengambil jurus aji mumpung? sampai-sampai ada yang berkomentar: 'anda tahu tidak besar spp taman kanak-kanak sekarang?' (maksudnya: ya wajar dong kalau biaya PTN naik). omong-omong, walaupun sedikit, subsidi yang dulu-dulu itu duit rakyat juga lho ... walapun (konon) 80% roda ekonomi berputar dikalangan menengah atas dan hanya 20% saja bisa dinikmati kaum mayoritas (miskin). lantas apa yang dilakukan PTN demi membalas budi kaum mayoritas tsb? dulu pun akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sudah terbatas (daya tampung PTN terbatas), sekarang lebih terbatas lagi, padahal era-nya kan sekarang harus serba sarjana, dokter harus spesialis, dukun pun kalau bisa, diembel-embeli dengan gelar profesor doktor dokter insinyur. rumit? sukar dipahami? hrs ada konsensus? egp? it's okay lah .. he..he.. the world is not enough :-) btw, dengan kondisi sekarang, kembali ke topik 'Dosen vs Mahasiswa', mestinya lebih gampang menendang dosen ke luar dari pada mahasiswa ya hi..hi.. (j/k). mas Adi, Sebetulnya apa sih yang kita inginkan dari PT(N) itu? Jangan-jangan apa yang kita pikulkan ke pundak PT itu nggak realistis. Seperti contohnya bahkan untuk membalas budi mayoritas rakyat saja dibebankan ke pundak PT(N). Emangnya PT itu apaan yakhe he he he... Saya pikir sudah waktunya kita berfikir logis, realistis dan duitnya diitung yang bener. PT itu diharapkan apa lalu diberi modal berapa. Kalo modalnya nggak ada, harapannya yang diturunin. Itu realistiskita juga kalo nggak punya duit beli mobil baru kan mobil bekas juga nggak apa-apa. Contohnya: kalo memang modalnya hanya cukup untuk produsen sarjana, dan nggak cukup buat bicara penelitian apa lagi bicara menumbuhkembangkan enterpreneurship, maka wajib hukumnya buat statemen politik yang jelas bahwa selama misalkan 10 tahun, tujuan utama PT itu sbg produsen sarjana. Lalu semua daya upaya diarahkan ke arah situ. Nggak usah bicara penelitian atau apalagi bisa mempelopori BHTV he he he he... Lebih lanjut, kalo modalnya hanya cukup buat 100 mahasiswa, ya jangan memaksakan diri jadi 200, nantinya nggak berkualitas. 100 orang jadi sarjana yang berkualitas dan bisa menghasilkan Infosys misalnya ;), lebih baik daripada 200 yang hanya mencari kerja. dst.dst. Jangan spt. sekarang, kewajiban PT itu menurut saya aneh-aneh dan nggak fokus alias macem-macem dari mulai pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat sampe nyari beasiswa ketika ada masyarakat yang nggak mampu sekolah juga harus jadi tanggung jawab PT. Padahal punya duitnya berapa? Ketika PTnya jadi banyak mroyek sibuk cari duit, penelitian terbengkalai, nggak masuk PT kelas dunia, semua mencemooh Ini sih namanya zalim...he he he he Salam Ary
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Sebetulnya yang diminta Adi cs itu seperti Financial Report di perusahaan publik setelah proses audit yang jelas tiap neraca dan anggaranya apa saja. Tekanan ini muncul karena harga uang gedung/SPP PTN yang tinggi dan dijawab oleh yang bertanggungjawab di PTN dengan reasoning yang kurang jelas seperti berikut: -emang gua miskin -liat tuh biaya masuk TK Simplenya gini saja.Mau diaudit atau tidak ? Kalau gak ya gak papa. Tapi mungkin tidak heran jika 5 tahun dari sekarang anak2 lulusan gundar.ac.id lebih canggih dibanding itb.ac.id :-) Disclaimer: saya netral,mau naek kek,mau gak,ada India dan Singapura dimana pendidikan dan bisnis bisa jalan bagus disitu...cuman kalo yg bisa masuk anak cukong aja ya jangan komplen kalo anak jaman sekarang males...gitu lho jack :) Carlos Ary Setijadi Prihatmanto wrote: - Original Message - From: adi [EMAIL PROTECTED] To: teknologia@googlegroups.com Sent: Friday, January 13, 2006 12:46 AM Subject: [teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa On Fri, Jan 13, 2006 at 04:51:09AM +0700, Budi Rahardjo wrote: - berapa besar (nilainya) subsidi pemerintah tersebut? Jika kita lihat, seluruh kebutuhan basic di universitas Jerman sudah dapat dipenuhi oleh subsidi tersebut.
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: Seperti yang saya sebut, di tempat saya utk mahasiswa tertentu ada yg nol karena kena discount ini itu :-) Tentu saja selalu ada beasiswa dan bantuan lain-lainnya.Secara umum, PTS biasanya lebih mahal. Itulah sebabnyasaya tidak langsung percaya kalau disebutkan PTN lebihmahal dari PTS. Secara umum itu dulu, tapi tidak lagi sekarang :-) Istilah saya PTN telah disamakan (kalau dulu khan ada istilah PTS statusnya disamakan). Per angkatan mahasiswa baru sekitar 6000-7000 mahasiswa.Hal lain lagi adalah masalah skala. Kalau ada 6000 mahasiswa * Rp 2 juta = Rp 12 milyar.Kalau di tempat saya ada 200 mahasiswa * Rp 2 juta = 400 jutaAda perbedaan yang cukup besar karena skala ini.Tentu saja mengelola 6000 mahasiswa lebih sukar daripada mengelola 200 orang. You give and take, lah ;-) Ada satu titik di mana jumlah besar itu tidak otomatis berarti dana yang tersedia besar, karena seperti yagn saya sebut, ada peraturan misal 70% staf harus dosen tetap dengan sekian prosen yang S2, dan S3 (ini yang mejadi beban sendiri bagi PTS-PTS, dimana ketentuan tersebut relatif tidak dikenakan ke PTN). Kalau melihat 12 M nya sepertinya besar, tapi sudah kena biaya operasional akan menjadi kecil :-), apalagi seperti Lab yang semakin banyak mahasiswa, semakin tinggi ongkosnya. subsidi itu. Di Jerman Universitas itu relatif hidup total dari dana pemerintah, sebagai dampaknya. Semua resource BOLEH dipakai oleh semua orang di luar kampus tersebut.Mungkin perlu diperhatikan:- berapa besar (nilainya) subsidi pemerintah tersebut?Jika kita lihat, seluruh kebutuhan basic di universitas Jerman sudahdapat dipenuhi oleh subsidi tersebut. Biaya subsidi itu sekarang dipotong, dan relatif dipaksa hanya untuk memenuhi biaya operasional minimal (Haushaltmittel), tetapi ini sekarnag dirasa para Profesor tidak mencukupi. Biaya operasional yang dimaksud adalah biaya operasional untuk pengajaran. Untuk penelitian diharapkan para peneliti mendapatkan dana dari pihak ke-3 istilahnya (Drittelmittelkonto projekt). Bagi prof/peneliti yang tidak bisa mendapat dana ini ya silahkan nganggur aja :-) Kedatangan seorang mahasiswa Doktor dengan beasiswa dianggap dana tambahan, karena merupakan tenaga kerja yagn tak perlu dibayar oleh si Prof/Peneliti tersebut.membayar gaji dengan standar PNS. Selebihnya, harus cari sendiri. Bayar listrik saja mungkin sebulan sudah lebih dari Rp 100 juta.Telepon mungkin Rp 250 juta. Seperti ajaran orang kampung gaji kurang, belajarlah ngirit. Subsidi kurang belajarlah efisien. Model di Belanda lain lagi. Dari bincang2 dengan profesor Belandayang datang ke Indonesia (karena kami memiliki kerjasama dengan Belanda, jadi dia bolak balik ke Bandung) diketahui bahwa merekamengelolanya seperti entitas bisnis sendiri.Fasilitas dan lain-lainnya adalah milik lab, yang tentunya digunakansesuai dengan kebutuhan lan. Dengan kata lain: kerajaan kecil. Ternyata bisa jalan juga tuh. Belanda dulu seperti Jerman sekarang, artinya mereka sekarnag sudah bergeser seperti model yagn diceritakan profesor tersebut. Dan sekarnag Jerman lagi berubah ke arah sana. Saya beruntung berada di dalam masa transisi ini, jadi bisa menikmati (belajar) bagaimana berat dan bahwa perubahan itu bisa dilakukan. Tetapi yang membedakan mungkin adalah walau kerajaan kecil, tapi kerajaan kecil itu tidak bisa mengggunakan dana dan fasilitas seenakanya :-) dan tidak bisa melarang orang lain menggunakan fasilita seenaknya. Contohnya, riset group saya baru saja memodali 1 ruang kelas agar lengkap dg peralatan (kami sering menggunakan ruang ini buat kuliah). Tetapi jurusan/fakultas lain tetapi boleh menggunakan ruangan dan fasilitas tersebut. Model di negara lain, beda lagi.Jadi ada banyak model, yang masing-masing ada success story dan kegagalan.Yang menarik mungkin melihat di IIT Bombay kali ya? Lebih menarik lagi pas mereka mulainya, jangan setelah suksesnya . Sama dengan kalau mau melihat Gunadarma jangan melihat pas mahasiswa udah 6000 tapi pas mereka mulai dengan ruang Lab yang cuma 1 ruang :-), bagaimana sulitnya mengatur duit, dan bagaimana peng-efisiensian yang harus dilakukan. Saya beruntung mengalaminya. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/13/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: Sebetulnya yang diminta Adi cs itu seperti Financial Report diperusahaan publik setelah proses audit yang jelas tiap neraca dananggaranya apa saja. Setahu saya dengan bentukan yang sekarang PTN wajib melakukan itu. Kalau PTS karena merupakan Yayasan sudah dari dulu wajib melakukan itu. Tapi mungkin tidak heran jika 5 tahun dari sekarang anak2 lulusan gundar.ac.id lebih canggih dibanding itb.ac.id :-) Lulusan canggih gampang, bikin aja filter yang ketat. Pilihan yang masuk hanya yang pinter-pinter aja. Ndak ada dosen dan ndak jelas kurikulum juga bisa pinter lulusannya. IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
hahaha bosen di malaysia saya 2 tahun disana biar aman anda di anggap warga negara kelas 3 sejajar dengan india dan bangladesh alisa bangsa kuli, ngga ada respect sakit hati ngga sich padahal telekom malaysia belajar dari telkom, petronas dari pertamina, adjie On 1/12/06, Affan Basalamah [EMAIL PROTECTED] wrote: Enakan di Malaysia aja pak, negaranya enak, aman damai tenteram, infrastruktur nya sangat bagus, dan suasananya sangat dekat dengan Islam. Ini sempet saya tulis di blog saya kemarin : http://affanzbasalamah.blogsome.com/2006/01/04/kempen-anti-laman-lucah-di-malay/ -affan
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
fade2blac wrote: Meneruskan tradisi Dullatip (halo junior internet engineer?), Weleh-weleh, Avatar Dullatip sampai dibawa-bawa... Hm... isyu serta tanggapan yang diungkapkan di sini sudah sangat rumit. Jika saya ikutan memberikan tanggapan, wah nantinya bisa tambah rumit... -- Rahmat M. Samik-Ibrahim
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/10/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: - spp/uang gedung mau diturunkan? digratiskan? mimpi kali ye?karena tidak bisa diturunkan,mungkinkah:a) beasiswa jangka panjang yang massive dilakukan(oleh orang yang kelebihan duit dong,misalnya yayasan bill gates atau konglomerat indonesia yang mau bikin nano research di indonesia )b) financing pembiayaan sekolah sampai 10 tahunbtw,bukanya di Indonesia sudah ada yang seperti itu ? mungkin perludiperluas lagi (dana dan cakupannya). Biaya pelaksanaan kampus di Indonesia besar karena pelaksanaan pengoperasian kampus tidak efisien. Itu yg saya lihat di PTN IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/10/06, Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED] wrote: tentu pendekatan sistem lebih baik.hanya, saya tidak bisa menunggu sistem baik dulu barumenghasilkan. saya harus tetap bisa menghasilkan orang2yang bagus meskipun sistem kita bobrok.sebab, orang2 inilah yang mengurusi saya (kita2?) kalau kita sudah tua nanti. siapa pimpinan2 kita nanti?kita siapkan dari sekarang. ini investment jangka panjang.nah nanti mereka yang memperbaiki sistem. ha ha ha ... Jangan-jangan malah mereka (individu yg baik itu) terseret oleh sistem yang buruk IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
karena tidak bisa diturunkan,mungkinkah: a) beasiswa jangka panjang yang massive dilakukan (oleh orang yang kelebihan duit dong,misalnya yayasan bill gates atau konglomerat indonesia yang mau bikin nano research di indonesia ) b) financing pembiayaan sekolah sampai 10 tahun btw,bukanya di Indonesia sudah ada yang seperti itu ? mungkin perlu diperluas lagi (dana dan cakupannya). Biaya pelaksanaan kampus di Indonesia besar karena pelaksanaan pengoperasian kampus tidak efisien. Itu yg saya lihat di PTN I see. Trims atas tambahanya Pak Made. Terus kalau bisa diefisiensikan, bisa dihemat sampai berapa persen ? dan apakah ini sama dengan penghilangan berberapa departemen alias PHK ? Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Tue, Jan 10, 2006 at 08:02:30PM +0700, Budi Rahardjo wrote: nah, karena pak adi ingin memperbaiki sistem, maka boleh dong saya menuntut pak adi untuk berkarya memperbaiki sistem? ;-) [wink, wink, wink] wah .. saya pikir perjuangan dari dalam punya kesempatan yang lebih besar he..he.. kalau menurut hemat saya, di negara kita tercinta ini, perlu ada mekanisme impeachment di segala bidang (bukan bidang pendidikan saja). minimal, dengan itu jalan menuju perbaikan jadi lebih terbuka (misalnya, ngomong sama PNS yang tidak bisa dipecat kan repot hi..hi..). secara individu, hampir di setiap lini ada semacam hasrat (primitif) yang berusaha sekuat tenaga membuat dirinya menjadi indispensable. misalnya: dosen mengangkangi ilmunya, mahasiswa menyembunyikan 'trik' dari mahasiswa lain, admin/network engineer meletakkan sesuatu yang 'rumit' secara diam-diam (dengan harapan kalau dia didepak, maka akan ada sesuatu yang meledak). budaya seperti ini perlu di-usang-kan. bayangkan kalau ybs menjadi pejabat/boss maka yang dilakukan pertama kali adalah menerapkan aturan main (secara sepihak) supaya posisinya tidak bisa digeser dst..dst.. and then the story begin .. :-) Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Wed, Jan 11, 2006 at 01:57:41PM +0100, Made Wiryana wrote: Jangan-jangan malah mereka (individu yg baik itu) terseret oleh sistem yang buruk kalau mengacu pada kenyataan, memang cara-cara mencetak agen perubahan untuk memperbaiki sistem ini selalu gagal. misalnya contoh yang agak bombastis: dulunya demo dan teriak-teriak keras-keras, begitu dikasih kedudukan jadi bijaksana (hi..hi..). yang belum pernah dicoba orang, setidaknya di Indonesia, yaitu sistemnya dirombak dulu, baru meletakkan kader-kader yang diharapkan mampu menjaga dan mengembangkan sistem. Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Wed, Jan 11, 2006 at 05:32:35PM -, Muhamad Carlos Patriawan wrote: Terus kalau bisa diefisiensikan, bisa dihemat sampai berapa persen ? dan apakah ini sama dengan penghilangan berberapa departemen alias PHK ? by design, tiap-tiap fakultas jadinya berfungsi semacam kerajaan kecil. masing-masing mengadakan pungutan sendiri, yang pada dasarnya bisa dishare lintas fakultas ... misalnya: lab, ruang kuliah, wc, satpam dll. kalau ndak salah, hampir tiap fakultas mengeluh bahwa dana dari universitas itu kecil bin ndak cukup. bahkan, di satu fakultas, masing-masing jurusan bisa memiliki lab masing-masing (yang juga mengadakan pungutan sendiri-sendiri). dari hari ke hari, lab-lab tsb. mostly idle ... masing-masing memiliki staf non-pengajar sendiri-sendiri, menanggung biaya untuk listrik, air sendiri-sendiri. untuk hal yang mungkin tidak terkait, rata-rata jurusan/ilmu manajemen yang bahkan secara khusus mengajarkan efisiensi, rata-rata menghasilkan orang-orang yang tidak efisien (lihat gedung-gedung yang pintunya bisa dimasuki 100 orang sekaligus, tetapi yang berkeliaran cuman 1 atau dua biji saja :-) rata-rata gedung kuliah untuk ini mentereng dan mahal, yang akhirnya menjadi justifikasi biaya *pendidikan* yang mahal. mestinya, kalau memang biaya pendidikan itu mahal, maka masing-masing perguruan tinggi secara sukarela mengundang para auditor dari luar untuk datang memeriksa. ini merupakan hil yang mustahal. padahal hasil audit dari pihak ketiga ini merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat akuntabilitasnya. Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
mestinya, kalau memang biaya pendidikan itu mahal, maka masing-masing perguruan tinggi secara sukarela mengundang para auditor dari luar untuk datang memeriksa. ini merupakan hil yang mustahal. padahal hasil audit dari pihak ketiga ini merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat akuntabilitasnya. Salam, I see.Ide yang cukup cemerlang. Cuman saya belum mengerti kenapa mengundang auditor dari luar = mustahal. Satu hal,setahu saya sudah ada beberapa persh pemerintahan yang melakukan hal sama (mengundang auditor) dan kurang lebih hasilnya sama diatas.Alias Efisiensi alias Reorganisasi alias PHK buat sebagian nih Alias bisa punya bos 10 tahun lebih muda dari yang lebih senior :) Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: mestinya, kalau memang biaya pendidikan itu mahal, maka masing-masing perguruan tinggi secara sukarela mengundang para auditor dari luar untuk datang memeriksa. ini merupakan hil yang mustahal. padahal hasil audit dari pihak ketiga ini merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat akuntabilitasnya. Salam, I see.Ide yang cukup cemerlang. Cuman saya belum mengerti kenapa mengundang auditor dari luar = mustahal. Alasannya sangat sederhana, karena tanpa auditorpun sudah bisa disimpulkan betapa kekurangan dananya PTN :) Ini seperti menghusulkan agar didatangkan auditor untuk ngecek apa pak Amat, tukang becak, harus membayar pajak penghasilan karena dia tidak punya NPWP. Jadi harus diaudit dulu. hi hi hi. Orang-orang tetap ngotot bahwa pak Amat harus diaudit, sebab semua orang harus punya NPWP. bhwa ha ha ha ha ha. Kalau nanti memang ketahuan PTN/S tidak punya duit (aka kere), apa yang akan Anda lakukan? Sekedar puas dengan hasil audit? Di Indonesia ini memang banyak yang ajaib. Saya lihat sendiri banyak lab yang gak punya pemasukan akan tetapi menghasilkan output penelitian. Bagaimana bisa ya? Ternyata penelitian tersebut didanai oleh sang dosennya sendiri. Kalau diaudit ini bisa jadi temuan, sebab seharusnya tidak ada hasil penelitian. -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Budi Rahardjo wrote: On 1/12/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: mestinya, kalau memang biaya pendidikan itu mahal, maka masing-masing perguruan tinggi secara sukarela mengundang para auditor dari luar untuk datang memeriksa. ini merupakan hil yang mustahal. padahal hasil audit dari pihak ketiga ini merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat akuntabilitasnya. Salam, I see.Ide yang cukup cemerlang. Cuman saya belum mengerti kenapa mengundang auditor dari luar = mustahal. Alasannya sangat sederhana, karena tanpa auditorpun sudah bisa disimpulkan betapa kekurangan dananya PTN :) Ini seperti menghusulkan agar didatangkan auditor untuk ngecek apa pak Amat, tukang becak, harus membayar pajak penghasilan karena dia tidak punya NPWP. Jadi harus diaudit dulu. hi hi hi. Orang-orang tetap ngotot bahwa pak Amat harus diaudit, sebab semua orang harus punya NPWP. bhwa ha ha ha ha ha. Ada disconnection disini antara om made,Adi dan Pak Budi. Berdasarkan ujaran beliau(om made dan Pak Adi), PTN tidak efisien.Harus diaudit sehingga ada accountability public. Sementara ujar Pak Budi: memang kurang dana. Nah itu kurang dananya (dari yg saya tangkap oleh Om Made) apakah karena a) tidak efisien atau b) karena memang gak ada duit ? c) dua duanya, kalau ya sebutkan berapa prosen faktor inefisiensi ? 0.1 %, 2% , 50% ? Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Saya ambil contoh lagi deh. Apakah Carlos mau mendatakan auditor untuk mengaudit SD inpres (yang atapnya udah bocor2 dan reyot)? Tidak efisien SD ini! Pasti diketawain guru-guru di sana. Mending kalau hanya diketawain, gimana kalau dilemparin sandal. ha ha ha. ha ha ha ... saya mengerti koq pak,saya netral saja karena ndak tahu situasinya seperti apa sekarang :-) Saya cuman melihat tendensi rekan2 disini sangat antusias dalam diskusi apa saja yang berhubungan dengan pendidikan yang intinya mengusulkan pendidikan murah yang mana daripada adalah mustahal karena atapnya dah pada bocor. So no further complaints :) Mungkin,lagi2 dalam masalah ini, kudu ada beasiswa jangka panjang atau financing pendidikan jangka panjang buat yang tidak mampu (membayar) tentunya dilakukan oleh pihak yang kelebihan duit. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Thu, Jan 12, 2006 at 05:22:46AM +0700, Budi Rahardjo wrote: Alasannya sangat sederhana, karena tanpa auditorpun sudah bisa disimpulkan betapa kekurangan dananya PTN :) kalau hanya itu alasannya, artinya mudah sekali mendatangkan auditor dari luar, bukan? :-) Kalau nanti memang ketahuan PTN/S tidak punya duit (aka kere), apa yang akan Anda lakukan? Sekedar puas dengan hasil audit? kalau ternyata dari hasil audit ketahuan bahwa memang tidak efisien? :-) gerakan rumah sakit (pemerintah) swadana tidak otomatis menjadikan biaya lebih besar dibanding rumah sakit swasta (lepas dari kenyataan bahwa ringannya biaya rumah sakit pemerintah ini masih belum cukup!). kenyataannya, biaya perguruan tinggi *negeri* jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya perguruan tinggi swasta. itu belum memasukkan kenyataan bahwa kapasistas perguruan tinggi negeri yang jauh lebih besar. apa sih kegiatan pelayanan kesehatan swasta yang menyebabkan biaya lebih besar dibanding pelayanan kesehatan pemerintah? lah wong kegiatannya sama :-) apa sih yang menyebabkan biaya pendidikan perguruan tinggi negeri lebih besar dari pada perguruan tinggi swasta, lah wong kegiatannya sama :-) beban biaya perguruan tinggi negeri yang (jauh) lebih besar dari perguruan tinggi swasta ini saja sudah menimbulkan pertanyaan besar. lantas untuk apa ada perguruan tinggi negeri? kenapa tidak diserahkan saja (equally) kepada perguruan tinggi swasta? kalau perguruan tinggi swasta lebih mahal itu sah-sah saja. bahkan sah-sah saja kalau perguruan tinggi swasta berfungsi sebagai industri pendidikan (baca: bisnis). tapi perguruan tinggi n-e-g-e-r-i? Saya lihat sendiri banyak lab yang gak punya pemasukan akan tetapi menghasilkan output penelitian. Bagaimana bisa ya? Ternyata penelitian tersebut didanai oleh sang dosennya sendiri. Kalau diaudit ini bisa jadi temuan, sebab seharusnya tidak ada hasil penelitian. saya pikir masalahnya tidak sesederhana: 'dibiayai oleh dosennya sendiri'. mungkin menyangkut institutional fee yang tidak masuk akal, mungkin menyangkut pada alur pertanggungjawaban, kepada siapa sih satu laboratorium bertanggung jawab? pada jurusan? pada fakultas? pada universitas? pada masyarakat? atau pada direktur lab? kalau proses audit adalah sekedar mengkorek-korek kesalahan, ya saya setuju, tidak usah saja. hasil audit yang baik, selalu mengarah pada peningkatan efisiensi, dan menangkap hal-hal positif yang bisa diinterpolasikan (direplikasikan) ke tempat lain. dan satu hal lagi, audit hanya salah satu dari ukuran akuntabilitas :-) Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Wed, Jan 11, 2006 at 03:03:18PM -0800, Muhamad Carlos Patriawan wrote: Saya ambil contoh lagi deh. Apakah Carlos mau mendatakan auditor untuk mengaudit SD inpres (yang atapnya udah bocor2 dan reyot)? Tidak efisien SD ini! Pasti diketawain guru-guru di sana. Mending kalau hanya diketawain, gimana kalau dilemparin sandal. ha ha ha. ha ha ha ... saya mengerti koq pak,saya netral saja karena ndak tahu situasinya seperti apa sekarang :-) sebenarnya ... tidak ada lagi yang ngetawain atau melempar sandal kalau uang gedung dan uang SPP SD inpres tsb. sama dengan SPP perguruan tinggi negeri sekarang. yang terjadi, kepala berikut pengurus sekolahnya mengundang satpam untuk mengusir auditor he..he.. perguruan tinggi negeri (spp, biaya) bisa dianalogikan dengan sd inpres? go figure ... :-) Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote: On Thu, Jan 12, 2006 at 05:22:46AM +0700, Budi Rahardjo wrote: Alasannya sangat sederhana, karena tanpa auditorpun sudah bisa disimpulkan betapa kekurangan dananya PTN :) kalau hanya itu alasannya, artinya mudah sekali mendatangkan auditor dari luar, bukan? :-) He he he ... ya silahkan saja. Kalau nanti memang ketahuan PTN/S tidak punya duit (aka kere), apa yang akan Anda lakukan? Sekedar puas dengan hasil audit? kalau ternyata dari hasil audit ketahuan bahwa memang tidak efisien? :-) Terus mau diapakan? kenyataannya, biaya perguruan tinggi *negeri* jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya perguruan tinggi swasta. data please. berapa biaya masuk BINUS vs UI/ITB misalnya. itu belum memasukkan kenyataan bahwa kapasistas perguruan tinggi negeri yang jauh lebih besar. data please. berapa sih jumlah mahasiswa S1 komputer-related di BINUS? silahkan bandingkan dengan jumlah mahasiswa komputer-related di PTN (UI, ITB, UGM, IPB). ... kalau perguruan tinggi swasta lebih mahal itu sah-sah saja. bahkan sah-sah saja kalau perguruan tinggi swasta berfungsi sebagai industri pendidikan (baca: bisnis). tapi perguruan tinggi n-e-g-e-r-i? ... tergantung dari subsidi pemerintah. saya pikir masalahnya tidak sesederhana: 'dibiayai oleh dosennya sendiri'. mungkin menyangkut institutional fee yang tidak masuk akal, mungkin menyangkut pada alur pertanggungjawaban, kepada siapa sih satu laboratorium bertanggung jawab? pada jurusan? pada fakultas? pada universitas? pada masyarakat? atau pada direktur lab? kalau hanya alur pertanggungjawaban sih mudah. itu sudah ada. oh ya, di kampus kami sudah ada (profesional) internal auditor. :) maklum bhmn. hal yang lebih mikro. saya pernah mencoba membuat sebuah panduan (yang kemudian seharusnya menjadi aturan) mengenai kriteria / tolok ukur unit penelitian (apa pun namanya; lab, pusat penelitian, kelompok penelitian, dsb.). saya mengusulkan beberapa ukuran yang bisa digunakan: - akademis/teknologi: jumlah makalah/paten/karya ilmiah/artikel/dsb, lisensi, kerjasama dengan perguruan tinggi lain industri, - sdm: jumlah peneliti yang dipertahankan (termasuk level2nya) [catatan: bukan dosen! tapi peneliti], jumlah sdm yang dihasilkan, critical mass?, jumlah cluster perusahaan/sdm yang terkait. - bisnis/finansial: cash flow (topik sensitif), jumlah sumber pendanaan, start-up yang dihasilkan - management: bagaimana proses yang ada (proses pergantian pimpinan, rapat rutin, berapa persen yang aktif) saya tidak begitu mempermasalahkan mengenai hasilnya. bukan baik atau buruknya. yang penting: tercatat! kemudian dari semester ke semester bisa kita ukur kemajuannya. apakah naik, tetap, atau turun. selama belum ada ukuran yang disepakati, bagaimana mengelola? if you can't measure it, you can't manage it. hasilnya: hanya 1 tempat yang menerapkan pengukuran seperti itu. inilah sebabnya saya menuliskan artikel: Losing faith in ITB yang sekarang bikin bos2/senior2 di tempat saya blingsatan. saya katakan ITB bukan lagi tempat yang menarik untuk berkarya bagi anak muda. :( salah satunya masalah akuntabilitas yang pak adi bilang! [sayang itu milis terbatas/tertutup.] begitu pak adi. saya bukan tidak setuju dengan pemikiran pak adi. bahkan saya cenderung melakukan apa yang bapak bilang. akan tetapi, fighting from the inside is not easy. saya sudah capek. bentar lagi ke mode EGP, I could care less! lagi mikir-mikir mau sabatical di Singapura saja ah or, better yet, working for google??? -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
lagi mikir-mikir mau sabatical di Singapura saja ah or, better yet, working for google??? hahaha :-) jadi seperti katanya Softwan/Fade2blac dong,dosen2 bikin startup 2.0 saja. AYO pak Budi join Google ; baru ada empat orang Indonesia disitu. Mungkin kawan2 lain lebih bersemangat untuk berinovasi-ria jika BR join google atau bikin new google-like startup :) Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/12/06, Muhamad Carlos Patriawan [EMAIL PROTECTED] wrote: AYO pak Budi join Google ; baru ada empat orang Indonesia disitu. Ada alasan mengapa saya masih mikir-mikir. Ah, yet another article to write! [EMAIL PROTECTED] you guys! :D -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Wah saya lihat diskusinya jadi masuk ke tataran manajerial, bagaimana mengelola perguruan tinggi (baik yang negeri maupun yang swasta). Mainan audit-mengaudit, mengatur biaya, dan kawan-kawan manajerial lainnya. Namun sepertinya kok mulai meruncing nih. Saya coba memberikan perspektif dari sudut pandang mahasiswa ITB ya. Dalam satu kesempatan yang lalu, ketika sedang ada hearing terbuka calon rektor ITB 2005-2010, salah seorang teman saya ada yang bertanya. Dan saya pikir pertanyaannya keren juga. Berikut pertanyaannya: Menurut Bapak Calon Rektor, apakah tidak sebaiknya manajemen kampus diserahkan saja ke pihak profesional di bidang manajemen dan kemudian dosen bisa asyik mengajar dan meneliti? (Contoh ekstrim tataran praktisnya adalah: rektor bukan dari kalangan dosen, tapi dari lulusan MM) Pendekatan yang digunakan teman saya itu, saya pikir mampu mendobrak kemapanan sistem yang sudah ada. Pendekatan yang digunakan teman saya itu bersifat sekuler: memisahkan antara kemampuan manajerial dan kemampuan intelektual. Lalu, apakah keduanya bersifat oxymoron? Hi..hi... bisa jadi diskusi panjang lagi deh. Penyederhanaan suatu masalah sering kali menipu. Namun karena waktu yang terbatas, penyederhanaan boleh dibenarkan. Oleh karena itu dalam dunia ilmiah kita mengenal batasan masalah. Sayangnya ketika dihadapkan pada dunia nyata, batasan masalah ini bisa melebar kemana-mana. Jadi solusi untuk PTN A tidak sama dengan PTN B juga tidak sama dengan PTS A juga tidak sama dengan PTS B dan seterusnya. Lanjutlanjut. Pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan pemimpin, karena pemimpin yang punya kuasa. Dan kalau konteksnya universitas, berarti ada di tangan rektor sebagai eksekutif. Saya pribadi termasuk orang yang sebenarnya tidak suka peraturan. Waktu saya aktif di organisasi dulu, saya tidak membuat peraturan tertulis macam-macam. Selain karena organisasi kami kecil, jadi kami bisa kompak dan gesit. Kalau ada yang jarang datang, terus pas ditanya masih mau aktif atau enggak dan jawabannya enggak, kami memutuskan untuk mencoret namanya dari terbitan. Kalau organisasi besar dan mapan, saya pikir proses pengambilan keputusan jadi panjang, lama dan tidak mudah. Tapi saya gak berani ngomong banyak soal ini, karena belum pernah masuk di organisasi besar dan mapan. Hi...hi...hi. Zaki Akhmad http://www.zakiakhmad.info
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Mon, Jan 09, 2006 at 08:36:45AM +0700, Budi Rahardjo wrote: alur berpikir saya seperti ini: mahasiswa (nantinya) *harus lebih baik/pinter* dari dosennya. jadi biarin saja dosennya bodoh/malas, tapi mahasiswanya harus lebih bagus lagi supaya secara keseluruhan (bangsa/negara) kita maju. saya pernah menunda jadwal kuliah/praktikum gara-gara saya harus co-ass. padahal, waktu untuk itu pun tiap hari saya cuman dikasih tahu: seperti biasa, tunggu saja dari jam 8 sampai jam 2 (siang), sambil ngeloyor pergi. akhirnya saya tidak bisa menunda lagi jadwal kuliah/praktikum, sehingga saya datang co-ass telat. D: kenapa telat? P: saya harus kerja D: kerja apa? P: cuci piring di restoran D: tapi saya ndak mau tahu, anda kesini untuk kuliah bukan kerja P: ya saya tahu. saya pikir dari pada cuman bengong dari jam 8 sampai jam dua, lebih baik saya tinggal kerja dulu biar ndak dipecat D: lho, anda kan sudah sarjana! sudah pinter dan sudah bisa belajar sendiri P: setahu saya, sekolah itu ada kurikulumnya, lagian kalau saya sudah pinter, kenapa tidak langsung saja saya jadi dokter sekalian, jadi tidak usah bengong dari jam 8 sampai jam 2 D: anda mau protes? silakan protes ke dekan, bahkan ke rektor pun saya tidak takut P: perasaan saya tidak bicara sama dekan atau rektor :-) D: pokoknya saya tidak mau tanda tangan absensi anda! (berarti tidak bisa ikut ujian) P: ya sudah. terima kasih. it doesn't work Sir :-) cuplikan di atas bukan bertujuan untuk mempertajam dosen vs mahasiswa, tapi yang jelas sistem pendidikan yang diterapkan tidak akuntabel blas. jangan harap menghasilkan hasil yang optimal (memenuhi target/sasaran). di sisi yang lain, kalau si 'P' bekerja keras sendiri sehingga berhasil mengganti mata yang buta karena katarak dengan telor mata sapi, meskipun kelihatannya masalah 'selesai', tetapi sebenarnya tidak. itu hanya menyelesaikan masalah lain. jadi dosen gak boleh merasa lebih jago dari mahasiswanya. mahasiswa juga ada yang belagu :-)) (polemologi 'perang' hi..hi..) turunin SPP sih saya sepakat, tapi saya masih belum yakin kalau dia diturunin maka orang yang gemar membaca akan lebih banyak masuk ke PT. saya belum bisa memahami alurnya pak. menurunkan SPP memang bukan untuk meningkatkan gemar membaca :-) PT x, kapasitas 1000 orang diturunkan SPP, kapasitas *tetap* 1000 orang. (bahkan cenderung fasilitas berkurang) permasalahan: bagaimana memilih yang 1000 orang itu? - cari yang pinter? - cari yang punya uang lebih banyak? - cari yang gemar {membaca,menulis}? - cari yang punya EQ/SQ/*Q lebih baik? - cari yang hobby organisasi? - cari yang jago ngoprek? - cari yang jago olahraga? - cari yang punya hobby meneliti? - cari yang punya bakat xyz? terus ... hubungannya dengan SPP dimana ya? meningkatkan kemungkinan orang untuk terpapar ke jenjang pendidikan yang lebih baik. berapa banyak orang pintar dan kaya dibanding orang pintar saja? Perbedaan kita sebenarnya ada pada cara pandang: Pak Budi menganggap individu sebagai asset, sedangkan saya menganggap sistem pendidikan yang baik sebagai asset. Barangkali kalau soal pendidikan ini kita kurang bisa melihat dampaknya langsung (sehingga sementara orang ada yang bisa cuman 'buying time'). Tapi coba kita analogikan dengan yang lebih jelas dampaknya, yaitu sistem pelayanan kesehatan. Sekarang ini semakin sedikit orang yang bisa mendapatkan akses ke unit pelayanan kesehatan yang memadai, semakin sedikit orang yang mampu membeli obat. kalau saya, ya sistemnya diperbaiki, supaya akses ke pelayanan kesehatan menjadi meningkat, kan gitu ta'iye. tetapi kalau Pak Budi menganjurkan orang berlatih tai-chi atau menjadi wong fei hung supaya orang bisa menyembuhkan diri mereka sendiri :-) Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/10/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote: On Mon, Jan 09, 2006 at 08:36:45AM +0700, Budi Rahardjo wrote:it doesn't work Sir :-) cuplikan di atas bukan bertujuan untukmempertajam dosen vs mahasiswa, tapi yang jelas sistem pendidikan yangditerapkan tidak akuntabel blas. jangan harap menghasilkan hasil yang optimal (memenuhi target/sasaran). di sisi yang lain, kalau si 'P'bekerja keras sendiri sehingga berhasil mengg Di beberapa kampus ada pihak ke-3 yang menengahi situasi seperti di atas (ndak perlu rektor atau dekan, iseng amat kalo kampus sampai ke sana). Perbedaan kita sebenarnya ada pada cara pandang: Pak Budi menganggapindividu sebagai asset, sedangkan saya menganggap sistem pendidikan yang baik sebagai asset. Barangkali kalau soal pendidikan ini kita kurangbisa melihat dampaknya langsung (sehingga sementara orang ada yang bisa Mirip dengan saya, istilahnya, kalau sistem pendidikan itu baik, yg masuk buruk minimal jadi lebih baik :-) jadi jangan fikirkan lagi kalau memang sudah baik, akan lebih baik. cuman 'buying time'). Tapi coba kita analogikan dengan yang lebih jelasdampaknya, yaitu sistem pelayanan kesehatan. Sekarang ini semakin sedikit orang yang bisa mendapatkan akses ke unit pelayanan kesehatanyang memadai, semakin sedikit orang yang mampu membeli obat. kalau saya,ya sistemnya diperbaiki, supaya akses ke pelayanan kesehatan menjadi meningkat, kan gitu ta'iye. tetapi kalau Pak Budi menganjurkan orangberlatih tai-chi atau menjadi wong fei hung supaya orang bisamenyembuhkan diri mereka sendiri :-) Seperti yg ditulis Prof Tilaaar, dalam bukunya Manifesto Pendidikan, ttg kritiknya terhadap pendidikan tinggi di Indonesia. yang terlalu menguber ke persaingan global tapi hingga akhirnya lupa, berapa prosen yang menikmati itu, dan siapa yang menikmati itu. Kata beliau, persaingan dengan siapa ? IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
adi [EMAIL PROTECTED] wrote: ... saya pernah menunda jadwal kuliah/praktikum gara-gara saya harus co-ass. ... kalau saya punya cerita lain, saya: lho kenapa kamu masih di sini (kuliah) mhs: supaya cepat selesai pak s: (menghitung-hitung waktu kuliah ybs yang cenderung cepat selesai) s: gimana kalau kamu aktif di himpunan atau aktif di masyarakat mhs: (kaget! mosok dosen menyarankan untuk menunda selesai) mhs: wah saya harus cepat selesai pak, harus nanggung adik. s: wah... ya sudah. ayo cepat selesai. saya tahu bahwa yang namanya mahasiswa, sebagian besar adalah *kere* (alias miskin). sebagian besar (semua?) yang sekolah s3 di luar negeri pasti pernah mengalami masa susahnya. saya pun kerja, pak adi. meski agak keren kerjanya. tentu saja akibatnya selesai kuliah menjadi lebih lambat. tapi saya tidak menyesalkan hal tersebut, bahkan bersyukur karena ditempa dengan keras. Perbedaan kita sebenarnya ada pada cara pandang: Pak Budi menganggap individu sebagai asset, sedangkan saya menganggap sistem pendidikan yang baik sebagai asset. mungkin karena saya sudah kehilangan kepercayaan kepada yang namanya *sistem* (baca: birokrasi) pendidikan, pak adi. karena saya berada di dalam, saya merasakan sukarnya mengubah pola pikir. bahkan dalam itb sekalipun, yang saya anggap orangnya pinter-pinter dan (mestinya) alur berpikirnya logis. kalau pak adi baca email2 saya ke milis internal dosen itb, mungkin pak adi bisa membayangkan kegemasan/kekesalan/kegusaran saya pada *sistem* pendidikan yang ada. (diskusi sama orang yang PNS [maaf stereotype], ya hasilnya hanya kesal saja.) mungkin saya kurang sabar. saya baru 8 tahun berjuang di dalam. akhirnya saya beralih ke *individu*. mungkin bisa saya tempa individu-individu sehingga bisa maju meskipun sistem yang ada bobrok. buktinya meskipun sistem pendidikan di indonesia bobrok, kok kita bisa ok-ok saja tuh? jadi mestinya bisa ya? tentu pendekatan sistem lebih baik. hanya, saya tidak bisa menunggu sistem baik dulu baru menghasilkan. saya harus tetap bisa menghasilkan orang2 yang bagus meskipun sistem kita bobrok. sebab, orang2 inilah yang mengurusi saya (kita2?) kalau kita sudah tua nanti. siapa pimpinan2 kita nanti? kita siapkan dari sekarang. ini investment jangka panjang. nah nanti mereka yang memperbaiki sistem. ha ha ha ... kalau saya, ya sistemnya diperbaiki, supaya akses ke pelayanan kesehatan menjadi meningkat, kan gitu ta'iye. tetapi kalau Pak Budi menganjurkan orang berlatih tai-chi atau menjadi wong fei hung supaya orang bisa menyembuhkan diri mereka sendiri :-) mungkin benar demikian perbedaan cara pandang kita. saya memang sudah lari ke alternatif :) (alternatif education, that is. misalnya melalui milis ini.) nah, karena pak adi ingin memperbaiki sistem, maka boleh dong saya menuntut pak adi untuk berkarya memperbaiki sistem? ;-) [wink, wink, wink] -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
- spp/uang gedung mau diturunkan? digratiskan? mimpi kali ye? karena tidak bisa diturunkan,mungkinkah: a) beasiswa jangka panjang yang massive dilakukan (oleh orang yang kelebihan duit dong,misalnya yayasan bill gates atau konglomerat indonesia yang mau bikin nano research di indonesia ) b) financing pembiayaan sekolah sampai 10 tahun btw,bukanya di Indonesia sudah ada yang seperti itu ? mungkin perlu diperluas lagi (dana dan cakupannya). Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Sun, Jan 08, 2006 at 03:42:16AM -, Zaki Akhmad wrote: kata yang dihubungkan dengan kata versus itu berarti oxymoron? oxymoron = dua hal yang saling bertolak belakang dan tidak dapat bercampur. Sengaja kok. :-) Yup betul. Tapi bukan itu tujuan hidup di dunia. Kesempurnaan adalah perjalanan. Jadi yang paling penting kita harus membuat perjalanan hidup kita perlahan-lahan menuju ke arah yang lebih baik. Jadi yang Ini ngomongnya kejauhan. Kita lagi ngomongin masalah dosen, mahasiswa dan perguruan tinggi. Tentang nilai, baik buruk, benar salah, panjang urusannya. Ke milis filsafat mungkin lebih pas. Menghadapi sistem yang tidak sempurna, saya juga tidak bisa berbuat banyak. Karena saya bukan siapa-siapa. Yah karena dulu aktif di unit kegiatan mahasiswa dan saya punya authorisasi untuk membuat unit saya lebih baik, ya saya lakukan sebatas itu saja. Dan ingat, great power becomes great responsibility. Hehehe, terngiang nasehat uncle ben yah? :-) Ada perbedaan antara nggak mau dan nggak bisa. Jangan diaduk. (seperti ngomong ke diri sendiri). Dan kalau diskusinya diperluas kepada 'sistem yang tidak sempurna' jadi blur lagi. Kalau mau lanjut kita fokuskan ke 'sistem PT(N) yang tidak sempurna'. Sistem apanya? sistem penerimaan mahasiswa? Sistem pengawasan dosen? Inipun saya ragu kalau sebagian dari kita punya kapabilitas untuk nerusin. Jadi kalau yang tiap hari bergelut sebagai civitas akademika nggak merespons, kita tutup aja threadnya. Atau jika oleh admin dianggap OOT. Mengangkat thread ini ke permukaan atau mengarahkan diskusi ke arah sini juga ada tujuannya. Kita seringkali terjebak oleh ide-ide yang mengawang-awang, sementara masalah nyata disekitar kita yang menjadi _pijakan_ ide tersebut banyak yang tak terpecahkan. Contoh, jika ingin dipaksa meniru India, kenapa nggak ditiru sistem buku murah, pendidikan murah dan sebagainya, yang sifatnya prekondisi sehingga IT di India bisa seperti sekarang? Kalau perhatian kita fokus pada prekondisinya, efek yang ditimbulkan akan lebih masuk akal bakal terwujud, daripada menuntut atau sekedar ngomporin untuk mengambil hasil akhirnya saja. Karena bisa diperhitungkan bahwa itu percuma. -- fade2blac
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/8/06, fade2blac [EMAIL PROTECTED] wrote: Contoh, jika ingin dipaksa meniru India, kenapa nggak ditiru sistem buku murah, pendidikan murah dan sebagainya, yang sifatnya prekondisi sehingga IT di India bisa seperti sekarang? Textbook di china juga ada versi murahnya. Layout dan kertasnya memang juelek, tapi murah. Tahun lalu saya beli dan bawa 1 dari sana. I almost couldn't believe that it was so cheap. Textbook murah untuk dijual di negara2 asia juga pernah saya beli di elvira bandung (tentang elektronika analog, saya ingat harganya sekitar 20 ribuan). Saya kira pihak penerbit bisa dilobi untuk menjualnya juga di Indonesia. Kalau khusus mencetak untuk Indonesia saja, keuntungannya tidak ada karena jumlah pembelinya tidak banyak. Hitung saja ada berapa jumlah mahasiswa yang membutuhkan buku A misalnya. Di China jumlah mahasiswanya memang banyak. Bahkan teman lab saya mengatakan too many PhD now in China. it's difficult for me to get a good job there even I hold PhD.
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/8/06, baskara [EMAIL PROTECTED] wrote: On 1/8/06, fade2blac [EMAIL PROTECTED] wrote:Contoh, jika ingin dipaksa meniru India, kenapa nggak ditiru sistem buku murah, pendidikan murah dan sebagainya, yang sifatnya prekondisi sehingga IT di India bisa seperti sekarang?Gimana mau murah? Buku text sekolah saja hampir tiap tahun berganti (walaupun pergantiannya sepele). Ditambah lagi, kalau rekan - rekan berusaha untuk membuka buku pelajaran SMP-SMA sekarang, memang isinya materi suapan semua. Tidak merangsang untuk berpikir tetapi hanya bahan hafalan dan cara cepat. Textbook di china juga ada versi murahnya. Layout dan kertasnya memangjuelek, tapi murah. Tahun lalu saya beli dan bawa 1 dari sana. I almost couldn't believe that it was so cheap. Textbook murah untukdijual di negara2 asia juga pernah saya beli di elvira bandung(tentang elektronika analog, saya ingat harganya sekitar 20 ribuan). Kalau untuk textbook engineering juga kayaknya saya sudah menemukan beberapa yang cukup murah (perbandingan tebal, dan bobot materi) di toko - toko buku Bandung. Akan lebih bagus lagi kalau formatnya ebook :-) Saya kira pihak penerbit bisa dilobi untuk menjualnya juga diIndonesia. Kalau khusus mencetak untuk Indonesia saja, keuntungannya tidak ada karena jumlah pembelinya tidak banyak. Hitung saja adaberapa jumlah mahasiswa yang membutuhkan buku A misalnya. Di Chinajumlah mahasiswanya memang banyak. Bahkan teman lab saya mengatakantoo many PhD now in China. it's difficult for me to get a good job there even I hold PhD.Alaram yang sungguh berbahaya dong untuk angkatan kerja Indonesia ;-)-- Oskar Syahbanahttp://www.permagnus.com/ http://www.pojokbisnis.com/
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/8/06, fade2blac [EMAIL PROTECTED] wrote: Dan kalau diskusinya diperluas kepada 'sistem yang tidak sempurna' jadi blur lagi. Kalau mau lanjut kita fokuskan ke 'sistem PT(N) yang tidak sempurna'. Sistem apanya? sistem penerimaan mahasiswa? Sistem pengawasan dosen? Inipun saya ragu kalau sebagian dari kita punya kapabilitas untuk nerusin. Jadi kalau yang tiap hari bergelut sebagai civitas akademika nggak merespons, kita tutup aja threadnya. Atau jika oleh admin dianggap OOT. Sebelum kemana-mana mungkin perlu dulu difikirkan mana yang diingin - Model elitisme (kampus terpilih, dg output yg semuanya cemerlang) - Model pemerataan (mekanisme penjenjangan mendorong pemerataan resource pendidikan) Sebagai bekal pertimbangan : Indonesia itu luas dan masih sedikit yang menikmati SDM baik atau agak baik IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/8/06, Made Wiryana [EMAIL PROTECTED] wrote: --cut-- Sebelum kemana-mana mungkin perlu dulu difikirkan mana yang diingin - Model elitisme (kampus terpilih, dg output yg semuanya cemerlang) - Model pemerataan (mekanisme penjenjangan mendorong pemerataan resource pendidikan) Sebagai bekal pertimbangan : Indonesia itu luas dan masih sedikit yang menikmati SDM baik atau agak baikKenapa tidak mengikuti modelnya India? Bikin sekolah teknik sebanyak - banyaknya, quantity over quality. Memang nantinya ada yang very very bright dan kerja di silicon valley dan engineer - engineer kelas duanya mengisi kekosongan dalam negeri. India juga melakukan hal seperti ini untuk tenaga medisnya, dengan kontrol yang ketat tentunya.-- Oskar Syahbanahttp://www.permagnus.com/ http://www.pojokbisnis.com/
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/8/06, Oskar Syahbana [EMAIL PROTECTED] wrote: Kenapa tidak mengikuti modelnya India? Bikin sekolah teknik sebanyak - banyaknya, quantity over quality. Memang nantinya ada yang very very bright dan kerja di silicon valley dan engineer - engineer kelas duanya mengisi kekosongan dalam negeri. India sudah membuat percetakan tenaga IT engineer. Filipina juga sudah membuat percetakan tenaga medis dan dokter. Indonesia cetak komoditi yang lain? :-) Sebenarnya di Indonesia sudah ada banyak percetakan tenaga IT engineer (atau hanya sekedar web programmer dan desainer?). Masalahnya, setelah lulus, kerja apa dan di mana? Apa perush. silicon valley pasang iklan lowongan di Kompas? Atau perusahaan di Johor Bahru pasang iklan lowongan di Jawa Pos? Di mana biasanya mereka pasang iklan? Saya yakin di milis ini banyak yang tertarik kalau ada lowongan di perusahaan yang sedang leading. Jangankan leading, startup company pun pasti mau. :D
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/8/06, Oskar Syahbana [EMAIL PROTECTED] wrote: - Model elitisme (kampus terpilih, dg output yg semuanya cemerlang) - Model pemerataan (mekanisme penjenjangan mendorong pemerataan resource pendidikan) Sebagai bekal pertimbangan : Indonesia itu luas dan masih sedikit yang menikmati SDM baik atau agak baikKenapa tidak mengikuti modelnya India? Bikin sekolah teknik sebanyak - banyaknya, quantity over quality. Memang nantinya ada yang very very bright dan kerja di silicon valley dan engineer - engineer kelas duanya mengisi kekosongan dalam negeri. Bakal sering diprotest orang... katanya kurang keren kalau cuma mencetak sebanyak-banyaknya IMW
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/8/06, baskara [EMAIL PROTECTED] wrote: --cut--India sudah membuat percetakan tenaga IT engineer.Filipina juga sudah membuat percetakan tenaga medis dan dokter.Indonesia cetak komoditi yang lain? :-)Cari niche lain mungkin? Bukankah kita sudah menjadi pencetak tenaga kasar siap kerja? Miris sekali yah... Sebenarnya di Indonesia sudah ada banyak percetakan tenaga IT engineer(atau hanya sekedar web programmer dan desainer?). Masalahnya, setelah lulus, kerja apa dan di mana? Apa perush. silicon valley pasang iklanlowongan di Kompas? Atau perusahaan di Johor Bahru pasang iklanlowongan di Jawa Pos? Di mana biasanya mereka pasang iklan? Saya yakindi milis ini banyak yang tertarik kalau ada lowongan di perusahaan yang sedang leading. Jangankan leading, startup company pun pastimau. :DSetahu saya malah belum ada tuh Om Bas. Bahkan kalau misalnya saya lempar proyek ke anak - anak ITB ataupun Fasilkom UI, kebanyakan angkat tangan karena di kampusnya kebiasaan diajari konsep tanpa ngerti prakteknya gimana. Satu - satunya Universitas, so far, yang saya temui dan mahasiswa/lulusannya mengerti bagaimana cara prakteknya cuma STT telkom. CMIIW. -- Oskar Syahbanahttp://www.permagnus.com/http://www.pojokbisnis.com/
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/8/06, fade2blac [EMAIL PROTECTED] wrote: Contoh, jika ingin dipaksa meniru India, kenapa nggak ditiru sistem buku murah, Sebetulnya, di Indonesia *LEBIH MURAH*, yaitu buku bajakan! Mengapa ini tidak dimanfaatkan? Saya khawatir mau ada buku murah pun kalau nggak ada keinginan ya percuma saja. Sekarang toh sudah ada buku murah (alias bajalan). Kita lupakan dulu masalah legal atau ilegalnya. Pada kenyataannya mahasiswa sudah memiliki akses ke buku murah. Saya kasihan dengan mahasiswa di Singapura karena bukunya mahal-mahal di sana. Kami baru saja beli buku2 di Singapura. Habis ratusan dolar (mendekati seribu dolar!). Tapi buktinya Singapore bisa tetap maju meskipun buku mahal. Kalau India, memang banyak buku murah - baik yang resmi maupun yang tidak resmi (aka bajakan). Saya sempat menengok Old Delhi dan masuk ke toko buku bajakan. Harganya memang murah. Bahkan, ada orang Indonesia yang sengaja akan pergi ke India khusus untuk beli buku murah (resmi atau bajakan saya tidak tahu). Satu hal lagi: Internet! Banyak tersedia informasi (dan kadang2 lebih mutakhir daripada buku) di Internet. Saya sendiri masih termasuk aliran yang lebih suka baca buku daripada Internet (meskipun sekarang secara tidak sadar, porsi baca di Internet lebih banyak daripada buku cetak!) Yes, buku murah memang penting, tapi semangat mau baca lebih penting lagi. Baca ykkk. (Ah, ini baru soal baca, belum soal *nulis*) -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
fade2blac wrote: Sengaja kok. :-) Oooh... sengaja dibuat oxymoron ya. Ini ngomongnya kejauhan. Kita lagi ngomongin masalah dosen, mahasiswa dan perguruan tinggi. Tentang nilai, baik buruk, benar salah, panjang urusannya. Ke milis filsafat mungkin lebih pas. Maaf, maaf kalau dirasakan terlalu jauh. Saya memang tipikal orang yang suka berpikir dari makro ke mikro. Saya percaya yang detail akan mengikuti Jadi akhirnya lari terlalu jauh ke tataran filsafat deh. Hehehe, terngiang nasehat uncle ben yah? :-) Uncle Ben yang mana nih? Kok saya lupa ya. fade2blac Terimakasih Zaki Akhmad.
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Made Wiryana wrote: On 1/8/06, Oskar Syahbana [EMAIL PROTECTED] wrote: - Model elitisme (kampus terpilih, dg output yg semuanya cemerlang) - Model pemerataan (mekanisme penjenjangan mendorong pemerataan resource pendidikan) Sebagai bekal pertimbangan : Indonesia itu luas dan masih sedikit yang menikmati SDM baik atau agak baik Kenapa tidak mengikuti modelnya India? Bikin sekolah teknik sebanyak - banyaknya, quantity over quality. Memang nantinya ada yang very very bright dan kerja di silicon valley dan engineer - engineer kelas duanya mengisi kekosongan dalam negeri. Bakal sering diprotest orang... katanya kurang keren kalau cuma mencetak sebanyak-banyaknya Pak Made, Jadi yang disalahkan society,persepsi,sejarah dan kurang keren-nya yach :-) Kalau kalah dengan resisten begitu saja,sampai 1001 tahun juga nasib kagak bakal berubah. Kalo mau bikin universitas teknis quality over quality dengan biaya murah,peduli amat dengan tidak kerennya. Persepsi masyrakat *bisa* terganti,problemnya mungkin kita harus mencetak 1,000 orang seperti Budi Rahardjo (sory pak jadi contoh) yang punya motivasi tinggi dan bisa melihat jauh kedepan,jadi bisa saling bahu membahu dan bersinergi.Kadang2 saya lihat,di strate elitnya (maksudnya mereka yang mempunyai kemampuan merubah) memang lebih demen-nya status quo sich (tapi untung jaman sudah berubah,SBY yg mimpin Indonesia sekarang punya will tinggi untuk menjadi Indonesia yg lebih baik). Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Budi Rahardjo wrote: On 1/8/06, fade2blac [EMAIL PROTECTED] wrote: Contoh, jika ingin dipaksa meniru India, kenapa nggak ditiru sistem buku murah, Sebetulnya, di Indonesia *LEBIH MURAH*, yaitu buku bajakan! Mengapa ini tidak dimanfaatkan? Saya khawatir mau ada buku murah pun kalau nggak ada keinginan ya percuma saja. Sekarang toh sudah ada buku murah (alias bajalan). Kita lupakan dulu masalah legal atau ilegalnya. Pada kenyataannya mahasiswa sudah memiliki akses ke buku murah. Seratus persen setuju Pak Budi. Saya termasuk pengkoleksi buka Hardy di Mangga 2 dan kadang2 beli juga tuh yang ada di deket kampus ITB. Hebatnya toko buku hardi tersebut koleksi bukunya cepat sekali ada meskipun bukunya baru keluar,ini saya bandingkan dengan toko buka di singapur. Kalau India, memang banyak buku murah - baik yang resmi maupun yang tidak resmi (aka bajakan). Saya sempat menengok Old Delhi dan masuk ke toko buku bajakan. Harganya memang murah. Bahkan, ada orang Indonesia yang sengaja akan pergi ke India khusus untuk beli buku murah (resmi atau bajakan saya tidak tahu). Toko buku di Bangalore India gak enak lho,kaya' toko buku tahun 1980an di Pasar Senen atau Pasar Baru gak bisa baca buku disitu alias gak nyaman.Gramedia Jakarta jauh lebih nyaman. Yes, buku murah memang penting, tapi semangat mau baca lebih penting lagi. Baca ykkk. Kalo mau lebih pas: semangat mau maju :-) Kalo dah punya semangat mau maju,persoalan buku mahal gak jadi soal karena banyak buku bajakan.Ini prinsip yang harus dimiliki individu masing2. Apalagi jamanya sekarang The World is Flat :-) Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
baskara wrote: On 1/8/06, Oskar Syahbana [EMAIL PROTECTED] wrote: Kenapa tidak mengikuti modelnya India? Bikin sekolah teknik sebanyak - banyaknya, quantity over quality. Memang nantinya ada yang very very bright dan kerja di silicon valley dan engineer - engineer kelas duanya mengisi kekosongan dalam negeri. India sudah membuat percetakan tenaga IT engineer. Filipina juga sudah membuat percetakan tenaga medis dan dokter. Indonesia cetak komoditi yang lain? :-) Sebenarnya di Indonesia sudah ada banyak percetakan tenaga IT engineer (atau hanya sekedar web programmer dan desainer?). Tepat sekali !! Itu masalahnya sekarang. SDM IT di Indonesia memang fortunately dan unfortunately kebanyakan berbasis di Internet/Web,fortunately bagus karena ini bisa bikin industri kecil,paling gak hidup dari situ.Unfortunately karena ini kurang strategis,gak bisa jadi industri besar dimana kemampuan development atau oursourcing dari luar bisa banyak masuk kedalam. Kita harus punya ribuan engineer yang di engineernya punya pengalaman langsung pada bidang: CRM,ERP,outsourcing,pengembangan rfc/draft, ASIC,FPGA,VxWorks,Linux Kernel,RTOS,VLSI,verilog,synthesis,JTAG,win runner etc Tapi sekarang sudah mendingan,vendor2 seperti SAP dan Cisco sudah mulai masuk ke universitas.Ini langkah strategis yang baik secara ***long term***. Masalahnya, setelah lulus, kerja apa dan di mana? Apa perush. silicon valley pasang iklan lowongan di Kompas? Atau perusahaan di Johor Bahru pasang iklan lowongan di Jawa Pos? Di mana biasanya mereka pasang iklan? Saya yakin di milis ini banyak yang tertarik kalau ada lowongan di perusahaan yang sedang leading. Lha makanya kan maunya ada bhtv ;-) tapi nanti disuruh lihat sejarah dulu :-) nah political will-nya itu sebenarnya ada di tangan pemerintah satu sisi dan kita di lain sisi. Anyway masalahnya udah ratusan tahun diskusi macam begini,daripada ribet-ribet mending barengan pindah ke cyberjaya,bangalore,stockley park dan Silicon Valley sebagai ultimate goal (sedikit mengikuti tulisan GBT). Jangankan leading, startup company pun pasti mau. :D Week salah jika mengasumsikan top engineer hanya tertarik di persh leading dan kemudian startup. Justru sebaliknya Bos, top engineer biasanya suka membuat sejarah baru dimana startup yang tadinya menghasilkan zero bisa bersaing dengan persh leading yang sudah ada karena menghasilkan produk yang lebih keren. Kalau mau berleha-leha ya cukup join persh/vendor yang sudah settled :) Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Bahkan teman lab saya mengatakan too many PhD now in China. it's difficult for me to get a good job there even I hold PhD. Alaram yang sungguh berbahaya dong untuk angkatan kerja Indonesia ;-) He he he bagus-bagus sudah banyak yang sadar akan hal ini, yang disebut GBT sense of urgency ya salah satunya ya itu :) Btw ngomong2 tentang China dari sisi ekonomi,kemaren ada announcement kalau cadangan mata uang Yuan (setelah di revaluasi ke 'basket of currency') akan dirubah dari yang tadinya hanya fixed US Dollar menjadi gabungan beberapa mata uang regional.Wah ini langkah sangat strategis untuk mengurangi dependensi negara(dunia) terhadap AS. Cool ! Thanks, Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Balik ke thread awal : Contoh, jika ingin dipaksa meniru India, kenapa nggak ditiru sistem buku murah, pendidikan murah dan sebagainya, Masalah buku murah sudah dibahas dan ada solusi short-term. Tinggal pendidikan murah,nah yang ini katanya kurang keren ujar om Made... :) silahkan dibahas,tapi please jangan nanti kambing hitamnya pada persepsi,karena yang bisa merubah persepsi ya KITA* sendiri :) Kita disini terutama kalangan akademisi sendiri lho... :-)) Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On Sun, Jan 08, 2006 at 05:38:58PM -, Muhamad Carlos Patriawan wrote: Bakal sering diprotest orang... katanya kurang keren kalau cuma mencetak sebanyak-banyaknya Jadi yang disalahkan society,persepsi,sejarah dan kurang keren-nya yach :-) sepertinya yang diungkapkan soal 'sejarah' dan 'kurang keren' itu pada konteks yang berbeda ... Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
Adjie wrote: Kemarin sempet ketemu dekat doktorat yang studi di paris yang ikutan sidang WTO, negara dunia ketiga ( third development country) mereka punya minta deal dengan negara barat yang notabene sudah maju untuk membajak semua teknologi dan ilmu pengetahuan mereka. dan ancamannya kalau merek ngga di ijinkan membajak mereka ngga akan suply kapas dan pisang, diantara barang yang berhak mereka bajak termasuk buku Jangan lupa membajak semangatnya. Nanti seperti kata Zaki di email terdahulu dari buku PK Ojong,setelah berhasil menguasai toko buku belanda,semangat pengembangan toko bukunya tidak ditiru. Kalau kita ngga bisa deal dengan penerbit penguin group or what ever, kenpa ngga di bajak aja spt yang di lakukan hardy. itu di legalkan saja dari pada munafik, saya cukup sedih dengan kepedulian cenderung setuju. saya fikir di china yang namanya bajak membajak sudah biasa, kenapa kita ngga belajar dari cina, atau india... dari pada menunggu pemerintah yang jelas belum perduli dengan pendidikan yang murah, Betul. Sejarah china dan india itu satu hal. Tapi gimana orang2 india dan china itu 20 tahun terakhir berhasil maju memang sering pakai jalan gerilya dan ilegal (kalo gak bisa beli ya bajak saja tapi ilmunya bener2 diambil).Lah kalau gak begitu,mana bisa dicuri ilmunya. Yang penting jangan cuman bisa membajak,tapi kemudian menguasai ilmunya dan kemudian datang ke pusat hitek untuk turut mengembangkan Windows Vista atau next-gen Intel chips misalnya.Alias ikut terlibat litbang diatasnya,jangan jadi pengguna doang. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
adi wrote: On Sun, Jan 08, 2006 at 05:38:58PM -, Muhamad Carlos Patriawan wrote: Bakal sering diprotest orang... katanya kurang keren kalau cuma mencetak sebanyak-banyaknya Jadi yang disalahkan society,persepsi,sejarah dan kurang keren-nya yach :-) sepertinya yang diungkapkan soal 'sejarah' dan 'kurang keren' itu pada konteks yang berbeda ... Mungkin saya paham dengam perbedaan konteksnya.Harusnya saya menggantikan kalimatnya dari society..keren tersebut ke hal-hal yang bersifat abstrak seperti persepsi. Sebab di lingkungan sehari-hari sebagian orang Indonesia(baca: beda komunitas beda persepsi) khususnya pintar sekali menggunakan alasan abstrak sebagai alasan untuk mempertahankan status quo padahal tidak semuanya mempunyai persepsi seperti itu. Beda komunitas beda persepsi ini ada contohnya,saya pernah mengintip sebuah lembaga pendidikan asing non-formal di Jakarta yang mengajarkan Unix,C dan Java. Coba lihat siapa studentnya: 100% orang India yang tinggal dan berada di Jakarta,termasuk ibu rumah tangganya barangkali :) Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
adi wrote: pada kenyataannya buku itu pun masih mahal. profile don't speculate :-) buku untuk mahasiswa itu tugas perpustakaan. kalau itu kurang, biarlah yang mampu saja yang membeli buku. saya sebetulnya agak miris dengan thread ini, mestinya judulnya dosen dan mahasiswa. dosen yang brengsek bukan karena mahasiswanya brengsek dan sebaliknya. dua-duanya masalah (kalau ada) yang perlu diselesaikan masing-masing. Wah jangan memiliki persepsi miris dengan thread ini Mas Adi. Kalau Mas Adi kan karyanya sudah banyak. Profil Mas Adi juga sudah pernah dimuat di InfoLinux Desember kan. Kalau saya yang masih script-kiddies ini, yang harusnya miris. Kok dari dulu gak pernah belajar-belajar supaya naik pangkat. Yang Pak Budi katakan itu benar. Saya bisa membajak buku dengan gampangnya. Nah, gara-gara terlalu gampang saya jadi kehilangan semangat untuk belajar. Easy come, easy go. No pain, no gain. Katakanlah di perpustakaan mampu menyediakan buku-buku bagus-nan-cantik. Tapi tetap saja saya malas ke perpustakaan. Saya kan tidak terbiasa dengan budaya baca-tulis. Jadinya saya lebih tertarik ke lab-komputer. Menyalakan yahoo-messenger untuk chatting, atau main online game. Fire in the hole? Mengenai yang mampu saja yang beli buku, itu bisa relatif. Seberapa besar anggaran belanja kita untuk buku? Seberapa besar anggaran untuk beli pulsa HP? Saya menemukan kenikmatan membaca saya ketika buku itu buku asli. (Bacaan saya masih buku-buku sosial ya). Lalu apakah semua buku yang menarik bagi saya, saya beli? Pada prakteknya tidak. Saya mencoba disiplin dengan membuat wish-list daftar buku yang ingin saya miliki. Tapi pada prakteknya, ini jarang berhasil. Saya begitu mudah sekali tergoda untuk membeli buku. Namun karena kiriman orang tua terbatas, tidak semua buku bisa saya miliki dong. Kemudian jadilah otak kreatif harus jalan. Beruntunglah saya memiliki banyak teman baik yang mau saling bertukar buku dengan saya. Kalau teman-teman baik saya tidak punya, saya harus lebih kreatif lagi. Jadi anggota perpustakaan di banyak perpustakaan. Kalau lagi tertarik dengan ilmu agama, saya jalan-jalan ke perpustakaan masjid. Tidak cuma satu masjid lho! Lagi tertarik dengan budaya Prancis, jalan-jalan ke CCF. Pengen tahu dunia penelitian di Indonesia, main ke LIPI. Cari buku pemrograman, mampir ke Informatika. Sayangnya kalau banyak main ke perpustakaan, waktu main saya untuk hal lainnya jadi habis deh. Nah kalau sudah begini, baru saya mempertimbangkan perlu/tidak memiliki buku tersebut. Dan belakangan saya baru sadar, ternyata memang tidak semua buku harus dimiliki. kenyataannya: daya saing lulusan perguruan tinggi kita tidak tinggi di dunia international (itu pun kalau masih diperhitungkan di dunia international), alias ayam sayur bin jago kandang. salah siapa? sistem pendidikan? sarana/prasarana (perguruan tinggi)? mahasiswa/masyarakat? Salah saya sendiri, karena saya belum bisa mendefinisikan legenda pribadi saya mau jadi apa. Kalau saya dari dulu sudah terbayang ingin menjadi seorang jagoan di dunia sosial, mengapa saya memilih kuliah di Elektro ITB? Salah sendiri kena racun passing-grade tinggi. pilih jawaban dari pertanyaan di bawah yang anda anggap paling benar. 1) kalau A diajar B dan tidak berhasil, maka kemungkinannya: A) A goblok B) B goblok C) A dan B goblok D) bukan salah satu di atas (alias penampakan ponirah). Saya pilih E. E) Penampakan buku-buku sosial. hayooh, mana akuntabilitasnya. hayooh diberesin dulu. mahasiswa yang malas membaca? buanyk. dosen yang males membaca? buanyaaak. Ngacung! Saya Mas Adi. Malas membaca buku-buku teknis dan EE-related. makanya turunin SPP/Uang gedung biar kesempatan orang yang gemar membaca masuk PT lebih besar. Hmm tidak se-sederhana ini Mas Adi. Kan setiap penyakit ada obatnya masing-masing. Dan bagi saya setiap keputusan pasti ada sisi positif dan negatifnya. Dan berbicara soal keputusan menaikkan/menurunkan SPP/uang gedung itu ada di tangan decision maker, para pengambil keputusan. Nanti diskusinya bisa looping lagi ke: baru nyadar kuliah itu mahal, mekanisme penerimaan mahasiswa baru, mekanisme DO, dll. Saya tahu sedikti buku-buku kritik soal sekolah/kuliah. Berikut diantaranya: De-schooling society, buku-buku Ivan Illich. Buku Sekolah para Sang Juara juga bagus. Buku ini menceritakan keunikan setiap orang, dan bagaimana membuat anak-anak berani unggul dengan keunikannya masing-masing. Totto Chan juga bagus deh. Cerita soal gadis kecil Jepang yang gara-gara dia terlalu unik terpaksa dikeluarkan dari sekolah konvensional. padahal, kalau saya ngomong soal akuntabilitas PT itu yang ada di kepala saya cuman pendidikan setingkat strata 1. gimana kalau strata 2 ? ho..ho..ho.. (ketawanya jin kartubi). gimana pendidikan magister whatever? ho..ho..ho (ketawa bapaknya jin kartubi), gimana pendidikan strata 3? hi..hi.. (yang ini tuyulnya mbak yul) karena pendidikan strata 3 produk anak bangsa belum bisa jadi komoditi. Salam, P.Y. Adi Prasaja
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
On 1/9/06, adi [EMAIL PROTECTED] wrote: On Sun, Jan 08, 2006 at 08:42:52PM +0700, Budi Rahardjo wrote: Sebetulnya, di Indonesia *LEBIH MURAH*, yaitu buku bajakan! Mengapa ini tidak dimanfaatkan? piro Pak biaya cetaknya? sudah dihitung belum? setahu saya, membeli buku aslinya bisa lebih murah, kecuali kalau sudah dipalakin eh.. dipajakin. Perbandingannya kira-kira begini: Buku Walter Savitch (asli): US$89.64 (used: $63.99) Buku bajakan: Rp 50 ribu s/d Rp 80 ribu Sangat jauh bedanya. 10x lebih murah :( PS: di Bandung, Dunia Baru merupakan sumbernya (lebih bagus dan lebih banyak koleksinya daripada Hardy di Jakarta). Selain buku teknis, dia juga punya buku2 bisnis. pada kenyataannya buku itu pun masih mahal. profile don't speculate :-) tentu. buku untuk mahasiswa itu tugas perpustakaan. kalau itu kurang, biarlah yang mampu saja yang membeli buku. tapi saya lihat perpustakaan manapun tidak mampu memberikan buku untuk semua mahasiswa. buku yang paling populer pun paling2 hanya ada 10 buah. padahal mahasiswa bisa 70 orang. belum lagi beberapa perpustakaan di luar negeri mulai pindah ke langganan bentuk digital. tapi memang perpustakaan di luar negeri bikin kita nangis: http://blog.efx2.com/user/budi/3181/view/14071/ (cerita tentang kunjungan saya ke National Library Singapore belum sampai 2 minggu yang lalu) mau yang pasti-pasti saja? - kalau dosen brengsek, bisa dipecat? kalau dosennya PNS: kagak bisa! apalagi kalau senior! :( - mahasiswa brengsek mau tidak diluluskan? yes. he he he - spp/uang gedung mau diturunkan? digratiskan? mimpi kali ye? - pajak buku mau dihilangkan? mau dicetak dengan murah? percetakan universitas mau? nah yang ini ... seharusnya bisa. tinggal mau atau tidaknya. hayooh, mana akuntabilitasnya. hayooh diberesin dulu. mahasiswa yang malas membaca? buanyk. dosen yang males membaca? buanyaaak. alur berpikir saya seperti ini: mahasiswa (nantinya) *harus lebih baik/pinter* dari dosennya. jadi biarin saja dosennya bodoh/malas, tapi mahasiswanya harus lebih bagus lagi supaya secara keseluruhan (bangsa/negara) kita maju. jadi dosen gak boleh merasa lebih jago dari mahasiswanya. kalau ternyata mahasiswanya lebih jago = berhasil kalau ternyata dosennya tetap lebih pinter dari mahasiswanya, berarti kurang berhasil alias gagal. jadi ... sudahlah, dosen yang bobrok gak usah dipikirin. sekarang bagaimana caranya agar dengan dosen yang bobrok sekalipun bisa bikin keluaran yang bagus? black magic? makanya turunin SPP/Uang gedung biar kesempatan orang yang gemar membaca masuk PT lebih besar. turunin SPP sih saya sepakat, tapi saya masih belum yakin kalau dia diturunin maka orang yang gemar membaca akan lebih banyak masuk ke PT. saya belum bisa memahami alurnya pak. saya belum melihat relasinya. kok feeling saya orang yang gemar membaca atau tidak gemar membaca sama-sama punya peluang masuk ke PT. PT x, kapasitas 1000 orang diturunkan SPP, kapasitas *tetap* 1000 orang. (bahkan cenderung fasilitas berkurang) permasalahan: bagaimana memilih yang 1000 orang itu? - cari yang pinter? - cari yang punya uang lebih banyak? - cari yang gemar {membaca,menulis}? - cari yang punya EQ/SQ/*Q lebih baik? - cari yang hobby organisasi? - cari yang jago ngoprek? - cari yang jago olahraga? - cari yang punya hobby meneliti? - cari yang punya bakat xyz? terus ... hubungannya dengan SPP dimana ya? -- budi
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
hayooh, mana akuntabilitasnya. hayooh diberesin dulu. mahasiswa yang malas membaca? buanyk. dosen yang males membaca? buanyaaak. alur berpikir saya seperti ini: mahasiswa (nantinya) *harus lebih baik/pinter* dari dosennya. jadi biarin saja dosennya bodoh/malas, tapi mahasiswanya harus lebih bagus lagi supaya secara keseluruhan (bangsa/negara) kita maju. Kalau mau seperti itu harus ada industri yang menampung setelah mereka lulus agar potensi mereka tergali 100% dan tidak (semuanya) 'end up' jadi dosen lagi.Oke lah kalaupun industrinya belum ada atau belum dapat menampung semua,mungkin kudu ada link profesional / akademis dengan industri yang ada di luar negeri (seperti singapur,malaysia,AU,NZ,india,dst) sehingga potensi mereka bisa terus tergali terus. Kalau dilihat 'cara'nya pemerintah spore,memang pemthnya yang mengirim student2nya (secara formal) untuk magang atau belajar-bekerja di persh hitek di luar negeri (microsoft,cisco, genentech).Nah karena kita gak ada dana,ya diberi tahu saja linknya atau melalui alumni networks.Lagi-lagi,caranya India/Sino juga begituhubungan indo-america dan sino-america alumni networks sangat kuat. Carlos
[teknologia] Re: Dosen VS Mahasiswa
fade2blac wrote: Meneruskan tradisi Dullatip (halo junior internet engineer?), yang biasanya melempar thread, lalu menyimpulkannya, adalah tujuan tulisan ini dibuat. Maaf agak panjang, dan silakan ngantuk duluan... Hip...hip... tadi malam tidur nyenyak kok. Jadi sekarang sudah tidak ngantuk lagi. Panjang? Gpp kok, malah jadi enak pandangannya justru holistik dan komprehensif. Mau nanggepin judul dulu boleh? Apakah dua kata yang dihubungkan dengan kata versus itu berarti oxymoron? oxymoron = dua hal yang saling bertolak belakang dan tidak dapat bercampur. Untuk lebih definisi ilmiahnya bisa dibuka kamus masing-masing. Masalah awal: RMS merasa bahwa tradisi membahas jurnal ilmiah, tidak ada di kalangan civitas akademik. Jangankan membahas, baca juga ogah. Karena itu, dicobakan ke mahasiswa untuk lebih kenal jurnal ilmiah, dengan membahasnya lewat kuliah seminar. Seluruh mahasiswa, secara bertahap mempresentasikan artikel jurnal ilmiah, yang silabusnya disusun sedemikian rupa sehingga dari tahap mudah ke sulit. Ternyata, apa yang dianggap mudah oleh RMS, sangat sulit dirasa mahasiswa. (catatan redaksi: sayang di saat mahasiswanya bikin jurnal harian, fasilitatornya enggak atau nggak mau dipublish?). Masalah Mahasiswa: Dari beberapa lontaran, mahasiswa dianggap kurang kreatif, malas, maunya disuapin. Dari asumsi itu, muncul ide-ide untuk memberikan kuliah alternatif seperti kasi permen buat yang aktif, studi kasus dan lainnya (silahkan ditambahkan, saya yakin ada ribuan ide kalau untuk beginian). Tapi ada yang berpendapat itu hanyalah solusi sesaat (udah 'tm' belum nih?) dan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Masalah mahasiswa yang distereotipekan di atas, itu adalah efek. Efek dari seleksi masuk perguruan tinggi yang mayoritas bergantung pada berapa tebal uang di kantong babehnya. Dengan kondisi ini, diasumsikan mayoritas mahasiswa dari keluarga mampu, kurang motivasi, dan maunya disuapin (sekali lagi ini asumsi yang menjurus ke stereotipe). Percuma mau dikasi 'treatment' apapun karena bibitnya udah lembek. Ini merembet pada masalah Perguruan Tinggi (Negri) Masalah Dosen: Ada yang membalik stereotipe dengan mengemukakan masalah dosen. Dosen yang cuma modal buku, jarang masuk karena mroyek di luar, ogah-ogahan ngajar. Ini belum dibahas, tapi kalau dirunut, motivasi dosen 'biasanya' juga berhubungan dengan masalah gaji. Malas ngajar atau mroyek di luar adalah efek dari itu (disamping tentu bisa diperdebatkan, kebutuhan hidup dosen yang nggak cukup atau gaya hidupnya yang punya standar ketinggian atau tuntutan lingkungan terlalu tinggi atau sekedar maruk - ada nggak lagunya aas rolani yang beginian? :-) viva tarling). Jika mengambil asumsi ini, rembetannya kembali pada masalah Perguruan Tinggi (Negri). Masalah Perguruan Tinggi (Negri): Ini juga belum dibahas, bisa jadi potensi thread baru. Kenapa dalam kurung negri? Karena PTN harusnya punya tanggung jawab terhadap publik. Jadi sah kalau dibicarakan dosa PTN disini. :-). Pertama adalah subsidi dicabut. Karena sudah terbiasa dengan subsidi, baru terasa bahwa overhead tinggi. Solusi kilat dan tepat guna bagi kampus adalah dengan menaikkan SPP alias membebankan masalah pencabutan subsidi PTN kepada calon mahasiswa (baca: publik). Padahal ini dampaknya panjang. Salah tiganya adalah 3 masalah sebelumnya. Anggap saja itu masalah gunung es yang kelihatan kecil dipermukaan namun aslinya ada gundukan besar nan tinggi dibawahnya. Mikir jeleknya: gaji dosen dan karyawan ditekan, SPP dinaikkan, proyek perguruan tinggi digalakkan (lembaga bisnis?). Dosen yang tadinya mroyek satu dua, jadi tiga empat. SPP membubung tinggi, yang tadinya bisa kejaring 10 orang pinter, jadi kejaring cuma 1 orang pinter (catatan: angka tersebut cuma ilusi semata). Moral Cerita Dulu pernah ada wacana untuk mempertanyakan akuntabilitas perguruan tinggi (negeri). Perlu dibuat parameter sehingga PT(N) itu akuntabel nggak? Sebab kalau ini dibiarkan, dalam 1000 tahun lagi (halo MDAMT) masalahnya akan tetap sama, bahkan dipastikan akan lebih buruk lagi. Sistem memilih dan menjatuhkan dekan serta senat perguruan tinggi perlu diperbaiki. Turunkan SPP. Perkecil barrier entri. Maka nggak usah diminta, mau ikut model india, model china atau model kutub utara juga, kemungkinannya jadi lebih kondusif. Nggak usah dituntut-tuntut, secara evolutif akan ke arah sana. Sebab pre kondisinya sudah terpenuhi. Tapi ini sekedar wacana, dan membayangkan aja udah 'semingunen' (istilah orang latin kuno yang takut ketinggian saat berada di puncak gedung ngeliat kebawah). {devil advocate} Sedikit advokasi sebagai penutup, buat dosen PTN, cobalah untuk mengubah sistem jika Anda mampu. Kalau nggak mampu, keluar aja dari dosen dan bikin start up web 2.0 :-))) Selama masih bercokol disana, Anda adalah bagian dari sistem dan berperan melestarikan sistem yang ada :-)). Buat mahasiswa, jangan buang