[keluarga-islam] Ali Mustafa Yaqub: Maaf-memaafkan PKI
Maaf-memaafkan PKI Oleh: Ali Mustafa Yaqub Tragedi berdarah Gerakan 30 Sep tember Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI) sudah terjadi 50 tahun yang lalu. Namun, tampaknya, luka-luka akibat peristiwa seputar itu masih belum sembuh total sampai sekarang. Untuk menyembuhkan luka-luka itu, muncul wacana, bahkan tuntutan agar negara meminta maaf kepada anak-cucu anggota PKI. Sementara, di sisi lain muncul juga tuntutan agar anak-cucu anggota PKI meminta maaf lebih dahulu karena merekalah yang memulai perbuatan yang lazim disebut agresi sepihak PKI. Ada yang mencoba menganalogikan pemberian maaf itu kepada perilaku Nabi Muhammad SAW ketika membebaskan Kota Makkah dari kontrol kaum musyrikin dalam operasi Fath Makkah pada Ramadhan, 8 Hijriyah. Selama tinggal di Makkah, Nabi SAW selalu diteror dan dizalimi oleh kaum musyrikin, sehingga beliau bersama umat Islam diperintahkan Allah untuk hijrah ke Madinah. Delapan tahun kemudian, umat Islam menguasai Kota Suci Makkah. Pada saat itu, kaum musyrikin merasa ketakutan apabila Nabi SAW menghukum mereka dan ternyata Nabi Muhammad memaafkan dan tidak menghukumnya. Analogi ini tampaknya tidak tepat karena baik Nabi SAW sebagai pihak yang dizalimi maupun kaum musyrikin sebagai pihak yang menzalimi, semuanya masih hidup. Sementara, untuk kasus PKI, baik yang dizalimi maupun yang menzalimi, saat ini sudah tidak ada di dunia. Tampaknya, kejadian yang mungkin dapat menjadi acuan dalam kasus PKI ini adalah apa yang terjadi antara Huyay bin Akhthab al-Quradhy, tokoh Yahudi Bani Quraizhah, dengan Nabi Muhammad SAW. Huyay bin Akhthab sangat memusuhi dan menzalimi Nabi SAW. Sementara, putrinya, Ummul Mukminin Shafiyyah binti Huyay, adalah seorang Muslimah yang menjadi istri Nabi SAW. Suatu saat, Nabi SAW berkata kepada istri beliau, Shafiyyah, "Hai Shafiyyah, ayahmu itu sampai mati selalu memusuhi dan meneror aku." Shafiyyah yang bergelar Ummul Mukminin itu dengan cerdas menjawab, "Bukankah Allah telah berfirman bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain?" (QS al- An'am: 164). Tampaknya, Shafiyyah bermaksud bahwa kesalahan yang dilakukan oleh ayahandanya tidak secara otomatis menjadi tanggungannya. Karenanya, Shafiyyah tidak meminta maaf kepada Rasulullah SAW atas kesalahan yang dilakukan oleh orang tuanya. Nabi SAW juga tidak memberikan pengarahan agar Shafiyyah meminta maaf kepada Nabi atas kesalahan ayahandanya. Memang, dalam Hadis Riwayat Imam Muslim, Nabi SAW berkata, "Siapa di antara kalian yang pernah menzalimi saudaranya, baik menzalimi dirinya atau hartanya, maka hendaklah ia minta dihalalkan (dimaafkan) sebelum datang kematian." Dalam hadis ini, permintaan maaf atau memberi maaf pada kesalahan sesama manusia adalah ketika masing-masing masih hidup. Apabila yang bersangkutan sudah meninggal dan belum saling maaf-memaafkan maka urusan selanjutnya adalah diselesaikan dalam pengadilan akhirat. Pengadilan akhirat ini, dalam HR Imam Muslim lazim disebut dengan Hadis al- Muflis (orang yang pailit). Sekiranya, anak- cucu dari orang-orang yang zalim dan atau menzalimi itu dibenarkan untuk maaf- memaafkan atas kesalahan orang tua mereka yang sudah mati, niscaya Nabi SAW sudah mengajarkan hal itu dan HR Imam Muslim tadi tidak diperlukan. Kasus PKI tampaknya lebih pas diselesaikan dengan pendekatan ini. Apabila ada anggota PKI yang menzalimi orang Islam dan ia sudah mati maka anak-cucunya tidak menanggung kesalahan orang tuanya, sehingga ia tidak perlu minta maaf kepada umat Islam. Sebaliknya, apabila ada orang Islam yang menzalimi anggota PKI dan ia sudah mati maka anak-cucunya juga tidak menanggung kesalahan yang dilakukan orang tuanya, sehingga ia tidak perlu meminta maaf kepada anak-cucu anggota PKI. Hal itu karena masing-masing tidak memiliki kesalahan atas orang lain dan masing-masing tidak akan menanggung kesalahan orang tua mereka. Dalam ajaran Islam, negara adalah sebuah lembaga atau institusi dan tidak disebut sebagai mukalaf (yang dibebani kewajiban dan tanggung jawab). Mukalaf adalah manusia, bukan institusi. Maka, apabila negara melakukan kezaliman, yang dikenai tanggung jawab adalah manusia (mukalaf) yang mengelola negara itu. Yang kelak masuk surga atau neraka adalah manusia, bukan institusi. Oleh karena itu, negara tidak akan mendapatkan balasan surga atau neraka, melainkan adalah manusia yang mengelola negara itu. Memang Islam juga mengajarkan agar kita meminta ampun kepada Allah SWT untuk diri kita, orang tua kita, dan orang lain. Namun, konteksnya adalah kesalahan atau dosa kepada Allah. Sementara, kesalahan kepada sesama manusia sudah diatur dalam dua HR Imam Muslim tadi. Membicarakan maaf-memaafkan kepada PKI adalah membicarakan tentang fosil. Orang yang dizalimi atau yang menzalimi, semuanya telah mati. Alquran menyebutkan, "Mereka adalah orang-orang masa lampau. Mereka akan mendapatkan balasan dari apa yang mereka kerjakan dan kamu semuanya akan mendapatkan balasan dari
[keluarga-islam] Jika Didiamkan, Radikalisme Kikis Islam sebagai Agama Rahmat
Jika Didiamkan, Radikalisme Kikis Islam sebagai Agama Rahmat Ahad, 11/10/2015 09:00 [image: Jika Didiamkan, Radikalisme Kikis Islam sebagai Agama Rahmat] Pringsewu, *NU Online* Radikalisme adalah pemikiran dan tindakan untuk sebuah perubahan sosial atau politik dengan cara cepat memalui tindak kekerasan. Ketika seseorang sudah memiliki pemikiran radikal atau ekstrem maka diperlukan strategi dan proses yang lama untuk memulihkannya. Wakil Ketua Tanfidziyyah PWNU Provinsi Lampung H. Heri Iswahyudi menyampaikan hal itu ketika menjadi pemateri pada Seminar Pendidikan yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Kabupaten Pringsewu, Lampung, Sabtu (10/10). Menurutnya, salah satu penyebab munculnya dan merebaknya paham-paham radikal adalah kegagalan pendidikan nasional. Oleh karena itu, Heri yang juga menjabat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pringsewu ini memiliki langkah dalam memberantas paham ini agar tidak masuk dalam dunia pendidikan. "Peningkatan potensi dan kualitas kepala sekolah dalam bidang sosial, peningkatan disiplin sekolah, peningkatan kepedulian sekolah terhadap lingkungan, monitoring serta wawasan kebangsaan, itulah langkah yang harus ditempuh," tegasnya. Kegiatan yang mengangkat tema "Pendidikan Keagamaan Sebagai Benteng terhadap Paham Radikalisme" ini diikuti oleh lebih kurang 250 tenaga pendidik yang merupakan utusan sekolah tingkat SD, SLTP dan SLTA di Kabupaten Pringsewu. Kegiatan yang dilaksanakan di Aula Geding NU Pringsewu tersebut juga menghadirkan Wakil Rektor III IAIN Raden Intan Bandarlampung Prof. DR. Syaiful Anwar, M.Pd. Menurut Syaiful, salah satu akar masalah munculnya radikalisme adalah dikarenakan kurangnya pemahaman dalam memaknai agama. Oleh karenanya perlu tindakan pencerahan bagi seluruh umat untuk terus belajar dan mendalami agama secara sempurna dan menyeluruh. "Radikalisme jika didiamkan saja akan mengikis (citra) ajaran agama Islam sebagai rahmat seluruh alam," tegasnya. Dan menurutnya, perlu sekali dilakukan kegiatan-kegiatan seperti penyuluhan, diskusi dan seminar dalam rangka membentengi umat khususnya generasi muda dari paham-paham radikalisme. *(Muhammad Faizin/Mahbib)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,62706-lang,id-c,daerah-t,Jika+Didiamkan++Radikalisme+Kikis+Islam+sebagai+Agama+Rahmat-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Ihwal Pernikahan Manusia dengan Jin
*Ihwal Pernikahan Manusia dengan Jin* Pertanyaan: Assalamu’alaikum wr. wb. Pak Ustad yang terhormat, saya pernah mendengar ada orang yang pernah menikah dengan jin. Bahkan ada juga dalam sinetron yang saya lihat di salah satu televisi swasta, terlepas apakah itu cerita fiktif atau bukan yang jelas ada cerita pernikahan dengan jin meskipun tidak dijelaskan bagaimana proses akadnya. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana hukum menikah dengan jin. Dan atas jawabannya, kami ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. Yunus – Jakarta Jawaban: Assalamu’alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Mengenai pernikahan manusia dengan jin sebenarnya bukan soal baru. Kami juga pernah mendengar cerita pernikahan manusia dan jin, yang notabenenya adalah dua makhluk yang berlainan alam dan berbeda materi penciptaannya. Namun kami belum pernah menyaksikan bagaimana pernikahan manusia dengan jin bisa berlangsung. Hanya saja dalam benak kami, jin merubah dirinya menjadi wujud manusia seperti kita. Para ulama juga sebenarnya juga jauh-jauh hari sudah membincang tentang pernikahan manusia dengan jin, bahkan sampai ada yang mempuyai anak dari hasil pernikahan tersebut. Dan mayoritas ulama memakruhkan pernikahan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. وَصَرْعُهُمْ لِلْإِنْسِ قَدْ يَكُونُ عَنْ شَهْوَةٍ وَهَوًى وَعِشْقٍ كَمَا يَتَّفِقُ لِلْإِنْسِ مَعَ الْإِنْسِ وَقَدْ يَتَنَاكَحُ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ وَيُولَدُ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ وَهَذَا كَثِيرٌ مَعْرُوفٌ وَقَدْ ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ ذَلِكَ وَتَكَلَّمُوا عَلَيْهِ وَكَرِهَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ منُاَكَحَةَ الْجِنِّ “Bahwa merasukinya jin pada manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu, atau jatuh cinta sebagaimana yang terjadi antara manusia dengan manusia lainnya. Dan terkadang antara manusia dengan jin terjadi pernikahan sampai melahirkan anak. Hal ini banyak terjadi dan sudah diketahui secara umum. Sungguh, para ulama telah menyebutkan hal tersebut dan membicarakannya. Dan mayoritas ulama memakruhkan pernikahan (manusia) dengan jin” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatwa, Mesir-Dar al-Wafa`, cet ke-3, 1426 H/2005 M, juz, 19, h. 39). Di antara barisan para pakar hukum Islam yang memakruhkan pernikahan manusia dengan jin adalah imam Malik pendiri madzhab maliki. Alasannya adalah adanya kekhawatiran nanti kalau ada perempuan hamil akibat melakukan zina bisa saja mengaku bahwa ia dihamili jin. وَجَاءَ عَنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَجَازَهُ وَلَكِنَّهُ كَرِهَهُ لِئَلَّا يَدَّعِىَ الْحَبَالَى مِنَ الزِّنَا أَنَّهُ مِنَ الْجِنِّ “Dan terdapat riwayat dari imam Malik ra bahwa beliau membolehkan pernikahan manusia dengan jin, akan tetapi beliau memakruhkannya karena (khawatir) perempuan-perempuan yang hamil sebab zina mengaku-aku bahwa kehamilannya itu dari jin” (Lihat Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawi al-Haditsiyyah, Bairut-Dar al-Fikr, tt, h. 50) Di kalangan madzhab syafii sendiri juga terjadi perselisihan pendapat. Ada yang memperbolehkan, dan ada yang tidak. Di antara pendapat yang tidak memperbolehkan pernikahan manusia dengan jin adalah al-Bariji dan Ibnu Yunus. Alasan yang dikemukakan adalah adanya perbedaan jenis antara bangsa manusia dan jin. Ini artinya manusia hanya boleh menikah dengan manusia. Hal ini didasarkan atas firman Allah swt berikut ini; وَاَللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri” (Q.S. An-Nahl [16]: 72) قَالَ ابْنُ يُونُسَ مِنْ مَوَانِعِ النِّكَاحِ اخْتِلَافُ الْجِنْسِ فَلَا يَجُوزُ لِلْآدَمِيِّ أَنْ يَنْكِحَ جِنِّيَّةً وَبِهِ أَفْتَى الْبَارِزِيُّ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : وَاَللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا “Ibnu Yunus berpendapat bahwa di antara yang menjadi penghalang pernikahan adalah perbedaan jenis. Karenanya maka tidak boleh bangsa manusia menikah dengan bangsa jin. Dan pendapat inilah yang difatwakan al-Bariji karena didasarkan kepada firman Allah swt, ‘Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri’ (Q.S. An-Nahl [16]: 72]” (Lihat Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 3, h. 162) Dari penjelasan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam soal pernikahan manusia dengan jin ternyata terjadi perbedaan di antara para ulama. Dan kami lebih memilih pendapat yang tidak memperbolehkan pernikahan tersebut. Pertimbangan kami memilih pendapat yang tidak memperbolehkan di samping alasan yang dikemukakan oleh ulama di atas adalah, ketiadaan aturan teknis yang memadai yang menjelaskan mengenai pernikahan manusia dengan jin. Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb Mahbub Ma’afi Ramdlan Tim Bahtsul Masail NU -- http://harian-oftheday.blogspot.com/
[keluarga-islam] PBNU Serukan Sholat Istisqo kepada PWNU dan PCNU Se-Indonesia
PBNU Serukan Sholat Istisqo kepada PWNU dan PCNU Se-Indonesia Kamis, 08/10/2015 21:02 [image: PBNU Serukan Sholat Istisqo kepada PWNU dan PCNU Se-Indonesia] Jakarta, *NU Online* Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan surat instruksi yang ditujukan kepada PWNU dan PCNU yang ada di seluruh Indonesia. Mereka meminta pengurus NU wilayah dan cabang untuk menginisiasi penyelenggaraan sholat Istisqo’ di daerahnya masing-masing. Instruksi ini dikeluarkan mengingat bencana asap, kekeringan, dan kelangkaan hujan di berbagai daerah di Indonesia. Surat ini yang ditandatangani Rais Aam KH Ma’ruf Amin, Katib Aam KH Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan Sekjen PBNU H Helmy Faisal Zaini. “Kami mengajak warga NU untuk memohon ampunan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT,” seperti dirilis dalam surat instruksi Kamis, tertanggal 7 Oktober 2015. Pengurus harian PBNU meminta pengurus PWNU dan PCNU untuk meneruskan maklumat ini kepada pengurus MWCNU dan ranting NU di daerah masing-masing. (*Alhafiz K*) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62668-lang,id-c,nasional-t,PBNU+Serukan+Sholat+Istisqo+kepada+PWNU+dan+PCNU+Se+Indonesia-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Kiai Said Berharap Saudi Perbaiki SDM Pelayanan Haji
Kiai Said Berharap Saudi Perbaiki SDM Pelayanan Haji Jumat, 09/10/2015 19:59 Jakarta, *NU Online* Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengapresiasi pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang kenyamanan ibadah haji seperti perluasan masjid, air yang mencukupi, pohon yang ditanam di mana-mana dan lainnya yang semuanya menghabiskan milyaran dolar, tetapi ia berharap ada peningkatan manajemen dan kualitas layanan haji. “Kita apresiasi berbagai pembangunan sarana prasarana itu, tetapi manusianya yang melayani belum. Bandaranya mewah, tetapi petugas imigrasinya masih *sak karepe dewe.* Kalau yang ngantri sudah panjang, baru dikerjain. Kalau ada teman, pegawainya milih ngobrol. Ini perlu diperbaiki,” katanya kepada *NU Online*, Jum’at. Satu hal lagi, ia tidak sependapat usulan bahwa haji harus dikelola anggota OKI. Yang penting adalah keterbukaan dalam pengelolaan haji tersebut. “Lebih terbuka saja. Misalnya petugas haji yang resmi membawa ID Card, tidak gampang, membuka kontainer berisi mayat, harus nunggu izin dahulu. Minimal kita diajak *ngomong *dan *sharing*, ketika ada tragedi, apa yang harus dikerjasamakan,” tandasnya. Sementara itu untuk Pemerintah Indonesia, ia meminta agar jangan sekali-kali merendah, merasa di bawah Saudi karena jamaah hajinya terbesar. “Artinya, kita paling banyak memberikan kontribusi. Jamaah haji dan umrah asal Indonesia banyak membelanjakan uangnya di sana. Jangan dianggap sebawahnya.” Dari pengalamannya, orang Saudi menganggap orang non Arab kedudukannya dibawahnya. “Kalau sesama Arab tidak dianggap dibawahnya, seperti Mesir, mereka bisa *ngeyel*,” imbuhnya. Di sisi lain, untuk meningkatkan keselamatan, ia berharap jamaah haji Indonesia meningkatkan disiplinnya. Seperti pada tragedi Mina yang lalu, pada jam tersebut bukan merupakan jadual dan jalurnya orang Indonesia. “Yang paling afdhol memang dari pagi sampai dhulur, walaupun setelah dhuhur sampai jam 12 malam tetap sah, tapi yang paling utama adalah keselamatan,” tuturnya. Ia juga berpesan agar setelah kejadian tersebut, bagi yang akan berangkat haji tahun depan, niatnya tidak boleh surut. “Harus tetap, kalau niat haji jangan surut, tetapi tolong disiplin sesuai aturan, menjaga keselamatan diri juga wajib. Kalau mau *afdhol*, mencium Hajar Aswad juga *afdhol,* tetapi ya susah, minimal badan sakit semua.” *(Mukafi Niam)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62681-lang,id-c,nasional-t,Kiai+Said+Berharap+Saudi+Perbaiki+SDM+Pelayanan+Haji-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] NU Harus Terus Aktif Bentengi Umat dari Paham Radikal
NU Harus Terus Aktif Bentengi Umat dari Paham Radikal Jumat, 16/10/2015 16:00 [image: NU Harus Terus Aktif Bentengi Umat dari Paham Radikal] Padangpariaman, *NU Online* PWNU Sumatera Barat mengajak para ulama dan santri untuk meningkatkan peran aktifnya membentengi umat dari paham-paham keagamaan radikal, yang selalu membid'ahkan amaliah yang dilakukan umat Islam, dan mengkafirkan pihak lain. Ketua PW NU Sumatera Barat, Maswar mengungkapkan hal itu pada pelantikan PCNU Kabupaten Padangpariaman, Kamis (15/10), di Hall Saiyo Sakato Pemkab Padangpariaman, di Pariaman. Pelantikan PCNU masa khidmat 2015-2020 dihadiri Bupati Padangpariaman Ali Mukhni, Ketua PC GP Ansor Padangpariaman Zeki Aliwardana, Ketua PC IPNU Padangpariaman Fauzan Ahmad, MWC NU se-Padangpariaman. Menurut Maswar, PCNU Padangpariaman harus berperan aktif mengantisipasi munculnya aliran radikal, seperti ISIS. "Sekarang sudah ada kelompok yang menamakan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang berkedok berkegiatan sosial. Namun dalam aksi sosialnya, disebarkan paham bahwa shalat itu tidak wajib, zakat tidak wajib. Sasaran rekruitmennya adalah anak-anak pintar yang tidak mampu. Setelah direkruitmen, didoktrin, akhirnya anak-anak itu melawan terhadap orangtuanya. Kalau anak tersebut sudah dibai'at, maka anak itu lebih radikal lagi," tutur Maswar. Dikatakan Maswar, ada paham yang banyak mengharamkan kegiatan yang sudah tumbuh di masyarakat. Peringatan Isra' Mi'raj haram, maulud Nabi Muhammad Saw juga haram, berdoa dan berzikir bersama usai shalat wajib, juga haram. Pakaian yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad Saw, juga haram. "Semua itu adalah tantangan ulama, khususnya Nahdlatul Ulama untuk membentengi umat dari paham yang keliru tersebut," kata Maswar. Ketua PCNU Padangpariaman Masri Can sebelumnya menyampaikan, NU di Padangpariaman sudah banyak berbuat sejak lama. Tahun 1960-an, khususnya 1965 saat meletus pemberontakan G 30 S/PKI, NU Padangpariaman sangat aktif membentengi umat dari ancaman PKI itu. Ada apel besar yang dilaksanakan NU bersama Ansor dengan dihadiri belasan ribu orang. "Pasca bencana gempa 30 September 2009, yang menghancurkan daerah Padangpariaman, NU juga berperan aktif melakukan rehabilitasi, pembangunan sarana dan prasana yang dibutuhkan masyarakat, bantuan pengobatan dan pelatihan dai siaga bencana. Apa yang diberikan NU tersebut, sangat bermanfaat bagi masyarakat Padangpariaman yang terkena bencana gempa saat itu," kata Masri Can yang juga Kepala Kantor Kementerian Agama Padangpariaman ini. (Armaidi Tanjung/Fathoni) *Foto:Ketua PWNU Sumatera Barat Maswar melantik Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Padangpariaman, Kamis (15/10/2015), di hall Saiyo Sakato Pemkab Padangpariaman, di Pariaman.* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,62832-lang,id-c,daerah-t,NU+Harus+Terus+Aktif+Bentengi+Umat+dari+Paham+Radikal-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] LDNU Tegaskan Misi Syiar Aswaja untuk Memperkuat NKRI
LDNU Tegaskan Misi Syiar Aswaja untuk Memperkuat NKRI Kamis, 08/10/2015 00:01 [image: LDNU Tegaskan Misi Syiar Aswaja untuk Memperkuat NKRI] Jakarta, *NU Online* Ajaran Ahlusunnah wal Jamaah sebagai benteng aqidah umat Islam di Indonesia perlu terus menjadi prioritas syair Lembaga Dakwah PBNU. Tradisi yang dihidupkan paham Aswaja terbukti selain bernilai ibadah juga memperkokoh bangunan sosial di Indonesia. Demikian dinyatakan Ketua PP LDNU DR KH Manarul Hidayahdalam rapat kerja perdana LDNU di pesantren Al-Aqidah Al-Hasyimiyah pimpinan ustadz Jamaludiin F Hasyim pada Selasa-Rabu (6-7/10). “Ibadah ahlusunah seperti tahlil, ratiban, diba’an, istighotsah dan mauludan bagi kalangan Nahdhiyin tidak dipandang sebagai rangkaian ibadah semata, namun telah menjadi media yang memperkuat jalinan solidaritas antarumat dan menumbuhkan budaya silarurahmi dan gotong royong, satu ajaran sunah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW,” ujar Kiai Manarul. Menurut Kiai Manarul, budaya solidaritas dan komunalitas inilah yang berhasil menciptakan budaya toleran dan memperkuat persaudaraan sesama muslim dan sesama sebangsa yang efeknya adalah terciptanya masyarakat Islam yang toleran, santun dan beradab, yang penting bagi ketahanan NKRI. Tampak hadir dalam pertemuan ini Ketua PP LDNU periode 2010-2015 KH Zakki Mubarok dan Ketua PBNU KH Abdul Manan Ghani, Sekretaris PP LDNU KH Nurul Yaqin Ishaq. Kunci sukses dakwah, Kiai Manarul menambahkan, adalah menyemarakkan masjid-masjid dengan kegiatan-kegiatan pengajian dan kegiatan sosial yang manfaatnya benar-benar dirasakan oleh umat. “Kita juga perlu menyusun tuntunan-tuntunan praktis yang sangat dibutuhkan oleh para dai dan da'iah muda agar ajaran Ahlusunnah yang secara turun-temurun diwariskan para ulama terdahulu terus terjaga dan diamalkan. Inovasi dakwah juga dibutuhkan untuk mengakomodir perkembangan zaman yang juga telah memengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat.” Sementara Kiai Manan menambahkan bahwa forum Muktamar Ke-33 NU telah memandatkan Lembaga Dakwah NU untuk berperan dalam mengkader para da'i dan da'iah yang ada di penjuru negeri bahkan hingga mancanegara untuk melanjutkan syiar ajaran Ahlusunnah wal jamaah dan Nahdhiyah di tengah maraknya paham-paham yang cenderung menjauh dari ajaran Aswaja. “PP LDNU berperan sebagai garda terdepan dalam memublikasikan, menyemarakkan ajaran-ajaran Aswaja baik melalui dakwah secara langsung, maupun metode-metode dakwah lainnya melalui media publikasi dan media elektronik yang saat ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam di Indonesia,” kata Kiai Manan memberikan sambutan. (Red Alhafiz K) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62654-lang,id-c,nasional-t,LDNU+Tegaskan+Misi+Syiar+Aswaja+untuk+Memperkuat+NKRI-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Ketum PBNU Tegaskan, Presiden Setujui Hari Santri 22 Oktober
Ketum PBNU Tegaskan, Presiden Setujui Hari Santri 22 Oktober Kamis, 15/10/2015 12:27 [image: Ketum PBNU Tegaskan, Presiden Setujui Hari Santri 22 Oktober] Jakarta, *NU Online* Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj kembali menegaskan, bahwa Presiden Joko Widodo telah menyetujui Hari Santri 22 Oktober. Hal ini dia nyatakan ketika memberi sambutan di acara pembukaan Nahhdlatul Ulama Cultural and Business (NUCB) Expo 2015, Rabu (14/10) di Gedung Smesco UKM, Jl Gatot Subroto Jakarta. “Para santri atas nama bangsa Indonesia dipimpin oleh KH Wahab Chasbullah berdasarkan dorongan KH Hasyim Asy’ari melawan pasukan NICA yang ingin kembali menjajah dan menguasai RI,” ungkap Kang Said, sapaan akrabnya. Guru Besar Tasawuf ini juga mengungkapkan, meski dalam peperangan merebut kemerdekaan telah gugur sebanyak 20 ribu pahlawan yang terdiri dari santri dan rakyat, bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu. “Kita menang, Brigjen Mallaby, Komandan NICA tewas di tangan seorang santri dari Pesantren Tebuireng bernama Harun menurut riwayat dalam peperangan besar tanggal 10 November 1945 di Surabaya,” paparnya. Dalam masa peperangan menegakkan kemerdekaan, lanjutnya, ada sebanyak 20 Batalyon dari 64 Batalyon yang dipimpin oleh para kiai pesantren. “Di sinilah peran besar kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan RI yang termotivasi dari fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945,” terangnya. Dengan fatwa jihad tersebut, imbuh Kang Said, bangsa Indonesia terdorong memperjuangkan dan menegakkan kemerdekaan RI dari tentara NICA atau sekutu. “Karena fatwa tersebut menyatakan, bahwa membela tanah air dari tangan penjajah adalah wajib hukumnya dan siapa yang gugur, ia termasuk syahid,” jelasnya. Hadir dalam pembukaan expo ini, Ketua PBNU, KH Abdul Manan Ghani, Menristek Dikti, H Muhammad Nasir, Wakil Ketua MPR RI, Oesman Sapta Odang, Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini, Ketua LTMNU, KH Mansyur Syaerozi, Sekretaris LTMNU, H Ibnu Hazen, perwakilan dari Kedutaan Negara sahabat, ulama dari Mesir, Tunisia, Maroko, Turki, dan para pengelola masjid dari berbagai daerah. *(Fathoni)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62803-lang,id-c,nasional-t,Ketum+PBNU+Tegaskan++Presiden+Setujui+Hari+Santri+22+Oktober-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Yudi Latif: Kecerdasan Kewargaan
Kecerdasan Kewargaan Oleh: Yudi Latif Asap tebal yang mengepung langit barat Indonesia adalah tamsil kegelapan langit jiwa bangsa kita. Ada banyak gerak-gerik, kegaduhan, dan keluhan di ruang publik, tetapi semua tingkah polah seperti meraba dalam gelap. Tiada bintang pimpinan (leit star) ke mana langkah harus menuju. Hari Kesaktian Pancasila masih diperingati sebagai upacara, tetapi keampuhan nilai-nilainya sebagai pedoman kehidupan bangsa dan negara makin pudar. Khotbah sosialisasi Pancasila berhenti sebagai goyang lidah dengan kedalaman cuma sampai tenggorokan. Seruan revolusi mental sebagai ikhtiar menggelorakan jiwa Pancasila sayup terdengar, seakan hanyut dilamun ombak. Dalam gelap, kendala utama adalah penglihatan. Banyak orang menawarkan jalan keluar dengan visi yang kabur. Krisis multidimensional yang melanda bangsa dicoba dicari akarnya pada persoalan jati diri. Namun, konseptualisasi jati diri itu sendiri tidak didefinisikan secara jelas. Akibatnya, obat yang diberikan tidak berdasarkan diagnosis penyakit yang cermat. Setelah ukuran kecerdasan diri berbasis intelligence quotient (IQ) dianggap tak memadai menjawab krisis kedirian, program pendidikan dan pelatihan kepribadian berpaling pada pengembangan jenis kecerdasan lain, terutama yang berbasis emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ). Usaha menyelesaikan persoalan jati diri dengan ukuran-ukuran itu memang patut diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor IQ, EQ, dan SQ itu sudah tepat menyasar sisi terlemah dari kedirian bangsa ini? Untuk memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa diri manusia terdiri atas dua bagian: kedirian privat (private self) yang bersifat personal dan khas serta kedirian publik (public self) yang melibatkan relasi sosial. Keduanya bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan. Dengan kerangka itu, kita bisa melihat bahwa problem kedirian manusia Indonesia pada dasarnya tidaklah bersumber dari kecerdasan diri privat. Secara IQ, manusia Indonesia bukanlah kelompok manusia dengan defisit kepintaran. Tandanya bisa dilihat dari berbagai olimpiade internasional di bidang matematika, fisika, dan kimia. Anak Indonesia tidak saja bisa bersaing dengan utusan negara terpandang, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok, bahkan berulang kali berhasil merebut predikat juara umum. Manusia Indonesia juga relatif memiliki kematangan emosional. Berbagai tradisi budaya Indonesia sudah teruji menanamkan ketahanan emosional, seperti kemampuan pengendalian diri untuk tidak berlebihan (ngono yo ngono ning ojo ngono); menjunjung tinggi yang positif, memendam yang negatif (mikul dhuwur, mendhem jero); serta ketahanan menghadapi kesulitan. Kecerdasan spiritual juga relatif kuat. Manusia Indonesia pada umumnya bersifat ”religius”. Dalam ukuran paling kasatmata, kita bisa melihat bagaimana rumah ibadah dan partisipasi ibadah meningkat; pertumbuhan jemaah calon haji dan umrah melambung; serta majelis zikir, penghayat tarekat, yoga, dan ajaran spiritualitas lain menjamur. Sisi terlemah manusia Indonesia justru mencolok pada aspek kedirian bersifat publik. Hal ini mudah dilihat dari bagaimana orang berlatar pribadi baik dengan mudah hanyut dalam arus keburukan begitu terjun ke politik. Kita juga bisa menyaksikan, hampir semua hal bersifat kolektif mengalami dekadensi: partai politik sakit, lembaga perwakilan sakit, birokrasi sakit, aparatur penegak hukum dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan organisasi keagamaan berskala besar pun mulai menunjukkan gejala sakit. Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dan pembudayaan mengembangkan ”kecerdasan kewargaan” (civic quotient). Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal dengan mengabaikan usaha menautkan keragaman kecerdasan personal ke dalam kecerdasan kolektif-kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret ”huruf” alfabet tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika) ke dalam ”kata” dan ”kalimat” bersama. Akibatnya, banyak manusia baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya). Padahal, bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya, tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan penyebut yang sama (common denominator) sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama. Oleh karena itu, pendidikan kecerdasan kewargaan berlandaskan Pancasila merupakan jurus pamungkas yang paling dibutuhkan. Pengembangan kecerdasan kewargaan lebih fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari kolonisasi individualisme yang mendorong kapitalisme dan kolonialisme. Postulat dasar individualisme meyakini bahwa relasi sosial bukan pembentuk perseorangan dalam pengalamannya yang paling fundamental. Relasi sosial memang sesuatu yang terjadi pada individu, tetapi tidak dipandang sebagai
[keluarga-islam] Tiga Akibat ketika Seseorang Jauh dari Ulama
Tiga Akibat ketika Seseorang Jauh dari Ulama Senin, 19/10/2015 12:00 [image: Tiga Akibat ketika Seseorang Jauh dari Ulama] Pringsewu, *NU Online* Ulama adalah pewaris Nabi. Ulama merupakan salah satu sumber ilmu dan keberkahan dalam kehidupan di dunia. Selain sebagai referensi keilmuan, ulama memiliki berbagai macam peran dan posisi yang sangat diharapkan kehadirannya dalam kehidupan umat. Di antaranya, para ulama merupakan imam yang dapat membina dan memberi contoh kepada umatnya. Mereka adalah mujahid yang tanpa lelah berjihad demi kemaslahatan umat. Para Ulama adalah orang yang selalu mendoakan yang terbaik untuk umatnya. Demikian disampaikan Mustasyar PCNU Pringsewu H Sujadi Saddad di hadapan Jamaah Jihad Pagi (Ngaji Ahad Pagi) di Aula Gedung NU Kabupaten Pringsewu, Lampung, Ahad (18/10). Pernyataan ini merupakan ulasan dari materi Jihad Pagi yang disampaikan oleh Rais Syuriyah MWCNU Pringsewu KH. Ahmad Nasihin. Dalam penyampaian materinya, Kiai Nasihin menyampaikan Hadits Rasul yang menyatakan bahwa akan datang zaman dimana para umat lari menjauh dari para ulama dan fuqoha sehingga Allah akan memberi 3 macam ujian dan balasan bagi umat tersebut. Yang pertama akan dihilangkan keberkahan dalam berusaha. "Keberkahan adalah hal yang sangat penting dari sebuah usaha. Usaha yang terlihat sukses namun menggunakan cara yang tidak benar, maka keberkahan baik dunia dan akhirat akan tidak dirasakan," kata Pengasuh PP Alwustho Pringsewu ini. Yang kedua, tutur Kiai Nasihin, bagi orang yang lari menjauh dari para ulama akan diberikan pemimpin-pemimpin yang dzalim. "Pemimpin yang dzalim adalah pemimpin yang hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Pemimpin yang tidak memikirkan kemaslahatan umat," terangnya. Yang ketiga, bagi orang yang jauh dari para ulama akan dikeluarkan dari kehidupan didunia dalam kondisi tidak beriman dan jauh dari harapan menjadi khusnul khotimah. "Oleh karena itu agar kehidupan mendapatkan keberkahan. Hiduplah dekat dengan para ulama," ajaknya.* (Muhammad Faizin/Mahbib)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,62899-lang,id-c,daerah-t,Tiga+Akibat+ketika+Seseorang+Jauh+dari+Ulama-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Quraish Shihab: Perkawinan
Perkawinan Oleh: M. Quraish Shihab Ada naluri dalam diri makhluk yang mendorongnya untuk “bertemu” dengan pasangannya. Ia merupakan desakan yang menggelisahkan bila dibendung, tetapi mengakibatkan mudharat bila disalurkan tanpa aturan. Dari sini, Islam sebagai agama fitrah (QS. ar-Rûm [30]: 30), memberi aneka tuntunan tentang perkawinan. Ketika beberapa orang sahabat Nabi saw. bermaksud melakukan beberapa kegiatan yang tidak sejalan dengan fitrah, antara lain enggan menikah, Nabi saw. menegur dengan menyatakan bahwa: Nikah adalah sunahku, dan siapa yang tidak senang mengikuti sunahku maka dia tidak termasuk umatku. Maksud beliau, keterikatan dalam hubungan suami istri adalah salah satu cara hidup beliau, maka siapa yang mengekang dorongan seksualnya sehingga tidak menyalurkannya melalui pernikahan yang sah, demikian juga yang bermaksud meraih kebebasan memenuhi dorongan itu tanpa pernikahan yang sah, maka dia tidak termasuk kelompok umat Islam. Perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Ketentuan Allah menyangkut hal ini bukan saja tecermin pada ketetapan-Nya tentang siapa yang boleh dan tidak boleh dinikahi, atau rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan-Nya, tetapi bahkan dalam redaksi yang digunakan dalam akad. Nabi saw. bersabda sebagai pesan kepada calon suami, “Saling wasiat-mewasiatilah menyangkut perempuan (istri) karena kalian menerimanya dengan amanat dari Allah dan menjadi halal hubungan kalian dengan kalimat Allah.” Hanya dua kalimat yang digunakan Allah dalam kitab suci al-Qur’an untuk menggambarkan perkawinan yang sah. Yaitu nikâh yang makna dasarnya adalah “penyatuan” dan zawâj yang berarti “keberpasangan”. Dengan nikah diharapkan jiwa raga, cita-cita dan harapan, serta upaya dan kesungguhan suami istri menyatu karena mereka telah dinikahkan. Tetapi penyatuan itu bukan peleburan, karena masing-masing memiliki “aku”/ kepribadian dan identitasnya sehingga pada hakikatnya mereka menjadi pasangan yang tidak dapat berfungsi, kecuali bila bersama pasangannya. Dari sini juga Islam menuntun agar pasangan memiliki kesetaraan demi mempermudah, bahkan mewujudkan penyatuan dan keberpasangan itu. Kesetaraan itu antara lain dalam agama dan pandangan hidup, tingkat pendidikan dan budaya, bahkan status sosial dan usia. Di sisi lain musyawarah diperintahkan-Nya bukan saja dalam kehidupan keluarga besar—bangsa—(QS. asy-Syûrâ [42]: 38), tetapi juga keluarga kecil—suami isteri—(QS. al-Baqarah [2]: 233). Bagaimana mungkin musyawarah akan “nyambung” jika kesetaraan tidak wujud? Apabila nikâh dan zawâj yang dimaksud telah terpenuhi, maka ketika itu akan lahir sakînah yang merupakan tujuan akhir dari setiap perkawinan. Sakinah adalah ketenangan yang didahului oleh gejolak. Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu menghadapi tantangan. Karena alasan-alasan inilah maka manusia kawin, berkeluarga, bahkan bemasyarakat dan berbangsa. Jika demikian, keberpasangan manusia bukan hanya didorong oleh desakan naluri seksual, tetapi lebih daripada itu. Ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan. Ketenangan itu didambakan oleh suami setiap saat, termasuk saat dia meninggalkan rumah dan anak istrinya, dan dibutuhkan pula oleh istri, lebih-lebih saat suami meninggalkannya keluar rumah. Bahwa sakinah harus didahului oleh gejolak, menunjukkan bahwa ketenangan yang dimaksud adalah ketenangan dinamis. Pasti dalam setiap rumah tangga ada saat-saat di mana gejolak, bahkan kesalahpahaman dapat terjadi, namun ia dapat segera tertanggulangi lalu melahirkan sakinah. Ia tertanggulangi bila agama, yakni tuntunan-tuntunannya, dipahami dan dihayati oleh anggota keluarga, atau dengan kata lain, bila agama berperan dengan baik dalam kehidupan keluarga. Demikian, wa Allah A’lam. [] -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Kebakaran Hutan dan Urgensi Kesalehan Ekologis
Kebakaran Hutan dan Urgensi Kesalehan Ekologis Oleh: Muhammad Najih Arromadloni Bencana yang tidak henti-hentinya merundung Indonesia dalam beberapa dasarwarsa terakhir telah menelan banyak korban jiwa, harta, dan sumber daya. Laporan UNEP, United Nations of Environmental Programe (Komisi PBB untuk pembangunan dan ligkungan hidup) memperkirakan kerugian Indonesia akibat bencana tsunami saja mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi gejala umum hampir seluruh kawasan di Indonesia. Kasus paling mutakhir adalah kebakaran hutan di sejumlah wilayah di Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau yang tengah berlangsung hingga kini. Kebakaran hutan terjadi karena penggunaan api dalam pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), pertanian, dan perkebunan. Kebakaran hutan juga disokong oleh adanya global warming dan kemarau yang ekstrim. Degradasi dan deforestasi (kerusakan hutan) menjadi ancaman yang nyata di Indonesia. Selama periode 1997-2004 Indonesia kehilangan hutan seluas 4-7 kali luas lapangan bola per-menit atau setara dengan 2-3,8 juta hektar pertahun. Departemen Kehutanan merilis bahwa selama periode 2003-2006 laju pengrusakan hutan di Indonesia mencapai 1,17 hektar per-tahun, atau 2% dari total hutan asli Indonesia. Sementara The UN Food and Agriculture Organization mencatat angka deforestasi Indonesia periode 2000-2005 adalah 1,8 juta hektar pertahun. Tidak mencengangkan jika Indonesia menjadi negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia, dalam rekam Guiness Book of The Record. Sedangkan gambut yang terbakar di Indonesia melepas emisi karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia. Ironisnya, sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang dilakukan secara sengaja maupun lalai, baik oleh pelaku industri atau peladang, dan hanya 0,1% yang diakibatkan alam (petir atau larva gunung berapi). Sejatinya, berbagai bencana yang melanda Indonesia, telah mendorong keterlibatan aktif ulama dan umat Islam, utamanya sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan pembicaraan mereka tidak hanya terbatas pada bencana di dalam negeri namun juga alam semesta secara umum. Di antaranya adalah “Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim” yang diikuti oleh para pemimpin dan ulama Muslim dari sekitar 20 negara di Istanbul, Turki, bulan Agustus lalu (17-18/8/2015) mereka sepakat tentang perlunya perhatian dan kepedulian bersama menghadapi masalah perubahan iklim. Dalam deklarasi tersebut dihimbau kepada negara-negara muslim penghasil BBM fosil untuk berusaha serius melahirkan energi terbarukan menjelang pertengahan abad 21, dan menyatakan bahwa 1,6 miliar muslim turut memikul amanah menghadapi perubahan iklim. Deklarasi juga menyerukan negara-negara kaya untuk mengurangi konsumsi, sehingga kaum miskin dapat mengambil manfaat dari apa yang masih tersisa dari sumber alam yang terbarukan. Sebelum adanya Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim, MUI telah menerbitkan fatwa yang secara spesifik memutuskan dan menetapkan bahwa pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram. MUI juga telah mengeluarkan sejumlah fatwa terkait penyelamatan lingkungan hidup. Misalnya Fatwa MUI No 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan; Fatwa MUI No 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Pencegahan Kerusakan Lingkungan; Fatwa No 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem. MUI Pusat bahkan sejak 2010 memiliki Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Wujud kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, hutan utamanya, juga telah lakukan oleh Indonesian Forest and Media Campaign (INFORM) dan Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat (P4M) pada 9-12 Mei 2004. Forum yang mengusung tema “Menggagas Fiqh Lingkungan” tersebut telah merumuskan gagasan fiqh lingkungan dan mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh lebih dari 30 ulama dari Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Secara substansial fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta yang Maha pengasih dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Harun Nasution (1992: 542), dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Panduan Islam tentang Hubungan (biologis) Suami Istri. (Bag-3)
*Panduan Islam tentang Hubungan (biologis) Suami Istri. (Bag-3)* Menyambung dan menyempurnakan pembahasan sebelumnya berkaitan dengan panduan hubungan (biologis) suami istri, maka disini terdapat beberapa anjuran (sunnah) lagi yang telah dinukil dalam beberapa hadis berikut ini. Dan sebaliknya, terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan akan beberapa hal yang terdapat penekanan untuk ditinggalkan (makruh) sewaktu melakukan persenggamaan: Hal-hal yang dimakruhkan dalam melakukan hubungan biologis: 1. Membayangkan perempuan (untuk suami) atau laki-laki (untuk istri) lain selain pasangannya. Seorang suami atau istri tidak selayaknya ketika sedang melakukan hubungan biologis membayangkan laki-laki atau perempuan lain dengan syahwat. Karena hal itu, selain berdosa bagi pelakunya, juga sedikit banyaknya akan memberikan dampak negatif pada kepribadian anak yang dilahirkan dari cara hubungan seperti ini. Dalam wasiatnya kepada Imam Ali as, Rasulullah saw bersabda: “Wahai Ali, janganlah engkau melakukan hubungan biologis dengan istrimu dalam keadaan membayangkan perempuan lain. Karena aku takut jika ternyata (dari hubungan itu) menghasilkan anak maka ia akan menjadi banci, dan anggota tubuh serta akalnya akan cacat”. [Syeikh Radhiyuddin Abi Nashril Hasan bin Al-Fadl ath-Thabarsi, ulama besar pada abad ke-6 HQ, Makarimal-Akhlak, hal 209, Wasail asy-Syi’ah, Syeikh al-Hurr al-Amili jilid 20 halaman 252] 2. Berbicara sewaktu berhubungan Usahakan suami dan istri ketika sedang melakukan hubungan biologis tidak berbicara. Adapun sebelumnya dan sesudahnya tidaklah apa-apa. Berkenaan dengan hal ini, Imam Shadiq as meriwayatkan dari Rasulullah saw dimana beliau berwasiat kepada Imam Ali as: “Wahai Ali, janganlah berbicara ketika engkau sedang melakukan hubungan biologis. Karena jika (dari hasil hubungan semacam itu) anak terlahir darinya maka ia tidak akan terjaga dari kebisuan (akan menyebabkan bisu .red)”. [Wasail asy-Syi’ah, Syeikh al-Hurr al-Amili jilid 20 halaman 123 dinukil dari Adab Zafaf halaman 77] 3. Memakai Satu Kain Selayaknya suami istri memiliki kain (pengusap kemaluan) yang digunakan setelah melakukan hubungan biologis secara terpisah. Dan hendaklah menjauhi menggunakan satu kain secara bergantian. Karena jika hal demikian dilakukannya maka akan menyebabkan permusuhan di antara pasangan suami-istri tersebut. Berkaitan dengan hal ini, dalam wasiatnya kepada Imam Ali as, Rasulullah saw bersabda: “Wahai Ali, janganlah engkau melakukan hubungan biologis dengan istrimu melainkan engkau dan istrimu memiliki kain yang terpisah. Janganlah kalian berdua menggunakan satu kain setelah berhubungan (jima’). Karena hal itu menyebabkan (terjadinya) syahwat terletak pada syahwat lainnya, dan hal tersebut akan menyebabkan permusuhan di antara kalian berdua yang kemudian akan mengantarkan pada penceraian (thalak).” [Syeikh Radhiyuddin Abi Nashril Hasan bin Al-Fadl ath-Thabarsi, ulama besar pada abad ke-6 HQ, Makarimal-Akhlak, hal 210, Wasail asy-Syi’ah, al-Hurr al-Amili jilid 20 halaman 252] 4. Melihat kemaluan (kelamin) istri. Ketika sedang melakukan hubungan biologis, hendaknya sang suami tidak melihat alat kemaluan pasangannya. Karena hal itu akan mewariskan kebutaan pada anak yang terlahir darinya. Berkaitan dengan hal ini, Nabi saw dalam wasiatnya kepada Imam Ali as, beliau bersabda: “Dan hendaklah kalian tidak melihat kemaluan istri. Dan tundukkanlah pandangan dari memandang vagina istri ketika sedang melakukan hubungan biologis (persetubuhan). Karena memandang vagina ketika sedang berhubungan intim akan mewariskan kebutaan pada anak (yang dihasilkan darinya)”. [Syeikh Radhiyuddin Abi Nashril Hasan bin Al-Fadl ath-Thabarsi, ulama besar pada abad ke-6 HQ, Makarimal-Akhlak, hal 209, Wasail asy-Syi’ah, al-Hurr al-Amili jilid 20 halaman 121] 5. Setelah Dhuhur Ditekankan agar tidak melakukan hubungan dengan pasangan di waktu dzuhur karena hal itu memungkinkan anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut terlahir dalam keadaan ‘jereng’ (juling mata). Rasul saw dalam sebuah wasiat beliau kepada Imam Ali as bersabda: “Wahai Ali, jangan engkau berhubungan biologis dengan istrimu pada waktu selepas dzuhur. Karena jika kalian (engkau dan istri .red) lakukan hal tersebut maka, kalaulah kalian dikarunia seorang anak dari hasil hubungan tersebut maka akan terlahir dalam keadaan juling. Dan Setan sangat menyukai manusia yang juling”. [Syeikh Radhiyuddin Abi Nashril Hasan bin Al-Fadl ath-Thabarsi, dalam kitab Makarimal-Akhlak, hal 209] 6. Malam Hari Raya Iedul Fitri dan Iedul Adha Ditekankan untuk menghindari hubungan seksual dengan istri di saat malam Iedul Fitri dan Iedul Adha. Kedua Malam itu (Iedul Fitri dan Iedul Adha) adalah salah satu waktu yang dimakruhkan dalam melakukan hubungan biologis antara suami-istri. Dikarenakan jika hal itu dilakukan maka andai Allah mengaruniai keturunan dari hubungan tersebut maka ia akan terlahir dalam keadaan yang
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Apakah Orang Tua Renta Masih Wajib Shalat Jumat?
*Apakah Orang Tua Renta Masih Wajib Shalat Jumat?* Pertanyaan: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pak kiai yang saya hormati, saya punya seorang paman yang tinggal sendirian karena memang dia tidak punya anak. Paman saya usianya sekitar 74 th, dan mengalami kebutaan, sehingga kalau kemana-mana harus ada yang menjaganya, terutama kalau pergi ke mushalla yang jaraknya kurang lebih 300 meter dari rumahnya. Kalau pas saya di rumah saya yang sering mengantarnya sekalian saya ikut berjamaah di mushalla, namun kalau sedang ke luar kota maka istri saya yang mengantarkannya. Yang menjadi persoalan adalah kalau hari Jumat, kalau pas saya dan istri tidak di rumah, tetangga juga kadang tidak ada, paman saya yang sudah tua pergi ke masjid sendirian dan jalannya kadang tertatih-tatih, untuk menunaikan shalat Jumat. Mengingat keadaannya paman saya yang sudah tua dan mengalami kebutaan, dan jarak jarak antara rumah dengan masjid lumayan jauh, apakah beliau masih berkewajiban mengikuti shalat Jumat di masjid atau tidak? Kami yang awam ini mohon penjelasannya. Dan atas penjelasannya, kami ucapkan terimkasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Nur Hadi – Batang Jawaban: Assalamu’alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Sebelum kami menjawab pertanyaan di atas, kami akan menjelaskan secara ringkas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang melaksanakan shalat jumat. Setidaknya ada tujuh persyarat yang harus dipenuhi, yaitu Islam, merdeka, baligh, berakal, laki-laki, sehat, dan tidak dalam bepergian (al-istiyathan). Ketujuh syarat itu harus terpenuhi. Karenanya, orang non-muslim, yang tidak berakal, dan musafir tidak terkena kewajiban shalat Jumat. Begitu juga budak, perempuan, anak kecil, dan orang yang sakit. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw berikut ini; الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى إِلاَّ أَرْبَعَةٍ عَبْدِ مَمْلُوكٍ ، أْوِ امْرَأَةٍ ، أَوْ صَبِىٍّ ، أَوْ مَرِيضٍ “Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim kecuali empat orang yaitu budak yang dimiliki, perempuan, anak kecil, dan orang sakit” (H.R. Abu Dawud) Penulis ‘Aun al-Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud menjelaskan maksud orang sakit yang tidak wajib shalat Jumat dalam hadits ini. Menurutnya, orang sakit yang tidak berkewajiban shalat Jumat itu adalah ketika ia hadir untuk shalat malah menimbulkan masyaqqah bagi dirinya. Ini artinya tidak semua orang sakit tidak wajib shalat Jumat. Tetapi hanya orang-orang yang memang masuk kategori sakit berat. Sebab kalau ikut shalat Jumat malah menambah penderitaannya. Selanjutnya beliau menjelaskan pandangan imam Abu Hanifah yang meng-ilhaq-kan atau menganalogikan orang yang sakit dengan orang buta meskipun ada yang menuntuntunya. Alasannya yang beliau kemukakan adalah bahwa kebutaaan itu juga menimbulkan masyaqqah. Sedikit berbeda dengan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i berpendapat jika orang buta ada yang menuntun atau mengarahkannya, maka ia bukan orang yang ber-‘udzur. Karenanya, dalam konteks ini ia wajib shalat Jumat. فِيهِ أَنَّ الْمَرِيضَ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْجُمُعَةُ إِذَا كَانَ الْحُضُورِ يَجْلِبُ عَلَيْهِ مَشَقَّةً وَقَدْ أَلْحَقَ بِهِ الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ اَلْأَعْمَى وَإِنْ وَجَدَ قَائِدًا لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْمَشَقَّةَ وَقَالَ الشَّافِعِيُّ إِنَّهُ غَيْرُ مَعْذُورٍ عَنِ الْحُضُورِ إِنْ وَجَدَ قَائِدًا “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa orang yang sakit tidak wajib atasnya shalat Jumat apabila kehadirannya dapat menimbulkan masyaqqah. Imam Abu Hanifah menyamakan orang buta dengan orang sakit meskipun ia mendapati orang yang menuntunnya, karena adanya masyaqqah. Sedang imam Syafii berpendapat bahwa orang buta bukanlah orang yang udzur dari mengikuti shalat Jumat jika ada yang menuntunnya” (Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Azhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, 1415 H, juz, 3, h. 278) Nah dari sini dapat disimpulan bahwa menurut Imam Abu Hanifah orang buta tidak wajib mengikuti shalat Jumat meskipun ada yang menuntun atau mengarahkannya. Sebab, kebutaan itu sendiri merupakan masyaqqah. Sedang menurut imam Syafi’i jika ada yang menuntunnya, ia tetap wajib shalat Jumat. Dua pendapat ini dalam pandangan kami sebenarnya sama-sama tidak mewajibkan shalat Jumat bagi orang buta, hanya saja imam Syafii memberikan batasan apabila ada yang menuntun atau yang mengarahkan, maka tetap wajib shalat Jumat atasnya. Penjelasan ini jika ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka kami lebih cenderung memilih pendapat yang menyatakan orang yang sudah tua renta apalagi buta tidak wajib mengikuti shalat Jumat. Sebab, kebutaan dalam hal ini juga merupakan problem yang menimbulkan masyaqqah tersendiri. Dengan kata lain, kewajiban shalat Jumat paman Anda telah gugur. Sedang kewajiban shalat Dhuhurnya tidak gugur karena itu merupakan kewajibannya sebagai hamba Allah
[keluarga-islam] Bisakah Lahir Mahbub Djunaidi Baru?
Bisakah Lahir Mahbub Djunaidi Baru? Oleh: Isfandiari Mahbub Djunaidi Sesuai adab, tuan rumah mengundang keluarga terdekat di Haul Akbar Ke-20 Mahbub Djunaidi, Kamis (1/10) lalu. Hadir anaknya, Mirasari Djunaidi-Isfandiari, adik kandung Fadlan Djunaidi, sahabat kentalnya kakak beradik Mustafa dan Andi Sahrandi. Mereka jadi tamu kehormatan, bersila, gelar tikar di parkiran belakang kampus STAINU Jakarta, tidak jauh dari tempat bermain Gus Dur ketika kecil dulu, Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Romantisme masa lalu jadi topik favorit saat keluarga bicara. Ihwal sepak terjang si Bung, panggilan akrab Mahbub Djunaidi, suka-duka meringkuk di bui, kekagumannya pada Soekarno dan Pramoedya atau kejengkelannya saat hidup di zaman Orde Baru. Fadlan Djunaidi punya sedikit ruang untuk menggambarkan pribadi si Bung, anak Kebon Kacang Jakarta ini. Walau singkat, sangat personal, sampai kisah asmara dengan kekasihnya dulu, Hasni Asmawi yang kemudian hari jadi istrinya. Hadirin terhibur dan larut dalam secuil kehidupan Mahbub. Sesi romantisme keluarga memang jadi sekuel penyegar round down acara. Khalayak merasa dekat dengan Mahbub Djunaidi yang sudah berpulang sejak tahun 1995 silam. Tapi tentunya ini bukanlah yang penting buat tuan rumah. Mahasiswa STAINU Jakarta, khususnya para aktivis PMII sudah beda jaman dengan Mahbub saat di PMII dulu. Ia adalah masa lalu dan tuan rumah jadi pemilik masa kini dan depan. Walau ia sumber inspirasi, mereka (idealnya) tidak mengharapkan lahirnya Mahbub baru. Yang mereka harapkan, lahirnya ia yang baru, sosok egosentris yang mampu jadi 'selebriti' dalam potensinya masing-masing. Mahbub, ya...Mahbub. Ia yang berkaos oblong dengan mesin tik butut sambil kepulkan asap rokok ke udara. Pribadi berdandan berantakan plus pikiran liar mengembara menembus batas. Punya selaksa kegundahan yang tertuang dalam tulisannya yang 'cepat', ringkas, humor tanpa perlu kembangan bahasa berlebihan. "Tahu bedanya orang bloon sama orang pinter? Orang pinter bisa menyampaikan masalah penting dengan ringan, sedang orang bloon sebaliknya. Bahasan nggak penting dengan cara njelimet. Tapi... MAW Brouwer pengecualian loh, ia bicara masalah penting dengan cara yang maha penting (baca: njelimet) juga, ha..ha..," katanya suatu hari. Karena hadir juga di acara haul itu, saya punya kerinduan. Bukan kerinduan kepada Mahbub Djunaidi yang kebetulan ayah saya. Kerinduan saya lebih pada hadirnya generasi PMII atau pemuda NU secara umum yang punya 'energi' liar menembus batas. Punya ego yang kuat dan tidak suka hidup dalam zona nyaman. Rindu pada anak-anak muda ambisius yang lebih mementingkan daya nalar ketimbang gerakan emosional. Harusnya mereka jauh melampaui batas kemampuan Mahbub, Gus Dur atau KH As'Ad Syamsul Arifin sekalipun. Pemuda millennium masa kini bersentuhan langsung dengan akses informasi tak berbatas. Dan ini dimiliki penuh generasi PMII atau intelektual muda NU sebagai anugerah tak terhingga di era ini. Tak perlu kita menunggu Mahbub baru karena tak mungkin ada lagi. Kita tunggu, Anda yang baru. Support dan respect untuk PMII yang masih mengingat ayahanda Mahbub Djunaidi. [] Isfandiari Mahbub Djunaidi, anak bungsu Mahbub Djunaidi, Penulis Buku Outsiders: Kisah Para Penunggang Motor, Pendiri Klub Motor Mercy Motorcycle Club (MMC) Outsiders. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Resolusi Jihad NU
HARI SANTRI Resolusi Jihad NU Sabtu, 10/10/2015 17:09 [image: Resolusi Jihad NU] 70 tahun lalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah. Pasukan Inggris mendarat di Jakarta pada pertengahan September 1945 dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pergerakan pasukan Inggeis tidak dapat dibendung. Sementara pemerintah RI yang berpusat di Jakarta menginginkan berbagai penyelesaian diplomatik sembari menata birokrasi negara baru, mendorong terbentuknya partai-partai politik dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pasukan Inggris telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Bandung, dan Semarang lewat pertempuran-pertempuran dahsyat. Sebagian pendudukan ini juga mendapat bantuan langsung dari Jepang yang kalah perang, sebagai konsekuensi dari alih kuasa. Sedangkan kota-kota besar di kawasan timur Indonesia telah diduduki oleh Australia. Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan sekitar 6.000 orang yang terdiri dari serdadu jajahan India. Di belakangnya membonceng pasukan Belanda yang masih bersemangat menguasai Indonesia. Resolusi Jihad meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Di saat-saat yang bersamaan, saat-saat perang kemerdekaan sedang berkecamuk dan terus digelorakan oleh para kiai dan santri, dinamika dan persaingan politik dalam negeri semakin memanas. Pada bulan Oktober Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan kembali. Lalu setelah Makloemat Iks (4 November) dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, partai-partai politik lain juga bermunculan. Dideklarasikanlah Pesindo dan partai Islam Masyumi. Lalu, Maklumat Hatta 11 November mengubah pemerintahan presidensial menjadi parlementer, pemerintah harus bertanggungjawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai parleman. Kabinet parlementer ditetapkan pada 14 November, dipimpin Perdana Menteri Sjahrir dan Mentri Keamanan Amir Syarifudin. Januari 1946, PNI dibentuk lagi tanpa Soekarno. Di sisi lain, “Tentara profesional” dan kelompok gerilyawan melakukan konsolidasi. Pada saat-saat itu juga Indonesia sedang mengalami “revolusi sosial” hingga ke desa-desa. Pertikaian merajalela dan kekacauan tak terhindarkan lagi. Waktu itu timbul pertikaian horisontal yang terkenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” yakni Brebes, Pemalang dan Tegal. Kondisi inilah, tak pelak memberi peluang bagi upaya-upaya militer Belanda (yang sebelumnya datang membonceng sekutu) untuk semakin merangsek masuk menguasai kota-kota besar di Indonesia. Belanda semakin intensif menguasai Jakarta, sehingga Pemerintah Republik terpaksa mengungsi ke Yogyakarta pada Januari 1946. Maret 1946, PM Sjahrir mencapai kesepakatan rahasia dengan van Mook bahwa Belanda mengakui kedaulatan RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Sementara Belanda berdaulat atas wilayah-wilayah lainnya. Kedua belah pihak juga menyepakati rencana pembentukan uni Indonesia-Belanda. Di tengah tekanan Belanda itu NU menyelenggarakan muktamar yang pertama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Muktamar ke-16 itu diadakan di Purwekorto pada 26-29 Maret 1946. Salah satu keputusan pentingnya, NU menyetuskan kembali Resolusi Jihad yang mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta. Kewajiban itu dibebankan kepada setiap orang Islam, terutama laki-laki dewasanya, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka. Dalam podatonya, Mbah Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar. untuk
[keluarga-islam] Berpolitik Sambil Memegang Tasbih di Tahun 1952
Berpolitik Sambil Memegang Tasbih [image: Inline image 1] Keluarnya NU dari Masyumi pada tahun 1952 bukan saja karena tidak mendapatkan jatah kursi dalam Kabinet Wilopo, terutama Menteri Agama yang selama ini menjadi andalan NU. Ada hal lain yang lebih menyakitkan dari itu. Kira-kira dua tahun sebelumnya, dalam Kongres Masyumi tahun 1949 di Yogyakarta, Muhammad Saleh, Wali Kota Gudeg yang juga tokoh Masyumi menyindir para kiai dengan mengatakan bahwa urusan politik tidak bisa dibicarakan sambil memegang-megang tasbih. Katanya, masalah politik lebih luas dari pada sekeliling pondok pesantren. Ucapan itu ditanggapi serius oleh para tokoh NU. Bahkan Delegasi NU pada saat itu sontak mengajukan protes dan mendesak ucapan itu ditarik kembali. Karena Muhammad Saleh berkelit, 30-an anggota delegasi NU pun keluar dari ruang Kongres. Pelecehan terhadap ulama yang mewakili NU pada jabatan politik memang menyakitkan. Para lawan politik NU meremehkan para kiai dan santri yang berpolitik lantaran tidak mengenyam pendidikan formal warisan Belanda. Memang setelah diberlakukan Politik Etis dimana pemerintah kolonial “berpura-pura” memperhatikan pendidikan kaum pribumi, para kiai dan kaum pesantren tetap memerankan diri sebagai pihak oposisi dan lebih memilih jalur pendidikan pesantren. Puncaknya pada tahun 1952 itu, KH Idham Chalid mengungkapkan kekesalannya atas seseorang berlatarbelakang pendidikan MULO (SLTP) Belanda. Orang tersebut mengataakan, seorang lulusan HIS (SD Belanda) masih unggul ketimbang lulusan Tsanawiyah (setara SLTP). Di Masyumi sendiri dalam perkembangannya, setelah tahun 1949, kedudukan Majelis Syuro yang diisi oleh para kiai tadinya merupakan badan legislatif partai diubah menjadi sekedar penasihat saja. H Zainul Arifin yang dalam Muktamar NU di Palembang 1 Mei 1952 sebagai terpilih sebagai anggota Dewan Presedium PBNU dan kemudian memimpin Delegasi NU keluar dari Masyumi geram mengatakan: “Majelis syuro yang didominasi ulama NU ibarat cincin permata bagi Masyumi, yang hanya dikenakan jika pergi pesta, dan ketika tidak digunakan pasti disimpan lagi di laci terkunci.” Orang-orang lulusan sekolah Belanda, termasuk kelompok Islam modernis melecehkan kemampuan para lulusan pesantren. Kelompok Natsir terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaannya dengan gaya tradisional dari para kiai dengan menyebut kiai “tidak sejalan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.” Ketika resmi keluar dari Masyumi tahun 1952 itu dan menyiapkan “gerbong politik sendiri” para elit Masyumi gamang. Berbagai propaganda dilontarkan. NU dikatakan sebagai kelompok ekstrim kanan dan memecah-belah persatuan umat Islam. Namun pada Pemilu 1955 NU tampil percaya diri sebagai perwakilan kelompok muslim tradisional, dan nyatanya suara NU sangat lumayan. NU menjadi salah satu pemenang Pemilu. [] (A. Khoirul Anam) -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Buya Syafii: Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme (I)
Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme (I) Oleh: Ahmad Syafii Maarif Institut Leimena pimpinan Jakob Tobing sangat bergiat mengadakan berbagai pertemuan, diskusi, dialog, simposium, dan yang sejenis itu tentang masalah-masalah yang berakaitan dengan agama, kebudayaan, pilantropi, dan sebagainya. Institut ini punya jaringan luas dengan lembaga-lembaga luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Saya sering diundang untuk berbicara dalam forum institut ini. Demikianlah pada 4 Oktober 2015, bertempat di Hotel Phoenix Yogyakarta, diadakan dialog dengan topik: “Indonesia’s Civilizational Heritage: Assett to Promote Religious Freedom and Tolerance, and to Counter Religious Radicalism” (Warisan Peradaban Indonesia: Aset untuk Mengembangkan Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan untuk Menjawab Radikalisme Agama). Pengantar dialog diberikan oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dengan pembicara Romo Prof. Dr. Barnadus Soebroto Mardiatmadja, S.J. (Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), Prof. DR. M. Amin Abdullah (UIN Sunankalijaga), dan saya sendiri. Enam penanggap dari Amerika Serikat dengan berbagai profesi adalah: David Melilli, Darrellyn Melilli, Howard F. Ahmanson, Roberta G. Ahmanson, Paul Marshall, dan Ralph D. Veerman. Diskusi terbatas di atas cukup intensif yang juga dihadiri oleh beberapa peserta lain dari Indonesia. Berikut ini adalah terjemahan bebas dari makalah yang saya sampaikan dengan sedikit perubahan di sana-sini: Untuk berbicara tentang kemerdekaan agama dan toleransi dalam peta agama-kultural di Indonesia, kita perlu melacak sedikit latar belakang sejarah keagamaan yang meliputi era Hindu-Buda, Islam, Kristen, sampai masa sekarang. Dengan pengatahuan yang sedikit memadai kita akan tahu bahwa masalah kemerdekaan agama dan toleransi ternyata punya suatu raison de’tre (alasan keberadaan) yang kuat sekali dalam kehidupan bangsa ini. Adalah penyair-filosuf Majapahit Mpu Tantular yang membuat formulasi penting tentang kemerdekaan agama dan toleransi sebagai fondasi filosofis Kerajaan Besar Hindu Majapahit (1293-1520) yang terletak di Jawa Timur itu. Frasa Bhinnêka tunggal ika (secara harfiah bermakna “sekalipun beraneka, tetapi Satu”) berasal dari pengarang Jawa kuno itu. Terjemahan modern dalam bahasa Indonesia adalah “Persatuan dalam Keberagaman” (Unity in Diversity), yang telah ditetapkan sebagai sasanti dan motto nasional resmi negara ini. Sekalipun Mpu Tantular seorang penganut agama Budha, elite Majapahit sangat menghormatinya. Berikut ini adalah kutipan terjemahan dari Kakawin Sutasoma karya Tantular di dalamnya ungkapan Bhinnêka itu ditemukan, yaitu dalam canto 139 bait 5: Disebutkan bahwa Budha yang kesohor dan Syiwa adalah dua hakekat yang berbeda. Memang berbeda, tetapi mana mungkin untuk mengenal perbedaannya sambil lalu, karena kebenaran Jina (Budha) dan kebenaran Syiwa adalah tunggal. Benar keduanya berbeda, tetapi sama jenisnya, sebagaimana tidak ada dualitas dalam Kebenaran (Dharma). Bait terakhir ini adalah terjemahan dari ungkapan bahasa Jawa kuno yang berbunyi: “Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (Lih. Soewito Santoso, Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana. New Delhi: International Academy of Culture, 1975, hlm. 578). Doktrin Kebenaran Tunggal membuka pintu lebar-lebar bagi orang untuk memahami dan melihat masing-masing agama dari sisi dan perspektif yang berbeda. Hal ini hanya mungkin jika orang punya minda dan hati yang terbuka untuk berbagi dengan orang lain. Sikap mau memonopoli kebenaran adalah hambatan nyata untuk berbagi dengan berbagai aliran keagamaan yang ada. Peperangan yang meledak antara pemeluk agama harus dilihat dari sisi sikap yang mau menang sendiri ini. [] REPUBLIKA, 06 Oktober 2015 Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 25 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahumma inni dhalamtu nafsii dhulman katsiiran, wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, faghfir lii maghfiratin min 'indika, warhamnii innaka antal ghafuururrahiimu. Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak menganiaya diriku sendiri, sedang tidak ada yang mengampuni dosaku selain Engkau. Oleh karena itu curahkanlah maghfirah (ampunan) dari sisi-Mu dan limpahkanlah rahmat kepadaku. Sesungguhnya engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Mbah Sahal: Islam dan Sistem Perekonomiannya
Islam dan Sistem Perekonomiannya Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh Keadaan ekonomi kita pada tahun 1990-an perlu perhatian khusus kaitannya dengan upaya mencapai era tinggal landas yang selama ini dicita-citakan. Berbagai situasi perekonomian dunia begitu mewarnai -dalam beberapa hal- bahkan menentukan arah perekonomian kita. Sebagai negara berkembang, peran luar negeri memang dibutuhkan. Bantuan berupa pinjaman utang diupayakan sebagai penopang situasi moneter yang belum sepenuhuya stabil. Selama 25 tahun kita berada dalam kondisi seperti ini. Hal ini bukanlah merupakan gambaran ketidakmapanan tatanan ekonomi, akan tetapi bantuan pinjaman itu sendiri adalah rentetan proses menuju terwujudnya neraca berimbang yang tidak fluktuatif dan mudah tergoyang oleh gelombang pasang surut perekonomian dunia dalam skala global. Teori ekonomi umum menyebutkan, hadirnya bantuan luar negeri akan merangsang timbulnya ketergantungan struktural dari pihak penerima utang kepada negara donor. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi, apabila pihak penerima utang menjadikan bantuan tidak hanya sebagai penopang, tetapi juga sebagai tiang utama ekonomi. Ditambah lagi, bahwa pihak pengutang tersebut dituntut membenahi sistem perekonomiannya sendiri, seperti peningkatan partisipasi modal swasta dalam banyak lahan. Kita tahu dalam tahun anggaran 1992-1993, pemerintah bertekad menghapus ketergantungan bantuan luar negeri yang berlebihan. Dalam beberapa sektor industri dan sektor lainnya kita berharap situasi perekonomian kita dapat lebih mantap dan stabil. Dalam Pelita V pemerintah bermaksud menggalakkan industrialisasi sumber-sumber ekonomi umat dan bangsa ini bersamaan dengan makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dapat ditawar lagi. *** Berpangkal dari keberadaan manusia sebagai subyek dan obyek ekonomi -produsen dan juga konsumen- maka kecuali upaya pembenahan sistem ekonomi seperti peningkatan partisipasi permodalan swasta, hal yang tak kalah pentingnya adalah menggarap keterampilan dan daya kemampuan pelaku ekonomi itu sendiri, yang berkaitan dengan usaha atau ikhtiar manusia. Manusia sebagai subyek ekonomi, yang dalam kelompok besar disebut umat, oleh Islam dibebani (mukallaf) untuk berikhtiar sesuai dengan kadar potensinya. Taklif (pembebanan) ini berimplikasi pada banyak hal. Dalam disiplin fiqih -meskipun ekonomi sendiri bukan merupakan komponen fiqih- ikhtiar dalam arti yang luas disinggung karena erat kaitannya dengan usaha ekonomi. Kita mengenal pasal-pasal mu'amalat sebagai modifikasi hukum yang mengatur bentuk-bentuk transaksi perekonormian secara lengkap dan terinci. Menyinggung perihal ikhtiar dalam perekonomian, kita ingat akan sebuah hadis yang kurang lebih artinya, "Bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah wajib (fardlu) setelah kewajiban yang lain". Interpretasi hadits ini akan melahirkan kelompok-kelompok manusia produktiif atau manusia bersumberdaya tinggi yang sekaligus merupakan inti perekonomian. Berangkat dari kenyataan bahwa Allah tidak; memberi rizki dalam bentuk jadi dan siap digunakan, melainkan hanya dipersiapkan sebagai sarana dan sumber daya alam, maka sudah barang tentu untuk mengolahnya, mengikhtiari dalam bentuk industri dan Lain-lain, sangat dibutuhkan kehadiran manusia produktif. Manusia produktif secara definitif adalah suatu kelompok entrepreneur yang berciri antara lain, peka terhadap kebutuhan lingkungan sekelilingnya, menguasai informasi dan memiliki dinamika serta kreativitas yang tinggi, sehingga mampu menciptakan -bukan hanya mencari- lapangan kerja dan menumbuhkan wawasan ekonomi yang luas. Manusia yang berpotensi seperti inilah yang dikehendaki Islam lewat hadits Nabi yang kurang lebih berarti, "Orang mukmin yang kuat (punya potensi) lebih baik ketimbang mukmin yang lemah". Dari hadits ini saja, kita bisa menemukan pandangan Islam yang proporsional terhadap ekonomi. Sikap ikhtiar dapat menghindarkan manusia dari sikap fatalistik (berserah pada nasib) yang secara tegas telah dilarang oleh Allah dalam surat Yusuf ayat 87, "Janganlah kamu sekalian berputus asa atas rahmat Allah. Tiada orang yang berputus asa kecuali orang-orang kafir". Beberapa hadits Nabi secara tegas memerintahkan ikhtiar dan menempatkannya sebelum tawakal. Tawakal sebagai suatu nilai iman yang sangat luhur tidak bisa diartikan berlawanan dengan ikhtiar, bahkan harus saling berkaitan antara keduanya. Hal ini diisyaratkan oleh Nabi ketika seorang Badui berkata kepadanya, "Aku lepas ontaku (tanpa kendali) dan aku hanya bertawakal.” Serta merta Rasul bersabda, "Ikatlah dulu ontamu dan kemudian bertawakallah". *** Memang membicarakan masalah ekonomi dari sudut pandang Islam, rasanya perlu pembahasan kompleksitas masalah lebih terinci dan saling melengkapi. Nabi sebagai uswatun hasanah dalam sejarah sewaktu hijrah ke Madinah telah memerintahkan dibangunnya pasar setelah sempurnanya pembangunan masjid di kota tersebut. Ini tentu saja
[keluarga-islam] Peringatan Hari Santri untuk Bangkitkan Patriotisme
Peringatan Hari Santri untuk Bangkitkan Patriotisme Selasa, 06/10/2015 17:00 [image: Peringatan Hari Santri untuk Bangkitkan Patriotisme] Jakarta, *NU Online* Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, hari santri perlu dikukuhkan dan diperingati sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, sebagai penghormatan atas jasa pahlawan. Pengakuan semacam ini penting bagi generasi sekarang agar tak tercerabut dari kampung halaman sejarahnya. “Kedua sebagai pembangkit patriotisme. Ini relevan sebab sejumlah gagasan yang belakangan bermunculan di Indonesia tidak banyak yang sungguh-sungguh memiliki komitmen keindonesiaan,” ujarnya dalam konferensi pers Kirab Hari Santri Nasional, Selasa (6/10), di Jakarta. Dalam kenyataannya, kata Kang Said, santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, bukan sekadar muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Dengan pengertian ini segala jenis usaha pembenturan santri dengan kelompok-kelompok lain di negeri ini sudah pasti mentah. Kecintaan terhadap tanah air selalu mengatasi sentimen kelompok. “Membela tanah air berarti membela agama. Hal ini merupakan sesuatu yang secara spiritual diyakini, secara gagasan dipikirkan, dan secara empiris dikerjakan,” paparnya. Menurut kiai asal Cirebon ini, dalam sejarah, keutuhan Indonesia berkali-kali diuji. Dalam tiap ujian itu santri selalu hadir menjaminkan diri untuk mengawal keutuhan tersebut. Resolusi jihad atau seruan perang suci NU melawan penjajah pada 22 Oktober adalah di antara peran yang paling menonjol. Kerenanya, bagi Kang Said, tepatlah kiranya 22 Oktober dijadikan sebagai Hari Santri Nasional, hari untuk mengonsolidasikan kekuatan umat Islam Indonesia untuk mencitai tanah airnya. PBNU tengah menyiapkan Kirab Hari Santri Nasional sepanjang 16-22 Oktober 2015, yang dimulai dari Tugu Pahlawan Surabaya dan diakhiri di Tugu Proklamasi Jakarta. Selain ziarah, bahtsul masail, dan pengobatan gratis, ekspedisi pelayaran hari santri menggunakan kapal perang juga bakal mewarnai peringatan tersebut. *(Mahbib)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62631-lang,id-c,nasional-t,Peringatan+Hari+Santri+untuk+Bangkitkan+Patriotisme-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 21 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa 'aafinii warzuqnii. Ya Allah, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku, berilah hidayah kepadaku, selamatkanlah aku, dan berilah rezeki kepadaku. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Perlukah Wali Hadir dalam Akad Nikah?
*Perlukah Wali Hadir dalam Akad Nikah?* Pertanyaan: Assalamu’alaikum wr. wb. Salah satu kebiasaan yang sering kita jumpai di masyarakat kita adalah wali nikah mewakilkan kepada penghulu untuk menikahkan anak perempuannya. Kadang akad nikah tersebut dilakukan di rumah, dan sering juga dilakasnakan di masjid. Yang menjadi kejanggalan kami, si wali tersebut ikut hadir prosesi akad nikah anak perempuannya, padahal ia sudah mewakilkan kepada penghulu. Apakah boleh wali yang sudah mewakilkan kepada penghulu untuk menikahkan puterinya hadir dalam prosesi akan nikah tersebut? Ujang – Garut Jawaban: Wa'alaikum salam wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Prosesi akad nikah merupakan prosesi sakral. Sebab, di situlah dua orang yang berlawanan jenis saling mengikat perjanjian setia. Dan setelah akad, maka kedua mempelai memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Kita sering menjumpai di masyarakat, wali yang telah mewakilkan kepada penghulu atau orang lain untuk menikahkan puterinya ikut hadir dalam prosesi akad nikah. Namun sepanjang yang kami ketahui, kehadirannya bukan sebagai saksi atas pernikahan tersebut, ia hanya sekedar hadir saja. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa pernikahan tidaklah sah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, sebagaimana sabda Rasulullah saw: لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R. al-Baihaqi) Dalam pernikahan, wali diperbolehkan mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan puterinya. Dalam pandangan kami, kehadirannya akan menimbulkan masalah ketika ia hadir sebagai saksi, padahal ia sendiri adalah wali yang notebenenya sebagai pihak yang melaksanakan akad dan sudah mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan puterinya. Dalam hal ini terdapat penjelasan dari Ibrahim al-Bajuri sebagai berikut; فَلَو وَكَّلَ الأَبُّ أَوِ الأَخُ الْمُنْفَرِدِ فِى العَقْدِ وَحَضَرَ مَعَ آخَرَ لِيَكُونَا شَاهِدَيْنِ لَمْ يَصِحَّ لأَنَّهُ مُتَعَيَّنٌ لِلعَقْدِ فَلاَ يَكُونُ شَاهِدًا “Jika seorang ayah atau saudara yang sendiri telah mewakilkan (kepada orang lain) dalam melakasanakan akad nikah dan ikut hadir beserta yang lain sebagai saksi (berfungsi ganda sebagai orang yang mewakilkan sekaligus sebagai saksi) maka akad nikahnya tidak sah. Sebab, ia ditentukan untuk melaksanakan akad, bukan sebagai saksi” (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, Indonesia-Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt, juz, 2, h. 102) Berangkat dari penjelasan singkat ini, maka kehadiran wali yang sudah mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan puterinya adalah boleh sepanjang ia tidak merangkap menjadi salah satu dari dua saksi. Jika ia menjadi saksi maka pernikahan tersebut tidaklah sah. Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Semoga bisa menjadi panduan yang bermanfaat. Dan bagi orang yang memiliki anak perempuan kelak ketika si anak menikah—meskipun boleh mewakilkan kepada orang lain—namun sebaiknya dinikahkan sendiri oleh bapaknya. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb Mahbub Ma’afi Ramdlan Tim Bahtsul Masail NU -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Akhlaq Dasar Berinteraksi dengan Hewan
*Akhlaq Dasar Berinteraksi dengan Hewan* Belakangan ini masalah animal rights (hak asasi hewan) mencuri perhatian banyak kalangan, khususnya di Barat. Persoalan ini sempat menimbulkan perdebatan di kalangan aktivitis dan akademisi. Pertanyaan yang dikemukakan ialah apakah hewan memiliki hak asasi yang sama dengan manusia? Jika hewan memiliki hak asasi yang sama seperti halnya manusia, tentu setiap orang yang melanggar hak tersebut bisa dikenakan sanksi dan hukuman. Di beberapa negara, aturan ini sudah mulai dikaji, ditimbang, dan dibakukan menjadi undang-undang. Sejatinya, Islam sedari dulu sudah memerhatikan persoalan ini. Ada banyak argumentasi yang ditemukan dalam literatur keislaman terkait persoalan tersebut. Izzuddin bin ‘Abdul Salam adalah salah seorang ulama Syafi’iyah membahas hak asasi hewan dalam bukunya Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam. Dalam bukunya ini ia menyebutkan sebagai berikut. حقوق البهائم والحيوان على الإنسان، وذلك أن ينفق عليها نفقة مثلها ولو زمنت أو مرضت بحيث لا ينتفع بها، وألا يحملها ما لا تطيق ولا يجمع بينها وبين ما يؤذيها من جنسها أو من غير جنسها بكسر أو نطح أو جرح، وأن يحسن ذبحها إذا ذبحها ولا يمزق جلدها ولا يكسر عظمها حتى تبرد وتزول حياتها وألا يذبح أولادها بمرأى منها، وأن يفردها ويحسن مباركها وأعطانها، وأن يجمع بين ذكورها وإناثها في إبان إتيانها، وأن لا يحذف صيدها ولا يرميه بما يكسر عظمه أو يرديه بما لا يحلل لحمه Berikut ini hak asasi hewan yang harus dipenuhi oleh manusia. Kewajiaban ini tetap berlaku meskipun hewan tersebut cacat dan sakit, sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan. Beberapa kewajiban manusia atas hewan antara lain ialah tidak membebani mereka dengan beban di luar kesanggupan mereka; tidak menempatkan mereka bersama binatang sejenis atau jenis lain yang dapat menyakiti mereka dengan cara mematahkan tulang mereka, memotong, ataupun melukai; menyembelih mereka dengan cara yang baik; tidak mengguliti dan mematahkan tulang mereka hingga tubuhnya membeku dan mati; tidak menyembelih anak-anaknya di depan penglihatan induknya; membersihkan kandangnya; menempatkan hewan jantan dan betina bersama-sama selama musim kawin; tidak boleh merampas hasil buruannya; tidak boleh melempar mereka dengan benda tumpul yang bisa menghancurkan dan merusak tulangnya, sehingga dagingnya menjadi haram. Kutipan ini mengisyaratkan bahwa ada beberapa aturan yang harus dipahami oleh manusia ketika berinteraksi dengan hewan, terkhusus bagi orang yang memiliki hewan peliharaan atau binatang kesayangan (pet). Pertama, tidak membebani mereka dengan dengan sesuatu yang di luar kemampuannya. Jika kita memiliki kuda, sapi, atau kerbau, maka jangan sesekali memaksa mereka membawa barang yang bisa melukai dan menciderainya. Kedua, tidak menempati mereka dengan binatang sejenis atau binatang lain yang bisa membahayakan keselamatannya. Ketiga, menyembelih mereka sesuai dengan panduan yang diajarkan oleh syariat. Aturan ini khusus bagi hewan-hewan yang boleh dimakan. Keempat, dilarang menguliti dan mematahkan tulang mereka hingga menjadi dingin dan mati. Kelima, tidak boleh menyembelih anak-anaknya di depan penglihatan induknya. Perlu diketahui binatang juga memiliki rasa iba, takut, dan sayang terhadap anak-anaknya seperti halnya manusia. Keenam, membuatkan mereka tempat yang nyaman dan membersihkan kandangnya. Ketujuh, menempatkan jantan dan betina bersama-sama selama musim kawin. Kedelapan, tidak boleh merampas hasil buruannya. Kesembilan, tidak boleh menembak mereka atau cara apapun yang bisa mematahkan tulang mereka sehingga dagingnya haram untuk dimakan. Demikianlah sembilan hak hewan yang dipaparkan oleh Izzudin bin ‘Abdul Salam. Semoga kita termasuk orang yang bisa mengindahkan aturan tersebut. Wallahu a’lam. [] Sumber: NU Online -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] NU dan Kebangkitan Pancasila
NU dan Kebangkitan Pancasila Oleh: M. Kabil Mubarok Setiap peringatan peristiwa G-30-S 1965, ingatan kolektif masyarakat selalu tertuju pada kejadian setelahnya yang menyebabkan huruhara berdarah dengan skala korban begitu besar. Apalagi, sampai sekarang tafsiran sejarah terhadap kronologi kerusuhan massal pascapenculikan dan pembunuhan para Jenderal TNI itu masih debatable. Dengan begitu, tuduhan sebagian kalangan yang mendiskreditkan sebagian kalangan lainnya sebagai tertuduh utama aktor pembunuhan massal selalu tidak mempunyai pijakan objektif yang dapat diterima semua elemen bangsa. Dengan kata lain, setiap tahun kita selalu disibukkan pada perdebatan-perdebatan yang cenderung tidak produktif karena disertai berbagai tendensitendensi negatif terhadap sesama anak bangsa. Padahal, terdapat beberapa sisi lain yang menarik untuk direfleksikan terkait peristiwa kelam pada akhir September 1965 tersebut. Salah satu isu yang sering terlupa, namun penting untuk direfleksikan kembali pada era sekarang adalah posisi Pancasila pascainsiden berdarah itu. Dalam wacana yang diproduksi dan disebarkan Orde Baru, 1 Oktober adalah Hari Kesaktian Pancasila mengingat hari itu Mayjen Soeharto dan pasukannya berhasil menumpas para penculik, pembunuh (serta pemberontak) yang dianggap ingin menggulingkan Pancasila sebagai dasar negara NKRI. Dengan kata lain, keberhasilan Mayjen Soeharto menguasai kembali Jakarta waktu itu dianggap sebagai manifestasi dari saktinya Pancasila menghadapi ancaman ideologi lain (baca: komunisme). Padahal, sesungguhnya apa yang selama ini dipersepsikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila tersebut merupakan awal mula dari ”kematian Pancasila”. Penyebabnya, setelah peristiwa tersebut karier Mayjen Soeharto terus berkibar sampai puncaknya dilantik menjadi presiden Indonesia menggantikan Soekarno. Sejak saat itu Presiden Soeharto menjalankan proyeksi pemerintahan yang dikenal sebagai proyek Orde Baru untuk membedakan diri dari Orde Lama Soekarno. Salah satu elemen penting dari Orde Baru adalah pengarusutamaan pembangunan ekonomi sembari mengebiri pembangunan di bidang sosial-politik. Secara implementatif, pilihan orientasi tersebut tergambar dalam cita-cita Soeharto menjadikan Indonesia sebagai macan ekonomi Asia. Namun, pada saat bersamaan dia menginginkan stabilitas sosial-politik dengan cara membonsai demokrasi, melakukan fusi partai politik, dan membungkam aspirasi kritis dari para aktivis prodemokrasi. Celakanya, demi mendapatkan legitimasi ideologis dari proyek ekonomi-politiknya tersebut, Soeharto membuat tafsiran subjektif tentang Pancasila yang dirasa sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomipolitiknya itu. Sepertinya Soeharto ingin melanjutkan momentum sejarah yang sudah diraihnya dalam peristiwa ”kesaktian Pancasila” pada 1965 dengan kembali menjadikan Pancasila sebagai ”topeng” ideologisnya dalam menjalankan kepentingan ekonomi- politik Orde Baru. Akibatnya, Pancasila tergelincir menjadi rumusan sila-sila yang distortif dan jauh dari esensi dasarnya sebagai dasar negara sebagaimana dirumuskan para funding father pada 1945. ”Korban” dari tafsir distortif Pancasila ala Soeharto ini tidak sedikit. Selain tragedi Malari, tragedi Waduk Kedung Ombo, kerusuhan Tanjung Priok 1984, doktrin NKK/BKK bagi mahasiswa, juga penerapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi/ormas di Indonesia yang dilaksanakan secara represif dan opresif. Dari situ, Orde Baru semakin alergi dengan oposisi. Segala potensi kritik yang muncul dari masyarakat langsung diberangus dengan bengis. Daniel Dhakidae dalam kata pengantarnya untuk terjemahan Indonesia buku klasik Ben Anderson, Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang (2001) mengatakan, Pancasila waktu itu tereduksi menjadi ”barang mati” yang telah dibakukan dan dibekukan penghayatannya oleh Soeharto demi ambisi ekonomi-politiknya. Alih-alih mampu dihayati dandiamalkansecara substantif sebagai nilai dasar kehidupan sebuah bangsa, rumusan Pancasila malah terpelanting menjadi doktrin yang menakutkan sehingga kehilangan elan vitalnya. Kiai Pembangkit Pancasila Di tengah kegalauan tokohtokoh Islam saat itu, muncullah sosok kiai pesantren dari Jember bernama KH Ahmad Shiddiq yang sukses melakukan ijtihad intelektual brilian yang menjadikan prinsip-prinsip tauhid dan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah kompatibel dengan Pancasila. Sebuah landasan epistemologis yang membuat NU secara sukarela menjadikan Pancasila sebagai asas NU tanpa terintimidasi represivitas Soeharto terkait Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam Komisi I (masa`il fiqhiyyah) pada Muktamar Ke- 27 Nahdlatul Ulama yang berlangsung di Situbondo, Jawa Timur, KH Ahmad menyampaikan gagasannya dalam makalah berjudul, ”Penerimaan Asas Tunggal Pancasila bagi NU” yang sebelumnya dipresentasikan dalam Munas Alim Ulama Desember 1983 di Situbondo. Dengan dibantu sekretaris pribadinya, KH Muchit Muzadi, KH Ahmad menawarkan formulasi cerdas menggabungkan
[keluarga-islam] Sejarah Tak Catat Sejarah Perjuangan NU untuk Bangsa
HARI SANTRI Sejarah Tak Catat Sejarah Perjuangan NU untuk Bangsa Selasa, 06/10/2015 01:37 [image: Sejarah Tak Catat Sejarah Perjuangan NU untuk Bangsa] Kudus,* NU Online* Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Kudus KH Muhammad Ulil Albab menyayangkan sejarah bangsa tak mencatat peran perjuangan kiai NU dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari penjajah. Ia menyebut misalnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang memicu pertempuran 10 November yang digelorakan pendiri NU KH Hasyim Asy'ari. Karena resolusi itu, meski banyak korban dari pihak Indonesia, tapi cukup membuktikan pada dunia bahwa negara ini tak mau dijajah. "Oleh karenanya, mari kita peringati Resolusi 22 oktober dengan penuh semangat dan gebyar supaya generasi penerus tahu perjuangan kiai NU pada masa lalu," katanya saat menyampaikan pengarahan dalam rapat persiapan panitia kegiatan Gebyar hari Santri Nusantaran dan Resolusi Jihad di Madrasah MA Khuffad Yanbu'ul Qur'an Desa Menawan Gebog Kudus, Ahad malam (4/10). Kiai yang biasa disapa Gus Bab ini menjelaskan, NKRI ini ada tidak bisa lepas dari peran kiai NU. Resolusi Jihad menjadi bukti kesusksesan perjuangan kiai NU memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. "Waktu itu, ulama-ulama se Jawa Madura memutuskan perang melawan penjajah. Tapi sayangnya, sejarah tidak mau mencatatnya," keluhnya. Pernyataan senada juga disampaikan Wakil Rais PCNU Kudus KH Ma'shum Ak. Ditegaskan, NKRI tanpa Resolusi Jihad tidak akan pernah ada. Bahkan, Bung Tomo sendiri tidak akan berjuang tanpa mendapat ijin dari kiai Hasyim Asy'ari. "Ini prinsip yang harus kita teladani prilaku kiai dan lanjutkan yang baik sesuai kondisi zaman. Konsep mempertahankan yang lama dengan baik dan mengambil yang baru yang lebih baik,menjadi landasan rencana peringatan Resolusi Jihad dan hari santri," tandasnya. Kedua tokoh NU ini mendorong pelaksanaan peringatan hari santri nusantara dan Resolusi Jihad di Kudus berlangsung penuh syiar dan gemebyar. "Kita tonjolkan kesemarakan kegiatan baik ini agar generasi penerus bisa mengingat perjuangan NU," tegasnya. Kegiatan bertajuk “Gebyar hari Santri Nusantara dan Resolusi Jihad” yang diadakan Pengurus Cabang NU Kudus telah dipersiapkan ragam kegiatan besar. Di antaranya, Apel Akbar Kiai-Santri di Alun-alun Kudus (22/10) pagi, dilanjut pawai mobil keliling kota Kudus, Sarasehan Santri (23/10) di Pondok Pesantren Yanbu'ul Qur'an Kudus dan Halaqoh Ulama di Pondok Pesantren Raudlotuth Thalibin (25/10). *(Qomarul Adib/Abdullah Alawi)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62616-lang,id-c,nasional-t,Sejarah+Tak+Catat+Sejarah+Perjuangan+NU+untuk+Bangsa-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Tokoh Nusantara) KH. Anwar Musaddad, Garut - Jawa Barat
Kepahlawanan KH Anwar Musaddad [image: Kepahlawanan KH Anwar Musaddad] Kehidupan KH Anwar Musaddad, sejak lahir tahun 1910, hingga wafat tahun 2000, terbagi dalam beberapa episode yang menjadikan dirinya sebagai patriot, pendidik, juru dakwah, penulis, dan ulama panutan umat. Sejak berusia 4 tahun, menjadi yatim. Sehingga bersama adik-adiknya, dibesarkan oleh ibunya, Siti Marfu’ah, seorang wiraswasta pengusaha batik Garutan dan dodol Garut “Kuraesin”. Rajin mengaji khusus hafalan Al Quran (tahfidz) dan fiqh. Usia sekolah, masuk HIS Kristen, karena sebagai pribumi bukan anak pegawai negeri (ambtenar) dan bukan dari kalangan bangsawan (menak) tidak dapat masuk HIS Negeri. Setamat HIS Kristen, melanjutkan ke MULO Kristen di Sukabumi, sambil belajar mengaji dan memperdalam ajaran Islam kepada Ustadz Sakhroni. Setamat MULO Kristen Sukabumi (1925), Musaddad melanjutkan ke AMS Kristen, Jakarta. Tapi hanya dua tahun duduk di bangku AMS Kristen Jakarta, Musaddad pulang ke Garut. Masuk pesantren Cipari, Wanaraja asuhan Kiyai Harmaen, salah seorang ulama yang terkenal “lébér wawanén” (sangat berani) menentang pemerintah kolonial Belanda, dan memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan aktip di “Syarikat Islam” pimpinan HOS Cokroaminoto. Dari Cipari, Musaddad berangkat ke Jakarta, untuk memperdalam bahasa Arab di Madrasah Al Ikhlas Jakarta.Menumpang di rumah HOS Cokroaminto, yang merupakan sahabat Kyai Harmaen. Sehingga mulai memahami politik dan dunia tulis menulis. Musaddad membantu SK Fajar Asia, yang dipimpin Cokroaminoto, dengan menerjemahkan berita-berita dari bahasa Belanda, untuk media perjuangan tersebut. Itulah episode awal pembentukan jiwa intelektual Anwar Musaddad, yang kemudian matang di dunia politik dan piawai menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Episode selanjutnya, masa belajar di Mekkah, 1930-1941. Ia memuntut ilmu kepada para ulama terkenal Mekkah masa itu. Antara lain Sayyid Alwi al Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan Toyyib (Mufgi Tanah Haram asal Minang), Syekh Abdul Muqoddasi (Mufti Tanah Haram asal Solo). Tahun 1939, pecah Perang Dunia II. Musaddad aktif dalam pembentukan Komite Kesengsaraan Mukimin Indonesia (Kokesin), yang mengusahakan pertolongan kepada para mukimin dan membantu pemulangan mereka ke tanah air. Setelah tiba di tanah air, tahun 1941, Musaddad aktip menjadi juru dakwah dan mengajar agama pada beberapa sekolah yang ada di Garut.Antara lain, Sekolah Normal Guru Islam, yang didirikan Syarikat Islam. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Priangan, dan menjadi Ketua Masyumi daerah Priangan. Setelah proklamasi kemerdekaan, diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Priangan. Pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), bersama KH Yusuf Taujiri dan KH Mustofa Kamil, memimpin pasukan Hizbullah, melawan agresi Belanda yang ingin kembali menjajah RI. Sempat ditangkap Belanda (1948) dan mendekam di penjara.Baru dibebaskan setelah pengakuan kedaulatan (1950). Selanjutnya, mendapat tugas dari Menteri Agama KH Fakih Usman untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) di Yogyakarta, yang menjadi cikal-bakal Institut Agama Islam Negeri (IAIN), kemudian menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) di seluruh Indonesia. Di bidang politik, Anwar Musaddad menjadi anggota parlemen (DPR) dari Partai Nahdlatul Ulama (NU) hasil pemilihan umum tahun 1955. Menjadi anggota DPR-GR 1960-1971, dan menjadi Wakil Rais ‘Am PBNU pada Muktamar NU di Semarang (1980)*1). Dari paparan di atas, tampak jelas, Anwar Musaddad memiliki andil besar dalam percaturan nasional,sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan . Sebagai ulama yang faham betul prinsip “hubbul wathon minal iman” (Cinta tanah air bagian dari iman), Anwar Musaddad terlibat langsung dalam mewujudkan dan membela kemerdekaan tanah air. Keterlibatannya dalam membela kehidupan para mukimin Indoenesia di Saudi Arabia, agar tidak terdampak hal-hal negatif dari Perang Dunia II (1939-1945), sejajar dengan keterlibatannya dalam memimpin Hizbullah selama perang kemerdekaan menegakkan proklamasi, merupakan wujud patriotisme yang luar biasa. Pesantren Cipari, tempat Anwar Musaddad menutut ilmu sebelum berangkat ke Mekkah, adalah sebuah pesantren multifungsi.Selain mendidik para santri menyelami ilmu-ilmu agama Islam, untuk mencapai taraf”tafaquh fiddin” (ahli agama), juga menggembleng para santri untuk mencintai tanah air dan siap melawan penjajah. Pasukan kolonial Belanda, pada masa perang kemerdekaan, sering ketakutan menghadapi semangat juang para santri dan ajengan pesantren Cipari, yang menjadi basis pertahanan para pejuang kemerdekaan di kawasan timur Kabupaten Garut. Sosok dan peran Anwar Musaddad tidak dapat dipisahkan dari gerak anti kolonialisme Pesantren Cipari *2). Di bidang pendidikan, untuk mengggembleng sumberdaya manusia yang lengkap sempurna, selain mendirikan PTAIN/IAIN, ketika menjadi Rektor IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung (1968-1975)
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 28 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahummaghfir lii khathii'atii wa jahlii wa israafii fii amrii wa maa anta a'lamu bihi minnii. Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, kelewatbatasanku pada suatu perkara, dan sesuatu yang Kau lebih tahu daripadaku. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Islam Moderat Pas untuk Indonesia yang Majemuk
Islam Moderat Pas untuk Indonesia yang Majemuk Ahad, 18/10/2015 15:00 [image: Islam Moderat Pas untuk Indonesia yang Majemuk] Demak, *NU Online* Islam yang mengedepankan sikap moderat (*wasathiyah*) dinilai cocok untuk bangsa di Tanah Air yang memiliki sangat heterogen. Islam moderat dianggap mengejawantahkan semangat rahmatan lil alamin, rahmat bagi segenap alam semesta. “Islam wasathiyah itu Islam tengah, moderat, toleran, santun, tidak memaksakan diri dan sangat menghargai perbedaan, dan ini pas untuk bangsa Indonesia yang masyarakatnya majemuk,” kata H Fathul Mufid ketua STAIN Kudus saat menjadi narasumber seminar yang diadakan MUI Kabupaten Demak bersama Pemkab Demak di gedung Bina Praja Setkab Demak. Sementara itu, ketua MUI Jawa Tengah KH Ahmad Daroji sebagai pembicara kedua lebih menyoroti sitem penyampaian dakwah Islam. Menurtnya, Islam wasathiyah atau Islam rahmatan lil alamin dalam syiar akan menggunakan pola pikir para wali yang mengutamakan cara persuasif, mengindari konflik, dan sangat menghargai potensi daerah lewat budaya lokal. “Kita tahu Sunan Kali Jaga itu sangat arif . Lewat budaya wayang kulit, dakwahnya bisa diterima masyarakat. Begitu juga Sunan Kudus yang hampir sama model dakwahnya,” kata Kiai Daroji. Seminar dengan tema Islam Wasathiyah untuk Demak dan Indonesia yang berkeadilan dan berkeadaban itu digelar Kamis (15/10), dalam rangka menyambut tahun baru Hiriyah 1437. Seminar yang dihadiri Bupati Demak beserta Muspida, pengurus, ormas dan tokoh masyarakat, ini dimoderatori ketua PC Ansor Demak H Abdurrahman Kasdi. *(A Shiddiq Sugiarto/Mahbib)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62878-lang,id-c,nasional-t,Islam+Moderat+Pas+untuk+Indonesia+yang+Majemuk-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 29 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahummaghfir lii jiddii wa hazlii wa khathaa'ii wa 'amdii wa kullu dzaalika 'indii. Ya Allah, ampunilah keseriusanku (yang kukerjakan dengan sungguh-sungguh), gurauanku (yang kulakukan dengan main-main), kekhilafanku, dan kesengajaanku. Semuanya itu kuakui dari diriku sendiri. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Detik-detik Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Pertempuran 10 November 1945
HARI SANTRI Detik-detik Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Pertempuran 10 November 1945 Senin, 19/10/2015 17:30 [image: Detik-detik Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Pertempuran 10 November 1945] Jakarta, *NU Online* Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama merupakan rangkaian panjang dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebelum Resolusi Jihad, telah muncul Fatwa Jihad, setelahnya, muncul pertempuran 10 November yang kemudian ditetapkan menjadi hari Pahlawan. Berikut rangkaian sejarah perjuangan kaum santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, yang kemudian menjadi dasar lahirnya Hari Santri Nasional 22 Oktober, seperti disampaikan oleh Wakil Ketua Umum PBNU H Slamet Effendy Yusuf dalam konferensi press di gedung PBNU, Senin (19/10). *17 Agustus 1945* Siaran berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Surabaya dan kota-kota lain di Jawa, membawa situasi revolusioner. Tanpa komando, rakyat berinisiatif mengambil-alih berbagai kantor dan instalasi dari penguasaan Jepang. *31 Agustus 1945* Belanda mengajukan permintaan kepada pimpinan Surabaya untuk mengibarkan bendera Tri-Warna untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina Armgard. *17 September 1945* Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam. *19 September 1945* Terjadi insiden tembak menembak di Hotel Oranje antara pasukan Belanda dan para pejuang Hizbullah Surabaya. Seorang kader Pemuda Ansor bernama Cak Asy’ari menaiki tiang bendera dan merobek warna biru, sehingga hanya tertinggal Merah Putih. *23-24 September 1945* Terjadi perebutan dan pengambilalihan senjata dari markas dan gudang-gudang senjata Jepang oleh laskar-laskar rakyat, termasuk Hizbullah. *25 September 1945* Bersamaan dengan situasi Surabaya yang makin mencekam, Laskar Hizbullah Surabaya dipimpin KH Abdunnafik melakukan konsolidasi dan menyusun struktur organisasi. Dibentuk cabang-cabang Hizbullah Surabaya dengan anggota antara lain dari unsur Pemuda Ansor dan Hizbul Wathan.Diputuskan pimpinan Hizbullah Surabaya Tengah (Hussaini Tiway dan Moh. Muhajir), Surabaya Barat (Damiri Ichsan dan A. Hamid Has), Surabaya Selatan (Mas Ahmad, Syafi’i, dan Abid Shaleh), Surabaya Timur (Mustakim Zain, Abdul Manan, dan Achyat). *5 Oktober 1945* Pemerintah pusat membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Para pejuang eks PETA, eks KNIL, Heiho, Kaigun, Hizbullah, Barisan Pelopor, dan para pemuda lainnya diminta mendaftar sebagai anggota TKR melalui kantor-kantor BKR setempat. *15-20 Oktober 1945* Meletus pertempuran lima hari di Semarang antara sisa pasukan Jepang yang belum menyerah dengan para pejuang. *21-22 Oktober 1945* PBNU menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Di akhir pertemuan pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. *25 Oktober 1945* Sekitar 6.000 pasukan Inggris yang tergabung dalam Brigade ke-49 Divisi ke-26 India mendarat di Surabaya. Pasukan ini dipimpin Brigjend AWS. Mallaby. Pasukan ini diboncengi NICA (Netherlands-Indies Civil Administration). *26 Oktober 1945* Terjadi perundingan lanjutan mengenai genjatan senjata antara pihak Surabaya dan pasukan Sekutu. Hadir dalam perundingan itu dari pihak Sekutu Brigjend Mallaby dan jajarannya, dari pihak Surabaya diwakili Sudirman, Dul Arnowo, Radjamin Nasution (Walikota Surabaya) dan Muhammad. *27 Oktober 1945* Mayjen DC.Hawtorn bertindak sebagai Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok menyebarkan pamflet melalui udara menegaskan kekuasaan Inggris di Surabaya, dan pelarangan memegang senjata selain bagi mereka yang menjadi pasukan Inggris. Jika ada yang memegangnya, dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa Inggris memiliki alasan untuk menembaknya. Laskar Hizbullah dan para pejuang Surabaya marah dan langsung bersatu menyerang Inggris. Pasukan Inggris pun balik menyerang, dan terjadi pertempuran di Penjara Kalisosok yang ketika itu berada dalam penjagaaan pejuang Surabaya. *28 Oktober 1945* Laskar Hizbullah dan Pejuang Surabaya lainnya berbekal senjata rampasan dari Jepang, bambu runcing, dan clurit, melakukan serangan frontal terhadap pos-pos dan markas Pasukan Inggris. Inggris kewalahan menghadapi gelombang kemarahan pasukan rakyat dan massa yang semakin menjadi-jadi. *29 Oktober 1945* Terjadi baku tembak terbuka dan peperangan massal di sudut-sudut Kota Surabaya. Pasukan Laskar Hizbullah Surabaya Selatan mengepung pasukan Inggris yang ada di gedung HBS, BPM, Stasiun
[keluarga-islam] Ali Mustafa Yaqub: Aktor Intelektual Tragedi Mina
Aktor Intelektual Tragedi Mina Oleh: Ali Mustafa Yaqub Prosesi ibadah haji tahun 1436 H/2015 M selesai sudah. Sebagian jamaah haji telah pulang ke negara masing-masing, sementara sebagian yang lain masih berziarah ke kota suci Madinah. Ada catatan pahit yang harus ditelan oleh umat Islam pada musim haji tahun ini, yaitu tragedi di Mina yang menelan korban lebih dari 1.000 orang. Sepanjang sejarah kontemporer ibadah haji, setiap tahun memang ada musibah. Apalagi jika yang disebut dengan musibah itu, adanya jamaah yang meninggal meskipun karena faktor sakit. Namun tampaknya, ada karakter yang berbeda antara musibah-musibah haji yang terjadi sebelum tahun 1980 dan musibah-musibah haji yang terjadi sesudahnya. Sebelum tahun 1980, musibah-musibah di Mina lebih bersifat alami dan tidak menelan korban yang banyak. Akan tetapi, setelah tahun 1980, musibah-musibah di Mina memiliki beberapa kejanggalan karena musibah itu di samping menelan korban yang massal sampai ratusan bahkan ribuan jamaah, polanya juga sama, yaitu jamaah terinjak-injak. Sebagai seorang yang pernah tinggal di Arab Saudi sejak tahun 1976 hingga 1985, dan selalu mengikuti prosesi ibadah haji bahkan sesudah itu, kami melihat adanya beberapa kejanggalan dalam tragedi Mina, khususnya yang terjadi pada tahun 2015 ini. Apabila apa yang diberitakan itu benar bahwa pada Kamis, 10 Dzulhijah, jamaah haji yang berjalan menuju tempat pelontaran Jamrah Aqabah, tiba-tiba yang di depan berhenti sehingga yang di belakang berdesakan sampai terinjak-injak dan mati, dan yang mati berjumlah 1.095 orang, maka hal itu tampaknya sulit dapat diterima oleh akal yang sehat. Sebab, para jamaah yang hendak melontar Jamrah Aqabah itu sedang dalam kondisi ngantuk, letih, dan lapar akibat pada Rabu, ketika mereka wukuf di Arafah, seharian mereka tidak bisa istirahat. Malam hari juga, dalam perjalanan dari Arafah ke Mina, mereka tidak bisa tidur. Sementara pagi harinya, mereka kebanyakan belum mendapat sarapan. Karenanya, perjalanan mereka itu tidaklah cepat melainkan agak santai. Pada tahun 2000, ketika kami diundang oleh Pemerintah Arab Saudi untuk memberikan penyuluhan haji melalui radio dan saluran televisi Arab Saudi, dari lereng gunung di Mina kami sempat memantau perjalanan jamaah haji. Ternyata, perjalanan mereka itu pelan, tidak berlari, tanpa berdesakan. Berdesakan hanya terjadi ketika mereka sedang melontar Jamrah Aqabah. Jamaah haji yang berjalan seperti itu, apabila jamaah yang di depan tiba-tiba berhenti, tampaknya sulit diterima akal apabila jamaah di belakangnya langsung terinjak-injak. Apalagi karakter haji adalah beribadah, dan orang yang beribadah selalu akan menolong orang lain. Sekiranya ada 100 orang yang jatuh dan terinjak-injak sampai mati, maka yang seribu orang tentunya akan berusaha menghindarkan diri dengan mundur ke belakang. Akan tetapi, seperti diberitakan justru semuanya mati terinjak-injak. Maka suatu hal yang mungkin sekali bahwa ada kelompok jamaah haji yang memang mendapatkan tugas untuk merobohkan jamaah yang lain, kemudian kelompok yang lainnya menginjak-injak mereka sehingga yang roboh itu kemudian mati. Boleh jadi juga, ada kelompok yang sengaja mau melakukan bunuh diri dengan merobohkan diri dan diinjak-injak. Apabila perkiraan ini benar, maka hal itu bukanlah perbuatan orang yang beribadah haji, melainkan perbuatan orang-orang yang sengaja membuat kekacauan. Pada tahun 2000, kami mencoba untuk melontar Jamrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijah dari lantai atas. Waktu itu tempat pelontaran Jamrah baru ada dua lantai. Situasi saat itu sangat padat sehingga kami gagal untuk melontar jamrah dari lantai atas. Akhirnya, kami berhasil melontar jamrah lewat lantai bawah. Pada saat itu, tidak ada satu pun jamaah yang terjatuh apalagi terinjak-injak sampai mati. Kepadatan yang lebih parah lagi sebenarnya terjadi ketika jamaah haji sedang melakukan thawaf khususnya tawaf ifadhah. Para jamaah hampir bisa disebut berimpitan. Kendati demikian, tidak ada jamaah yang terjatuh apalagi terinjak-injak. Sekiranya ada kecelakaan di mana salah satu jamaah terjatuh, maka tentu yang lain akan segera menolong. Oleh karena itu, tragedi jamaah terinjak-injak yang berulang kali di Mina itu tampaknya memang didesain oleh kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Di antara kepentingan itu adalah pertama, ingin memberikan kesan kepada dunia bahwa Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak mampu menjamin keamanan para jamaah haji. Berikutnya adalah untuk memberikan rasa takut kepada umat Islam agar mempertimbangkan kembali niatnya untuk beribadah haji karena Mina adalah kuburan massal, siapa yang datang ke Mina sama artinya dengan setor nyawa. Ronde berikutnya seperti yang sudah tampak digelindingkan adalah munculnya pendapat bahwa kota suci Makkah harus dikelola secara internasional karena Makkah milik umat Islam. Apabila wacana ini menggelinding, maka akan terjadi negara-negara Muslim saling berebut untuk
[keluarga-islam] Empat Prinsip untuk Menghadapi Gelombang Kemajuan Zaman
Empat Prinsip untuk Menghadapi Gelombang Kemajuan Zaman Senin, 05/10/2015 12:30 [image: Empat Prinsip untuk Menghadapi Gelombang Kemajuan Zaman] Bandung, *NU Online* Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ittifaq Rancabali Kabupaten Bandung, KH Fuad Affandi mengatakan, umat Islam perlu menerapkan empat prinsip guna menghadapi gelombang kemajuan zaman. Keempat prinsip tersebut, yaitu disiplin yang tinggi, kerjakeras, menonjolkan etos kerja, menghargai teknologi. "Keempat hal ini penting mengingat kemajuan zaman semakin cepat dan jika tidak diterapkan pada diri manusia, bisa mengakibatkan manusia berubah menjadi objek perubahan zaman. Sementara kebutuhan menjadi manusia yang memiliki jati diri harus tetap menjadi subjek," katanya kepada NU Online, Ahad (4/10). Kiai Fuad melanjutkan, masing-masing prinsip itu harus ditanamkan pada saat usia belajar. Sebisa mungkin orang tua dan guru di sekolah sejak usia dini mampu mengajarkan keempat pilar tersebut. Dan paling menentukan adalah pendidikan pada masa usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. "Kalau sekarang muncul istilah pendidikan karakter, maka hal itu harus diperjelas ke arah empat prinsip tersebut," sambungnya. Khusus pada prinsip keempat, yakni teknologi, masyarakat Indonesia cukup ketinggalan. Sekolah-sekolah tidak dirangsang menerapkan teknologi aplikasi. Banyak yang memahami teknologi identik dengan perangkat mahal, sulit dilakukan, dan seakan-akan hanya orang asing atau pabrik-pabrik besar yang melakukan. Sementara dalam pandangan KH Fuad Affandi, teknologi yang dibutuhkan masyarakat harus aplikatif, sesuai kebutuhan masyarakat lokal setempat. "Misalnya teknologi mesin air yang kami kembangkan di sini. Sebelum ada mesin, air hanya untuk wudlu dan mandi. Untuk jadi air minum membutuhkan proses lama dengan menyedot bahan bakar. Sekarang cukup dengan mesin, murah prosesnya dan manfaatnya bisa untuk air minum," katanya sambil memperlihatkan teknologi terapan air minum yang diterapkan di Al-Ittifaq. Menurut KH Fuad Affandi, pesantren perlu mengembangkan inovasi teknologi seperti itu. Masing-masing daerah memiliki problem sekaligus potensi sumberdaya alam. Banyak yang sulit harus dipermudah karena mempermudah kehidupan itu merupakan bagian dari tradisi yang baik dalam agama. "Yassir wala tu'assir. Permudahlah segala urusan dan janganlah dipersulit. Karena itu negara wajib mengajari teknologi tepat guna kepada masyarakat. Jangan hanya mengurus pajak jual beli teknologi sementara masyarakatnya dibiarkan jadi konsumen. Bawalah bangsa ini sebagai produsen. Manufaktur harus merakyat agar umat memiliki posisi yang baik dalam kehidupan, tidak terpuruk," pungkasnya. *(Yus Makmun/Fathoni)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,62605-lang,id-c,daerah-t,Empat+Prinsip+untuk+Menghadapi+Gelombang+Kemajuan+Zaman-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 03 Muharram 1437H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahummaghfir lii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wa maa asrartu wa maa a'lamtu wa maa asraftu wa maa anta a'lamu bihii minnii antal muqaddimu wa antal mu'akhkhiru wa anta 'alaa kulli syai'in qadiirun. Ya Allah, ampunilah dosaku yang telah lalu maupun yang akan datang, yang kurahasiakan, yang jelas kunampakkan, yang kulakukan karena terlanjur dan yang Engkau sendiri lebih mengetahui daripadaku. Engkaulah Yang Awal Tiada Berpermulaan dan Yang Akhir Tiada Berkesudahan dan Engkau pula yang Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Buku of the Day) Kiai Ridlwan Abdullah; Peran dan Teladan Pelukis Lambang NU
Belajar dari Kiai Pelukis Lambang NU [image: Belajar dari Kiai Pelukis Lambang NU] Judul: Kiai Ridlwan Abdullah; Peran dan Teladan Pelukis Lambang NU Penulis : Abdul Holil Penerbit: Pustaka Idea Terbitan: I, 2015 Tebal: xvii + 88 hlm ISBN : 978-602-72011-6-12 Peresensi : M Ichwanul Arifin, *mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya/Kader PC IPNU Kota Surabaya* *“Jangan takut tidak makan kalau berjuang mengurus NU. Yakinlah! Kalau sampai tidak makan, komplainlah aku jika aku masih hidup. Tapi kalau aku sudah mati, maka tagihlah ke batu nisanku!”* Wasiat di atas merupakan wasiat yang cukup populer di kalangan warga NU, wasiat tersebut merupakan pesan yang ditujukan kepada para penerus perjuangan NU agar selalu serius dan yakin dalam menjalankan roda kekhidmatan tanpa merasa takut akan ancaman kelaparan. Wasiat tersebut disampaikan oleh KH Ridlwan Abdullah, salah satu tokoh pendiri NU yang juga merupakan tokoh pelukis lambang NU. KH Ridlwan Abdullah merupakan anak sulung dari pasangan Abdullah dan Marfuah yang terlahir dari kalangan keluarga yang kuat beragama. Beliau dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1885 M, di kampung Carikan 1, kelurahan Alun-Alun Contong, yang sekarang masuk bagian wilayah kecamatan Bubutan di kota Surabaya. (Hlm. 16) Kecakapan melukis Kiai Ridlwan sudah tampak ketika beliau duduk pada Pendidikan Dasar di Sekolah Belanda (Hollandsch Inlandsche School), hal ini terbukti ketika pada waktu pelajaran menggambar di sekolah, sang guru dari Belanda yang sedang mengajar, menyuruh Ridlwan untuk menggambar gurunya tersebut, tetapi Ridlwan justru menggambar tubuhnya saja, sedangkan wajahnya tergambar ratu Belanda yang bernama Wilhelmina. Sang guru langsung merasa tertarik atas kelebihan yang dimiliki Ridlwan tersebut sehingga pada masa kerjanya sebagai guru habis, ia datang menemui orang tua Ridlwan bermaksud untuk mengadopsinya sekaligus dibawa ke Belanda, tetapi ayahnya tidak mengijinkannya sebab ada kekhawatiran dari pribadinya dan menginginkan agar anaknya melanjutkan pendidikan di pesantren (Hlm. 18) Dalam riwayat pendidikan keagamaan, pertama Kiai Ridlwan menimba ilmu di pesantren Buntet Cirebon, lalu melanjutkan ke pesantren Kademangan Bangkalan Madura yang diasuh oleh Syaikhona Kholil Bangkalan dan pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo, lalu Kiai Ridlwan melanjutkan belajar ke Makkah lalu kembali ke Surabaya sehingga tercatat bahwa beliau menggali ilmu agama selama 11 tahun (Hlm. 19). Dalam bidang pengabdian dan pengalaman organisasi, Kiai Ridlwan ikut andil menjadi bagian “Barisan golongan Muda Bumi Poetera” yang mengupayakan kesadaran berbangsa melalui jalur pendidikan. Kiai Ridlwan ingin mendidik para pemuda, agar semangat mereka bangkit dan sadar untuk menggelorakan kecintaan terhadap bangsa (nasionalisme). Akhirnya, buah kesadaran nasionalisme tersebut menjelma menjadi perguruan “Nahdlatul Wathan” (Kebangkitan Tanah Air) yang berdiri tahun 1941. Selain itu, beliau juga aktif di “Taswirul Afkar” pada tahun 1918, sebuah lembaga perumusan konsepsi atau pemikiran berbagai persoalan keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Selain itu, Kiai Ridlwan bersama Kiai Wahab dan juga Kiai Kahar, memprakarsai berdirinya perhimpunan “Tamirul Masajid”, sebuah perhimpunan yang bertujuan memelihara tempat peribadatan, Masjid, barang wakaf dan sebagainya. Salah satu wujud kerja perhimpunan ini adalah berdirinya Masjid Jami’ Kemayoran yang hingga sekarang berada di jalan Indrapura 2 Surabaya. Bahkan karya monumental arsitektur bangunan kubah Masjid Kemayoran merupakan fakta sejarah dari hasil ciptaan Kiai Ridlwan. (Hlm. 22-24) Dalam pengabdiannya terhadap NU, jasanya sangatlah besar. Sebelum NU lahir, beliau sudah aktif di beberapa organisasi yang merupakan embrio bagi berdirinya NU. Bahkan rumah beliau di Bubutan VI no 26 Surabaya ditempati untuk penandatanganan berdirinya organisasi NU, sedangkan rumah milik mertuanya yang juga di jalan Bubutan Surabaya diserahkan sebagai sekretariat dan ruang pertemuan para pengurus NU, dulu menjadi kantor PBNU dan sekarang menjadi kantor PCNU Kota Surabaya. Selain itu, jasa yang diberikan Kiai Ridlwan bagi NU adalah lambang yang mencerminkan sifat ulama dan bila dilihat tidak bosan, yang mana pada Muktamar NU I, NU belum mempunyai lambang sebagai simbol organisasi. Kiai Ridlwan dipercaya oleh KH. Hasyim Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai Rais Akbar untuk melukisnya. Lambang tersebut, beliau lukis atas hasil istikharah beliau dan dapat ditampilkan pada Muktamar NU II pada tanggal 9 Oktober 1927 M/12 Rabiuts Tsani 1346 H, bertempat di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya (Sekarang menjadi Hotel Bali) yang membuat decak kagum bagi yang melihatnya, (Hlm. 56) Ditinjau dari sudut sumber sejarah, buku tersebut memadukan antara sumber primer dengan sumber sekunder, Sumber primer penulis dapat dari tempat-tempat atau dokumen
[keluarga-islam] Azyumardi: Makkah Al-Mukarramah (2)
Makkah Al-Mukarramah (2) Oleh: Azyumardi Azra Mecca: The Sacred City (2014) karya Ziauddin Sardar adalah buku mutakhir tentang Makkah. Buku yang cukup massif (xxxviii+408 halaman) dan komprehensif mengungkapkan sejarah Makkah sejak masa paling awal sampai tahun-tahun awal dasawarsa 2010-an. Karena itu, pembaca dapat melihat berbagai peristiwa penting --apakah menggembirakan maupun mengenaskan-- yang terjadi sepanjang sejarah Makkah, khususnya Masjidil Haram dan lingkungannya. Sardar, penulis produktif yang telah menghasilkan lebih 50 buku termasuk Desperately Seeking Paradise, kini adalah direktur Pusat untuk Kajian Post-Normal dan Masa Depan dan juga direktur Muslim Institute di London. Bukunya Mecca: The Sacred City dapat dikatakan menampilkan semacam ‘sejarah sosial keagamaan dan politik’ Makkah; karya ini bukanlah tentang sejarah keulamaan dan pemikiran Islam yang berkembang di Makkah. Kota suci Makkah dalam perjalanan historisnya tidak hanya menjadi pusat ibadah --sejak masa Islam menjadi pusat ibadah haji-- tetapi juga menjadi lokus kontestasi dan pertarungan politik di antara kuasa-kuasa politik berbeda, dan juga kelompok aliran keagamaan yang berlainan paham. Sebab itu pula, riwayat Makkah sebagai Kota Suci Islam tidak selalu menggembirakan. Meski demikian, kecintaan kaum Muslimin tidak pernah berkurang --apalagi pudar-- pada Kota Suci ini bersama dengan Madinah dengan Masjid Nabawi-nya. Menurut riwayat, Ka’bah yang menjadi epicentrum (titik pusat) Makkah didirikan Nabi Ibrahim pada tahun 1812-1637 SM (Sebelum Masehi). Kemudian pada tahun 168-90 SM, adanya Ka’bah di Makkah sudah dicatat sejarawan Yunani Diodorus Siculus dalam karyanya Bibliotheca Historica, dan disebut warga Roma-Mesir Claudius Ptolemy dalam karyanya Geography. Singkat riwayat, pada tahun 100-250 M, Makkah dikuasai kabilah Jurham Yaman, dan pada tahun 250-380 M, Kota Suci ini dikuasai Kabilah Khuza. Baru pada tahun 400 M kaum Quraysh berhasil menguasai Makkah yang kemudian pada 552 M gagal ditaklukkan Abrahah. Lahir pada 570 M, Muhammad SAW muda turut membantu kaum Quraysh membangun ulang Ka’bah pada 605 M. Sepanjang masa pasca Nabi Muhammad, Dinasti Umayyah sejak 661 M dan Dinasti Abbasiyah pada tahun 747-750 dan 779-785 memperluas Masjidil Haram. Di sela-sela masa pengembangan itu, pada 681-692 Ibn Zubayr yang memberontak Dinasti Umayyah berhasil menguasai Makkah. Salah satu malapetaka terburuk dalam sejarah Makkah adalah ketika kaum Qarmatiyah yang ultrapuritan menyerbu Makkah pada 930. Kaum Qarmati yang berasal dari Afrika Utara membunuh banyak jamaah haji, menjarah Ka’bah, dan melarikan Hajar Aswad --yang berhasil dikembalikan setelah 30 tahun pada 950-951. Sejak tahun 590, penguasa Makkah adalah Syarif yang berada di bawah kuasa sultan-sultan Dinasti Mamluk di Mesir atau Suriah. Kemudian, sejak 1495, Makkah berada di bawah kuasa Dinasti Usmani; dan pada 1520-1566, Sultan Sulayman al-Qanuni memperbaiki dan memperluas Masjidil Haram. Musibah terjadi pada 1629 ketika Ka’bah hanyut dibawa banjir bandang dan dibangun ulang oleh Sultan Murad IV. Malapetaka kembali terulang (1630-1631) ketika pasukan Usmani yang memberontak kekuasaan Istanbul berhasil menduduki Makkah dan pada saat yang sama, lagi-lagi Ka’bah dihancurkan banjir bandang yang kemudian segera dibangun kembali oleh penguasa Dinasti Usmani. Kuasa Arab Saudi sekarang ini --bermula sejak 1790 ketika pertikaian merebak antara penguasa Makkah, Syarif Ghalib ibn Masaad dengan kaum Wahabi di bawah pimpinan Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan Muhammad ibn Saud. Pada 1803, Syarif Ghalib menyerahkan Kota Suci secara resmi kepada penguasa Wahhabi, tetapi pihak terakhir ini mampu menguasai Makkah. Barulah setelah mengepung kembali Makkah dengan pasukan besar sejak 1805, Makkah akhirnya pada 1806 berhasil dikuasai kaum Wahhabi sepenuhnya. Namun, penguasa Wahhabi tidak bisa bertahan lama. Pada 1813, Toulun, putra Muhammad Ali, Pasha Mesir yang diangkat Sultan Dinasti Usmani, berhasil mengalahkan kekuatan Wahhabi. Penaklukan ini dituntaskan Muhammad Ali Pasha dengan memimpin sendiri pasukan yang memasuki Makkah pada 1815. Tahap sejarah paling menentukan sejarah Makkah adalah ketika pemimpin Wahhabi, ‘Abd Aziz ibn Saud pada 1926 mendeklarasikan diri sebagai Raja Hijaz. Ia kemudian memperluas kekuasaannya dengan mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1932. Pada tahun 1955-1964, Pemerintah Arab Saudi pertama kali memperluas Masjidil Haram yang dilanjutkan tahap II pada 1982-1988; dan tahap III pada 1988-2005, dan terakhir sejak 2011 tahap IV yang bakal menambah kapasitas Masjidil Haram untuk bisa menampung sedikitnya dua juta jamaah sekaligus. Di tengah berbagai perubahan sepanjang sejarah, gejolak agama dan politik, dan kian membanjirnya jumlah jamaah dari tahun ke tahun, Sardar menyatakan bahwa Makkah berubah secara sangat cepat. Tetapi, Makkah juga membeku ketika keragaman budaya; pluralitas keagamaan; pembangkangan
[keluarga-islam] Hijrah dan Agenda Transformasi Bangsa
Hijrah dan Agenda Transformasi Bangsa Oleh: Munawir Aziz Peristiwa Tahun Baru Hijriyah menjadi renungan bagi umat Islam di seluruh dunia. Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW pada 622 M menjadi titik tolak untuk melakukan refleksi betapa kemanusiaan dan keagamaan menjadi bagian integral dari Islam. Peristiwa hijrah pada abad ke-7 Masehi itulah yang menjadi penanda hadirnya Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin. Kisah kerja sama dan persaudaraan antara kaum Anshar dan Muhajirin merupakan pintu bagi kita semua untuk belajar berbagi, menghormati, dan menyayangi. Lalu, bagaimana kita memaknai Tahun Baru Hijriyah di tengah selebrasi koruptor dan kisruh permusuhan umat antarumat beragama? Perlu ada langkah konkret dari pemimpin bangsa untuk menyelesaikan permasalahan di negeri ini. Umat Islam perlu menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai pintu gerbang untuk memberantas akar-akar korupsi dan mendukung gerakan pembongkaran jaringan koruptor. Bencana asap sudah menjadi bencana yang mengerikan, yang melumpuhkan aktivitas pendidikan serta ekonomi di kawasan Riau dan kota-kota lainnya yang dikepung asap. Di pihak lain, kekerasan antarumat beragama dan etnis menjadi wajah lain warga Indonesia, dengan narasi kisah yang terjadi di Tolikara, Papua. Di tingkat ini, perlu ada kesepahaman bersama untuk mengampanyekan agama yang penuh rahmat, mempraktikkan Islam yang rahmatan lil 'alamin. Pemahaman ini perlu dilandasi dengan visi pemaknaan sebagai media untuk mencapai ridha Tuhan. Dengan demikian, beragama dalam hidup menjadi sarana untuk menyerap sepenuhnya ajaran-ajaran Allah SWT. Ruang publik keagamaan di Indonesia perlu diimbangi dengan politik kehadiran dari umat agama yang memiliki visi kemanusiaan. Politik kehadiran, dalam pikiran Asef Bayat (2007), penting sebagai penanda strategi ormas keagamaan dalam transformasi ruang publik. Politik kehadiran sebagai seni kehadiran (the art of presence) untuk menggumuli ruang publik keagamaan dengan wacana, ide, dan aksi moderat yang menunjukkan wajah keislaman dan keagamaan di negeri ini. Dengan demikian, ruang publik keagamaan menjadi dinamis dengan kontestasi wacana dan ideologi yang sehat. Pada titik ini penting untuk menyuarakan keberagamaan sebagai pintu masuk toleransi dan harmoni. Pembelajaran damai perlu mengakomodasi liyan (the other), tapi juga --dalam pikiran Geir Afdal (2010: 614); "to understand what is in between". Kedewasaan untuk mengakomodasi semua pihak dalam kerangka ruang publik keagamaan yang harmonis penting dilakukan agar tak ada lagi kekerasan dan penghakiman dengan menggunakan jubah agama. Lalu, di tengah krisis negara, pemimpin hendaknya bertanggung jawab dalam mengawal kesejahteraan warga. Bukan sekadar membuat kebijakan, membuat undang-undang, sistem pajak, dan aturan teknis lainnya. Butuh ketegasan dan keteladanan dari para penguasa negara untuk turun langsung di wilayah akar rumput. Dengan turun langsung ke bawah, penguasa akan tahu secara konkret bahwa nasib warganya ternyata belum tersentuh secara maksimal. Di samping itu, warga juga akan mendapatkan motivasi yang tinggi melihat pemimpinnya begitu peduli dengan warga kecil yang serbasusah. Terjadilah sinergi yang kukuh dalam mewujudkan terciptanya bangsa yang makmur, sejahtera, adil, dan sentosa (good governance). Dalam bahasa agama dimaknai sebagai baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Melihat kondisi yang demikian, perlu kiranya merancang gagasan kritis dan strategis bagaimana tanggung jawab negara terhadap kondisi kemiskinan masyarakat? Dalam kaidah fikih dikenal kaidah menarik, yakni "tashorrufu al-imam ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahah". Bahwa kebijakan imam (penguasa/pemerintah) terhadap rakyat harus selalu mengedepankan kemaslahatan rakyat. Dalam kemiskinan, aspek kemaslahatan rakyat harus menjadi target dan strategi utama dalam setiap kebijakan yang diambil. Tentu tak mengesampingkan lima prinsip agung (kulliyat al-khamsah) yang harus dipenuhi; jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan dan kesewenang-wenangan (hifdz an-nafs), perlindungan terhadap kebebasan pendapat secara rasional (hifdz al-aql), perlindungan atas harta benda sebagai milik (hifdz al-mal), jaminan atas kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz al-din), dan jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi (hifdz an-nasl wal-'irdl). Prinsip ini menjadi benteng peneguhan gerakan keagamaan. Peringatan Tahun Baru Hijriyah hendaknya perlu diimbangi dengan hijrah ruhaniah dan transformasi kebangsaan untuk menggapai kesejahteraan, penegasan kedisiplinan dan pembenahan moralitas bangsa serta bebas dari pelbagai kasus yang menjerat bangsa ini. Sudah satu tahun, duet Joko Widodo-Jusuf Kalla memimpin bangsa ini. Krisis asap, kekerasan di kawasan tambang, hingga kasus-kasus kekerasan bernuansa etnis dan agama harus segera diselesaikan dengan tindakan efektif dari negara. Hijrah untuk transformasi kebangsaan inilah yang menjadi tantangan bagi pemimpin bangsa ini.
[keluarga-islam] Apa Kabar Pancasila?
Apa Kabar Pancasila? Oleh: Cholil Nafis Besok kita akan berganti tanggal sekaligus berganti bulan, yaitu tanggal 1 Oktober yang selalu dikenang sebagai hari kesaktian Pancasila. Apakah Pancasila masih sakti? Tentunya sampai saat ini Pancasila masih sakti mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu dalam Bingkai Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Pada masa Orde Baru (Orba) 1 Oktober selalu diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila dengan gegap gempita dan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Kesaktian Pancasila pada masa Orba identik dengan kehebatan Pancasila menjaga NKRI sehingga mampu menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah melakukan kekerasan dan pembunuhan demi mencapai ambisi politiknya. Namun di era Orba, Pancasila telah menjadi alat politik untuk menjatuhkan lawan politik penguasa. Kelompok yang berbeda pandangan dengan penguasa dicap sebagai orang yang tidak pancasilais dan subversi terhadap negara yang sah. Di era reformasi peringatan kebangkitan Pancasila nyaris tak terdengar, tidak termasuk hari libur nasional. Dan, bahkan nyaris tak ada upacara resmi memperingati hari Kesaktian Pancasila, baik di kantor-kantor pemerintah atau di sekolah-sekolah. Pancasila terlupakan dan cenderung terstigma sebagai produk Orba sehingga tak lagi popular dan bagi sebagian masyarakat tak membangggakan ketika menyebut Pancasila. Penyimpangan terhadap makna dan falsafah negara dalam konteks politik jangan sampai mengakibatkan pada abainya warga negara pada dasar negara. Memang kesaktian Pancasila bukan karena menumpas PKI tetapi sejujurnya kesatian itu karena mampu menyatukan semua elemin dan keyakinan anak bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemaknaan Pancasila tak perlu terfokus pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI membunuh enam jendral dan satu perwira sehingga terjadi pembunuhan massal terbesar di abad 20 ini, tetapi lebih pada makna Pancasila sebagai "kalimat tengah" diantara pluralitas anak bangsa. Kini Pancasila di kalangan warga negara nyaris tak pernah terdangar sebagai dalil pandangan hidup, falsafah bernegara dan sistem nilai berbangsa. Bahkan ironi, ada segelintar masyarakat yang ingin merubah dasar negara dengan agama atau merubah negara menjadi libral. Kini maraknya radikalisme dengan atas nama agama karena merubah NKRI dengan negara agama. Bahkan melakukanya dengan cara kekerasan. Ironi, anak bangsa yang tak lagi cinta Pancasila sehingga ingin merubah negara Indonesia menganut sistem libral. Kedua arus negatif itu sedang menggerus keutuhan NKRI sekaligus melemahkan rasa nasionalisme. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai nilai sejarahnya. Termasuk melestarikan capaian peradaban bangsa dan melanjutkan cita-cita para pahlawannya. Indonesia telah berhasil mencapai peradaban kemanusiaan dalam membangun dasar dan sistem negara sehingga menyatukan bangsa Indonesia dalam kesatuan Republik Indonesia. Bayangkan Indonesia yang besar: terdiri dari 17508 pulau dan pendudunyak 237,6 juta, lebih dari 300 bahasa, mengakui enam agama dan kepercayaan, dan terdiri dari bermacam-maca suku dan golongan namun dapat disatukan dalam satu negara. Kebhinekaan Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu itulah ciri Indonesia. Pluralitas adalah sesuatu yang niscaya dan persatuan adalah bingkai kelestariannya. Tekat masyarakat Indonesia untuk bersatu dalam satu kesatuan negara karena dasar negaranya adalah Pancasila yang mengakomudir seluruh budaya, keyakinan dan Bahasa rakyat Indonesia. Jika kebhinekaan terhapus dari sistem negara maka tak dapat dibayangkan NKRI akan tetap bertahan. Menjaga harmoni keragaman Indonesia adalah hal yang niscaya untuk keutuhan NKRI. Kebinekaan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Piagam Madinah (al-shahifah al-Madindah) sebagai konsitutisi pertama dalam Islam mengajarkan kebinekaan. Bahwa umat Islam, Kristen dan Yahudi di Madinah saat itu bersatu padu dalam membela negara dan patuh pada konsensus nasional Madinah. Siapa pun yang melakukan pembangkangan terhadap konstitusi Madinah maka akan diperangi bersama-sama tanpa melihat suku dan agamanya. Indonesia punya konstitusi yang mirip dengan konstitusi Madinah, bahwa setiap warga negara dijamin untuk menjalankan ajaran agama dan tidak boleh menyiarkan agama dengan menistakan agama lain. Ini termaktub dalam UUD 1945, Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I Ayat (2); dan Pasal 29 Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Piagam Madinah menanamkan nilai nasionalisme kolektif tanpa melihat keyakinan agamanya. Dalam pasal 37 menyebutkan tentang umat Islam, umat Yahudi dan Nasrani untuk mengorbankan harta dan jiwanya untuk memerangi orang menyerang keutuhan negara Madinah. Konstitusi Madinah menempatkan nasionalisme sebagai kesadaran kolektif demi keutuhan negara. Konsitusi Indonesia hampir sama dengan Konstitusi Madinah menempatkan nasionalisme sebagai jangkar NKR. Semboyan
[keluarga-islam] (Tokoh Nusantara) Kiai Ronggo, Kraksaan, Probolinggo - Jawa Timur
Kiai Ronggo Pembabat Alas Kota Kraksaan Probolinggo Jumat, 17/04/2015 14:01 [image: Kiai Ronggo Pembabat Alas Kota Kraksaan Probolinggo] Kraksaan adalah Kiai Ronggo. Nama orang dan wilayah ini memang berbeda. Namun, keduanya saling berkaitan erat. Dalam pandangan masyarakat Kraksaan, sosok Kiai Ronggo adalah tokoh yang merintis sejarah berdirinya Kota Kraksaan. Tidak heran jika pesarean Kiai Ronggo di Kelurahan Sidomukti Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo kerap diziarahi warga. Bupati Probolinggo Hj Puput Tantriana Sari juga secara rutin ziarah ke sana. Menuju Pesarean atau tempat peristirahatan terakhir Kiai Ronggo tidaklah sulit, hanya membutuhkan 10 hingga 15 menit dari pusat Kota Kraksaan. Sesampainya di sana, tidak banyak yang membedakan dengan Tempat Pemakaman Umum (TPU) lainnya. Hanya sebuah makam dengan gapura yang baru selesai diperbaiki. Di tempat 2x4 meter itu pula banyak orang luar Probolinggo yang mulai berdatangan. Setiap malam Jumat legi, makam tersebut dibanjiri peziarah. “Kegiatannya hanya mengaji, tahlil dan lainnya, intinya mendoakan Kiai Ronggo,” kata juru kunci pesarean Kiai Ronggo, Halimah. Sepanjang mata melihat, makam Kiai Ronggo atau dengan nama asli KH Abdul Wahab itu paling istimewa. Hal itu lantaran makam Kiai Ronggo tersebut merupakan tokoh terpenting sepanjang keberadaan Kota Kraksaan. Tak ayal pemerintah setempat memperbaiki kuburan tersebut. Bahkan, mantan Bupati Probolinggo yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI H Hasan Aminuddin sering berziarah ke makam tersebut. Namun sayang, Halimah tidak begitu mengetahui sosok tokoh Kiai Ronggo, sebab ia mengaku hanya bertugas menjaga makam. “Kalau soal itu kami tidak begitu tahu betul, hanya sosok Kiai Ronggo ini dikenalnya yang babat alas Kraksaan, jadi orang pertama,” katanya. Dari informasi yang berhasil dihimpun Kontributor NU Online Probolinggo, di Kota Kraksaan masih ada keturunan dari Kiai Ronggo. Salah satunya adalah H Jarot. Setelah ditemui di kediamannya, H Jarot yang keturunan kelima dari Kiai Ronggo juga mengaku tidak begitu paham dengan kisah nenek moyangnya tersebut. Itu karena menurutnya, dari kakek dan saudara lainnya memang minim sekali informasi tentang Kiai Ronggo. “Banyak yang sudah datang kesini dengan hal yang sama, tapi saya katakan informasi yang kami terima dari keluarga memang sangat minim. Kebanyakan cerita dari orang lain,” katanya. Setahu H Jarot, nama Kiai Ronggo sendiri diambil dari kata Ronggo atau duduk. Hal semacam ini merupakan salah satu gelar pada seseorang yang pertama kali membuka atau membabat alas pada awal mulanya. Namun yang pasti, nama asli Kiai Ronggo adalah Abdul Wahab alias Wiryo Setyo. Pemberian gelar Kiai Ronggo bukannya tanpa alasan. Menurut H Jarot yang diceritakan kakeknya semasa hidup, Kiai Ronggo kerap kali mengamalkan ajaran Islam dengan mendirikan mushalla di desa-desa sekitar Kraksaan. Peninggalannya yang paling tampak adalah Masjid Agung Ar-Raudlah yang didirikannya pada tahun 1734 M silam. Sejumlah 4 tiang di ruang utama dan bedug lama, juga peninggalan Kiai Ronggo. “Itu salah satu peninggalan penting beliau,” katanya. Bedug peninggalan Kiai Ronggo itu dibuat dari bahan kayu yang diambil dari Pakuniran. Kayu-kayu itu dibawa langsung oleh santrinya. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan bedug itu mencapai 2 bulan. “Yang kami terima informasinya seperti itu. Tapi sejauh ini belum ada bukti autentik soal itu,” ungkapnya. H Jarot mengaku sangat senang jika leluhurnya tersebut menjadi perhatian orang. Namun ia berpesan pada masyarakat agar tidak menyalahgunakan nama baik Kiai Ronggo. Termasuk ketika berdoa di makam Kiai Ronggo. “Berdoa jangan bablas. Karena pada dasarnya Allah-lah yang menentukan semuanya,” tandasnya. [] (Syamsul Akbar/Fathoni) Foto: Masjid Agung Ar-Raudlah Kraksaan yang didirikan Kiai Ronggo pada tahun 1734 M. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Meneguhkan Kekuatan Bangsa Melalui Hari Santri
Meneguhkan Kekuatan Bangsa Melalui Hari Santri Oleh: Ferial Farkhan Ibnu Akhmad Tanggal 22 Oktober adalah tanggal yang bersejarah bagi bangsa Indonesia khususnya bagi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah). Tanggal tersebut menjadi sebuah alasan yang mendorong terjadinya peristiwa pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Peristiwa yang menyimpan makna sejarah yang tak terlupakan bagi negara yang sudah merdeka 70 tahun ini. Sehingga setiap tanggal 10 November kita kenal sebagai Hari Pahlawan. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan terbebas dari kolonialisme selama lebih dari tiga setengah abad, bangsa ini kembali harus berhadapan dengan pasukan Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) mengatasnamakan blok sekutu dengan misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Sehingga peristiwa tersebut menuntut warga negara Indonesia untuk kembali mengangkat senjata melawan penjajah demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dengan jiwa dan raga. Runtutan peristiwa itulah yang menginisiasi lahirnya fatwa Resolusi Jihad dari Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Fatwa tersebut yang berhasil membakar semangat para ulama, santri, arek-arek Surabaya, seluruh rakyat Indonesia untuk berjihad membela bangsa dan negara. Saat ini Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Keppres Hari Santri Nasional pada 15 Oktober 2015. Penetapan ini sebagai realisasi janji Presiden Joko Widodo pada saat masa kampanye 1 tahun yang lalu. Proses menentukan hari besar nasional tersebut sempat terjadi dinamika didalamnya. Semula akan ditentukan setiap tanggal 1 Muharram, kemudian diganti tanggal 22 Oktober atas dasar masukan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan ormas Islam lainnya. Sejarah perjuangan para ulama dan santri dalam memberikan kontribusi kepada bangsa ini menjadi alasan utama PBNU memberikan saran tanggal tersebut. Hari Santri Nasional bukan hanya sebatas menggugurkan janji Presiden Jokowi saja. Banyak hal yang perlu masyarakat refleksikan dari ditetapkannya hari besar tersebut. Ini sebagai upaya membuka pemikiran seluruh warga negara Indonesia bahwa para ulama dan santri mempunyai saham besar atas berdirinya negara ini. Peran dan perjuangan kalangan pesantren dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia mulai dari sebelum kemerdekaan hingga sekarang tidak bisa dikesampingkan apalagi dihapuskan. Saat ini banyak masyarakat yang menilai bahwa ulama dan santri yang dikenal dengan kaum sarungan hanya mengurusi masalah keagamaan saja. Hal ini dikarenakan adanya diskriminasi pemerintah pada zaman Orde Baru yang sengaja menghapuskan peran ulama dan santri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Perlakuan tidak adil ini teraplikasikan dari minimnya catatan sejarah resmi yang menjelaskan bahwa ulama dan santri telah berkontribusi besar dalam tegaknya Republik Indonesia. Dinamika Perjuangan Kalangan Pesantren Pada zaman sebelum kemerdekaan para ulama berupaya untuk membebaskan bangsa ini dari penjajah. Menurut Manfred Ziemek dalam buku hasil penelitiannya Pesantren Dalam Perubahan dituliskan bahwa “Para pejuang kemerdekaan melawan kaum penjajah adalah para kiai dan santri yang terpanggil memprakarsai dan memimpin perlawanan”. Rasa cinta para ulama dan santri terhadap negara sangatlah besar. Jika kita melihat poin penting dari isi fatwa Resolusi Jihad antara lain yaitu. Pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus wajib dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. Ketiga, musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dangan bantuan sekutu Inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia. Keempat, umat islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. Kelima, kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang. Memahami isi dari fatwa dari pendiri NU ini, tentu ini bukan hanya sebatas ajakan biasa untuk berjuang. Tapi fatwa tersebut adalah buah dari ijtihad para ulama sebagai modal para santri dan arek-arek Surabaya untuk berjihad. kita bisa merasakan betapa besarnya keinginan para ulama mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Hasilnya pun bisa kita rasakan sampai sekarang. Tapi sekali lagi sangat disayangkan, tidak banyak generasi saat ini yang mengetahui peristiwa bersejarah tersebut. Kontribusi yang diberikan oleh para ulama dan santri tidak sebatas pada saat pra kemerdekaan saja. Sesudah merdeka pun ulama dan santri tidak hanya berdiam diri dalam menjaga kedaulatan Republik ini. Salah
[keluarga-islam] Ketika Warga Kampung PKI Adakan Tahlilan dan Slametan
Ketika Warga Kampung PKI Adakan Tahlilan dan Slametan Selasa, 06/10/2015 12:49 [image: Ketika Warga Kampung PKI Adakan Tahlilan dan Slametan] Jakarta, *NU Online* Dalam diskusi publik dan bedah buku karya Dr Wijaya Herlambang, ‘Kekerasan Budaya Pasca 1965’, Senin (5/10) di lantai 8 Gedung PBNU Jakarta, Ketua PP Lesbumi NU, KH Agus Sunyoto mengungkapkan, di daerah Trisula Blitar Jawa Timur warganya 100 persen PKI, tetapi tidak ada masyarakat yang berani datang untuk tahlil dan slametan ketika ada warga Trisula yang meninggal atau hilang, kecuali orang-orang NU. “Saat keluarga PKI kehilangan orangtuanya dan ingin menahlilkan atau slametan keluarganya yang ditangkap (hilang atau dibunuh), tidak ada yang berani untuk datang karena takut dituduh PKI, maka yang berani datang adalah orang kampung sebelahnya yaitu orang-orang NU,” ujar Agus yang menjadi narasumber di acara tersebut. Agus kembali menegaskan, meskipun para kiai dan warga NU banyak yang menjadi korban pembantaian oleh kelompok G30S/PKI, tetapi para kiai justru banyak mengurus janda dan anak yatim keturunan PKI yang keluarganya meninggal dalam konflik horisontal tersebut. “Para kiai tidak politis, juga tidak terlalu ideologis, mereka paham kewajiban agama seperti apa dalam melihat janda dan anak yatim yang terlantar. Jadi murni kemanusiaan,” tegas Penulis Buku Lubang-lubang Pembantaian yang terbit tahun 1990 ini. Agus mengungkapkan, bahwa di Blitar, anak-anak yang ayahnya dibunuh atau ditangkap karena tuduhan PKI, diangkat sebagai anak oleh para kiai. Bahkan ada kiai yang mengangkat anak keturunan PKI hingga 30 orang dan menyandang nama kiai di belakangnya. Di sekolahanpun orangtuanya adalah kiai tersebut. *Komunis Siluman* Bagi Agus Sunyoto, diskusi publik ini memunculkan fenomena baru tentang ‘Komunis Siluman’ yang selalu lolos dari tanggung jawab atas semua perbuatan jahat mereka. “Mereka itulah yang menegakkan Orde Baru sekaligus menumbangkannya. Dimotori oleh seseorang, mereka selalu mengungkit kasus kekerasan terhadap PKI dengan tangan ditudingkan ke NU, khususnya Ansor dan Banser,” ujar Agus. Diskusi dihadiri oleh penulis buku ‘Kekerasan Budaya Pasca 1965’, Dr Wijaya Herlambang serta Budayawan Taufiq Ismail dan para aktivis kemanusiaan yang memadati ruangan diskusi. *(Fathoni)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62626-lang,id-c,nasional-t,Ketika+Warga+Kampung+PKI+Adakan+Tahlilan+dan+Slametan-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Anak Sekolah dan Potensi Kekerasan
Anak Sekolah dan Potensi Kekerasan Sabtu, 10/10/2015 09:01 Oleh: Badrul Munir Dalam Al-Qur’an anak manusia dikelompokan menjadi 4 kelompok, bagian pertama, anak sebagai musuh orang tuanya (apabila anak kita menjerumuskan bapaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama): “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.)” (QSAt-Tagobun ayat 14) Kelompok kedua, anak sebagai fitnah atau ujian, Fitnah yang dapat terjadi pada orangtua bilamana anak-anaknya terlibat dalam perbuatan yang negatif (terlibat narkoba, pergaulan bebas, tawuran/kekerasan antar pelajar, penipuan, atau perbuatan lainnya yang membuat susah dan resah orang tuanya) “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (QS At-Tagobun ayat 15) Ketiga, anak sebagai perhiasan, (bahwa orangtua merasa sangat senang dan bangga dengan berbagai prestasi yang diperoleh oleh anak-anaknya, sehingga dia pun akan terbawa baik namanya di depan masyarakat). “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi ayat 46) Keempat, anak sebagai penyejuk mata (qorrota a’yun) atau penyenang hati, Mereka adalah anak-anak yang apabila disuruh untuk beribadah segera melaksanakannya dengan penuh kesadaran anak yang menghindari kemungkaran dan kemaksiatan, anak-anak yang baik budi pekerti dan akhlaknya, ucapannya santun dan tingkah lakunya sangat sopan, serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.hal ini dijelaskan dalam Allah dalam Al-Qur’an. “Dan orang-orang yang berkata : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Furqon ayat 74) Tentunya kita sebagai orang tua kita berusaha membentuk anak-anak agar masuk ke dalam kategori yang keempat sehingga proses pembentukan anak sebagai qurrota a’yun dimulai saat dalam kandungan, saat anak lahir bahkan jauh sebelum itu yakni saat memilih (calon) istri, dan proses menuju pelaminan yang islami. Proses pembentukan ini terus kita lakukan sampai anak menjadi dewasa dan mandiri. Namun melihat dunia anak-anak dalam beberapa tahun ini sungguh memiluhkan beberapa perilaku negatif yang muncul khususnya kekerasan baik kekerasan yang menjadikan anak sebagai korban maupun kekerasan yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Berita kekerasan anak yang memiluhkan dengan tewasnya siswa sekolah dasar di Kebayoran Jakarta akibat (diduga) dianiaya oleh teman sekelasnya. Suatu tindakan yang sangat disayangkan diakukan seorang anak SD yang masih polos tetapi sudah tega melakukan tindakan kekerasan sampai nyawa harus melayang. Kekerasaan terhadap siswa sekolah bukan hanya kali ini saja beberapa rentetan kasus kekerasan terhadap anak sekolah terus memenuhi berita massa di Indonesia, baik kekerasan verbal, seksual bahkan kekerasan fisik yang berujung kematian seperti yang terjadi di Jakarta ini. Kita harus berfikir ada apa dengan pendidikan kita selama ini, mengapa anak sekolah berubah menjadi seorang kriminal seperti ini. Apa yang menjadi penyebab kekerasan ini? Paparan kekerasan terhadap anak Usia 7-12 tahun menurut ilmu saraf adalah periode emas dimana dasar sebuah perilaku manusia sedang terbentuk. Perilaku manusia sangat tergantung dari kerja sekelompok otak di bagian otak yang disebut lobus frontalis dan parietalis (otak bagian depan dan ubun-ubun). Dan perilaku didasari oleh sistem memori yang terekam dalam otak manusia, bilamana memori yang terekam baik maka perilaku akan bersifat baik, begitu juga sebaliknya jika memori yang terekam jelek maka perilaku cenderung jelek. Memori yang terbentuk tergantung dari stimulus (paparan) yang masuk secara terus menerus, stimulus bisa dalam bentuk visual, auditorial, taktil dari lingkungan sekitarnya akan dibawa serabut otak dan disimpan di suatu area yang di sebut sistem limbik (bagian otak yang mengurus memori dan emosi). Di dalam kehidupan yang serta modern ini paparan yang masuk kepada anak SD sangat variatif dan beraneka ragam, paparan itu terjadi sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Saat berangkat ke sekolah anak sudah terpapar kekerasan lalu lintas, pelanggaran lalu lintas yang begitu masif dan hampir merata di seluruh pengguna jalan memberi paparan negatif ke otak siswa sehingga ada persepsi tentang pelanggaran aturan lalu lintas. Saat di sekolah pun ada potensi paparan negatif masih ada, sistem pendidikan yang kurang bisa mengoptimalkan potensi anak didik seringkali menciptakan kekerasan tersendiri tanpa didasari oleh pengajar lainnya atau mungkin
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 22 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahummaghfir lii warhamnii wa 'aafinii warzuqnii. Ya Allah, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku, selamatkanlah aku, dan berilah rezeki kepadaku. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Tragedi Haji dan Sunah Tuhan
Tragedi Haji dan Sunah Tuhan Oleh: Abdul Waid KETIKA mesin derek (crane) di Masjidil Haram ambruk, kemudian selang beberapa hari terjadi insiden saling desak di Mina, muncul banyak pertanyaan. Mengapa orang-orang yang semata-mata hendak beribadah haji di tanah yang paling disucikan Tuhan, masih ditimpa musibah mengerikan? Mana kasih sayang Tuhan yang (katanya) diberikan kepada orang-orang beriman? Apakah Tuhan tidak ada di Makkah? Bukankah Makkah adalah tempat yang paling dekat dengan Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan itu memang layak dilontarkan mengingat kedua insiden itu menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dimaknai sebagai ungkapan skeptis terhadap eksistensi dan kasih sayang Tuhan bagi para jemaah haji yang menjadi korban tragedi itu. Pertanyaan-pertanyaan itu harus dimaknai sebagai rasa keingintahuan tentang bagaimana sebenarnya pola eksistensi dan kasih sayang Tuhan dalam setiap musibah serta korelasinya dengan hukum alam. Dua tragedi di tengah ibadah haji itu tidak cukup hanya dijawab dengan menyitir ayat yang berbunyi; ”…barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS: An-Nisa: 100). Islam sebenarnya tidak semata mengajarkan ketakwaan, keimanan, dan kepasrahan. Islam juga mengajarkan pola pikir rasional. Mislanya Quran dalam surah 17:77, 33:62, 35:43, 48:23 menegaskan ada sunah Tuhan di dunia yang selamanya tidak akan pernah berubah. Sunah Tuhan yang dimaksud adalah rasionalisme hukum alam. Dalam hukum alam, ada normanorma yang tidak pernah berubah seperti siang dan malam, panas-dingin, atas-bawah, dan lain sebagainya. Karena Tuhan telah menegaskan bahwa sunah- Nya (hukum alam) tidak akan pernah berubah, maka siapa pun orangnya jika ingin selamat harus patuh pada hukum alam. Tidak Berubah Misalnya, siapa pun kalau jatuh pasti ke bawah. Jika dibakar, pasti panas. Atau, jika sebuah muatan melebihi daya, pasti akan celaka. Hal ini menegaskan bahwa eksistensi Tuhan dalam hukum alam secara universal berlaku tanpa kecuali. Ada sebuah anekdot yang perlu kita cermati. Yaitu, ada dua bangunan berbeda dan bersebelahan. Pertama, sebuah masjid dibangun dengan konsep arsitektur lemah berbahan dasar material yang sudah tidak layak pakai dan tanpa penangkal petir. Kedua, kasino yang dirancang dengan arsitektur modern, berbahan dasar material kuat, serta dilengkapi penangkal petir. Pertanyaannya, jika terjadi badai diiringi sambaran petir, bangunan mana yang selamat? Pertanyaan itu memang terdengar ”tidak sopan” sehingga tidak perlu dijawab. Tetapi, jika melihat konsep sunnah Tuhan, maka hukum alam tidak akan pernah berubah terhadap apa pun, termasuk terhadap masjid. Dari sanalah kita bisa membaca mengapa musibah tragis menimpa para jemaah haji di Makkah. Tragedi Mina dan runtuhnya mesin derek (crane) di Masjidil Haram yang menelan banyak korban jiwa sebenarnya adalah pelanggaran umat manusia terhadap hukum alam (sunah Tuhan). Kekuasaan Tuhan dalam hukum alam, sekalipun di Makkah, harus tetap dipatuhi dan diimani. Pada saat melakukan ritual haji, para jemaah tetap harus memperhatikan daya muat, jumlah jemaah, kekuatan, dan kemampuan pribadi. Para pengelola haji harus memperhatikan kondisi alam yang mengitarinya. Sebab, di sanalah sunah Tuhan berlaku absolut. Peran Tuhan dalam hukum alam menunjukkan bahwa pola keber(agama)an umat manusia harus melibatkan unsur sains modern. Pengelolaan dan pelaksanaan haji, misalnya, harus dikelola dengan manajemen profesional, berdasarkan teknologi canggih, dan melibatkan para ahli sains modern. Mendekatkan diri kepada Tuhan tidak cukup hanya didasarkan pada kepasrahan dan keyakinan. Nabi Muhammad pun mengajarkan umat-Nya untuk beragama dan berjihad dengan dasar pikiran rasional dan melibatkan sains modern. Misalnya, pada saat perang Khandaq, Nabi SAW menyuruh teknokrat muslim bernama Salman al-Farisi untuk membuat parit sebagai strategi dan benteng pertahanan dalam perang. Artinya, jihad (ibadah) tidak cukup hanya dijalankan dengan keberanian, kepasrahan, keyakinan, dan doa. [] SUARA MERDEKA, 9 Oktober 2015 Abdul Waid, Dosen Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Gus Mus: Santri NU Jangan Reaktif Soal Keberatan Hari Santri
Gus Mus: Santri NU Jangan Reaktif Soal Keberatan Hari Santri Selasa, 20/10/2015 06:02 [image: Gus Mus: Santri NU Jangan Reaktif Soal Keberatan Hari Santri] Rembang, *NU Online* KH Ahmad Musthofa Bisri yang lazim disapa Gus Mus meminta seluruh santri di Indonesia untuk menjaga toleransi terhadap mereka yang tidak setuju dengan penetapan Hari Santri, yang jatuh pada 22 Oktober. Para santri, kata Gus Mus, tidak perlu terpancing emosi oleh perbedaan pendapat. Demikian disampaikan Gus Musa saat menerima kedatangan rombongan peserta Kirab Panji Resolusi Jihad sekaligus peringatan Hari Santri yang singgah di pesantren Raudlatut Tholibin, Leteh, Rembang, Senin (19/10) pagi. "Kalau ada kelompok lain kurang sependapat, santri sebaiknya tetap menghormati. Semisal belakangan dari kalangan Muhammadiyah tidak setuju penetapan Hari Santri Nasional, santri NU jangan menyerang balik.” Gus Mus berharap semua pihak mewaspadai kemungkinan adanya upaya pihak-pihak tertentu yang hendak membenturkan antara NU dan Muhammadiyah, dan memecah belah keduanya. “Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah merupakan aset kekayaan bangsa Indonesia. Jika kedua belah pihak dapat dibenturkan dan hancur, negara ini pun bisa hancur,” kata Gus Mus. Ia meminta, kedua belah pihak dapat menahan diri dan saling menghormati tentang adanya perbedaan perihal Hari Santri yang telah ditetapkan pemerintah dan diperingati oleh para santri NU. (*Ahmad Asmu'i/Alhafiz K*) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62920-lang,id-c,nasional-t,Gus+Mus++Santri+NU+Jangan+Reaktif+Soal+Keberatan+Hari+Santri-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Tokoh Nusantara) KH. Mustahal Ahmad, Surakarta - Jawa Tengah
KH Mustahal Ahmad, Perintis Tiga Banom NU [image: KH Mustahal Ahmad, Perintis Tiga Banom NU] 31 Januari 1935. Tepat pada momentum Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama ke-9, lahir seorang yang kelak menjadi tokoh pendiri IPNU, PMII, dan bahkan juga ikut membidani berdirinya IPPNU. Lahir dari pasangan seorang ulama terkemuka di Kota Solo, KH Masjhud dan Nyai Syuaibah, Mustahal lahir dan dibesarkan di Pesantren Al-Masjhudiyah Keprabon Solo yang diasuh ayahnya. Nama Mustahal sebenarnya merupakan nama kecil sang ayah, sebelum akhirnya berganti menjadi Masjhud kala belajar di Tanah Suci. Mustahal ini masih saudara seayah dengan Nyai Hj. Mahmudah Mawardi, tokoh perempuan yang pernah menjadi ketua PP Muslimat NU selama delapan periode (1950-1979). Kiai Masjhud yang dikenal sebagai seorang tokoh ulama ahli nahwu, dianugerahi lima putri (termasuk Mahmudah) dari istri pertama. Kemudian setelah istrinya wafat, ia mempersunting Nyai Syuaibah yang memperoleh keturunan Mustahal. Alhasil, meski masih satu saudara dengan Nyai Mahmudah, namun secara usia Mustahal ini terpaut cukup jauh. Salah satu putera Nyai Mahmudah, A Chalid Mawardi bahkan menjadi kawan Mustahal sewaktu kecil, juga teman mengaji di Pesantren Al-Masjhudiyah. “Chalid Mawardi dulu pernah dibondo (diikat) dan diludahi simbah (Kiai Masjhud), kena mata kanan,” kenang Nasirul Umam, salah satu putra Mustahal, saat NU Online berkunjung ke rumah peninggalan Mustahal beberapa waktu lalu. Tidak banyak yang dapat dikisahkan dari masa kecil Mustahal, hingga ia menginjak masa remaja, ketika ia ikut membidani berdirinya sejumlah badan otonom NU. Pendiri IPNU Pada tanggal 27 Desember 1953, Mustahal Ahmad dan Chalid Mawardi bersama sekelompok pelajar SMA di Surakarta, mendirikan satu wadah organisasi yang menghimpun para pelajar NU. Organisasi ini masih bersifat lokal dan bernama Ikatan Pelajar Nahdatul Oelama (IPNO) Surakarta. Selang dua bulan kemudian, atau tepatnya tanggal 24 Februari 1954, Mustahal mengikuti Konferensi Besar I Lembaga Pendidikan Ma’arif NU untuk merealisasikan gagasan pembentukan organisasi pelajar NU yang berskala nasional. Dalam pertemuan tersebut, turut hadir perwakilan dari Semarang dan Yogyakarta. Perlu menjadi catatan dan pelurusan sejarah, bahwa dari berbagai penelusuran penulis ke beberapa keluarga/tokoh pendiri IPNU-IPPNU di Kota Solo, nama H. Musthafa yang menjadi perwakilan dari Solo, sejatinya bernama Mustahal Ahmad. Namun, entah karena adanya kekeliruan penulisan nama ataupun faktor lain, sehingga dalam dokumen dan catatan sejarah pendiri IPNU yang disebut hanya M. Sufyan Cholil (Yogyakarta), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang). Pada kepengurusan pertama (1954-1955) PP IPNU di bawah kepemimpinan Tolchah Mansoer, Mustahal Ahmad masuk ke dalam kepengurusan, dan tercatat dengan nama Mustahal A.M. Selang setahun setelah ikut mendirikan IPNU, Mustahal kemudian juga merintis berdirinya organisasi kemahasiswaan NU di Kota Solo. Dirinya yang kala itu sudah menjadi mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Cokroaminoto Surakarta mendirikan Keluarga Mahasiswa Nahdatul Ulama (KMNU) Surakarta. Boleh dikatakan, KMNU ini adalah satu-satunya organisasi mahasiswa NU yang dapat bertahan sampai dengan lahirnya PMII pada tahun 1960. Penggerak Kaum Muda Rumah Mustahal yang berada di kompleks Pesantren Al-Masjhudiyah, sejak dahulu menjadi rujukan para santri untuk memperdalam ilmu agama, khususnya ilmu nahwu. Santri Kiai Masjhud tidak hanya berasal dari wilayah Soloraya, namun juga dari Jawa Timur dan wilayah lainnya. Bahkan, menurut penuturan salah satu tokoh di Solo, pada zaman itu para santri yang hendak khataman kitab Alfiyah, belum lengkap apabila belum sowan dan ditashih Kiai Masjhud. “Santri yang pernah mengaji dengan beliau banyak yang kemudian menjadi tokoh, seperti KH Maimoen Zubaer, Mbah Liem, KH Mukhtar Rosjidi, dan lainnya,” ungkap Nasirul Umam. Termasuk mantan Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri yang juga pernah menjadi muridnya, menyebut gurunya sebagai seorang ulama terkenal ahli nahwu. “Ilmu yang ia ajarkan mendapat jaminan mutu”, tulis Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat Dari Pesantren. Namun, semenjak Kiai Masjhud wafat pada tahun 1950-an, Al-Masjhudiyah kemudian menjadi pesantren putri dan diasuh oleh istri Kiai Masjhud, atau yang lebih dikenal sebagai Nyai Masjhud. Pada periode ini, banyak santri putri yang ikut mengaji di tempat tersebut, antara lain, Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Saimuri (kebetulan sekolah mereka terletak tak jauh dari Al-Masjhudiyah). Mereka inilah yang kelak menjadi para perintis berdirinya IPNU Puteri (sekarang bernama IPPNU,-Pen). Ketika itu, Kota Solo pun menjadi kantor sekretariat IPNU Puteri. Peran Mustahal dalam pendirian IPNU Puteri tersebut sangat vital, mengingat di samping tinggal di sekitar kompleks Pesantren, Mustahal juga mengemban
[keluarga-islam] Inilah Lima Alasan Pentingnya Hari Santri Nasional
Inilah Lima Alasan Pentingnya Hari Santri Nasional Selasa, 20/10/2015 17:14 [image: Inilah Lima Alasan Pentingnya Hari Santri Nasional] Jakarta, *NU Online* Awal kemunculan keputusan Hari Santri Nasional (HSN) adalah agar negara hadir dan memberikan perhatian, pengembangan terhadap santri dan pesantren dan juga memperhatian anggaran pendidikan. Pesantren didorong dapat hadir menjadi *driving force* yang dapat mengintegrasikan ideologi sosiologis dan politik kepada seluruh umat Islam Indonesia. Demikian disampaikan Dirjen Pendidikan Islam di Jakarta, Senin (19/10) seperti dikutip dari laman kemanag.go.id. Kamaruddin Amin menjelaskan, setidaknya ada 5 alasan penetapan Hari Santri Nasional yang akan jatuh tanggal 22 Oktober 2015 dan akan dicanangkan di Masjid Istiqlal, Jakarta. Pertama, sebagai pemaknaan sejarah Indonesia yang *genuine *dan *authentic *yang tidak terpisahkan dari episteme bangsa, di mana Indonesia tidak hanya dibangun dengan senjata, darah dan air mata, tetapi berdiri karena keikhlasan dan perjuangan para santri relijius yang berdarah merah putih, sebagaimana dengan sempurna dilakonkan Oleh Hasyim Asy ari, Ahmad Dahlan, A Hassan, Muhammad Nasir, Cokroaminoto, dan tokoh besar lainnya, Kedua, secara sosio politik mengkonfirmasi kekuatan relasi Islam dan negara. Indonesia dapat menjadi model dunia tentang hubungan Islam dan negara, Ketiga, meneguhkan persatuan umat Islam yang telah terafiliasi dan menyejarah dalam ormas islam dan parpol yang berbeda, perbedaan melebur dalam kesantrian yang sama, Keempat, *Mainstreaming *santri yang berpotensi termarjinalkan oleh derasnya arus globalisasi. “Penetapan hari santri tentu tidak hanya bersifat simbolik formalistik, tetapi dalam bentuk afirmasi realistis terhadap komunitas santri,” kata Kamaruddin Amin. Kelima, menegaskan distingsi Indonesia yang relijius demokratis atau upaya merawat dan mempertahakan religiusitas Indonesia yang demokratis di tengah kontestasi pengaruh ideologi agama global yang cendrung ekstrim radikal. “Islam Indonesia kontemporer yang demokratis, progresif, moderat, toleran, inklusif, apresiatif terhadap diversitas budaya dan agama tidak bisa dilepaskan dari kontribusi fundamental para santri,” ujar Kamaruddin Amin. Dalam penetapan HSN ini, Kamaruddin berharap pemerintah dan santri harus terus bersinergi mendorong komunitas santri ke poros peradaban Indonesia. Santri jangan hanya sebagai penonton, cemburu dalam dialektika sosial budaya ekonomi politik Indonesia. Pesantren sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan *tafaqquh fiddin *terus kiranya berkontribusi dan mencetak ulama, agaen perubahan yang menjadi garda terdepan dalam membelaNegara Kesatuan Republik Indonesia. Selian itu, pesantren kiranya dapat mempromosikan gerakan anti narkoba, gerakan anti radikalisme, gerakan santri *amar makruf nahi munkar*, hingga pada santri yang melek dunia perbankan, melek sain dan teknologi. “Jika sinegri ini dapat diwujudkan maka santri akan menjadi komunitas penting yang akan menopang Indonesia sejahtera di masa akan datang,” tutup Kamaruddin Amin. * Red: Mukafi Niam* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62928-lang,id-c,nasional-t,Inilah+Lima+Alasan+Pentingnya+Hari+Santri+Nasional-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Agus Sunyoto: Tak Ada 10 November Tanpa 22 Oktober
HARI SANTRI Agus Sunyoto: Tak Ada 10 November Tanpa 22 Oktober Senin, 19/10/2015 13:28 [image: Agus Sunyoto: Tak Ada 10 November Tanpa 22 Oktober] Jakarta, *NU Online* Sejarawan Agus Sunyoto menegaskan, penetapan Hari Santri Nasional bukan hanya sebagai agenda kepentingan kelompok tertentu sehingga dapat memecah belah umat. Tetapi untuk kepentingan seluruh bangsa Indonesia yang ketika itu digerakkan oleh Resolusi Jihad, yakni fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan bahwa membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu. “Ini konteksnya melawan Jepang dan tentara sekutu. Dari fatwa jihad Mbah Hasyim Asy’ari 22 Oktober 1945, pecahlah peperangan besar pada 10 November 1945 di Surabaya. Jadi, jika tak ada Resolusi Jihad yang digaungkan kaum santri, tak akan ada 10 November yang kita peringati sebagai Hari Pahlawan itu,” ujar Agus pada Rabu, (14/10) lalu. Dia juga menerangkan, kaum santri merupakan representasi bangsa pribumi dari kalangan pesantren yang sangat berjasa membawa bangsa ini menegakkan kemerdekaan RI dari tangan penjajah. Jika dirunut sejarahnya, kata Ketua PP Lesbumi NU ini, awalnya Indonesia dianggap negara boneka Jepang oleh Negara sekutu karena kemerdekaannya dinilai pemberian dari Nippon ini. Hal ini bisa dijelaskan, menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Hatta menyambangi Jepang untuk bertemu dengan Kaisar. “Rapat besar di Lapangan Ikada yang kini lapangan Monas, juga dijaga ketat oleh tentara Jepang. Belum lagi naskah teks Proklamasi yang diketik oleh orang berkebangsaan Jepang, Laksamana Meida,” terang Agus saat berkunjung ke Redaksi NU Online, Rabu (14/10) di Jakarta. Setelah Jepang kalah perang dengan Tentara sekutu atau NICA, lanjutnya, mereka berusaha kembali menjajah Indonesia dalam agresi militer kedua. Agus menjelaskan, ternyata tentara NICA dikagetkan oleh perlawanan orang-orang pribumi dari kalangan santri. “Dari sinilah mereka berpikir, bahwa kemerdekaan Indonesia bukan karena pemberian dari bangsa Jepang, melainkan betul-betul didukung oleh seluruh rakyat Indonesia,” jelas penulis buku Atlas Wali Songo ini. Sebelumnya, Presiden Jokowi sendiri telah menandatangani Keppres yang menyatakan tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Presiden bukan tanpa alasan dan kajian mendalam tentang hal ini. Karena kontribusi kaum santri dengan fatwa Resolusi Jihad mampu menggerakkan seluruh rakyat Indonesia dalam peperangan besar 10 November di Surabaya. *(Fathoni)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62904-lang,id-c,nasional-t,Agus+Sunyoto++Tak+Ada+10+November+Tanpa+22+Oktober-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Gus Sholah: Bagaimana Umat Islam Mengejar Ketertinggalan?
Gus Sholah: Bagaimana Umat Islam Mengejar Ketertinggalan? Kamis, 08/10/2015 07:00 [image: Gus Sholah: Bagaimana Umat Islam Mengejar Ketertinggalan?] Yogyakarta, *NU Online* Berdasarkan studi Rehman dan Askari, keislaman semua negara Muslim tidak tinggi. Dari empat indeks ukuran (economic islamicity, legal and governance islamicity, human and political islamicity, international relation islamicity), yang didasarkan pada Qur'an dan Sunnah, hasilnya keislaman rata-rata negeri Muslim berada pada nomor 137 dari 208 negara. Demikian disampaikan Pengasuh Pesantren Tebu Ireng Jombang KH Salahuddin Wahid dalam seminar bertajuk "Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan untuk Indonesia" yang diselenggarakan di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (6/10) pagi. "Umat Islam sedunia terus mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan keilmuan dan teknologi. Indonesia berada pada urutan 140. Karenanya, umat Islam harus berjuang keras untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan ketertinggalannya," tutur kiai yang kerap disapa Gus Sholah tersebut. Lebih lanjut Gus Sholah menyampaikan, bagaimana umat Islam harus berjuang mengejar ketertinggalan? Setiap keluarga dan individu Muslim harus melakukan transformasi menuju akhlak mulia. "Keluarga adalah benteng paling kokoh dan persemaian paling baik bagi penanaman nilai, budi pekerti, dan akhlak. Kaum Muslim hendaknya tidak hidup secara tertutup, tetapi terbuka, bermartabat dan setara," ujar adik Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid. Gus Sholah menjelaskan, ajaran Islam sesungguhnya begitu baik, tetapi dalam penerapannya amat kurang. Salah satu cara untuk menerapkan Islam secara baik adalah dengan menerapkan kejujuran. Islam amat mengutamakan kejujuran. "Seandainya memang kita menyadari belum berlaku jujur, hendaknya kita terus berjuang keras untuk menjadi orang-orang yang jujur," tegasnya. Menurutnya, untuk mengejar ketertinggalan, dibutuhkan tiga strategi, yakni demokrasi, akhlak, dan ilmu. Agar strategi bisa dilakukan diperlukan tujuh persyaratan, yaitu kestabilan politik, kemajuan ekonomi, pemahaman keagamaan inklusif, pemikiran keagamaan modern, mengurangi domestifikasi, kemandirian, dan tagaknya hukum. Seminar yang diikuti ratusan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini juga mengadirkan Haedar Nashir sebagai nara sumber. *(Suhendra/Mahbib)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62657-lang,id-c,nasional-t,Gus+Sholah++Bagaimana+Umat+Islam+Mengejar+Ketertinggalan+-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Perangai Santun Dorong Orang Peluk Islam
Perangai Santun Dorong Orang Peluk Islam Jumat, 16/10/2015 19:59 Jakarta, *NU Online* Kisah tentang futu Makkah atau pembukaan kota Makkah, yaitu saat Nabi Muhammad mampu mengalahkan kota Makkah, tetapi menjamin keamanan penduduknya dan memberi amnesti kepada kaum kafir yang sebelumnya selalu memerangi memberi pelajaran penting bahwa perangai santun membuat orang memeluk Islam. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam seminar internasional dan NU Cultural and Business Expo di Jakarta, Jum'at (16/10). Tak semua orang Quraisy percaya bahwa Rasulullah akan menjamin keamanan penduduk Makkah. Saat itu terdapat 16 orang yang melarikan diri, termasuk Ikrimah bin Abu Jahal. Mendengar berita itu, Rasulullah meminta sahabatnya untuk memanggil pulang orang-orang yang mengungsi dan memberi kepastian akan keamanan mereka. Melihat perilaku Rasulullah yang tidak sombong dengan kemenangannya itu, maka orang Makkah akhirnya masuk Islam semua, tanpa adanya paksaan. Namun demikian sangat disayangkan, setelah meninggalnya Rasulullah, sikap radikal kembali muncul yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menganggap Ali telah keluar dari Islam karena menurutnya tidak menggunakan hukum yang berasal dari Al-Qur'an, sehingga layak dibunuh. “Inilah bibit terorisme pertama dalam Islam yang muncul pada tahun 40 H,” ujarnya. Perilaku seperti Abdurrahman bin Muljam ini muncul kembali di era sekarang, yaitu yang dilakukan oleh kelompok ISIS yang membunuh orang dengan mengatasnamakan agama, padahal apa yang mereka lakukan jauh dari nilai-nilai agama yang diajarkan oleh Rasulullah. Kiai Said menambahkan ajaran Islam yang ramah mampu menyatu dengan budaya, asalkan budaya tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sebagaimana tradisi Islam Nusantara yang berkembang di Indonesia. *(Mukafi Niam)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62837-lang,id-c,nasional-t,Perangai+Santun+Dorong+Orang+Peluk+Islam-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Air Hangat untuk Wudhu atau Mandi
*Air Hangat untuk Wudhu atau Mandi* Pertanyaan: Assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh. Saya adalah pembaca Rubrik Bahsul masa'il NU yang dari penjelasan penjelasan itu sebagian saya pakai pedoman dalam amaliyah saya karena secara kebetulan persis yang kita alami sehari hari yang masih ragu... Nah yang saya tanyakan sekarang adalah: Bagaimana hukumnya air yang dihangatkan dengan pemanas air baik melelui listrik atau LPG, jika air tersebut saya gunakan mandi jinabat atau berwudhu? Apakah hukumnya syah apa tidak, atau sekedar makruh saja? Sebab yang terjadi di zaman modern ini tidak hanya di hotel saja yang bisa menyediakan air hangat buat mandi tetapi di rumah tangga pun sangat mudah peralatan itu didapatkan dan terjangkau bagi yang mau. Terima kasih dan wassalam. Hasan Basri – Surabaya Jawaban: Wa’aalaikum salam warahmatullah wabarakatuh. Saudara penanya yang kami muliakan. Mandi atau wudhu dengan menggunakan air hangat bagi sebagian besar orang dianggap sebagai cara yang paling cepat untuk mengusir rasa dingin yang menusuk tubuh. Selain itu, mandi atau wudhu dengan air hangat seolah menjadi terapi tersendiri bagi mereka yang sering diserang nyeri rematik atau sekadar untuk melepas rasa penat setelah menjalankan aktifitas seharian penuh. Hangatnya air yang membasuh tubuh juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dan memberikan efek rileks pada otot-otot maupun persendian manusia. Berawal dari sebuah hadis riwayat Aisyah ra yang menyatakan bahwa menggunakan air panas karena terik matahari dapat menyebabkan penyakit kusta, para ulama madzhab Syafi’i yang dipelopori oleh imam Ar-Rafi’i berpendapat tentang penggunaan air panas untuk bersuci baik mandi besar ataupun wudhu hukumnya makruh. Adapun hadis yang dimaksud adalah: ان رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم نهى عَائِشَة رَضِي الله عَنْهَا عَن المشمس وَقَالَ إِنَّه يُورث البرص Artinya: bahwasannya Rasulullah saw melarang Aisyah ra untuk menggunakan air musyammasy (air panas karena terik matahari) dan mengatakan bahwasannya air tersebut dapat mengakibatkan penyakit barash (kusta). Saudara Hasan Basri yang kami hormati. Hadis diatas memang tidak dikategorikan oleh para ulama hadis dalam tingkatan shahih, namun hadis ini dapat digunakan sebagai acuan untuk meraih kesempurnaan dalam beramal (fadhail al-a’mal). Oleh karena itulah imam ar-Rafi’i menjadikan hadis ini sebagai acuan penetapan hukum bersuci dengan menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya makruh. Pandangan ini tentu berbeda dengan ketiga madzhab lain (selain madzhab Syafi’i) yang tidak menghukumi makruh atas penggunaan air panas karena terik matahari untuk bersuci. Pendapat dari salah seorang imam besar dalam madzhab Syafi’i ini adalah bentuk kehati-hatian dalam menjalankan syariat dan ternyata selaras dengan pandangan para dokter yang menyebutkan adanya efek samping penggunaan air panas seperti munculnya penyakit kulit dan penyakit-penyakit lain. Sejatinya hukum kemakruhan dalam madzhab Syafii ini tidak serta merta disepakati secara bulat, diantara mereka masih terdapat perbedaan pendapat. Imam Nawawi tidak sepakat dengan pendapat yang menganggap bahwa bersuci dengan air panas akibat terik matahari hukumnya makruh. Beliau berpendapat bahwa menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya boleh. Begitu juga dengan air panas atau hangat karena alat pemanas listrik atau kompor gas. Para ulama yang berpandangan mengenai kemakruhan penggunaan air panas atau hangat tersebut juga memberikan banyak catatan sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’i seperti Al-Bujairaimi, Kifayat al-Ahyar, Al-Bajuri dan lain-lain. Diantara catatan yang menjadi titik tekan adalah apabila dalam penggunaan air tersebut berdampak negatif atau berpotensi negatif bagi penggunanya, seperti penderita jenis penyakit tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan air panas atau akan bertambah sakit jika menggunakan air hangat atau perubahan suhu tubuh yang begitu drastis pasca mandi maupun wudhu. Hukum kemakruhan ini juga berlaku pula pada air yang sangat panas dan air yang sangat dingin meskipun dengan perantara selain matahari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bujairimi ‘Ala al-Khatib: فَالْجُمْلَةُ ثَمَانِيَةٌ كَمَا فِي شَرْحِ م ر. وَهِيَ الْمُشَمَّسُ وَشَدِيدُ الْحَرَارَةِ وَشَدِيدُ الْبُرُودَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ ثَمُودَ إلَّا بِئْرَ النَّاقَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ قَوْمِ لُوطٍ، وَمَاءُ بِئْرِ بَرَهُوتَ، وَمَاءُ أَرْضِ بَابِلَ، وَمَاءُ بِئْرِ ذَرْوَانَ. اهـ Artinya: “Jumlah air yang makruh digunakan ada delapan sebagaimana terdapat dalam penjelasan Muhammad Ar-Ramli yaitu air musyammas (panas karena terik matahari), air sangat panas, air sangat dingin, air kaum tsamud, air kaum Luth, air sumur Barahut, air Babilonia, dan air sumur Dzarwan.” Saudara penanya yang dirahmati Allah. Inti sari dari jawaban kami adalah apabila dalam penggunaan air hangat tersebut berpotensi menimbulkan
[keluarga-islam] (Hikmah of the Day) Kucing Malang Pendatang Rahmat Allah
Kucing Malang Pendatang Rahmat Allah Jasad Syekh Abu Bakr Asy-Syibli memang terkubur dalam tanah sejak tahun 946 silam. Tapi nasihat santri Imam Junaid al-Baghdadi ini seakan terus mengalir kepada generasi-generasi sesudahnya. Salah satunya lewat kisah dalam mimpi, sebagaimana terekam dalam kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani. Dalam sebuah mimpi seeseorang, Imam Asy-Syibli yang telah wafat itu ditanya Allah, “Kamu tahu, apa yang membuat-Ku mengampuni dosa-dosamu?” “Amal shalihku.” “Bukan.” “Ketulusanku dalam beribadah.” “Bukan.” “Hajiku, puasaku, shalatku.” “Juga bukan.” “Perjalananku kepada orang-orang shalih dan untuk menimba ilmu.” “Bukan.” “Ya Ilahi, lantas apa?” tanya Imam Asy-Syibli. Allah kemudian menjawabnya dengan mengacu pada kisah pertemuan Imam Asy-Syibli dengan seekor kucing di jalanan kota Baghdad. Kucing kecil itu loyo oleh ganasnya hawa dingin, menyudut ke suatu tempat, berharap kondisi bisa membaik. Imam Asy-Syibli yang tergerak hatinya lantas memungut binatang malang itu, kemudian menghangatkannya di dalam jubah yang ia kenakan. “Lantaran kasih sayangmu kepada kucing itulah, Aku memberikan rahmat kepadamu.” Cerita hidup para sufi kerap menyibak hal-hal istimewa dari perkara-perkara yang tampak remeh. Sepele di mata manusia tak selalu rendah menurut Tuhan. Kisah di atas seolah mengajari kita tentang pentingnya sikap tawaduk atas segenap kesalehan ibadah betapapun hebatnya; juga keutamaan melembutkan hati dan mengulurkan bantuan, termasuk kepada binatang, apalagi manusia. [] (Mahbib) -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Azyumardi: Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (3)
Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (3) Oleh: Azyumardi Azra Christianity and Islam Clearly Can and Should Co-Exist. Inilah salah satu kesimpulan pokok dialog publik Kristianitas-Islam di enam kota utama Australia (1-1/9/2015). Banyak tantangan yang dihadapi umat manusia di muka bumi, bakal dapat terselesaikan --atau setidaknya terkurangi-- jika umat kedua agama ini bahu membahu dalam hidup berdampingan secara damai. Bayangkan penganut Kristianitas dengan beragam denominasi dan gereja berjumlah sekitar 2,2 miliar jiwa. Sedangkan, umat Muslimin mencapai lebih dari 1,6 miliar orang --juga dengan beragam aliran dan mazhabnya. Penganut kedua agama seyogianya meningkatkan pemahaman dan praksis untuk penguatan kebajikan dan kemaslahatan bersama (common good). Nabi Muhammad SAW, misalnya, mencontohkan pengembangan common good dengan menerapkan Konstitusi Madinah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah ketika menjadi pemimpin negara Kota Madinah. Melalui Piagam Madinah (al-mitsaq al-madinah), Nabi Muhammad memberi kebebasan beragama dan perlindungan atas nyawa dan harta benda kaum Yahudi --by extension juga penganut Kristianitas. Sangat disayangkan dalam sejarah Islam masa pasca Nabi Muhammad pengembangan kemaslahatan bersama itu baik intra maupun antaragama sering terganggu sektarianisme aliran dan mazhab. Keadaannya kian parah dengan kebangkitan kembali ‘kabilahisme’. Sektarianisme keagamaan dan kabilahisme adalah penyebab utama konflik dan perang yang terus berlanjut sampai sekarang dalam masyarakat dan negara Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan, misalnya. Konflik baik intra maupun antaragama dapat dicegah dengan dialog di antara berbagai pemangku kepentingan, khususnya kepemimpinan agama. Melalui upaya ini, pemahaman dan respek timbal balik lebih baik dapat dikembangkan dan pada saat yang sama persahabatan dapat tercipta di antara mereka. Berhadapan dengan berbagai masalah global yang sekarang dihadapi umat manusia, pendeta Haire dan penulis Resonansi ini maupun audiens lintas agama dalam ‘Scholars’ Forum’ di Sydney (11/9/15) bersepakat bahwa Islam dan Kristianitas tetap relevan untuk menjawab tantangan modernitas dewasa ini dan ke depan. Masalah serius seperti perubahan iklim, perusakan lingkungan hidup, konsumerisme dan hedonism, dan dekadensi moral memerlukan respons dan aksi umat beragama. Karena itu, umat kedua agama mesti membangun atau merekat kembali solidaritas (ukhuwah) internal umat yang beragam. Penulis Resonansi ini dalam dialog publik di Melbourne dan Canberra yang diikuti audiens antusias yang bukan hanya Kristiani dan Muslim, tapi juga penganut agama Yahudi, menekankan pentingnya membangun atau memperkuat tasamuh atau toleransi di antara aliran, mazhab atau denominasi berbeda dalam satu agama. Hanya dengan tasamuh bisa tercipta persaudaraan yang sangat penting dalam menyelesaikan pertikaian, konflik, dan kekerasan internal. “We must first put our house in order in order to be able to create internal peace that can in turn be spread out to the others”. Selama konflik dan bahkan perang masih terjadi seperti di Suriah-Irak dengan ISIS atau di Yaman dengan Hauthi dan Arab Saudi, selama itu pula tragedi kemanusiaan terus terjadi. Profesor Haire juga melihat perlunya peningkatan dialog internal berbagai denominasi dan gereja yang bukan tidak sering terlibat dalam kontestasi dan pertarungan menyangkut umat dan pemerintahan. Sejarah Australia, misalnya, sangat diwarnai kontestasi dan perebutan pengaruh di antara Gereja Anglikan dengan Gereja Katolik. Keadaan ini sedikit banyak mempengaruhi hubungan antargereja atau antardenominasi di benua Kanguru. Karena itu, Pendeta James menyarankan pentingnya penguatan hal-hal yang sama atau komonalitas (commonality) di antara kedua agama dan para penganutnya. Komonalitas sangat penting untuk mengembangkan persaudaraan sebangsa yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ukhuwah wathaniyah. Reverend James memandang, di antara hal-hal penting yang membuatnya tergerak (moved) ketika melihat Islam adalah penekanan kuat pada egalitarianisme dan moral individual-komunal (akhlak). Kedua hal ini sangat penting dalam meresponi ketidaksetaraan umat dan kelonggaran moral individual-komunal dalam masyarakat mayoritas Kristiani seperti Australia. Pada pihak lain, kaum Muslimin di Australia atau negara lain di mana mereka minoritas (serta di negara-negara di mana mereka mayoritas, seperti Indonesia) mesti kembali kepada akhlak mulia yang sangat penting untuk membangun kehidupan antarmanusia lebih baik. Hanya dengan keseimbangan yang diajarkan dalam akhlaqul karimah kaum Muslim dapat hidup lebih serasi dalam masyarakat majemuk. Selain itu, kaum Muslim perlu meningkatkan sensitivitas pada realitas sosial-budaya dan politik lokal di mana mereka menetap. Mereka sepatutnya menjalankan kearifan lokal yang terkenal di Indonesia, misalnya, ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ yang tidak berarti mengorbankan
[keluarga-islam] Islam Nusantara Gabungan Etika dan Pergumulan Budaya
Islam Nusantara Gabungan Etika dan Pergumulan Budaya Ahad, 18/10/2015 21:00 [image: Islam Nusantara Gabungan Etika dan Pergumulan Budaya] Jepara, *NU Online* Pimpinan Anak Cabang IPNU-IPPNU Kecamatan Mlonggo Jepara bekerja sama dengan SMK Az Zahra Mlonggo Jepara menyelenggarakan Seminar “Islam Nusantara di Tengah Ancaman Radikalisme” di aula SMK, Kompleks Pesantren Az Zahra, Jalan Raya Jepara-Bangsri Km. 12 Sekuro Mlonggo Jepara, Sabtu (17/10) pagi. Dalam kegiatan yang dihadiri puluhan pelajar itu salah satu narasumber KH Nuruddin Amin, Pengasuh Pesantren Hasyim Asyari Bangsri Jepara menegaskan, Islam Nusantara yang menjadi tema besar dalam Muktamar ke-33 NU ialah penggabungan Islam sebagai etika dan Islam dalam pergumulan budaya. Islam, menurut pria yang akrab disapa Gus Nung ini, merupakan ajaran yang bersifat kaffah, total dan menyeluruh. Semua ketentuan beragama baik itu fiqih, tasawuf dan sebagainya diyakini warga NU ialah implementasi dari ajaran Aswaja. Sedangkan Islam sebagai pergumulan budaya, lanjutnya, sudah termaktub dalam fiqih. Sebab fiqih selalu sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Hal ini sejalan dengan alhukmu yadûru ma‘a illatihi. Sehingga tradisi yang berkembangkan di tengah masyarakat, tegasnya, sudah dilegitimasi dalam fiqih. Misalnya, orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji meski berangkat ke tanah suci tetapi tidak harus menjadi “Arab”. “Haji ialah nilai etik bagaimana kita berserah diri total kepada Allah. Mentauhidi Allah secara total,” terangnya. Sekembalinya ke tanah air, misalnya, tidak mesti jamaah memakai jubah dan peci putih, tetapi bisa menggantinya dengan mengenakan blangkon. Pada ranah itu, kata Gus Nun, kita harus bisa membedakan antara Islam dan kultur arab. Sunan Kudus yang melarang masyarakat menyembelih sapi ialah strateginya untuk menghargai kebudayaan. Sehingga, sebagai pengikut Islam di Indonesia tidak larut dengan kultur Arab. “Arab memiliki kultur, kita (Indonesia) juga mempunyai budaya sendiri. Misalnya, blangkon peci hitam dan sejenisnya merupakan ciri khas dari kita,” imbuhnya. Pembicara lain, Hamzah Sahal menerangkan, Islam Nusantara bukanlah hal yang baru. Islam Nusantara, menurutnya, bisa dilakukan dengan menikmati karya-karya ulama Nusantara. Hamzah menyimpulkan, salah satu gudangnya Islam Nusantara tidak lain adalah Jepara. Sosok Kiai Saleh Darat dalam khazanah Islam Nusantara pernah menerjemah Al-Qur’an dalam bahasa Jawa atas saran dari RA Kartini meski penerjemahannya tidak sampai rampung. Selain karya ulama yang mumpuni, Jepara juga memiliki institusi yang kuat. Sebagai proses penelusurannya menulis pesantren tua di Jawa, aktivis muda NU itu menyebut Pesantren Balekambang Jepara berada di urutan pesantren tertua ke-23 yang usianya lebih tua jika dibandingkan dengan pesantren Tebuireng, Krapyak dan Mranggen. Sehingga sebagai warga Jepara tidak hanya mempopulerkan ukirannya, RA Kartini sebagai pejuang perempuan tetapi juga mempopulerkan Kartini sebagai muslimah yang dengan gagasan brilian. “Alhasil tugas pesantren maupun warga NU ialah nguri-nguri warisan ulama terdahulu agar niat-niat jahat kelompok yang ingin menggembosi tradisi kita menyingkir semua. Radikalisme juga surut dengan sendirinya,” kata dia. Kaum santri, kaum sarungan harus selalu memberikan sumbangsh lebih terhadap sejarah panjang berbangsa, bernegara dan ber-Nahdlatul Ulama (NU). Kegiatan juga dihadiri Dwi Suryoatmojo, Peneliti Madya Kementerian Pertahanan yang dalam paparannya menitikberatkan pemuda harus selalu membangkitkan semangatnya untuk mencegah radikalisme. Selain Seminar kegiatan yang berlangsung 2 hari ini juga diisi dengan Latihan Kader Muda (Lakmud) dan Pentas Padang Bulan.* (Syaiful Mustaqim/Mahbib)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62886-lang,id-c,nasional-t,Islam+Nusantara+Gabungan+Etika+dan+Pergumulan+Budaya-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 24 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahumma inni a'uudzu bika minal 'ajzi wal kasali wal jubni wal harami wal bukhli, wa a'uudzu bika min 'adzaabil qabri, wa a'uudzu bika min fitnatil mahyaa wa mamaati. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari lemah, malas, pesimis (cemas), tua renta dan kikir. Aku berlindung pula dari adzab kubur kepada-Mu. Serta aku berlindung kepada-Mu dari cobaan hidup dan cobaan berupa siksa sesudah mati. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 06 Muharram 1437H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahumma inni a'uudzu bika min syarri maa 'amiltu wa min syarri maa lam a'mal. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akibat buruk amalanku dan dari akibat buruk karena aku tidak berbuat. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] 22 Oktober dan Masa Depan Kaum Santri
22 Oktober dan Masa Depan Kaum Santri Oleh: Ahmad Naufa Kh. F* Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Keppres tersebut ditandatangani Jokowi. Meski demikian, menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, 22 Oktober tidak menjadi libur nasional (Kompas, 15/10). Keputusan tersebut dinilai untuk menghargai jasa para santri yang terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Kemudian terkait pemilihan tanggal 22 Oktober disebut oleh Ketum PBNU Said Aqil Siroj karena pernah ada peristiwa penting di masa lalu. Ketika zaman mempertahankan kemerdekaan, terbit fatwa jihad bagi para santri di tanggal tersebut.Pada tanggal itu, keluar fatwa resolusi jihad Hadratussyaikh Hasyim Asyari dimana membela tanah air hukumnya fardlu 'ain dan yang membantu Belanda jadi kafir (Detikcom, 15/10) Penetapan ini menjadi kado indah bagi kaum santri dan institusi pesantren yang semenjak masa otoritarianisme Orde Baru tak dianggap dan bahkan cenderung dimarginalkan. Selain diacuhkan pemerintah dan tidak diakui kontribusinya, kaum santri juga banyak dihapus sejarahnya. Banyak catatan sejarah yang tidak tertulis sebagaimana faktanya. Kini, pasca reformasi dan masuk pada era demokrasi langsung, peran santri mulai menemukan momentumnya. Berbagai acara akan digelar untuk memperingati Hari Santri, di antaranya Kirab Hari Santri Nasional, 16-22 Oktober, berangkat dari Tugu Pahlawan Surabaya melewati 30 kabupaten/kota sepanjang jalur Pantura dan berakhir di Tugu Proklamasi Jakarta. Sepanjang tanggal itu juga dilaksanakan Ekspedisi Pelayaran Hari Santri Nasional menggunakan kapal perang yang diikuti 1.000 santri dengan melibatkan NU, badan otonom, pesantren, dan ormas-ormas Islam. Dalam ekspedisi tersebut akan diselenggarakan apel lintas laut Jakarta-Surabaya-Bali. Kegiatan lainnya adalah ziarah, bahtsul masail, istighotsah, lailatul ijtima, pengobatan gratis, dan pagelaran seni. (Antara, 06/10) Jika flash back ke sejarah, para santri atas nama bangsa Indonesia dipimpin oleh KH Wahab Chasbullah atas restu KH Hasyim Asy’ari melawan pasukan NICA yang kembali menjajah dan menguasai RI. Resolusi Jihad juga diserukan dan secara substansif dibacakan oleh Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api dan membakar semangat arek-arek Surabaya. Akhirnya, Brigjen Mallaby selaku Komandan NICA tewas di tangan seorang santri dari Pesantren Tebuireng bernama Harun dalam peperangan besar tanggal 10 November 1945 di Surabaya. Meski dalam peperangan merebut kemerdekaan telah gugur sebanyak 20 ribu pahlawan yang terdiri dari santri dan rakyat, bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu. Dalam masa peperangan menegakkan kemerdekaan, ada sebanyak 20 Batalyon dari 64 Batalyon yang dipimpin oleh para kiai pesantren. Inilah peran besar kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan RI yang termotivasi dari fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 (NU Online, 15/10). Menyikapi penetapan itu, ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Nusron Wahid mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. GP Ansor menyambut positif keputusan Presiden Jokowi tersebut. Hal itu, menurutnya, merupakan bukti keberpihakan Presiden Jokowi terhadap masyarakat santri. Dengan ditetapkannya hari santri, berarti eksistensi santri diakui di Indonesia. (Detikcom, 14/10). Meski demikian, lanjut Nusron, setelah ditetapkannya hari santri, perjuangan belum selesai. Masih ada hak-hak pendidikan santri yang harus dipenuhi, seperti BOS untuk pesantren salafiyah dan Kartu Indonesia Pintar untuk para santri. Menurutnya, yang lebih penting lagi pengakuaan persamaan (muadalah) pondok pesantren salafiyyah dan sistem pendidikan nasional. Sampai sekarang, ijazah pesantren salafiyah dengan kurikulum kitab kuning dan klasik yang derajat keilmuwannya sangat tinggi tidak diakui. Tetapi, lanjut Nusron, malah kurikulum madrasah modern dan IAIN yang sangat dangkal dan parsial diakui dalam sistem pendidikan nasional. Santri pasca penetapan hari santri Pasca penetapan Hari Santri, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh pemerintah –selaku penyelenggara negara– dan masyarakat pesantren atau kaum santri itu sendiri. Pertama, pemerintah tentu harus menyiapkan kebijakan yang berpihak kepada santri, utamanya dalam program dan bantuan infrastruktur yang menunjang pesantren. Selain itu, pengembangan skill, pengetahuan ilmu umum santri serta manajeman modern pesantren perlu diperhatikan, tanpa menghilangkan tradisi dan budaya salafiyyah. Hal ini, selain menurut Gus Dur pesantren adalah subkultur Indonesia, ke depan pesantren juga diharapkan mampu menjadi trendsetter pendidikan Islam dunia. Kedua, pihak santri atau masyarakat pesantren itu sendiri. Dengan adanya penetapan Hari Santri tentunya patut dirayakan sebagai manifestasi rasa syukur. Namun demikian, jangan
[keluarga-islam] Cak Nun: Kita ini Penggembala atau Gembalaan
Kita ini Penggembala atau Gembalaan Oleh: Emha Ainun Nadjib Berbicara tentang kepemimpinan, ada idiom-idiom budaya Jawa karya para Wali yang bisa dipegang. Falsafah kepemimpinan dalam angon bebek (menggembalakan bebek) atau angon wedhus (menggembala kambing), misalnya, si penggembala selalu berada di belakang. Posisi ini identik dengan kepemimpinan dalam shalat berjamaah, yakni para perempuan selalu berada di belakang. Perempuan adalah penggembala dalam konteks pemimpin yang angon (menggembala) kaum laki-laki yang berada di depannya. Falsafah kepemimpinan bocah angon (penggembala) tersebut, dapat kita temui di tembang Ilir-ilir. Tugas yang sedang diemban oleh bocah angon dalam tembang Ilir-ilir tersebut, adalah memanjat pohon belimbing yang bergigir lima. Dalam situasi sekarang dapat diartikan memanjat pohon reformasi, pohon demokratisasi, atau apapun istilah yang kita pakai. Lunyu-lunyu yo penekno. Selicin apa pun, terus harus kita panjat. Jatuh melorot lagi, naik lagi, melorot lagi, naik lagi. Bocah angon yang harus memanjat itu pemerintah dan semua orang. Untuk pemerintah: penekno, panjatkan. Memanjatkan reformasi untuk kepentingan rakyat. Tapi kalau nggak bisa, ya lagu itu untuk rakyat: peneken. Panjatlah sendiri. Sementara upayakan kemandirian dan mengurangi semaksimal mungkin ketergantungan terhadap perekonomian makro yang dikelola oleh pemerintah. Tingkatkan etos kerja dan watak swasta. Tingkatkan akses ke alam dan jasa.” Adapun blimbing bergigir lima, maknanya boleh dimultitafsirkan, bisa Pancasila, lima rukun Islam, bisa shalat lima waktu, yang pasti bukan mo-limo: maling (mencuri), madat (narkoba), minum (mabuk), madon (melacur), dan main (judi). Lantas, apa makna bocah angon yang selalu berada di belakang? Begitu pula dengan para wanita yang selalu berada di belakang ketika shalat berjamaah? Makna simboliknya, sekali lagi, adalah bahwa kaum wanita sebenarnya sedang angon atau menggembalakan kaum laki-laki, sebagaimana dalam shalat jamaah itu. Bayangkan bila format dalam shalat itu dibalik, yakni perempuan di depan, sebagai imam, dan kaum laki-laki di belakang sebagai makmum. Bisa dipastikan suasananya akan menjadi kacau balau, karena para makmum—yang terdiri dari kaum laki-laki—tidak bisa khusyu’ dalam shalatnya, lantaran sibuk memandangi kaum perempuan yang di depannya. Begitulah, perempuan, pada hakikatnya adalah pemimpin. Bocah angon bersedia berada di belakang. Artinya kita membutuhkan manusia yang tidak rakus kekuasaan, mau menjadi rakyat biasa, mau berada di belakang-belakang saja. Manusia yang punya kebesaran jiwa sebagai manusia, sehingga meskipun ‘hanya’ menjadi manusia biasa, ia tidak berpenyakit jiwa apa-apa. Bukan manusia kerdil yang memerlukan jabatan, otoritas politik, dan popularitas untuk merasa dirinya besar. Jika sudah matang ‘ke-belakang-an’nya seperti ini, justru orang macam inilah yang paling siap tampil di depan. Ciri bocah angon yang lain adalah pada habitat budaya anak gembala. Egaliter, bersahaja, siap tidur di bawah pohon, siap ber-geluteh dengan kotoran kerbau. Bukan priyayi feodal, bukan anak Mami yang necis, bukan hedonis yang gaya hidupnya memerlukan pengorbanan ekonomi orang banyak. Orang semacam ini yang paling siap berpuasa dari KKN, nothing to loose untuk tidak maling uang negara. Tapi mungkin yang kita miliki sekarang belum sebagai bocah angon. Yang kita punya bukan penggembala kerbau, melainkan kerbau. [] (Dokumentasi Progress: Tulisan Cak Nun pada kolom Refleksi Harian Republika, 29 Juli 2001) -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Tegaknya Pancasila Tanggung Jawab Seluruh Anak Negeri
Tegaknya Pancasila Tanggung Jawab Seluruh Anak Negeri Ahad, 04/10/2015 07:00 [image: Tegaknya Pancasila Tanggung Jawab Seluruh Anak Negeri] Kendal, NU Online Pengajar PPTQ Al Istiqomah Weleri-Kendal Shuniyya Ruhama menyatakan, Pancasila bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) sudah jelas namun demikian merupakan tanggung jawab seluruh anak negeri. "Tanggal 1 Oktober biasa diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. Asal mula peringatan hari tersebut adalah ketika Pancasila berhasil diselamatkan dari kelompok dan golongan yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Dalam hal ini, waktu itu adalah komunis," ujar Shuniyya, di Kendal, Jawa Tengah, Sabtu (3/10). Ia melanjutkan, keabsahan Pancasila sebagai sebuah dasar negara merupakan harga mati. Sudah terbukti dengan pernyataan langsung dari para tokoh NU yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitas keilmuan dan ketinggian khidmahnya untuk bangsa Indonesia. Yang Mulia Simbah Kiai Haji Bisri Syansuri, Pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Jombang, pendiri NU, sekaligus Rais Aam PBNU masa khidmah 1971-1980, memberikan pernyataan: "Sekarang saya sudah mengerti apa itu Pancasila. Sekarang bila ada orang Indonesia, orang Islam, orang NU, yang anti Pancasila berarti ia anti padaku." "Tak kalah berkharismanya, Yang Mulia Simbah Wali Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin Situbondo terang-terangan dhawuh (bertitah): " Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia, harus ditaati, harus diamalkan, harus tetap dipertahankan dan dijaga kelestariannya." Dan tak ketinggalan Yang Mulia Simbah Kiai Haji Ahmad Shiddiq, sesepuh Majlis Dzikrul Ghofilin sekaligus Rais Aam PBNU masa khidmat 1984-1991 dengan lemah lembutnya bertitah: "Ibarat makanan, Pancasila yang sudah kita kunyah selama 36 tahun kok sekarang dipersoalkan halal haramnya." Karena itu, demikian Shuniyya melanjutkan, dari sini jelaslah, bahwa Pancasila merupakan harga mati yang wajib dipertahankan oleh seluruh anak negeri. "Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, kita wajib waspada dengan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dari segala penjuru. Baik bahaya laten maupun manifestasinya. Baik dari arus kanan maupun arus kiri, baik dari barat maupun timur. Entah itu komunis, kapitalis, liberal, takfiri wahabiserta ideologi apapun yang hendak meruntuhkan kejayaan negeri ini. Pancasila Sakti, NKRI Harga Mati," ujar dia lagi. (Gatot Arifianto/Mahbib) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,62587-lang,id-c,daerah-t,Tegaknya+Pancasila+Tanggung+Jawab+Seluruh+Anak+Negeri-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Haji Mabrur, Para Penegak Kehendak Tuhan
Haji Mabrur, Para Penegak Kehendak Tuhan Oleh: Nihayatul Wafiroh Sistem ritual dan sistem nilai selalu inheren di dalam setiap agama. Islam memiliki dua sistem tersebut dan menganggap keduanya sama-sama penting. Agama yang hanya dibangun di atas sistem ritual hanya akan menjadikan agama hampa dan semu. Sebab sistem nilai itulah yang pada hakikatnya akan menentramkan dan menunjukkan ‘jalan yang benar’ bagi pemeluk agama. Haji merupakan salah satu sistem ritual dalam Islam dan menjadi rukun dalam Islam yang mengandung nilai-nilai. Pelaksanaan haji tanpa menyelami nilai-nilai haji hanya akan menjadikan haji sebagai tamasya biasa, sehingga tidak memberikan pengaruh apa-apa yang kuat sepulang haji kepada pelaku haji tersebut. Maka janganlah heran jika banyak orang yang sudah haji, tetapi masih melakukan korupsi, masih membuat keputusan yang tidak adil, masih suka mendhalimi dan lain-lain. Itu semua akibat dari tidak adanya penghayatan, transformasi dan kontekstualisasi terhadap nilai-nilai yang ada di dalam ritual haji. Singkatnya, haji diharapkan dapat membekas di dalam jiwa pelakunya melalui upaya-upaya peresapan nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya. Tetapi, nilai-nilai yang diresapi itu juga bisa melahirkan dampak positif dalam bentuk hasil nyata yang diaktualisasikan ke dalam bentuk amaliah positif kehidupan nyata. Sebab, kata Farid Esack dalam On Being a Muslim, di dalam haji (perjalanan ke Makkah), terdapat pertemuan akar umat Islam yakni akar geneologis, akar religius dan akar spiritual. Akar geneologis karena Adam dan Hawa bertemu di padang Arafah, yang terletak di Makah, setelah perpisahan mereka dengan surga. Akar religius karena Gua Hira, tempat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu, merupakan aspek fisik permulaan Islam sebagai agama. Dan terakhir akar spiritual karena Ka’bah merupakan simbol kehadiran Allah. Hampir setiap jenis ritual memuat simbol-simbol, begitu juga dengan ibadah haji. Untuk menyelami dan menghayati nilai-nilai haji, pelaku haji mau tidak mau harus mampu menyingkap makna di balik simbol-simbol haji. Di antara simbol-simbol haji yang perlu dimaknai, paling tidak, adalah ka’bah, ihram, sa’i, dan wukuf di ‘Arafah. Ihram adalah menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan lembaran kain putih tak berjahit. Menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Tak heran jika Gus Mus—panggilan akrab KH. Mustofa Bisri—seringmenyebut haji sebagai gladi resik kematian. Apa sebenarnya makna pakaian ihram warna putih itu? Para pelaku haji (hujjaj) adalah tamu-tamu Allah (duyufullah). Meraka mendatangi baitullah (Rumah Allah) dengan berpakaian putih. Putih adalah simbol kesucian yang utuh. Oleh karena itu, menghadap kepada-Nya harus dilandasi kesucian hati dan niat, sehingga tidak ada tendensi apapun kecuali hanya memenuhi panggilan Allah. Semua hujjah diharuskan menggunakan pakaian ihram yang berwarna putih. Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah, tama-tamu itu diperlakukan sama, tidak ada perbedaan. Semuanya berpakaian putih, kaya-miskin, tua-muda, semuanya berstatus sama. Di dalam berpakaian ihram, hujjaj pun dikenai peraturan yang ketat, misalnya, tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh memotong atau mencabut tanam-tanaman, tidak boleh menggunakan parfum, tidak boleh bersetubuh, tidak boleh melakukan kekerasan dan lain-lain. Larangan-larangan itu pada hakikatnya mengajarkan hujjaj tentang pembatasan konsumsi, pengekangan hawa nafsu dan menjauhi tamak. Sebab kata ihram itu sendiri memiliki makna batas, larangan atau tabu. Sa’i, atau lari-lari kecil di antara bukti Safa dan Marwa merupakan dinamika hidup, yakni sebuah usaha tak kenal lelah demi mempertahankan hidup, sebagaimana Hajar ketika kehausan dan tidak menemukan adanya tanda-tanda air di sekitarnya. Dia tidak hanya duduk diam menunggu mukjizat datang, namun dia berlari-lari dari bukit Safa ke Marwa hingga akhirnya mendapatkan sumber mata air. Sa’i dilakukan secara bolak-balik hingga tujuh kali dimulai dari bukit Safa—Safa artinya cinta kasih kepada sesama—dan diakhiri di bukit Marwa (Muruwwah), yang berarti bentuk ideal kemanusiaan. Sehingga pada hakikatnya Sa’i mengajarkan manusia untuk mencintai dan menyayangi sesama hingga muncullah kedamaian kemanusiaan yang ideal. Simbol penting lainnya adalah wukuf di Arafah. Seperti yang diungkapkan oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang. Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Mahaesa. Tidak ada perbedaan sama sekali. Yang ada, persamaan dari sisi
[keluarga-islam] (Buku of the Day) Kisah Ulama, Berjuang dan Mengawal Bangsa
Kisah Ulama Berjuang Mengabdi Bangsa [image: Kisah Ulama Berjuang Mengabdi Bangsa] *Judul: Kisah Ulama, Berjuang dan Mengawal Bangsa * *Penulis : A. Khoirul Anam (Ed.)* *Penerbit: Pustaka Compass dan NU Online* *Terbitan: I, Juli 2015* *Tebal: x + 285 hlm* *ISBN : 978-602-72621-0-2* Tersebutlah kisah, para pemberani dari barisan laskar-laskar perjuangan bergerak menuju Parakan. Ada Hizbullah, Sabillillah, Barisan Pemberontak Rakyat, Barisan Banteng, dan Laskar Pesindo. Ada apa di Parakan? Barisan Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur. Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, dan Laskar Pesindo dibawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi, bergerak ke sebuah kota kawedanan di kaki dua Gunung Penganten Sundoro Sumbing. Parakan terkenal dengan bambu runcingnya yang ampuh. Bambu runcing adalah sebatang bambu berkisar panjangnya kurang lebih dua meter yang dibuat runcing pada salah satu ujung atau kedua ujungnya. Peralatan yang sederhana ini, pada masa perang kemerdekaan telah menjadi senjata massal yang pakai rakyat dalam melawan penjajah. Dan di Parakan inilah ada seorang sakti bernama Mbah Subkhi, putra salah anggota pasukan Diponegoro yeng terkenal dengan sebutan “Kiai Bambu Runcing.” Demikian antara lain diceritakan dalam seri buku *Kisah Ulama, Berjuang dan Mengawal Bangsa: Untuk Membangun Tradisi Islam Nusantara*. Buku ini berisi kumpulan artikel yang telah dimuat di rubrik “Tokoh” dan “Fragmen” situs *NU Online* (www.nu.or.id) selama sekitar sebelas tahun (2003-2014). Buku ini merupakan bagian pertama dari beberapa seri yang akan diterbitkan. Artikel yang terkumpul dan terseleksi tidak disusun berdasarkan waktu terjadinya peristiwa, juga tidak berdasarkan tanggal artikel dimuat. Urutan dan tata letak dibuat sedemikian rupa untuk menemukan sebuah alur agar enak dibaca dari halaman pertama hingga terakhir. Para pembaca yang ingin langsung memilih artikel-artikel yang dianggap penting juga akan terbantu dengan melihat bagian daftar isi. Tersebut juga cerita terntang pertemuan Wahid Hasyim dan Saifuddin Zuhri dengan Panglima Besar Jendral Sudirman, juga perjalanan para kiai bersama para santrinya bergerak menuju Surabaya untuk mengusir tentara Inggris bersama Belanda yang ingin kembali menjajah negeri. Perjuangan membela tanah air dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bagian dari tugas agama Islam. Mengutip KH Abdul Wahab Chasbullah, “Nasionalisme ditambah Bismillah itulah Islam, dan orang Islam yang menjalankan agamanya secara benar pasti ia seorang nasionalis..” Buku *Kisah Ulama, Berjuang dan Mengawal Bangsa *juga berisi berbagai fragmen kisah ulama dalam mengisi kemerdekaan. Ada yang aktif dalam pemerintahan, mendirikan partai politik, serta mengorganisir kaum pesantren melalui organisasi Nahdlatul Ulama dan badan-badan otonom di bawahnya. Setelah masa perjuangan, sebagian besar ulama kembali ke masyarakat, mengajar di pesantren, dan mendakwahkan ajajan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. [] -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Selamat Hari Santri: Miniatur Islam Nusantara
Selamat Hari Santri: Miniatur Islam Nusantara Oleh: H. Asmawi Mahfudz Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden Jokowi, sebagai apresiasi peran santri bagi perjuangan dan perkembangan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena sejak sebelum kemerdekaan yakni pada awal penyebaran Islam di Nusantara ini, santri telah berdialektika dengan masyarakat kita, baik yang ada di Jawa maupun yang ada di luar Jawa. Ini dibuktikan dengan eksistensi beberapa kerajaan Islam yang pernah ada di Tanah Air, mulai dari kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Demak, Banten, Cirebon, di beberapa wilayah di Jawa dan Madura. Itu merupakan tonggak awal peran para santri dalam membangun tanah air atau bangsa ini. Mereka para santri membuat dasar-dasar kehidupan masyarakat yang berbasis sosial dan keagamaan sebagai perangkat untuk merubah perilaku para penduduk. Warga masyarakat yang kala itu masih berpegang teguh kepada mistisisme, politeisme secara bertahap dapat merubah keyakinannya menjadi pengikut ajaran Tauhid. Ini layaknya apa yang didakwahkan oleh Rasulullah dahulu, yang pertama kali disampaikan adalah ketauhidan. Dalam hal ini para santri pendahulu Islam di Indonesia dapat dikatakan sebagai para pembaharu (mujaddid). Seiring perkembangannya seluruh Nusantara menjadi umat Muslim setia, bahkan menjadi umat mayoritas Muslim dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya di muka bumi. Perjuangan para penyiar Islam mulai dahulu sampai sekarang sehingga menjadi umat mayoritas, bukanlah kerja sulapan yang instan atau kebetulan tetapi itu dilakukan dengan berbagai metode, cara, strategi berdakwah yang panjang dan berliku. Baik pendakwah atau santri itu sebagai seorang individu maupun masyarakat itu sendiri. Mereka sungguh besar pengorbanannya sebagai modal menyebarkan ajaran-ajaran santri. Salah satu strategi yang dipilih oleh santri penyebar Islam awal adalah aspek materi ajaran yang disampaikan kepada masyarakat yang mendiami bumi Nusantara ini. Taruhlah materi fikih ibadah yang mengikuti mazhab Syafi’i. Pemilihan mazhab Syafi’i sebagai bahan ajar masyarakat Indonesia ini bukanlah tanpa alasan, tepi memang itu sudah diperhitungkan oleh para ulama, sehingga fikih yang disampaikan nanti dapat dipraktikkan oleh masyarakat tanpa merasa terbebani dan terpaksa, di samping nuansa religiusitas mazhab Syafi’i yang begitu kuatnya. Patut disyukuri akhirnya pilihan mazhab Syafi’i sebagai praktik hukum yang diamalkan sehari-hari membuat masyarakat menjadi lebih nyaman dan khidmah, yang menambah semakin kuatnya Muslim di tanah Nusantara menerima ajaran ini. Di samping itu para santri awal dulu begitu cerdiknya dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam. Peranan perangkat dakwah saat Islam awal begitu kentara dalam sejarah perjuangan Islam di Indonesia. Kita bisa lihat tentang budaya wayangan, selamatan, arsitektur masjid, nama-nama bayi penduduk Indonesia yang selalu dari kata-kata Arab, dapat dikatakan hasil akulturasi Islam dengan budaya masyarakat kala itu. Dengan melakukan akulturasi budaya para santri dahulu tidak usah repot-repot menjelaskan Islam dengan pendekatan formalitas teks, tetapi dengan budaya, masyarakat dengan sendirinya mengamalkan Islam tanpa merasa tertekan atau terpaksa. Begitu juga strategi penyampaian Islam model santri dulu dapat dikatakan dengan multi perspektif dan cara. Artinya para pejuang Islam tempo dulu tidak hanya menyerah dalam satu cara saja, tetapi memakai berbagai pendekatan dan cara sampai masyarakat menerimanya. Sesuai dengan pepatah Jawa,” Pring Buntet Dingge Sulingan, Ora iso metu ngarep yo metu iringan”. Artinya para da’i dulu sebenarnya mempunyai kecerdasan sosial yang begitu tinggi sehingga tahu bagaimana menyampaikan ajaran Islam dengan budaya masyarakat seperti itu. Ini mungkin dapat untuk contoh bagi penda’i masa sekarang, dengan tantangan lebih berat dan lebih komplek dalam menyampaikan ajaran Islam. Jangan sampai karena salah dalam memilih strategi berdampak melemahkan Islam itu sendiri, yang didapatkan Islam bukan simpati masyarakat tetapi Islam diklaim sebagai umat yang arogan karena sering menampilkan kekerasan dan premanisme. Sebenarnya yang patut kita contoh dari para santri tempo dulu lagi adalah kemampuan retorika penyampaian ajaran yang begitu baik, memukau bahkan kadang membius para orang-orang yang mendengarkannya. Sejak awal Islam masuk di tanah air dulu sampai sekarang kita banyak sekali mempunyai para mubaligh atau da’i yang menyampaikan hikmah-hikmah kehidupan. Sehingga metode ini sampai sekarang menjadi metode yang mujarab bagi para penyiar Islam. Bahkan tidak jarang para santri pesantren mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang mubaligh atau da’i. Mungkin budaya oral masih menjadi pilihan terbaik, dikarenakan sumberdaya manusia kita yang yang juga belum begitu baik. Ini terbukti acara di kampung-kampung ketika memperingati hari besar Islam, mereka mendatangkan para mubaligh yang bisa melucu dan
[keluarga-islam] Ali Mustafa Yaqub: Bergesernya Karakteristik Haji
Bergesernya Karakteristik Haji Oleh: Ali Mustafa Yaqub Imam al-Khatib al-Baghdadi dan Imam al-Dailami meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Akan datang suatu masa bagi manusia, orang kaya dari umatku pergi haji untuk berwisata, kelas menengah pergi haji untuk berbisnis, ulama pergi haji untuk riya' dan popularitas, serta orang fakir pergi haji untuk minta-minta." Prediksi Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu tersebut tampaknya sudah terwujud pada saat ini. Tiga musibah berturut-turut yang terjadi di Mekkah musim haji ini telah membuat kita terperenyak sekaligus membuat kita berpikir ulang apa yang salah dalam pelaksanaan ibadah haji selama ini? Tragedi jatuhnya menara derek (crane) di Masjidil Haram tampaknya lebih disebabkan oleh faktor cuaca buruk. Sementara tragedi kebakaran di sebuah hotel di Mekkah dan terinjak-injaknya anggota jemaah haji sampai meninggal hingga mencapai 769 orang, sangat didominasi oleh faktor manusia itu sendiri. Ketika kita berbicara tentang faktor manusia, maka yang paling mendominasi dari munculnya tragedi tersebut adalah kepadatan jumlah manusia yang sudah melampaui batas kewajaran daya tampung Mina. Ini diperparah egoisme sebagian anggota jemaah yang lebih mementingkan diri sendiri tanpa melihat bahaya yang akan menimpa, baik dirinya maupun orang lain. Hadis di atas, kendati berupa prediksi, sejatinya merupakan sebuah peringatan dari Nabi agar umat Islam jangan menjalankan ibadah haji karena faktor tersebut. Peringatan Nabi ini tampaknya berlalu begitu saja tanpa menjadi perhatian umat Islam. Kenyataannya, ibadah haji yang semestinya tidak perlu dipromosikan karena ia merupakan kewajiban setiap Muslim yang mampu dalam melakukan perjalanan ke Mekkah, telah dipromosikan dengan dahsyat. Alhasil, banyak umat Islam yang terkecoh dengan promosi tersebut, yang akhirnya banyak yang berulang-ulang pergi haji ke Mekkah kendati hal itu tak wajib dalam agama Islam dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kami sering menanyakan kepada anggota jemaah haji, berapa kali ia ingin menjalankan ibadah haji. Ternyata tidak satu pun yang menjawab dia ingin berhaji cukup sekali, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Di antara mereka ada yang menyatakan minimal ingin berhaji tiga kali. Ada juga yang menjawab minimal tujuh kali. Kami amati dari belahan dunia sebelah barat, di Maroko dan Aljazair sampai di semua wilayah Amerika Serikat, bahkan tidak lupa di negeri kita, Indonesia, promosi haji dan umrah sangat luar biasa. Musim haji sekarang belum selesai, tetapi kita lihat koran-koran sudah memuat promosi haji dan umrah untuk tahun depan. Di AS, apabila kita masuk ke sebuah restoran halal dan atau toko halal food, kita akan dengan mudah (dan gratis) mendapatkan aneka tabloid. Semula kami heran mengapa tabloid itu dibagikan secara gratis, padahal hal tersebut terjadi di AS. Ternyata tabloid itu hanya pada halaman pertama yang memuat berita, selebihnya memuat iklan tentang haji dan umrah. Menjadi sebuah industri Maka, tidak mengherankan jika keberhasilan promosi haji dan umrah ini telah membuat Mekkah dan sekitarnya tidak mampu menampung anggota jemaah haji. Di sisi lain, jemaah menuntut fasilitas yang berlebihan dengan alasan agar ibadah dan istirahatnya nyaman. Maka, para penyelenggara haji pun menyambut permintaan itu dengan menyiapkan segala fasilitas yang luar biasa, baik penginapan, akomodasi, transportasi, kuliner, maupun tempat-tempat belanja. Maka, sangat pas apabila disebut bahwa karakteristik ibadah haji telah bergeser dari sebuah ibadah yang seyogianya memiliki karakter kekhusyukan, tidak mementingkan diri sendiri, dan sebagainya, menjadi sebuah industri produk kapitalisme yang cenderung untuk memikirkan kepentingan sendiri dengan menikmati fasilitas yang luar biasa. Di sisi lain, kuota haji yang ditetapkan oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dengan porsi dari 1.000 penduduk boleh mengirimkan 1 orang calon haji tampaknya perlu ditinjau ulang. Penetapan kuota ini sudah berlangsung lebih kurang 35 tahun dan tidak pernah mengalami perubahan. Tentu saja kondisi 35 tahun lalu dengan saat ini sangat berbeda. Maka, sangat mendesak, OKI perlu mengubah kuota ini menjadi, misalnya, dari setiap 5.000 orang boleh mengirim 1 orang untuk berhaji. Adapun untuk mencegah orang-orang yang memiliki penyakit sosial, yaitu mereka yang suka berulang-ulang berhaji, perlu dikeluarkan fatwa yang bersifat internasional. Bahwa, berhaji ulang dalam kondisi perhajian yang karut-marut, seperti saat ini, adalah haram, kecuali ada unsur kewajiban syariat. Seorang ulama dari Arab Saudi, Dr Syeikh Ahmad bin Nafi' al-Muwarra'i, dalam bukunya Nazharat fi Haj al-Tathawwu' menyebutkan bahwa berhaji ulang dalam kondisi perhajian seperti sekarang ini adalah perbuatan zalim yang besar. Dan, kezaliman yang besar adalah sebuah perbuatan yang diharamkan. Pemerintah Arab Saudi telah berupaya semaksimal mungkin
[keluarga-islam] (Buku of the Day) NU Menjawab Problematika Umat; Keputusan Bahtsul Masa’il PWNU Jawa Timur
Umat Bertanya, NU Jatim Menjawab [image: Umat Bertanya, NU Jatim Menjawab] Judul: NU Menjawab Problematika Umat; Keputusan Bahtsul Masa’il PWNU Jawa Timur. Jilid I: 1979-2009 M. Jilid II: 2009-20014 M. Penyusun : TIM PW LBM NU Jatim Penerbit: PW LBM NU Jatim Halaman : jilid I; xxix + 936. Jilid II; xxi +850. ISBN : 978-602-97112-9-5 Peresensi : Fathul Qodir (Pegiat Aswaja NU Jatim) Kebangkitan masyarakat terhadap kesadaran beragama di abad ini cenderung meningkat, baik dalam aspek hukum, sosial budaya, politik, ekonomi, maupun pendidikan. Namun di balik kebangkitan tersebut menyisakan keprihatinan tersendiri, sebab kebangkitan agama oleh sebagian umat mengarah kepada pemahaman syariat secara tekstual dan literal, yakni merujuk langsung kepada teks al-Qur’an dan al-Hadis tanpa merujuk kepada kitab-kitab karya ulama yang otoritatif di bidangnya, sehingga berpotensi memunculkan pemahaman yang keliru. Lebih memprihatinkan lagi, dengan semakin familiarnya umat Islam dengan internet, masyarakat banyak merujuk “fatwa-fatwa” yang tidak jelas sumbernya. Tentu saja fenomena ini dapat mereduksi hakikat syariat Islam dan berakibat sesatnya umat. Melihat fenomena di atas, ulama, santri serta cendekiawan muslim baik perorangan maupun melalui lembaga dituntut untuk responsif dan senantiasa pro aktif menampung serta mencarikan solusi dari setiap permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat dengan metode dan strategi yang tepat, sehingga kebangkitan kesadaran ber-Islam berbanding lurus dengan pemahaman Islam yang sesuai dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah pengikut ajaran ulama salafus shalih. Adalah Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PWNU Jatim, sebagai lembaga yang berkutat dalam ranah pengambilan keputusan tentang hukum-hukum Islam, baik yang terkait dengan permasalahan bidang akidah, masa’il fiqhiyyah, maupun tasawuf, menerbitkan dua jilid buku kumpulan hasil Bahtsul Masa’il. Jilid kesatu hasil Bahtsul Masa’il tahun 1979- 2009, sedangkan jilid kedua mulai 2009-2014 M. Isi buku jilid kesatu memuat kategori keputusan Bahtsul Masail waqi’iyah (faktual) saja, sedangkan jilid kedua selain memuat keputusan hukum waqi’iyyah, juga berisi hasil keputusan hukum maudhu’iyyah (tematik) dan qanuniyyah (perundang-undangan). Hadirnya buku hasil Bahtsul Masail ini menjadi obat kerinduan semua fihak terhadap dokumen rumusan hukum Islam aktual yang akurat dan mu’tamad ala Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah yang merujuk kepada kutubul mu’tabarah. Sehingga masyarakat selain mudah dalam mencari jawaban hukum atas setiap permasalahan yang dihadapi, begitu juga buku ini sebagai alternatif pilihan yang dapat menyelamatkan umat Islam dari bahaya mengikuti “fatwa-‘fatwa” liar di luar arus utama Ahlussunnah Waljamaah, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Terkait dengan tema pembahasan, hampir seluruh aspek permasalahan umat terekam dalam buku ini. Buku satu berisi 19 tema meliputi akidah dan fikih madzhab, fikih taharah, shalat, al-Qur’an, doa dan bacaan, fikih jenazah dan kuburan, fikih zakat, puasa, haji dan umrah, muamalah, wakaf dan fasilitas umum, munakahat, akhlaq dan pendidikan, fikih makanan, medis, warisan, sosial, seni dan budaya, yustisi (peradilan) serta fikih siyasah politik kenegaraan dan kebangsaan. Buku kedua berisi 18 tema, yakni akidah dan fikih madzhab, fikih thaharah, shalat, bacaan al-Qur’an, fikih jenazah, zakat, haji dan umrah, fikih muamalah, wakaf dan fasilitas umum, fikih munakahat, akhlaq dan fikih tarbiyah, fikih makanan, medis, wasiat, sosial, seni budaya, yustisi (peradilan), serta fikih siyasah. *Menjawab Polemik Konsep Khilafah* Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang memberikan kontribusi besar terhadap terbentuknya negara Indonesia, sekaligus menjadi penyokong utama absahnya konsep kebangsaan menurut perpektif syari’at Islam, dewasa mendapatkan tantangan besar dengan masuknya ide-ide Islam transnasional yang menggembar-gemborkan konsep khilafah dan memperjuangkan berlakunya syari’at Islam di bumi Indonesia. Kelompok Islam transnasional ini secara vulgar menolak konsep nasionalisme Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan konsep yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Dalam menjawab polemik konsep khilafah dan formalisasi syariat ini, LBM NU Jatim menguraikan dalam buku jilid I halaman 706. Menurut keputusan musyawirin bahwa konsep khilafah dalam ketatanegaraan Islam tidak terdapat pijakan dalil nash, karena keberadaan sistem khilafah adalah bentuk ijtihadiyah. Sehingga hukum mengubah bentuk negara Indonesia dengan bentuk yang lain sebagaimana khilafah hukumnya tidak boleh selama akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Sedangkan upaya mengubah dasar hukum negara diperbolehkan dengan syarat dengan menggunakan cara yang konstitusional. Dalam upaya penerapan syariat di Indonesia tepat jika digunakan dengan strategi tadrij (gradual). *Menjawab Polemik Konsep Salaf*
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Panduan Islam tentang Hubungan (biologis) Suami Istri. (Bag-2)
*Panduan Islam tentang Hubungan (biologis) Suami Istri. (Bag-2)* Beberapa Anjuran lainnya: Setelah menyebut nama Allah swt, selanjutnya mari kita simak anjuran lainnya: 1. Tidak menghadap dan membelakangi kiblat - Dalam hal ini Imam Shadiq as bersabda; “Janganlah anda melakukan hubungan biologis dalam keadaan menghadap dan membelakangi kiblat”. [1] - Begitupun beliaupun telah menukil dari para leluhurnya bahwa Rasulullah saw telah melarang hal dan seraya bersabda: “Barang siapa yang melakukan hal ini maka laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia atasnya”.[2] 1. Tidak dalam Keadaan Kenyang - Berhubungan biologis dalam keadaan kenyang akan merusak metabolisme badan dan berbahaya untuk kesehatan badan. - Imam Shadiq as bersabda: “Tiga perkara yang akan merusak metabolisme tubuh manusia, bahkan mungkin saja akan membinasakannya; mandi dalam keadaan kenyang, berhubungan biologis dalam keadaan kenyang, dan berhubungan biologis dengan perempuan tua (manula)”.[3] - Imam Ridho as bersabda: “Janganlah kalian berhubungan pada awal malam dalam keadaan kenyang, karena lambung dan semua nadimu dalam keadaan penuh dan berhubungan dalam keadaan seperti ini tidaklan terpuji karena hal itu akan menimbulkan berbagai penyakit seperti lumpuh, kencing batu, …dan akan melemahkan pandangan (mata). Lakukanlah hubungan pada akhir malam, karena hal itu sangat bermanfaat untuk tubuh kalian juga akan menambah kecerdasan dan akal janin”. [4] 1. Tidak dalam Keadaan Berdiri - Berkaitan dengan hal ini Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian berhubungan biologis dalam keadaan berdiri karena itu merupakan prilaku keledai. Dan jika bayi terlahir darinya maka ia akan kencingan (ketika tidur ia akan kencingan) diranjang, ia tidak dapat menahan kencingnya seperti keledai yang kencing disemua tempat”.[5] Catatan: Perlu diketahui, berkaitan dengan adab hubungan suami istri dari segi hukum fikih ada hal-hal yang ‘di-mustahab-kan’ artinya jika dilaksanakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa, namun lebih baiknya dilaksanakan karena di saat Allah menganjurkan sesuatu pasti ada maslahat dan hikmahnya. Yang terkadang kita tidak mengetahui hikmah dan maslahat tersebut. Hal-hal yang hukumnya makruh, artinya lebih baik ditinggalkan kendatipun apabila dilaksanakan tidak berdosa. *Ustadzah Euis* [1] Allamah Thabarsi, Makarimal-Akhlak, hal 212 [2] Syeikh Amuli, Wasa’il Syi’ah, jilid 20, hal 138 [3] Ibid, hal 255 [4]Ar-Risalah adz-Dzahabiyah, hal 65 [5] Syeikh Amuli, Wasa’il Syi’ah, jilid 20, hal 252 [Sumber: Adab Zafaf, Hujjatulislam Dr. Ali Thohmasibi Amuli] -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Hari Santri Milik Semua Umat Islam Indonesia
Hari Santri Milik Semua Umat Islam Indonesia Selasa, 20/10/2015 18:07 [image: Hari Santri Milik Semua Umat Islam Indonesia] Jakarta, *NU Online* Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kamaruddian Amin menegaskan bahwa Hari Santri menjadi milik umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Para tokoh pendahulu seperti Cokroamitono (SI), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH Hasyim Asy’ari (NU), KH A Hasan (Persis), KH A Soorkati (al-Irsyad), KH Mas Abd Rahman (Matlaul Anwar) dan para tokoh Islam lainnya adalah maha santri. “Jika kita membaca dengan seksama sejarah perjuangan para tokoh di atas, beliau-beliau ini merupakan para maha santri, tokoh-tokoh Islam yang berdarah merah putih. Mereka mempunyai komitmen keislaman dan keindonesiaan yang sangat kuat. Jadi, menurut saya, definisi santri dapat dinisbatkan kepada mereka para santri yang mempunyai dua komitmen di atas” terang Dirjen di Jakarta, Senin (19/10) seperti dikutip dari laman kemenag.go.id. Penetapan Hari Santri akan dilakukan pada 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta dan direncanakan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo. Dirjen melihat, para santri diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai Islam di satu sisi dan semangat serta kesadaran penuh tentang kebangsaan Indonesia yang majemuk di sisi lain. Karenanya, santri tidak ekslusif dan teratributi kepada komunitas tertentu. Tetapi, tandas Kamaruddin Amin, santri adalah mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah merah putih dan tarikan nafasnya terpancar kalimat laa ilaha illa llah. Karenanya, penetapan Hari Santri sangat relevan dalam konteks Indonesia modern yang plural. “Hari Santri menjadi milik umat Islam Indonesia secara keseluruhan,” tandas Kamaruddin. Dirjen juga melihat, penetapan Hari Santri pada 22 Oktober esok, memiliki justifikasi historis yang kokoh dimana Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad yang mewajibkan Umat Islam untuk berjihad melawan penjajah. “Resolusi Jihad tersebut memberi energi dan semangat patriotisme dahsyat kepada Umat Islam saat itu. Meski demikian, penetapan Hari Santri tentu tidak mengurangi dan menafikan nilai heroisme dan patriotisme tokoh lain yang juga menorehkan sejarah dan peristiwa heroik,” ujar Dirjen. Hadir dalam konpres tersebut, Sesditjen Pendis Ishom Yusqi, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Mohsen dan Direktur Madrasah M Nur Kholis Setiawan. *Red: Mukafi Niam* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62929-lang,id-c,nasional-t,Hari+Santri+Milik+Semua+Umat+Islam+Indonesia-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Kiai Said: Resolusi Jihad, Sumbangsih KH Hasyim Asy’ari Kepada Bangsa
KIRAB HARI SANTRI Kiai Said: Resolusi Jihad, Sumbangsih KH Hasyim Asy’ari Kepada Bangsa Ahad, 18/10/2015 17:45 [image: Kiai Said: Resolusi Jihad, Sumbangsih KH Hasyim Asy’ari Kepada Bangsa] Surabaya, *NU Online* Banyak kipah yang telah ditorehkan KH Hasyim Asy'ari. Resolusi jihad adalah di antara sumbangsih hadratussyaikh Hasyim Asy’ari kepada Nahdlatul Ulama dan bangsa Indonesia. "Hari Santri Nasional bukan riya' (pamer), tapi penghormatan kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari dan para ulama lainnya yang menetapkan Resolusi Jihad yang berisi bahwa membela Tanah Air itu fardlu ain seperti layaknya shalat fardlu," kata KH Said Aqil Siroj, Ahad (18/10). Menurut dia, Resolusi Jihad itulah yang melahirkan intifadhah atau penyerangan secara massal oleh masyarakat terhadap tentara Sekutu (NICA), lanjutnya. "Resolusi Jihad itu sendiri lahir atas permintaan Presiden Soekarno dan Muhammad Hatta yang mengirim utusan ke Pesantren Tebuireng untuk meminta agar Kiai Hasyim Asy'ari bersama para ulama menggerakkan masyarakat untuk melawan NICA," katanya. Akhirnya, KH Hasyim Asy'ari selaku Rais Akbar PBNU mengajak para ulama dari berbagai kawasan sehingga melahirkan Resolusi Jihad. "Jadi, pertempuran 10 November 1945 yang akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan itu bukan merupakan perlawanan tanpa komando, melainkan bermodal fatwa Jihad fi-Sabilillah," katanya. Perlawanan itu dipimpin secara teknis oleh KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai pelaksana yang bermarkas di Waru (Sidoarjo) dengan dukungan KH Masykur dari Malang dan KH Abbas dari Cirebon. "Hasilnya, rakyat menang, bahkan pimpinan tentara Sekutu Brigjen Mallaby pun tewas. Dalam film Sang Kiai disebutkan bahwa Brigjen Mallaby tewas karena mobilnya dilempari bom oleh santri Tebuireng bernama Harun," katanya. Oleh karena itu, dalam pandangan Kiai Said, Hari Santri Nasional yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada setiap 22 Oktober merupakan pengakuan pada perjuangan para kiai. "Tanpa KH Hasyim Asy'ari dan para santri, maka Resolusi Jihad takkan pernah ada. Tanpa Resolusi Jihad, maka Pertempuran 10 November takkan terjadi. Tanpa Pertempuran 10 November, maka kemerdekaan takkan pernah tercapai," katanya. Hadir pada kegiatan Kirab Hari Santri Nasional diantaranya, Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf. Wakil Ketua Umum PBNU, Slamet Effendy Yusuf dan Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zain. Selain itu, hadir pula jajaran PWNU Jatim yakni KH Agoes Ali Masyhuri, KH Jazuli Noor, dan KH Abdurrahman Navis dan Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil Alallah. Tampak pula Ketua Panitia Hari Santri Nasional Jatim, H Abdul Halim Iskandar yang memimpin jalan sehat dari Kantor PCNU Surabaya ke Tugu Pahlawan. Acara dipungkasi dengan pelepasan kirab diawali penyerahan pataka yakni panji-panji Merah Putih dan Bendera NU dari Ketua Umum PBNU kepada Sekjen PBNU dan Wagub Jatim untuk diserahkan kepada peserta kirab yang membawanya dari Tugu Pahlawan (Surabaya) ke Tugu Proklamasi (Jakarta) selama empat hari, yakni 18 hingga 22 Oktober. *(Ibnu Nawawi/Mukafi Niam)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62881-lang,id-c,nasional-t,Kiai+Said++Resolusi+Jihad++Sumbangsih+KH+Hasyim+Asy%E2%80%99ari+Kepada+Bangsa-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Jaya Suprana: G 30 S
G 30 S Oleh: Jaya Suprana Gerakan 30 September yang juga disebut sebagai G 30 S atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober), adalah tragedi yang terjadi sejak malam hari tanggal 30 September 1965 sampai dini hari; saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu upaya kudeta. Pada saat itu, saya masih remaja dan sekolah di Kota Semarang, belum mampu menangkap makna yang sebenarnya sedang terjadi di Tanah Air tercinta ini. Saya cuma mendengar berita lewat radio, bahwa di Jakarta terjadi pembunuhan terhadap beberapa jenderal. Selanjutnya saya tidak jelas mengenai apa yang terjadi sebab berita pun simpang-siur ke sana ke mari. Saya baru sadar bahwa ada tragedi nasional sedang berlangsung ketika rakyat turun ke jalan sambil bersorak-sorai anti-PKI termasuk anti-Republik Rakyat Tiongkok dan semua yang beraroma Tiongkok di Indonesia. Kebetulan, pada masa itu saya sekolah di Sekolah Karangturi yang mayoritas siswanya keturunan Tionghoa. Kebetulan guru kepala sekolah Karangturi adalah anggota Baperki yang dianggap dekat dengan PKI. Meski saya dan keluarga bukan anggota parpol apa pun, akibat hanya fokus jualan jamu, sekolah saya dengan mayoritas siswa keturunan Tionghoa terancam diserbu kaum demonstran anti-PKI. Namun, kepala sekolah langsung menghibur kami semua bahwa pasti pemerintah RRT di Peking nun jauh di sana tidak akan tinggal diam, dan akan mengirimkan bala tentara ABT (Angkatan Bersenjata Tiongkok) untuk menyelamatkan warga keturunan Tionghoa di Indonesia, sesuai politik diaspora RRT terhadap kaum keturunan Tionghoa di perantauan. Sementara bala tentara RRT yang djanjikan ternyata tak ada kabar-beritanya, kaum demonstran anti-PKI sudah telanjur menyerbu Sekolah Karangturi. Para siswa, termasuk saya, terpaksa tunggang langgang melarikan diri karena tidak berani melawan para demonstran anti-PKI. Syukur Alhamdulillah, nyawa saya selamat meski sekolah saya hancur berantakan, hangus dibakar para anti-PKI. Sebab masih remaja, saya masih dianggap anak bawang yang tidak diperhitungkan untuk masuk daftar mereka yang wajib ditangkap, bahkan dibunuh dengan alasan dianggap anggota, atau sekadar pro PKI dan parpol-parpol yang dekat dengan PKI. Namun, apa yang terjadi setelah itu justru luar biasa mengerikan. Kepala sekolah saya ditangkap lalu dijebloskan ke kamp tahanan politik tanpa proses hukum apa pun kecuali hukum rimba. Menarik tapi tragis, adalah kenyataan Sekolah Karangturi justru dijadikan kamp tahanan politik bagi para teranggap komunis. Beberapa sanak-keluarga saya di Solo dan sekitarnya mendadak hilang-lenyap diculik oleh entah siapa. Ada yang berhasil ditemukan, namun sudah dalam kondisi sebagai jenazah termutilasi dan teraniaya, dengan cara yang tidak layak saya kisahkan di Sinar Harapan yang beradab dan berbudaya ini. Ayah kandung saya yang berdomisili di Denpasar, Bali juga pada suatu malam diculik lalu diangkut truk oleh entah siapa, dibawa entah ke mana. Sampai kini, belum diketahui bagaimana nasib ayah kandung saya. Ibu kandung dengan beberapa saudara kandung saya kemudian melarikan diri dari Pulau Bali untuk mengungsi ke Kota Semarang, yang dianggap relatif lebih aman ketimbang Pulau Dewata, yang pada masa itu lebih layak disebut sebagai “Pulau Dedemit”, akibat angkara murka yang membinasakan tak terhitung nyawa warga bangsa Indonesia, termasuk ayah kandung saya yang sebenarnya tidak pernah tergabung di parpol apa pun, apalagi PKI. Dapat disimpulkan satu-satunya “dosa” ayah saya sampai diculik dan sampai kini tak jelas nasib beliau, adalah dilahirkan di Indonesia sebagai warga keturunan Tionghoa belaka. Memang pada 1965 merupakan lembaran hitam dalam perjalanan hidup saya. Namun, segenap musibah itu tidak mengurangi , malah justru memperkuat dan memperkokoh rasa cinta saya kepada Tanah Air. Saya sadar yang melakukan angkara murka bukanlah bangsa, negara, dan rakyat Indonesia; melainkan segelintir orang yang pada masa itu kerasukan sukma jahat sehingga tega membinasakan saudara-saudari sesama warga Indonesia. Saya selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Kasih untuk senantiasa menganugerahkan kesadaran dan kekuatan batin kepada bangsa Indonesia, demi selalu bersatu padu mecegah tragedi angkara murka G 30 S, jangan sampai terulang kembali terjadi di persada Nusantara. Amin. [] SINAR HARAPAN, 01 Oktober 2015 Jaya Suprana | Budayawan Indonesia -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Idealisme H Mahbub Djunaidi
Idealisme H Mahbub Djunaidi Oleh: Ahmad Halim Tepat pada hari ini, Kamis 1 Oktober 2015, adalah adalah haul ke-20 H. Mahbub Djunaidi. Banyak pelajaran dari anak Betawi kelahiran 1933 ini. Tapi idealismenya yang kokoh bagaikan batu karang, susah ditiru siapa pun. Hari ini, kita bisa saksikan sendiri dengan mata dan kepala, banyak para politisi, seniman, wartawan, dan pemimpin di sebuah organisasi baik kemahasiswaan, organisasi massa (Ormas) ataupun Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) yang terbuai akan kekuasaan, dan malah ikut dalam menyumbangkan permasalahan yang sampai saat ini agak sulit untuk diberantas, yakni korupsi. Jika saat ini para politisi, seniman, wartawan dan pemimpin organisasi sibuk untuk mendekatkan diri dalam pusaran kekuasaan. Mahbub yang juga pernah menjadi politisi, seniman, jurnalis dan pemimpin organisasi besar justru tidak memanfaatkan untuk ambisi politiknya atau mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Saat ditawarkan kekayaan oleh Orde Baru, pria yang memiliki tradisi Nahdlatul Ulama (NU) itu justru menolak. Sampai akhirnya pendiri organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini akhirnya dipenjarakan di rutan Nirbaya oleh Suharto. Bersama dengan sahabat-sahabatnya Soebandrio, Omar Dhani dan beberapa nama lain dengan alasan yang tak masuk akal yakni dianggap menghasut karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai Presiden RI di depan forum mahasiswa. Namun dalam sebuah surat kepada temannya yang dikirim dari dalam penjara, Mahbub mengatakan “Rasanya bui bukan apa-apa buat saya. Apalagi bukankah ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu ibaratnya perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena mencuri! Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti ditempuh…” (Emmy Kuswandari, 2008). Hal di atas tentu tidak akan dilakukan oleh ketua DPR Setyo Novanto, dan wakilnya Fadli Zon yang menghadiri kampanye kandidat presiden Amerika Donald Trump, dan kunjungan politik ketua majelis permusyawaratan rakyat (MPR) Zulkifli Hasan ke negeri tirai bambu. Sebab, idealisme mereka sudah pudar bahkan bisa dikatakan sudah hilang. Oleh karena itu, wajar jika tokoh pers Jakob Oetama berani mengatakan bahwa Mahbub Djunaidi adalah seorang yang berprinsip, demokratis, moderat, dan tak pernah mencerca lawan-lawannya. Berbeda dengan para politisi saat ini. Inilah yang saat ini sulit dicari, dimana kebanyakan orang jika sudah ada dalam pusaran kekuasaan akan memanfaatkan kedekatannya, bahkan sudah menjadi lumrah jika orang-orang yang dekat dengan kekuasaan ikut menimbun harta dengan cara yang tidak wajar (korupsi). Idealisme yang kokoh, memang membuat pria kelahiran Jakarta 27 Juli 1933 ini menjadi orang yang sederhana: penampilan dan material. Tapi itu menjadi kekuatanya dalam mempertahankan prinsip. Saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) pada tahun 1967-1971 ia tetap mengkritik pemerintah dan mempertahankan prinsipnya melalui kata-kata yang disusunya dengan dibumbui rasa humor tentunya. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai “pendekar pena”. Mahbub pernah menulis artikel, "Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini" (Kompas, 18 Maret 1981). Dalam tulisannya, pendekar pena tersebut, mengkritik para pemimpin bangsa dengan gaya penulisan yang satire dan juga dibumbui rasa humor. Begini tulisannya: Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah dasar, paling lambat di kelas VI, ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di kupingnya, "Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, kan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia." Mungkin mantan ketua umum PMII tiga periode 1960-1967 itu ingin berpesan kepada publik agar kita jangan sampai seperti monyet dalam memilih pemimpin. Kata Mahbub, "Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan,". Tokoh multi talenta ini, kini sudah meninggalkan kita 20 tahun lamanya, namun bukti idealismenya sampai saat ini masih dapat kita baca dan pelajari. Karya-karyanya dan jasa-jasanya kini telah tertoreh dalam tinta emas dunia pergerakan dan jurnalis, sehingga kita dapat mengikuti dan belajar dari sosok multi talenta, pemegang
[keluarga-islam] Shambazy: CIA dan Misteri G30S
CIA dan Misteri G30S Oleh: Budiarto Shambazy Amerika Serikat merasa terancam komunisme internasional sejak Revolusi Rusia 1917. Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat, yaitu Central Intelligence Agency (CIA), dibentuk untuk mencegah meluasnya komunisme ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia yang posisi geopolitisnya strategis. Dalam periode 1945-1955, CIA mendekati berbagai kalangan di negeri ini untuk mendapatkan akses pangkalan militer, tetapi gagal. Setelah Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika 1955, muncul kekhawatiran Indonesia terseret ke blok komunis. Pada periode ini, CIA memulai operasi secara terbuka dan tertutup yang kesemuanya gagal. Pada akhir dekade 1950, kesabaran Washington DC terhadap Bung Karno nyaris habis. CIA ditugasi untuk menyingkirkan Bung Karno. ”Sebuah topeng mirip Soekarno dikirim ke Hollywood, dipakai seorang bintang film porno yang beraksi,” kata Barry Hillenbrand, wartawan Time. Lalu, film Bung Karno main film porno itu disebarluaskan di Indonesia. Namun, tak ada yang termakan kampanye murahan itu. Salah satu operasi terbesar CIA lainnya adalah menyuplai dana, senjata, dan personel untuk pemberontakan PRRI/Permesta. Bung Karno menugaskan Achmad Yani untuk menumpas pemberontakan itu, CIA gagal lagi. Pesawat intai CIA yang dipiloti Allen Pope ditembak jatuh TNI di Maluku. Operasi rahasia ini terbongkar, membuat malu CIA serta memicu konflik antar pemimpin AS pada awal 1960-an. Direktur CIA Allen Dules ”angkat tangan” tak kuasa menjinakkan Bung Karno. Dubes AS di Jakarta Howard Jones telah menyimpulkan Indonesia bakal jatuh ke tangan komunis, hal yang juga diyakini sejumlah Indonesianis di AS. Di tengah rasa frustrasi itu, CIA mulai mempertimbangkan melakukan pembunuhan politik terhadap Bung Karno, praktik yang kala itu dibenarkan secara hukum. Namun, CIA tahu persis konsekuensinya akan sulit ditebak karena Bung Karno sangat populer di mata rakyat. Toh, akhirnya Bung Karno disingkirkan menyusul pecahnya peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965. G30S merupakan operasi CIA yang bertujuan menyelamatkan Indonesia dari komunisme dan melenyapkan Bung Karno serta PKI sekaligus. Siapa yang diajak CIA dalam operasi? CIA telah lama mendekati berbagai kalangan untuk mencapai tujuannya itu, termasuk sejumlah jenderal TNI AD. Namun, upaya itu gagal karena TNI AD terbagi atas beberapa faksi yang bersaing dan sebagian dekat dengan Bung Karno. Lagi pula dalam upaya menyeimbangkan kekuatan antara PKI dan TNI AD, Bung Karno membuat yang terakhir ini sebagai kekuatan politik independen dan anti komunis. Maka, satu- satunya cara, CIA memancing PKI mengambil tindakan yang mendiskreditkan mereka sendiri. Jika mereka disalahkan, CIA memperkirakan TNI AD akan mengambil tindakan absah dan cepat. Oleh karena itu, perlu dicari alasan agar PKI bisa dijadikan kambing hitam. CIA lalu menyebarkan isu tentang eksistensi Dewan Jenderal mau mengudeta Bung Karno. CIA berharap timbul rasa saling curiga antara Bung Karno, TNI AD, dan PKI. Artikel wartawan Wilfred Burchett yang diterbitkan November 1965 mengungkapkan hubungan Untung dengan PKI. Menurut dia, para pemimpin PKI memiliki bukti mengenai Dewan Jenderal. Untung mengajak PKI bekerja sama mencegah kudeta itu, tetapi Ketua Umum PKI DN Aidit tidak setuju karena dianggap prematur. Sebaliknya, versi resmi TNI AD mengatakan, Dewan Jenderal tak pernah ada. Sebuah hal yang masih misteri: siapa Untung dan mengapa ia mengajak PKI? Motif dan tujuan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan Untung dan pasukan Cakrabirawa sampai sekarang misterius. Makalah Cornell Paper mengungkapkan, para pelaku kudeta adalah perwira menengah yang kecewa kepada pimpinan TNI AD. Teori lain mengatakan, mereka jelas orang-orang PKI. Analisis CIA yang terangkum dalam laporan berjudul CIA Research Study, Indonesia-1965: The Coup That Backfired membuktikan bahwa mereka bekerja untuk Bung Karno. Peneliti Center of Defense Information (AS), David Johnson, menyimpulkan, Untung melancarkan aksi bagi ”orang-orang tertentu” di pemerintahan. Apa pun, G30S itu sukses sebuah operasi rahasia. Saking suksesnya, CIA memakai metode operasi ini saat menunggangi Jenderal Augusto Pinochet menggulingkan pemerintahan Cile yang dipimpin Presiden Gustavo Allende yang pro komunis tahun 1973, yang bernama sandi ”Operasi Djakarta”. Masih banyak dokumen rahasia CIA yang bakal dirilis yang akan mengungkap lebih banyak apa yang terjadi tanggal 30 September 1965. Suka atau tidak, akan ada kesimpulan penting telah terjadi pembunuhan massal terhadap ratusan ribu (mungkin jutaan) rakyat yang tak bersalah. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang menegaskan, ”Jika ada permintaan maaf untuk kasus pelanggaran HAM dalam kurun 1965-1966, itu bukan untuk PKI, tetapi untuk korban. Hal ini masih dalam proses pembahasan dengan beberapa lembaga,” ujarnya Senin, 31 Agustus
[keluarga-islam] Presiden Akan Deklarasikan Hari Santri di Istiqlal
Presiden Akan Deklarasikan Hari Santri di Istiqlal Selasa, 20/10/2015 16:06 [image: Presiden Akan Deklarasikan Hari Santri di Istiqlal] Jakarta, *NU Online* Presiden Joko Widodo di Masjid Istiqlal Jakarta pada Kamis (22/10) dijadwalkan akan mendeklarasikan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). "Presiden akan meresmikan Hari Santri di Istiqlal. Salah satu rangkaian acaranya adalah dzikir bersama masyarakat dalam deklarasi tersebut," kata Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin di kantornya, area Lapangan Banteng, Jakarta, Senin. Menurut Kamaruddin, pendeklarasian Hari Santri Nasional akan menjadi peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. "Ini bisa menjadi deklarasi yang memberi konstribusi untuk meningkatkan hubungan Islam dengan negara. Hal ini juga sekaligus dapat menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia menjadi contoh yang baik soal hubungan agama dengan negara," kata dia. HSN, kata dia, akan menjadi titik tolak upaya mengarusutamakan santri ke tengah peradaban. Sejauh ini, kalangan santri masih tergolong terpinggirkan dan kerap dipandang sebelah mata. Di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, kata dia, kaum santri tidak dapat diremehkan perannya. Beberapa tokoh nasional sejatinya merupakan kalangan santri, seperti Hasyim Asyari (Nahdlatul Ulama), Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), A Hassan (Persis), Ahmad Soorkati (Al-Irsyad), Mas Abd Rahman (Matlaul Anwar) dan lainnya. Penetapan 22 Oktober, masih kata Kamaruddin, mempunyai landasan kokoh kepahlawanan dari sisi sejarah dengan adanya resolusi jihad melawan penjajah pada masa awal Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Lebih jauh, Kamaruddin berharap agar semangat santri dimaknai luas oleh masyarakat Indonesia. Semangat santri adalah bersatunya jiwa religius dengan nasionalisme. Dengan begitu, siapa saja dapat tergolong sebagai santri dengan dua unsur utama itu. "Jiwa religiusitas di Indonesia sangat diperlukan karena kini Indonesia cenderung diserang globalisasi ekstrimisme. Sementara cakupan santri ini luas dan pondok pesantren masuk di dalamnya. Santri yang terpinggirkan harus bersinergi sehingga menjadi salah satu unsur penting penopang bangsa," kata dia.* (Antara/Mukafi Niam)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62927-lang,id-c,nasional-t,Presiden+Akan+Deklarasikan+Hari+Santri+di+Istiqlal-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Meneguhkan Laut Sebagai ‘Kiblat’ NU
Meneguhkan Laut Sebagai ‘Kiblat’ NU Oleh: Didik Fitrianto* Nadhlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di tanah air dikenal memiliki basis pengikut di kawasan pesisir, terutama di kawasan pesisir Pulau Jawa. Kawasan pesisir merupakan basis tradisional NU dari dulu sampai sekarang. Kaum Nahdliyin di kawasan pesisir ini masih militan dalam menjalankan tradisi keagamaan seperti tahlilan, sholawatan, kenduren, dan yasinan. Mereka juga tangguh dari gempuran kelompok-kelompok yang selalu menyesatkan, menganggap bid’ah dan haram kegiatan keagaman NU. Sayangnya militansi dan ketangguhan warga Nahdhliyin dalam menjaga tradisi keagamaan tidak berbanding lurus dengan ketangguhan dalam kehidupan ekonominya. Kaum Nahdliyin di kawasan ini masih bergelut dengan kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Di kawasan ini mayoritas kaum Nahdliyin yang berprofesi sebagai nelayan dan petani tambak masih miskin, lemah modal dan minim SDM dalam pengelolaan perikanan dan fasilitas alat tangkap. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan, Indonesia mempunyai sumber kekayaan laut yang sangat melimpah mulai dari terumbu karang, berbagai jenis ikan, hutan mangrove, minyak bumi, pasir besi, dan tentunya pantai yang keindahannya tiada tanding. Jauh sebelum Presiden Jokowi mendeklarasikan Indonesia sebagai negara maritim, salah satu kader terbaik NU, Gus Dur saat menjadi presiden sudah terlebih dahulu melakukan pembangunan yang berkiblat pada kemaritiman. Bukti Gus Dur mempunyai visi kemaritiman adalah dengan dibentuknya kementrian perikanan dan kelautan. Sayangnya sebelum Gus Dur mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, tsunami politik lebih dahulu menenggelamkan cita-cita beliau. Dan patut disayangkan kemudian PBNU juga tidak menindaklanjuti impian Gus Dur tersebut. Pengurus PBNU lebih berkiblat ke ‘daratan’ yakni persoalan politik. Kerja-kerja pemberdayaan dan advokasi sedikit terabaikan oleh NU terutama masalah kemiskinan dan lingkungan. Padahal kedua persoalan tersebut mayoritas dihadapi oleh warga Nahdliyin terutama yang berada di kawasan pesisir yang merupakan basis pengikut NU. Muktamar ke-33 NU di Jombang yang mengangkat tema besar Islam Nusantara telah mengingatkan kembali kepada kita tentang sejarah perjalanan Islam di Nusantara. Sejarah Islam di Nusantara tentunya tidak bisa dilepaskan dari laut. Laut tidak hanya dilihat secara geografis sebagai jalur penyebaran agama Islam melalui perdagangan tetapi juga menunjukkan bahwa secara politik, ekonomi dan potensi SDA Nusantara pada saat itu sangat diperhitungkan oleh dunia. Sejarah kemudian mencatat kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang berada di kawasan pesisir, salah satunya kerajaan Demak yang tidak hanya dikenal akan ketangguhan kekuatan militernya juga kekuatan ekonominya. Sayangnya sejarah kemudian mencatat kehancuran kerajaan Islam tersebut akibat menjauh dari laut. Belajar dari sejarah terdahulu saatnya kini NU kembali meneguhkan arah ‘kiblat’nya ke laut dengan memprioritaskan persoalan kemiskinan dan lingkungan di kawasan pesisir sebagai tindakan nyata saat negara mulai abai mengurusi persoalan keumatan. Pilot project pemberdayaan pesisir Kabupaten Demak sebagai salah satu basis NU di kawasan pesisir Jawa, selain memiliki nilai historis sebagai tempat penyebaran agama Islam, Wali Songo dan Kesultanan Demak. Demak juga menyimpan berbagai persoalan yang dihadapi kaum Nahdliyin, persoalan utama yang saat ini dihadapi adalah kemiskinan dan lingkungan. Kawasan pesisir Demak dengan mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani tambak saat ini menghadapi persoalan yang sangat memprihatinkan, rendahnya SDM dalam pengelolaan perikanan, minimya akses modal, dan rendahnya tingkat pendidikan. Selain persoalan tersebut, masyarakat juga dihantui persoalan lingkungan yang setiap harinya harus mereka hadapi yakni ancaman abrasi, rob, krisis air bersih, kerusakan infrastruktur, pencemaran lingkungan, dan alih fungsi lahan dari tambak menjadi kawasan industri oleh para investor. Masalah-masalah tersebut sampai saat ini belum teratasi dengan baik, program untuk mengatasi masalah tersebut yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih berorientasi kepada proyek semata, dan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan hanya menjadi jargon yang tidak pernah terwujud. Melihat kondisi tersebut sudah saatnya NU ‘mengambil alih’ dan turun tangan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kaum Nahdliyin. NU sebagai organisasi sangat dipatuhi oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Demak melalui para kiai dan ulama yang setiap harinya berhubungan langsung dengan umat. Sebagai payung besar, NU diharapkan mampu memberi perlindungan tidak hanya masalah spritualitas tetapi juga persoalan-persolan lain yang dihadapi oleh kaum nahdliyin. NU dengan kekuatan SDM-nya bisa menjadikan Kabupaten Demak sebagai pilot project pemberdayaan kaum Nahdliyin di kawasaan pesisir. Potensi
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 23 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahumma yaa musharrifal quluubi sharrif quluubanaa 'alaa thaa'atika. Ya Allah, ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, gerakkanlah hati kami untuk selalu mentaati-Mu. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Tantangan Fatayat NU
Tantangan Fatayat NU Oleh: Nihayatul Wafiroh Kini perempuan tidak bisa hanya menjadi ‘penggembira’. Perempuan harus menjadi subjek atau pelaku. Berbagai kesempatan dan jalan untuk memperjuangkan nasib dan hak perempuan sudah semakin terbuka. Dengan catatan, perempuan harus sustainable berjuang dan bekerja keras. Siapa lagi kalau bukan perempuan yang akan menyuarakan hak-hak perempuan? Siapa lagi kalau bukan perempuan yang paling memahami hak-haknya? Bila perjuangan dan kerja keras tidak ada dalam diri perempuan, maka kita akan kembali ke masa silam, ke lubang kehinaan di mana perempuan tidak memiliki nilai. Perempuan kini semakin dihadapkan dengan berbagai tantangan. Selain mengurusi dirinya sendiri sebagai entitas yang seringkali tidak dianggap, tidak mendapatkan tempat, tidak dilibatkan, dan ditindas, perempuan juga dihadapatkan pada tanggung jawab terhadap anak dengan segala problematikanya dan lingkungan sekitar. Sebagai badan otonom Nahdlatul Ulama, tentu saja Fatayat NU tidak akan lepas dari tugas-tugas yang disebutkan di atas. Kongres Fatayat NU ke-15 yang dihelat pada 19-22 September 2015 di Surabaya sudah tentu harus mampu memetakan masalah, menjawab tantangan, dan sekaligus menemukan formulasi-formulasi dan startegi-strategi jitu untuk menjawabnya. Keterlibatan Fatayat NU—sebagai organisasi perempuan muda/pemudi NU—dalam hal ini sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Bila menengok sejarah, di tahun 70-80-an, Fatayat dan Muslimat NU telah memainkan peranan yang penting dalam mempengaruhi para Kiai untuk mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis yang terkait dengan Keluarga Berencana (KB), hingga keluarlah istilah Keluarga Maslahah, dan mendirikan Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) yang mendukung program KB. LKK ini di-support juga oleh rumah sakit-rumah sakit dan klinik-klinik. LKK juga mengadakan program-program pelatihan bagi kesehatan tenaga kerja, baik tenaga kerja domestik maupun luar negeri, menyebarkan pamflet-pamflet dan buku-buku tentang kesehatan reproduksi. Rasanya, ini menjadi salah satu success story Fatayat dan Muslimat NU dahulu. Bagaimana Fatayat ke depan? Dalam konteks ini, penulis ingin memetakan persoalan-persoalan prioritas yang Fatayat NU harus lakukan. Pertama, menyiapkan pemimpin perempuan, tingkat lokal (camat, bupati, wali kota), nasional (gubernur, menteri, kepala lembaga negara) bahkah internasional. Dengan menjadi pemimpin, perempuan memiliki kesempatan yang luas dan kekuasaan yang kuat untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang membela perempuan. Tentu ini membutuhkan waktu yang lama, namun harus dimulai sejak dini. Pengkaderan calon pemimpin perempuan menjadi agenda mendesak. Dalam aras politik, tampaknya Fatayat menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang terlibat dalam advokasi peraturan/undang-undang pemilu sejak 2003 (Fithriati; 2008). Kini perempuan-perempuan NU sudah mulai duduk di badan legislatif. Sebagian juga sudah masuk dalam pemerintahan. Tentu, keterlibatan NU dalam politik praktis melalui Partai Kebangkitan Bangsa semakin membuat peluang untuk mencetak para pemimpin perempuan NU lebih banyak lagi. Kedua, sebagai gerakan pemberdayaan perempuan, Fatayat NU sudah harus mulai melebarkan sayapnya, tidak hanya berkutat pada pencerahan keagamaan—meskipun ini tetap penting—tetapi juga harus mulai menyentuh wilayah ekonomi dan kesehatan. Ingat bahwa mayoritas anggota Fatayat adalah ibu rumah tangga dan kemudian wiraswasta (other self-employed activities). Kedua hal ini penting sebagai kebutuhan dasar manusia. Komunitas-komunitas pembedayaan perempuan di bidang ekonomi (baca: ekonomi riil seperti koperasi, kerajinan, pertanian, industri kecil, menengah, dan sebagainya) menjadi wajah untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Entrepreneurial or vocational training seringkali menjadi agende kesekian setelah program-program literacy, capacity building, dan konseling. Tak kalah penting lagi adalah kesehatan, terutama kesehatan reproduksi. Ingat bahwa reproduction is the single greatest threat to (women’s) health (Christopher Candland & Siti Nurjanah; 2004). Angka meninggal Ibu melahirkan masih cukup tinggi. Pernikahan di usia dini yang berpengaruh signifikat pada meningkatnya angka kelahiran, putus sekolah dan rendahnya tingkat ekonomi, juga semakin memprihatinkan, terutama di daerah-daerah kantong NU, misalnya Rembang dan Banyuwangi. Lagi-lagi pendidikan seks untuk remaja menjadi agenda kesekian. Ketiga, Fatayat NU juga harus mampu menjadi leading sector penyampai pendidikan politik bagi perempuan. Pendidikan politik di sini bermakna luas, bisa politik praktis, politik hukum, politik anggaran, Hak Asasi Manusia, dan pengetahuan tentang anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Memang politik bukanlah priotitas utama tujuan pendirian Fatayat, (sebagaimana hasil penelitian Nunung Nuryartono & Pataporn Sukontamarn; 2010), namun dalam kehidupan sehari-hari kini kita tidak bisa terhindar dari imbas kebijakan politik. Oleh sebab itu, perempuan
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 08 Muharram 1437H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahumma innii a'uudzu bika minal 'ajzi wal kasali wal jubni wal bukhli wal hammi wa 'adzaabil qabri. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari lemah, malas, pesimis (cemas), kikir, dukacita dan dari siksa kubur. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] PCNU: Kaji Ulang Semua Izin Tambang Pasir di Lumajang!
PCNU: Kaji Ulang Semua Izin Tambang Pasir di Lumajang! Jumat, 02/10/2015 20:05 [image: PCNU: Kaji Ulang Semua Izin Tambang Pasir di Lumajang!] Jakarta, *NU Online* Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Lumajang menilai pentingnya mengaji ulang setiap kebijakan penambangan pasir di daerah setempat. Kajian tersebut tak hanya pada aktivitas yang ilegal, tapi juga penambangan yang telah mendapatkan izin resmi. Sikap ini mencuat menyusul aktivitas penambangan pasir di Pesisir Watu Pecak, Lumajang, Jawa Timur, yang berujung pada tragedi pembunuhan terhadap aktivis penolak tambang bernama Salim alias Kancil di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang. Menurut Ketua PCNU Lumajang Syamsul Huda, di samping aspek keselamatan lingkungan, kajian ulang juga diperlukan untuk mencegah timbulnya konflik di masyarakat yang sebagaimana yang terjadi sepekan lalu. Apalagi, ia juga menengarai adanya indikasi pelanggaran terhadap pemberian izin tambang yang selama ini ada. “Saya mencium ada indikasi (pelanggaran itu) sehingga tambang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja,” tutur Syamsul saat dihubungi NU Online, Jumat (2/10), usai rapat koordinasi terkait peristiwa pembunuhan terhadap Salim “Kancil” (52) dan penganiayaan terhadap Tosan (51). PCNU Lumajang memandang, segenap eksplorasi lingkungan mesti mempertimbangkan segi maslahat dan mudaratnya, di samping peraturan tertulis mengenai hal itu. PCNU Lumajang berharap ada penataan ulang terkait aksi penambangan di kabupaten yang berbatasan dengan Samudera Hindia di sisi selatan ini. *(Mahbib Khoiron)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62571-lang,id-c,nasional-t,PCNU++Kaji+Ulang+Semua+Izin+Tambang+Pasir+di+Lumajang+-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Quraish Shihab: Perempuan
Perempuan Oleh: M. Quraish Shihab “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. az-Zâriyât [51]: 49). Perempuan diciptakan Allah berpasangan dengan lelaki untuk mendampinginya, demikian pula sebaliknya. Perempuan pastilah yang terbaik untuk mendampingi lelaki, demikian juga sebaliknya, karena tidak ada ciptaan Tuhan yang tidak sempurna dalam pontensinya mengemban tugas serta fungsi yang diharapkan darinya. Tanpa perempuan, masa muda lelaki menjadi gersang, masa matangnya menjadi hampa, dan masa tuanya menjadi penyesalan. Allah menciptakan perempuan–baik sebagai istri, ibu, atau anak–untuk dicintai dan dihormati, demikian pula sebaliknya. Nabi Muhammad saw. bersabda: “Dicintakan oleh Allah buat aku dari apa yang terhidang di dunia ini, perempuan dan wewangian…” “Tidak ada yang menghormati perempuan, kecuali seorang terhormat dan tidak ada yang menghinanya, kecuali yang bejat.” Mencintai perempuan adalah salah satu aspek fitrah manusia, dan karena itu semua rincian tuntunan al-Qur’an dan Sunnah menyangkut perempuan, bahkan manusia, tecermin melalui prinsip di atas. Jangan pernah berkata bahwa asal kejadian lelaki lebih unggul ketimbang perempuan, sekali lagi jangan, karena kedua jenis itu diciptakan min nafsin wâhidah/dari jenis yang sama (QS. an-Nisâ’ [4]: 1) dan min dzakarin wa untsâ (QS. al-Hujurât [49]: 13), yakni lahir melalui seorang lelaki bersama seorang perempuan, yaitu hasil pertemuan sperma dan ovum. Lelaki makhluk bersperma dan perempuan makhluk berovum, namun keliru bila dianggap bahwa keduanya seperti dua unit independen yang masing-masing berdiri sendiri. Tidak! Keduanya saling berkaitan dan saling membutuhkan. Mereka (istri) adalah pakaian untuk kamu dan kamu pun (suami) adalah pakaian untuk mereka (QS. al-Baqarah [2]: 187). Allah telah menganugerahi keduanya potensi yang cukup, yang menjadikan keduanya mampu melaksanakan aneka kegiatan kemanusiaan yang umum dan khusus. Sehingga, kalau kehidupan di bumi didasari atas pilihan, keikhlasan, kesetiaan, kecerdasan berpikir, dan kebenaran tingkah laku, maka kedua jenis manusia ini sama dalam bidang-bidang tersebut. Sesekali lelaki yang unggul, dan di kali lain perempuan. Dalam keberhasilan atau kegagalan, balasan baik atau buruk, masing-masing dapat memperolehnya. Begitu maksud QS. Âli-‘Imrân [3]: 195 dan an-Nisâ’ [4]: 124. Memang ada perbedaan antara keduanya, itu juga adalah fitrah yang dirancang Allah agar terjadi hubungan harmonis, bahkan cinta kasih antara keduanya. Lelaki dan perempuan memunyai hak dan kewajiban seimbang walau tidak sama. Jangan pernah berkata bahwa kekuatan jarum jahit yang melebihi benang menjadikannya lebih unggul daripada benang, karena tanpa benang, jarum tidak dapat berfungsi. Jahit-menjahit tidak akan terjadi kalau hanya jarum atau hanya benang yang tersedia. Karena itu, harus ada pembagian kerja dan demikian jugalah Islam mengatur hal itu melalui tuntunannya, yang disesuaikan dengan sifat dan kodrat masing-masing. Fungsi menciptakan bentuk. Karena gelas dirancang untuk berfungsi sebagai alat minum, maka bibirnya dijadikan tebal dan halus, berbeda dengan pisau yang dirancang untuk memotong. Berbahaya menjadikan pisau sebagai alat mimum, dan pasti gagal yang menjadikan gelas alat memotong. Perempuan memunyai hak dan wewenang atas hasil usahanya sebagaimana lelaki pun demikian (QS. an-Nisâ’ [4]: 32). Islam tidak melarangnya bekerja, selama dia membutuhkan pekerjaan itu atau pekerjaan itu membutuhkannya, dan selama terpelihara dirinya dan lingkungannya dari segala yang mengundang hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan agama. Demikian, wa Allâh A’lam. [] -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Din Syamsuddin Pernah Dukung Pencanangan Hari Santri
Din Syamsuddin Pernah Dukung Pencanangan Hari Santri Senin, 19/10/2015 08:00 [image: Din Syamsuddin Pernah Dukung Pencanangan Hari Santri] Jakarta, *NU Online* Din Syamsuddin pernah setuju dengan rencana pencanangan Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo. Hal itu disampaikan pada 25 Oktober 2014 saat ia menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. "Saya mendukung saja rencana pencanangan hari santri, itu adalah langkah yang bagus," kata Din di Jakarta, sebagaimana diberitakan republika.co.id dengan judul MUI Dukung Jokowi Canangkan Hari Santri. Menurutnya, pencanangan ini tidak harus pada tanggal 1 Muharram, tetapi bisa pada tanggal kapan saja, yang terpenting adalah esensinya. Din saat itu juga mengatakan bahwa Hari Santri adalah bukan isu terkait MUI pada janji Presiden Jokowi ketika berkampanye, tetapi mendukung langkah tersebut jika memang akan dicanangkan. Ia menjelaskan hal itu sehari menjelang perayaan tahun baru hijriah oleh MUI di Gelora Bung Karno, Jakarta. Dukungan tersebut berbeda dari pandangan Din, juga tokoh-tokoh Muhammadiyah lain, yang beredar di beberapa media massa belakangan ini. Din menolak penetapan hari santri nasional dengan alasan dapat mengganggu persatuan bangsa. Menurutnya, dikotomi santri-abangan adalah upaya intelektual orang luar untuk memecah belah umat Islam dengan mengukuhkan gejala budaya yang sesungguhnya bisa berubah. Untuk keperluan ini, Din bahkan mengirim surat khusus kepada Presiden Joko Widodo, beserta sejumlah menteri, di antaranya Mensesneg, Mendagri, Menko Polhukam, Menko PMK, dan Mendikbud. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj yang sejak tahun lalu mengusulkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional tak sepakat dengan tudingan tersebut. Kang Said, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa hari santri merupakan momentum penanda bagi umat Islam Indonesia, tidak hanya NU, tentang komitmennya terhadap Indonesia. “Dalam kenyataannya santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, bukan sekadar muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Dengan pengertian ini segala jenis usaha pembenturan santri dengan kelompok-kelompok lain di negeri ini sudah pasti mentah. Kecintaan terhadap tanah air selalu mengatasi sentimen kelompok,” tutur Kang Said dalam konferensi pers Kirab Hari Santri dua pekan lalu. Resolusi Jihad pada 22 Oktober, menurut Kang Said, adalah saksi sejarah bahwa spiritualitas Islam mampu bergandengan dengan patriotisme dalam rangka menumpas kaum penjajah.* (Mahbib)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62888-lang,id-c,nasional-t,Din+Syamsuddin+Pernah+Dukung+Pencanangan+Hari+Santri-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Buya Syafii: Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme di Indonesia (II)
Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme di Indonesia (II) Oleh: Ahmad Syafii Maarif Dan, situasi akan semakin memburuk serta berbahaya pada saat politisi menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan pragmatisnya sendiri. Selama sikap semacam ini berlanjut di kalangan mereka yang juga menyebut dirinya sebagai pemeluk agama, tidak ada harapan bahwa perdamaian akan terwujud. Dengan frasa Bhinneka Tunggal Ika, Mpu Tantular sebenarnya ingin menyaksikan bahwa antara penganut Hindu (khususnya Syiwa) dan penganut Buddha dapat membina hidup bersama dengan damai dan serasi dalam kerajaan itu. Bilamana pada akhirnya Kerajaan Majapahit runtuh, bukanlah disebabkan oleh konflik agama antara penganut Hindu dan penganut Buddha, melainkan menurut catatan sarjana Prancis Coedes karena sebab-sebab berikut. Pertama, munculnya Malaka sebagai pusat perdagangan dan sebuah awal penyebaran Islam. Kedua, pecahnya perang suksesi di kalangan elite puncak Majapahit. Dan, ketiga, adanya upaya Cina di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo untuk mengambil alih posisi Jawa sebagai yang dipertuan di nusantara dan di semenanjung. (Lih. G Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, ed Oleh Walter F Vella, terj. Oleh Susan Brown Cowing. Honolulu: East-West Center Press, 1968, hlm 241). Sekalipun Kerajaan Majapahit telah masuk ke museum sejarah, Bhinneka Tunggal Ika rumusan Mpu Tantular bertahan sampai hari ini di Indonesia, sebagaimana telah disebut di atas. Tidak ada masalah dalam menerima ciptaan sastrawan Buddha ini. Kenyataannya, seluruh rakyat Indonesia telah menerima sasanti Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan sejarahnya sendiri, sesuatu yang amat penting bagi pengembangan iklim kemerdekaan agama, harmoni sosial, dan toleransi di negeri ini. Kemudian, kita tengok pula kehadiran Islam dan agama Kristen di kepulauan ini beberapa abad silam. Saat kedatangan kedua agama ini, akar-akar sosiokultural Hindu-Buddha masih sangat kuat, dan bahkan perilaku rakyat umum masih dipengaruhi oleh nilai-nilai agama kosmopolitan asal India ini. Diperlukan waktu beberapa abad bagi Islam dan Kristen untuk menggantikan posisi dominan Hinduisme dan Buddhisme di nusantara. Islam, khususnya, sejak abad ke-17, telah tampil sebagai agama yang sangat berpengaruh di kawasan ini. Keberhasilan besarnya bukan diraih melalui peperangan, melainkan “melalui perembesan damai, toleran, dan bersifat membangun” (penetration pacifique, tolerant, et constructive), sebagai disimpulkan oleh Yosselin de Yong. Berdasarkan gejala sosial ini, watak utama Islam Indonesia dengan sendirinya bersifat damai dan toleran, sampai suatu ketika belum lama ini muncul kelompok sempalan kecil dengan topangan ideologi radikal dari luar negeri sebagai filsafat politik yang dianutnya untuk melakukan tindakan-tindakan brutal dan kejam. Dalam kasus semacam ini, agama pastilah merupakan bahaya dan kutukan bagi kehidupan manusia. Kemudian, kita lihat pula agama Kristen dan persandingannya dengan Islam dalam masalah toleransi dan perdamaian. Dengan mengesampingkan sisi imperialistik dari penganut Kristen Eropa, agama Kristen sendiri adalah agama perdamaian, toleransi, dan harmoni. Pernyataan Yesus dalam Bibel berikut ini, “Anda telah dengar dan dikatakan bahwa 'Kamu harus mencintai tetanggamu dan membenci musuhmu'. Tetapi aku katakan kepadamu, 'Cintailah musuhmu, sayangilah orang yang mengutukmu, berbuat baiklah kepada orang yang membencimu, dan doakanlah mereka yang memanfaatkanmu dengan dengki dan yang menganiayamu'.” (Matteus 5:43-44) adalah salah satu bukti teologis bahwa agama Kristen pada dasarnya adalah sebuah agama kasih dan damai. Sama halnya dengan Islam. Islam menurut definisi berarti damai dan sikap penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Alquran sebagai sumber utama Islam dalam sebuah ayat menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam beragama.” (QS al-Baqarah [2]: 256). Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada satu pun Kitab Suci sepanjang sejarah peradaban manusia yang demikian gamblang membela prinsip kebebasan beragama. [] REPUBLIKA, 13 Oktober 2015 Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Hukum Wanita Hamil di Luar Nikah
*Hukum Wanita Hamil di Luar Nikah* Pertanyan: Assalamu'alaikum wr. wb. Redaksi NU yang Insya Allah dirahmati Allah swt, pertanyaannya tentang hukum Islam bagi wanita yang mengandung anak di luar nikah tapi tidak menikah dengan ayah biologisnya maupun dengan lelaki lain, sampai dengan lahirnya anak tersebut. Penjelasannya sangat diharapkan, terima kasih. Wassalamu'alaikum wr. wb. Nani Solaiman/ Kota Tual – Maluku Tenggara, Propinsi Maluku Jawaban: Assalamu’alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa dalam hukum Islam orang yang melakukan zina terkena hukumam had. Secara umum hukuman had ini tergantung siapa pelakuknya. Bisa dengan rajam, atau dengan jild (dera) dan pengasingan. Jika zinanya masuk kategori zina muhshan maka hukuman hadnya adalah dengan rajam. Namun jika ternyata ia hamil maka pelaksanaan rajam itu setelah melahirkan bayinya. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْحَامِلَ لاَ تُرْجَمُ حَتَّى تَضَعَ “Ibnu al-Mundzir berkata; para ulama telah sepakat bahwa orang hamil tidak dirajam sampai ia melahirkan”. (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait Dar as-Salasil, cet ke-1, 1404 H, juz, 22, h. 126). Sedang jika zina masuk kategori ghairu muhshan artinya pelakunya adalah orang yang belum menikah (perjaka atau gadis, dan telah memenuhi ketentuan yang berlaku) maka hukuman hadnya adalah dengan didera seratus kali dan diasingkan selama setahun. Dan boleh saja diasingkan dulu baru kemudian didera. Hal ini sebagaimana keterangan yang kami pahami terdapat dalam kitab Kifayah al-Akhyar berikut ini; وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا تَرْتِيبَ بَيْنَ الْجِلْدِ وَالتَّغْرِيبِ فَيُقَدَّمُ مَا شَاءَ مِنْهُمَا “Ketahuilah, bahwa tidak ada aturan harus tertib di antara dera dan pengasingan, karenanya maka boleh salah satu di antara keduanya boleh didahulukan”. (Taqiyyuddin Abi Bakr al-Husaini al-Hishni asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-Ilm, tt, juz, 2, h. 143). Namun untuk menentukan seseorang dikatakan berzina sehingga layak mendapatkan had zina tidaklah semudah membalik telapak tangan. Jika ada seorang perempuan yang hamil, padahal tidak bersuami maka harus dibuktikan dulu apakah kehamilannya karena berbuat zina atau karena hal lain seperti diperkosa. Yang harus kita lakukan adalah jangan terburu-buru memvonis ia telah melakukan zina dengan seorang laki-laki jika memang kita tidak memiliki bukti yang kuat. Dalam hukum Islam, seseorang dikatakan berzina harus dibuktikan terlebih dahulu dengan bukti yang kuat, bisa dengan menghadirkan empat orang saksi laki-laki, atau bisa juga dengan adanya pengkuan dari pihak pelakunya sendiri sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah saw. Sedang mengenai saksi haruslah orang yang adil. Dan di zaman sekarang sangat susah mencari orang yang adil. Di samping dari sisi person, ada juga syarat yang harus yang harus dipenuhi dalam kesakasian tersebut. Di antara syarat yang disepakati para ulama adalah bahwa kesaksian tersebut. وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ مِنْ شُرُوطِ هَذِهِ الشَّهَادَةِ أَنْ تَكُونَ بِمُعَايَنَةِ فَرْجِهِ فِي فَرْجِهَا وَأَنْ تَكُونَ الشَّهَادَةُ بِالتَّصْرِيحِ لَا بِالْكِنَايَةِ “Para ulama sepakat bahwa di antara syarat kesaksian ini ialah dengan melihat secara langsung alat vital pihak laki-laki masuk ke lubang vagina pihak perempuan, dan kesaksian tersebut harus diungkapkan dengan bahasa yang jelas (tashrih) tidak dengan bahasa sindirin (kinayah)”. (Abdurraham al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 5, h. 29 ). Pertanyaan selanjutnya yang harus diajukan di sini adalah, apakah kehamilan seorang perempuan yang tidak bersuami bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa ia telah melakukan zina sehingga ia harus dihad? Mayoritas pakar hukum Islam menyatakan bahwa kehamilan seorang perempuan yang tidak punya suami tidak dengan serta merta menunjukkan ia berbuat zina sehingga harus dihad. وَإِذَا ظَهَرَ بِالْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ حَمْلٌ لَا زَوْجَ لَهَا وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ الَّتِي لَا يُعْرَفُ لَهَا زَوْجٌ وَتَقُولُ أُكْرِهْتُ ، أَوْ وُطِئْتُ بِشُبْهَةٍ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا حَدٌّ كَمَا قَالَهُ : أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ فِي أَظْهَرِ رِوَايَتَيْهِ “Apabila tampak adanya kehamilan pada seorang perempuan merdeka yang tidak bersuami, begitu juga budak yang tidak bersuami, dan ia mengatakan saya dipaksa atau saya disetubuhi dengan persetubuhan syubhat maka ia tidak wajib dihad. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh imam Abu Hanifah, imam Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hanbal menurut dalam riwayatnya yang adhhar” (Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, 5, h. 15). Pandangan ini mengandaikan bahwa kehamilan seorang perempuan yang tidak memiliki suami belum tentu akibat dari
[keluarga-islam] Gus Mus: Islam Itu Mudah, Jangan Dipersulit
Gus Mus: Islam Itu Mudah, Jangan Dipersulit Ahad, 11/10/2015 03:08 [image: Gus Mus: Islam Itu Mudah, Jangan Dipersulit] Pati, *NU Online* KH Mustofa Bisri (Gus Mus) menegaskan bahwa Islam tidak mempersulit siapapun. Karenanya, ia mengajak para penganutnya untuk tidak mempersulit diri dalam mempraktikkan agama. Demikian diuraikan mantan Rais Aam PBNU dalam acara “Suluk Maleman: Islam Dulu dan Islam Kini” yang berlangsung di Rumah Adab Indonesia Mulia jalan Diponegoro nomor 94 Pati, Jum’at (9/10) malam. Terkait Islam itu mudah, sayyidatina Aisyah pernah mengajarkan *innaddina yusrun*, sesungguhnya agama itu mudah. Dalil lain tentang mudahnya dalam beragama *yuridullahu bikumul yusra wala yuridu bikumul usra*, tutur Gus Mus. Pengasuh pesantren Raudlatut Thabilien Rembang ini pernah mengingatkan seorang yang berkonsultasi dengannya lantaran menurut si fulan shalat itu susah. Banyak lafal-lafal yang susah dihafalkan. Kemudian hal ini dibantahnya misalnya ketika shalat hanya bisa mengucapkan takbir, menurutnya tidak jadi soal. Apalagi dengan tegas Allah menyebut semampunya. Beragama, lanjut kiai asal Rembang ini, sebenarnya sudah sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Misalnya soal hormat kepada tetangga, menghormati orang yang lebih tua maupun hormat kepada yang muda. Agar beragama tidak salah jalur, menurutnya abd (hamba) harus mengenal Allah. Kenalnya makhluq kepada khaliq (pencipta) tujuannya tidak lain untuk menyenangkan Allah. Dalam kegiatan rutin yang dihadiri ratusan jamaah ini menyenangkan Allah dan menyenangkan diri perlu dibedakan. Suatu ketika seorang sepulang haji pamer kepadanya lantaran bisa mencium hajar aswad. “Mencium hajar aswadmu untuk menyenangkan dirimu apa menyenangkan Allah?” tanya Gus Mus kepada si Haji. Mendengar cerita si Haji, Gus Mus pun mengkritik dirinya mencium hajar aswad hanya perkara yang sunah tetapi jika caranya dengan menyikut banyak jamaah jelas dilarang Allah SWT. Sehingga dibanyak kitab salaf, bab pertama yang kerap dibahas tak lain ialah tentang mengenal Allah. Kiai ini mengungkapkan dalam beragama jangan tebang pilih hanya memilih berjenggot dan bersorbannya saja,tetapi akhlak mulia Nabi tidak ditiru. Jika demikian, ia menyebut yang prinsip ditinggalkan dan semestinya tidak prinsip malah diagung-agungkan. “Allah tidak butuh ibadah kita. Tetapi kita yang butuh Allah,” lanjutnya. Dalam kesempatan ini juga hadir penyair Abdul Hadi WM, Akademisi Ilyas dan shohibul bait Anis Sholeh Baasyin sekaligus pimpinan Orkes Puisi Sampak GusUran. (*Syaiful Mustaqim/Alhafiz K*) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62701-lang,id-c,nasional-t,Gus+Mus++Islam+Itu+Mudah++Jangan+Dipersulit-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] PBNU Sambut Baik Keluarnya Keppres Soal Penetapan Hari Santri Nasional
PBNU Sambut Baik Keluarnya Keppres Soal Penetapan Hari Santri Nasional Kamis, 15/10/2015 19:02 [image: PBNU Sambut Baik Keluarnya Keppres Soal Penetapan Hari Santri Nasional] Jakarta, *NU Online* Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menanggapi gembira penetapan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 22 tahun 2015 terkait penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Pihak PBNU menilai negara melalui Keppres itu telah mengakui saham kalangan pesantren dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. “Kita mengapresiasi langkah tepat Presiden. Ini merupakan sebuah pengakuan negara terhadap 22 Oktober sebagai hari bersejarah terkait fatwa bela tanah air,” kata Sekjen PBNU H Helmy Faisal Zaini menanggapi keluarnya Keppres nomor 22 tahun 2015 di Jakarta, Kamis (15/10) sore. Sebagaimana diketahui, Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kantor Presiden pada Kamis (15/10) menyatakan bahwa penetapan Hari Santri Nasional diusulkan oleh internal kabinet dan pihak masyarakat. Penetapan Hari Santri Nasional merupakan pemenuhan janji kampanye pilpres Jokowi pada 2014. Menurut keterangan Pramono, 22 Oktober tidak diliburkan. Hanya saja sejumlah pihak mungkin merayakannya. Sementara 22 Oktober sendiri merujuk pada fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama KHM Hasyim Asyari. Fatwa ini kemudian menggerakkan santri, kiai, dan umat Islam untuk mengusir tentara Sekutu hingga pecah peristiwa 10 November. Kini pengurus harian PBNU tengah mengadakan rapat untuk memperingati Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober. (*Alhafiz K)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62810-lang,id-c,nasional-t,PBNU+Sambut+Baik+Keluarnya+Keppres+Soal+Penetapan+Hari+Santri+Nasional-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 08 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahumma inni as-aluka khairahuu wa khaira maa jubila 'alaihi wa a'uudzubika min syarrihii wa syarri maa jubila lahaihi. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu akan kebaikannya dan kebaikan tabiatnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan tabiatnya. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 16, Bab 43. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Susunan Lengkap Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (PP LAZISNU) 2015-2020
Susunan Lengkap PP LAZISNU 2015-2020 Sabtu, 19/09/2015 10:53 Jakarta, *NU Online* Pengurus Pusat Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (PP LAZISNU) masa khidmat 2015-2020 resmi dikukuhkan, Rabu (16/9) malam di halaman Gedung PBNU Jl Kramat Raya Jakarta. Pengurus Pusat LAZISNU disahkan melalui surat keputusan Nomor: 15/A.II.04/09/2015 dan ditandatangani oleh Rais Aam, KH Ma’ruf Amin, Katib Aam, KH Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dan Sekjen PBNU, H A Helmy Faishal Zaini. LAZISNU bertugas menghimpun, mengelola dan mentasharufkan atau menyalurkan zakat dan shadaqah kepada mustahiqnya. Berikut susunan lengkap Pengurus Pusat LAZISNU masa khidmat 2015-2020: Penasehat: KH. Najib Abdul Qadir KH. Ali Akbar Marbun KH. Zamzami Amin H. M. Sulton Fatoni, M.Si KH. Muadz Thohir H. Muhammad Said Aqil, S.Pd Ketua : Syamsul Huda Wakil Ketua : Dohir Farisi Wakil Ketua : M. Ichsan Loulembah Wakil Ketua : Ahmad Basarah Wakil Ketua : Jazilul Fawaid Wakil Ketua : Drs. Azis Ahmadi Wakil Ketua : H. Ubaidillah Amin Wakil Ketua : Danang Sangga Buwana Wakil Ketua : Ahyad Alfidai S.Ag, MM Wakil Ketua : Dr. Iqbal Irfani Sekretaris : Adna Khoirotul A’yun Wakil Sekretaris : Hafid Ismail Wakil Sekretaris : Ade Soni Susanto Wakil Sekretaris : Abdurrouf, M.Hum Wakil Sekretaris : Maulana Syahiduzzaman Wakil Sekretaris : Faridah Faricha Bendahara : H. Asmu’i bin Manshur Wakil Bendahara : Faizi Zaini, SE, MSE Wakil Bendahara : H. Bisri Romli Wakil Bendahara : Fahma Mikaila *(Fathoni)* *Sumber: * http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62278-lang,id-c,nasional-t,Susunan+Lengkap+PP+LAZISNU+2015+2020-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Terkait Islam Nusantara, Rais Aam: NU Biasa Bikin Kaget
Terkait Islam Nusantara, Rais Aam: NU Biasa Bikin Kaget Ahad, 20/09/2015 00:02 [image: Terkait Islam Nusantara, Rais Aam: NU Biasa Bikin Kaget] Jakarta, *NU Online* Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin memaklumi riuh di tengah publik ketika Muktamar Ke-33 NU mengangkat tema “Islam Nusantara”. Menurut Kiai Ma’ruf, ramainya polemik di tengah masyarakat sejauh ini masih dalam taraf wajar. “*Alhamdulillah* ada reaksi itu dari masyarakat. Tentu agar orang-orang memerhatikan dan mengetahui konsep Islam Nusantara. NU memang biasa bikin kaget. Asal jangan orang jantungan saja,” kata Kiai Ma’ruf disambut tawa peserta diskusi mingguan dalam forum Tashwirul Afkar di Perpustakaan PBNU, Jakarta, Jumat (18/9) sore. Mengetahui sebuah gagasan, Kiai Ma’ruf melanjutkan, merupakan langkah awal sebelum akhirnya menerima atau menolak. Akan menjadi tidak bijak ketika mengambil sikap penolakan secara apriori sebelum mengetahui dan mencerna sebuah gagasan. “Ini ribut saja soal sebutan ‘Islam Nusantara’. Padahal Islam Nusantara itu *ahlusunnah wal jamaah ala thariqatin nahdliyah*. ‘Islam Nusantara’ covernya saja. jadi Islam Nusantara itu *huwa huwa* (sama saja. itu-itu juga, Red),” ujar Kiai Ma’ruf di hadapan sedikitnya 40 peserta diskusi yang memenuhi ruang perpustakaan PBNU. Pada forum yang juga dihadiri Pengurus NU Amerika Ahmad Sahal, Sekjend PBNU H Helmy Faisal Zaini, dan Wasekjend PBNU H Masduki Baidowi, Kiai Ma’ruf berpesan kepada para pemuda terlebih intelektual di lingkungan Nahdlatul Ulama agar terus memproduksi gagasan baru. “Asal jangan mandek. Pemikiran harus ada kontinuitas dan improvement sehingga bergerak terus dengan catatan tawasuth dan tentu juga moderat,” Kiai Ma’ruf mengajak peserta forum untuk mendinamisasi pemikiran. Ruang diskusi lebih dipadati oleh mahasiswa-mahasiswi NU dan juga aktivis IPNU-IPPNU. (*Alhafiz K*) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62295-lang,id-c,nasional-t,Terkait+Islam+Nusantara++Rais+Aam++NU+Biasa+Bikin+Kaget-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Obat dengan Bahan Semut, Cacing, dan Undur-undur
*Obat dengan Bahan Semut, Cacing, dan Undur-undur* Pertanyaan: Assalamu'alaikum wr wb. Ustadz yang saya hormati, di tempat saya ada beberapa orang yang menjual obat herbal dimana bahan pokoknya adalah semut, cacing dan undur-undur. Bagaimana sebetulnya Islam mengatur hal ini, adakah dalil yang mendasari kehalalannya berobat dengan bahan-bahan demikian? Lalu bagaimana hukum budi daya hewan-hewan tersebut dengan tujuan diperjualbelikan? Atas penjelasannya kami sampaikan terima kasih. Wassalam. Achsib – Surabaya Jawaban: Wa’alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh. Saudara Achsib, mudah-mudahan Allah selalu menaungi kehidupan anda dengan ridha dan kasih sayang-Nya. Pada dasarnya Islam telah mengatur apa saja yang boleh dikonsumsi ataupun dihindari oleh umatnya. Hal ini tentu saja berlaku pada makanan, minuman, obat-obatan serta berbagai penunjang kebutuhan manusia lainnya. Prinsip yang dikembangkan oleh Islam adalah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk dampaknya bagi keberlangsungan kehidupan manusia secara keseluruhan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah surat al-A’raf ayat 157: وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ Artinya: dan Nabi yang ummi serta didapati dalam kitab Taurat dan Injil tersebut (Rasulullah saw) menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka. Ayat diatas kemudian dijabarkan oleh Rasulullah saw melalui hadis-hadis beliau yang cukup banyak dan kemudian ditafsiri oleh generasi setelahnya dengan berbagai macam penafsiran. Saudara penanya yang kami hormati, sebelum menanggapi pertanyaan yang saudara sampaikan, ada baiknya apabila kita mengetahui pandangan para ilmuwan Islam (ulama) mengenai status kehalalan maupun keharaman hewan-hewan ini mengingat konsekuensi yang akan muncul dari tiap-tiap pendapat tentu akan berbeda. Semut, cacing, dan undur-undur dalam istilah biologi termasuk hewan yang tidak mempunyai tulang belakang atau tulang punggung (Avertebrata/invertebrata), sementara dalam bahasa Arab ketiga jenis hewan ini dimasukkan dalam kategori serangga (al-hasyarat). Khusus untuk Semut hampir mayoritas ulama mengatakan bahwa hewan ini haram dimakan karena termasuk salah satu hewan yang dilarang oleh Nabi untuk dibunuh. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud bersumber dari Ibnu Abbas Rasulullah saw bersabda: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةُ، وَالنَّحْلَةُ، وَالْهُدْهُدُ، وَالصُّرَدُ Artinya: Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud, dan burung Shurod.” Hadis di atas kemudian dijadikan dasar oleh para ulama mengenai tidak diperbolehkannya semut untuk dikonsumsi sebagai makanan, meskipun masih banyak diantara mereka yang beranggapan bahwa jenis semut yang dilarang untuk dibunuh hanyalah satu jenis semut tertentu. Sementara untuk kedua jenis binatang lainnya (cacing dan Undur-undur), para ulama terbagi dalam dua kelompok: Kelompok pertama berpandangan bahwa kedua jenis hewan ini termasuk dalam kategori al-hasyarat (serangga) dan hukumnya haram (tidak boleh dimakan) dengan alasan menjijikkan (al-khabaist). Ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Abu Hanifah dan asy- Syafi'i. Kelompok kedua dipelopori oleh Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Auza'i berpendapat bahwa al-hasyarat hukumnya halal. Selanjutnya mengenai tentang boleh tidaknya berobat dengan hal-hal yang haram, para ulama’ dengan berbagai argumentasi yang mereka kemukakan, berbeda pendapat menjadi empat: 1. Pendapat pertama menyatakan boleh berobat dengan yang haram dalam keadaan darurat (kritis) dan tidak ditemukan obat lain. 2. Pendapat kedua menyatakan haram secara mutlak. 3. Pendapat ketiga menyatakan dalam kondisi darurat boleh berobat dengan yang haram/najis, kecuali khamar. 4. Pendapat keempat menyatakan tidak haram menggunakan obat dari jenis-jenis serangga meskipun menjijikkan. Dari keempat pendapat ini tentunya akan berdampak pula pada jawaban atas pertanyaan berikutnya dari saudara yakni hukum budidaya hewan-hewan tersebut dengan tujuan untuk diperjualbelikan. Di antara para ulama ada yang membolehkan disamping juga ada yang tidak memperbolehkan. Untuk masalah ini sebenarnya Muktamar ke-30 NU di Lirboyo tahun 1999 telah menjelaskan secara terperinci. Dalam hal ini kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang memperbolehkan budidaya hewan-hewan tersebut dengan tujuan diperjualbelikan. Mudah-mudahan jawaban ini bermanfaat. Amin. [] Maftukhan Tim Bahtsul Masail NU -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Tiga Alasan Mengapa Presiden Mesti Tetapkan Hari Santri
Tiga Alasan Mengapa Presiden Mesti Tetapkan Hari Santri Selasa, 29/09/2015 09:00 [image: Tiga Alasan Mengapa Presiden Mesti Tetapkan Hari Santri] Jakarta, *NU Online* Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) KH Abdul Ghoffar Rozien menyerukan agar Presiden Joko Widodo menepati janjinya dalam kampanye. Jika Presiden pernah mengusulkan 1 Muharam, RMI berpendapat 22 Oktober lebih tepat karena alasan historis. “Ribuan pesantren dan jutaan santri sudah menunggu keputusan Presiden terkait dengan Hari Santri Nasional. Kebijakan itu, menguatkan marwah negara,” ungkap Rozien Ia mengatakan, langkah presiden Jokowi sudah tepat untuk memberikan penghormatan kepada santri, karena jasa-jasa pesantren di masa lalu yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan serta mengawal kokohnya NKRI,” terang Gus Rozien. Menurut Gus Rozien, latar belakang pentingnya Hari Santri Nasional adalah untuk menghormati sejarah perjuangan bangsa ini. “Hari Santri Nasional tidak sekadar memberi dukungan terhadap kelompok santri. Justru, inilah penghormatan negara terhadap sejarahnya sendiri. Ini sesuai dengan ajaran Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, Jas Merah!” tegasnya. *Tiga Alasan Dasar* Gus Rozien menambahkan, ada tiga argumentasi utama yang menjadikan Hari Santri Nasional sebagai sesuatu yang strategis bagi negara. “Pertama, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 Nopember 1945,” ungkap Gus Rozien. Kedua, lanjutnya, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (daerah Islam) pada pertemuan para kiai di Banjarmasin, 1936. “Sepuluh tahun berdirinya NU dan sembilan tahun sebelum kemerdekaan, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa,” tegas Gus Rozien. Rumusan ketiga, ungkap Gus Rozien, yakni kelompok santri dan kiai-kiai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Para kiai dan santri selaluh berada di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan,” jelas Gus Rozien. Dengan demikian, Gus Rozien menambahkan, Hari Santri bukan lagi sebagai usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren. “Ini wujud dari hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi,” tegas Rozien. Sementara, adanya kritik terhadap rencana penetapan Hari Santri Nasional, menurut Gus Rozien merupakan hal yang wajar. “Itu merupakan hak bagi setiap individu maupun kelompok untuk memberikan kritik. Kami merespon dengan baik dan santun. Akan tetapi, jelas argumentasi epistemiknya lemah jika menggunakan teori Gertz, yang sudah dikritik sendiri oleh kolega-koleganya, semisal Talal Asad, Andrew Beatty, Mark R Woodward, dan beberapa peneliti lain. Selain itu, kelompok abangan juga sudah banyak yang melebur menjadi santri,” terang Rozien. *(Aziz/Mahbib)* Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62497-lang,id-c,nasional-t,Tiga+Alasan+Mengapa+Presiden+Mesti+Tetapkan+Hari+Santri-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Susunan Lengkap Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMINU) 2015-2020
Susunan Lengkap PP RMINU 2015-2020 Kamis, 17/09/2015 17:31 Jakarta, *NU Online* Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMINU) masa khidmat 2015-2020 resmi dikukuhkan, Rabu (16/9) malam di halaman Gedung PBNU Jl Kramat Raya Jakarta. Pengurus harian PP RMINU disahkan melalui surat keputusan Nomor: 08/A.II.04/09/2015 dan ditandatangani oleh Rais Aam, KH Ma’ruf Amin, Katib Aam, KH Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dan Sekjen PBNU, H A Helmy Faishal Zaini. RMINU bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama dibidang pengembangan pondok pesantren dan pendidikan keagamaan. Berikut susunan lengkap pengurus harian PP RMINU masa khidmat 2015-2020: Penasehat: KH. Hasib Wahab KH. Khalilurrahman KH. Abdussalam Shahib KH. Muadz Tohir Dr. Aqil Irham Ketua : K.H. Abdul Ghaffar Rozin Wakil Ketua : Drs. H. Choirul Fuad Yusuf, M.Si Wakil Ketua : H. Khoirul Huda Basyir Wakil Ketua : Dr. H. Mohsen Alaydrus Wakil Ketua : K.H. Ahmad Syauqi M.Si Wakil Ketua : K.H. Ayip Abbas Wakil Ketua : Dr. K.H. Arwani Syaerozi Wakil Ketua : Dr. H. Agus Zainal Arifin Wakil Ketua : Drs. Masrur Ainun Najih Wakil Ketua : H. Syaifullah Maksum Sekretaris : H. Miftah Faqih Wakil Sekretaris : H. Ahmad Athoillah Wakil Sekretaris : H. Ulin Nuha, S.E. Wakil Sekretaris : K.H. Miftah Ridho Wakil Sekretaris : Munif Huda Wakil Sekretaris : Munir Abbas Buchori Wakil Sekretaris : H. Mahfud Rohani Bendahara : H. Musa Zainuddin Wakil Bendahara : Khotibul Umam Afandi Wakil Bendahara : Habib Soleh *(Fathoni) * Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62251-lang,id-c,nasional-t,Susunan+Lengkap+PP+RMINU+2015+2020-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Aklamasi, Anggia Ermarini Ketua Umum Baru Fatayat NU
KONGRES KE-15 FATAYAT NU Aklamasi, Anggia Ermarini Ketua Umum Baru Fatayat NU Selasa, 22/09/2015 01:11 [image: Aklamasi, Anggia Ermarini Ketua Umum Baru Fatayat NU] Surabaya, *NU Online* Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama demisioner Anggia Ermarini terpilih sebagai Ketum Umum Fatayat masa khidmah 2015-2020. Anggia terpilih secara aklamasi melalui keputusan sidang pleno terakhir dengan agenda pemilihan ketum baru. Keputusan tersebut dibacakan pada rapat pleno terakhir dengan ketua sidang Hj Wartiah (PW Fatayat NTB) dan sekretaris sidang Hj Muslimat (PW Fatayat Sulawesi Selatan) di Aula Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Senin (21/9) malam. Anggi, demikian ia akrab dipanggil, dikukuhkan sebagai nakhoda baru organisasi perempuan muda NU pada Kongres ke-15 Fatayat yang digelar sejak 18 September 2015 kemarin. Ucapan selamat dan sejumlah harapan diberikan kepada Anggi oleh para pimpinan Fatayat yang hadir di sidang pleno terakhir. Setelah dikukuhkan secara aklamasi, agenda Kongres XV Fatayat dinyatakan ditutup. Anggia menyatakan terima kasih atas dukungan mayoritas anggota Fatayat yang diberikan kepada dirinya. Ia berharap, terpilihnya dia sebagai Ketum PP Fatayat menjadi manfaat bagi NU, Fatayat, dan maslahah bagi keluarganya. "Semoga bermanfaat dan maslahah bagi semua, khususnya keluarga saya," ujar Anggi kepada NU Online di Aula Mina Asrama Haji Surabaya usai pengukuhan. Disinggung agenda terdekat, Anggi menegaskan pihaknya segera menyusun kepengurusan baru dan percepatan program. Selain itu, ia akan menjalin silaturrahim dan komunikasi yang baik tidak hanya di pusat namun juga di daerah. "Target saya, Oktober ini selesai semua kepengurusan. Lalu, November pelantikan dilanjutkan raker. Terima kasih yaa..," pungkas Anggi sembari tersenyum simpul.* (Musthofa Asrori/*Mahbib) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62348-lang,id-c,nasional-t,Aklamasi++Anggia+Ermarini+Ketua+Umum+Baru+Fatayat+NU-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Susunan Lengkap Pengurus Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) 2015-2020
Susunan Lengkap Pengurus LKNU 2015-2020 Sabtu, 19/09/2015 13:01 Jakarta, *NU Online* Pengurus Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) masa khidmat 2015-2020 resmi dikukuhkan, Rabu (16/9) malam di halaman Gedung PBNU Jl Kramat Raya Jakarta. Pengurus LKNU disahkan melalui surat keputusan Nomor: 18/A.II.04/09/2015 dan ditandatangani oleh Rais Aam, KH Ma’ruf Amin, Katib Aam, KH Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dan Sekjen PBNU, H A Helmy Faishal Zaini. LKNU bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang kesehatan. Berikut susunan lengkap Pengurus LKNU masa khidmat 2015-2020: Penasehat: KH. AR. Ibnu Ubaidillah Syatori Drs. KH. Abbas Muin, Lc. dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D KH. Lukman Hakim Haris Tim Ahli : Dr. dr. Imam Rasyidi Ketua : Drs. H. Hisyam Said Budairi, M.Sc Wakil Ketua : dr. Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein Wakil Ketua : dr. Rheza Maulana Syahputra Wakil Ketua : Anggia Ermarini, M.Km Wakil Ketua : dr. Hj. Siti Hanah M.Kes. Wakil Ketua : dr. Dzulfikar Asad Wakil Ketua : dr. Amir Fauzi Wakil Ketua : dr. Sibro Malisi Wakil Ketua : dr. Miftahul Munir Wakil Ketua : dr. Ivan Rovian, M.KP Sekretaris : dr. Citra Fitri Agustina Wakil Sekretaris : dr. H. R. Muh. Hardadi Airlangga, SpPD Wakil Sekretaris : dr. Andi Alvian Zainuddin Wakil Sekretaris : M. Zaim Nugroho, S.Sos Wakil Sekretaris : Sofininyah Ghufron, M.Si Wakil Sekretaris : Endang Marhumah Sari Wakil Sekretaris : dr. Alfian Zainuddin Wakil Sekretaris : Fadilah Ahmad Wakil Sekretaris : Ir. Marini Wakil Sekretaris : dr. Leadri Surya Arrosy Bendahara : dr. H. Makki Zamzami Wakil Bendahara : Umi Wahyuni Wakil Bendahara : Muzainah Zein Wakil Bendahara : Enung Maryati Wakil Bendahara : dr. Fauziah Wakil Bendahara : dr. Fery Rahman Wakil Bendahara : Dra. Budiarta Wakil Bendahara : Sundusiyyah, ME *(Fathoni) * Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62281-lang,id-c,nasional-t,Susunan+Lengkap+Pengurus+LKNU+2015+2020-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 09 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahumma tsabbithu waj'alhu haadiyan mahdiyyan. Ya Allah, tetapkan ia terkendali dan jadikanlah ia penuntun (jalan) yang mendapat tuntunan. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 16, Bab 44. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 14 Dzulhijjah 1436H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Irhamnaa bi rahmatika. Ya Allah, berikanlah rahmat-Mu kepada kami. Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 17, Bab 23. -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Dubes Inggris Harap Pelajarnya Lihat Kelenturan Berislam di Indonesia
Dubes Inggris Harap Pelajarnya Lihat Kelenturan Berislam di Indonesia Selasa, 22/09/2015 00:04 [image: Dubes Inggris Harap Pelajarnya Lihat Kelenturan Berislam di Indonesia] Jakarta, *NU Online* Duta Besar Inggris untuk Indonesia Muazzam Malik menginginkan para pelajar dan mahasiswa Eropa khususnya Inggris melihat langsung pola keberagamaan orang-orang Indonesia menjalankan ajaran agama Islam. Dalam kunjungan kerja samanya dengan PBNU, Muazzam menyatakan dirinya terpikat dengan pemahaman dan praktik muslim Indonesia yang sangat toleran dan lentur dalam beragama. “Menurut saya, masyarakat muslim di Inggris masih terfokus ke Timur Tengah ketika melihat Islam. Padahal kalau saja mereka mau melirik gerakan Islam di Indonesia ini, mereka akan tercengang,” kata Muazzam ketika berkunjung ke Kantor PBNU, Jakarta, Senin (21/9) sore. Ia sendiri terpana ketika melihat wanita berkerudung mengendarai sendiri sepeda motor di Yogyakarta. “Jujur saja, saya ini muslim. Tetapi menyaksikan pemandangan begini di Inggris atau di luar Indonesia, belum pernah,” kata Muazzam yang agak lancar berbahasa Indonesia. Melihat pemandangan itu, ia mengambil gambar lalu mengirimkannya via whathapp kepada anaknya dan beberapa temannya. “Kamu semua harus lihat bagaimana orang Islam di Indonesia. Mereka sangat maju. Kalian harus melihat sendiri pemandangan ini,” kata Muazzam. Sementara Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (Kang Said) menyarankan tamunya untuk berkunjung ke pesantren-pesantren di pedalaman Jawa. “Saudara akan menemukan banyak pemandangan baru di pesantren-pesantren itu. Bagaimana para santri itu sangat terikat pada tradisi seperti bersarung dan berkopiah, tetapi bacaan mereka menjangkau pemikiran Timur hingga Barat,” kata Kang Said. Muazzam berharap Inggris dan NU melanjutkan kerja sama terutama di bidang pendidikan dengan pertukaran pelajar. “Saya senang kalau pelajar Inggris berkunjung ke sini sehingga dapat membuka pandangan mereka. Saya ingin mereka sadar bahwa kekerasan Islam selama ini hanya stigma.” Selama ini, menurut Muazzam, pelajar Inggris hanya melihat citra Islam Wahabi dan Salafi di Timur Tengah. (*Alhafiz K*) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62346-lang,id-c,nasional-t,Dubes+Inggris+Harap+Pelajarnya+Lihat+Kelenturan+Berislam+di+Indonesia-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] Dahlan: Problem Banyak Anak dan Manusia Tidak Beragama
Problem Banyak Anak dan Manusia Tidak Beragama Oleh: Dahlan Iskan Inilah dua hasil penelitian yang akan membuat para pimpinan agama (Islam dan Kristen), mestinya, tidak punya waktu lagi untuk bicara yang remeh-temeh. Persaingan untuk berebut pengaruh di antara golongan-golongan dalam satu agama pun bisa tidak relevan lagi. Apalagi persaingan antaragama. Hasil penelitian itu benar-benar akan membuat para pimpinan agama masing-masing, mestinya, terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah masing-masing yang sangat besar ini. Bulan lalu Pew Research Center yang berpusat di Washington DC, Amerika Serikat, mengumumkan hasil penelitiannya. Pertama, jumlah umat Islam menjadi imbang dengan umat Kristen pada 2050 (31,4 persen Kristen, 29,7 persen Islam). Jumlah penganut Islam akan melebihi umat Kristen pada 2070. Kedua, perkembangan itu bukan karena banyak umat Kristen yang masuk Islam, melainkan lebih karena keluarga Kristen memiliki lebih sedikit anak (2,3) dibanding keluarga Islam (3,5). Juga karena akan banyak umat Kristen, di Eropa khususnya dan di Barat umumnya, yang tidak mau lagi terikat dengan agama. Sambil melakukan perjalanan dengan naik bus ke kota-kota Nashville, Memphis, New Orleans, Houston, dan Austin pada hari-hari tidak ada mata pelajaran di akhir pekan, saya merenungkannya dalam-dalam. Saya tertegun. Saya membayangkan betapa seharusnya tiap-tiap pimpinan agama kini bekerja keras untuk merespons hasil penelitian itu. Seharusnya sudah tidak ada waktu lagi untuk berebut pengaruh. Ambil contoh di internal Islam. Menjadi mayoritas lebih karena jumlah anak yang lebih banyak bukankah akan menimbulkan persoalan tersendiri? Yakni, bagaimana dengan jumlah anak yang lebih banyak itu bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Menyiapkan diri untuk menjadi agama terbesar bukanlah pekerjaan mudah. Terutama kalau Islam akan menempatkan dirinya menjadi seperti yang diinginkan agama itu: menjadi rahmat bagi seluruh alam. Pertanyaan mendasar akan datang dari dunia Barat: Dengan Islam menjadi mayoritas, akankah dunia lebih aman dan damai? Akankah dunia lebih sejahtera? Lebih makmur? Akankah umat manusia lebih bahagia? Apakah tidak justru sebaliknya? Lebih kacau? Lebih saling serang? Lebih saling mengafirkan? Lalu, lupa pada misi utama untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam? Dunia Barat –dengan keunggulan teknologi, ekonomi, dan ilmu pengetahuan– tentu harap-harap cemas menghadapinya. Terutama pada 2070 nanti, ketika penduduk dunia menjadi 9,3 miliar dari 6,9 miliar saat ini. Di era teknologi, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, jumlah bukanlah inti kekuatan. Justru sering terjadi, dan banyak terbukti, besarnya jumlah sekadar angka tidak bertulang. Pertambahan umat Islam yang besar itu, terang Pew, terjadi di India dan negara-negara muslim di Afrika. Keluarga mereka memiliki anak yang lebih banyak. Pada 2050 nanti, Indonesia tidak bisa lagi menyebut dirinya sebagai negara muslim terbesar. Kalah dari India. Sayang, banyak-banyakan anak itu, dalam ilmu pengetahuan (termasuk ilmu ekonomi), akan terkait langsung dengan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran. Bisa-bisa tingginya angka kelahiran itu akan berdampak meningkatnya kemiskinan. Tiongkok, misalnya, sengaja dengan keras mengendalikan angka kelahiran agar bisa meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Seandainya tidak ada pengendalian itu, jumlah penduduk Tiongkok kini mencapai 1,7 miliar. Alias 400 juta lebih banyak daripada kenyataan sekarang yang 1,3 miliar. Angka kelahiran yang bisa dicegah itu saja dua kali jumlah penduduk Indonesia. Atau 25 kali penduduk Malaysia. Untuk menyediakan sarana kesehatan, pendidikan, dan perumahan bagi 400 juta orang itu saja bukan main memakan kemampuan negara. Negara-negara Barat tentu akan memperhatikan penuh pengaruh ledakan penduduk tersebut. Barat pasti khawatir kalau negara-negara berpenduduk besar itu sulit keluar dari kemiskinan. Itu, bagi Barat, akan dianggap sebagai sumber kekacauan, imigrasi, dan bahkan sampai terorisme. Maka, pekerjaan untuk meningkatkan kemakmuran di negara-negara muslim seharusnya menjadi agenda terbesar para pimpinan agama di segala lapisan. Pihak Kristen mestinya juga memiliki agenda internal yang tidak kalah besar. Bukan dalam menghadapi agama lain, melainkan menghadapi kenyataan baru: meningkatnya jumlah orang Kristen di Barat yang tidak mau lagi beragama. Jumlah mereka terus meningkat. Tentu para pimpinan Kristen akan memiliki kesibukan yang luar biasa untuk mencegah hal itu terjadi. Bayangkan, sampai 2050 nanti, papar Pew, 170 juta orang Kristen menjadi tidak beragama. Khususnya di Inggris, Prancis, Belanda, dan Selandia Baru. Hasil penelitian itu sangat menantang bagi para pimpinan agama tersebut di segala lapisan. Mungkin perlu lebih banyak pendeta dan pastor dari Indonesia untuk menjadi misionaris di sana, mengikuti jejak Pendeta Stephen Tong dari Batu, yang sangat terkenal hebat di Barat. Sulitnya, pengertian ”tidak
[keluarga-islam] Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer
Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer Oleh: Anggia Ermarini Di usianya yang ke-65 tahun, organisasi Fatayat NU dituntut untuk terus berbenah. Kiprahnya dibutuhkan bukan sebatas menyangkut isu-isu kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, namun lebih dari itu, Fatayat NU juga harus tampil lebih menarik dan hadir dalam isu-isu kontemporer yang lebih luas. Dengan jumlah anggota mencapai enam juta orang yang mengakar di tingkat grassroot, Fatayat NU adalah garda depan pergerakan perempuan yang sangat potensial. Komitmen dan kerja nyatanya terkait upaya membangun kesadaran kritis kaum perempuan, mewujudkan kesetaraan, mengadvokasi korban perdagangan anak hingga buruh migran sudah cukup dibuktikan. Berbagai masalah dan ketertinggalan perempuan NU terutama di desa-desa jelas masih banyak dan menjadi pekerjaan rumah bersama. Namun, kerja keras Fatayat NU terutama dalam dua dekade terakhir setidaknya telah berhasil meng-upgrade banyak hal. Contoh sederhana, kalau dulu sebatas konco wingking (teman di belakang), kini perempuan NU bahkan sudah tak asing dengan, taruhlah, pilihan politik berbeda dalam keluarga. Kesadaran politik ini, di level berikutnya seiring demokratisasi, berlanjut pada perebutan ruang-ruang publik. Melalui kader- kadernya yang terdistribusi di pemerintahan, di lembaga legislatif, dan lembaga tinggi negara lainnya, keterlibatan Fatayat NU dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di pentas politik, juga sudah bisa dirasakan. Saat ini lebih dari seratus kader Fatayat NU duduk sebagai anggota legislatif baik di pusat maupun daerah di seluruh Indonesia. Namun, ini belum apa-apa. Tantangan kontemporer sesungguhnya jauh lebih kompleks dari semua itu. Saat ini tantangan besar Fatayat NU dalam menyelesaikan masalahmasalah kemasyarakatan berhadapan langsung dengan liberalisasi atau bahkan imperialisasi jenis baru di berbagai bidang. Periode globalisasi ekonomi yang ditandai era perdagangan bebas ASEAN (MEA), mau tidak mau menciptakan tantangan baru yang simultan. Mulai dari tantangan ekonomi, tantangan hukum, tantangan politik, tantangan ilmu pengetahuan, bahkan tantangan agama. Mengutip Fatima Mernissi (2008), memperjuangkan kemakmuran bukan hanya urusan kaum laki-laki, melainkan pada saat yang sama juga menjadi tugas kaum perempuan. NU tentu tidak bisa sendirian menghadapi derasnya paham fundamentalisme dan radikalisme agama, yang infiltrasinya melalui dunia maya kian masif memengaruhi anak-anak muda kita. Demikian juga dengan liberalisasi agama di sisi lainnya, yang kalau mau jujur, pahamnya justru banyak digandrungi oleh kalangan muda. Kalau dibiarkan, dua hal ini bukan saja bisa mengancam eksistensi NU secara organisasi dan jamaah, tetapi juga bagi keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa. Bersyukur Muktamar Ke-33 NU di Jombang telah meneguhkan Islam Nusantara sebagai instrumen besar untuk membangun peradaban Indonesia dan dunia. Secara paradigmatik, tema ini mampu mengenalkan ciri Islam yang damai dan toleran, dengan lebih mudah ke khalayak luas. Bagaimana tema besar ini makin membumi, Fatayat NU perlu ambil bagian langsung di ruang ini. Tugas Fatayat NU sebagai neven terdepan NU ke depan adalah bagaimana berpikir dan bertindak lebih progresif. Bagaimana kader aktif Fatayat NU yang tersebar di 34 pengurus wilayah (PW), di 423 pengurus cabang (PC/PCI), di 2.013 pengurus anak cabang (PAC), di 21.225 pengurus ranting (PR), dan di lebih 90 ribuan pengurus anak ranting (PAR) menjadi kekuatan ideologis yang dapat memainkan peran menghadapi arus kuat globalisasi. Harus diakui, globalisasi adalah sebuah kecenderungan yang sulit dihindari. Perkembangan teknologi membuat arus informasi dengan derasnya memasuki semua sektor publik dan domestik. Ini, percaya atau tidak, telah mengubah sebagian besar kebiasaan hidup kita, dari mekanik ke digital. ”Dunia maya” yang beberapa waktu lalu sebatas anganangan, kini seolah menjadi ”realitas sebenarnya”. Di sinilah, Fatayat NU perlu menata, merancang, dan mengagregasi sebuah gerakan, yang bisa menjadi acuan bagi setiap perempuan, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Fatayat NU harus mampu menunjukkan pada dunia sebagai entitas perempuan yang memiliki bekal kepemimpinan kuat, berkeadaban tinggi, dan yang mengerti Islam secara luas. Untuk mengarah pada output tersebut, beberapa hal sudah dilakukan Fatayat NU. Sebagai fondasi misalnya Fatayat NU terus meningkatkan pelatihan- pelatihan kepemimpinan dasar di tingkat PC. Jika dulu target pelatihan lebih banyak menyiapkan kader Fatayat untuk menata organisasi secara internal, sekarang dalam panduan yang baru, pelatihan Fatayat NU juga serius menyiapkan calon-calon pemimpin perempuan yang selain mampu memimpin di internal, juga siap memimpin organisasi publik di level yang lebih luas dan plural. Demikian juga dengan great pelatihan kepemimpinan di tingkat nasional (lapimnas). Di luar peningkatan kaderisasi formal, Fatayat NU juga penting mengoptimalkan
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Hukum Berkurban untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia
*Hukum Berkurban untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia* Pertanyaan: Assalamu’alaikum wr. wb. Redaksi bahtsul masail NU Online yang terhormat, kami punya orang tua dan sampai meninggal belum pernah berkurban, kemudian kami selaku putera-puterinya bermusyawarah mengenai kurban untuk orang tua kami. Yang ingin kami tanyakan adalah apakah berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia itu boleh? Kami sangat berharap jawaban secepatnya dari redaksi bahtsul masail. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. Maman – Jakarta Jawaban: Assalamu’alaikum wr. wb Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad. Tetapi khusus untuk Rasulullah saw hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi: أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi). Kesunnahan dalam hal ini adalahsunnah kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain.sedang kesunnahan berkurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu. وَالْاُضْحِيَة- (سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ “Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588) Sampai di sini tidak ada persoalan, tetapi persoalan kemudian muncul mengenai berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilalukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berkurban. Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat. وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا “Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321) Setidaknya argumentasi yang dapat dikemukakanuntuk menopang pendapat ini adalah bahwa kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan. Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Alasan pandangan ini adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama. لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ “Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406) Di kalangan madzhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih (ashah) dan dianut mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama madzhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal ini sebagaimana yang terdokumentasikan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ
[keluarga-islam] Susunan Lengkap Pengurus Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) 2015-2020
Susunan Lengkap Pengurus LPNU 2015-2020 Kamis, 17/09/2015 19:30 Jakarta, *NU Online* Pengurus Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) masa khidmat 2015-2020 resmi dikukuhkan, Rabu (16/9) malam di halaman Gedung PBNU Jl Kramat Raya Jakarta. Pengurus harian LPNU disahkan melalui surat keputusan Nomor: 09/A.II.04/09/2015 dan ditandatangani oleh Rais Aam, KH Ma’ruf Amin, Katib Aam, KH Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dan Sekjen PBNU, H A Helmy Faishal Zaini. LPNU bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan ekonomi warga Nahdlatul Ulama. Berikut susunan lengkap pengurus harian LPNU masa khidmat 2015-2020: Penasehat: Dr. H. Eman Suryaman KH. Dimyati Romli KH. Taufiqurrahman Yasin, Lc H. Fauziah Noor Sultonul Huda, M.Si. Ketua : Ir. Harvick Hasnul Qolbi Wakil Ketua : Dr. H. Irnanda Laksanawan Wakil Ketua : H. Sadar Subagyo Wakil Ketua : Ir. Abdul Kholik Wakil Ketua : H. Zainal Effendi, S.E. Wakil Ketua : H. Tarmadi Wakil Ketua : H. Irfan Yusuf Hasyim Wakil Ketua : H. Rusli Ahmad Wakil Ketua : Supriyatno Wakil Ketua : Drs. Asrofudin Nur Widodo Wakil Ketua : H. M. Surya Nata Putra Wakil Ketua : Yayat Hidayat, S.Sos. M.Si Wakil Ketua : H. Saemi Wakil Ketua : H. M. Sulhan Sekretaris : Fatchan Subchi Wakil Sekretaris : Mohamad Sofwan Erce, S.E. Wakil Sekretaris : A. Halim Pohan Wakil Sekretaris : Dr. H. Rahmat Hidayat, SE, MT Wakil Sekretaris : H. Idham Zakaria SE MM Wakil Sekretaris : Ir. Nasim Khan Wakil Sekretaris : Fahmi Akbar Idris Wakil Sekretaris : Athoillah Djalil Wakil Sekretaris : Sadewo Tri Lastiono Wakil Sekretaris : A. Sahid Wakil Sekretaris : H. Abdul Rohmat Wakil Sekretaris : Jaya Supandi Bendahara : Suhaeli Kalla Wakil Bendahara : Muhammad Thoif Wakil Bendahara : Bertu Merlas Wakil Bendahara : Ahmad Rifki, Lc Wakil Bendahara : Arif Marbun Wakil Bendahara : Zainal Abidin, SE, MM Wakil Bendahara : Drs. Agus Muhaimin, MM Wakil Bendahara : Ir. Ali Rahmat Salim Wakil Bendahara : Sabilillah Ardi Wakil Bendahara : Mujib Imaby *(Fathoni) * Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62255-lang,id-c,nasional-t,Susunan+Lengkap+Pengurus+LPNU+2015+2020-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] LDNU Siapkan Da’i dan Khotib Jumat Khusus Perkantoran
LDNU Siapkan Da’i dan Khotib Jumat Khusus Perkantoran Jumat, 18/09/2015 00:40 [image: LDNU Siapkan Da’i dan Khotib Jumat Khusus Perkantoran] Jakarta, *NU Online* Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) masa khidmat 2015-2020 terus mengembangkan potensi para da’i di lingkungan Nahdlatul Ulama. Pada pertemuan perdana setelah dilantik, pengurus baru LDNU menambahkan fokus garapan pelatihan bagi calon khotib di perkantoran. “Pengurus masjid di sejumlah kantor dan badan-badan negara sudah menghubungi kita untuk mengadakan khotib dari NU,” kata Ketua baru PP LDNU KH Manarul Hidayat di hadapan pengurus LDNU lainnya di Jakarta, Rabu (17/9) malam. Menurut Kiai Manarul, program pelatihan dakwah yang sudah berjalan pada kepengurusan LDNU sebelumnya tetap diteruskan. Hanya saja kebutuhan untuk menyiapkan khotib dan para da’i di perkantoran, patut dijawab. “Ini tantangan kita sekarang. Jangan sampai para da’i dan khotib NU hanya bergerak dari satu ke lain kampung. Kita perlu mempersiapkan kompetensi, pembawaan, dan pilihan materi sesuai selera orang-orang kantor,” terang Kiai Manarul. Kiai Manarul mengatakan bahwa masjid perkantoran selama ini luput dari garapan dakwah NU. Gagasan ini akan dimatangkan pada rapat perdana pengurus PP LDNU di Jakarta pada Selasa, 22 September 2015. (*Alhafiz K*) Sumber: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62257-lang,id-c,nasional-t,LDNU+Siapkan+Da%E2%80%99i+dan+Khotib+Jumat+Khusus+Perkantoran-.phpx -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Buku of the Day) K.H.R. As'ad Syamsul Arifin, Kesatria Kuda Putih Santri Pejuang
Peran Kiai As'ad dalam Perebutan Senjata Belanda [image: Peran Kiai As'ad dalam Perebutan Senjata Belanda] Judul: K.H.R. As'ad Syamsul Arifin, Kesatria Kuda Putih Santri Pejuang Penulis : Ahmad Sufiatur Rahman Penerbit: Tinta Medina, Solo Terbitan: Pertama, Mei 2015 Tebal: XXXVIII+210 halaman ISBN : 978-602-72129-7-8 Peresensi : M. Kamil Akhyari, *kader muda NU, pecinta buku sejarah* Pada tahun 2014, Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf membuka tapak tilas dalam rangka menyusuri jalur perjuangan KH. R. As'ad Syamsul Arifin melintasi 100 desa untuk berebut senjata Belanda di gudang mesiu Desa Dabasan Bondowoso pada tahun 1947. Tak kurang dari 4000 peserta mengikuti kegiatan tersebut. Pada 2002, Gus Dur membuka acara tersebut. Diikuti sekitar 5000 santri Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo. Memang Kiai As'ad memiliki peran penting dalam merebut senjata Belanda. Beliau turun langsung berbaur dengan bromocorah yang menjadi binaannya (disebut Pelopor) memimpin perebutan senjata sambil berpuasa pada 20 Juli 1947 untuk mendukung perlawanan gerilyawan atas agresi militer Belanda. Para Pelopor sebenarnya meminta Kiai As'ad untuk tidak turun langsung ke dalam hutan. Mereka khawatir terkena serangan Belanda. Namun, beliau bukan tipe orang yang suka duduk manis di atas kursi melihat orang lain bekerja. Beliau bersikeras ikut serta merebut senjata dan siap berperang melawan Belanda. Kiai As'ad menyadari cinta tanah air bagian dari iman, dan pentingnya sebuah tanah air untuk mengamalkan ajaran agama. Agama tanpa tanah air sulit untuk direalisasikan. Sementara tanah air tanpa agama akan amburadul. Keduanya ibarat sebuah mata uang, sisi yang satu dengan yang lain tak bisa dipisahkan. "Perang itu harus niat menegakkan agama dan *'arebbuk negere* (merebut negara), jangan hanya '*arebbuk negere*! Kalau hanya *'arebbuk negere,* hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga" (hlm. 138). Demikian motivasi yang Kiai As'ad tanamkan kepada para Pelopor. Dengan motivasi itu, para Pelopor semangat menyusuri jalan cadas nan berbatu menanjak melintasi 100 desa, dan tak takut mati untuk memperoleh senjata demi mempertahankan tanah air sebagai bentuk pengamalan orang beriman. "Kalian tidak boleh mundur. Kalau mati, akan syahid dan masuk surga. Namun, jika lari ke belakang, kalian akan meninggal dalam keadaan kafir," *dawuh *Kiai As'ad kepada para Pelopor sebelum berangkat merampas senjata Belanda (hlm. 107). Misi mengambil senjata tak mengalami hambatan berarti, namun satu anggota Pelopor tewas. Anggota Pelopor berhasil mengambil 24 senjata api dan amunisi, termasuk senapan jenis bren, sten gun, lee enfield, mortir, light machine gun, serenteng peluru tajam, dan granat (hlm. 136-137). Sementara pesantren Salafiyah Syafiiyah menjadi tempat berlindung dan menyusun strategi para gerilyawan. Sehingga, pasukan Belanda menggerebek pesantren untuk mencari gerilyawan dan senjata. Bahkan, pesantren hendak dibom karena dinilai membahayakan tapi pesawatnya meledak terlebih dahulu di udara, sementara gerilyawan berhasil kabur dari pesantren termasuk Kiai As'ad. Namun, ada penyusup dan yang dipandu oleh orang dalam Pesantren Sukorejo sendiri yang berkhianat. Penggerebekan pesantren menjadi ajang fitnah di media dan Kiai As'ad dituduh melakukan makar pada NKRI dan terlibat dalam DI/TII. Akhirnya Kiai As'ad menjadi tahanan politik selama enam bulan. Kiai As'ad kembali ke Sukorejo tahun 1954. Buku K. H. R. As'ad Syamsul Arifin, Kesantria Kuda Putih Santri Pejuang membawa imajinasi pembaca menyusuri perjuangan Kiai As'ad mulai merebut senjata Belanda hingga kembali ke Sukorejo setelah dipenjara. Penting dibaca negeri muda di tengah lunturnya rasa memiliki terhadap tanah air. Berbeda dengan buku Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat (LKiS, 2013) dan Sang Pelopor (Pena Salsabila, 2014) yang penulisnya menggunakan pendekatan non fiksi sehingga harus menggunakan bahasa ilmiah, Ahmad Sufiatur Rahman menulis dalam bentuk fiksi sejarah. Buku setebal 210 halaman jauh dari membosankan layaknya buku sejarah pada umumnya. [] -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Esensi Ibadah Qurban
*Esensi Ibadah Qurban* Oleh: Nasrulloh Afandi --Pengorbanan tertinggi manusia adalah mengikhlaskan sesuatu yang sangat dicintai semata-mata untuk dan karena Allah SWT, meskipun sesuatu itu telah lama dinantikan dan baru saja didapatkannya. Khazanah ini, bisa mengambil i’tibar (perumpamaan) dari kisah keikhlasan jiwa besar Nabi Ibrahim AS, Ia telah lama berdoa dan menantikan kehadiran seorang putra, namun ketika putra yang telah lama Ia nantikan itu, baru saja Ia miliki dan telah tumbuh berusia tiga belas tahun, malah justru datang perintah baru dari Allah SWT, untuk menyembelih putranya sebagai qurban, Ia pun ikhlas menerimanya. Maka akhirnya, semakin diangkatlah derajatnya di mata Allah swt. Mengorbankan Kepentingan Keluarga Nabi Ibrahim AS adalah sang promotor yang mengajak umat manusia untuk mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya demi untuk kepentingan yang lebih luas atas dasar kebenaran (agama) sehingga Ia pun tanpa ragu, tanpa menunda-nunda, langsung dengan ikhlas menuruti (Kebenaran) perintah Allah swt untuk menyembelih putranya. Ia bersikap mengedepankan kepentingan agama (kebenaran di ruang publik) dan untuk ummat, meski harus mengorbankan putranya.- Subhanallah-. Meskipun akhirnya putranya tidak jadi disembelih, karena Allah SWT mengutus malaikat untuk menggantikan Nabi Ismail AS dengan kambing untuk disembelih. Syeikh Tohir Bin Asyur Sang penggerak lokomotif Maqashid Syariah modern, dalam magnum opusnya, kitab “Tafsir At-Tahrir wat-Tanwir”, ia mengomentari tentang perintah Allah swt kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih putranya ,yang dibadikan dalam al-Quran(QS As-Shaafaat 102-109) : “Sejatinya Allah swt tidaklah akan mensyariatkan kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra semata wayang kesayangannya yang telah lamadinantikannya itu, tetapi perintah tersebut hanyalah upaya Allah swt menguji kualitas keimanan untuk menetapkan dan mengangkat derajatnya Nabi Ibrahim as, bersedia atau tidakkah mengorbankan putranya itu. Terbukti, setelah Nabi Ibrahim dan putranya pun bersedia(bersabar) untuk melaksanakn perintah tersebut, kemudian Allah swt pun menggirim kambing untuk disembelih, sebelum Nabi Ibrahim melaksanakan atau menyembelih putranya”. Inilah esensi disyariatkan ibadah qurban, pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun bebarengan dengan disyariatkan(diperintahkannya) Dua salat Id dan zakat harta, itu. Ekslusivisme Ibadah Qurban Faktor yang menjadi pijakan ibadah qurban, setidaknya ada dua hal: Pertama; Untuk mengenang kebesaran jiwa antara seorang ayah yang bernama Nabi Ibrahim AS yang sangat berjiwa besar dan ikhlas rela mengorbankan kpentingan pribadi dan keluarganya, terbukti Ia pun bersedia melaksanakan perintah meneyemeblih anaknya atas dasar kebenaran (dari perintah agama). Kedua; Mengenang kesabaran dan ketaatan Sang anak (birrul walidain) yang sangat berbakti pada orang tuanya, Ia bernama Nabi Ismail as yang ikhlas mau disembelih sebagai qurban oleh ayahnya dengan landasan kebenaran(Firman Allah swt). Karena dua faktor ini pula, ibadah Qurban mempunyai ekslusivisme, diantaranya, memotong hewan Qurban, adalah harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan oleh syariat, yaitu empat hari: Tanggal 10 Dzulhijjah (setelah shalat ‘Id) dan tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah (tiga hari sesudahnya) yang dikenal dengan Ayyamutasyriq. Hal ini, yang membedakan antara penyembelihan hewan Qurban dengan (ibadah) penyembelihan hewan lainnya. seperti menyembelih hewan aqiqah, atau juga memotong hewan ternak untuk pesta pernikahan atau menjamu tamu, atau memotong hewan karena memenuhi nazar, atau hewan Dam(denda) yang disembelih oleh orang yang berhaji Tamattu, atau haji Qiran, namun itu semua berbeda dengan memotong hewan Qurban dalam momentum Idul Adha ini. Karena amalan-amalan trsebut, bisa dilaksanakan kapanpun. Inilah dimensi ekslusivis Ibadah qurban dari syiar Islam lainnya yang berupa ibadah menyembelih(hewan) Bagaimana Berqurban di Ruang Publik? Betapa pun sesuatu hal yang sangat dicintai dan telah lama diharapkan, dan baru saja dimiliki, tetapi ketika Perintah Tuhan(kebenaran di ruang Publik) menyerukan untuk mengorbankan hal itu, maka harus ikhlas dikorbankannya. Dalam konteks ini, implementasinya, dalam kehidupan sosial sehari-hari, dengan tidak terbatas waktu, musim atau tempat, kapan dan dimanapun, jelas membantu orang-orang membutuhkan adalah sebuah tuntutan kebenaran yang harus dilakukan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ikhlas mengorbankan putranya, meski masih dalam keadaan “bulan madu” bersama putra kesayangannya. Di berbagai lini aktivitas sosial, hal ekonomi, pendidikan, keadilan, politik dan kebebasan berpikir, itu semua adalah bagian dari hal-hal yang perlu pengorbanan, wajib dilakukan oleh orang-orang mampu untuk melakukannya , berkewajiban untuk berqurban demi membantu mereka yang membutuhkan. Bukan sebaliknya, orang yang lebih kuat atau berkecukupan justeru